14. Terkunci, Lari, Darah Serigala

16 7 2
                                    

Cahaya api dari obor dalam genggaman salah satu prajurit mulai menyorot ke sana-kemari. Jocelyn berharap bisa mengecilkan tubuhnya, sementara Jaydon yang masih disumpal tak bisa mengatakan apa pun untuk membela diri dan hanya mampu berdoa dalam hati.

Kedua prajurit itu mulai berjalan dari kedua sisi panggung, langkahnya seirama menuju ke belakang. Jocelyn dalam keadaan terjepit, tidak ada celah baginya untuk kabur. Gadis itu menutup mulut dan hidung, kini dia bahkan takut bernapas. Matanya terpejam erat, sementara tubuhnya terus menegang selagi tiap langkah dari para penjaga terus terdengar mengikis jarak.

Tepat sebelum dua orang bertubuh tinggi itu melihat Jocelyn yang tengah meringkuk dalam keadaan berkeringat, kursi Jaydon terjatuh dengan bunyi gedebuk keras dan mereka buru-buru mengarahkan obor ke arah Jaydon.

“Apa yang membuat kalian lama sekali?” Zachary berteriak dari ambang pintu, dia mengumpati kedua anak buahnya yang membiarkan tawanan mereka menggeliat di lantai. Jaydon mencoba untuk terlihat seperti berusaha melarikan diri, walau kenyataannya justru tampak seperti cacing yang tengah berjalan.

Diteriaki seperti itu, kedua prajurit tadi buru-buru meninggalkan langkah mereka dari belakang panggung dan menghampiri Jaydon. Membuat kursinya berdiri lantas mulai menarik benda tersebut menuruni panggung, dan terus ke arah luar balai desa. Tepat setelah pintu balai tertutup dan bunyi slot kuncinya terdengar, Jocelyn meluruskan kaki dan membuang napas lega.

Dia merangkak, meraba lantai sembari mengingat-ingat benda-benda dalam ruangan gelap itu. Tangannya menggenggam pilar dinding yang digunakan sebagai bantuan berdiri. Sambil menatap sekeliling, gadis itu berusaha memikirkan cara untuk keluar sementara pintu depan terkunci dan pada penjaga sudah terbangun.

Tatapan Jocelyn terhenti pada jendela kecil persegi di dinding belakang ruangan, benda itu berdebu sekali sampai-sampai cahaya rembulan tak dapat masuk sempurna ke dalam. Namun, celah-celah lubang udara di atas kusen jendelanya masih memainkan pernah dengan baik. Tinggi jendela tunggal itu dua kali badan Jocelyn, gadis itu harus mendorong mimbar tua dari sudut ruangan ke bawah jendela tersebut untuk bisa naik.

Bahkan setelah berdiri di atas mimbar, dia masih kesulitan membuka jendela karena slot kuncinya macet. Jocelyn mengumpat pelan, tangannya perih karena akibat berusaha menarik gagang mungil pengunci jendela tersebut. Kesal, dia pun mengeluarkan belati pemberian Tucker dan mulai mencungkil tepi jendela geser tersebut. Berusaha membuat celah untuk menyisipkan jemari agar dapat mendorong kacanya ke kiri.

Urkh, sial,” umpat Jocelyn pelan, berkali-kali dia menoleh ke belakang untuk memastikan pintu balai desa masih tertutup. Kalau seseorang berjalan masuk sekarang, maka habislah sudah. Tidak ada kesempatan baginya untuk bersembunyi. Genggamannya pada gagang belati mengeras, masih berusaha menjungkit tepi jendela yang keras kepala dan tangannya yang lain sibuk menarik slot.

Gerah mulai dirasa sang gadis, leher dan keningnya mengeluarkan bulir-bulir keringat. Tangannya juga sama, ditambah rasa perih bukan main. Sepertinya lecet. Begitu suara kruk terdengar--seperti besi karatan yang akhirnya bergerak setelah sekian lama didiamkan--Jocelyn bernapas lega. Slot yang tadi berusaha ditariknya mulai bergerak sedikit, setelah digoyangkan ke kanan-kiri beberapa kali, akhirnya benda itu dapat memperbesar celah hasil mencungkil Jocelyn.

Gadis berjubah merah tersebut menyimpan belatinya ke balik baju, kedua tangan dia selipkan ke celah jendela dan mulai mengerahkan seluruh tenaga demi menggeser jendela. Tak sampai dua menit, benda persegi tersebut berhasil dibuka separuhnya dan Jocelyn melompat kecil, menahan tubuh dengan kedua lengan. Dia menarik napas, merasakan perih karena dadanya ditekan pada dinding kuat-kuat sementara jemarinya masih perih akibat kerja keras tadi.

