Get a permission

50 9 0
                                    

Praka Pov.

Aku sedang menunggu Ghaitsa yang sedang berganti pakaian di kamarnya. Rumah ini tampak sepi karena semua sedang di rumah sakit. Tak lama pintu rumah terbuka. Aku berdiri ketika melihat Om Fais lah yang datang. Aku menghampiri dan menyalami beliau. Terlihat dari wajahnya, beliau pasti sangat kelelahan. Wajahnya nampak lesu.

"sudah lama Ka?" tanya Om Fais padaku.

"belum lama Om. Gimana keadaan Amayya." Tanyaku pada Om Fais.

"Alhamdulillah Maya sudah sadar dan sudah dipindah di ruang rawat. Mungkin besok atau lusa sudah bisa dibawa pulang." Ujar Om Fais dengan wajah yang kuyu. Beliau kemudian duduk disampingku kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Sofa. Dia memijat pangkal hidungnya pelan.

Tak lama Ghaitsa turun dengan membawa tas nya. Dia terkejut melihat Ayahnya yang datang. Tapi dia tampak acuh tak acuh dengan kehadiran Ayahnya. ada kilat rasa kecewa di matanya.

"Ghaitsa, kamu baik-baik saja nak?" tanya beliau sembari beranjak dari duduknya dan menghampiri putrinya.

"Ayah masih mengkhawatirkanku? Ayah masih peduli denganku?" tanyanya dengan nada yang pelan, tampak sekali ia sedang menahan tangisnya.

"Maafkan Ayah nak, kemarin Ayah terlalu memikirkan keadaan adikmu jadi tak sempat menghubungi dan menanyakan keadaanmu." Ujar Om Fais memberi alasan. Ghaitsa memutar bola matanya jengah. Aku tau ada rasa kecewa disana mendengar jawaban sang Ayah.

"Baiklah." Jawabku seadanya. "Pak Praka ayo kita berangkat." Ujarnya padaku, belum sempat ku jawab dia sudah lebih dulu meninggalkanku. Aku berpamitan dengan Om Fais terlebih dahulu, tapi beliau menahanku untuk berbincang.

"Nak, tolong jaga Ghaitsa ya. Om merasa telah gagal menjadi Ayah yang baik untuknya. Sejak dulu Om tak pernah mempunyai waktu untuknya. Wajar dia bersikap seperti itu padaku." ucap Om Fais dengan nada sendu. Terlihat bagaimana menyesalnya beliau.

"kemarin Om tak sempat menanyakan kabarnya karena keadaan Amayya yang terus menurun, Tante Sarah juga menahan Om terus untuk tetap disampingnya. Di kantor juga sedang ada masalah. Jadi Om harus selesaikan semuanya satu per satu. Ghaitsa mungkin tak mau mendengarkan penjelasanku tapi mungkin kalau kamu yang mengatakan ia akan percaya. Om sangat menyesal. Om minta maaf padanya karena belum bisa menjadi ayah terbaik untuknya." Ucap Om Fais lagi, kini matanya mulai berkaca-kaca. Aku bisa melihat ketulusan dari setiap perkataan beliau.

"Saya akan sampaikan pada Ghaitsa Om. Dia hanya merasa kecewa saja, tapi saya yakin itu hanya sementara. Dia sangat menyayangi Om Fais melebihi apapun. Dan saya juga berjanji akan selalu menjaganya. Tapi bolehkah saya minta sesuatu pada Om?" tanyaku pada beliau. Beliau mengangguk mempersilahkanku.

"saya ingin pernikahan itu dipercepat lusa. Saya ingin dia terus disamping saya, agar bisa melindunginya. Saya tidak bisa melihatnya terus menerus bersedih hati tanpa bisa berbuat apa-apa untuknya. Kalau diizinkan saya akan mengurus semua secepatnya." Ucapku dengan penuh keyakinan. 

Sebenarnya sudah sejak kemarin aku memikirkannya. Ketika aku melihat Ghaitsa terancam dan terluka tetapi aku hanya bisa diam melihatnya. Dan aku tak ingin melakukan hal yang sama lagi.

Beliau menghela napas sejenak. "Ya, saya izinkan. Saya percayakan Ghaitsa padamu Ka. Saya yakin kamu bisa menjaganya lebih baik dariku." Ucap Om Fais kemudian.

"selamanya tak ada yang pernah menggantikan Anda dari kehidupan Ghaitsa. Om tetap Ayah terbaik yang pernah dimilikinya." Ucapku mencoba menghibur hatinya.

"Iya Ka, terimakasih ya. Kamu bisa pergi sekarang, kasihan Ghaitsa sudah menunggu." Ucap Om Fais yang kujawab dengan anggukan paham. Aku menyalaminya dan pamit sebelum pergi.

"Oh iya Om, jika butuh bantuan untuk menyelesaikan masalah kantor aku akan siap membantu kapanpun." Tawarku sebelum meninggalkan beliau. Om Fais mengangguk dan tersenyum padaku.

"nanti kalau pulang kamu tunggu saja di ruanganku." Ucapku pada Ghaitsa sebelum masuk ke kampus. Dia mengangguk paham tanpa mengatakan apapun.

Aku masuk ke ruangan yang akan kuajar. Semua mata kuliah berjalan dengan lancar. Aku selesai mengajar pukul tiga sore. Apakah Ghaitsa sudah pulang? Aku mempercepat langkah menuju ke ruanganku. Aku berharap bisa melihatnya disana.

Benar saja dia sudah menyandarkan tubuhnya di sofa milikku. tapi ada yang aneh denganya. Dia tampak merintih sembari memegangi perutnya. Aku menghampirinya yang sedang memejamkan matanya itu.

"Kamu kenapa Sa?" tanyaku padanya. dia membuka matanya, wajahnya nampak pucat pasi.

"perut saya sakit." Ucapnya padaku dengan susah payah.

"Kamu sudah makan?" tanyaku padanya dan dia jawab dengan gelengan kepala. Dia hanya sarapan tadi pagi dan belum makan lagi.

"kenapa tidak makan? kamu punya maagh?" tanyaku dan dia mengangguk. Pantas saja dia terlihat lemas.

"dompetku tertinggal dan aku tak punya uang untuk membeli makanan." jelasnya padaku. aku sudah tak menghiraukan penjelasannya lagi. aku menghubungi dokter kampus untuk memeriksa Ghaitsa.

Tak lama dokter datang dan memeriksanya. Maaghnya kambuh, karena telat makan. dokter memberinya obat Maagh padanya. selama dokter memeriksa aku keluar untuk mencari makan di kanti kampus. Gadis itu memang ceroboh, bagaimana mungkin ia lupa membawa dompet ketika pergi. Lagipula kenapa ia tak menemuinya saja untuk meminta bantuan.

"lain kali kamu bisa menghubungiku jika butuh sesuatu. Kalau sakit begini kamu juga yang repot kan." Omelku padanya. ia tampak tak mendengarkanku karena masih berusaha mengunyah makanannya. Setelah makan dan minum obat aku mengajaknya untuk pulang.

Kami keluar dari kantor dan mendapati di luar sudah hujan deras. Aku melihatnya sudah tersenyum lebar. Wajah pucatnya sudah hilang entah kemana.

"kamu tunggu disini saja, aku akan ambil payung dulu di mobil." Ujarku padanya. akupun berlari menerobos hujan dan mengambil payung untknya. Walaupun aku tau dia tidak akan bermasalah jika terkena air hujan tapi aku mengkhawatirkan kesehatannya. Lusa kami akan menikah jadi aku harus menjaganya sebaik mungkin.

Baru aku tinggal beberapa menit dia sudah berada di bawah derasnya hujan. Wajahnya menengadah ke langit seakan tak ada buliran hujan yang mengenainya. Aku berjalan cepat menghampirinya dan memayungi dirinya. dia membuka matanya dan melihatku.

"bukannya sudah kubilang jangan hujan-hujanan. Kamu itu..." belum sempat aku menyelesaikan perkataanku dia sudah menghempaskan payung di tanganku. Payung itu terbang entah kemana. Lalu dia tersenyum padaku.

"sekali saja, sudah lama aku tidak bermain hujan." Pintanya dengan penuh harap. Aku menatap tajam kearahnya. tapi kata-kata berikutnya membuatku tak fokus lagi.

"sebentar saja, boleh ya Mas?" tanyanya lagi dengan puppy eyesnya. Apa katanya tadi? Dia memanggilku apa? Aku sampai terbelalak kaget mendengarnya. Dadaku bergemuruh, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Kenapa tubuhku merespon seperti ini?

"kamu memanggilku apa tadi?" tanyaku padanya. karena aku ingin mendengarnya lagi. telingaku ingin mendengarkan itu lebih sering dan lebih lama.

"Apa memangnya? Aku tak memanggil apa apa." Ujarnya berpura-pura tidak tahu. Aku menatap nyalang kearahnya. bagus sekali strateginya, dia berusaha seimut mungkin agar aku luluh padanya. lihat saja dia nanti.

"sudah cukup, ayo kita pulang." Ajakku padanya. dia tampak kesal karena harus menyudahi hujan-hujanan ini. 

Tapi mau tak mau dia mengikutiku naik ke dalam mobil. Dia tampak kedinginan dan menyilangkan kedua tangannya. dasar perempuan keras kepala, siapa suruh hujan-hujanan seperti itu.

***

PLUVIOPHILE ( END ✅️ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang