13. Rencana, Jebakan, Tekad

16 6 3
                                    

Walau Jocelyn tidak bermaksud, dia secara naluriah jadi sedikit menjauhi Seamus. Sebisa mungkin berdiri minimal tiga langkah lebih jauh darinya, hanya sedikit berbicara, dan menjawab secukupnya tiap kali ditanya. Gadis itu juga menolak menatap sahabatnya dan beruntung, Seamus tidak menanyakan hal tersebut.

Tucker mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah benda diselipkan di belakang lipatan atas celananya, terbungkus sapu tangan warna hitam. Dia memberikan objek sepanjang kurang lebih 35 sentimeter tersebut pada Jocelyn.

"Untuk jaga-jaga," katanya.

Jocelyn menerima benda tersebut, terasa sangat ringan sekaligus tajam di tangannya. Begitu sapu tangannya dilepas, isinya adalah sarung belati. Saat gagang ukir rumitnya ditarik, tampak sebilah belati perak memantulkan separuh wajah Jocelyn di atas permukaannya yang mengkilap.

"Terima kasih."

Tucker mengangguk. "Bukan masalah." Pasca insiden penyerangan pertama, di mana Jocelyn ditemukan tergeletak tak sadarkan diri dalam gang dengan luka terbuka di punggung, Tucker secara khusus menempa senjata untuknya.

Mereka sudah menyusun rencana untuk mengeluarkan Jaydon, dengan memanfaatkan kericuhan sewaktu werewolf itu datang. Adam dan Seamus tengah menyebar sejumlah jebakan, keduanya diminta Tucker untuk diam-diam menuang bensin ke atas salju di sekitar balai desa tempat Jaydon ditahan.

Jocelyn melihat Adam menyusun tumpukan stok kayu bakarnya ke atas gerobak pengangkut, lalu dia sengaja berjalan menuju balai desa membawa kayu-kayunya sambil berdalih kalau tumpukan itu adalah untuk menciptakan api unggun. Seamus di sisi lain, berbicara pada Zachary dan keduanya membimbing sejumlah prajurit yang tersisa untuk membuat jebakan tali yang terhubung pada crossbow. Jebakan itu dipasang pada rumah-rumah sekitar balai desa dan dimaksudkan untuk menembak otomatis begitu serigalanya lewat. Pemicunya adalah apabila binatang tersebut mengenai tali tipis yang memanjang dari satu bangunan ke bangunan seberang. Terdapat pula sejumlah perangkap beruang yang ditimbun dalam salju.

Tucker memerintahkan para wanita, orang-orang tua, dan anak-anak untuk berlindung di dalam gereja dan halamannya sambil berdoa. Karena ternyata benar tidak muat, beberapa dipindahkan ke rubanah milik Tuan Prescott yang murah hati. Tucker juga memindahkan Jeremiah, sementara Jocelyn sendiri mengendap memasuki balai desa selagi prajurit yang kelelahan sebab berjaga sepanjang hari, tertidur akibat kopi pemberian Micha. Tidak ada yang mencurigai wanita tua yang memelas hendak berbuat baik untuk orang-orang malang yang jauh dari rumah dalam keadaan kelaparan, kedinginan, dan kelelahan.

Karena rekan-rekan prajurit yang lain termasuk Zachary sibuk membuat sejumlah jebakan bersama Seamus, Jocelyn memperhitungkan berapa waktu yang dimilikinya untuk memberikan pisau pada Jaydon.

Di dalam balai desa gelap, tidak banyak yang berubah dalam ruang pertemuan luas tersebut selain kursi-kursi panjangnya yang sedikit bergeser.

Debu-debu yang berterbangan menyakiti hidung dan mata Jocelyn. Dia meraba bangku-bangku kayu untuk bisa maju ke depan. Adam bilang, adiknya Jaydon terikat pada kursi di atas panggung. Kepalanya ditutupi kantong hitam dan mulutnya disumpal. Hanya dibuka kalau Zachary mau bicara padanya.

Lutut Jocelyn menabrak lantai panggung, dia menjulurkan tubuh dan bisa merasakan tekstur kaki kayu kasar di ujung jarinya. Gadis itu mengangkat badan dan berjalan mendekati kursi.

"Jaydon?" Jocelyn berbisik, berhasil meraba tulang bahu adiknya di balik kaos tipis. Dia bisa membayangkan saat prajurit-prajurit yang mengikat Jaydon melucuti semua pakaian hangat remaja itu, agar dia tersiksa dinginnya udara malam yang mengerikan.

Jaydon bergumam keras. Tubuhnya meronta-ronta sampai kursinya bergeser. Bisa Jocelyn bayangkan Jaydon tengah mengomel karena tidak ada yang menjemputnya sejak awal.