Jantung Jocelyn mencelus, saat teriakan-teriakan berat saling bersahutan dari luar balai. Disusul bunyi denting besi dan anak-anak panah yang dilepaskan. Lolongan serigala bergema, mengirim sinyal bahaya ke seluruh tubuh Jocelyn. Gadis itu menginjak dinding, memberi dorongan pada tubuh agar bisa menjulurkan separuh badan ke luar jendela. Dia bahkan tak berpikir dua kali untuk melempar badannya ke atas salju, meskipun tahu betapa tingginya dinding balai desa dari permukaan tanah.

Jocelyn terlentang di atas salju, badan sakit semua. Namun, dia tak ada waktu untuk mengeluh dan merasakan nyeri punggung. Suara seruan-seruan bernada amarah, perintah-perintah Zachary untuk menembak, dan arahan-arahan darinya, masih tertangkap indera pendengaran Jocelyn. Hal itu seolah menjadi suntikan tenaga yang membuatnya berlari kencang, meninggalkan bagian belakang balai desa.

Begitu usai memutari bangunan kayu tersebut, Jocelyn terbelalak sebab kini di depannya. Berdiri kurang dari lima meter darinya, seekor serigala yang sama pada malam waktu itu. Tubuhnya besar, buku cokelatnya mengkilap. Makhluk itu melempar seseorang yang badannya tinggal separuh ke dinding rumah warga dan melolong ke arah bulan merah. Keempat kakinya lantas bergerak gesit menghindari lesatan-lesatan anak panah, seolah dia benar-benar hapal dari mana benda-benda tajam itu akan datang.

Jocelyn membeku. Kedua kakinya terasa seperti dipaku dalam tanah. Dadanya memberat, jantungnya seperti jatuh ke tanah. Gadis itu menggeleng. Bagaimana cara membunuhnya? Mengisi benak sang gadis. Dia hanya bersenjatakan satu belati, sementara prajurit berkuda milik Zachary yang membawa pedang serta panahan, juga warga desa dan kapaknya, bisa dihabisi oleh makhluk besar itu seorang.

Perut Jocelyn mulas, pandangannya mengabur. Dia menggeleng, cepat-cepat mengumpulkan kewarasan dan berusaha mengenyahkan rasa takut seperti malam itu. Perlahan, Jocelyn mengumpulkan keberanian sembari membayangkan wajah keluarganya, Tucker ... juga wajah Seamus. Kedua mata birunya mencari-cari Jaydon, sementara kakinya membawa tubuh kian dekat ke arah sang serigala yang masih mengamuk dan mengayunkan cakar ke mana-mana.

Tubuh kurus Jaydon yang sudah terlepas dari kursi, kini tengah sibuk mengiris temali yang mengikat kakinya. Dia terduduk di tengah alun-alun. Jaraknya sekitar lima puluh langkah dari depan pintu balai desa.

Jocelyn mempercepat larinya. Dia meluncur di atas lutut dan berhenti tepat di depan Jaydon ketika tali kakinya putus. Remaja laki-laki itu menggenggam lengan kakaknya, mereka berdua saling menarik selagi berdiri. Kedua kaki siap berlari menuju bangunan tua berdinding hitam, Gereja. Letaknya tak jauh dari balai desa. Cukup lurus ke sebelah kanan, ke arah sumur tua yang masih terisi air.

Jocelyn dan Jaydon berlari, serigala besar di belakang mereka mengikuti. Tucker dari atas atap rumah penduduk menembakkan panah, kali ini tepat mengenai punggung sang serigala. Makhluk itu melolong, tetapi mengabaikan Tucker dan fokus mengejar kedua bersaudara di depannya. Zachary mengadang makhluk buas tersebut, pedangnya diacungkan tinggi dan diayunkan melawan cakar besar. Tak butuh waktu lama, tubuh Zachary yang malang sudah tergigit dan diempas ke sisi lain desa.

“Larilah terus, Jay!” pinta Jocelyn. Gereja itu sudah dekat sekali dengan mereka. Namun, kedua tungkai manusia tidak seimbang dengan empat kaki serigala raksasa. “Lari! Jangan melihat ke belakang!" Jocelyn mendorong bahu Jaydon, membuatnya maju beberapa langkah sebelum sempat mengatakan apa pun.

Raut wajah kentara bingung dan khawatir. Namun, tetap berlari maju sesuai perintah kakaknya. Jocelyn berhenti dan berbalik. Jaydon berteriak menyerukan namanya.

Moncong besar serigala itu terbuka lebar-lebar, sementara Jocelyn berlari ke arahnya dengan belati perak di tangan kanan.

Jaydon tak lagi berlari. Dia berteriak, “JOCELYN BERHENTI!”

Jocelyn terpejam, serigala itu sudah sangat dekat. Tepat sebelum rahang makhluk buas itu memutus lehernya, Jocelyn tiarap di salju. Serigala besar itu berada di atas badannya, terlalu cepat berlari sampai tak sempat berhenti. Jocelyn berbalik, menusukkan senjatanya ke perut hewan besar di atasnya. Semua terjadi secepat detak jantung sang gadis bertudung merah. Kini wajahnya terciprat darah serigala.

Into the Red WoodsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang