Malam ini setelah selesai balapan Syam langsung pulang ke rumah. Syam sampai di rumah pukul 23:00, dengan perlahan Syam berjalan memasuki rumah, dan ternyata Theo sedang duduk di ruang tengah.
"Baru pulang kamu? Bisanya cuma keluyuran aja!" Theo menatap tajam Syam, kali ini pria itu sendirian dan tidak bersama dengan selingkuhannya.
Syam menghiraukan Theo dan hendak menaiki anak tangga.
"Syam! Papa bicara sama kamu!" Theo berdiri dan menghampiri Syam.
Syam berhenti dan menatap datar Theo. "Apa?"
"Darimana aja kamu jam segini baru pulang?" Theo bertanya dengan nada baik-baik.
"Apa penting saya menjawab pertanyaan anda?" Syam sudah muak dengan Theo.
Theo mengusap wajahnya kasar. "Kamu pasti habis main sama geng nggak jelas itu kan? Tinggalkan mereka, mereka cuma bawa pengaruh buruk buat kamu."
Syam mengepalkan tangannya, ia benar-benar marah. Syam tidak terima Theo menjelek-jelekkan gengnya, karena itu artinya Theo sama saja menjelek-jelekkan teman-temannya. Ingin sekali Syam menertawakan ucapan Theo.
Syam tak sanggup untuk tertawa, bagaimana dia bisa tertawa di saat hatinya sedang terluka. Theo menyentuh bahu Syam, tapi Syam langsung menepis tangan Theo begitu saja.
"Jaga bicara anda! Mereka itu sudah saya anggap seperti keluarga!" Syam meninggikan nada bicaranya.
"Syam, papa cuma mau yang terbaik untuk kamu," ucap Theo.
"Yang terbaik untuk saya?" Syam menunjuk dirinya sendiri. "Jelas-jelas anda lebih mementingkan keegoisan anda."
"Syam, jangan memancing emosi papa." Theo mulai terlihat marah.
"Urus saja diri anda sendiri, jangan mengurusi hidup saya." Syam berbalik badan dan hendak menaiki anak tangga.
Theo menarik tangan Syam. "Syam, papa pengen kamu jadi penerus perusahaan papa. Papa nggak mau kamu jadi dokter."
Syam menghentakkan tangan Theo dan menatap Theo dengan tatapan dinginnya. "Sampai kapanpun saya akan berusaha untuk meraih cita-cita saya sebagai dokter."
"Papa nggak akan biayai kuliah kamu lagi jika kamu tetap ingin menjadi dokter. Keputusan ada di tangan kamu," ucap Theo.
Dunia Syam terasa berhenti, ia tidak menyangka jika Theo masih mengedepankan keegoisannya.
***
Pagi ini Chiko sedang berjualan pulpen, cowok itu memang sering berjualan barang-barang kecil saat tidak memiliki uang. Semua sahabat Chiko tahu jika Chiko berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Chiko bisa kuliah di kampus elit, itu semua karena di biayai oleh Altair. Sementara motor ninja Chiko, itu adalah kado ulang tahun dari Syam. Dan terkadang saat Chiko tidak bisa membeli makanan, Evin dengan sukarela memberikan oreo nya.
"Mau beli pulpen nggak? gue lagi kismis nih. Eh maksudnya kasman, bukan-bukan maksud gue kismin." Chiko bergabung dengan ketiga sahabatnya yang sedang duduk di anak tangga yang tak jauh dari parkiran.
"Miskin kalik," ralat Jey.
"Rasanya nggak sanggup kalau bilang gue itu miskin. Cita-cita gue tuh jadi orang kaya, biar bisa bahagiain emak sama adek-adek gue," ucap Chiko.
"Lo pasti bisa jadi orang kaya, tinggal butuh usaha aja. Bokap lo di atas sana pasti bangga punya anak kayak lo." Syam menepuk pelan bahu Chiko.
"Thanks pak wakil." Chiko tersenyum haru.
"Udah nggak usah mellow, semut lihat lo senyum aja takut apalagi ngelihat lo nangis. Demi oreo, hancur sudah dunia ini," ujar Evin.
Chiko berdecak pelan. "Ah elah, gue lagi terharu ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Syam Story
Teen FictionDia Syam Kavalen, laki-laki yang menjabat sebagai wakil ketua geng Jevins dan mempunyai cita-cita menjadi dokter. Syam selalu memasang wajah kalem dan selalu terlihat tenang. Syam mencintai gadis berhijab bernama Nasya, namun Syam harus terjebak cin...