"Hei, diamlah!" titah Jocelyn, berusaha tetap bersuara pelan. Dia menekan bahu Jaydon, menghentikan gerakannya yang berlebihan dan menimbulkan bunyi tak perlu. Gadis itu mengeluarkan pisau dari saku celananya dan mulai menyayat simpul yang mengikat tangan Jaydon di punggung. "Jangan banyak gerak."

Jaydon menurut, Jocelyn terus berbicara. "Lepaskan dirimu sendiri, aku tidak akan melakukannya."

Jaydon kembali meronta. "Hmph!"

"Tapi, aku sudah melonggarkan simpul ini. Kau bisa kabur kapan saja. Tapi, jangan sekarang. Kau harus menjalankan peranmu, peran mudah. Memancing serigala itu ke arahmu."

"Hmmmppph!"

"Seamus dan yang lain sedang menyusun jebakan." Sebenarnya bisa dihindari dengan mudah kalau ternyata memang benar dia manusia serigalanya. "Kalau dia tidak mati atau pergi setelah terkena jebakan. Kau harus melepaskan diri sebelum serigala itu menangkapmu. Masuk ke gereja. Itu tempat paling aman untuk sembunyi." Jocelyn berjongkok, mengiris tali yang mengikat pergelangan kaki Jaydon. Gadis itu mendengar suara bising dari luar balai, orang-orang yang tadi tertidur bangun lebih cepat dari dugaan. Dia langsung mempercepat irisannya.

Jaydon bergumam lemas. Bahunya melorot, kepala menggeleng.

"Kau akan baik-baik saja, Jay. Aku akan mengawasimu sedekat mungkin." Jocelyn kembali berdiri, menarik kantong yang menutupi kepala adiknya dan memandangi wajah tirus dan mata kelabunya yang berkantong hitam.

Jaydon terlihat skeptis, seolah sedang berkata, "Kau saja pingsan waktu itu." Dari tatapan matanya. Namun, mengingat siapa yang sudah mempertaruhkan nyawa untuk Jaydon di garis terdepan malam itu membuat laki-laki tersebut mengangguk terpaksa. Setengah percaya, setengah pasrah.

Jocelyn menyelipkan pisau yang digunakannya untuk melepaskan Jaydon ke saku celana laki-laki tersebut. Gadis itu mengangguk-angguk, meyakinkan dirinya dan Jaydon. "Makhluk itu harus mati malam ini. Supaya kita terbebas. Kau bebas. Aku tidak tahu apa alasannya berusaha memburumu, tapi tidak akan kubiarkan kau mati di tangannya seperti Naomi."

Pikiran bahwa makhluk itu bisa saja Seamus menohok dada sang gadis. Matanya terasa pedas dan dadanya menyempit. Diam-diam berharap makhluk tersebut tidak kembali malam ini dan selamanya, tidak mati malam ini, melepaskan Jaydon dan desa mereka. Mungkin Jocelyn akan berpura-pura tidak tahu setelahnya, membiarkan kematian Naomi terkubur waktu. Bertindak seolah-olah hewan besar itu tidak pernah menghancurkan desa mereka dan merenggut puluhan nyawa dalam satu malam. Bahkan nyaris mengambil miliknya pula.

Jocelyn menunduk, merasakan belati dingin pemberian Tucker yang menempel di perutnya. Tersembunyi di balik baju dan dihimpit bagian atas celana. Dia terpejam sembari menarik napas panjang, membuangnya perlahan seperti sedang melepas semua beban pikiran dan kegelisahannya.

Harus berakhir malam ini. Gadis itu bertekad dalam hati.

Pintu masuk balai kota terbuka, semburat cahaya obor menerangi bagian dalam ruangan dan dua pasang langkah seirama bergema mengisi kekosongan udara.

Jocelyn sudah meluncur di atas punggungnya, melewati panggung yang luas dan berjongkok di belakang panggung. Kepalanya sedikit menyembul untuk mengintip para prajurit yang datang mendekati Jaydon.

Kedua prajurit itu tengah berbincang, suaranya tak jelas teredam penutup kepala mereka. Namun, Jocelyn yakin salah satunya menarik penutup wajah tersebut ketika berkata, "Siapa yang membuka penutup kepalanya?"

Oh, sial! Jocelyn merutuk dalam hati, menatap tangannya yang masih menggenggam pembungkus kepala Jaydon dan mengerang tanpa suara.

Dunia terasa membeku dan napasnya pun putus ketika prajurit kembali bicara. "Pembungkusnya tidak ada di sini. Seseorang masuk ke dalam. Periksa seluruh ruangan!"

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang