Kho Ping Hoo
Suling Emas Dan Naga Siluman
Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di
sekeliling, berlumba megah menembus
awan. Sinar matahari pagi merah
membakar langit di atas puncak di timur,
mengusir kegelapan sisa malam dan
menyalakan segala se-suatu di permukaan
bumi dengan cahaya-nya yang merah
keemasan. Salju yang menutupi puncakpuncak
tertinggi seperti puncak-puncak
Yolmo Lungma (Mount Everest), Kancen
Yunga, dan Kongmaa La, berkilauan
dengan sinar merah matahari pagi, seolaholah
perut gunung-gunung itu penuh
dengan emas murni. Daun-daun pohon
yang lebat seperti baru bangkit dari tidur,
nyenyak dibuai kege-lapan malam tadi,
nampak segar berman-dikan embun yang
membentuk mutiara--mutiara indah di setiap
ujung daun dan rumput hijau. Cahaya
matahari mencip-takan jalan emas
memanjang di atas air Sungai Yalu Cangpo
yang mengalir te-nang, seolah-olah masih
malas dan ke-dinginan.
Sukarlah menggambarkan keindahan alam
di Pegunungan Himalaya ini di pagi hari itu.
Pagi yang cerah dan amat in-dah. Kata-kata
tidak ada artinya lagi untuk
menggambarkan keindahan. Kata-kata
adalah kosong, penggambaran yang mati,
sedangkan kenyataan adalah hidup, seperti
hidupnya setiap helai daun di antara jutaan
daun yang bergerak lembut dihembus angin
pagi.
Seperti biasa, dari semenjak dahulu sekali
sampai sekarang ini, yang bangun pagi-pagi
mendahului sang surya hanyalah burungburung,
hewan-hewan, dan manu-siamanusia
petani yang miskin! Orang kaya di
kota biasanya baru akan bangun dari kamar
mewahnya kalau matahari sudah naik tinggi
sekali!
Pegunungan Himalaya merupakan
pe-gunungan yang paling hebat di seluruh
dunia ini, paling luas, dan paling banyak
memiliki puncak-puncak tertinggi di dunia.
Memanjang dari barat ke timur se-bagai
tapal batas yang sukar diukur dan
ditentukan letaknya dari Negara-negara
India, Tibet, Nepal dan Bhutan.
Pegunungan Himalaya memiliki banyak
sekali gunung atau puncak-puncak yang
amat tinggi, yang tertinggi dan di atas tujuh
ribu meter adalah Puncak Dewi, Gurla
Mandhayaf Gosainthan, Yolmo Lungma
Kamet, Nanda Dhaula atau Giri, Chomo
Lungma atau Mount Everest sebagai
puncak tertinggi (8882 meter), dan Kan-cen
(Kincin) Yunga. Itu adalah deretan raksasaraksasa
puncak yang amat tinggi di
Pegunungan Himalaya. Dan di antara
puncak-puncak dan lereng-lereng, di antara
lembah-lembah yang amat curam,
mengalirlah Sungai Yalu Cangpo atau yang
juga dinamakan Sungai Brahmapu-tera.
Sungai Yalu Cangpo yang mengalir di
daerah Tibet menciptakan tanah subur bagi
para petani Tibet, sungguhpun me-reka
yang bekerja di sawah ladang itu hanyalah
buruh-buruh tani belaka karena semua
sawah ladang telah menjadi milik para tuan
tanah dan para pembesar yang berkuasa di
Tibet, di samping para pendeta yang
memiliki kekuasaan besar se-kali di negara
ini.
Pagi itu, sebuah perahu yang ditum-pangi
tiga orang didayung meluncur lam-batlambat
menentang aliran air, mera-yap
perlahan di tepi di mana arus tidak begitu
kuat. Mereka bertiga memakai pakaian
tebal karena hawa amatlah dinginnya. Di
sebelah tebing di mana perahu itu meluncur
lewat, nampak belasan orang petani Tibet
sedang bekerja mencangkul tanah. Sepagi
itu mereka sudah bekerja, dan dari
Choirul, maret 2008 2
pinggang ke atas mereka bertelanjang
sehingga narnpak otot-otot tubuh yang
kekar karena ter-biasa bekerja keras.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh
kokoh kekar, menghentikan cangkulnya
untuk melempangkan pinggang, mengurut
punggung lalu menarik napas panjang.
“Sudah lelah? Heh-heh, mengapa tidak
bernyanyi untuk melupakan kelelahan dan
menambah semangat?” temannya
menegur. Laki-laki yang bertubuh kokoh itu
tersenyum, kemudian mengembangkan
dada menghisap hawa udara sepenuh paruparunya
beberapa kali, dan tak lama
kemudian terdengarlah suara nyanyiannya
dalam bahasa Tibet. Suaranya nyaring,
bergema sampai jauh ke lembah dan
me-nyentuh permukaan air sungai, dan Si
Penyanyi ini menengadah seolah-olah
hendak mengadukan nasibnya dalam
nyanyian itu kepada puncak-puncak yang
menjulang tinggi menembus awan itu. Lagu
yang dinyanyikannya adalah lagu tua yang
amat disuka oleh para petani miskin.
“Wahai Yolmo Lungma yang tinggi!
Ahoi, Yalu Cangpo yang panjanq!
Dapatkah kalian memberi jawaban?
Kedua tangan ku kuat bekerja berat
namun tiada seperseratus yang dihasilkannya
menjadi bagianku untuk makan!
Aku punya hati
suaranya membeku di mulut,
telingaku disuruh tuli
mataku disuruh buta
nyawaku lebih murah daripada seekor
domba!
Wahai, Yolmo Lungma
sembunyikan aku di puncakmu yang tinggi!
Ahaoi, Yalu Cangpo,
tenggelamkan aku di airmu yang dalam!”
Tiga orang yang sedang mendayung
perahu itu saling pandang. Suara nyanyi-an
itu terdengar jelas oleh mereka yang berada
di bawah dan karena orang yang bernyanyi
tidak nampak dari perahu, maka terdengar
menyeramkan, apalagi karena suara itu
bergema di empat penjuru, dipantulkan oleh
air dan dinding batu gunung. Akan tetapi
tiga orang itu tentu saja tidak merasa takut,
apalagi karena mereka segera mengenal
lagu itu, sebuah lagu Tibet kuno yang
pernah dilarang oleh pemerintah Tibet
karena lagu itu pernah membakar semangat
para petani miskin sehingga hampir
menimbulkan pemberontakan. Akan tetapi,
biarpun sekarang tidak ada lagi rakyat
miskin di Tibet yang memberontak, lagu itu
masih digemari oleh para petani.
Tiga orang dalam perahu ini merupakan
tokoh-tokoh besar dari Kun-lun-pai.
Pegunungan Kun-lun memang terkenal
sebagal satu di antara tempat-tempat yang
dihuni banyak orang pandai, pertapapertapa
gemblengan, sungguhpun yang
paling terkenal tentu saja adalah
perkumpulan Kun-lun-pai yang merupakan
satu di antara partai-partai persilatan
terbesar. Tiga orang ini adalah tosu-tosu
yang bertapa di lereng Pegunungan
Kun-lun-san. Mereka ini adalah tosu-tosu
yang condong kepada aliran Im-yang. Yang
seorang berusia enam puluh tahun berju-luk
Hok Keng Cu, bertubuh jangkung kurus
dengan mulut yang selalu terse-nyum.
Orang ke dua juga berusia sekitar enam
puluh tahun, tubuhnya gendut tapi mukanya
pucat, julukannya Hok Ya Cu, masih sute
dari Hok Keng Cu. Sedangkan orang ke tiga
masih lebih muda, usianya empat puluh
lima tahun, wajahnya tam-pan dan
tubuhnya tinggi tegap, pakaian-nya
sederhana dan di punggungnya ter-gantung
sepasang pedang. Dia pun se-orang tosu
dari aliran lain, akan tetapi merupakan
sahabat baik dari Hok Keng Cu dan Hok Ya
Choirul, maret 2008 3
Cu. Orang ke tiga ini bernama Ciok Kam,
dan di dunia kang-ouw dia terkenal dengan
julukan Hui--siang-kiam (Sepasang Pedang
Terbang). Dari julukannya saja orang dapat
men-duga bahwa Hui-siang-kiam Ciok Kam
ini tentu mahir ilmu pedang pasangan dan
memiliki ginkang yang hebat. Dan me-mang
demikianlah adanya.
Apakah yang menarik tiga orang per-tapa
Kun-lun-san ini untuk melakukan perjalanan
sesukar dan sejauh itu, sampai di
Pegunungan Himalaya lewat Sungai Yalu
Cangpo? Bukan hanya mereka ber-tiga saja
yang pada waktu itu nampak berkeliaran di
daerah Pegunungan Hima-laya. Sudah
hampir sebulan lamanya, daerah
Pegunungan Himalaya yang ja-rang
dikunjungi orang itu ramai dengan
datangnya banyak sekali orang-orang kangouw
kenamaan, seolah-olah ada pesta
besar di pegunungan itu yang me-narik para
tokoh kang-ouw di seluruh Tiongkok.
Sesungguhnya bukan pesta yang menarik ,
para tokoh kang-ouw seperti besi
semberani yang kuat menarik jarum-jarum
halus itu, melakukan suatu berita yang
datangnya dari kota raja tentang lenyapnya
sebuah pedang pusaka yang disimpan di
dalam kamar pusaka istana kerajaan!
Kurang lebih dua bulan yang lalu, terjadilah
geger di kota raja karena pe-dang pusaka
kerajaan, satu di antara pu-saka-pusaka
yang paling diagungkan te-lah lenyap tanpa
bekas dari dalam gu-dang pusaka yang
terjaga ketat oleh pasukan pengawal! Tidak
terdengar suara sedikit pun, dan tidak
kelihatan ada ma-ling masuk, akan tetapi
ketika seperti biasa seorang pengawal yang
bertugas mengurus pusaka-pusaka itu
memasuki gudang untuk memeriksa,
pedang pusaka yang bernama Koai-liongpokiam
(Pedang Pusaka Naga Siluman) itu
telah hilang dari tempatnya!
Tentu saja gegerlah kota raja. Pedang ini
dianggap sebagai pusaka pelindung
keagungan keluarga Kaisar! Maka
dikerahkanlah pasukan di bawah pimpinan
orang-orang pandai untuk mencari jejak
pedang pusaka itu. Dan berita ini tentu saja
segera tersiar keluar dan gegerlah dunia
persilatan! Koai-liong-pokiam me-rupakan
pedang pusaka yang dianggap memiliki
wibawa melindungi keamanan atau
keagungan keluarga Kaisar, akan tetapi di
kalangan persilatan, di dunia kang-ouw,
pedang itu dianggap sebagai pedang ajaib
yang amat ampuh, yang dirindukan oleh
seluruh tokoh persilatan karena pernah ada
desas-desus bahwa siapa yang memiliki
pedang itu, akan sukarlah ditandingi, sukar
dikalahkan karena pedang itu ampuh bukan
kepalang!
Maka, bukan hanya pasukan kerajaan saja
yang sibuk melakukan penyelidikan untuk
mencari pencurinya dan mengem-balikan
pedang Koai-liong-pokiam ke Is-tana, akan
tetapi tokoh-tokoh kang-ouw mulai sibuk
untuk mencari pedang itu. Tentu saja hanya
sebagian di antara me-reka yang berusaha
mencari pedang un-tuk dikembalikan
kepada Kaisar agar memperoleh hadiah,
sedangkan sebagian besar pula ingin
memperoleh pedang itu untuk dimilikinya
sendiri!
Kemudian, sebulan yang lalu, tersiar berita
yang mengejutkan dan menggeger-kan lagi
bahwa pedang pusaka itu dilarikan oleh
pencurinya ke daerah Himalaya! Inilah yang
menarik semua tokoh kang-ouw
berbondong-bondong pergi mengun-jungi
daerah Pegunungan Himalaya untuk
mengadu nasib memperebutkan pedang
pusaka itu. Setidaknya, mereka akan
memperoleh tambahan pengalaman dan
daerah Himalaya memang merupakan
tempat suci yang telah memiliki daya tarik
besar bagi dunia persilatan!
Akan tetapi, dunia persilatan selalu terbagi
menjadi dua kelompok, kelompok pertama
terdiri dari partai-partai persi-latan yang
bersih dan para pendekar yang menjadi
pendukung kebenaran dan keadilan,
penentang kejahatan. Adapun kelompok ke
dua terdiri dari partai-par-tai gelap dan para
penjahat yang berkepandaian tinggi. Atau
istilahnya, golongan putih dan golongan
Choirul, maret 2008 4
hitam, atau kaum bersih dan kaum sesat!
Dan ketika ter-siar berita tentang Koai-liongpokiam,
bukan hanya golongan putih yang
geger, melainkan juga golongan hitam. Oleh
karena itu, yang kini membanjiri daerah
Himalaya bukan saja golongan putih
bah-kan lebih banyak pula golongan hitam
atau kaum sesat! Inilah yang menyebab-kan
daerah Himalaya tiba-tiba menjadi daerah
yang gawat dan berbahaya sekali.
Semenjak kaum sesat membanjiri daerah
ini, sudah banyak terjadi
pembunuhan-pembunuhan dan
penghadangan-penghadangan mereka
yang lewat di daerah itu, baik para
pedagang mau pun para pem-buru dan lainlain.
Daerah itu menjadi daerah rawan,
bahkan kabarnya siapa saja yang berani
lewat tentu akan diintai malaekat maut!
Dengan adanya berita ini, hanya tokohtokoh
besar yang berke-pandaian tinggi
saja yang berani melan-jutkan perjalanan
seorang diri, sedangkan mereka yang lebih
kecil nyalinya lalu mencari kawan dan
hanya dengan berkelompok mereka berani
melanjutkan perja-lanan mereka.
Tiga orang tosu dari Kun-lun-san inipun
seperti yang lain-lain, tertarik oleh berita
bahwa pedang pusaka Koai-liong--pokiam
itu dilarikan oleh pencurinya ke daerah
Himalaya, maka merekapun da-tang
berkunjung dan melalui jalan air Sungai
Yalu Cangpo. Perjalanan melalui air ini tidak
begitu melelahkan, akan tetapi bahayanya
tidak kalah besarnya. Apa lagi karena
perjalanan itu menen-tang arus sungai!
Namun, dengan bertiga mereka merasa
cukup kuat untuk melan-jutkan perjalanan
dan pada hari itu me-reka pagi-pagi sekali
telah tiba dibawah tebing yang curam dan
mendengar nyanyian petani Tibet dari atas
tebing.
Mendengar nyanyian itu, Hok Keng Cu dan
Hok Ya Cu hanya tersenyum. Mereka
berdua sudah tidak asing dengan daerah
Tibet karena sudah sering mereka
melakukan perjalanan ke daerah ini. A-kan
tetapi Hui-siang-kiam Ciok Kam baru
pertama kali ini melakukan perja-lanan ke
daerah pegunungan Himalaya. Bahkan dia
sampai berada di situ pura karena terbawa
oleh dua orang sahabat-nya. Maka, tidak
seperti kedua orang kawannya itu, baru
sekali ini dia mende-ngar nyanyian yang
nadanya penuh pena-saran itu. Dia menarik
napas panjang.
“Siancai....!” kata tosu muda ini.” A-gaknya
di ujung dunia yang manapun, kita selalu
akan bertemu dengan manusia-manusia
yang berkeluh kesah dan merasa hidupnya
sengsara!” Dia dapat menangkap keluhkesah
dalam suara nya-nyian itu.
“Ciok-toyu, itu adalah lagu rakyat petani
Tibet yang kuno,” kata Hok Ya Cu
menerangkan, lalu menterjemahkan lagu itu
dalam bahasa Han.
“Lagu itu penuh keluhan, membuat aku
penasaran saja “ Ciok Kam berka-ta
seorang diri, lalu dia bangkit seorang diri di
atas perahu, mengembangkan da-danya
dan terdengarlah tosu muda ini bernyanyi,
suaranya nyaring melengking karena
didorong oleh tenaga khi-kang yang cukup
kuat.
“Yolmo Lungma tinggi agung karena hening
Yalu Cangpo panjang tenang karena hening
manusia dengan segala kesibukannya
membuat gaduh, kacau dan sengsara,
sekali tidak puas selamanya tidak akan
puas!
Aih.... sebelum hayat meninggalkan badan
tak mungkinkah mengenal kecukupan?”
“Ha-ha, Ciok-toyu, siapakah yang kau cela
itu? Si penyanyi di atas itukah?” Hok Keng
Cu bertanya.
Ciok Kam tosu menarik napas panjang
“Sebagian juga mencela kita sendiri, ToChoirul,
maret 2008 5
heng. Bukankah karena ingin mencari
kepuasan maka kita berada di sini?”
Sebelum dua orang temannya itu ada yang
menjawab, tiba-tiba dari atas ter-dengar
teriakan yang bergema ke bawah, “Ahooii....
kalian yang berada dibawah!”
Hui-siang-kiam Ciok Kam melihat ke atas
dan ternyata yang berteriak itu adalah
seorang laki-laki yang kelihatan kecil dari
tempat curam itu, hanya nampak kepala
dan kedua pundak saja, akan tetapi dia
tidak mengerti apa yang dika-takannya
karena orang itu bicara dalam bahasa Tibet.
Hok Keng Cu yang mengerti bahasa itu,
segera berteriak dengan mengerahkan khikang
sehingga suaranya bergema sampai
ke atas tebing,
“Sobat, kau mau apakah?”
Orang di atas itu adalah si penyanyi tadi,
dan kini dia berkata lagi, “Hati-hati, jangan
lanjutkan perjalanan! Di lereng Kongmaa La
ada Yeti sedang mengamuk! Sudah banyak
orang dibunuh-nya!
Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu saling
pandang dengan muka kelihatan terkejut,
kemudian Hok Keng Cu menjawab nya-ring,
“Terima kasih atas pemberitahuan-mu....”
Lalu mereka melanjutkan pen-dayungan
perahu mereka, diikuti pan-dang mata
petani yang masih menjenguk ke bawah
dari tebing yang amat tinggi itu.
“Ah, apakah yang dikatakan orang itu tadi?”
tanya Ciok-tosu kepada dua orang
sahabatnya. Hok Ya Cu lalu menjelaskan
dan sepasang alis yang tebal dari tosu
muda itu berkerut.
“Apa dan siapakah yang dinamakan Yeti
itu?” tanyanya, “Kalau dia seorang sejahat
itu, sebaiknya kita bertiga mem-basminya!”
“Ciok-toyu, engkau tidak tahu! Dia bukan
manusia, kalau manusia, tentu dapat kita
hadapi dengan kaki tangan kita!” kata Hok
Keng Cu.
“Hemm, kalau begitu dia iblis?” tanya Cioktosu
dengan heran.
“Bukan juga, kalau iblis dapat kita hadapi
dengan kekuatan batin kita! Dia bukan
manusia bukan iblis, melainkan seekor
mahluk setengah manusia setengah
binatang yang amat buas, dan memiliki
kekuatan yang mujijat, tidak masuk akal!”
“Ehhh.... ?” Tosu muda itu makin kaget.
“Pinto (aku) rasa lebih baik kalau kita
mengambil tempat pendaratan lain dan
menjauhi, Kongmaa La itu, sungguh-pun
sebenarnya paling baik kalau me-ngambil
jalan dari gunung itu di mana terdapat jalan
buatan manusia yang mu-dah dilalui,” kata
pula Hok Keng Cu.
“To-heng, pernahkah engkau berhadap-an
dengan Yeti itu?” tanya Ciok Kam.
Yang ditanya menggeleng kepala. “Pin-to
dan juga Sute belum pernah bertemu
sendiri dengan Yeti.”
“Kalau begitu, mengapa Ji-wi To-heng
sudah begitu takut menghadapinya? Baik
dia itu manusia, atau iblis atau bina-tang,
kalau membunuh banyak orang, adalah
kewajiban kita untuk membasmi-nya!”
“Kami tidak takut, To-yu, hanya kami rasa
lebih baik kalau kita tidak mencari penyakit.
Kami hanya pernah mendengar saja
tentang Yeti itu, yang kabarnya tidak
terlawan oleh orang yang betapa kuat dan
pandaipun. Kabarnya, tenaganya melebihi
seekor gajah India, kulitnya kebal terhadap
segala macam senjata tajam dan kecepatan
,gerakannya tak masuk akal, dia mampu
mendaki gunung es dengan kecepatan
seperti terbang saja! Siapa orangnya
mampu menandingi mahluk seperti itu?”
Hui-siang-kiam Ciok Kam mengerut-kan
alisnya, akan tetapi sepasang mata-nya
Choirul, maret 2008 6
mengeluarkan sinar berapi karena hatinya
tertarik sekali. “Seperti apa ma-camnya, Toheng?
Aku ingin sekali melihatnya,”
“Kami belum pernah melihatnya, ha-nya
pendapat orang bermacam-macam. Ada
yang bilang seperti biruang, ada yang bilang
seperti monyet besar, ada yang bilang lagi
seperti manusia. Yang jelas, dia berjalan
dengan kedua kaki seperti manusia!”
Hening sejenak. Tiba-tiba Hui-siang-kiam
Ciok Kam berseru, “Ahh, jangan-jangan
mayat-mayat yang kita lihat te-rapung di
atas air sungai itu adalah korban dia!”
Dua orang sahabatnya termenung dan
mengangguk-angguk. Mereka pun sedang
memikirkan hal itu dan membayangkan
betapa sehari yang lalu mereka melihat tiga
mayat manusia berturut-turut tera-pung di
atas sungai dengan tubuh yang rusak-rusak
dan luka-luka.
“Tadinya pinto mengira bahwa mereka itu
korban kaum sesat yang kabarnya
mengganas di daerah Himalaya, akan tetapi
setelah pinto mendengar tentang Yeti yang
mengamuk, siapa tahu duga-anmu benar
To-yu.”
“Tapi.... di tubuh mayat-mayat itu terdapat
tanda seperti mereka terkena sabetan
pedang atau senjata tajam.” Ciok-tosu
membantah.
“Kuku tangan Yeti kabarnya tidak kalah
tajam dan kuatnya dari pada ujung pedang
manapun juga!” kini Hok Ya Cu ikut bicara.
Mereka mendayung terus dan tidak berkatakata
lagi, tenggelam dalam pi-kiran masingmasing
dan cerita tentang adanya Yeti
mengamuk itu berkesan mendalam sekali
dalam hati mereka. Matahari telah
menampakkan diri dan sinarnya menyusup
di antara daun-daun pohon yang tumbuh di
kanan kiri tebing yang kini tidak begitu tinggi
lagi, hanya setinggi belasan meter saja.
Mulai nam-pak keindahan pemandangan, di
kanan kiri sungai. Pohon-pohon raksasa
dan semak-semak belukar yang sukar
sekali ditem-bus manusia, dan jauh di
kanan kiri menjulang puncak-puncak tinggi
yang tertu-tup awan dan salju. Hawa masih
dingin sungguhpun sinar matahari cukup
cerah di pagi itu.
Disebelah kiri nampaklah sebuah gu-nung
yang kuning kehijauan, berbeda dengan
gunung lain di kanan kiri yang hijau biru
kehitaman. Warna terang gu-nung
disebelah kiri itu menyenangkan dan
menimbulkan harapan, tidak menyeram-kan
seperti warna gunung-gunung lain yang
membayangkan keliaran.
“Gunung apakah itu?” Ciok-tosu yang
merasa tertarik menuding dan bertanya.
“Itulah Kongmaa La.... “ jawab Hok Keng Cu
dengan suara lirih, seolah-olah dia merasa
jerih, Ciok-tosu menengok dan melihat
betapa dua orang sahabatnya itu
memandang ke arah gunung itu pula
dengan wajah agak pucat. Timbul rasa
penasaran dalam hatinya. Dia tahu bahwa
dua orang sahabatnya itu bukan orang
lemah, meainkan sudah terkenal sebagai
tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.
Mengapa kini memperlihatkan sikap
demikian takut dan pengecut? Sikap dua
orang temannya itu tiba-tiba saja
membangkitkan rasa penasaran dan
semangat di dalam dadanya.
“Pinto mau mendarat di sana!” tiba-tiba dia
berkata
“Ehh....?” Hok Keng Cu berseru.
“Berbahaya sekali, Ciok-Toyu!” seru Hok
Ya Cu menyambung.
“Kalau Ji-wi To-heng tidak berani, biarlah
pinto sendiri saja melanjutkan perjalanan
lewat Kongmaa La!” Melihat dua orang
sahabatnya itu saling pandang dan meragu
untuk menjawabnya, Ciok-tosu
menyambung. “Bukankah Ji-wi mengajak
pinto untuk menjelajahi Himalaya dengan
maksud mencari pencuri pedang pusaka
Choirul, maret 2008 7
Koai-liong-pokiam? Kalau kita takut bahaya,
mana mungkin akan berhasil? Siapa tahu,
berita tentang Yeti itu akan membawa kita
kepada jejak si pencuri pedang pusaka!”
Mendengar ini, dua orang tosu itu terkejut
saling pandang, mengangguk-angguk,
kemudian Hok Keng Cu berkata. “Baiklah,
kita mendarat dan melalui Kongmaa La!”
Hok Ya Cu hanya mengangguk saja,
menyetujui ucapan suhengnya. Mereka lalu
mendayung perahu ke tepi, mencari tempat
pendaratan yang baik di kaki Gunung
Kongmaa La itu. Di bagian ini memang
tidaklah seliar bagian lain dan akhirnya
mereka dapat mendarat, mena-rik perahu
ke atas, lalu menyembunyikan perahu itu di
dalam semak-semak.
***
“Ini namanya Lembah Arun!” kata Hok Keng
Cu yang lebih berpengalaman dengan
keadaan daerah Himalaya itu. Hok Ya Cu
dan Ciok Kam memandang ke kanan kiri.
Pemandangan alam di tempat itu sungguh
menakjubkan sekali. Di sebelah kiri
menjulang tinggi sebuah gunung yang
puncaknya tertutup awan dan salju, dan di
sebelah kanan, agak jauh lagi, juga
menjulang tinggi puncak yang agaknya
setengah tubuhnya tertutup” salju dan
awan. Mereka berada di te-ngah-tengah,
antara dua tiang dunia yang seperti
menyangga atap langit itu. Menyaksikan
kemegahan yang luar biasa ini, yang baru
dilihatnya selama hidupnya, Ciok Kam
menahan napas.
“Betapa hebatnya kekuasaan To!” dia
menggumam, takjub dan terpesona oleh
keindahan itu.
Memang indah! Hanya satu kata itu saja
yang tepat. Indah! Tidak ada apa-apa lagi!
Siapa gerangan mampu meng-gambarkan
keindahan, keagungan, kebe-saran yang
demikian hebat? Yang dapat
menggambarkan secara tepat hanyalah
satu keadaan, yaitu HENING! Di dalam
keheningan sajalah, di waktu hati dan
pikiran tidak sibuk menilai dan
mem-banding-banding dari sudut selera dan
keuntungan diri pribadi, maka segala
keindahan itu pun nampaklah jelas. Akan
tetapi, sekali pikiran masuk dan menilai,
membandingkan keindahan itu, berusaha
mengabdikannya dalam ingatan, maka
keindahan itu pun lenyaplah, hanya
men-jadi gambaran yang menimbulkan
kese-nangan belaka yang akhirnya akan
mem-bosankan!
Dalam keadaan hening, terasa sekali
keagungan Sang Maha Pencipta dan
cip-taan-Nya yang terbentang luas di alam
maya pada, terasa sekali kemujijatan yang
terkandung di dalam segala sesuatu, dari
tumbuhnya setiap helai bulu dan rambut di
tubuh kita sendiri seperti tumbuhnya pohonpohon
di hutan, dari setiap urat syaraf di
tubuh kita sendiri seperti sumber-sumber air
di bawah per-mukaan bumi sampai kepada
kehebatan segala yang nampak di angkasa,
awan, bulan, matahari, bintang-bintang.
Dalam keheningan memandang semua itu,
tera-salah bahwa kita adalah bagian dari
se-mua itu, tidak terpisah, sudah berada di
dalam suatu ketertiban yang selaras dan
ajaib. Namun sayang, kita terlalu sibuk
dengan pikiran yang setiap saat menge-jarngejar
kesenangan yang sesungguhnya
hampa itu, kesenangan sebagai pemuasan
nafsu belaka. Kita tidak lagi menghargai
semua keajaiban itu, kita hanya mampu
menghargai bayangan-bayangan khayal,
hanya tertarik akan nama-nama dan
se-butan-sebutan belaka. Kita boleh
cen-derung untuk menggambarkan,
menanam-kan dan menyebut semua itu
menjadi pengetahuan teoretis, menjadi
bahan perdebatan dan percekcokan,
memperta-hankan pendapat masing-masing
tentang yang maha besar itu! Betapa lucu
namun menyedihkan. Kita lebih tertarik
akan asapnya sehingga hanya
mendapatkan abunya belaka tanpa
menghiraukan apinya sehingga klta
kehilangan cahaya dan apinya itu!
Choirul, maret 2008 8
Tiga orang tosu itu sejenak terpesona oleh
keindahan yang membentang luas di depan
mata mereka itu sehingga mereka
kehilangan suara untuk bicara lagi. Mereka
lalu duduk di atas rumput dan rasa lapar
membuat mereka membuka bekal roti
kering mereka, lalu makan roti ke-ring yang
dicelup air jernih yang mereka dapat ambil
sebanyaknya di tempat itu karena dari
dinding batu-batu mengalir sumber-sumber
air kecil yang amat jer-nih.
Lembah Arun berada di dalam wila-yah
Kerajaan Nepal Timur. Lembah Arun adalah
lembah sungai yang paling curam di dalam
dunia ini, suatu tempat yang indah namun
terasing dari manusia dan keadaannya
sungguh luar biasa, penuh dengan suasana
keramat dan penuh raha-sia, penuh dengan
hutan-hutan indah namun liar tak pernah
tersentuh tangan dan terinjak kaki manusia.
Letaknya lembah ini di antara dua puncak
yang tertinggi, yaitu Puncak Yolmo Lungma
yang merupakan puncak tertinggi di du-nia
dan Puncak Kancen Yunga yang
me-rupakan puncak nomor tiga tertinggi di
dunia.
Di depan, adalah daerah gunung dan
puncak Kongmaa La, yang merupakan
daerah yang nampak berbeda dari jauh
dengan gunung-gunung lain di sekeliling
daerah Pegunungan Himalaya itu. Sambil
makan dan minum secara sederhana itu,
hanya roti kering dan air jernih, mereka
bercakap-cakap. Akan tetapi aneh sekali,
menghadapi kebesaran alam yang
sedemi-kian agungnya, mereka merasa
betapa suara mereka terdengar hambar dan
di-telan keheningan yang demikian luas.
Akhirnya mereka menghentikan
percakap-an sampai perut mereka terasa
kenyang.
“Mari kita lanjutkan perjalanan. Ma-tahari
sudah naik tinggi dan kalau tidak ada
halangan, sebelum senja kita dapat
mencapai pondok batu di lereng depan itu,
pondok kosong yang dulu menjadi tempat
pertapaan seorang pertapa tua yang telah
lama meninggal dunia. Hanya pondok itulah
satu-satunya tempat yang baik untuk kita
dapat melewatkan malam di daerah ini!”
kata Hok Keng Cu yang sudah
berpengalaman di tempat itu.
Mereka bangkit dan mulai berjalan menuju
ke barat. Melihat suasana yang amat sunyi,
mau tidak mau muncul kem-bali bayangan
mahluk yang dinamakan Yeti itu di benak
Ciok-tosu, maka dia lalu bertanya kepada
Hok Keng Cu.
“To-heng, sebetulnya, apakah artinya Yeti
itu?”
Hok Keng Cu mengerutkan alis
me-mandang ke kanan kiri, seolah-olah
me-rasa takut membicarakan mahluk itu.
Siapa tahu kalau dibicarakan mahluk itu
akan muncul di depan mereka! Akan te-tapi
karena dia tidak mau dianggap pe-nakut,
dengan lirih dia menjawab, “Yeti itu asalnya
dari bahasa Tibet Yeh-teh. Yeh artinya
daerah berbatu dan Teh artinya mahluk.
Jadi Yeti dinamakan mahluk dari daerah
berbatu oleh bangsa Tibet.”
Ciok Kam mengangguk-angguk, kagum
akan pengetahuan kawannya itu. Akan
tetapi dia masih penasaran dan bertanya
lagi. “Mengapa dinamakan mahluk, apa-kah
belum ada ketentuan dia itu sebe-narnya
apakah? Binatang, manusia, atau-kah
setan?”
“Sstt.... Toyu, hati-hatilah kalau bica-ra....!”
Hok Ya Cu berbisik, mukanya berubah
pucat.
“Tidak mengapa,” Hok Keng Cu ber-kata.
“Ciok-toyu bukan bermaksud meng-hina
melainkan karena memang ingin, sekali
tahu. Dengarlah, Ciok-toyu, sebe-tulnya
hampir tidak ada manusia yang dapat
menceritakan dengan jelas bagai-mana
sesungguhnya Yeti itu. Yang masih hidup
dan dapat bercerita, hanya melihat- Yeti
dari kejauhan saja, sedangkan yang pernah
berhadapan muka selalu tentu.... tewas!
Dan dari keterangan mereka yang
melihatnya dari jauh ada yang mengatakan
Choirul, maret 2008 9
bahwa mahluk itu menyerupai seekor
burung besar, dan ada pula yang
menga-takan menyerupai seekor monyet
besar. Akan tetapi semua mengatakan
bahwa dia berjalan di atas kedua kaki
seperti manusia dan bahwa tubuhnya tinggi
besar menakutkan.”
Penggambaran tidak jelas tentang Yeti itu
yang diucapkan dengan suara agak
gemetar oleh Hok Keng Cu me-nimbulkan
suasana menyeramkan sehingga mereka
kini tidak banyak bicara lagi. Akan tetapi,
suasana menyeramkan itu terhapus oleh
keindahan yang makin mempesona ketika
mereka mendaki ma-kin tinggi. Memang
luar biasa sekali kalau berdiri di suatu
tebing dengan awan-awan bergerak di
depan kaki. Se-olah-olah dengan
mengulurkan tangan saja orang akan dapat
menangkap domba-domba putih berarak di
angkasa itu! Hawa juga menjadi semakin
dingin kare-na mereka makin mendekati
puncak yang tertutup salju.
Mereka kini tiba di daerah yang ber-batu.
Batu-batu gunung yang hitam licin dan
tajam sehingga biarpun tiga orang itu
merupakan tokoh-tokoh persilatan yang
berilmu tinggi, mereka harus me-langkah
dengan hati-hati kalau mereka tidak ingin
sepatu mereka pecah-pecah oleh tusukan
batu-batu runcing. Matahari telah naik
semakin tinggi, mulai agak condong ke
barat, membuat bayang-bayang pendek di
belakang mereka.
Mereka berjalan beriring-iringan, karena
masing-masing harus memperhatikan ba-tubatu
di bawah kaki mereka. Mereka
berloncatan, berjingkat-jingkat, hati-hati
sekali dan mengerahkan gin-kang sehingga
tubuh mereka dapat bergerak ringan se-kali,
Hok Keng Cu sebagai penunjuk jalan
berada paling depan, lalu disusul sutenya,
baru kemudian Ciok-tosu berada paling
belakang. Akan tetapi tosu termuda ini tidak
pernah tertinggal, karena dalam hal ginkang,
dia lebih unggul daripada dua orang
sahabatnya sehingga melalui jalan berbatubatu
itu tidak berapa sukar baginya. Tibatiba
terdengar Hok Keng Cu berseru
tertahan dan tosu tua ini berjongkok di atas
batu besar, matanya menatap ke bawah, ke
balik batu besar itu.
Hok Ya Cu dan Ciok Kam yang sudah
mencium bau busuk, cepat menghampiri
dan ketika dia memandang, ternyata di balik
batu besar itu terdapat mayat dua orang
pria yang sudah mulai membusuk! Melihat
pakaian mereka, dua mayat itu tentulah dia
orang ahli silat, dengan pakaian ringkas
seperti pakaian para piauwsu atau kauwsu
(pengawal barang atau guru silat), usia
mereka sukar di-taksir karena muka itu
sudah membeng-kak dan menghitam. Tak
jauh dari situ nampak sebatang golok dan
sebatang pe-dang menggeletak di antara
batu-batu. Jelas nampak bahwa leher
kedua orang itu terobek dan luka yang
menganga itu sungguh mengerikan untuk
dipandang.
“Lihat ini....!” Ciok-tosu berseru. Dua orang
tosu tua itu menengok dan melihat betapa
sahabat mereka itu telah meng-ambil
pedang dan golok, mengacungkan kedua
benda tajam itu. Mereka mendekat dan
melihat bahwa dua buah senjata itu telah
rompal dan rusak, seperti telah
dipergunakan untuk membacok baja saja.
Ciok-tosu mencoba mata pedang dan golok
dengan jarinya dan mendapat ke-nyataan
bahwa dua buah senjata itu ter-buat dari
logam yang cukup baik. Dia melempar
kedua benda itu keras-keras ke atas batu.
Terdengar suara nyaring yang mengejutkan
dan nampak bunga api ber-pijar, tanda
bahwa dua senjata itu me-mang cukup kuat.
Namun dua buah sen-jata itu rompal dan
rusak!
Mereka bertiga saling pandang dan sinar
mata mereka masing-masing jelas
mengucapkan suatu kata yang sama. Yeti!
“Mari kita melanjutkan perjalanan!” akhirnya
Hok Keng Cu berkata lirih. Suaranya jelas
terdengar gemetar dan tidak lancar.
Choirul, maret 2008 10
“Tapi.... tapi kita harus mengurus mayatmayat
ini....“ kata Ciok-tosu sam-bil
memandang kepada dua mayat itu.
“Ah, kita tidak ada waktu, To-yun jangan
sampai kita terlambat tiba di pondok batu
itu. Pula, tempat ini penuh batu, mana
mungkin mengubur mayat? Marilah!” Hok
Keng Cu mendesak dan Ciok-tosu akhirnya
menurut juga karena memang sukarlah
mengubur mayat di tempat seperti itu.
Hatinya sedih melihat mayat manusia
berserakan seperti itu tak-terurus.
Bayang-bayang di belakang tubuh me-reka
makin memanjang ketika matahari makin
condong ke barat, di depan mere-ka.
Mereka kini tiba di daerah padang rumput
dan wajah Hok Keng Cu nampak lega. “Kita
sudah hampir sampai, di le-reng sana itu.
Mari cepat kita capai tempat itu dan
berisitirahat!” Biarpun mulutnya tidak
menyebut tentang Yeti namun dua orang
teman seperjalanannya maklum bahwa tosu
ini merasa lapang dadanya karena tidak
ada mahluk menge-rikan itu mengganggu
mereka.
Akan tetapi, ketika mereka maju ku-rang
lebih dua ratus meter lagi, tiba-tiba Hok
Keng Cu yang berjalan di depan, meloncat
ke belakang dan berseru, “Sian-cai....!”
Dua orang temannya cepat mengham-piri
dan mereka terbelalak. Tak jauh dari situ,
tertutup rumput yang agak tinggi nampak
berserakan beberapa tubuh manu-sia! Dan
mereka semua telah menjadi mayat dan
melihat darah yang masih berceceran di
mana-mana mudah diketa-hui bahwa
peristiwa pembunuhan atas diri mereka itu
belum lama terjadi, mungkin baru beberapa
jam yang lalu! Mereka mencari-cari dan
menemukan tujuh buah mayat manusia di
sekitar tempat itu. Semuanya terluka di
leher dan perut atau dada, luka lebar seperti
dibacok golok atau pedang yang tajam, dan
hampir semua mayat itu matanya terbelalak
lebar, seolah-olah mereka itu dilanda
ketakutan hebat sebelum mereka tewas.
Ciok Kam sudah mencabut pedang
pasangan dari punggung dan kini dengan
kedua tangan memegang pedang dia
ber-diri memandang ke sekeliling.
Bermacam perasaan mengaduk hati tosu
muda ini. Ada perasaan gentar, akan tetapi
juga ada perasaan penasaran dan marah.
Dia maklum bahwa yang membuat orangorang
ini adalah sesuatu yang amat kuat,
karena ketujuh orang ini pun semua
me-rupakan orang-orang yang ahli dalam
ilmu silat, melihat dari pakaian mereka dan
juga dari senjata-senjata yang berse-rakan
di tempat itu. Dan ini tidaklah
mengherankan karena siapa lagi kalau
bukan ahli-ahli silat yang berani datang ke
daerah ini? Dan siapa lagi kalau bu-kan
orang-orang kang-ouw yang datang ke situ
dengan maksud yang sama, yaitu mencari
pedang pusaka Koai-liong-po-kiam? Dan
ternyata tujuh orang kang-ouw ini mati
begitu saja secara mengeri-kan sekali di
tempat ini. Benarkah kalau begitu
peringatan petani tadi bahwa tempat ini
berbahaya, bahwa Yeti sedang mengamuk.
Akan tetapi benarkah Yeti yang
mengamuk?
“Hei, manusia atau mahluk jahat, keluarlah
dan tandingi sepasang pedang-ku!”
teriaknya.
Dua orang sahabatnya terkejut sekali.
“Ciok-toyu, jangan begitu! Mari kita cepat
pergi ke pondok itu sebelum ter-lambat!”
seru Hok Keng Cu.
“To-heng, ada kejahatan macam ini dan kita
diam saja malah melarikan diri? Tidak!
Kurasa bukan Yeti yang melaku-kan ini,
melainkan kaum sesat yang ka-barnya
banyak pula berkeliaran di daerah ini!” kata
Ciok Kam yang sudah marah sekali melihat
begitu banyak orang dibu-nuh.
“Ciok-toyu, engkau ikut bersama pin-to,
harap engkau menurut dan tidak usah
menyusahkan pinto. Kalau kau tidak mau,
biarlah pinto berdua pergi sendiri ke
pondok!” kata Hok Keng Cu dan nada
suaranya terdengar marah.
Choirul, maret 2008 11
Ciok Kam sadar dan maklum bahwa dia
memang telah terburu nafsu. Dua orang
tosu sahabatnya itu adalah orang-orang
pandai kalau sampai mereka nam-pak
begitu ketakutan tentu ada sebabnya. Dia
sendiri merasa kini bahwa sikapnya tadi
terlalu lancang dan nekat, menurutkan
kemarahan hati saja.
“Baiklah, To-heng, mari kita pergi!” katanya
akan tetapi ketika dia mengikuti dua orang
tosu itu, dia tetap memegang kedua
pedangnya dalam keadaan siap tempur.
Akhirnya, dengan tergesa-gesa, Hok Keng
Cu membawa dua orang teman
seperjalanannya itu ke dinding gunung yang
amat tinggi dan di situ terdapat sebuah
pondok batu yang sebenarnya lebih mirip
sebuah guha yang tertutup oleh sebuah
batu besar. “Bantu pinto menggeser pintu
batu ini!” katanya dan mereka bertiga
mengerahkan tenaga mendorong batu
bundar besar yang menu-tupi lubang guha.
Hanya dengan penge-rahan tenaga
sekuatnya dari mereka ber-tiga, akhirnya
perlahan-lahan batu bundar itu dapat
digeser minggir dan terbukalah sebuah
lubang guha yang cukup lebar. Mereka
segera memasuki guha itu. Guha itu luas
dan nampak burung-burung walet
berseliweran di sebelah dalam.
“Batu itu dapat didorong menutup dari
dalam. Kalau bahaya, kita tinggal
meng-gesernya menutup lagi dan kita aman
sudah.” kata Hok Keng Cu dengan nada
suara lega. “Sekarang lebih dulu kita
mengambil air untuk persediaan semalam
ini. Juga kayu-kayu kering untuk mem-buat
api unggun. Besok pagi-pagi kita
melanjutkan perjalanan.”
Diam-diam Ciok-tosu tidak setuju dengan
sikap yang amat takut-takut ini, akan tetapi
dia tidak banyak bicara, lalu membantu dua
orang temannya itu men-cari air jernih di
luar pondok batu guha, menampung air itu
di gentong batu yang terdapat di dalam
guha itu, juga me-ngumpulkan kayu kering
secukupnya. Kemudian mereka bertiga
duduk di dalam pondok, mengaso sambil
menanti datangnya malam. Sinar matahari
sore masih me-masuki guha dari pintu yang
terbuka itu.
“Besok pagi kita ke manakah?” Akhir-nya
Ciok Kam bertanya untuk menghi-langkan
kekesalan hatinya.
“Ke Lereng Gunung Yolmo Lungma yang
disebut Lereng Awan Merah. Di sa-nalah
pusat pertapaan, dan di sana kira-nya kita
akan dapat mencari keterangan tentang
pedang pusaka itu. Tentu se-orang di
antara para pertapa ada yang tahu, pinto
yakin bahwa ke sana pula perginya semua
orang kang-ouw yang mengunjungi daerah
ini untuk mencari pedang pusaka itu.”
“Masih jauhkah dari sini?”
“Tidak jauh lagi, perjalanan tiga hari menuju
ke barat. Setelah tiba di kaki Yolmo Lungma
akan nampak lereng di sebelah timur, di situ
nampak dinding batu gunung yang
kemerahan sehingga kalau tertimpa sinar
matahari, warna merah memantul ke atas
membuat awan-awan di atasnya agak
kemerahan. Karena itulah dinamakan
Lereng Awan Merah.”
“Mengapa banyak pertapa berkumpul di
sana?”
“Karena daerah itu selain amat indah dan
sejuk hawanya, juga memiliki tanah subur
untuk ditanami sayur-sayuran.”
Malam pun tibalah. Mereka bertiga lalu
menggeser batu penutup lubang itu dari
dalam dan mereka merasa aman. Api
unggun telah dinyalakan dan di ba-wah
penerangan api unggun ini mereka makan
roti tawar dan minum air yang mereka
sediakan tadi. Sesudah itu, mereka mulai
merebahkan diri untuk mengaso dan tidur.
Api unggun bernyala di dekat mereka,
antara mereka dengan pintu guha batu. Tak
lama kemudian api ung-gun itu padam akan
tetapi mereka tidak mengetahuinya karena
Choirul, maret 2008 12
mereka telah tidur pulas saking lelahnya.
Sinar matahari pagi telah menerobos
melalul celah-celah kecil di tepi pintu batu
yang masih menutup lubang guha ketika
Ciok Kam terbangun dari tidur-nya.
Kebetulan dia tidur menghadap pin-tu dan
sinar matahari yang kecil itu tepat menimpa
mukanya. Dia menjadi silau, menggosokgosok
matanya dan merasa kaget karena
sinar matahari kecil itu disangkanya dalam
keadaan setengah sadar seperti mata
seekor mahluk yang menakutkan! Akan
tetapl dia segera sa-dar dan merasa geli
sendiri, lalu bangkit duduk dan menggarukgaruk
mukanya di mana terdapat bintulbintul
kecil.
“Hem, di tempat seperti ini ada juga
nyamuknya.” gerutunya. Tiba-tiba dia
melihat betapa sinar kecil dari matahari
yang dapat menyusup antara celah batu
dan guha itu menjadi gelap, seperti ada
sesuatu yang menghalanginya di depan
pintu batu. Cepat Ciok Kam bangkit berdiri
dan terbelalak memandang ke arah batu
besar bundar itu. Ada orang di luar,
pikirnya. Dan orang itu yang tadi lewat
sehingga sejenak menggelapkan sinar itu.
Kini sinarnya sudah masuk lagi dan dia
memperhatikan. Pendengarannya yang
terlatih baik segera dapat menang-kap
suara aneh di luar batu penutup guha itu.
Suara gerakan-gerakan berat dan juga
suara pernapasan yang membuat dia
terbelalak, karena napas itu begitu berat
dan panjang, mendengus-dengus! Bukan
pernapasan manusia! Agaknya ada
binatang buas di luar guha. Cepat dia
mehghampiri dua orang tosu tua yang
masih tidur itu, mengguncang-guncang
mereka dan menggugah mereka dengan
bisikan-bisikan tegang. “Lekas Ji-wi
To-heng, bangunlah!”
Dua orang tosu itu terbangun dan terkejut,
akan tetapi sebelum mereka bertanya, Cioktosu
menuding ke arah pintu. Kini terdengar
gerakan-gerakan yang lebih keras dan dua
orang tosu itu sudah meloncat berdiri
dengan mata ter-belalak.
“Jangan khawatir, kita di sini aman,
terlindung pintu bundar itu!” Hok Keng Cu
berkata dan tangannya meraba saku-nya.
Tosu ini tidak membawa senjata, akan
tetapi dia mempunyai senjata yang amat
ampuh, yaitu sabuk sutera putih yang
dililitkan di pinggang. Dia ahli main cambuk
dan sabuk ini dapat dimainkan sebagai
senjata cambuk untuk menotok jalan darah
lawan. Sementara itu, Hok Ya Cu juga
sudah mengeluarkan pedang tipis yang
biasanya disembunyikan di bawah jubah
pertapaannya. Ciok-tosu sudah mencabut
sepasang pedangnya dan berdiri dengan
hati berdebar. Mereka bertiga menanti
dengan tegang, sama sekali tidak bergerak,
seperti telah men-jadi arca batu di dalam
guha batu itu, mata mereka memandang ke
arah batu bundar penutup guha, ke arah
sinar kecil dari matahari yang menerobos
masuk.
Tiba-tiba terdengar suara keras dan batu
bundar yang amat besar dan berat itu
bergerak! Tiga orang tosu itu terke-jut dan
melihat betapa celah-celah yang dimasuki
sinar matahari itu makin mem-besar, Hok
Keng Cu berteriak. “Cepat pertahankan
pintu itu jangan sampai ter-buka!” Mereka
berloncatan ke dekat pin-tu, lalu tiga pasang
tangan yang me-ngandung kekuatan sinkang
yang besar itu memegang dan
mendorong kembali pintu batu ke kiri. Akan
tetapi, ada ke-kuatan dahsyat dari luar yang
menentang dan yang mendorong pintu itu
ke kanan. Terjadilah adu kekuatan yang
amat he-bat, dilakukan dengan diam-diam
di tem-pat yang asing dan aneh itu dalam
sua-sana yang amat menyeramkan dan
mene-gangkan. Terdengar suara dari luar,
seperti suara singa menggereng atau
hari-mau mengaum sehingga suara itu
meng-getarkan bumi sampai kedalam guha.
Setelah terdengar suara dahsyat ini, tenaga
yang mendorong batu bundar ke kanan
semakin kuat! Tiga orang tosu itu
mempertahankan, namun mereka ikut
Choirul, maret 2008 13
terdorong ke kanan! Celah-celah makin
melebar dan lubang itu hampir nampak!
“Lepaskan dan terjang keluar! Di dalam
tidak leluasa!” Hok Keng Cu tiba-tiba
berseru setelah mendapat kenyataan
bahwa tenaga mereka bertiga masih tidak
mampu mempertahankan batu besar yang
didorong terbuka dari luar itu.
Ketika tiga orang tosu itu menarik kembali
tangan mereka, batu besar itu dengan cepat
terdorong ke kanan dan terbukalah guha itu.
Mereka agak silau oleh masuknya sinar
matahari yang ce-rah, akan tetapi mereka
sudah berloncat-an keluar guha dan telah
mempersiapkan senjata di tangan. Ketika
tiba di luar dan membalik, mereka bertiga
terbelalak dan wajah mereka pucat ketika
mereka melihat mahluk yang berdiri di
depan mereka.
Mahluk itu tingginya dua meter lebih,
tubuhnya berbulu pendek kasar, bulu yang
warnanya merah coklat kehitaman, de-ngan
totol-totol putih di bagian dada. Bulu rambut
tubuhnya yang kasar itu agak panjang di
bagian kedua pundaknya, menutupi pundak
seperti baju bulu. Mu-kanya agak rata,
bersih tidak berambut, seperti muka monyet
besar yang lebih mirip manusia daripada
monyet. Mulutnya lebar, ketika itu
menyeringai marah memperlihatkan gigi
yang besar-besar seperti gigi manusia
bentuknya, tidak ber-sihung. Kepalanya di
bagian atas merun-cing seperti bentuk
kerucut. Kedua le-ngannya yang besar itu
panjang sampai ke lutut, kedua pundaknya
menurun se-perti biasa terdapat pada
pundak monyet besar. Akan tetapi mahluk
ini tidak ber-ekor dan lebih mendekati
bentuk tubuh manusia daripada monyet
atau biruang. Seluruh perawakannya
membayangkan keadaan yang kokoh kuat
seperti batu gunung! Akan tetapi yang
menarik per-hatian tiga orang tosu itu
adalah seba-tang pedang yang menancap
di paha kanan mahluk ini. Sebatang pedang
pen-dek yang mengkilap menusuk dari
depan dan menembus paha kanan itu
sampai ke belakang. Tidak nampak darah
dekat tempat pedang itu menancap,
agaknya sudah agak lama pedang itu
menancap paha mahluk aneh ini.
“Yetiiii!” Akhirnya terdengar Hok Keng Cu
berseru tertahan.
Mahluk ini melangkah maju sambil
mengeluarkan suara gerengan aneh. Tibatiba
Hok Ya Cu mengeluarkan bentakan
nyaring dan pedang tipisnya menyambar ke
arah leher mahluk itu.
“Aurgghh....!” Yeti itu mendengus dari,
tenggorokannya dan dengan gerakan
lam-ban namun mengeluarkan angin
dahsyat, tangannya bergerak ke depan.
Pedang di tangan Hok Ya Cu menabas ke
arah lengan yang diangkat itu.
“Trakkkk!” Pedang itu terpental dan tangan
Hok Ya Cu yang memegang pe-dang itu
tergetar, membuat orangnya terhuyung ke
belakang.
“Dia kebal!” kata Hok Ya Cu yang sudah
menerjang pula, menggerakkan sabuk
sutera yang sudah dilolosnya tali dari
pinggangnya. Nampak sinar putih
berkelebat panjang seperti seekor ular,
dibarengi suara bercuitan amat kuatnya,
menotok ke arah kedua mata mahluk itu
secara bertubi-tubi!
Yeti itu agaknya tidak mau atau tidak dapat
mengelak, hanya memejam-kan kedua
mata ketika ujung sabuk putih itu mematukmatuk,
dan seperti juga. pedang tadi, hanya
terdengar suara “tak-tuk-tak-tuk!” seolaholah
ujung sabuk yang sudah menjadi kaku
karena digerak-kan dengan sin-kang itu
bertemu dan menotok benda-benda keras
melebihi baja! Yeti menjadi marah, kedua
lengan-nya yang panjang itu menyambar ke
depan dan Hok Keng Cu terpaksa mena-rik
sabuknya karena dia maklum bahwa sekali
sabuknya kena ditangkap, akan sukarlah
menyelamatkan senjatanya itu.
Sementara itu, Hok Ya Cu sudah
menggerakkan pedangnya lagi, akan teta-pi
Choirul, maret 2008 14
ke mana pun pedangnya menyerang,
menusuk atau membacok, selalu terpental
kembali sehingga tosu ini menjadi amat
jerih. Ada pun Ciok Kam setelah melihat
keadaan dua orang sahabatnya itu, segera
mengeluarkan lengkingan panjang dan dia
pun menerjang ke depan, sepasang
pe-dangnya digerakkan sedemikian rupa
se-hingga membentuk sinar-sinar yang
saling bersilang, kemudian menjadi dua
gulungan sinar berkilauan yang menerjang
Yeti itu dari kanan kiri. Bukan main indah
dan hebatnya ilmu siang-kiam (sepasang
pe-dang) dari tosu muda Kun-lun-pai ini!
Yeti itu menggeram ketika sinar-sinar
pedang itu mengurungnya. Dia
menggerak-kan kedua tangannya dan
setiap kali pedang itu bertemu dengan
tangannya, maka pedang itu terpental dan
akhirnya Ciok-tosu tidak dapat bertahan lagi
dan terpaksa meloncat ke belakang karena
selain semua bagian tubuh mahluk ini kebal
dan keras bukan main, bahkan bulubulunya
yang pendek kasar itu agak-nya
juga kuat seperti kawat-kawat baja tulen,
dia juga merasa betapa kedua tangannya
nyeri dan ketika dia meloncat mundur dan
melihat kedua tangannya, ternyata ada
bagian telapak tangannya yang pecah dan
berdarah!
Ciok Kam merasa penasaran sekali. Paha
kanan mahluk ini ditembus pedang yang
masih menancap, berarti bahwa mahluk ini
tidak seluruhnya kebal. Kalau pedang itu
dapat menancap di paha, mahluk itu,
mengapa kedua pedangnya tidak? Dia
menerjang lagi dan kini sinar pedangnya
yang bergulung-gulung menga-rah paha
mahluk itu.
“Trak-trak, tringgg....!”
“Aihhhh....!” Ciok-tosu menjerit dan
mencelat ke belakang, memandang
pe-dang di tangan kanannya yang telah
bun-tung menjadi dua potong! Pedangnya
itu tadi menyerang paha kanan mahluk itu
dan tanpa disengaja, mahluk itu
mengge-rakkan kaki dan pedangnya
bertemu dengan pedang yang menancap di
paha mahluk itu dan.... pedangnya buntung
se-perti terbuat dari pada tanah liat saja!
Dan pedang di tangan kiri yang menusuk
paha kiri mahluk itu terpental kembali!
“Dia kebal dan lihai, mari kita lari!” Hok
Keng Cu berseru. Akan tetapi Ciok Kam
yang merasa penasaran itu tidak mau lari.
Mereka bertiga adalah to-koh-tokoh Kunlun-
san yang terkenal jagoan, masa kini
mengeroyok seekor binatang aneh yang
sudah terluka paha kanannya ini tidak
mampu menang? Tiba-tiba Ciok Kam
mengeluarkan suara me-lengking nyaring
dan tubuhnya melayang ke atas. Inilah
keistimewaannya dan yang membuat dia
dijuluki Hui-siang-kiam (Se-pasang Pedang
Terbang). Biarpun pedang-nya tinggal
sebatang, namun kini dengan meloncat
sangat cepatnya, tubuhnya me-layang ke
atas dan dari atas dia menye-rang dan
menusukkan pedangnya ke arah ubun-ubun
kepala mahluk itu! Jurusnya ini adalah jurus
pilihan, dan jaranglah ada tokoh kang-ouw
yang akan mampu menghindarkan diri dari
serangan dahsyat ini.
Yeti itu menggereng, kedua tangannya
melindungi kepala dan digerakkan
se-demikian kerasnya sehingga ketika
pe-dang itu menusuk, pedang dan orangnya
kena ditamparnya dan tubuh Ciok-tosu
terpental sampai beberapa meter jauh-nya,
menumbuk batang pohon dan terpe-lanting,
terbanting ke atas tanah dan terus
menggelundung masuk ke dalam jurang!
Melihat ini, Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu
marah sekali dan berbareng me-reka itu
menyerang dengan pedang dan sabuk
sutera.
“Cratt!” Ujung sabuk sutera mengenai tepi
mata kanan mahluk itu. Mahluk ini
mengaum dan tangan kanannya yang
panjang berbulu itu bergerak sedemikian
cepatnya sehingga tahu-tahu pundak Hok
Keng Cu karena dicengkeram. Kuku-kuku
yang amat panjang, kuat tajam dan run-cing
melengkung itu meremukkan tulang pundak
Choirul, maret 2008 15
dan betapa pun tosu itu meronta, dia tak
mampu melepaskan diri.
“Tidaaaak.... jangaaaaannn.....!” Tosu itu
menjertt dan matanya terbelalak, akan
tetapi mahluk itu sudah menggerak-kan
lengan kirinya dengan kuku-kuku diulur
menusuk dan menggurat. Terdengar kain
robek dan kukunya telah merobek kain
berikut kulit dan daging tosu itu, dari ulu hati
sampai ke pusar sehingga terobeklah
perutnya dan isinya berantak-an! Ketika
dilepas, tubuh itu sudah tak bernyawa lagi
dan mandi darah.
Hok Ya Cu terbelalak, mukanya pucat sekali
dan dia menggigil. Maklum bahwa dia tidak
akan mampu melawan mahluk itu, dia lalu
membalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Akan tetapi, dengan sekali lompat saja,
mahluk yang kelihatan-nya lamban itu
sudah mengejarnya dan sekali tangannya
bergerak, jari-jari ta-ngan yang kuat itu
sudah menampar ke arah leher.
“Krekkk!” Tubuh Hok Ya Cu terpelan-ting
dan roboh dengan tulang leher pa-tahpatah.
Tentu saja dia pun tewas se-ketika!
Yeti itu masih marah. Sepasang ma-tanya
kini menjadi kemerahan dan beri-ngas. Dia
mendengus-dengus, lalu me-langkah,
terpincang-pincang dan kaku karena paha
kanannya tertembus pedang, memasuki
guha. Di dalam guha dia me-ngamuk,
mengobrak-abrik kayu-kayu ba-kar dan
melempar-lemparkan batu-batu, setelah
puas mengamuk lalu dia keluar dan biarpun
terpincang-pincang, tubuhnya dapat dengan
cepat mendaki lereng yang berbatu-batu,
kemudian menuruni jurang dan lenyap
ditelan semak-semak be-lukar.
Suasana menjadi sunyi sekali di tempat itu.
Sunyi dan menyeramkan. Bau amis darah
terbawa angin lalu, bercam-pur dengan bau
daun-daun yang dihidup-kan oleh sinar
matahari pagi. Burung-burung yang tadinya
seperti bersembunyi ketakutan, mulai
menampakkan diri. Ha-nya beberapa
macam burung yang tahan hidup di daerah
dingin seperti Lembah Arun ini.
Mayat Hok Keng Cu telentang me-ngerikan.
Matanya terbelalak dan perutnya terbuka.
Mayat Hok Ya Cu rebah miring, kepalanya
terputar dan matanya juga terbelalak
ketakutan.
Kurang lebih dua jam kemudian, nam-pak
sesosok tubuh merangkak-rangkak keluar
dari dalam jurang. Itulah Ciok Kam Tosu!
Ternyata dia belum tewas dan ketika dia
terguliing ke dalam jurang dalam keadaan
pingsan, ada semak-semak yang kebetulan
menahan tubuhnya se-hingga dia tidak
sampai terjatuh ke da-lam jurang yang
seolah-olah tidak berda-sar saking
dalamnya itu. Dan karena dia pingsan,
maka makhluk aneh itu tidak mendengar
dia bergerak lagi dan mengira dia sudah
mati maka meninggalkannya.
Ketika tiba di atas tebing jurang dan melihat
keadaan dua orang sahabatnya, Ciok-tosu
terbelalak, menghampiri mayat mereka dan
menangislah tosu ini. Dengan- hati penuh
duka dia lalu menguburkan dua mayat
sahabatnya itu. Sampai mata-hari turun ke
barat, barulah dia selesai menggali lubang
dan menguburkan mayat dua orang tosu
Kun-lun-san itu. Tubuhnya terasa nyeri
semua dan hampir kehabisan tenaga. Maka
dengan terhuyung-huyung dia lalu kembali
ke dalam guha, tanpa menutupkan batu
bundar karena tenaga-nya sudah habis.
Akan tetapi tidak ter-jadi sesuatu malam itu
dan pada keesok-an harinya, pagi-pagi
sekali Ciok-tosu sudah berada di depan
makam dua orang sahabatnya. Dia
mengepal tinju dan mengamang-amangkan
tinjunya itu ke jurusan puncak gunung.
“Mahluk biadab, aku bersumpah akan
membalaskan kematian dua orang
saha-batku!” Setelah berkata demikian Ciok
Kam lalu pergi meninggalkan tempat itu,
terus mendaki lereng itu menuju ke ba-rat,
membawa pedangnya yang tinggal sebuah
dan juga membawa pedang Hok Ya Cu
untuk melengkapi pedangnya se-hingga kini
Choirul, maret 2008 16
dia mempunyai lagi sepasang pedang,
sungguhpun ukuran dan beratnya tidak
sama.
Alam di sekeliling, tempat itu masih indah
seperti biasa, tidak terpengaruh oleh
peristiwa itu. Akan tetapi bagi pandangan
Ciok-tosu, sama sekali tidak berobah.
Keindahan alam yang tadinya mempesona
itu kini baginya berobah menjadi keadaan
yang liar dan buas penuh ancaman maut,
dan dipandangnya dengan sinar mata
penuh dendam keben-cian dan kemarahan
di samping rasa takut yang besar.
Pada waktu itu, seperti telah diceritakan di
bagian depan. Pegunungan Hi-malaya
dibanjiri pengunjung yang terdiri dari orangorang
kang-ouw bermacam-macam
golongan, baik dari golongan ber-sih
maupun golongan sesat. Berbondongbondong
mereka datang mendaki
Pegunungan Himalaya, ada yang datang
dari timur langsung mendaki pegunungan
itu, ada yang melalui Negara Bhutan atau
Nepal, mendaki dari selatan, dan ada pula
yang datang dari utara.
Pada suatu pagi, dari arah utara ber-jalan
serombongan orang melalui dataran tinggi
yang berlapis pasir, berjalan ter-seok-seok
kelelahan menuju ke selatan. Mereka terdiri
dari belasan orang dan melihat gerak-gerik
mereka, kebanyakan dari mereka itu
tentulah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi, atau setidaknya
merupakan ahli-ahli silat yang tidak gentar
menghadapi kesukaran dan bahaya.
Memang demikianlah adanya. Dua belas
orang di antara mereka adalah
serombongan piauwsu (pengawal-pengawal
bayaran) dari perusahaan ekspedisi Pek-ipiauw-
kiok (Perusahaan Pengawalan Baju
Putih). Baju mereka semua memang
berwarna putih, dengan sulaman sebatang
senjata rahasia Hui-to (pisau terbang) di
dada kiri, sungguhpun celana mereka
ber-macam-macam warnanya. Sulaman
pisau terbang itu bukan sekedar hiasan
belaka karena memang semua anggauta
Pek--i-piauw-kiok mempunyai keahlian
melem-parkan pisau sebagai senjata
rahasia dengan lontaran cepat, kuat dan
tepat.
Diantara dua belas orang ini terdapat
pemimpinnya, seorang piauwsu yang
usia-nya kurang lebih lima puluh tahun,
ber-tubuh kurus namun memiliki sepasang
mata yang tajam dan gerak-geriknya
me-nunjukkan bahwa dia adalah seorang
ahli silat yang pandai dan seorang yang
telah memiliki banyak pengalaman.
Piauwsu ini adalah pemimpin Pek-i-piauwkiok
sendirli bernama Lauw Sek, dan
julukannya adalah Toat-beng Hui-to (Pisau
Terbang Pencabut Nyawa) karena memang
dia se-orang ahli yang pandai dalam
penggunaan senjata ini dan dialah yang
melatih se-mua anak buahnya sehingga
mereka se-mua mahir melontarkan pisau
terbang. Sebelas orang anak buahnya itu
merupa-kan anggauta piauw-kiok pilihan
yang rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi karena saat itu Lauw-piauwsu
se-dang melakukan tugas yang amat
pen-ting. Dia bersama sebelas orang anak
buahnya bertugas mengawal pengiriman
barang-barang berharga milik seorang
pedagang dari Katmandu di Nepal yang
dipikul oleh empat orang dan sebagian
dipanggul pula oleh para anggauta piauwkiok.
Barang-barang berharga ini dikirim
dari Ceng-tu di Se-cuan untuk dibawa ke
rumah pedagang itu di Nepal dan tentu saja
untuk biaya pengiriman dan penga-walan
ini, si saudagar membayar mahal sekali
kepada Lauw-piauwsu, Perjalanan itu amat
jauh, sukar dan juga penuh ba-haya dan
hanya rombongan piauwsu seperti yang
dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu sajalah
yang berani menerima peker-jaan berat itu.
Di dalam rombongan itu terdapat pula
seorang gadis kecil bersama kakeknya
yang sudah tua namun yang juga memi-liki
kekuatan yang mengagumkan. Kakek ini
jelas memiliki kepandaian silat yang kuat,
dapat dibuktikan dengan cara dia mendaki
jalan-jalan yang sukar dan mendakl, dan
kadang-kadang dia masih harus
Choirul, maret 2008 17
menggendong cucunya sambil membawa
buntalan bekal mereka berdua. Gadis kecil
itu berusia kurang lebih dua belas tahun,
seorang gadis yang mungil dan manis,
lin-cah jenaka dan memiliki watak bengal
dan pemberani. Hanya di waktu melewati
jurang-jurang yang berbahaya sajalah maka
dia tidak membantah kalau kakek-nya
memondongnya. Akan tetapi kalau hanya
melewati jalan-jalan kasar dan sukar saja
tanpa ada bahaya mengancam, anak ini
berjalan mendahului kakeknya. Sebentar
saja anak perempuan itu dikenal oleh
semua anggauta rombongan dan di-sebut
Siauw Goat (Bulan Kecil). Memang,
kelincahan anak itu, kejenakaan dan
ke-gembiraannya, membuat dia seperti
menjadi sang bulan yang menerangi
kegelapan malam dan mendatangkan
keindahan de-ngan suaranya yang nyaring,
nyanyiannya yang merdu, tariannya yang
gemulai dan gerak-geriknya yang lincah
jenaka.
Tidak ada seorang pun di antara
rom-bongan itu yang mengetahui nama
se-lengkapnya dari Si Bulan Kecil. Mereka
mendengar kakek itu menyebut “Goat”
kepada anak perempuan itu, maka mere-ka
lalu menyebutnya Siauw Goat. Bahkan
anak itu pun hanya tersenyum manis saja
disebut seperti itu, dan kalau ada yang
iseng-iseng bertanya, dia pun mengaku
bahwa namanya “Goat”. Kakek itu pen-diam
sekali, tidak pernah mau bica-ra kalau tidak
perlu. Ketika ada orang menanyakan, dia
hanya menjawab pendek bahwa namanya
hanya terdiri dari satu huruf, yaitu “Kun”.
Maka terkenallah dia sebagai Kun-lopek
atau Kakek Kun! Se-mua orang menduga
bahwa tentu ada rahasia yang menarik di
balik riwayat kakek ini.
Selain Kun-lopek dan Siauw Goat, terdapat
pula seorang sastrawan yang juga pendiam
seperti kakek itu dan keadaannya lebih
aneh lagi karena dia sa-ma sekali tidak mau
menerangkan nama-nya! Akan tetapi tidak
ada orang yang berani mendesak untuk
bertanya kepadanya, karena diam-diam
Lauw-piauwsu, kepala rombongan
pengawal bayaran itu yang berpengalaman
dan bermata tajam, sudah membisikkan
kepada semua orang bahwa sastrawan itu
adalah seorang yang tentu memiliki
kepandaian amat tinggi dan agaknya
merupakan seorang di anta-ra orang-orang
kang-ouw yang datang ke Pegunungan
Himalaya untuk mencari pedang kerajaan
yang dicuri orang. Maka semua orang tidak
ada yang berani ba-nyak cakap, dan
memandang kepada sas-trawan itu dengan
segan dan juga takut bukan tanpa
kecurigaan. Namun, sastra-wan itu tidak
peduli, dia seperti tengge-lam dalam
lamunannya sendiri. Usianya masih muda,
kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya
tampan dan sikapnya ga-gah biarpun gerakgeriknya
amat halus. Semuda itu dia sudah
kelihatan pendiam dan sering kali muram
wajahnya, begitu serius seperti wajah
seorang kakek saja! Pakaiannya
sederhana, pakaian yang biasa dipakai oleh
sastrawan atau orang yang bersekolah,
dengan jubah yang agak long-gar dan lebar.
Dugaan Lauw-piauwsu dan sikap sastrawan
muda ini yang amat pendiam membuat
orang lain dalam rom-bongan itu tidak
berani banyak bicara dengan dia.
Selain Kakek Kun, Siauw Goat dan
sastrawan ini, terdapat pula beberapa orang
pedagang, yang karena mendengar akan
adanya orang-orang kang-ouw di
Pegunungan Himalaya, tidak berani
me-lakukan perjalanan tanpa teman dan
ikut bersama rombongan piauwsu yang
mereka andalkan, dengan membayar uang
jasa sekedarnya. Jumlah para pedagang ini
ada tiga orang sehingga dengan
rombong-an piauwsu, rombongan mereka
semua berjumlah delapan belas orang
ditambah pula empat orang pemikul barangbarang
kawalan. Jadi semua ada dua puluh
dua orang.
Tiga orang pedagang keliling itu ada-lah
orang-orang yang bertubuh gendut-gendut
dan mereka sudah mandi keringat karena
sejak tadi jalan mendaki terus. Napas
mereka juga sudah kempas-kempis.
Beberapa kali sambil berjalan mereka
Choirul, maret 2008 18
minum air dari tempat air mereka, akan
tetapi karena minum ini keringat mereka
menjadi semakin membanjir keluar.
“Ahhh.... kami sudah lelah sekali.... apakah
sebaiknya tidak mengaso dulu, Lauwpiauwsu?”
seorang di antara mere-ka
mengeluh.
“Paman dari tadi minum terus sih, maka
banyak keringat dan badan menjadi
semakin berat saja!” tiba-tiba Siauw Goat
mencela sambil tersenyum menggo-da.
Pedagang gendut itu pura-pura melo-tot.
“Ah, kau Siauw Goat, aksi benar! Seolaholah
kau sendiri tidak lelah!”
Siauw Goat mencibirkan bibirnya yang
mungil, lalu mengangkat dada dan berto-lak
pinggang. “Aku tidak selelah Paman!
Buktinya, hayo kita berlomba lari!”
tantangnya. Tentu saja yang ditantang
hanya menyeringai. Jalan biasa di tempat
pen-dakian itu sudah payah, apalagi diajak
berlumba lari. Dan memang anak
perem-puan itu masih nampak gesit.
“Sedikit lagi.” kata Lauw-piauwsu, “kita
mengaso di hutan depan sana itu.” Dia
menuding ke depan dan memang di
sebelah depan, masih agak jauh, nampak
gerombolan pohon hijau lebat. Matahari
sudah naik tinggi, panasnya memang tidak
seberapa karena hawa di situ sejuk dan
sinar matahari masih terlapis kabut, akan
tetapi berjalan mendaki terus-mene-rus
sejak tadi memang amat melelahkan dan
pohon-pohon di depan itu seperti melambailambai
membuat orang ingin lekas-lekas
mencapai tempat itu untuk melempar diri di
bawah pohon yang rin-dang.
Agaknya karena ingin memamerkan dan
membuktikan bahwa dia tidak sele-lah
pedagang gendut itu. Siauw Goat sudah
berjalan cepat setengah berlarian menuju
ke depan, karena dara ini pun senang sekali
melihat hutan di depan itu setelah sejak
kemarin mereka melalui daratan tinggi
berpasir yang membuat langkah-langkah
terasa berat kare-na kedua kaki selalu
terpeleset di pasir yang lunak, apalagi
karena jalannya terus mendaki. Selama
sehari semalam sejak kemarin, mereka
hanya melihat pasir saja, dengan beberapa
tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon yang
kurus dan setengah kering. Maka, tentu
saja sebuah hutan akan merupakan
pemandangan baru yang amat
menyegarkan.
“Hati-hatilah, Goat!” Kakek Kun ber-kata
akan tetapi tidak melarang cucunya yang
setengah berlari mendahului semua
rombongan itu, Siauw Goat menoleh,
tertawa manis kepada kakeknya.
“Jangan khawatir, Kong-kong!” kata-nya
melambaikan tangan lalu melanjutkan
larinya ke depan.
Kebetulan sekali Kakek Kun berjalan di
dekat sastrawan muda itu. Sejak tadi
sastrawan itu memandang ke arah gadis
cilik yang berlarian ke depan, alisnya
berkerut dan akhirnya, tanpa terdengar
orang lain, dia berkata kepada kakek di
sebelahnya itu dengan suara tenang dan
halus, “Lopek salah sekali membawa cucu
yang demikian muda dalam perjalanan yang
sukar ini!” Suara itu tenang dan halus, juga
lirih, akan tetapi penuh nada teguran
sehingga kakek itu menoleh, sejenak
menentang pandang mata sastra-wan muda
itu. Dua pasang mata bertemu pandang dan
keduanya diam-diam terke-jut. Sastrawan
muda itu melihat sinar mata yang
mencorong keluar dari sepa-sang mata
kakek itu yang biasanya bermuram durja
dan termenung saja, dan sebaliknya, kakek
itu pun melihat sinar mata yang amat tajam
menusuk dari mata pemuda sastrawan itu,
jelas membayangkan pandang mata
seorang yang “berisi”. Memang keduanya,
dalam sikap mereka, yang pendiam dan
tidak acuh, sudah saling mencurigai dan
menduga bahwa masing-masing adalah
orang yang diliputi rahasia dan bukan orang
semba-rangan, sungguhpun keduanya
kelihatan seperti orang sastrawan muda
dan se-orang kakek yang keduanya lemah.
Choirul, maret 2008 19
Sastrawan itu tiba-tiba merasa muka-nya
panas dan tahulah dia bahwa muka-nya
menjadi merah karena malu. Karena
merasa seolah-olah sinar mata kakek yang
mencorong itu menjawabnya dengan
teguran. “Kau peduli apa?”
Akan tetapi karena merasa penasaran dan
juga mengkhawatirkan keselamatan Siauw
Goat yang mungil dan masih kecil itu, dan
merasa bahwa dia sudah terlan-jur
mengajukan pertanyaan yang nadanya
menegur, dia merasa kepalang-tanggung
dan sastrawan itu melanjutkan katakata-
nya dengan lirih tanpa terdengar orang
lain, kini dengan sebuah pertanyaan.
“Sesungguhnya, ke manakah Lopek hendak
membawa cucu Lopek yang kecil itu? Tentu
saja kalau boleh aku bertanya?”
Kembali mereka berpandangan dan
beberapa lamanya kakek itu tidak
me-jawab, hanya melanjutkan langkahnya
satu-satu dan perlahan-lahan, akan tetapi
pandang matanya tak pernah
meninggal-kan wajah pemuda sastrawan
itu. Kemu-dian terdengarlah dia menjawab,
atau lebih tepat lagi berbalik dengan
perta-nyaan pula. “Dan ke mana engkau
hendak pergi, orang muda?”
Sastrawan muda itu tersenyum. Sela-ma
dalam perjalanan ini, dia merahasia-kan diri
dengan angkuhnya, karena memang dia
tidak ingin dikenal orang. Akan tetapi siapa
kira, dan kini bertemu “batu” dan kakek ini
ternyata tidak kalah angkuh olehnya!
Buktinya, sebelum menjawab
pertanyaannya, kakek ini bertanya lebih
dulu, tanda bahwa kakek itu tidak akan
menjawab sebelum dia menjawab lebih
dulu! “Baiklah,” katanya lirih. “Jangan
kaukira bahwa aku ke sini untuk mencari
pedang kerajaan. Sama sekali bukan. Aku
mendaki pegunungan ini untuk mencari
isteriku yang pergi!”
Sepasang mata yang mencorong ta-jam itu
tiba-tiba melunak, seolah-olah merasa
kasihan mendengar ucapan ini, akan tetapi
hanya sebentar dan kembali sinar mata
kakek itu menjadi acuh tak acuh. Kemudian,
dengan nada suara sama tak acuhnya, dia
berkata sebagai jawab-an dari pertanyaan
sastrawan muda tadi. “Aku membawa
cucuku karena dia tidak dapat kutinggalkan,
dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain
aku!”
Sekarang sastrawan itu yang merasa
kasihan, bukan kepada Si kakek melain-kan
kepada anak perempuan itu. Dia menoleh
dan melihat anak itu masih berlari-lari
dengan gembira, hampir tiba di hutan,
“Mengapa diajak ke tempat seperti ini?” Dia
mendesak.
“Untuk mencari musuh kami!” Jawab-an itu
singkat saja dan kini kakek itu mempercepat
langkahnya, sengaja men-jauh. Sastrawan
itu kembali terkejut. Dia makin merasa yakin
bahwa kakek itu tentu bukan orang
sembarangan, sungguh-pun sama sekali
tidak pernah memper-lihatkan
kepandaiannya.
Siauw Goat telah tiba lebih dulu di tepi
hutan. Melihat pohon-pohon raksasa yang
berdaun lebat, hijau segar itu, dia gembira
sekali dan terus berloncatan memasukinya.
Tiba-tiba dia berhenti dan memandang ke
depan. Di ba-wah sebatang pohon raksasa
nampak seorang kakek rebah telentang di
atas rumput tebal. Kakek ini seorang
penge-mis, itu sudah jelas. Pakaiannya
penuh tambalan dan robek-robek di sanasini,
di dekatnya, bersandar di sebatang
pohon, nampak sebatang tongkat bambu
butut dan di bawahnya terdapat sebuah ciuouw
(guci arak) kuningan butut, dan
se-buah mangkok kosong yang sudah
retak-retak pinggirnya. Jelaslah, dia adalah
seorang pengemis tua yang sedang tidur.
Melihat seorang kakek pengemis tidur di
tepi hutan, di bawah pohon, di tempat yang
liar dan sunyi tidak ada orangnya itu, tentu
saja Siauw Goat menjadi ter-heran-heran.
Biasanya, para jembel tentu berkeliaran di
kota-kota di mana terda-pat banyak orang
kaya yang dapat mem-beri derma kepada
mereka. Akan tetapi mengapa jembel tua ini
Choirul, maret 2008 20
berada di tempat sunyi seperti ini? Mau
mengemis kepada siapa?
Siauw Goat adalah seorang anak
pe-rempuan yang hatinya perasa dan peka
sekali, mudah tertawa, mudah marah,
mudah kasihan, pendeknya segala macam
perasaan mudah sekali menguasai hatinya.
Melihat kakek jembel yang bertubuh kurus
itu, segera timbul perasaan kasihan. Maka
dia lalu menghampiri, dengan maksud
memberi sekedar sumbangan karena dia
mempunyai uang kecil di saku bajunya. Dia
ingin memberi beberapa potong uang kecil
kepada pengemis itu, lupa bahwa di tempat
seperti itu, apakah gunanya uang? Dia
sendiri pernah me-ngomel kepada
kakeknya karena sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk jajan karena di
sepanjang jalan tidak ada orang berjualan
apa pun.
“Kakek tua, bangunlah, kuberi derma
padamu!” katanya lirih.
Dia melihat betapa wajah yang telen-tang
itu membuka mata, hanya sebentar dan
dara cilik itu melihat sepasang mata yang
mengeluarkan sinar tajam seperti mata
kakeknya, akan tetapi hanya seben-tar
mata itu terbuka, menatapnya, lalu terpejam
kembali! Siauw Goat merasa penasaran.
Jelas bahwa kakek ini tidak tidur, akan
tetapi hanya tidak mempe-dulikan dia saja
dan pura-pura tidur!
“Hei, Lo-kai....!” teriaknya sambil
mengguncang-guncang pundak kakek itu
untuk membangunkannya. Akan tetapi yang
diguncang-guncang tetap tidur, bah-kan kini
terdengar dia mendengkur!
“Lo-kai (Pengemis Tua), kau tidak tidur,
jangan bohongi aku!” Siauw Goat mencela
dan terus mengguncangnya, na-mun tidak
ada hasilnya.
“Hemm, kau sengaja mempermainkan aku,
ya?” Siauw Goat meloncat berdiri,
sepasang matanya yang jernih dan jeli itu
bergerak-gerak mencari akal, deretan
giginya yang putih menggigit bibir ba-wah.
Rasa kasihan yang timbul melihat keadaan
kakek pengemis itu sudah lenyap sama
sekali, terganti oleh perasaan ge-mas dan
marah karena merasa dia di-permainkan
oleh pengemis tua itu! Dan kini Si Bengal ini
sudah memutar-mutar otak untuk mencari
akal, untuk memba-las kakek yang
mempermainkannya.
Dia tersenyum kecil dan menutup mulut
dengan jari tangan kiri untuk me-nahan
ketawa, kemudian dia mencabut sebatang
rumput alang-alang yang tum-buh di bawah
pohon itu. Dengan berjing-kat-jingkat dia
menghampiri lagi kakek pengemis yang
kelihatan masih tidur mendengkur itu, dan
menggunakan rum-put ilalang yang panjang
itu dia lalu mengkilik hidung kakek itu
dengan ujung rumput yang runcing. Siauw
Goat merasa yakin bahwa siapapun juga,
kalau dikilik seperti itu, akan merasa geli
dan pasti akan terbangun, apalagi kakek
yang ha-nya pura-pura tidur ini.
“Ehh....?” Dia berbisik dengan hati kesal
dan kedua alisnya berkerut. Sampai lelah
tangannya, kakek itu tetap saja tidur
mendengkur, seolah-olah sama sekali tidak
merasakan kilikan ujung ilalang di sekitar
hidungnya itu. Bahkan ketika ujung rumput
itu memasuki lubang hi-dungnya, dia tetap
tidak bergerak sedikit pun! Padahal, orang
lain kalau dlkllik lubang hidungnya seperti
itu, tentu tidak hanya akan bangun, akan
tetapi juga dapat bersin.
Makin kesallah hati anak perempuan itu. “Ih,
tidurnya seperti babi mati! Ha-nya akan
terbangun kalau disiram air!” Teringat air,
dara cilik itu bangkit berdiri dari jongkoknya
dan memandang ke kanan kiri. Dia melihat
rombongan itu sudah makin dekat. Dia
harus cepat-cepat memaksa kakek ini
bangun sebelum kong-kongnya dekat dan
tentu kong-kong-nya akan memarahinya.
Dilihatnya ciu-ouw (guci arak) di dekat
batang pohon itu lalu diambilnya. Dibukanya
tutup guci dan hatinya girang melihat bahwa
didalam guci masih ada araknya. Kalau
tidak ada air, arak pun jadilah untuk
Choirul, maret 2008 21
memaksa Si Tua malas itu bangun,
pikir-nya. Maka dia lalu mendekati kakek
jembel itu dan menuangkan arak dari guci
ke arah muka Si Pengemis tua!
Tiba-tiba terjadi keanehan yang mem-buat
Siauw Goat menahan seruannya. Dia
merasa seperti ada tenaga yang menahan
tangannya, dan ketika arak itu tertumpah
keluar guci, arak itu secara aneh me-luncur
tepat ke dalam mulut Si Kakek jembel yang
sudah terbuka dan terdengar suara
celegukan ketika kakek itu minum arak yang
memasuki mulutnya. Padahal, mulut itu
tidak berada tepat di bawah guci sehingga
arak itu meluncur miring! Seolah-olah arak
itu tersedot oleh tenaga aneh sehingga
dapat langsung memasuki mulut!
“Wah, kauhabiskan arakku, bocah se-tan!”
Tiba-tiba guci arak itu berpindah tangan dan
kakek pengemis yang sudah bangun duduk
itu mengincar-incar ke dalam guci araknya
yang sudah kosong karena memang
araknya tinggal tidak banyak lagi dan
semua telah diminumnya secara aneh tadi.
Siauw Goat menjadi marah. “Apa? Aku
yang menghabiskan arakmu? Kakek
jembel, jangan kau menuduh orang
sem-barangan, ya? Tak tahu malu, engkau
sendiri yang minum habis arak itu,
se-karang menuduh aku yang
menghabiskan. Hih!”
“Guci itu berada di sana, apa bisa bergerak
sendiri ke mulutku kalau tidak engkau setan
cilik ini yang mengambil-nya? Arak tinggal
sedikit kuhemat-he-mat, tahu-tahu sekarang
kauhabiskan!”
Kakek jembel itu marah-marah dan
ber-sikap seperti anak kecil.
“Ihh, kau galak dan tak tahu malu! Arak itu
kau sendiri yang minum habis, mau marah
kepadaku. Sudahlah, tadinya aku mau
memberi derma uang, sekarang jangan
harap ya? Aku tidak suka pa-damu!” Siauw
Goat lalu membalikkan tubuh hendak pergi
meninggalkan kakek pengemis itu. Akan
tetapi baru kira-kira tiga meter melangkah,
tiba-tiba tubuhnya tertahan sesuatu, seolaholah
ada dinding tak tampak yang
menghalangnya untuk melangkah maju
terus.
“Aha, kau hendak lari ke mana, bocah
setan? Enak saja, sudah menghabiskan
arak orang lalu mau pergi begitu saja.
Engkau harus mengganti arakku!”
Siauw Goat tidak tahu bagaimana dia tidak
mampu bergerak maju lagi. Akan tetapi
anak ini semenjak kecil sudah banyak
melihat keanehan-keanehan yang diperbuat
oleh orang-orang pandai ilmu silat, oleh
karena itu dia tidak merasa heran dan dia
dapat menduga bahwa tentu kakek jembel
ini seorang yang pandai dan yang sengaja
mempergunakan kepandaian yang aneh
untuk menahannya.
“Idihhh! Tak tahu malu! Mulut sendiri yang
minum, perut sendiri yang menam-pung,
orang lain yang disuruh bertang-gung
jawab. Mana bisa aku disuruh mengganti,
pula mana aku punya arak? Aku tidak
pernah minum arak!” teriaknya sambil
membalikkan tubuh dan meman-dang
kakek itu dengan sepasang matanya yang
jernih tajam.
“Ha, kulihat engkau tidak datang sendiri.
Rombonganmu tentu membawa arak untuk
mengganti arakku!”
“Tidak! Biar mereka punya arak sekali pun,
aku tidak sudi mengganti arak yang
kauminum sendiri!” Siauw Goat yang mulai
timbul kemarahan, dan kekeras-an hatinya
itu membentak.
“Huh, kalau begitu, harus kauganti dengan
darahmu sebanyak arakku tadi!” pengemis
itu berkata. Akan tetapi keli-rulah dia kalau
dia mengira dapat me-nakut-nakuti anak
perempuan itu. Men-dengar ucapan ini,
sepasang mata itu makin terbelalak dan
makin marah.
Choirul, maret 2008 22
“Aihh! Kiranya engkau seorang jahat!
Engkau tentu sebangsa siluman yang tidak
hanya jahat akan tetapi juga kejam sekali
suka minum darah manusia! Kong-kong
tentu akan membasmi siluman ma-cam
engkau!”
Kembali Siauw Goat hendak mening-galkan
tempat itu, akan tetapi tetap saja dia tidak
mampu menggerakkan kakinya, padahal
pengemis itu hanya meluruskan tangan kiri
saja ke arahnya dalam jarak tiga meter!
Pada saat itu, rombongan telah tiba di situ
dan yang paling depan adalah para
piauwsu. Empat orang piauw-su yang
berada paling depan, terkejut melihat Siauw
Goat berdiri seperti pa-tung dan merontaronta
seperti tertahan sesuatu itu dan
seorang kakek jembel yang duduk di bawah
pohon menjulurkan tangan ke arah anak itu.
Mereka adalah piauwsu-piauwsu yang
berpengalaman dan mereka dapat
menduga bahwa tentu anak perempuan itu
berada di bawah ke-kuasaan Si Kakek
Jembel sungguhpun mereka tidak tahu
secara bagaimana dan mengapa. Mereka,
seperti yang lain-lain, juga amat sayang dan
suka kepada Siauw Goat, maka serentak
empat orang ini meloncat ke dekat Siauw
Goat.
“Kau kenapakah, Siauw Goat?”
“Kakek jembel itu.... aku.... aku tak dapat
bergerak maju!” kata Siauw Goat yang
meronta-ronta, seperti melawan tangan tak
nampak yang memeganginya.
Empat orang itu lalu memegang ke-dua
tangan Siauw Goat dengan maksud hendak
melepaskannya, akan tetapi tiba-tiba ada
tenaga luar biasa yang mendo-rong mereka
dan betapa pun empat orang piauwsu itu
mempertahankannya, tetap saja mereka
terdorong dan jatuh tunggang-langgang
seperti daun-daun kering tertiup angin
keras. Melihat ini, terkejutlah Lauw-piauwsu.
Dia tadi me-lihat betapa kakek pengemis itu
hanya mendorongkan tangan kirinya ke
depan dan empat orang anak buahnya telah
terpelanting, tanda bahwa kakek itu te-lah
melakukan pukulan jarak jauh dan ternyata
tenaga sakti itu amatlah kuat-nya. Di tempat
seperti itu melihat orang menyerang anak
buahnya, apalagi mereka telah mendengar
bahwa di pegunungan ini sekarang banyak
datang orang-orang dari kaum sesat, maka
tentu saja Lauw-piauwsu segera menduga
bahwa tentu kakek itu merupakan seorang
tokoh kaum sesat yang sengaja
menghadang dengan niat tidak baik.
Apalagi melihat betapa Siauw Goat masih
juga belum mampu bergerak, maka secepat
kilat kedua ta-ngannya itu masing-masing
telah melon-tarkan masing-masing tiga
batang pisau terbang sehingga secara
berturut-turut ada enam buah pisau terbang
menyam-bar-nyambar ke arah enam bagian
tu-buh yang berbahaya dari kakek jembel
itu!
Sepasang mata kakek pengemis itu
terbelalak dan ternyata dia memiliki mata
yang lebar sekali, tangannya telah
menangkap tongkat bambunya yang
ter-sandar pada batang pohon di
belakangnya dan begitu dia menggerakkan
tongkat, nampak gulungan sinar menangkis
caha-ya-cahaya pisau terbang yang
menyam-bar. Terdengar suara nyaring dan
pisau-pisau terbang itu meluncur kembali
dan menyerang pemiliknya dengan
kecepatan yang luar biasa! Tentu saja
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Akan
tetapi sebagai seorang ahli pisau terbang,
tentu saja dapat menghindarkan diri dari
sambaran pisau-pisaunya sendiri. Tangan
kanannya sudah mencabut sepasang siangto
(golok sepasang) yang kemudian dibagi
dua de-ngan tangan kirinya dan dua
gulungan si-nar golok itu menyampok
pisaunya yang runtuh ke atas tanah, lalu
diambilnya dan disimpannya kembali ke
pinggangnya.
Tiba-tiba terdengar suara Kakek Kun yang
tenang namun berwibawa, “Tahan semua,
jangan mencampuri urusan cucu-ku!”
Seruan ini ditujukan kepada Lauw-piauwsu
dan anak buahnya yang tentu saja sudah
menjadi marah dan siap untuk mengeroyok.
Mendengar seruan ini, Lauw-piauwsu lalu
Choirul, maret 2008 23
meloncat mundur dan memberi isyarat
kepada semua anak buahnya untuk
mundur. Dia sendiri diam-diam merasa
kaget dan kagum karena ketika dia
menangkis pisau-pisau terbang-nya tadi,
ketika golok-goloknya bertemu dengan
pisau-pisau kecil itu, dia merasa betapa
kedua tangannya kesemutan, tan-da bahwa
tenaga yang melontarkan pi-sau-pisaunya
itu amatlah kuatnya. Pada-hal kakek itu
hanya menangkis saja pi-sau-pisau itu
dengan tongkat bambunya. Maka dapatlah,
dibayangkan betapa lihai-nya jembel tua itu!
Kakek Kun kini melangkah maju, masih
dalam jarak tiga meter dari cucu-nya.
Dengan sepasang matanya yang
mencorong, dia menatap ke arah kakek
jembel yang masih duduk sambil
terse-nyum itu. Kemudian Kakek Kun
mengangguk dan berkata kepada pengemis
itu, “Sobat, kalau cucuku mempunyai
kesalah-an terhadapmu, anggaplah saja itu
kelan-cangan anak-anak, perlukah engkau
menanggapinya dengan serius? Kalau
hendak berurusan, baiklah kau berurusan
dengan aku sebagai kakeknya yang
bertanggung jawab!”
Lauw-piauwsu dan orang-orangnya
memandang dengan hati tegang dan juga
dengan penuh keheranan. Baru sekarang
mereka mendengar Kakek Kun bicara
banyak dan begitu kakek ini mengeluar-kan
suara, mereka dapat mengenal ciri-ciri
kegagahan seorang kang-ouw yang
menghadapi segala bahaya dan ancamandengan
tenang dan dingin. Kakek Kun
memang dapat melihat betapa cucunya
berada dalam kekuasaan tenaga sakti dari
pengemis tua itu, maka dia tidak mau
menggunakan kekerasan dan melarang
orang-orang lain menyerang penge-mis itu
karena hal ini dapat membahaya-kan
cucunya.
Pengemis itu membalas pandang mata
Kakek Kun, lalu mencorat-coret tanah di
depannya dengan tangan kanan yang
me-megang tongkat, sedangkan tangan
kiri-nya masih tetap diluruskan ke arah
Siauw Goat yang masih berdiri tak mam-pu
pergi. Kemudian dia berkata dengan suara
bernada mengejek. “Kalau berada di dunia
bawah sana, tentu saja aku Si Jembel Tua
tidak akan sudi ribut-ribut dengan seorang
anak kecil. Akan tetapi di sini, arak
merupakan sebagian nya-waku. Arakku
tinggal sedikit dihabiskan oleh anak lancang
ini, maka sebelum arakku diganti, takkan
kubebaskan dia!”
Suaranya penuh tantangan ditujukan
ke-pada semua orang yang berdiri di
depan-nya.
“Bohong! Dia bohong, Kong-kong! Sisa arak
dalam gucinya itu dia minum sen-diri
sampai habis!” teriak Siauw Goat dengan
marah.
Kakek Kun mengerutkan alisnya yang
sudah putih dan matanya yang mencorong
menyambar kepada wajah pengemis itu.
“Cucuku tidak pernah membohong!”
ben-taknya.
Pengemis tua itu memandang kepada
Siauw Goat. “Setan cilik, hayo kaukata-kan
siapa yang mengambil guci arakku dan
menuangkan sisa araknya sampai habis!”
“Memang aku yang mengambil, aku yang
menuangkan sisa araknya, akan tetapi
kutuangkan semua ke dalam mulutmu!
Hayo kausangkal kalau berani!” bentak
Siauw Goat dengan sikap menan-tang.
“Tetap saja perbuatanmu membuat arakku
habis, baik masuk perut ataupun masuk
tanah. Engkau atau orang lain harus
mengganti arakku!” kakek jembel itu
berkeras, dengan sikap kukuh.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus
tenang. “Locianpwe, semua omongan baru
benar kalau ada buktinya. Apakah.
Lo-cianpwe dapat membuktikan bahwa guci
arakmu itu telah kosong?” Semua orang
menoleh, juga pengemis tua itu dan yang
bicara dengan tenang itu bukan lain adalah
Si Sastrawan muda tadi, yang sudah berdiri
Choirul, maret 2008 24
dengan sikap tenang meng-hadapi
pengemis tua itu.
“Tentu saja!” Pengemis tua itu ber-teriak.
“Lihat, ini guci arakku kosong sama sekali!”
Dia mengangkat guci arak yang kosong itu,
mengarahkan mulut guci ke depan.
Tiba-tiba nampak sinar kuning emas
meluncur dari tangan sastrawan itu dan
tercium bau arak wangi. Semua orang
terbelalak ketika melihat bahwa sinar kuning
emas itu adalah arak yang mun-crat keluar
dari dalam guci arak yang dipegang oleh
tangan kanan sastrawan itu dan arak itu
terus meluncur ke depan, tepat sekali
memasuki guci arak kosong-nya yang
dipegang oleh Si Pengemis tua! Demikian
cepatnya peristiwa ini terjadi dan demikian
kagum dan herannya semua orang
sehingga suasana menjadi sunyi dan yang
terdengar hanyalah percikan arak yang
masuk ke dalam guci kakek jembel. Kakek
itu pun terbelalak dan tersenyum lebar.
Gucinya pun terisi arak dan kini sastrawan
itu sudah menyimpan kembali gucinya dan
sinar kuning emas itu pun lenyap.
“Saya telah mengganti arakmu,
Lo-cianpwe!” katanya tenang.
Kakek jembel itu mendekatkan mulut guci
ke depan hidungnya, menyedot-nye-dot dan
terkekeh girang. “Wah, arak wangi dari Paoteng
kiranya! Hemm, wangi.... wangi!” Dan
dia pun meneguk sekali, mengecap-ngecap
bibirnya. “He-bat, arak tua yang lezat. Haha-
ha, anak baik, kau boleh pergi
sekarang.” Dia menurunkan tangan kirinya
dan Siauw Goat pun dapat bergerak. Anak
ini lalu berlari mendekati kong-kongnya.
“Kong-kong, kaubunuhlah siluman ja-hat
ini!” katanya merengek, menarik tangan
kakeknya mendekati pengemis itu. Akan
tetapi pengemis itu sudah mere-bahkan diri
lagi, meringkuk miring seper-ti orang
hendak tidur lagi, tanpa mem-pedulikan
mereka semua!
Tentu saja Kakek Kun menjadi bi-ngung
dan ragu. Sebagai seorang yang
berpemandangan luas, dia tahu bahwa
kakek jembel itu adalah seorang kang-ouw
yang pandai, dan kesalahannya ter-hadap
cucunya tidaklah sedemikian he-batnya
sehingga perlu dibunuh seperti diminta oleh
cucunya. Maka dia menarik tangan Siauw
Goat menjauhi pengemis itu. Siauw Goat
yang bertolak pinggang dengan tangan kiri
memandang kepada pengemis itu penuh
kemarahan, tertarik pergi menjauh.
“Kong-kong, katamu kita harus ber-sikap
gagah, kalau bertemu orang jahat atau
siluman harus menentangnya. Jem-bel tua
bangka ini jelas orang jahat atau siluman,
mengapa Kong-kong tidak meng-hajarnya?
Dia akan menjadi semakin besar kepala!”
Kembali Kakek Kun mengerutkan alisnya
karena bingung. Dia tidak ingin mencari
perkara dengan kakek jembel itu, akan
tetapi kalau dia diam saja, tentu kakek
pengemis itu akan meman-dang rendah
kepadanya, dan dia akan menjadi buah
tertawaan orang-orang lain.
“Sudahlah, perlu apa layani dia?” Akhirnya
dia berkata. Ucapan ini mem-buat Si Kakek
pengemis bangkit lalu dia tertawa bergelak,
jenggotnya yang tidak teratur itu bergerakgerak.
“Ha-ha-ha!” Kakek jembel itulah yang
tertawa mendengar permintaan cucu
kepada kakeknya itu. “Apakah aku ini
dianggap lalat saja yang mudah dibunuh?
Eh, engkau yang mempunyai cucu bengal
itu, coba kauambil daun ini apakah dapat
sebelum bicara tentang bunuhmembu-
nuh!” Sambil berkata demikian,
jembel tua itu mengambil sehelai daun
pohon yang gugur. Daun yang sudah mulai
me-nguning itu lalu dilontarkannya ke atas
dan daun itu melayang naik. Akan tetapi
kakek jembel itu tidak menurunkan
ta-ngannya dan tangan itu, seperti ketika
dia “menahan” Siauw Goat tadi, diang-kat
dengan telapak tangan ke arah daun itu
dan.... daun itu tidak dapat melayang turun,
Choirul, maret 2008 25
mengambang di udara seperti tertahan oleh
suatu tenaga yang tidak nam-pak,
kemudian daun itu melayang ke arah Kakek
Kun!
Kakek Kun sejak tadi memandang tajam
dan mengertilah dia bahwa kakek jembel itu
memamerkan tenaga sin-kang yang
dipergunakan untuk menyerangnya dengan
daun itu, sungguhpun penyerangan itu
hanya merupakan suatu ujian belaka.
“Hemm, cucuku memang masih kecil, akan
tetapi engkau tak lain hanyalah se-orang
anak kecil pula yang bertubuh tua bangka!”
kata Kakek Kun dan dia pun lalu
meluruskan tangannya ke depan, ke arah
daun yang melayang-layang ke arah dirinya
itu.
Daun itu berhenti ditengah-tengah, tidak
meluncur maju lagi, seolah-olah tertahan
oleh tenaga lain yang datang dari kakek itu,
bahkan terdorong mundur kembali ke arah
kakek pengemis. Akan tetapi kakek
pengemis itu menggetarkan tangannya dan
kini daun itu berhenti di tengah-tengah di
antara dua orang kakek. Mereka tidak
bicara lagi, dan mata me-reka ditujukan ke
arah daun yang diam saja di udara seperti
terjepit antara dua kekuatan dahsyat! Makin
lama dua orang kakek itu makin diam dan
lengan mere-ka yang diluruskan tergetar,
makin lama makin menggigil dan dari
kepala mereka mulai nampaklah uap putih!
Inilah tanda bahwa keduanya saling
mengerahkan te-naga untuk mencapai
kemenangan dalam adu tenaga dalam yang
amat dahsyat itu! Semua piauwsu yang
dipimpin oleh Lauw-piauwsu itu
memandang dengan mata ter-belalak dan
muka penuh ketegangan. Tingkat
kepandaian mereka, bahkan ting-kat
kepandaian Lauw-piauwsu sendiri, tidaklah
mencapai setinggi itu, akan tetapi mereka
semua mengerti apa arti-nya pertandingan
antara dua orang kakek ini. Baru sekarang
Lauw-piauwsu dan semua anak buahnya
sadar bahwa dua orang kakek itu benarbenar
merupakan orang-orang yang
memiliki tingkat kepan-daian tinggi sekali!
Diam-diam sastrawan muda itu
me-mandang pertandingan itu dengan
kedua alis berkerut dan pandang mata
penuh kekhawatiran. Hanya dialah yang
tahu, di antara para anggauta rombongan
itu, di samping dua orang kakek yang saling
bertanding tenaga sin-kang, bahwa
pertan-dingan itu mengandung bahaya yang
amat hebat antara dua orang itu, keduanya
terancam bahaya besar yang dapat
me-nyeret nyawa mereka ke alam ba-ka!
Pertandingan itu sudah terlanjur, tenaga
sin-kang mereka sudah terlanjur saling
melekat dan sukar untuk ditarik kembali
karena siapa yang menariknya kembali
lebih dulu terancam bahaya do-rongan
hawa sin-kang lawan. Melanjutkan-nya pun
berbahaya karena mereka memiliki tingkat
tenaga sin-kang yang berim-bang, dan
kalau dilanjutkan maka ke-duanya akhirnya
tentu akan kehabisan tenaga dan dapat
terluka sendiri. Kalau keduanya mau
menarik kembali tenaga dalam waktu yang
bersamaan, agaknya mereka masih dapat
tertolong, akan te-tapi agaknya kedua orang
kakek ini sa-ma-sama memiliki kekerasan
hati dan tidak ada yang mau mengalah!
“Ji-wi seperti dua orang anak kecil
berebutan sehelai daun!” Tiba-tiba
ter-dengar sastrawan itu berseru dari
sam-ping dia lalu menggerakkan tangan
kanannya ke depan, mengarah tengahtengah
antara kedua orang kakek itu, yaitu
ke arah daun yang masih mengambang di
udara.
Dua orang kakek itu berseru kaget dan
daun itu hancur-lebur, rontok berhamburan
melayang ke bawah. Dua orang kakek itu
sudah menarik tenaga masing-masing pada
saat yang sama ketika keduanya merasa
terdorong oleh tenaga yang luar biasa
kuatnya dan mereka terhindar dari
malapetaka. Kini mereka dengan mata
terbelalak memandang kepada sastrawan
itu yang berdiri dengan sikap tenang saja.
Bahkan Kakek Kun sendiri tidak pernah
menyangka bahwa sastrawan itu ter-nyata
memiliki tenaga sin-kang yang de-mikian
Choirul, maret 2008 26
dahsyatnya, sungguhpun dia tahu bahwa
sastrawan itu bukan orang semba-rangan.
Kakek pengemis itu kini bangkit ber-diri,
tubuhnya kurus sekali dan tingginya sedang
saja, tangan kanan memegang tongkat
bambu dan tangan kiri meme-gang guci
arak. Ujung tongkat bambunya kini
menyentuh mangkok retak di bawah pohon
dan mangkok itu melayang naik, lalu seperti
seekor burung hidup saja mangkok itu
menyambar turun dan me-nyusup ke dalam
karung butut di atas punggungnya.
Tiba-tiba sastrawan itu berkata, sua-ranya
seperti orang bernyanyi perlahan namun
pandang matanya yang tajam ditujukan
kepada kakek pengemis itu. “Arak untuk
menghibur hati yang duka, mangkok untuk
minta derma, dan tongkat untuk memukul
anjing. Kalau arak untuk mabok-mabokan,
mangkok untuk memaksa orang memberi
makanan dan tongkat untuk memukul orang
baik-baik, itu nama-nya menyeleweng dan
tidak pantas men-jadi pengemis!”
Mendengar ucapan itu, kakek penge-mis
terbelalak dan memandang penuh
keheranan kepada Si Sastrawan dari
ke-pala sampai ke kaki. Kemudian dia
mengangguk-angguk, lalu berkata,
“Bu-kankah itu ajaran terkenal dari
Khong-sim Kai-pang?”
“Khong-sim Kai-pang sekarang sudah tidak
ada lagi.” jawab sastrawan itu. Khong-sim
Kai-pang (Perkumpulan Penge-mis Hati
Kosong) adalah sebuah perkum-pulan yang
paling terkenal di jaman dahu-lu,
merupakan perkumpulan yang paling
terkenal di antara perkumpulan pengemis
lain, dan ketuanya, yaitu keturunan orang
she Yu yang amat lihai, dianggap sebagai
tokoh besar dunia pengemis.
“Siapa tidak tahu akan hal itu? Akan tetapi,
bukankah masih ada ketuanya yang
terakhir, Sai-cu Kai-ong? Orang muda yang
perkasa, apakah hubunganmu dengan Saicu
Kai-ong?”
“Beliau pernah menjadi guruku.”
Mendengar jawaban ini, pengemis tua itu
kelihatan terkejut dan cepat menjura.
Jawaban itu menunjukkan bahwa pemuda
ini bukan hanya menjadi murid tokoh
pengemis besar itu, akan tetapi juga tentu
telah mempelajari ilmu dari orang lain, maka
jawabannya adalah “pernah menjadi
guruku”.
“Aih, kiranya begitu! Sungguh lama sekali
aku tidak berjumpa dengan Sai-cu Kai-ong
yang amat kukagumi, dan kini bertemu
dengan seorang muridnya yang perkasa,
benar-benar merupakan pertemuan yang
menggembirakan. Jangan khawatir, orang
muda, aku Koai-tung Sin-kai selamanya
tidak pernah mening-galkan kedudukan
pengemis untuk bero-bah menjadi
perampok, dan tongkat bu-tutku ini tidak
pernah salah memukul orang!” Kakek kurus
itu tertawa.
Sastrawan itu memandang tajam. Tentu
saja dia pernah mendengar nama Koai-tung
Sin-kai Bhok Sun, seorang tokoh dunia
pengemis yang amat terke-nal, sebagai
datuk kaum pengemis di dunia selatan di
samping beberapa orang lagi tokoh-tokoh
pengemis di daerah timur dan selatan.
Maka dia pun menjura dengan hormat.
“Kiranya Locianpwe adalah Koai-tung Sinkai
yang terkenal. Saya percaya bah-wa
Locianpwe tidak pernah salah memu-kul
orang, akan tetapi tadi hampir saja terjadi
hal yang tidak menyenangkan antara teman
segolongan sendiri. Sastra-wan muda itu
berani menggunakan sebut-an segolongan
karena dia mengenal nama kakek pengemis
itu sebagai seorang to-koh koh kang-ouw
yang bersih, sedangkan Kakek Kun ini,
biarpun belum diketahui-nya benar, dia
percaya bukanlah seorang penjahat.
Koai-tung Sin-kai tertawa gembira. “Ha-haha,
semua gara-gara kekerasan hati, dan
dibandingkan dengan kami dua orang tua
yang keras hati, anak perem-puan itu
memiliki kekerasan hati yang jauh lebih
Choirul, maret 2008 27
hebat lagi!” Dia lalu menjura kepada Kakek
Kun sambil berkata, “Sahabat, maafkan
kesalahfahaman tadi. Engkau sungguh
hebat dan membuat aku Koai-tung Sin-kai
merasa takluk. Tidak tahu siapakah
julukanmu?”
Kakek Kun mengerutkan alisnya, agaknya
sukar untuk menjawab. Semen-tara itu, tibatiba
Siauw Goat berkata dengan suaranya
yang merdu dan nyaring. “Kong-kong, hatihati,
di balik air tenang ada ikan buasnya, di
balik kulit halus ada ulatnya!”
Semua orang tentu saja mengerti apa yang
dimaksudkan oleh gadis cilik ini, yang
hendak memperingatkan kakeknya agar
tidak tertipu oleh sikap manis pe-ngemis tua
itu karena dia masih saja merasa
penasaran dan menganggapnya jahat.
Akan tetapi kakek pengemis itu tertawa
gembira mendengar ucapan itu.
“Hei, anak nakal, engkau pendendam
benar, akan tetapi engkau pun
memban-tuku untuk berkenalan dengan
orang-orang gagah seperti murid Sai-cu
Kai-ong dan kakekmu ini, tentu saja kalau
dia tidak merasa terlalu tinggi untuk
berkenalan dengan seorang jembel tua
bangka seperti aku!”
Ucapan dan sikap kakek pengmis itu
membayangkan ketinggian hatinya,
sung-guh tidak sesuai sama sekali dengan
ke-adaan pakaiannya seperti seorang
penge-mis! Dan Kakek Kun sejenak
memandang dengan sinar mata tajam dan
mukanya berubah pucat, akan tetapi hal ini
hanya dapat ditangkap oleh pandang mata
sastrawan itu yang mengerutkan alisnya
karena sastrawan ini dapat melihat bah-wa
kakek ini seperti merasa terpukul dan
agaknya kakek ini menderita sekali.
Pa-dahal dia tahu bahwa dalam adu tenaga
tadi, Kakek Kun tidak kalah kuat, maka tidak
mungkin kalau terluka oleh adu tenaga tadi.
Akan tetapi sekarang kakek itu
menunjukkan gejala-gejala seperti orang
yang menderita luka dalam yang amat
hebat, sungguhpun hal itu agaknya hendak
disembunyikan. Akan tetapi mengingat akan
keangkuhan kakek ini, Si Sastrawan juga
mengambil sikap tidak peduli.
Akhirnya terdengar kakek itu meng-gumam,
“Orang-orang menyebutku Kakek Kun, dan
aku tidak mencari musuh baru atau sahabat
baru.” Setelah berkata demikian, dia
membalikkan tubuhnya membelakangi
pengemis itu dan terdengar dia batuk-batuk
kecil lalu meng-gandeng tangan cucunya
dan pergi dari situ.
Sejenak kakek pengemis itu meman-dang
dengan mata terbelalak, mukanya lalu
menjadi merah dan dia tertawa. “Ha-ha-ha,
aku pun tidak ingin berdekat-an dengan
rombongan orang-orang tinggi hati dan
besar kepala. Huhhh!” Kakek pengemis itu
berkelebat dan sekali meloncat dia pun
lenyap dari situ.
Semua orang terkejut, termasuk Lauw Sek.
Kepala piauwsu ini sudah banyak
melakukan perjalanan dan bertemu de-ngan
orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh,
maka mengertilah dia bahwa pe-ngemis tua
itu benar-benar seorang yang pandai sekali
dan untunglah bahwa orang pandai itu tidak
bermaksud mengganggu barang-barang
kawalannya. Juga dia me-rasa beruntung
bahwa ada orang-orang sakti seperti Kakek
Kun dan juga sastra-wan muda itu dalam
rombongannya.
“Kita mengaso di sini dulu.” katanya, lebih
banyak ditujukan kepada tiga orang
saudagar gendut itu. “Malam nanti kita
dapat melewatkan malam di dalam hutan
bambu, dan besok pagi-pagi kita menu-runi
lembah di depan itu dan tiba di dusun
Lhagat, darimana kita akan melanjutkan
pendakian ke Pegunungan Himala-ya.”
Sambil mengeluarkan napas lega tiga orang
saudagar itu mencari tempat teduh di
bawah pohon, melepaskan beberapa
kancing baju bagian atas lalu
mengebut-ngebutkan kipas yang mereka
bawa untuk mengeringkan peluh yang
membasahi leher dan dada. Para pemikul
Choirul, maret 2008 28
barang ka-walan rombongan piauwsu itu
pun menu-runkan pikulan mereka dan para
piauwsu membuka buntalan mengeluarkan
bekal makanan dan minuman. Sastrawan
itu menyendiri agak jauh, duduk melamun
dengan wajah yang seperti biasanya, agak
sayu dan muram. Demikian pula Kakek Kun
membawa cucunya, menjauh sedikit, duduk
bersila dan seperti orang bersa-madhi,
sedangkan cucunya nampak makan bekal
mereka roti kering sambil minum air jernih
dari guci. Agaknya kakek itu mengomeli
cucunya, karena bukti tidak seperti biasa,
Siauw Goat juga menjadi pendiam dan agak
murung, duduk saja dekat kakeknya, tidak
seperti biasa lin-cah dan tak pernah mau
diam. Setelah peristiwa yang baru saja
terjadi, di mana sastrawan itu dan Kakek
Kun memper-lihatkan ilmu mereka yang
tinggi, rom-bongan piauwsu itu menjadi jerih
dan sungkan, tidak berani sembarangan
me-negur, apalagi bersikap sebagai
sahabat-sahabat yang setingkat! Mereka
bahkan mempunyai perasaan segan dan
takut-takut. Dan agaknya Kakek Kun dan
sas-trawan itu juga merasa lebih senang
kalau didiamkan saja, lebih senang
teng-gelam dalam lamunan mereka sendiri!
Setelah makan minum dan beristira-hat,
Lauw-piauwsu lalu menggerakkan lagi
rombongannya. “Kita tidak boleh terlambat,
sebelum gelap harus dapat tiba di hutan
bambu di lembah itu ka-rena sekeliling
daerah ini hanya hutan bambu itulah tempat
yang paling baik untuk melewatkan malam.”
katanya dan semua orang tidak ada yang
membantah, biarpun dari wajah mereka,
tiga orang saudagar gendut itu mengeluh.
Mereka adalah orang-orang yang tidak
tahan menderita, hal itu karena mereka
mengharapkan keuntungan berlipat ganda
dari batu-batu permata di saku-saku baju
mereka, yang akan mereka jual di Nepal
atau Bhutan.
Memang amat luar biasa. Betapa manusia
dapat menahan segala kesukaran, segala
derita kalau dia sedang mengejar sesuatu
yang dianggapnya akan mendatangkan
kesenangan! Perjalanan itu amat
melelahkan, jalannya naik turun dan
ka-dang-kadang melalui daerah yang
berbatu dan batu-batu yang runcing itu
seperti hendak menembus sepatu, terasa
oleh kulit telapak kaki. Akan tetapi
menjelang senja, akhirnya dengan tubuh
yang amat letih bagi tiga orang saudagar
itu, tiba-lah mereka di hutan bambu yang
dirmak-sudkan oleh Lauw-piauwsu. Para
piauwsu juga letih. Apalagi orang-orang
yang memikul barang bawaan mereka itu,
mereka mandi keringat ketika menurun-kan
barang-barang itu, menumpuknya di dekat
rumpun bambu yang tinggi melengkung.
Tanah di hutan itu penuh dengan daun
bambu kering sehingga enak diduduki,
seperti duduk di atas kasur saja. “Hati-hati
kalau malam nanti membuat api unggun.”
kata Lauw-piauwsu. “Sekitar api unggun
harus dibersihkan dari daun ke-ring agar
tidak menjalar dan menim-bulkan
kebakaran dalam hutan, walaupun hal itu
agaknya tidak mungkin karena kurasa
malam ini hawanya akan dingin dan
lembab. Sebaiknya membuat satu api
unggun besar dan kita duduk di
sekeli-lingnya, agar lebih hangat dan lebih
aman, dapat saling menjaga.”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang
mengejutkan dan seorang di antara para
piauwsu yang tadi mencari ranting-ranting
kering agak jauh dari situ berlari
mendatangi dengan muka pucat dan na-pas
memburu, kelihatan ketakutan sekali,
kemudian terdengar dia berteriak dengan
suara gagap. “Ada.... ada mayat....!”
Semua orang lalu memburu ke arah
piauwsu itu menudingkan telunjuknya yang
gemetar dan setelah mereka tiba di tempat
itu barulah mereka tahu mengapa piauwsu
itu, seorang yang biasa dalam pertempuran
dan sudah sering kali me-lihat orang
terbunuh, kelihatan begitu gugup dan
ketakutan. Memang amat me-ngerikan
sekali apa yang mereka lihat itu. Mayatmayat
berserakan, dalam keadaan
menyedihkan karena tidak ada tubuh
mereka yang utuh! Tubuh itu seperti
Choirul, maret 2008 29
“dirobek-robek”, bahkan ada yang kaki
tangannya putus atau terlepas dari ba-dan!
Dan melihat betapa tempat itu masih
berceceran darah yang mulai membeku
dapat diduga bahwa pembunuh-an itu
terjadi di hari tadi. Ada lima mayat di tempat
itu.
Tentu saja para piauwsu menjadi ri-but, dan
tiga orang saudagar gendut itu hampir saja
pingsan, lari menjauhi dan muntah-muntah.
Hanya sastrawan itu dan Kakek Kun yang
tetap tenang, walaupun kakek itu melarang
cucunya mendekat, kemudian membawa
cucunya kembali dan menjauh dari tempat
yang menyeramkan itu. Lauw-piauwsu lalu
mengajak anak buahnya untuk mengganti
sebuah lubang besar dan menguburkan
lima mayat itu menjadi satu. Melihat ini, ada
sinar mata kagum pada mata Kakek Kun
yang men-corong itu dan dia mulai merasa
suka kepada kepala piauwsu itu yang
ternyata, dalam keadaan seperti itu, biarpun
dia itu seorang yang biasa menggunakan
kekerasan dan menghadapi tantangan
hidup dengan golok di tangan, namun
masih memiliki perikemanusiaan dan suka
mengurus dan mengubur mayat orangorang
yang sama sekali tidak dikenalnya.
Dengan adanya lima mayat di dekat tempat
itu, tentu saja suasana menjadi serem dan
semua orang merasa amat tidak enak
hatinya. Sastrawan muda yang sejak tadi
termenung, kini bangkit berdiri dan
melangkah pergi.
“Taihiap, engkau hendak ke mana-kah?”
Lauw-piauwsu tidak dapat menahan hatinya
dan bertanya sambil menghampiri
sastrawan yang agaknya hendak pergi itu.
Dia menyebut taihiap karena dia maklum
bahwa sastrawan itu adalah seorang
pen-dekar yang amat tinggi ilmunya.
Sebelum peristiwa dengan kakek pengemis
itu, dia selalu menyebutnya kongcu (tuan
muda). Sastrawan muda itu berhenti
melangkah dan menoleh.
“Pembunuh kejam itu tentu berada di sekitar
sini, aku hendak menyelidiki.” katanya, lalu
melanjutkan langkahnya. Lauw-piauwsu
tidak berani bertanya lebih banyak lagi,
bahkan hatinya merasa lega karena
memang tadi pun dia sudah me-rasa curiga.
Pembunuhan kejam itu be-lum lama terjadi
dan memang kemung-kinan besar
pembunuhnya, siapa pun orangnya atau
apa pun mahluknya, masih bersembunyi di
sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik
mengingat ini dan setelah anak buahnya
membuat sebuah api ung-gun yang besar
dan semua orang mulai mengaso tanpa
makan malam karena tidak ada yang dapat
menelan makanan setelah melihat keadaan
mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu
mengatur para anak buahnya untuk
melakukan penjagaan secara bergilir.
Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi
yang amat menyeramkan. Suasana ini
bukan hanya diciptakan oleh keadaan di
dalam hutan bambu itu, yang memang amat
menyeramkan, dengan bunyi daun-daun
bambu terhembus angin, bergesekan dan
diseling suara berdesirnya batang-batang
bambu yang saling bergosokan, seperti
tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka
dongeng, melainkan ter-utama sekali
disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut
yang menyelubungi hati rombongan itu.
Lewat tengah malam, di waktu ke-adaan
amat sunyinya karena sebagian dari
anggauta rombongan sudah tidur,
sedang-kan angin pun berhenti bertiup
sehingga keadaannya amat sunyi
melengang. Tiba-tiba terdengar pekik-pekik
kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek
kesunyian itu mengejutkan semua orang.
Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja
tidur dalam keadaan gelisah dan diburu
ketakutan, serentak terbangun dan
ke-adaan menjadi panik. Apalagi ketika
mereka melihat dua di antara empat orang
pemikul barang itu telah roboh mandi darah
dan tak bergerak lagi, se-dangkan dua
orang piauwsu sudah luka-luka namun
masih mempertahankan diri melawan dua
orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!
Ketika semua orang terbangun dan
memandang, ternyata dua orang piauwsu
Choirul, maret 2008 30
itu pun tak sanggup mem-pertahankan diri
lebih lama lagi. Mereka berdua ini
bersenjata golok besar, akan tetapi mereka
terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar
yang tidak memegang senjata, akan tetapi
kedua tangan mere-ka memakai semacam
sarung tangan yang mengerikan karena
sarung tangan itu dipasangi lima buah jari
tangan yang melengkung dan berkuku
tajam kuat ter-buat dari pada baja! Tubuh
dua orang piauwsu itu sudah luka-luka dan
mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu
me-loncat, dua orang piauwsu itu roboh
dengan perut terbuka karena dicengkeram
dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu.
Mereka pun menjerit dan berkelojotan!
Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali
dan kedua tangannya diayun. Nam-pak
sinar-sinar berkilauan menyambar ke arah
dua orang tinggi besar itu.
“Tring-tring-cring....!” Dua orang itu tidak
mengelak, akan tetapi menggerakkan
kedua tangan mereka dan enam ba-tang
hui-to yang menyambar mereka itu dapat
mereka sampok runtuh semua! Pada saat
itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu
pada api unggun sehing-ga keadaan
menjadi terang.
“Kalian....!?” Lauw-piauwsu berteriak
dengan mata terbelalak ketika dia kini
mengenal wajah dua orang tinggi besar itu,
yang tertimpa sinar api unggun. Semua
orang pun menjadi terkejut dan terheranheran
karena dua orang tinggi besar itu
bukan lain adalah dua di antara empat
orang pemikul barang-barang da-lam
rombongan mereka! Dua di antara para
pemikul barang-barang yang mereka
tadinya hanya anggap sebagai orang-orang
kasar yang mengandalkan tenaga kasar
untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh
hasil nafkah sekedarnya itu!
“Kalian.... anggauta Eng-jiauw-pang....?”
Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan
keheranan masih mencekam hatinya.
“Ha-ha-ha!” Seorang di antara dua orang
“kuli” itu tertawa. “Lauw-piauwsu, kami
hanya menghendaki satu peti ini saja!”
katanya sambil menepuk peti hi-tam yang
sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu
justru merupakan benda yang paling
berharga di antara semua yang dikawalnya
karena peti itu berisi batu-batu intan besar.
“Pek-i-piauw-kiok tidak pernah ber-musuhan
dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka
memandang persahabatan antara dunia
liok-lim (rimba hijau) kang-ouw (sungai
telaga) dan tidak menggang-gu. Pada suatu
hari tentu aku sendiri yang akan datang
mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk
menghaturkan terima kasih.” kata Lauw Sek
dengan tenang akan te-tapi dengan
kemarahan yang sudah mulai naik ke
kepalanya. Diam-diam ketua Pek-i-piauwkiok
ini merasa menyesal sekali mengapa
sampai “kebobolan” dan tidak tahu bahwa
ada perampok dari perkumpulan perampok
yang paling ganas di See-cuan menyamar
sebagai dua orang kuli angkut barang!
Memang dua orang kuli angkut ini baru
pertama kali dipekerjakan, namun dengan
perantaraan dua orang kuli lain yang kini
telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang
anggauta Eng-jiauw-pang. Dia segera
mengenal dua orang anggauta Eng-jiauwpang
begitu melihat cakar garuda di kedua
tangan itu, yang merupakan sarung tangan
dan senjata andalan dari para anggauta
Eng--jiauw-pang yang tidak banyak
jumlahnya akan tetapi yang rata-rata
memiliki ke-pandaian tinggi itu. Selama ini
dia tidak pernah mau berurusan dengan
fihak Eng-jiauw-pang dan perampokperampok
ini pun bukan perampok biasa,
tidak pernah merampok barang-barang
yang tidak ber-harga.
“Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu,
mana ada kerja sama yang adil? Kalau
kalian berani main sogok seribu tail, tentu
karena kalian ada untung sepuluh ribu tail!
Sudahlah, kami sudah bersusah payah
memangguli barang-ba-rang ini, dan peti ini
adalah upah kami!”
Choirul, maret 2008 31
“Tidak mungkin kalian dapat melari-kannya
tanpa melalui mayatku!” Lauw-piauwsu
membentak dan dia sudah me-nerjang maju
dengan sepasang goloknya, diikuti anak
buahnya yang hanya tinggal sembilan orang
saja karena yang dua orang sudah terluka
parah.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di
bawah sinar api unggun yang kadangkadang
membesar kadang-kadang
mengecil itu. Bayangan-bayangan yang
dibuat oleh sinar api ini sungguh
menam-bah seramnya keadaan karena
seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula
berkelahi, atau menari-nari kegirangan di
antara mereka yang bertempur mati-matian.
Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai
bukan main. Sepasang senjata me-reka
yang merupakan sarung tangan ber-kuku
baja itu amat berbahaya dan biar-pun
mereka berdua dikeroyok oleh se-puluh
orang piauwsu yang bersenjata tajam,
namun mereka berhasil melukai pula empat
orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar
sepasang goloknya secara cepat dan
dibantu oleh sisa teman-temannya, dia
berhasil mendesak dan mengepung ketat
sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu
kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara
mereka membentak keras, ter-dengar
ledakan dan nampak asap kehijau-an
mengepul tebal.
“Awas asap beracun!” Lauw-piauwsu
berseru dan anak buahnya berlompatan
mundur. Dengan sendirinya kepungan itu
berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang
itu menggunakan kesempatan ini untuk
melompat jauh ke belakang. Akan tetapi,
tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan
mereka melihat seorang kakek tua sudah
berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan
lain adalah Kakek Kun yang berdiri de-ngan
wajah bengis.
“Tinggalkan peti itu!” bentaknya.
“Kun-locianpwe, harap jangan men-campuri
urusan Eng-jiauw-pang dan Pek--i-piauwkiok!”
seorang di antara mereka berseru
marah.
“Hemm, aku tidak peduli apa itu Eng-jiauwpang
dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku
melihat kalian melakukan ke-jahatan, maka
dari mana pun kalian da-tang pasti akan
kutentang!”
Dua orang itu membentak keras dari
mereka menubruk dari kanan kiri, Kakek
Kun cepat menangkis dan balas
menye-rang dengan pukulan dan tamparan
yang juga dapat dielakkan dan ditangkis
oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu.
Terjadilah pertempuran amat serunya dan
kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi
dua orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok
banyak itu mampu mendesak para
pe-ngepungnya, sebaliknya kini mereka
me-ngeroyok seorang kakek dan merekalah
yang terdesak hebat. Setiap tamparan yang
keluar dari tangan kakek itu demi-kian
ampuhnya sehingga kalau mereka tidak
mampu mengelak dan terpaksa
menangkisnya, mereka tentu terdorong dan
terhuyung-huyung! Betapapun juga, dua
orang perampok itu menjadi nekat karena
tempat itu sudah dikepung lagi oleh Lauwpiauwsu
dan teman-temannya, siap untuk
menerjang kalau mereka ber-dua hendak
melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan
dengan mati-matlan, namun setelah lewat
lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali
mengadu tenaga me-reka dengan sin-kang
dari Kakek Kun, akhirnya dengan tamparantamparannya
yang mengandung tenaga sinkang
amat kuat itu Kakek Kun berhasil
membuat mereka terpelanting dan
mengaduh-aduh, sukar untuk bangkit
kembali!
Lauw-piauwsu merampas kembali peti
hitam itu dan dia sudah mengangkat golok
untuk membunuh. Akan tetapi Kakek Kun
berseru, “Jangan bunuh mere-ka yang
sudah kalah!”
Dua orang perampok itu merangkak dan
bangkit berdiri, memandang kepada Kakek
Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus
Choirul, maret 2008 32
berterima kasih! Mereka merasa digagalkan
oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya,
nyawa mereka pun tertolong olehnya!
Mereka tadinya jerih terhadap Si
Sastrawan, maka mereka sela-lu mencari
kesempatan. Kini, sastrawan itu pergi
menyelidiki pembunuh orang-orang dalam
hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak
mereka sangka bahwa kakek yang pendiam
dan tak acuh itu turun tangan mencampuri
dan menggagalkan usaha mereka!
Melihat sinar mata kedua orang itu, Kakek
Kun menggerakkan tangan dan menarik
napas panjang, suaranya ter-dengar lirih
sekali, “Pergilah.... pergi-lah....!”
Dua orang itu lalu mengangguk dan
berjalan pergi menghilang ke dalam ge-lap.
Lauw-piauwsu yang dapat merampas
kembali peti hitam itu, cepat mengham-piri
Kakek Kun dan memberi hormat, “Kunlocianpwe
telah menolong kami, sungguh
besar budi Locianpwe dan kami
menghaturkan banyak terima kasih....”
“Kong-kong....!” Siauw Goat berseru dan
Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lain
terkejut melihat kakek itu terhu-yunghuyung,
kemudian dari mulut kakek itu
tersembur darah segar.
“Kun-locianpwe....!” Lauw-piauwsu
mendekat hendak menolong, akan tetapi
kakek itu menggerakkan tangan, lalu
me-nuntun cucunya mendekati api unggun
di mana dia duduk bersila sebentar.
Wajah-nya pucat sekali, napasnya
terengah-engah, akan tetapi makin lama
pernapas-annya makin baik dan normal
kembali, sungguhpun wajahnya masih amat
pucat.
“Kong-kong, kenapa melayani segala
macam maling dan rampok? Kong-kong
telah terluka parah, masih melayani se-gala
jembel dan perampok busuk!” ter-dengar
Siauw Goat mengomel. “Kong-kong....!”
Gadis cilik itu memegangi le-ngan
kakeknya. Dia lebih mengenal ka-keknya
dan tahu bahwa kakeknya amat menderita.
Lauw-piauwsu kembali mende-kat dan dia
melihat kakek yang disang-kanya sudah
sembuh itu kini merebahkan diri telentang di
atas tanah bertilam daun-daun bambu,
dekat api unggun. Siauw Goat berlutut
didekatnya, nampak berduka dan alisnya
berkerut seperti menunjukkan
ketidaksenangan hatinya.
“Kun-Locianpwe, dapatkah saya mem-bantu
Locianpwe?” Lauw-piauwsu men-dekati dan
bertanya, sedangkan anak buahnya sibuk
mengurus mereka yang terluka dalam
pertandingan melawan dua orang perampok
Eng-jiauw-pang tadi, sedangkan dua orang
kuli angkut itu telah tewas.
Kakek itu tidak mehjawab dan Siauw Goat
menunduk, memegangi tangan ka-keknya
dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu
makin mendekat, memper-hatikan dan
akhirnya dia memegang per-gelangan
tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah
sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah
pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat
gosok, membuka kan-cing baju kakek itu
dan perlahan-lahan menggosok dadanya
dengan obat gosok panas itu.
Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari
pingsannya, menggerakkan pelupuk mata,
lalu membuka, menatap sejenak kepada
Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya,
kemudian menoleh dan meman-dang
kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak
pernah meninggalkannya.
“Lauw-piauwsu....” katanya lemah.
“Bagaimana, Locianpwe? Apakah
Lo-cianpwe membutuhkan sesuatu?”
“Dekatkan telingamu....“ katanya se-makin
lemah. Ketika Lauw-piauwsu men-dekatkan
telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun
berbisik-bisik menceritakan riwayatnya
secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan
waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu
mendengarkan sambil mengang-gukangguk
tanda mengerti, kadang-ka-dang
Choirul, maret 2008 33
matanya terbelalak seperti orang heran dan
terkejut.
Setelah menceritakan semua riwayat-nya
kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan
kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk
piauwsu itu telah dicengkeram-nya. Lauwpiauwsu
terkejut bukan main. Jari-jari
tangan kakek yang sudah terluka parah dan
amat berat dan gawat keadaan-nya itu
ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa
kakek itu masih dapat membunuh-nya
dengan sekali terkam!
“Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa
semua itu tidak akan kauberitahukan orang
lain, bahwa engkau akan meraha-siakan
keadaan kami. Bersumpahlah, ka-lau tidak
terpaksa aku akan membawamu bersama
untuk mengubur rahasia itu!”
Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini
sungguh orang luar biasa sekali, bu-kan
hanya berilmu tinggi, memiliki ri-wayat yang
aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras
dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia
lalu membisikkan sumpahnya. “Saya, Lauw
Sek, bersumpah untuk merahasiakan
segala yang saya dengar dari Kunlocianpwe
saat ini.”
Jari-jari tangan itu mengendur dan
melepaskan tengkuk Lauw Sek yang da-pat
menarik napas lega kembali.
“Dan benarkah engkau bersedia meno-long
cucuku ini seperti yang kaujanjikan tadi?”
“Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah
menyelamatkan nyawa saya, maka sudah
tentu saya akan suka membalas budi
kebaikan Locianpwe dengan melaku-kan
perintah apapun juga.” ,
“Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta
tolong orang.... hanya engkau yang
kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat
kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw
Goat saja karena namanya termasuk
rahasia itu.... dan kau harus membantu-nya
sampai dia bertemu dengan orang
tuanya....“
“Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal
itu, betapa pun akan sukarnya.”
“Aku tidak minta tolong cuma-cuma.... ini....
coba tolong keluarkan henda dari saku
bajuku, Goat-ji (Anak Goat)....”
Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya
memandang saja ketika kakeknya berbisikbisik
dekat telinga Lauw Sek tanpa dia
dapat mendengarkan jelas. Kini, dia lalu
memenuhi permintaan ka-keknya merogoh
saku dan mengeluarkan sebuah kantong
kain hitam.
“Lauw-piauwsu.... inilah biayanya eng-kau
mengantar cucuku.... kukira lebih dari
cukup....“ Dia menyerahkan kantung kain
hitam itu.
“Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak
mengharapkan upah!”
“Terimalah.... bukalah....” Suara kakek itu
semakin melemah dan pandang mata-nya
membuat Lauw Sek tidak berani
membantah lagi. Dibukanya kantung kain
hitam itu dan ternyata isinya hanya se-butir
benda sebesar telur burung merpati. Akan
tetapi ketika Lauw Sek memandang benda
yang kini berada di atas telapak tangannya
itu, dia terbelalak.
“Ini.... ini.... mutiara berharga seka-li....
saya.... mana berani menerimanya....?”
katanya gagap, terpesona oleh benda yang
berkilauan biru itu.
“Kau.... mengenalnya....?”
Lauw Sek mengangguk. “Bukankah ini
mutiara biru India yang hanya....”
“Sudahlah.... laksanakan permintaan-ku....”
Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit
duduk bersila. Tangannya masih mampu
menangkis ketika Lauw-piauwsu mencoba
untuk membantunya. Akhirnya dia dapat
Choirul, maret 2008 34
duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga
Teratai, yaitu duduk ber-sila dengan kedua
kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas
paha kanan dan kaki kanan telentang di
atas paha kiri. Ini adalah cara duduk terbaik
untuk orang yang suka melakukan meditasi
menghimpun kekuatan dan kini kakek itu
duduk seperti ini sambil memejamkan
kedua mata atau lebih tepat menunduk-kan
pandang mata dengan pelupuk atas
menutup, kedua tangannya terletak di atas
kedua lutut, telentang.
Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu
me-ngundurkan diri untuk membantu
teman-temannya yang masih sibuk
mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan
tetapi, ketika matahari mulai mengirim
sinarnya yang merah keemasan, membuat
benang--benang sutera menerobos celah
antara daun-daun bambu, dia mendengar
teriak-an Siauw Goat, “Kong-kong....!”
Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu
berlutut dan mendekap kedua tangan kakek
itu yang masih duduk ber-sila seperti tadi
akan tetapi kedua ta-ngannya dirangkap di
atas pergelangan kaki. Anak perempuan itu
tidak mena-ngis, hanya berlutut dan
membenamkan mukanya di atas kaki
kakeknya. Lauw Sek memandang wajah
kakek itu, dia mengerutkan alisnya dan
meraba perge-langan tangan kanan kakek
itu untuk merasakan denyut nadinya.
Anak perempuan itu tidak menangis, hanya
berlutut dan membenamkan mukanya di
atas kaki kakeknya.
“Dia sudah meninggal dunia!”
Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kira-nya
yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda
yang entah dari mana baru saja muncul dan
begitu melihat wajah kakek itu telah
berhenti bernapas. Dan memang
sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat
merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu
mengelus kepala Siauw Goat.
“Siauw Goat, kakekmu telah mening-gal
dunia dalam keadaan tenang, jangan kau
berduka lagi, Nak.” Suara piauwsu ini agak
gemetar karena dia merasa terharu sekali.
Dia tahu bahwa kakek ini agaknya
mengidap penyakit berat, dan ketika malam
tadi menolongnya meroboh-kan dua orang
perampok, agaknya kakek ini terlalu banyak
mengerahkan tenaga sehingga luka di
dalam tubuhnya makin parah dan
mengakibatkan tewasnya.
Anak perempuan itu mengangkat mukanya.
Mukanya pucat, sepasang mata-nya
bersinar-sinar, akan tetapi tidak nampak dia
menangis sungguhpun ada bekas air mata
membasahi kedua mata dan pipinya. Dia
sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia
mengepal tinju kanannya yang kecil sambil
berkata, “Aku bersumpah untuk membalas
kemati-an kakekku kepada Si Jembel tua
bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan
pen-jahat Eng-jiauw-pang!”
“Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali!
Koai-tung Sin-kai bukan....“
“Kau peduli apa?” Siauw Goat melon-cat
berdiri, bertolak pinggang mengha-dapi
sastrawan yang tadi mencelanya.
“Semalam Kong-kong yang sedang
men-derita luka parah telah terpaksa
mem-bantu para piauwsu menghadapi
penjahat-penjahat perampok Eng-jiauwpang
dan engkau bersembunyi di mana?
Sekarang setelah kakekku meninggal,
engkau mun-cul dan pura-pura hendak
menasehatiku. Bagus, ya?”
Sastrawan itu terbelalak, tersenyum urung
dan mukanya berobah merah. Wah, anak
ini luar biasa, pikirnya. Ketika dia
mengangkat muka, dia melihat pandang
mata semua orang ditujukan kepadanya,
seolah-olah mereka itu mendukung tegur-an
anak perempuan itu. “Aku menemukan jejak
manusia salju dan mengikutinya semalam
suntuk, akan tetapi tak berhasil
menemukannya.” dia menggumam.
Choirul, maret 2008 35
“Yeti....?” Lauw Sek berteriak de-ngan muka
pucat dan semua piauwsu juga menjadi
pucat mukanya, bahkan ada yang menggigil
ketakutan dan meman-dang ke kanan kiri.
“Di.... di mana.... dia....?” Lauw-piauwsu
bukanlah seorang yang lemah, akan tetapi
sebagai seorang piauwsu yang sering kali
melalui daerah ini, tentu saja dia sudah
mendengar ba-nyak tentang manusia salju
atau Yeti, betapa mahluk itu kalau sudah
mengamuk amat berbahaya, tidak ada
manusia di dunia ini yang mampu
menandinginya. Maka tidak mengherankan
kalau dia men-jadi pucat ketakutan.
Sastrawan itu menggerakkan pundak-nya.
“Aku hanya menemukan jejak kaki-nya saja,
dan jelas bahwa orang-orang yang terbunuh
itu adalah korban-korban-nya.”
“Tapi.... biasanya Yeti tidak pernah
mengganggu manusia. Kecuali.... kalau dia
lebih dulu diganggu. Tentu ada hal hebat
dan aneh terjadi maka Yeti dapat
me-ngamuk seperti itu, membunuh banyak
orang dan melihat betapa para korban itu
dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu
benar-benar sedang marah. Kita harus
cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita
cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu
segera melanjutkan perjalanan ke dusun
Lhagat!”
Semua orang lalu sibuk bekerja menggali
sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika
mereka hendak mengubur kakek itu,
ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk
bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk
kaki tangannya agar dapat rebah telentang.
“Biarkan saja!” tiba-tiba Siauw Goat berkata
lantang. “Kong-kong lebih suka tidur bersila,
jangan ganggu jenazahnya!” Anak itu tidak
tega melihat betapa para piauwsu berusaha
untuk menarik-narik kaki tangan kongkongnya.
Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja
dan mengangguk-angguk. Maka beramairamai
para piauwsu lalu meng-gotong tubuh
yang masih bersila itu, meletakkannya ke
dalam lubang yang cukup dalam. Setelah
Siauw Goat mem-beri hormat untuk yang
terakhir kalinya dengan hio yang menjadi
bekal para piauwsu, kemudian semua
piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga
tiga orang saudagar gendut, kecuali Si
Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu
lalu di-timbuni tanah. Tidak terdengar
tangis, akan tetapi sastrawan itu melihat
betapa air matanya bercucuran dari kedua
mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak
ini menangis, namun kekerasan hatinya
membuat tidak ada isak keluar dari
mu-lutnya.
“Luar biasa.... anak luar biasa....” Sastrawan
muda itu menggumam kepada diri sendiri.
Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat
lalu minta kepada Lauw Sek agar makam
itu diberi tanda. Piauwsu itu ke-lihatan
bingung. “Ah, tanda apa yang dapat dipakai
di tempat ini? Kecuali batu-batu kecil
ditumpuk.” Dia lalu me-merintahkan orangorangnya
untuk me-ngumpulkan batu-batu.
Akan tetapi tiba--tiba tampak sastrawan
muda itu datang dan kedua tangannya yang
diangkat ke atas kepala itu membawa
sebongkah batu sebesar kerbau bunting!
Semua orang memandang dengan kagum
dan terkejut, akan tetapi dengan seenaknya
sastrawan itu menurunkan batu perlahanlahan
ke depan makam baru. Tanpa
berkata sesua-tu dia lalu mundur lagi. Gadis
cilik itu pun hanya memandang sejenak
kepada Si Sastrawan, tanpa mengucapkan
terima kasihnya karena dia masih
mendongkol kepada sastrawan itu. Kalau
semalam sastrawan itu berada di situ dan
kakek-nya tidak perlu harus menandingi
para perampok, kakeknya belum tentu akan
mati!
Rombongan itu lalu melanjutkan
per-jalanan, menuruni lembah, dari hutan
bambu itu terus menurun, menuju ke dusun
Lhagat. Rombongan melakukan perjalanan
dengan agak tergesa-gesa dan pada wajah
para piauwsu itu terbayang ketakutan
setelah mereka mendengar cerita Si
Sastrawan bahwa Yeti berke-liaran di
Choirul, maret 2008 36
daerah itu dan membunuh orang secara
amat mengerikan. Mereka tidak banyak
bicara selama dalam perjalanan ini, bukan
hanya karena takut dan ngeri kepada Yeti,
akan tetapi juga karena mereka masih
menghormati kematian Kakek Kun dan
berada dalam keadaan berkabung. Juga
Siauw Goat yang biasa-nya lincah itu kini
nampak pendiam, akan tetapi sepasang
matanya kadang-kadang mengeluarkan
sinar penuh api ke-marahan.
Siauw Goat, Kong-kongmu meninggal-kan
pesan agar mulai saat ini aku menja-di
walimu, mengamatimu, mengurusmu dan
mengantarkan engkau untuk mencari orang
tuamu.” di dalam perjalanan itu Lauw Sek
mendekatinya dan berkata lirih. Gadis cilik
itu mengangguk tanpa menjawab.
“Oleh karena itu, mulai sekarang, ku-harap
engkau suka menuruti segala pe-tunjukku,
karena aku merasa bertanggung jawab atas
dirimu. Engkau tentu menger-ti bahwa aku
harus memenuhi segala janjiku kepada
Kong-kong, Siauw Goat.” Gadis cilik itu
mengangkat kepala dan memandang
kepada wajah piauwsu itu dengan sinar
mata penuh selidik, sinar mata yang amat
tajam. Agaknya dia me-rasa puas dengan
hasil penyelidikan sinar matanya, karena
dia kembali mengangguk dan bibirnya
bergerak perlahan, terdengar dia menjawab
lirih. “Baiklah, Lauw-pek.”
Biarpun dia berjalan agak menyendiri dan
agak jauh dari Siauw Goat, namun
pendengaran yang tajam dari Si Sastrawan
dapat menangkap percakapan lirih itu dari
dia hanya tersenyum sendiri. Perjalanan
dilanjutkan dengan secepat mungkin dan
kini para piauwsu terpaksa membagi-bagi
barang-barang bawaan yang dikawal
karena sudah tidak ada lagi kuli-kuli angkut
yang membantu mereka.
Lhagat adalah sebuah dusun yang besar,
mirip sebuah kota yang dikitari gununggunung
besar. Lhagat merupakan sebuah
tempat di perbatasan yang selalu ramai
karena tempat ini merupa-kan tempat
pemberhentian dari mereka yang
melakukan perjalanan dari Tibet ke Nepal
atau India, atau sebaliknya. Juga
merupakan tempat di mana orang-orang
memperdagangkan barang-barang
dagang-an mereka dari negara masingmasing,
pendeknya merupakan pasar bagi
para pedagang dari berbagai negeri yang
bertetangga.
Tempat perbatasan Lhagat ini dike-palai
oleh seorang Kepala Daerah. Menu-rut
pengakuannya, secara resmi. Lhagat
termasuk wilayah atau daerah dari Negara
Tibet. Akan tetapi, karena tempat ini amat
jauh dari kota-kota lain, juga amat terpencil
dan berada di antara gunung-gunung yang
amat luas dan liar, sedang-kan tetangganya
hanya dusun-dusun kecil terpencil di sanasini,
maka Kepala Dae-rah itu memerintah
tempat ini seperti seorang raja kecil saja!
Semua hal ter-masuk keamanan, pajak, dan
peraturan-peratuan menjadi wewenangnya,
bahkan Kepala Daerah ini mempunyai
pasukan sendiri. Akan tetapi dia terkenal
sebagai seorang pembesar atau kepala
daerah yang bijaksana, karena Kepala
Daerah ini maklum bahwa tempatnya
merupakan sumber penghasilan yang besar
dengan adanya pusat perdagangan jual beli
anta-ra pedagang-pedagang berbagai
negeri itu. Dari mereka ini dia memperoleh
bantuan berupa pungutan derma semacam
pajak yang diberikan secara suka rela oleh
para pedagang yang tentu saja
men-dapatkan banyak keuntungan dari
perda-gangan mereka.
Pada hari-hari biasa yang lalu, Lhagat
merupakan tempat yang tenang dan
ten-teram, keramaian yang ada hanya
keramaian dagang yang tidak segan-segan
membuang sebagian dari pada keuntungan
mereka untuk bersenang-senang. Akan
tetapi pada waktu itu, ada semacam
ketegangan yang hebat mencekam hati
penduduk Lhagat, membuat semua wajah
nampak muram dan ketakutan. Ada dua
peristiwa terjadi dan inilah yang mem-buat
para penghuni kehilangan
kegembi-raannya. Yang pertama adalah
Choirul, maret 2008 37
orang-orang asing yang membanjiri Lhagat.
Orang-orang asing dengan pakaian dan
sikap aneh-aneh dan biarpun sebagian
besar mereka itu mengaku pelancong dan
pedagang, namun sikap mereka amat
mencurigakan karena yang mengaku
pelancong lebih mirip jago-jago silat
se-dangkan yang mengaku pedagang tidak
membawa barang dagangan melainkan
membawa-bawa segala macam sen-jata
tajam dan aneh-aneh! Jelaslah bah-wa
mereka itu adalah petualang-petua-lang,
orang-orang kang-ouw dan berkum-pulnya
mereka pada suatu saat di tempat itu tentu
telah terjadi hal-hal yang amat hebat. Hal ini
saja belum meninggalkan kecemasan bagi
para penduduk Lhagat. Yang membuat
mereka ketakutan adalah peristiwa ke dua,
yaitu banyaknya ma-yat-mayat ditemukan di
sekitar Lhagat, di lembah-lembah, di
gunung-gunung, di rawa-rawa dan di hutanhutan.
Hampir setiap hari datang laporan
kepada Kepala Daerah tentang adanya
mayat-mayat yang ditemukan oleh para
pelancong itu atau oleh para pemburu,
pedagang dan juga para penggembala
setempat. Dan selalu mayat-mayat itu
ditemukan dalam keadaan mengerikan,
tubuh mereka koyak-koyak. Biarpun
peristiwa ini dihubungkan dengan dongeng
tentang manusia salju yang mengamuk,
namun para peng-huni Lhagat tetap saja
menyalahkan para pendatang asing itu, dan
memandang mereka dengan sinar mata
tidak senang.
“Yeti tidak pernah mengamuk dan
membunuhi manusia.” kata seorang kakek
penghuni aseli Lhagat. “Selama hidupku
belum pernah mendengar ada Yeti
mengamuk karena mahluk itu bukan
sebang-sa binatang buas pemakan
bangkai. Kalau ada Yeti mengamuk, kalau
memang be-nar Yeti yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu, maka tentu
ada sebab-nya, tentu dia dibikin marah dan
siapa lagi yang berani membikin marah Yeti
kecuali orang-orang asing itu?”
Inilah sebabnya mengapa kota atau dusun
yang biasanya ramai meriah itu kini nampak
muram dan sunyi, wajah para penghuni
membayangkan kegelisah-an. Dalam
suasana seperti itulah rombongan Lauwpiauwsu
memasuki Lhagat. Rombongan
Pek-i-piauw-kiok tentu saja sudah dikenal
oleh penghuni Lhagat, bah-kan Kepala
Daerah sendiri memiliki hu-bungan baik
dengan Lauw-piauwsu, maka kedatangan
rombongan ini tentu saja disambut dengan
gembira karena biasanya rombongan ini
membawa saudagar-sauda-gar dan siapa
pun yang datang bersama rombongan ini
tentu saja tidak dicurigai. Maka, biarpun
hotel-hotel sudah penuh, tempat yang
disebut dusun itu banyak mempunyai hotel
karena banyaknya pedagang dari luar
daerah yang berda-tangan, tidaklah sukar
bagi rombongan Lauw-piauwsu untuk
memperoleh tempat penginapan. Banyak
penghuni yang mena-warkan tempatnya
untuk Lauw-piauwsu, akan tetapi Lauwpiauwsu
yang membawa dua orang teman
yang terluka itu lebih suka tinggal
menumpang di rumah sam-ping milik
Kepala Daerah yang dengan senang hati
menerima kedatangan Lauw-piauwsu dan
rombongannya.
Lauw-piauwsu menyuruh anak buahnya
yang tinggal sembilan orang itu untuk
melanjutkan perjalanan ke perbatasan
Nepal yang tidak berapa jauh lagi dari
Lhagat dan melalui jalan yang sudah aman
dan baik, dan dari perbatasan ini nanti
barang-barang kawalan milik peda-gang
Katmandu itu akan dioper oleh kafilah atau
rombongan penyambut dari pedagang itu
sendiri, Lauw-piauwsu sen-diri bersama
Siauw Goat dan dua orang anak buahnya
yang terluka tinggal di rumah samping
gedung kepala daerah sambil merawat dan
mengobatkan dua orang yang terluka itu.
Tiga orang saudagar gendut yang ikut
dalam rombongan, sudah memisahkan diri
setelah membayar biaya pengawalan
ke-pada Lauw-piauwsu dan mereka sudah
melupakan kesengsaraan dan ketakutan
yang mereka derita dalam perjalanan itu.
Kini dengan muka penuh senyum mereka
mulai memperdagangkan barang-barang
Choirul, maret 2008 38
berharga mereka di pasar dengan
ke-untungan yang berlipat ganda. Juga
sas-trawan muda itu sudah tidak nampak
lagi, tanpa mengucapkan terima kasih
kepada Lauw-piauwsu, karena memang dia
tidak merasa menumpang, hanya
“kebetulan” saja melakukan perjalanan
bersama rombongan itu.
Lauw-piauwsu mendengar dari para
perajurit penjaga gedung kepala daerah
bahwa para pelancong asing itu tertunda
keberangkatan mereka di Lhagat. Semua
orang tidak dapat melanjutkan perjalanan
karena pada waktu itu terdapat badai salju
mengamuk, dan biasanya badai se-perti ini
makan waktu dua tiga pekan. Siapa yang
berani melanjutkan perjalanan ke daerah
Himalaya pada waktu badai mengamuk
berarti ingin mati konyol. Karena hambatan
inilah maka Lhagat menjadi semakin penuh
saja, karena orang-orang kang-ouw makin
banyak membanjir datang, sedangkan yang
sudah berada di situ tidak dapat pergi
karena adanya badai salju itu. Maka kini
hampir semua rumah menerima tamu!
Keadaan ini ditambah dengan laporanlaporan
ten-tang ditemukannya mayatmayat
disekitar daerah Lhagat, cukup
membuat penghuni dusun atau kota itu
menjadi panik.
Apalagi ketika mereka mendengar kabar
bahwa Kepala Daerah yang tentu saja amat
mengkhawatirkan adanya kematiankematian
aneh itu, sudah mengutus
sepasukan perajurit untuk me-lakukan
penyelidikan dan telah tiga hari lamanya
pasukan itu berangkat, sampai kini belum
ada kabar beritianya! Mereka semua kini
menanti-nanti dengan gelisah.
Karena Lauw-piauwsu sibuk merawat dua
orang anak buahnya, maka Siauw Goat
memperoleh banyak kesempatan untuk
menyendiri. Akan tetapi dara cilik ini
agaknya telah reda kedukaannya ka-rena
kematian kakeknya dan dia bahkan
mendapatkan kembali kelincahan dan
kegembiraannya.
“Lauw-pek, kapan kita melanjutkan
perjalanan?” berkali-kali dia bertanya.
“Sabarlah, Siauw Goat. Dua orang paman
yang luka itu sudah hampir sem-buh dan
nanti kalau para pamanmu piauwsu itu
sudah kembali, kita akan melanjutkan
perjalanan memenuhi pesan kakekmu.
Pula, sekarang terdapat badai salju, tak
seorang pun yang akan mampu melakukan
perjalanan karena badai itu berbahaya
sekali.”
Siauw Goat tidak banyak membantah
karena dia yang banyak berkeliaran ke-luar
sudah mendengar jelas tentang hal itu,
bahkan dia sudah mempunyai banyak
sekali kenalan dan sudah banyak
mengo-brol dengan para penghuni dusun
Lhagat. Dia dikenal sebagai Goat-siocia
(Nona Goat) dan sebagai puteri angkat
Lauw-piauwsu!
“Lauw-pek, aku ingin mempunyai bu-sur
dan anak panah, ada kulihat dijual orang
busur dan anak panahnya yang baik di
ujung dusun.”
Lauw Sek memandang dengan alis berkerut
dan penuh keheranan. “Busur dan anak
panah? Untuk apa?”-
“Untuk mempersenjatai diri! Bukankah
perjalanan yang akan kita tempuh penuh
bahaya? Aku dapat melindungi diri sen-diri
dengan senjata itu.”
“Ah, apakah engkau bisa memper-gunakan
busur dan anak panah, Siauw Goat?”
“Engkau lihat saja nanti, Lauw-pek. Mari kita
membeli sebuah busur dan beberapa
batang anak panah untukku!”
Lauw Sek tersenyum mengangguk dan
mereka lalu pergi ke tempat orang men-jual
senjata yang banyak diperjual-beli-kan di
situ karena para pemburu sering kehilangan
anak panah dan selalu mem-butuhkan
cadangan baru. Lauw Sek lalu memilihkan
sebatang busur yang tidak terlalu besar dan
Choirul, maret 2008 39
berat, dan segebung anak panah yang
belasan batang jumlah-nya. Giranglah hati
Siauw Goat. Dia segera mengalungkan
tempat anak panah itu di pundaknya.
“Mari kita coba anak panahku, Lauw-pek.”
katanya gembira dan mereka lalu pergi ke
tempat sunyi. “Lihat, aku akan memanah
batang pohon itu!” $iauw Goat berkata lagi
sambil menuding ke arah sebatang pohon
yang tidak lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Cepat sekali dia sudah mengambil dua
batang anak panah, tahu-tahu sudah
dipasang di bu-surnya dan terdengar tali
gendewa menjepret dan dua batang anak
panah itu meluncur cepat dan menancap
tepat di tengah-tengah batang pohon,
berjajar dengan rapinya! Diam-diam Lauw
Sek kagum juga. Memang anak ini bukan
pembual, pikirnya. Ilmunya memanah
memang boleh juga dan dapat diandalkan
sebagai pelindung dirinya kalau bertemu
dengan orang jahat. Pantaslah kalau
di-ingat bahwa anak ini adalah cucu dari
seorang kakek lihai seperti mendiang Kakek
Kun.
“Bagus!” Lauw Sek memuji sambil tertawa.
“Kiranya engkau ahli memanah, Siauw
Goat. Aku girang melihat ini, dan hatiku
merasa lebih aman karena engkau pandai
menjaga diri. Akan tetapi jangan engkau
sembarangan mempergunakan anak panah
untuk melukai orang.”
Siauw Goat menghampiri pohon itu dan
mencabut dua batang anak panahnya lalu
disimpannya kembali ke tempat anak panah
yang tergantung di punggungnya. “Aku
tahu, Lauw-pek. Dan pula, anak panah ini
pun hanya kupergunakan apa-bila perlu dan
terdesak saja. Sebelum mempergunakan itu
busur ini pun sudah cukup baik untuk
kupakai menjaga diri.”
Ucapan ini makin menggirangkan hati Lauw
Sek karena dia tahu bahwa selain pandai
memanah, gadis cilik ini tentu pandai
bermain silat menggunakan busur itu
sebagai senjata, dan hal ini pun tidak
mengherankan mengingat akan kepandaian
kakeknya. Dia kagum karena
mengguna-kan busur sebagai senjata
bukankah hal yang mudah dan harus
dipelajari secara khusus, berbeda dengan
senjata-senjata lain seperti pedang, golok,
tombak atau toya misalnya.
Akan tetapi pada keesokan harinya Lauwpiauwsu
menjadi bingung sekali ketika dia
tidak melihat anak perempuan itu di
kamarnya. Bahkan para pelayan
mengatakan bahwa pagi-pagi sekali anak
perempuan itu telah pergi meninggalkan
tempat itu membawa busur dan anak
panah. Lauw-piauwsu segera mencarinya,
akan tetapi biarpun dia bertanya-tanya dan
berputar-putar di daerah dusun, te-tap saja
dia tidak dapat menemukan Siauw Goat.
Tentu saja hatinya merasa khawatir sekali.
Apalagi keadaan makin gawat saja dengan
berita-berita tentang adanya banyak orang
yang kedapatan mati dalam keadaan
mengerikan.
Akhirnya Lauw-piauwsu bertemu de-ngan
seorang penduduk yang melihat Siauw
Goat. “Dia pagi tadi ikut bersama pasukan
keluar dari pintu gerbang!”
Mendengar ini Lauw-piauwsu menge-rutkan
alisnya. Pasukan itu adalah pasu-kan yang
diutus oleh Kepala Daerah untuk menyusul
pasukan pertama yang sudah tiga hari tidak
ada kabar beritanya! Mau apa anak itu ikut
dengan rom-bongan pasukan,yang
bertugas menyusul pasukan pertama itu?
Teringat akan jan-jinya kepada Kakek Kun,
Lauw Sek me-rasa tidak enak sekali dan
karena keada-an kedua orang temannya
yang terluka kini sudah mendingan, dia lalu
pergi pula untuk menyusul dan mencari
Siauw Goat.
Ke mana perginya anak perempuan itu?
Memang benar seperti apa yang di-dengar
oleh Lauw Sek dari penghuni Lhagat itu.
Siauw Goat yang banyak kenalan itu.
mendengar bahwa Kepala Daerah mengirim
pasukan untuk mencari pasukan pertama
yang sudah tiga hari pergi untuk menyelidiki
tentang kema-tian-kematian aneh yang
Choirul, maret 2008 40
terjadi di seki-tar Lhagat. Mendengar ini,
hati Siauw Goat tertarik sekali dan diamdiam
dia lalu membujuk komandan pasukan
itu untuk diperkenankan ikut! Sang
Koman-dan, seperti juga orang-orang lain,
suka kepada gadis cilik yang lincah ini,
apa-lagi dia tahu bahwa gadis cilik ini
adalah “puteri angkat” dari Lauw-piauwsu
yang telah dikenalnya, bahkan yang kini
tinggal di rumah samping dari gedung
Kepala Daerah. Oleh karena itu dengan
senang hati komandan itu menerima
permintaan Siauw Goat dan demikianlah,
pagi-pagi benar Siauw Goat sudah bangun,
memba-wa gendewa dan anak panahnya
lalu ikut dengan rombongan pasukan itu
keluar dari Lhagat untuk menyusul dan
mencari pasukan pertama.
Biarpun hati Lauw Sek sudah tidak begitu
khawatir lagi setelah mendengar bahwa
Siauw Goat ikut bersama pasukan, namun
dia tetap keluar dari dusun itu untuk
mencarinya. Adalah menjadi kewa-jibannya
seperti dijanjikan kepada men-diang Kakek
Kun untuk menjaga Siauw Goat. Kalau
sampai terjadi sesuatu de-ngan anak itu, dia
akan merasa menyesal selama hidupnya!
Lauw Sek berlari cepat mengejar
rombongan pasukan yang me-nuju ke barat.
Dia telah ketinggalan beberapa jam
lamanya. Menjelang tengah hari, ketika dia
tiba di puncak sebuah bukit, dan
memandang ke bawah ke arah barat,
nampaklah olehnya serombongan orang.
Hatinya berdebar tegang karena dia
mengenal orang yang berpakaian seragam.
Yang membuatnya tegang dan khawatir
adalah ketika dia melihat me-reka itu
menggotong mayat beberapa orang! Larilah
Lauw Sek dan baru hati-nya merasa lapang
ketika dia mengenal Siauw Goat berada di
antara mereka. Dara cilik ini masih
memegang busur dan dia berjalan dengan
langkah tegap di samping komandan
pasukan, sedangkan anak buah pasukan itu
ternyata menggo-tong mayat-mayat
sebanyak tujuh orang!
“Siauw Goat....!” Lauw Sek memanggil
girang sambil berlari menghampiri.
“Lauw-pek, engkau mau ke mana?” tanya
gadis cilik itu.
Lauw Sek memandang dengan mata
terbelalak, menahan kemarahannya. “Ke
mana lagi kalau tidak mencarimu, anak
nakal? Kenapa engkau pergi tanpa pa-mit?”
Siauw Goat tersenyum. “Habis, kalau pamit
tentu Lauw-pek tidak akan menye-tujui.”
Komandan itu cepat menghampiri Lauw
Sek. “Ah, Lauw-piauwsu, jadi pu-terimu ini
tidak memberitahu bahwa dia ikut bersama
kami? Ah, maafkan kami, kami kira dia
sudah memberl tahu dan....”
“Sudahlah, syukur tidak terjadi sesuatu
dengan dia. Dan mayat-mayat ini....“ dia
tidak melanjutkan karena pandang
ma-tanya mengenal sepatu dan pakaian
seragam pada mayat-mayat itu maka
me-ngertilah dia bahwa mayat-mayat itu
adalah mayat-mayat para perajurit pasukan
pertama yang tiada kabar berita-nya itu!
Ternyata mereka juga telah menjadi korban,
entah korban Yeti seper-ti yang dikabarkan
orang, entah korban apa.
“Kami menemukan mereka di lereng bukit di
sana, hanya ada tujuh orang yang telah
tewas, sedangkan sisanya semua berada di
dalam jurang yang amat curam, tak
mungkin diambil lagi mayat-mayat mereka
yang berada di dasar ju-rang itu.” kata
komandan pasukan sambil menarik napas
panjang.
“Siapa.... yang melakukan itu!” tanya Lauw
Sek, pertanyaannya yang sia-sia karena
sebetulnya semua orang, juga dia,
menduga keras bahwa tentulah semua
pembunuhan itu dilakukan oleh Yeti!
Komandan itu mengangkat pundak, lalu
berkata lirih. “Kami tidak menemu-kan
siapa-siapa di sana, hanya melihat jejak
kaki yang besar dan dalam....“
“Jejak....”
Choirul, maret 2008 41
“Yeti, Pek-pek! Sudah pasti jejak mahluk
kejam itu! Aku sudah minta ke-pada pamanpaman
ini untuk melanjutkan perjalanan
mencari mahluk itu, akan tetapi mereka
tidak mau dan lebih dulu hendak membawa
pulang mayat-mayat itu. Aku ingin bertemu
dengan dia, dan akan kuhabiskan panahku
untuk mem-bunuhnya!”
“Hushh, Siauw Goat, jangan lancang bicara
kau!” Lauw-piauwsu berkata dan dia
merasa serem, memandang ke kanan kiri.
“Apakah Pek-pek juga takut terhadap Yeti
yang jahat itu?” Hemm, kalau Kong-kong
masih hidup, tentu kong-kong akan
mencarinya dan membunuhnya agar dia
tidak lagi membunuhi banyak orang.”
Diam-diam Lauw Sek kagum sekali kepada
anak perempuan ini dan menger-tilah dia
mengapa anak ini minta dibeli-kan busur
dan anak panah. Kiranya diam-diam anak
itu marah kepada Yeti yang membunuh
banyak orang dan ketika ter-buka
kesempatan, dia ikut bersama pa-sukan itu
dengan harapan untuk dapat membunuh
Yeti! Akan tetapi, keberani-an yang nekat
dari anak ini kelak dapat membuat repot
kalau dia meng-antar anak ini mencari
orang tuanya, pikirnya. Maka di sepanjang
perjalanan kembali ke Lhagat, Lauw Sek
mengomeli Siauw Goat dan memesan
dengan keras bahwa anak itu selanjutnya
tidak boleh pergi tanpa pamit.
“Siauw Goat, engkau tahu bahwa aku-lah
yang bertanggung jawab atas
kese-lamatanmu, maka engkau tidak boleh
pergi begitu saja tanpa sepengetahuanku.
Mengerti?”
Melihat wajah yang marah dan suara yang
kaku itu, mulut kecil mungil itu merengut
dan dia tidak menjawab, hanya
mengangguk kaku. Selanjutnya, Siauw
Goat tak pernah mau bicara lagi dalam
perjalanan itu sampai mereka memasuki
dusun Lhagat, disambut dengan wajah
pucat oleh semua orang yang melihat
mayat-mayat para perajurit keamanan itu
dan mendengar tentang kematian seluruh
pasukan pertama secara mengerikan dan
juga aneh. Makin paniklah orang-orang di
situ, dan kini mereka membicarakan Yeti
dengan suara berbisik-bisik, seolah-olah
takut kalau-kalau mahluk iblis itu akan
muncul kalau namanya disebut-sebut
dengan keras.
Ratap tangis terdengar di Lhagat hari itu
ketika keluarga para perajurit yang tewas itu
menangisi kematian mereka. Penduduk
merasa prihatin dan juga diam-diam marah
sekali. Kaum tua di Lhagat masih tetap
berpendapat bahwa semua ini adalah garagara
para orang kang-ouw yang
berdatangan di Lhagat. Tentu di antara
mereka itu ada yang mengusik Yeti
sehingga mahluk yang oleh para penghuni
Lhagat dianggap dewa penjaga gunung
salju itu kini mengamuk dan membunuh
orang tanpa pilih bulu lagi. Maka kaum tua
ini lalu mendesak kepala daerah untuk
melakukan upacara sembah-yang agar
dewa itu berhenti mengamuk.
Akan tetapi di kalangan orang kang-ouw
yang berada di Lhagat, diam-diam merasa
curiga. Mungkinkah Yeti yang mengamuk?
Seorang atau seekor Yeti saja? Ataukah
ada rahasia tersembunyi di balik
pembunuhan-pembunuhan itu? Mere-ka
semua tahu bahwa kini banyak tokoh-tokoh
besar kaum sesat juga berada di daerah itu
untuk mencari dan mempere-butkan
pedang pusaka yang dicuri orang dari
dalam istana. Dan pembunuh-pembu-nuhan
seperti itu hanya dapat dilakukan oleh
golongan sesat, tentu saja kalau bukan Yeti
pelakunya.
Siauw Goat yang agak marah karena terus
diomeli oleh Lauw-piauwsu, tidak mau ikut
pulang melainkan memasuki sebuah
warung yang pemiliknya telah menjadi
kenalan baiknya. Melihat gadis cilik itu
kelihatan marah, Lauw-piauwsu hanya
menarik napas panjang saja dan maklum
bahwa dia sungguh memperoleh tugas
Choirul, maret 2008 42
yang amat berat dari mendiang Kakek Kun.
Gadis cilik ini sukar sekali dikendalikan!
Masuknya Siauw Goat ke dalam res-toran
kecil itu disambut oleh pemilik warung dan
para pelayannya dengan se-nyum gembira.
“Heii, Goat-siocia! Kami dengar engkau ikut
bersama rombongan pasukan yang
menemukan mayat-mayat itu! Ceritakanlah
kepada kami!” teriak Si Pemilik Warung.
“Ceritakan apa lagi!” kata Siauw Goat
dengan nada tak senang. “Mereka semua
telah mati oleh iblis terkutuk Yeti itu!”
“Siocia....!” Semua orang terkejut dan
memandang kepada dara cilik itu dengan
mata terbelalak dan muka pucat. Yeti
dianggap dewa penunggu Gunung Salju
oleh mereka, merupakan mahluk yang sakti
dan dapat memberkahi atau mengu-tuk
mereka. Dan kini gadis cilik itu se-enaknya
saja menamakan dewa itu iblis terkutuk!
Melihat sikap ini, Siauw Goat menjadi makin
mendongkol. Betapa semua orang takut
kepada Yeti, bahkan Lauw-piauwsu juga
ketakutan! Dia lalu membusungkan
dadanya yang masih belum penuh betul itu,
lalu berkata, “Tunggu saja, kalau aku
bertemu dengan Yeti si iblis terkutuk, aku
akan menghabiskan semua anak pa-nahku
untuk membunuhnya!”
Semua orang menjadi semakin kaget, dan
pada saat itu terdengar suara keta-wa
seorang laki-laki di sudut warung. Laki-laki
ini sedang minum arak dari sebuah cawan,
agaknya dia setengah mabok. Kepalanya
bergoyang-goyang ke-tika dia tertawa dan
berkata, “Ha-ha, omongan bau kentut
busuk, bau kentut busuk....!”
Semua orang menahan ketawanya. Tentu
saja yang dimaksudkan oleh Si Pemabok itu
adalah omongan Siauw Goat yang
dianggap kentut busuk alias omong kosong.
Dan memang semua orang
meng-anggapnya omong kosong. Gadis
cilik seperti ini menantang Yeti dan
bersum-bar akan membunuhnya? Akan
tetapi Siauw Goat menjadi marah bukan
main mendengar ejekan itu. Secepat kilat
dia telah memasang sebatang anak panah
pada busurnya dan sekali busurnya
men-jepret, anak panah itu menyambar ke
arah Si Pemabok.
“Tringgg!” Cawan di tangan Si Pema-bok itu
tepat terkena anak panah dan terlepas dari
tangannya. Arak muncrat dan menyiram
mukanya.
“Ehhh....?” Si Pemabok bangun dan
memandang kepada Siauw Goat dengan
marah. “Berani engkau....?” .
Akan tetapi beberapa orang pelayan
memegang pundaknya dan berkata,
“Ssttt.... kau sudah mabok rupanya.
Pulanglah, A-kauw, kau lupa bahwa dia ini
adalah Goat-siocia puteri Lauw-piauwsu.
Pergi-lah....!”
Ternyata nama Lauw-piauwsu sudah amat
terkenal di Lhagat dan akhirnya Si Pemabok
dapat dibujuk-bujuk meninggal-kan warung
itu, sedangkan Siauw Goat masih berdiri
tegak sambil tangan kirinya bertolak
pinggang dan tangan kanan me-megang
busurnya.
“Hemm, engkau makin angkuh saja....!”
Tiba-tiba terdengar suara halus. Siauw Goat
cepat memutar tubuhnya menengok ke arah
suara itu dan ternyata di sudut yang lain
duduk seorang sastrawan muda yang
pernah dikenalnya. Hatinya sedang kesal,
maka bertemu dengan orang yang pernah
dikenalnya, bahkan yang diketa-huinya
merupakan seorang yang berilmu tinggi,
maka gembiralah hatinya, lupa bahwa
dahulu dia juga sering kali men-dongkol
kepada sastrawan muda itu.
“Eh, kau di sini?” tegurnya seperti menegur
seorang kawan sebaya saja, dan Siauw
Goat dengan wajah yang manis berseri lalu
berloncatan menghampiri. Sikap yang
demikian lincah, senyum yang demikian
manis dan wajah yang berseri-seri itu tidak
mungkin membuat hati orang tinggal beku.
Choirul, maret 2008 43
Sastrawan muda itu pun menahan
senyumnya dan setelah me-reka saling
berpandangan, sastrawan muda itu lalu
bangkit berdiri dan ber-kata. “Duduklah, dan
kalau engkau suka, mari makan dan minum
denganku.”
“Kalau suka? Tentu saja! Aku haus sekali
dan.... wah, perutku lapar bukan main,
agaknya....“ dia menengok ke arah pemilik
warung dan pelayannya, lalu me-lanjutkan
dengan kesengajaan yang nakal. “agaknya
aku bisa menghabiskan seekor Yeti
panggang saus tomat sekarang ini!”
Tentu saja wajah pemilik warung dan para
pelayannya amat lucu untuk dipan-dang,
dan sastrawan muda itu pun hampir tak
kuat menahan senyumnya. “Lo-pek,
tambahkan lagi bakminya, daging panggang
dan.... eh, Siauw Goat, apa engkau suka
minum arak?”
Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Untuku
teh panas saja!” Dia pun lalu duduk dan tak
lama kemudian gadis cilik ini sudah makan
minum sambil mengobrol dengan asyiknya
bersama sastrawan itu. Kalau tadi dia tidak
mempedulikan per-mintaan pemilik warung
dan para pela-yan, kini dengan sukarela
tanpa diminta dia menceritakan
pengalamannya ketika dia mengikuti
rombongan pasukan dan menemukan
mayat-mayat dari pasukan pertama di bukit
itu.
“Wah, jejak kaki itu besar dan dalam sekali,
Paman! Agaknya itulah jejak kaki Yeti.
Apakah dulu Paman juga pernah
melihatnya?”
Cara gadis cilik ini bicara amat ra-mah dan
seolah-olah dia bicara dengan seorang
pamannya sendiri, membuat sastrawan itu
pun merasa gembira dan sebutan paman
yang demikian akrab itu membuatnya
tersenyum. Selama dalam perjalanan,
belum pernah Siauw Goat melihat orang ini
tersenyum maka ketika melihat wajah
tampan itu tersenyum, dia kagum dan
memandang dengan bengong.
“Hei, apa yang kaupandang?” sastra-wan
itu berseru.
“Wajahmu! Engkau.... tampan sekali kalau
tersenyum, Paman! Kenapa engkau tidak
mau sering tersenyum atau terta-wa,
sebaliknya selalu muram saja yang
menyelimuti ketampananmu?”
Sepasang mata yang biasanya muram dan
mencorong aneh itu kini terbelalak.
Kejujuran dan kepolosan watak gadis cilik
ini amat menarik hatinya, juga
mengejut-kan. Perlahan-lahan wajah yang
muram itu berseri. “Engkau pun manis
sekali, Siauw Goat.”
Gadis cilik itu mengangguk! Agaknya dia
pun sudah yakin akan kemanisan wajahnya,
yakin akan dirinya sendiri se-perti sudah
diperlihatkan tadi ketika dia memanah
cawan dari tangan Si Pemabok tadi. Kalau
tidak yakin kepada diri sen-diri tentu dia
akan merasa ragu dan takut kalau-kalau
panahnya meleset dan mengenal tubuh
orang itu!
“Paman, engkau tentu seorang siucai
(sastrawan), bukan? Pakaianmu itu....”
Pria itu hanya mengangguk sambil
tersenyum.
“Biarlah kupanggil engkau Paman
Sastrawan! Namamu tidak dapat
diberi-tahukan orang lain, bukan?”
Kembali pria itu terkejut. Bocah ini sungguh
bermata tajam dan agaknya mampu
menjenguk isi hatinya. “Bagaimana engkau
bisa menduga begitu?”
Siauw Goat mengangguk-angguk. “Engkau
seperti mendiang kakekku, selalu
menyelimuti diri dengan rahasia dan
ke-anehan. Kau tahu bahkan namaku pun
dirahasiakan, setidaknya, nama lengkapku
dan aku hanya boleh memperkenalkan diri
dengan nama Goat saja, yang hanya
merupakan sebutan. Dan nama kakek
Choirul, maret 2008 44
hanya diperkenalkan sebagai Kun saja.
Biarlah, aku pun tidak akan mendesak
untuk bertanya siapa namamu, karena
andaikata kauberikan pun, tentu itu nama
palsu. Akan tetapi, boleh aku bertanya,
engkau hendak pergi ke mana, Paman?”
Ditanya demikian, sastrawan itu ter-mangumangu,
lalu menarik napas pan-jang dan
berkata, “Ke mana, ya? Entah-lah, aku
sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan
tempat tertentu, hanya merantau saja.
Sudah puluhan propinsi kulalui, ratusan
kota kukunjungi, ribuan dusun kujelajahi.
Entah sudah berapa ratus buah gunung
kudaki, ratusan batang sungai
kuseberangi....“
“Aihh senangnya....!” Siauw Goat ber-seru
lalu menengadah seperti orang yang
membayangkan semua itu dengan wajah
berseri dan bibir yang mungil kemerahan itu
tersenyum!
Sastrawan itu memandang heran. “Apanya
yang senang?”
“Tidak senangkah engkau?”
“Entahlah....“
“Tentu senang sekali.” tiba-tiba dia
menggerakkan tangan, telunjuk kirinya yang
kecil menuding ke luar jendela warung, ke
arah seekor burung yang se-dang
beterbangan di angkasa. “Lihat, engkau
seperti burung itu! Alangkah se-nangnya,
terbang bebas lepas tanpa ada yang
mengikat!”
Sastrawan itu memandang sebentar, lalu
dia menatap wajah mungil itu sambil
berkata. “Siauw Goat, engkau agaknya
tidak mendengar keluhan burung itu....”
“Apa? Dia hanya berkicau riang! Apa-kah
dia mengeluh, dan apa yang
dikeluh-kannya?”
“Dengar baik-baik. Kalau dia sudah
kelelahan terbang, kepanasan, kehujanan,
akhirnya dia mengeluh, merindukan
se-buah sarang di mana dia dapat
beristi-rahat dengan tenang dan aman....“
“Ohhh.... ahhh.... benarkah itu, Pa-man?”
Gadis itu termenung, agaknya kata-kata
sastrawan itu menimbulkan kebimbangan di
dalam hatinya. Dia sen-diri selama ini
membayangkan betapa bahagianya hidup
bebas lepas seperti burung di udara, akan
tetapi ternyata sastrawan yang hidup seperti
burung ini agaknya merasakan
kebahagiaan itu, bahkan agaknya
merindukan rumah, merindukan ikatan!
Memang selama manusia belum dapat
bebas dalam arti yang sebenarnya, dia
akan selalu merindukan sesuatu yang tidak
atau belum ada! Tidaklah menghe-rankan
apabila manusia yang tinggal di tepi laut
merindukan keindahan alam pegunungan,
sebaliknya mereka yang tinggal di lereng
gunung merindukan keindahan pantai
lautan! Manusia yang belum bebas selalu
menganggap keadaan orang lain lebih
menyenangkan daripada keadaan diri
sendiri, milik orang lain lebih menarik
daripada miliknya sendiri, dan selanjutnya.
Pendeknya, yang terbaik dan terindah itu
selalu berada di SANA, sedangkan yang
berada di SINI selalu membosankan, buruk
dan tidak seindah yang di sana! Hanya
kalau orang sudah benar-benar bebas
daripada per-mainan pikiran yang mengejar
kesenang-an, kalau sudah bebas dari
bayangan-bayangan kesenangan masa lalu
yang menjadi kenangan, bebas dari
penilaian, bebas dari perbandingan, maka
dia dapat membuka mata dan memandang
dengan wajar, memandang dengan
waspada dan dengan penuh perhatian,
sepenuh perha-tiannya, kepada apa adanya
di saat ini! Dan kalau sudah dapat
memandang se-perti itu, setiap saat
terhadap apa yang ada, tanpa dikotori
perbandingan dan pe-nilaian, maka batin
tidak lagi digoda oleh bayangan-bayangan
yang hanya men-datangkan pengejaran
kesenangan dan akhirnya menuntun kita
kepada kebosan-an, kekecewaan dan
kesengsaraan. Hanya kalau mata kita
Choirul, maret 2008 45
terbuka dan mengamati apa adanya setiap
saat, maka akan nam-paklah segala yang
ada pada apa adanya itu. Dan apabila
dalam penglihatan hasil pengamatan ini
masih ada ini baik dan menyenangkan”, “Itu
buruk dan tidak menyenangkan”, maka
pengamatan itu pun akan menjadi kotor dan
ternoda karena yang berkata baik atau
buruk, itu bukan lain adalah pikiran yang
selalu menjangkau kesenangan!
Maka, dapatkah kita mengamati se-gala
sesuatu yang terjadi, baik di luar maupun di
dalam diri, mengamati segala macam
benda di luar kita dan segala macam gerakgerik
tubuh kita, kata-kata kita, pikiran kita,
tanpa penilaian, tanpa perbandingan dan
hanya pengamatan saja yang ada, tanpa
adanya si aku atau pi-kiran yang
mengamati? Pengamatan se-perti ini bebas
dari baik buruk atau su-sah senang,
pengamatan seperti ini me-lahirkan
tindakan-tindakan wajar yang tidak
dipengaruhi untung rugi. Pengamat-an
seperti ini adalah bebas, dan hanya dalam
kebebasan inilah cinta kasih dapat
menembuskan sinarnya.
“Paman Sastrawan, kalau memang engkau
merasa bosan merantau bebas seperti
seekor burung, kenapa tidak kau hentikan
saja?” Siauw Goat memang seorang anak
yang cerdik, maka kini dia mendesak
pemuda sastrawan itu.
“Karena aku tidak mungkin berhenti, aku
harus mencari....”
“Mencari apa? Mencari siapa?”
“Mencari isteriku....”
“Eh....?” Siauw Goat memandang dengan
matanya yang bening tajam.
Sastrawan itu menarik napas panjang. Anak
perempuan itu demikian menarik hatinya
dan merupakan satu-satunya orang yang
selama bertahun-tahun ini dapat
menggerakkan hatinya. Sehingga dia mau
bicara tentang dirinya. Kini dia berkata
dengan nada suara berat. “Sudah hampir
lima tahun aku mencarinya.... ke seluruh
kolong langit.... dan aku sudah hampir putus
asa....”
“Isterimu kenapa, Paman? Bagaimana
mungkin seorang isteri lari darimu? Siapa
dia dan siapa namanya, bagaimana
ma-camnya? Biar aku bantu mencari!”
Menghadapi pertanyaan bertubl-tubi itu,
sastrawan muda ini menahan senyum. Dia
sudah sadar lagi dan kini hanya
menggeleng kepala.
Siapakah sebenarnya sastrawan muda ini?
Pernah dia mengaku kepada Koai-tung Sinkai
Bhok Sun bahwa Sai-cu Kai-ong adalah
gurunya. Dari pengakuan ini para pembaca
cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI
tentu akan dapat mengenalnya atau
menduga siapa adanya sastrawan muda ini.
Sastrawan muda yang berwajah tam-pan
gagah dan bertubuh jangkung tegap ini
bernama Kam Hong. Dia adalah ke-turunan
terakhir dari keluarga Suling Emas yang
pernah menggegerkan dunia persilatan.
Semenjak kecil Kam Hong sudah menjadi
yatim piatu dan dia dirawat oleh seorang
kakek sakti berjuluk Sin-siauw Seng-jin
(Manusia Dewa Suling Sakti) yang
sebetulnya merupakan ke-turunan dari
seorang hamba dari Suling Emas dan kakek
inilah yang secara ra-hasia menyimpan
kitab-kitab peninggalan Suling Emas,
menyimpannya untuk kelak diserahkan
kepada yang berhak yaitu Kam Hong
sebagai keturunan langsung dari pendekar
sakti Suling Emas. Ketika dia masih kecil
sekali, Kam Hong telah ditunangkan dengan
seorang anak perem-puan yang merupakan
keturunan langsung dari keluarga Yu, yaitu
yang dahulu men-jadi sahabat baik Suling
Emas dan menjadi pendiri dari perkumpulan
pengemIs Khong-sim Kai-pang. Kemudian,
Sin-siauw Seng-jin menyerahkan Kam Hong
kepada Sai-cu Kai-ong untuk digembleng,
se-dangkan Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kaiong
Yu Kong Tek yang telah ditunangkan
dengan Kam Hong itu sebaliknya oleh
Choirul, maret 2008 46
kakeknya diserahkan kepada Sin-siauw
Seng-jin untuk dididik. Jadi, dua orang
kakek ini telah saling menukar cucu dan
momongan masing-masing untuk
digem-bleng, dengan maksud agar
keturunan Suling Emas itu memperoleh
ilmu-ilmu yang tinggi dan juga agar dapat
ter-sembunyi karena Suling Emas
mempunyai banyak musuh-musuh yang
selalu ber-usaha untuk membasmi
keturunannya.
Akan tetapi Yu Hwi, cucu dari Sai-cu Kaiong
yang diserahkan kepada Sin-siauw
Seng-jin itu diculik orang dan pen-culiknya
itu bukan orang sembarangan, melainkan
Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling Sakti
Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
dan dia menculik anak itu bukan dengan
niat buruk, bahkan dia mengambil anak
perempuan itu sebagai muridnya yang
terkasih!
Peristiwa ini menimbulkan hal-hal yang lucu
dan menarik seperti yang da-pat diikuti
dalam cerita JODOH SEPASANG
RAJAWALI. Dalam cerita itu dituturkan
betapa setelah mereka menjadi dewasa,
akhirnya Kam Hong dapat bertemu de-ngan
Yu Hwi yang telah dijodohkan ke-padanya
oleh dua orang kakek itu. Akan tetapi Yu
Hwi yang sebelumnya oleh gurunya diberi
nama Kang Swi Hwa dan berjuluk Angsiocia,
agaknya tidak mau menerima
perjodohan itu apalagi karena dalam
perantauannya dia tadinya me-nyamar
sebagai pria dan ketika dia ter-luka dan
pingsan, Kam Hong yang meno-longnya
pernah membuka bajunya dan melihat
rahasianya bahwa dia seorang dara yang
menyamar pria, maka peristi-wa ini
membuatnya merasa malu dan mendongkol
kepada Kam Hong. Maka, ketika ia
diberitahu bahwa dia adalah cucu Sai-cu
Kai-ong bernama Yu Hwi dan bahwa dia
telah dijodohkan sejak kecil kepada Kam
Hong, dan menjadi marah lalu melarikan diri
minggat!
Demikianlah riwayat singkat dari Kam Hong.
Pemuda ini kemudian mempelajari ilmu-ilmu
peninggalan dari nenek mo-yangnya, yaitu
Suling Emas. Dan memang dia berbakat
sekali maka akhirnya dia dapat menguasai
semua ilmu-ilmu itu, membuat Sin-siauw
Seng-jin menjadi girang bukan main. Ilmuilmu
itu amat sukar, dan Sin-siauw Seng-jin
sendiri yang sudah selama puluhan tahun
beru-saha menguasainya, tetap gagal
sungguh-pun dengan latihan-latihan itu dia
telah merupakan seorang tokoh puncak di
dunia persilatan. Kini, pemuda keturunan
Suling Emas itu mampu menguasai seluruh
ilmu itu! Dan tentu saja, dengan ilmu-ilmu
yang amat hebat ini. Kam Hong kini menjadi
seorang pemuda yang memiliki ilmu
kepandaian yang sukar diukur ting-ginya,
bahkan Sin-siauw Seng-jin sendiri, maupun
bekas gurunya sendiri. Sai-cu Kai-ong, kini
bukan tandingannya! Akan tetapi, biarpun
dia memiliki ilmu kepan-daian bun (sastra)
dan bu (silat) yang amat tinggi, namun di
dalam hati Kam Hong menderita. Telah
bertahun-tahun dia berusaha mencari Yu
Hwi, mencari tunangannya atau yang
bahkan telah dilakukan sebagai isterinya di
depan Siauw Goat itu, namun hasilnya siasia
belaka.
Kam Hong sendiri belum yakin benar
apakah dia mencinta Yu Hwi, juga dia tidak
tahu apakah tunangannya itu men-cintanya,
sungguhpun mudah dugaannya bahwa
tentu Yu Hwi tidak mencintanya, bahkan
membencinya melihat betapa dara itu
melarikan diri ketika diberitahu bah-wa
antara mereka telah ada ikatan
per-jodohan. Akan tetapi, ikatan jodoh itu
telah ditentukan oleh kedua fihak wali
mereka semenjak mereka masih ka-nakkanak,
oleh karena itu, dia tidak mungkin
dapat memutuskannya begitu saja! Janji
antara keluarga merupakan hal yang harus
dipegang teguh, karena menyangkut
kehormatan dan nama ke-luarga! Apalagi
kalau dia mengingat bahwa antara keluarga
Kam, yaitu ke-luarga Suling Emas dan
keluarga Yu, yaitu keluarga para ketua
Khong-sim Kai-pang, terdapat hubungan
yang amat baik. Ikatan perjodohan yang
sudah diten-tukan oleh kedua kakek yang
mewakili dua keluarga itu adalah urusan
Choirul, maret 2008 47
kehor-matan, maka bagaimanapun juga
harus dipegang teguh, harus dilaksanakan.
Oleh karena itulah maka dia mati-matian
mencari Yu Hwi tunangannya itu dan akan
dicarinya terus sampai dapat, ke mana pun
dia harus pergi.
Kenekatan Kam Hong dalam mencari Yu
Hwi itu sama sekali bukan terdorong oleh
cintanya karena dia sendiri belum tahu
apakah dia mencinta dara yang
ditunangkan kepadanya itu, melainkan
terdorong oleh kebiasaan atau tradisi atau
kebudayaan atau pandangan umum pada
waktu itu yang dianggapnya benar dan baik.
Dan bukan Kam Hong saja yang
berkeadaan seperti itu. Bahkan sam-pai
sekarang pun, kehidupan kita penuh
dengan pengaruh-pengaruh yang datang
dari tradisi, kebiasaan, kebudayaan atau
pandangan umum ini. Semua itu
mem-bentuk kita menjadi manusia-manusia
yang tidak bebas, yang terikat oleh
ke-tentuan-ketentuan itu, membuat kita
menjadi manusia-manusia robot yang
bergerak menurut apa yang telah
diga-riskan oleh tradisi, oleh kebiasaan,
oleh kebudayaan atau oleh pandangan
umum itu. Kita ingin dianggap benar,
dianggap baik sesuai dengan ketentuanketentuan
itu. Segala perbuatan yang
dilakukan menurut contoh-contoh ketentuan
yang dianggap baik, maka jelas perbuatan
itu adalah palsu adanya. Kalau seorang
me-lakukan sesuatu yang DIANGGAPNYA
baik, maka di balik perbuatan yang
di-lakukannya itu terkandung pamrih, yaitu
agar dianggap baik oleh orang lain atau
dirinya sendiri! Setiap perbuatan yang
didasari dengan cinta kasih adalah
spon-tan, tidak dinilai sebagai baik atau
buruk, pikiran tidak mencampuri, dan si
pelaku bahkan tidak ingat bahwa dia
melakukan suatu perbuatan yang baik.
Tradisi atau kebiasaan yang dinama-kan
pandangan atau pendapat umum te-lah kita
terima sebagai garis ketentuan hidup,
membelenggu kita lahir batin se-hingga kita
hidup seperti pelawak-pe-lawak yang
bermain di atas punggung! Kita tidak berani
menanggalkan itu se-mua karena kita takut
akan pandangan orang, takut akan
pendapat umum, dan takut kalau-kalau kita
akan terasing. Terutama sekali kita takut
karena de-ngan menanggalkan itu semua
kita akan menjadi kosong dan tidak berarti
apa-apa lagi! Betapa hidup kita hanya
merupakan gerakan-gerakan kebiasaan itu
kita men-candu dan merasakan
kesenangan dan keenakan palsu, seperti
halnya keenakan orang merokok atau
minum arak. Ke-enakan itu timbul karena
kecanduan, karena kebiasaan, dan di balik
keenakan itu terdapat pengrusakan
terhadap diri sendiri tanpa kita sadari lagi,
karena kita mabok oleh keenakan itu.
Semua panca indera kita telah tumpul
kecanduan oleh kebiasaan yang
ditanam-kan kepada kita semenjak kita
masih kecil. Baik penciuman, penglihatan,
pendengaran, selera dan segalanya telah
dibentuk sedemikian rupa oleh kebiasaan
ini. Oleh karena bentukan-bentukan inilah
maka selera setiap bangsa selalu berbedabeda,
baik dalam hal penciuman,
penglihatan, pendengaran dan sebagainya,
dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh keadaan
setempat dan sekeliling. Kita akan mera-sa
terganggu oleh sesuatu bunyi musik yang
asing bagi kita, padahal orang-orang dari
mana musik itu berasal akan me-nari-nari
karena bagi mereka suara itu amat merdu
dan enak didengar. Kita mungkin akan
muntah untuk makan sesuatu yang menjadi
makanan kegemaran bangsa lain, dan
sebagainya. Jadi enak tidak enak, baik
buruk bukan terletak pada suara kita, atau
pada makanan itu, me-lainkan ditentukan
oleh selera yang telah dibentuk semenjak
kita lahir.
Mendengar penuturan Kam Hong, Siauw
Goat merasa tertarik dan entah bagaimana
dia merasa amat kasihan ke-pada
sastrawan itu! Ketika pertanyaan tidak
terjawab, dan melihat betapa pe-muda itu
hanya tersenyum saja, senyum yang
baginya merupakan sesuatu yang
menyembunyikan tangis, Siauw Goat
Choirul, maret 2008 48
ber-tanya lagi, “Siapakah namanya,
Paman? Dan siapa namamu?”
Kini Kam Hong menatap wajah gadis cilik
itu. Baru dia merasa heran mengapa dia
begini tertarik kepada anak ini, me-ngapa
kalau selama ini dia merahasiakan keadaan
dirinya, kini secara terbuka dia
menceritakan tentang tunangannya kepa-da
Siauw Goat? Apakah yang menyebab-kan
dia percaya dan tertarik? Apakah mata yang
bening dan polos itu? Apakah mulut yang
kecil mungil dengan bibir merah merekah
seperti sekuntum bunga yang masih
menguncup itu? Ataukah ada suara yang
merdu itu? Ataukah karena dia merasa
kasihan mengingat betapa anak ini ditinggal
mati kakeknya dan hidup sebatang kara di
dunia?
“Siauw Goat, aku sendiri sudah ham-pir
melupakan namaku. Kalau kuberitahu-kan
maukah kau berjanji untuk meraha-siakan
namaku dan nama isteriku?”
Siauw Goat mengangguk. “Aku ber-sumpah
untuk merahasiakannya, Paman. Kongkong
sendiri pun selalu merahasiakan
keadaan keluarga kami.”
“Baiklah, kuberitahukan kepadamu sebagai
satu-satunya orang yang menge-nal
namaku yang selama bertahun-tahun ini
kurahasiakan. Aku she Kam dan bernama
Hong, sedangkan isteriku itu she Yu
bernama Hwi.”
“Kam Hong dan Yu Hwi.... akan ku-ingat
baik-baik nama-nama itu Paman.”
Tiba-tiba mereka tertarik oleh mun-culnya
empat buah tandu yang digotong oleh
orang-orang yang bertubuh kekar. Setiap
tandu digotong oleh empat orang dan pintu
tandu itu tertutup tirai sutera berwarnawarni,
ada yang merah ada yang hijau atau
kuning. Tentu saja iring-iringan empat buah
tandu ini menarik perhatian orang dan
ketika para penggo-tong tandu itu berhenti
di depan rumah makan itu, Kam Hong dan
Siauw Goat memandang dengan penuh
perhatian.
“Turunkan tandu!” tiba-tiba terdengar suara
merdu seorang wanita yang duduk di dalam
tandu pertama. Mendengar ini, empat orang
penggotong tandu pertama itu menurunkan
tandu di atas tanah, dan tiga tandu lain
yang berada di belakang juga diturunkan
oleh para penggotongnya. Agaknya tandu
pertama ini merupakan tandu pimpinan!
Tirai-tirai empat buah tandu itu tersingkap
dari dalam dan semua orang yang
memandang, terutama kaum prianya,
menahan napas dan mata mereka
terbelalak penuh kagum meman-dang
kepada empat orang wanita yang cantikcantik!
Kini wanita yang duduk ditandu
terdepan keluar dari tandu dan tiga orang
yang lain juga mengikutinya. Makin
kagumlah semua orang melihat bahwa
selain berwajah cantik-cantik, juga mereka
itu memiliki tubuh langsing mena-rik. Akan
tetapi wajah-wajah yang cantik jelita ini
memiliki sepasang mata yang sinarnya
tajam sekali, berkilat, dan wa-jah itu pun
kelihatan dingin dan angkuh, sedikit pun
tidak mengandung senyum. Lebih lagi di
punggung mereka nampak gagang pedang
dan sikap mereka demi-kian gesit dan
gagah sehingga mudah diduga bahwa
wanita-wanita cantik ini bukanlah wanitawanita
lemah. Oleh ka-rena itu, pandang
mata kagum dari para pria yang berada di
sekitar warung itu mengandung perasaan
segan.
Empat orang wanita itu berkumpul di depan
warung, memandang ke kanan kiri penuh
selidik. Ketika itu, Kam Hong dan Siauw
Goat telah selesai makan dan mereka
sudah keluar dari warung. Meli-hat Kam
Hong dan Siauw Goat yang membawa
busur dan anak panah, seorang di antara
empat wanita itu, yang paling muda, kurang
lebih dua puluh lima tahun usianya
sedangkan yang lain-lain sekitar tiga
puluhan, dan yang berpakaian baju hijau,
melangkah maju dan bertanya ke-pada
Kam Hong, nada suaranya ketus dan
angkuh sekali seperti seorang nona majikan
Choirul, maret 2008 49
bertanya kepada pelayannya. “Eh, apakah
kamu melihat dua orang anak laki-laki
kembar yang usianya seki-tar empat belas
tahun lewat di dusun ini?”
Semenjak melihat munculnya empat orang
wanita itu, di dalam hatinya Siauw Goat
sudah merasa tidak suka. Dia menganggap
empat orang wanita itu sombong dan
angkuh sekali. Kini men-dengar seorang di
antara mereka meng-ajukan pertanyaan
kepada Kam Hong dengan lagak seperti itu,
muka Siauw Goat telah menjadi merah
karena marah. Selagi Kam Hong
memandang dengan tak acuh, agaknya
merasa enggan untuk men-jawab, Siauw
Goat sudah melompat maju ke depan
wanita baju hijau itu, menudingkan ujung
busurnya ke arah hidung wanita itu sambil
membentak. “Huah, engkau menyapa orang
dengan ah-ah-eh-eh, lagakmu seperti ratu
saja! Manu-sia tak tahu sopan santun
macam engkau ini tidak berharga bicara
dengan paman-ku!”
Wanita cantik berbaju hijau itu me-mandang
kepada Siauw Goat dengan ma-ta berapiapi
dan alisnya yang bagus bentuknya itu,
dengan bantuan penghitam alis, agak
berkerut dan sejenak dia hanya
memandang dengan mata tajam bersinarsinar.
Akan tetapi, Siauw Goat juga
membalas pandang mata itu dengan sama
tajamnya, bahkan mengandung tantangan!
“Bocah siluman, mulutmu busuk. Ka-lau kau
besar engkau tentu menjadi iblis, lebih baik
kuenyahkan sekarang!” kata wanita baju
hijau itu yang sudah marah kedua pipinya
karena marah dan malu mendengar dia
dimaki-maki seorang anak perempuan di
depan umum.
Tentu saja Siauw Goat menjadi seper-ti api
yang disiram minyak, makin ber-kobarlah
kemarahannya. Dengan sepasang mata
terbuka lebar dan lalu memaki-maki.
“Engkaulah siluman rase, siluman kucing,
siluman anjing! Engkaulah iblis busuk yang
harus dibasmi dari permukaan bumi!”
Setelah berkata demikian, Siauw Goat
sudah menggerakkan busurnya,
me-nyerang dengan cepat. Wanita itu
terke-jut dan marah melihat betapa ujung
busur itu menusuk ke arah tenggorokannya
kemudian dibalik karena tidak mengenai
sasaran dan menusuk ke bawah pusar! Dan
saat itu, tangan kiri Siauw Goat sudah maju
mencengkeram ke arah buah dadanya!
“Cih, Iblis kecil ini benar jahat!” te-riaknya
melihat serangan-serangan yang
dianggapnya kasar dan selain berbahaya
juga tidak patut. Tangan kirinya mengi-bas
dan dari tangan kiri itu menyambar hawa
pukulan yang membuat Siauw Goat
terpelanting! Wanita baju hijau itu sudah
marah sekali dan dengan sinar mata penuh
benci dia sudah melangkah maju dan
menyusulkan pukulan tangan kanan, juga
pukulan jarak jauh mengandung te-naga
sin-kang yang dahsyat. Serangkum angin
menyambar ke arah kepala Siauw Goat
yang masih telentang di atas tanah.
“Tahan dulu!” Tiba-tiba Kam Hong berkata
halus dan dia pun menggerakkah tangan ke
depan, menangkis pukulan itu. Dua hawa
pukulan sin-kang bertemu dan akibatnya
wanita baju hijau itu terhuyung ke belakang!
Wanita baju hijau itu terkejut bukan main!
Dia tadi merasa betapa tenaganya bertemu
dengan tenaga yang amat kuat-nya, yang
membuat dadanya tergetar dan cepat dia
menarik kembali tenaganya dan akibatnya
dia terhuyung seperti disambar angin
taufan. Wajahnya menjadl pucat dan dia
memandang kepada sasterawan itu dengan
mata terbelalak.
Wanita di dalam tandu terdepan, yang
berusia tiga puluh tahunan, mempunyai tahi
lalat di dagu, berbaju kuning dan yang
memiliki wajah paling manis di an-tara
mereka berempat, juga melihat ge-rakan
tadi dan dia memandang tajam kepada Kam
Hong. Melihat sastrawan yang nampak
lemah dan yang kini me-nunduk dengan
sikap menyembunyikan diri itu, Si “Baju
Kuning menarik napas panjang.
Choirul, maret 2008 50
“A-ciu, jangan membikin ribut!” te-gurnya
kepada Si Baju Hijau, dan dengan isyarat
tangan, dia memasuki tandu, di-ikuti oleh Si
Baju Hijau A-ciu dan dua orang temannya.
Empat buah tandu lalu digotong oleh para
penggotong yang ber-tubuh kuat itu dan
mereka pun pergi dari depan warung yang
mulai dipenuhi penonton itu.
“Siluman dia! Hemm, lain kali akan kuhajar
dia!” Siauw Goat berkata penasaran sambil
bangun dan mengebut-ngebutkan bajunya
yang kotor. Para pe-nonton diam-diam
merasa geli akan tetapi juga kagum kepada
anak perempuan yang bandel dan tidak
mengenal takut ini. Agaknya Siauw Goat
juga tahu bahwa orang-orang diam-diam
mentertawakan-nya, maka setelah
mengerling satu kali kepada Kam Hong dia
lalu pergi dengan langkah lebar untuk
kembali ke tempat pemondokan Lauwpiauwsu.
Kam Hong sendiri lalu pergi dari situ tanpa
menarik perhatian orang karena
perbuatannya ketika menangkis pukulan
wanita baju hijau itu dilakukan dengan
tenaga sin-kang jarak jauh sehingga orang
tidak melihat dia bergerak untuk
bertan-ding. Tidak ada yang tahu betapa
pemu-da ini diam-diam membayangi empat
buah tandu yang digotong keluar dusun itu
lagi setelah wanita-wanita itu di sepanjang
jalan bertanya-tanya tentang “dua orang
anak laki-laki kembar”.
***
Ketika terdengar berita bahwa badai salju
sudah mereda, mulailah dusun Lha-gat
mengalami kesibukan-kesibukan. Me-reka
yang menamakan dirinya pelancongpelancong
dan pedagang-pedagang mulai
berkemas karena mereka sudah harus
menanti sampai beberapa hari lamanya,
tertunda perjalanan mereka karena ada-nya
badai salju itu. Kini, badai salju te-lah
berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini
ditandai dengan mereda dan kecilnya angin
dingin yang bertiup keras dalam beberapa
hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan
dan barat.
Rombongan Lauw-piauwsu yang
meng-antarkan barang-barang kawalan
sampai ke perbatasan Nepal telah kembali
de-ngan selamat ke Lhagat. Tugas mereka
telah selesai. Dua orang piauwsu yang lukaluka
oleh dua orang perampok Eng-jiauwpang
itu pun sudah-sembuh kembali.
Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut
berkemas dan setelah membuat persiapan
yang cukup lengkap, membekali setiap
anggauta rombongan dengan baju-baju
bulu yang amat tebal karena mereka akan
melalui daerah yang dingin dan di liputi
salju, berangkatlah rombongan ini. Anak
buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah
harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi
karena Lauw-piauwsu telah berjan-ji kepada
mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan
Siauw Goat mencari orang tuanya, maka
Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya
untuk membantunya me-ngawal anak
perempuan itu melakukan perjalanan yang
amat sukar ini. Selain untuk membalas budi
Kakek Kun yang telah menyelamatkan para
piauwsu dari serangan perampok Engjiauw-
pang, juga Lauw-piauwsu telah
menerima sebutir batu permata yang amat
mahal harganya, dan memang kalau benda
itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih
dari cukup untuk membayar biaya
pengawalan yang bagaimana sukar dan
jauh sekalipun!
Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang
mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan dia
pun tadinya hendak membeli tandu untuk
Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena
teringat kepada wanita-wanita naik tandu
yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak
keras, “Lauw-pek aku bukan orang lumpuh,
dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku
tidak sudi naik tandu seperti penderita
cacad, atau se-perti.... seperti.... pengantin!”
Semua piauwsu tertawa mendengar
penolakan ini dan demikianlah, ketika
rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut
berjalan ber-sama mereka.
Choirul, maret 2008 51
Anak perempuan ini, seperti mungkin
semua anak remaja di seluruh dunia ini,
merasa gembira sekali begitu melakukan
perjalanan ke alam bebas itu.
Kegembi-raannya muncul kembali dan dia
kadang-kadang mendahului rombongan,
kadang-kadang agak ketinggalan karena
dia me-ngagumi pemandangan alam yang
amat indah di sepanjang perjalanan. Lauwpiauwsu
menjadi sibuk mengikutinya terus
karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai
terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang
dikawalnya itu.
Jalan pendakian pada gunung pertama
yang puncaknya tertutup salju itu mulai
ramai dengan orang-orang yang juga
me-lakukan pendakian. Orang-orang kangouw
yang berpakaian macam-macam dan
yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari
sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka
yang gesit, mulai melakukan per-jalanan
cepat seolah-olah mereka ber-lumba dalam
mengejar sesuatu. Sering kali ada
rombongan yang mendahului rombongan
Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu.
Lauw-piauwsu serombong-an tidak hendak
mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan
biarpun Lauw-piauwsu juga mendengar
tentang pedang pusaka yang lenyap dari
istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan
pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun
dia sama sekali tidak mempunyai keinginan
untuk memperoleh pedang pusaka itu.
Setelah melakukan perjalanan se-tengah
hari lebih, rombongan piauwsu yang
mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng
gunung. Hawa semakin dingin dan mulai
banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju
masih nampak jelas. Banyak pohon yang
tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di
mana salju menumpuk seperti bukit, ada
pula bagian yang ber-celah seperti jurang.
Semuanya ini dibuat oleh badai yang
mengamuk selama ber-hari-hari itu.
Menjelang senja, rombongan ini meli-hat
seorang pengemis atau orang yang
berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu
saja di atas tanah tertutup salju, dengan
pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini
pula! Dapat dibayangkan dingin-nya!
Sedangkan Siauw Goat yang sudah
memakai baju bulu tebal saja masih
me-rasa dingin, apalagi harus tidur di atas
salju dengan pakaian tipis. Bisa beku
kiranya! Orang itu mungkin gila, atau sudah
sekarat? Semenjak pertemuannya dengan
pengemis tua Koai-itung Sin-kai, terdapat
perasaan kurang senang dalam hati Siauw
Goat terhadap orang yang memakai
pakaian rombeng seperti pengemis.
“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw
Goat berkata dengan suara bernada kesal.
“Ssttt, Siauw Goat....!” Lauw-piauwsu
menegur dengan alis berkerut. Ketua
piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu
banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan
dia dapat menduga bahwa pe-ngemis yang
tidur begitu saja dengan pa-kaian tipis di
atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw
yang lihai pula. Men-dengar teguran ini,
Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi
tidak membantah dan diam saja.
Pengemis itu menggeliat lalu terba-ngun
agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat
bahwa wajah pengemis itu masih muda dan
mereka terkejut melihat sepa-sang mata
yang mencorong amat tajam-nya. Akan
tetapi wajah muda itu penuh kumis dan
jenggot yang tidak terpelihara, muka yang
hitam terbakar matahari dan sepasang mata
yang mencorong itu kadang-kadang
menjadi liar dan mulut di balik kumis dan
jenggot lebat itu terse-nyum-senyum aneh.
Semua ini membuat Lauw-piauwsu
mengerutkan alisnya karena dia melihat
tanda-tanda bahwa pengemis muda ini
menderita penyakit gila, atau setidaknya
agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan
suara tertawa ditahan se-perti orang
merasa geli, pengemis muda itu lalu
membalikkan tubuhnya dan ber-lari naik
mendaki lereng itu, menyusup di antara
pohon-pohon dan semak-semak lalu
menghilang.
“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.
Choirul, maret 2008 52
“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka
menahan diri dan jangan terlalu sembrono.
Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh
kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita
kesalahan bicara dapat menimbulkan halhal
yang hebat,” kata Lauw Sek menegur
Siauw Goat.
“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya
sebelum bicara. Dia itu hanya seorang
jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat
seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia
itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek
tidak melihat mu-kanya yang menyeramkan
seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“
Terpaksa Lauw-piauwsu tidak mem-bantah
lagi. Dia tahu bahwa watak anak
perempuan ini keras dan pemberani bu-kan
main, dan kalau dia mempergunakan sikap
keras, mungkin akan menjadi makin berabe
keadaannya. “Mari kita melanjut-kan cepatcepat.
Sebelum matahari ke-hilangan
sinarnya di balik puncak itu, kita harus
sudah tiba di balik puncak, melalui lereng
dengan jalan memutar. Di sana ada daerah
berbatu di mana terda-pat banyak guha
untuk tempat bermalam dan berlindung dari
salju.”
Mereka melanjutkan pendakian dan
kadang-kadang mereka masih disusul oleh
rombongan lain, bahkan juga menyusul
rombongan lain yang sedang melepas lelah
di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi
sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak
nampak lagi. Tepat seperti apa yang
dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap
mereka tiba di lereng yang penuh dengan
batu-batu besar dan guha-guha. Akan tetapi
ternyata banyak juga orang yang sudah
berada di situ. Untung tem-pat itu luas
sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan
piauwsu ini untuk mene-mukan sebuah
guha kosong yang cukup besar untuk
menampung mereka semua.
“Ihh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw
Goat berseru dengan nada suara marah.
Kiranya ketika mereka memasuki guha,
Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu
melihat ada sesosok tubuh manusia rebah
di sudut guha dan ketika dia men-dekati
untuk melihat lebih jelas karena cuaca
sudah remang-remang, ternyata yang tidur
di situ adalah Si Pengemis muda tadi!
Pengemis itu menggosok-gosok kedua
matanya, seolah-olah baru bangun tidur
nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terke-jut
dan merasa heran. Pengemis itu ke-lihatan
lemah, bahkan tidak memakai pakaian
tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak
cepat sekali sehingga mereka yang juga
melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh
dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur
di situ ketika mereka tiba!
“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan
ganggu orang!” Lauw Sek mem-peringatkan
gadis cilik itu.
Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang
mencorong itu bermain-main, ka-dangkadang
dipejamkan yang kanan ka-dangkadang
yang kiri, dan mulut di balik kumis
itu seperti mentertawakan, maka dia
menjadi semakin gemas. “Eh, jembel busuk,
apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai?
Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau
bukan, lekas kau keluar dari guha ini karena
engkau men-jemukan dan menjijikkan!”
Semua piauwsu terkejut mendengar ini.
Gadis cilik itu sudah keterlaluan menghi-na
orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi
pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu
seolah-olah tidak mendengar maki-makian
Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum.
Sikapnya seperti orang yang tidak perduli
atau memandang rendah. Dia duduk
sam-bil menggaruk-garuk lehernya.
Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat
dan ditariknya mundur menjauhi pengemis
itu. Kemudian para piauwsu itu
mengeluarkan roti kering dan air minum.
Mereka makan dengan diam saja, kadangkadang
mata mereka mengerling ke arah
pengemis muda yang duduk membelakangi
mereka di sudut guha. Tiba-tiba penge-mis
Choirul, maret 2008 53
itu tertawa bergelak, suara ketawa-nya
bergema di dalam guha itu, amat
menyeramkan seolah-olah di sebelah
da-lam dari guha itu terdapat iblis-iblis yang
ikut tertawa bersamanya. Kemudian
pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau
dan kasar, kata-katanya tidak karuan!
“Cinta itu gila gagah itu lemah pintar itu
tolol!
Mulut semanis-manisnya membohong
sebesar-besarnya tapi sampai mati aku
tidak bisa lupa....!”
Suara nyanyian itu pun bergema di dalam
guha seperti para iblis ikut pula bernyanyi,
lalu pengemis itu tertawa--tawa lagi. Akan
tetapi suara ketawanya yang bergelak itu
mendadak berhenti, se-perti jangkerik
terpijak dan suasana menjadi hening sekali,
hening menyeram-kan. Lalu terdengar isak
perlahan-lahan. Pengemis itu menangis!
Para piauwsu saling pandang. Jelas-lah
bahwa memang pengemis itu gila! “Celaka,
bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat
mengomel dan Lauw Sek menyentuh
tangannya, menyuruhnya diam.
Seorang piauwsu yang merasa kasihan lalu
bangkit dan menghampiri pengemis itu,
memberinya sepotong besar roti kering.
“Sobat kauterimalah roti ini dan makanlah
bersama kami.” katanya.
Pengemis itu menengok, menyeringai,
menerima roti itu, menciumnya beberapa
kali, terkekeh dan kemudian dia membuang
roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia
lalu mengomel tanpa menoleh, masih
menghadap ke dinding batu, se-olah-olah
dia mengomel kepada dinding itu. “Memberi
roti berisi racun! Mulut manis
menyembunyikan hati yang pahit. Huh,
manusia adalah mahluk palsu, jahat dan
keji, mahluk paling kotor di dunia ini, ha-haha....!”
Piauwsu yang tadi memberi roti ma-sih
berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja
dia menjadi marah bukan main. Dia
memberi roti karena terdorong oleh rasa
kasihan kepada pengemis muda ini, akan
tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan
disertai ucapan yang se-olah-olah mengejek
bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti
itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di
depan ka-wan-kawannya. Dia merasa
terhina dan marah, maka dia ingin menakutnakuti
pengemis itu. Dicabutnya goloknya
yang besar dan tajam berkilauan itu.
“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong
malah balas menghina orang! Engkau
menjemukan. Hayo keluar da-ri guha ini dan
jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan
kupotong daun telingamu!” Untuk menakutnakuti,
piauwsu itu menempelkan goloknya
ke dekat telinga orang! Lauw-piauwsu
me-mandang dengan alis berkerut, akan
te-tapi dia tahu bahwa anak buahnya itu
hanya menggertak saja, dan memang
sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari
dalam guha dan mencari tempat berma-lam
lain karena dengan adanya pengemis gila
itu memang membuat hati menjadi tidak
enak. Pula, melihat betapa penge-mis gila
itu menghina pemberiannya dengan
membuang roti, menandakan bahwa di balik
kegilaannya, memang ada watak tidak baik
pada Si Pengemis.
Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri,
seperti orang ketakutan meman-dang ke
arah golok yang menempel di telinganya,
kini dia memutar tubuh menghadapi
piauwsu yang masih meno-dongnya dengan
golok. Piauwsu itu ber-sikap garang untuk
menakut-nakuti, dan pengemis muda itu
juga mundur-mundur sampai dekat dengan
mulut guha.
“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali
piauwsu itu membentak.
Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak
dan tahu-tahu dia telah me-nangkap dan
menggenggam golok itu! Si Piauwsu
terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat
tajam dan pengemis itu tentu akan melukai
tangannya sendiri. Dia tidak berani menarik
Choirul, maret 2008 54
goloknya yang dicengkeram karena takut
kalau-kalau goloknya akan membikin putus
tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera
terja-di hal yang membuat semua orang
terbelalak.
“Krakkk....!” Tangan itu mencengke-ram dan
golok itu menjadi patah-patah dalam
cengkeraman tangan kiri pengemis muda
itu. Dengan suara ketawa tertahan,
pengemis itu lalu melemparkan pecahan
golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah
hendak membersihkan telapak tangannya
dari debu kotor, kemudian melangkah le-bar
keluar dari guha dan tak lama kemudian
terdengar suara tangisnya, se-senggukan
yang makin lama makin jauh sampai tidak
terdengar lagi.
Semua orang, termasuk Siauw Goat dan
Lauw-piauwsu, masih tertegun mena-han
napas seperti patung tidak bergerak.
Mereka terlampau heran dan kagum.
Pe-ristiwa yang terjadi itu seolah-olah
me-rupakan mimpi atau dongeng yang
sukar dipercaya. Golok piauwsu itu terdiri
dari baja yang baik, hal ini diketahui benar
oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat
tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali
cengkeram saja golok itu patah-patah,
bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu
hanya sehelai daun kering saja? Piauwsu
pemilik golok itu sendiri masih berdiri
dengan muka pucat dan matanya terbelalak
memandang sisa goloknya yang masih
dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan
sedikit sisa golok yang sudah buntung!
“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manu-sia
sakti....” terdengar Lauw Sek akhirnya
berkata dengan suara agak gemetar.
“Mulai sekarang kita harus berhati-hati,
jangan sekali-kali mengganggu orang....”
Biarpun pengemis gila itu sudah pergi,
suasana menjadi menyeramkan setelah
terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek mendugaduga
siapa gerangan pengemis gila itu! Dia
banyak mengenal orang-orang kang-ouw,
akan tetapi belum pernah dia mendengar
tentang pengemis ini. Seorang pengemis
yang dia lihat masih muda, belum ada tiga
puluh tahun usianya, dan dia belum pernah
mendengar di dunia kang-ouw seorang
tokoh pengemis yang memiliki kepandaian
sehebat itu.
Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal
pengemis itu karena sebenarnya orang gila
itu bukan tokoh pengemis, bukan seorang
tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis)
yang terkenal. Pakaiannya seperti
pengemis karena memang dia tidak
mempedulikan pakaiannya sehingga
compang-camping seperti pakaian
penge-mis. Akan tetapi dia tidak pernah
mengemis! Kalau orang gila itu
menyebut-kan nama julukannya sebelum
dia ber-keadaan seperti sekarang ini, tentu
Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan
mengenalnya. Pengemis muda itu
sesung-guhnya berjuluk Si Jari Maut!
Para pembaca cerita KISAH JODOH
RAJAWALI yang sudah mengenal Si Jari
Maut tentu tidak akan merasa heran lagi
kalau dengan sekali cengkeram saja dia
telah mampu mematahkan golok! Pengemis
ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut
yang memiliki ilmu kepandai-an tinggi. Di
dalam KISAH JODOH SEPASANG
RAJAWALI diceritakan bahwa Ang Tek
Hoat adalah seorang calon mantu Raja
Bhutan, mengapa kini dia menjadi seorang
pengemis gila yang terlunta-lunta seperti
itu?
Pemuda gagah perkasa ini memang
bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai
hiburan saja, padahal segala sesuatu
ter-jadi sebagai akibat daripada
perbuatannya sendiri. Ketika masih amat
muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak
penyele-wengan, melakukan banyak
kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya
sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam
ke-adaan yang amat sengsara. Dia saling
mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri
tunggal Raja Bhutan, akan tetapl ikatan
jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja
Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang
Choirul, maret 2008 55
muda yang saling mencinta itu selalu
terpisah oleh berbagai persoal-an yang
timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti
Dewi pergi dari Bhutan dan tidak pernah
kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang
telah berjasa menye-lamatkan Kerajaan
Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat
menjadi pang-lima muda oleh Raja Bhutan
dan pertu-nangannya dengan Sang Puteri
telah disahkan oleh Sang Raja!
Biarpun dia menikmati kehidupan mulia dan
terhormat di Kerajaan Bhu-tan, namun Tek
Hoat menderita karena puteri yang
dicintanya itu tidak berada di sampingnya.
Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal
berenang dalam lautan ke-mewahan di
Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan
merantau untuk mencari keka-sihnya, yaitu
Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya.
Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak
pernah berhasil menemukan Sang Puteri
dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan
membuat dia menjadi terganggu jiwanya
dan membuat dia menjadi seperti seorang
pengemis gila! Dan agaknya, biarpun
pikirannya sudah terganggu, dalam
kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula
akan peristiwa yang akan menggegerkan
dunia kang-ouw dan yang membuat banyak
tokoh-tokoh kang-ouw berbondongbondong
pergi ke Pegunungan Himalaya.
Dan dia pun ter-seret oleh arus ini dan pergi
ke Pegu-nungan Himalaya, sungguhpun
selama bertahun-tahun dan sampai saat itu
yang menjadi tujuan semua perjalanannya
ha-nya satu, yaitu mencari Puteri Syanti
Dewi!
Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat
mampu mematahkan golok piauwsu itu
karena pemuda ini memang memiliki ilmu
kepandaian yang luar blasa. Dia pernah
mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo
dan mewarisi ilmu silat ga-bungan dari Patmo
Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun.
Kemudian sekali, yang membuat dia
menjadi sedemikian lihainya adalah karena
dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang
datuk Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong
dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia
dapat menghim-pun tenaga sakti yang
dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini
dimatangkan oleh pengalamanpengalamannya
meng-hadapi banyak sekali
pertempuran mela-wan orang-orang pandai.
Kini usianya sudah sekitar dua puluh
delapan tahun, akan tetapi keadaan
hidupnya menjadi sedemikian rusak
sehingga tidak ada orang yang
mengenalnya kecuali sebagai seorang
pengemis muda yang gila!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apaapa
di dalam guha besar yang dijadi-kan
tempat bermalam para piauwsu. Hati
mereka merasa lega dan pada keesokan
harinya mereka keluar dari guha untuk
melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak
begitu gelap lagi tanda bahwa matahari
telah naik tinggi. Akan tetapi matahari tidak
nampak, hanya sinarnya saja yang
membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin
sekali karena kabut meme-nuhi udara.
Mereka hendak menuju ke Gunung
Kongmaa La karena menurut pe-san Kakek
Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw
Goat dapat ditemukan.
Ketika mereka melewati guha-guha yang
kemarin sore penuh dengan orang-orang
kang-ouw yang melakukan perja-lanan dan
mengaso di situ, ternyata guha-guha itu
telah kosong semua, tanda bahwa mereka
itu pagi-pagi benar telah melanjutkan
perjalanan seperti orang ter-gesa-gesa.
Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu
adalah orang-orang kang-ouw yang
agaknya mencari pedang pusaka yang
hilang dan juga berlumba untuk
mendapatkannya. Dia tidak peduli karena
dia mempunyai tugas lain dan sama se-kali
tidak ingin untuk ikut berlumba
memperebutkan. Oleh karena itu, dia
me-mimpln rombongannya jalan seenaknya
karena perjalanan mendaki itu amat su-kar
sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat
kehabisan tenaga.
Biarpun badai salju telah mereda, namun
salju masih turun dan memenuhl
permukaan bumi, menaburi batang-batang
Choirul, maret 2008 56
pohon tanpa daun sehingga men-ciptakan
pohon-pohon putih. Seluruh per-mukaan
bumi menjadi putih dan peman-dangan
amat luar biasa, seolah-olah du-nia dilapisi
dengan perak, membuat orang merasa
seperti dalam dunia mimpi.
Lewat tengahari mereka tiba di se-buah
puncak bukit yang datar dan begitu mereka
tiba di situ, mereka melihat bahwa di tempat
itu sedang terjadi per-tempuran yang amat
hebat. Lauw Sek cepat menyuruh
rombongannya berhenti dan mereka melihat
dari jarak yang cu-kup jauh agar tidak
terlibat dalam per-tempuran itu.
“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari
Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata
lirih dengan nada suara khawatir.
“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai
baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Gobi-
pai!” sambung seorang piauw-su dan kini
semua piauwsu merasa yakin bahwa lima
orang tosu tua yang sedang bertempur
melawan empat orang wanita itu adalah
tosu-tosu Go-bi-pai. Mereka tidak mengenal
empat orang wanita yang amat lihai itu,
maka tentu saja diam-diam mereka
berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang
mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah
perkasa yang menentang kejahatan. Kini
para tosu itu tampak terdesak hebat oleh
pedang-pedang yang dimainkan oleh empat
orang wanita can-tik itu. Para wanita itu
memang hebat sekali. Pedang di tangan
mereka lenyap berobah menjadi gulungan
sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima
orang tosu Go-bi-pai itu melawan matimatian
de-ngan senjata mereka yang
bermaca--macam, ada rantai baja, ada
toya, ada pula yang menggunakan pedang.
Namun semua perlawanan mereka sia-sia
belaka karena mereka terdesak dan
terkurung oleh sinar-sinar pedang yang
berkilauan itu. Akhirnya, dua orang di antara
para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh
bergulingan. Tiga orang temannya lalu
berloncatan ke belakang, menyambar tubuh
dua orang kawan yang terluka dan larilah
lima orang tosu itu dengan cepat menuruni
puncak, tidak dikejar oleh empat orang
wanita itu.
Tiba-tiba Siauw Goat berteriak. “Itu adalah
empat siluman rase yang jahat!” Dan anak
perempuan ini membawa bu-surnya lari
cepat menuju ke arah empat orang wanita
itu. Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat
meloncat dan mengejar.
“Siauw Goat, kembali kau....!” bentak-nya.
Empat orang wanita itu menoleh dan
mereka segera mengenal Siauw Goat, anak
perempuan yang pernah menghina dan
memaki wanita baju hijau dari rom-bongan
itu di depan rumah makan. Meli-hat ini, dan
mendengar anak perempuan itu memaki
mereka empat siluman rase jahat, wanita
baju hijau itu terkejut dan marah bukan
main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari
menghampiri sambil membawa pedangnya.
“Bocah setan engkau mengantar nya-wa!”
teriaknya.
Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan
main. Dia mempercepat larinya dan karena
jarak antara dia lebih dekat dengan Siauw
Goat dibandingkan dengan wanita baju
hijau itu, biarpun baju hijau berlari seperti
terbang cepatnya, maka dia lebih dulu
dapat menyusul Siauw Goat. Akan tetapi
saat itu, “Siauw Goat telah memasang dua
batang anak panah dan melepaskan anak
panah dari busur-nya, dibidikkan ke arah
wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang
terlambat. Dia memegang dengan Siauw
Goat akan teta-pi dua batang anak panah
itu telah me-luncur ke arah wanita baju hijau
yang menjadi semakin marah menghadapi
se-rangan ini. Sekali memutar pedang, dua
batang anak panah itu patah-patah dan
runtuh, dan dia terus berlari mengham-piri.
Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri
melindungi Siauw Goat dan wanita baju
hijau itu berhenti menghadapinya dengan
sinar mata tajam penuh kemarahan. “Hayo
kauserahkan budak itu, kalau tidak engkau
pun akan kubunuh sekalian!” har-diknya.
Choirul, maret 2008 57
Lauw Sek sudah maklum bahwa wani-ta itu
lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai
sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia
dan kawan-kawannya, maka dia cepat
mengangkat kedua tangan memberi hormat
sambil berkata. “Toanio, harap sudi
memaafkan keponakanku ini dengan
memandang mukaku. Harap Toa-nio
ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek,
pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu
dan....”
“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari
neraka sekalipun, engkau harus
me-nyerahkan bocah setan itu kepadaku
ka-lau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”
Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wa-nita ini
ternyata galak dan kejam, juga amat
sombong, pikirnya. Akan tetapi dia bersikap
tenang dan sabar sambil melirik ke arah
anak buahnya yang sudah men-dekati
tempat itu. Betapapun juga, dia bersama
anak buahnya berjumlah dua belas orang
dan wanita itu hanya empat orang. Tentu
enam belas orang pemang-gul tandu itu
tidak masuk hitungan, pi-kirnya.
“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap
Toanio suka menghabiskan urusan dengan
seorang anak kecil yang belum tahu apaapa....“
“Cerewet!” Wanita baju hijau itu
membentak, sama sekali tidak
mempedu-likan bahwa rombongan piauwsu
yang berpakaian seragam putih itu kini
sudah berada di depannya semua, seolaholah
dia tidak memandang sebelah mata
kepa-da mereka. “Berikan anak itu atau
beri-kan nyawamu!”
“Terlalu!” membentak beberapa orang
piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi
marah melihat sikap wanita itu, maklum
bahwa tidak ada jalan damai. Maka dia pun
lalu mendorong Siauw Goat ke bela-kang
dan mencabut sepasang goloknya,
melintangkan sepasang golok itu di de-pan
dadanya.
“Toanio, engkau sungguh amat men-desak
orang!”
“Peduli amat!” Wanita baju hijau itu
membentak dan dia sudah menggerakkan
pedangnya menyerang. Lauw Sek cepat
menggerakkan sepasang goloknya
me-nangkis.
“Tranggg....!” Lauw-piauwsu terkejut bukan
main. Kedua tangannya yang me-megang
golok tergetar hebat ketika menangkis
pedang itu dan pedang yang di-tangkisnya
itu tidak terpental melainkan terus meluncur
ke arah lehernya! Untung dia cepat
membuang tubuh ke belakang sehingga
serangan dahsyat itu luput dan beberapa
orang temannya sudah menerjang maju
pula sehingga dalam waktu singkat wanita
baju hijau itu sudah ter-kurung!
Akan tetapi, tiga orang wanita can-tik
lainnya telah datang seperti terbang
cepatnya, masing-masing memegang
sebatang pedang dan mereka itu menyerbu
ke dalam pertempuran. Bukan main
he-batnya gerakan mereka. Terutama
wanita yang mengenakan baju berwarna
kuning, yang tercantik di antara keempat
wani-ta itu, pedangnya berkelebatan seperti
kilat dan dalam beberapa gebrakan saja
dua orang piauwsu telah terluka
lengan-nya, mengucurkan darah sehingga
senjata mereka terlepas dari pegangan.
Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang
wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita
itu dengan senyum dingin dan begitu golok
kirinya bertemu dengan pedang wanita itu,
hampir saja goloknya terlepas dari
pegangan karena tangannya tergetar
hampir lumpuh! Lauw Sek maklum bahwa
wanita baju kuning ini ternyata yang paling
lihai di antara mereka, maka dia pun cepat
menyambitkan hui-to ke arah wanita itu.
Biarpun sekaligus ia menyam-bitkan enam
batang pisau terbang dari jarak dekat,
namun sinar pedang wanita itu
meruntuhkan semua hui-to itu dan
membalas dengan serangan-serangan
Choirul, maret 2008 58
dahsyat yang membuat Lauw Sek
terhuyung mundur.
Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak
buahnya melakukan perlawanan matimatian,
mereka dua belas orang laki-laki
gagah perkasa ini ternyata sama sekali
bukan lawan empat orang wanita cantik itu!
Seorang demi seorang roboh, dan
hebatnya, empat orang wanita itu sama
sekali tidak mau memberi ampun, terus
mengejar yang terluka dan mengi-rim
tusukan maut sehingga mereka yang
berjatuhan itu semua tewas oleh tusukantusukan
pedang! Melihat ini, Lauw Sek
menjadi gelisah sekali dan dia berteriak
kepada Siauw Goat, Siauw Goat kau
lari-lah.... cepat....!”
Lauw Sek sendiri dengan nekat ber-sama
sisa teman-temannya menahan em-pat
orang wanita itu. Siauw Goat adalah
seorang anak yang cerdik. Biarpun dia
pemberani, namun dia dapat melihat
be-tapa sia-sianya melawan empat orang
wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu
melarikan diri dengan cepat sambil
membuang busur dan anak panahnya yang
tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi
empat orang wanita yang amat sakti itu.
Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia
berloncatan di atas salju dan seben-tar saja
sudah menghilang di balik tum-pukan salju
yang membukit. Akan tetapi, gerakannya ini
dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia
cepat meninggalkan gelanggang
pertempuran dan lari menge-jar.
“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”
Lauw Sek terkejut dan hendak menge-jar
untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi
hal ini membuat dia lengah dan sambaran
ujung pedang wanita baju ku-ning mengenal
pundaknya, membuat pun-dak itu terluka
parah dan sebuah tendangan menyusul,
mengenai pinggangnya dan robohlah Lauwpiauwsu!
Teman-te-mannya masih nekat
melawan, akan te-tapi seorang demi
seorang robohlah para piauwsu itu, semua
tewas kecuali Lauw Sek yang memang
agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!
Lauw Sek membuka mata dan
per-tempuran itu ternyata telah berhenti. Dia
siuman dari pingsannya, melihat bahwa di
situ kini hanya tinggal wanita baju kuning,
sedangkan tiga orang wanita lain telah
pergi, agaknya mereka semua mengejar
Siauw Goat!
“Kami membiarkan engkau hidup agar
engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat
permainan oleh serombongan piauwsu
yang lancang!” kata wanita baju kuning itu.
“Siapa.... siapa kalian....?” Lauw Sek
bertanya lemah, hatinya penuh duka
me-lihat bahwa sebelas orang anak
buahnya ternyata telah tewas semua dalam
ke-adaan menyedihkan sekali. Dia bangkit
duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan
tetapi darah sudah berhenti mengu-cur,
agaknya membeku di luar karena hawa
dingin dan salju yang turun ke atas luka
besar itu.
Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis
sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek
di saat itu, senyum ini seperti senyum iblis
dari neraka! “Memang kami sengaja
membiarkan kamu hidup agar me-ngenal
siapa kami. Kami adalah utusan dari Samthaihouw!
Nah, ingatlah baik--baik!” Wanita
baju kuning itu menggerakkan kakinya.
Ujung sepatunya menendang dan tepat
mengenai dada Lauw Sek membuat
piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan
lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning
itu lalu melompat dan lari dari situ untuk
menyusul teman-temannya, sedangkan
enam belas orang penggotong tandu itu
duduk seenaknya saja sejak tadi menonton
pertempuran-pertempuran di dekat tandutandu
kosong mereka, seolah-olah mereka
sedang menjadi pe-nonton pertunjukan
yang menarik!
Sementara itu, Siauw Goat lari pon-tangpanting
di antara hujan salju. Dia melarikan
diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia
Choirul, maret 2008 59
memasuki daerah ber-salju yang turun naik.
Dia melihat ada-nya tiga orang yang
mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan
salju makin deras sehingga pandang mata
menjadi kabur dan para pengejarnya
kadang-kadang kehilangan bayangannya.
Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup
oleh salju se-hingga tiga orang wanita itu
seperti orang meraba-raba ketika mengejar
dan mencarinya. Dia mendengar lengkingan
panjang di sebelah belakang, yang segera
disambut oleh lengkingan lain yang lebih
dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak
tahu bahwa lengking pertama itu adalah
suara wanita pertama yang dijawab oleh
wanita ke empat sehingga tak lama
ke-mudian wanita pertama itu sudah
berga-bung dengan tiga orang temannya
dan kini mereka berempat semua mencaricarinya.
Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling
dan napasnya terengah-engah, se-luruh
tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin
yang luar biasa membuat dia se-makin
menderita. Jubah bulu tebal itu
dikerudungkan tubuh dan kepalanya,
ke-dua tepinya dipeganginya erat-erat dan
dia melanjutkan larinya biarpun napasnya
seperti akan putus rasanya. Dia memaksa
diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang
terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba
di puncaknya, tiba-tiba salju yang diinjaknya
itu runtuh ke bawah dan tubuhnya
bergulingan ke bawah. Kiranya “bukit” itu
adalah sebatang pohon yang tertutup salju
sehingga bergunduk menjadi semacam
bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju
yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.
Perutnya terasa lapar bukan main, akan
tetapi terutama sekali yang amat menyiksa
adalah hawa dingin, kelelahan dan
pernapasannya yang makin terengah,
Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu
berhenti, akan tetapi tidak bangun kem-bali
karena Siauw Goat merasa malas untuk
bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring
di atas salju, dan biarpun hawa amat
dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah,
napas yang sesak, dan perut yang lapar itu
seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya,
dingin dan ingin tidur!
Akan tetapi dia teringat akan na-sihatnasihat
Lauw-piauwsu bahwa amat
berbahaya kalau sampai orang tertidur di
atas salju. Percakapan ini terjadi ketika
mereka habis berjumpa dengan pengemis
muda lihai yang tidur di atas salju de-ngan
pakaian tipis.
“Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang
sakti.” demikian kata piauwsu itu, “padahal,
tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi
orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan
hawa dingin mem-buat dia ingin sekali
untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan
kalau sampai orang itu tertidur di atas salju,.
Itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan
bangun kem-bali karena tentu dia terus mati
dalam keadaan membeku darahnya!”
Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa
dirasakannya! Dan dia masih mu-da! Dan
dia masih harus membalas ke-matian
kakeknya, dan dia harus bertemu dengan
orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati!
Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu
bangkit lagi, merang-kak bangun dan
melihat betapa kaki ta-ngannya lecet-lecet,
agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan
tadi. Dipak-sanya badan yang sudah hampir
mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu
melangkah lagi, bermaksud hendak lari.
Akan tetapi baru saja melangkah bebera-pa
belas tindak, dia mengeluh, terguling dan
pingsan! Akan tetapi, sebelum ping-san dia
melihat bayangan dua orang, bukan wanitawanita
yang mengejarnya, melainkan
bayangan dua orang pria. Ba-yangan inilah
yang menghabiskan se-mangatnya untuk
pantang menyerah ke-pada kelelahannya.
Ada orang, tentu dia akan tertolong,
demikian jalan pikirannya yang terakhir
sebelum dia membiarkan dirinya hanyut ke
dalam ketidak-sadaran.
Dua orang itu pun melihat Siauw Goat.
Tadinya mereka memandang heran sekali
melihat seorang gadis cilik berlari-lari
seorang diri di tempat yang amat sunyi dan
Choirul, maret 2008 60
liar itu, dan terkejutlah me-reka ketika
melihat gadis itu berguling-guling di atas
onggokan salju, bangkit lari lagi dan
berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas
salju.
“Ah, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari
kita menolongnya, Paman!” Seorang di
antara mereka berkata dan terus lari
menghampiri tempat Siauw Goat terguling.
Orang ke dua tidak men-jawab akan tetapi
ikut berlari.
Mereka adalah dua orang laki-lakl yang
memegang busur dan membawa ba-nyak
anak panah, sikap mereka gagah perkasa
dan gerakan mereka tangkas, dengan
pakaian seperti biasa dipakai para
pemburu. Yang bicara tadi masih remaja,
kurang lebih lima belas tahun usianya,
namun wajahnya membayangkan
kegagahan, kejujuran dan ketabahan
sedang-kan sepasang matanya tajam dan
memba-yangkan kecerdasan. Pria ke dua
berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di
balik wajahnya yang gagah membayang
kesa-baran.
Memang mereka itu adalah pemburupemburu
yang berpengalaman. Mereka
adalah keluarga pemburu turun-temurun
menjadi pemburu binatang buas yang ahli
dan berpengalaman. Mereka berasal dari
Lok-yang di mana sekeluarga mereka
bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini
mereka berada di Pegunungan Himalaya
juga untuk berburu, dan terutama sekali
sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu
tertarik akan berita tentang mahluk yang
dinamakan manusia salju atau Yeti.
Se-bagai pemburu-permburu
berpengalaman tentu saja berita ini amat
menarik dan mereka ingin sekali dapat
menangkap mahluk itu yang menurut
pendapat mere-ka tentulah semacam
binatang liar yang belum pernah dilihat
manusia. Akan te-tapi biarpun mereka
sudah sering kali menemukan jejak Yeti,
mereka sampai sekarang belum juga
berhasil berjumpa dengan mahluk itu
sendiri.
Pemuda remaja yang sudah memiliki
bentuk tubuh seorang dewasa karena
se-menjak kecilnya sudah sering ikut
ber-buru dan menghadapi kekerasan dan
ke-sukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada
pun pamannya yang bertubuh sedang dan
sikapnya agak terlalu halus untuk seorang
pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari
ayah Hong Bu. Dahulu mereka semua ada
empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang
bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya
Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri.
Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim
Hoat dan Sim Kun se-dang berburu biruang
di utara, mereka berdua diserang oleh dua
ular yang sangat beracun dan nyawa
mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah
mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim
Tek pamannya, dan untuk sekedar
menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh
duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara,
tidak mempunyai anak isteri itu lalu
mengajaknya merantau ke daerah-daerah
liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang
lalu mereka sampai di Pegunungan
Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang
Yeti.
Di dalam kisah JODOH SEPASANG
RAJAWALI ada diceritakan tentang Sim
Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut
tentu masih ingat akan anak laki-laki
pemburu yang pernah menyelamatkan
Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Honan
yang dikejar-kejar pasukan, ke-mudian
bersama keluarga Sim dan ka-wan-kawan
pemburu yang lain, mereka beramai-ramai
menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.
Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlu-tut di
dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek
segera memeriksa gadis cilik itu. “Hemm,
dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula
sakit. Agaknya kedinginan dan kelaparan.”
kata Sim Tek. “Hong Bu, lekas kauambil
arak dan obat penghangat perut dan juga
pel penambah darah itu”
Choirul, maret 2008 61
Sim Hong Bu cepat membuka buntal-an
bekal mereka dan melaksanakan pe-rintah
pamannya. Setelah diberi makan obat dan
minum arak, digosok-gosok pula kaki dan
tangannya dengan obat pemanas kulit,
akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu
siuman, dia meloncat berdiri, ter-huyung,
akan tetapi dengan nekat dia siap untuk
melawan.
“Siapa kalian....?” bentaknya dan Hong Bu
tersenyum, memandang kagum kepada
gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang
gagah dan samasekali tidak ce-ngeng,
pikirnya, dan melihat gerakan gadis ltu
ketika meloncat dan mengepal kedua
tangannya, dia dapat menduga bahwa
gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.
“Nona, kami menemukan engkau rebah
pingsan di sini, dan kami hanya meno-long
dan menyadarkanmu. Kami adalah
pemburu-pemburu....”
“Ahh, maaf....!” Tiba-tiba sikap dara itu
berubah. “Dan terima kasih atas ke-baikan
kalian. Mana.... mana mereka itu?”
“Mereka siapa?” tanya Hong Bu.
“Mereka yang mengejarku! Empat orang
Iblis betina itu....!” Siauw Goat lalu
memandang ke sekeliling dengan sikap
khawatir karena dia teringat akan keadaan
Lauw-piauwsu dan anak buah-nya yang
terdesak dan bahkan banyak yang sudah
roboh.
“Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita
bertiga.” kata Sim Tek heran.
“Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang
hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar
dengan anak panah dan busurku ini!” Sim
Hong Bu berkata menghibur sambil
mengangkat busurnya yang besar ke atas
kepala.
Pada saat itu terdengar suara me-lengking
susul-menyusul, suara yang
men-datangkan gema dan getaran panjang.
“Itu mereka....!” Siauw Goat berkata dengan
wajah berubah agak pucat. “Pin-jamkan
pedangmu, aku harus melawan mereka
mati-matian!” katanya.
Hong Bu dan pamannya bangkit ber-diri.
Hong Bu mencabut pedangnya dan
menyerahkan pedang itu kepada Siauw
Goat sambil berkata, “Jangan khawatir, aku
dan Paman akan menjagamu dan
menghadapi mereka!” Belum nampak
ada-nya orang lain di situ dan suara
meleng-king tadi agaknya dikeluarkan dari
tem-pat jauh.
“Siapakah mereka, Nona? Dan menga-pa
mereka mengejar-ngejarmu?” Sim Tek yang
lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw
Goat. Dia maklum bahwa orang-orang yang
dapat mengeluarkan suara melengking
panjang menggetarkan seperti tadi pasti
bukan orang semba-rangan. Juga dia
bersikap hati-hati, tidak seperti
keponakannya yang begitu mudah-nya
menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini
tanpa lebih dulu mengetahui apa yang
menjadi persoalannya maka gadis tu
dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis
ini yang berada di fihak salah? Bukan tidak
mungkin itu!
“Aku tidak tahu siapa iblis-iblis be-tina itu!
Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi
para piauwsu yang mengawal-ku dan
mengejar-ngejarku untuk dibunuh!”
“Jahat mereka itu!” Hong Bu berseru marah.
Tiba-tiba terdengar suara melengking
nyaring dan empat orang wanita itu kini
telah muncul dari balik bukit salju dan
gerakan mereka amat cepatnya ketika
mereka lari menghampiri. Akan tetapi Sim
Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan
tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek
memegang sebatang pedang dan Hong Bu
siap dengan busur dan anak panahnya.
Juga Siauw Goat sudah me-megang
pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.
Choirul, maret 2008 62
Melihat betapa gadis cilik yang mere-ka
kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria
yang kelihatan gagah, empat orang wanita
cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang
merasa paling marah dan sakit hati
terhadap Siauw Goat, melangkah maju
sambil berkata kepada teman-temannya.
“Biar kuhadapi anjing-anjing ini!”
Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek
menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini
benar amat sombong sekali, pikirnya dan
kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis
cilik seperti anak yang pingsan tadi berada
di fihak salah.
“Harap Nona sabar sedikit.” katanya sambil
melangkah maju. “Tidak baik menggunakan
kekerasan terhadap seorang gadis cilik,
kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan
dengan tenang.”
“Heh, pemburu babi yang busuk, ja-ngan
engkau mencampuri urusan orang lain!
Pergilah sebelum terpaksa kubunuh
engkau!” bentak wanita baju hijau yang oleh
temannya disebut A-ciu itu.
“Paman, Nona cilik ini benar, mereka
adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuha-jar
mereka!” Tiba-tiba Sim Hong Bu ber-teriak
marah dan dengan gerakan cepat sekali
pemuda remaja ini telah mengge-rakkan tali
busurnya empat kali. Ter-dengar suara
menjepret empat kali dan berturut-turut,
empat batang anak panah menyambar
seperti kilat ke arah empat orang wanita
cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu
semua menyambar ke arah betis kaki, maka
jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud
membunuh, hanya ingin melukai empat
orang yang dianggapnya jahat itu.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong
Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua
melihat empat orang wanita itu mengangkat
kaki, dengan enak dan mu-dah saja mereka
menendang ke arah anak panah yang
menyambar itu dan.... anak-anak panah itu
semua meluncur kembali ke arah Sim Hong
Bu! Tentu saja pemuda remaja ini menjadi
sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat
akan tetapi hampir saja menjadi korban
anak panahnya sendiri, maka dia
memandang dengan mata terbelalak,
kemudian dengan suara menggeram seperti
seekor singa muda dia menyerang ke
depan, mengge-rakkan busurnya yang
dihantamkan ke arah kepala A-ciu.
“Plak!” Tubuh Hong Bu terhuyung ke
belakang ketika busurnya ditangkis oleh
lengan tangan A-ciu. Melihat Sim Tek sudah
menyerang pula dengan pedangnya, juga
Siauw Goat sudah menggerakkan
pe-dangnya dan maju menerjang dengan
nekat. A-ciu dikeroyok tiga, akan tetapi
wanita cantik baju hijau ini hanya
ter-senyum dan mendengus dengan sikap
mengejek, mengelak dengan mudah dari
sambaran-sambaran senjata tiga orang
pengeroyoknya, dan dua kali kakinya
menendang, merobohkan Hong Bu dan
Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak
tanggung ini meloncat bangun dan
me-nyerang lagi.
“Plakk! Aughh....!” Sim Tek mengeluh dan
terdorong ke belakang. Pundak kiri-nya
kena disambar jari tangan wanita itu dan dia
merasa seolah-olah pundaknya lumpuh,
sakitnya sampai menusuk ke ulu hati.
Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia
sudah siap untuk menerjang lagi.
Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan
untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan
Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.
“Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian
kira sekarang ini kalian masih bernapas?
Tadi aku hanya hendak meng-uji, dan
kiranya kalian adalah orang-orang tak
berguna sama sekali. Hayo menggelinding
pergi dan serahkan setan cilik itu
kepadaku!” A-ciu membentak dengan sikap
angkuh, berdiri tegak dan bertolak
pinggang.
“Kami adalah laki-laki sejati, tidak mungkin
membiarkan seorang anak pe-rempuan
terancam tanpa melindunginya!” kata Sim
Choirul, maret 2008 63
Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu
yang sudah biasa menghadapi bahaya ini
tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa
empat orang wanita ini amat kejam dan
agaknya akan membunuh anak perempuan
itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu
saja tidak mungkin tinggal diam.
“Lebih baik mati daripada membiar-kan dia
kalian bunuh!” Hong Bu juga membentak
dan dengan nekat anak ini sudah
menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek
juga sudah menyerang lagi de-ngan
pedangnya, menahan rasa nyeri di
pundaknya.
“Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!”
A-ciu membentak dan kini dia menyambut
serangan itu dengan terjang-an ke depan.
Dua kali tangannya berge-rak, dengan tepat
dia menampar ke arah lengan tangan dua
orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim
Tek berteriak ka-get dan senjata busur dan
pedang mere-ka terlempar.
“Mampuslah!” A-ciu membentak dan
menerjang tubuh dua orang yang sudah
terhuyung itu.
“Hemm, sungguh ganas!” Bentakan halus
ini disusul berkelebatnya bayangan orang
dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdo-rong ke
belakang. Wanita baju hijau ini terkejut dan
memandang orang yang baru datang dan
yang menangkis serangannya yang
ditujukan kepada dua orang pembu-ru itu.
“Ah, kiranya engkau lagi!” bentaknya
dengan marah bukan main ketika
menge-nal penangkis itu ternyata adalah
pemuda sastrawan yang tampan, yang
pernah me-lindungi anak perempuan bengal
itu di depan restoran tempo hari!
“Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian
karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak
mungkin engkau sampai mem-bunuhi para
piauwsu itu,” Kam Hong me-narik napas
panjang dan suaranya yang tenang itu
terdengar bercampur nada marah. “Kalian
ini empat orang wanita sungguh kejam
seperti iblis!”
“Apa?” Siauw Goat menjerit. “Ka-lian iblisiblis
betina telah membunuh semua Paman
piauwsu?” Anak perempuan ini menjadi
marah sekali dan dengan ne-kat dia lalu
meloncat ke depan. Pedang pinjaman tadi
telah terlempar dan kini dia menyerang Aciu
dengan kedua ta-ngan kosong saja,
dengan penuh kenekat-an karena sakit hati
dan marah men-dengar betapa semua
piauwsu telah te-was oleh empat orang
wanita ini.
Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu
saja A-ciu juga marah. “Huh, eng-kau setan
cilik menjadi gara-gara! Mam-puslah!”
bentaknya dan dia memapaki se-rangan
Siauw Goat ini dengan tamparan yang
dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang.
Kalau tamparan ini mengenai tubuh
Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan
tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu
terbelalak.
“Huhh....?” Dia terkejut karena tiba-tiba saja
tangannya yang menampar itu terhenti di
tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!
“Plakk!” Tangan Siauw Goat yang
me-namparnya telah tiba dan tamparan itu
dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu!
Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat
menjadi girang. Kiranya “tidak se-berapa”
wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun
menyerang terus dengan pukulan ke-palan
tangannya ke arah perut orang. Melihat ini,
A-ciu yang masih terkejut merasakan
keanehan tadi, cepat mengge-rakkan kaki
untuk mengelak dan dilanjut-kan dengan
tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik
karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat
digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat
telah tiba.
“Ngekk!” perutnya kena dihantam dan
biarpun tidak membahayakan, namun
cu-kup membuat perutnya mulas karena
ketika dia hendak mengerahkan tenaga sinkang
menyambut pukulan, ternyata seperti
Choirul, maret 2008 64
juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak
mampu! Seolah-olah pusat penggerak
tenaga di dalam tubuhnya telah
dilumpuhkan orang.
Siauw Goat makin bersemangat, me-mukul,
menendang, menampar sampai tu-buh Aciu
terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh
dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain
yang melihat ini terbela-lak, akan tetapi
mereka segera tahu mengapa terjadi hal
demikian anehnya ketika mereka melihat
Kam Hong yang berdiri tegak itu
menggerak-gerakkan tangannya ke arah Aciu.
Kiranya pemu-da sastrawan itulah yang
mempergunakan ilmu aneh, agaknya
dengan kekuatan sin-kang jarak jauh yang
amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya
dan men-jadi bulan-bulan penyerangan
Siauw Goat!
“Desss!!” Sebuah pukulan Siauw Goat tepat
mengenai mulut A-ciu, merobek bibir
sehingga bibir itu berdarah, akan tetapi
Siauw Goat juga menyeringai ke-sakitan
karena punggung tangannya ber-temu
dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang,
akan tetapi sedikit melukai kulit ini akan
tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu
terbelalak.
“Cukuplah, Siauw Goat.” kata Kam Hong
sambil melangkah maju dan mena-rik
dengan gadis cilik itu.
Pada saat itu, tiga orang wanita lain-nya
sudah berloncatan mendekat. Wanita baju
kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang
agaknya menjadi pimpinan me-reka, sudah
mencabut pedangnya, diikuti oleh dua
orang temannya dan juga oleh A-ciu yang
mukanya menjadi merah se-kali, bukan
hanya merah karena marah akan tetapi juga
merah karena bekas pukulan-pukulan
Siauw Goat tadi.
“A-kiauw, engkau di sebelah kanan-nya!”
perintahnya dan wanita baju merah sekali
meloncat sudah berada di sebelah kanan
Kam Hong.
“A-bwee, engkau di sebelah kirinya!”
perintahnya lagi dan wanita baju biru
meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.
“A-ciu, engkau di belakangnya! Kita
membentuk Barisan Segiempat, kalian tahu
apa yang harus dimainkan!” bentak lagi Ahui,
wanita baju kuning yang men-jadi
pimpinan itu.
Kam Hong hanya berdiri dengan te-nang,
tidak bergerak, agak menunduk dan lebih
menggunakan ketajaman pendengarannya
untuk mengikuti gerak-gerik mere-ka
daripada menggunakan matanya. Sua-sana
menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan
Sim Hong Bu memandang de-ngan mata
terbelalak penuh perhatian, juga Siauw
Goat amat tertarik. Anak ini mulai dapat
menduga bahwa kalau tadi dia berhasil
memukuli wanita baju hijau seenaknya dan
semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan
sastrawan itu! Dia adalah anak yang
semenjak kecil mem-pelajari ilmu silat,
maka dia dapat mengerti akan hal itu dan
kini dia meman-dang penuh harap kepada
Kam Hong ka-rena dia dapat menduga
bahwa empat orang wanita itu memang lihai
sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua
piauwsu telah tewas oleh mereka ini,
hatinya menjadi sakit bukan main.
Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan Aciu
telah menyerang dengan tu-sukan
pedangnya ke arah punggung Kam Hong,
disusul lengkingan-lengkingan lain berturutturut
karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee
juga sudah menggerakkan pedang mereka
melakukan serangan kilat.
Hebatnya, serangan mereka itu berbedabeda
sifat dan sasarannya. A-hui memu-tar
pedang menyerang dari depan seperti
gelombang mengamuk, A-kiauw
menye-rang dengan loncatan ke atas
seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee
me-nyerang dari bawah seperti serangan
ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan
ge-rakan lurus dan bertubi-tubi ke arah
tubuh bagian tengah.
Choirul, maret 2008 65
Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali
dengan tangan kirinya walaupun seluruh
tubuh masih nampak tenang sekali, Kam
Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik
jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak,
seperti bermain sulap saja nampak sinar
putih yang lebar berkelebat dan sinar ini
digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang,
kiri, kanan dan de-pan. Dan gerakangerakan
itu ternyata dapat menangkis
semua serangan empat pedang lawan!
Ketika empat orang wanita itu merasa
betapa pedang mereka membalik oleh
tenaga yang amat kuat, mereka melangkah
mundur untuk menga-tur posisi sambil
memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi
adalah gerakan se-buah kipas putih yang
kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong
dan dibeberkan lalu dipakai untuk
mengipasi lehernya seolah-olah pemuda
sastrawan ini merasa kegerahan! Padahal,
berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu
dikipas-kipaskan di leher itu merupakan
pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas
Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau
Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara
ilmu-ilmu warisan keluarga Suling Emas,
satu di antara ilmu-ilmu yang amat
diandalkan dan yang dahulu pernah
mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti
Suling Emas! Ke-tika sejenak kipas itu
berhenti mengebut, empat orang wanita
yang kini bergerak melangkah perlahan
mengelilinginya itu dapat membaca hurufhuruf
indah yang tertuliS di permukaan
kipas putih itu.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa
meluap hanya yang lembut mampu
menerobos yang kasar Yang merasa cukup
adalah yang sesungguhnya kaya raya!
Huruf-huruf indah yang membentuk katakata
itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimatkalimat
itu adalah kalimat yang sering
dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu
Kai-ong, keturunan dari para to-koh Khongsim
Kai-pang -(Perkumpulan Pengemis Hati
Kosong). Isinya memba-yangkan sifat dari
perkumpulan pengemis itu dan
mengandung pelajaran atau pesan bahwa
untuk dapat belajar dan menerima
pengertian-pengertian baru hati dan pi-kiran
haruslah kosong. Mata dan telinga yang
memandang atau mendengar secara
kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang
muncul dari pengetahuan-pengetahuan
yang bertumpuk dalam pikiran, da-pat
melakukan penelitian dan penyelidik-an,
dapat waspada dan mempelajari sam-pai
sedalam-dalamnya segala persoalan yang
dihadapinya. Orang yang merasa dirinya
penuh dengan pengetahuan dan kepintaran
adalah seperti katak dalam tempurung,
seperti gentong kosong yang hanya nyaring
suaranya saja. Demikian pula, kekasaran
dan ketakutan mudah bertemu lawan,
mudah patah dan me-nimbulkan kekerasan,
sebaliknya kelem-butan mampu menerobos
segala sesuatu. Kalimat terakhir
menggambarkan keadaan pengemis
Khong-sim Kai-pang. Biarpun dinamakan
pengemis, orang yang semis-kin-miskinnya
di antara semua tingkat kehidupan, namun
karena tidak pernah mengeluh, tidak pernah
membandingkan, tidak pernah merasa
kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan
karena merasa cukup itulah maka dia tidak
mengingin-kan apa-apa lagi dan orang
beginilah yang patut disebut kaya raya.
Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya
seseorang, kalau dia itu masih selalu
merasa tidak cukup, maka dia akan
berusaha memperbesar kekayaannya itu
tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang
ditempuhnya!
A-hui mengeluarkan bentakan nyaring
secara tiba-tiba dan empat orang wanita
yang tadinya berjalan mengelilingi Kam
Hong itu tiba-tiba melakukan penyerang-an.
Serangan mereka cukup dahsyat dan
teratur rapi, karena memang mereka
mempergunakan Barisan Segiempat yang
amat teratur. Pedang mereka gemerlapan
dan menyambar-nyambar seperti halilin-tar,
mengeluarkan suara berdesing dan angin
serangan yang membuat rambut dan ujung
pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir
Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa
kuatnya sin-kang dari empat orang wanita
itu.
Choirul, maret 2008 66
Namun Kam Hong menghadapi mereka
dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak
berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini
dengan langkah-langkah kaki yang amat
tegap, kipasnya bergerak cepat, kadangkadang
menjadi sinar yang mem-bentuk
perisai atau benteng melindungi tubuhnya
sehingga semua serangan pe-dang itu
gagal tertangkis dan membalik. Kadangkadang
kipas itu tertutup dan dipergunakan
untuk membalas serangan lawan, dengan
totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan
darah yang penting, kadang-kadang dibuka
dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat
dipergunakan untuk mengebut ke arah
muka lawan sehingga beberapa kali empat
orang wanita itu gelagapan sukar bernapas
karena tiupan angin keras dari kipas itu ke
arah muka mereka!
Pertempuran itu berlangsung dengan amat
serunya dan gerakan empat orang wanita
itu makin lama makin cepat, mereka
bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga
seolah-olah mereka itu beter-bangan
mengelilingi Kam Hong yang masih
bergerak dengan tenang. Menyaksi-kan
pertandingan yang amat hebat ini, berkalikali
Sim Tek menarik napas pan-jang saking
kagumnya.
“Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya?”
Pamannya mengangguk tanpa melepas-kan
pandang matanya dari pertarungan itu.
“Bukan main lihainya, hanya dengan
kipas.... dan empat orang wanita itu amat
tangguhnya....”
“Mana lebih lihai antara dia dan Pen-dekar
Siluman Kecil, Paman?”
Pamannya menggeleng-geleng kepala.
“Tidak tahu.... tidak tahu....“ katanya pe-nuh
kagum karena kini gerakan kipas makin
menghebat dan membuat empat orang
wanita itu terdesak dan gerakan mereka
terpaksa makin melebar.
“Siapa Siluman Kecil itu? Apa sih
kehebatannya?” Tiba-tiba Siauw Goat yang
berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya
sambil mendekat, akan tetapi seperti yang
lain, dia juga masih terus menonton
pertempuran itu.
Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw
Goat, alisnya berkerut seperti orang marah
mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar
yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak
kecil itu kini dipandang rendah orang.
Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar
nomor satu di kolong langit, kepandaian-nya
tidak ada yang mampu melawannya!”
demikian dia berkata dan kembali dia
memandang ke arah pertempuran yang
menjadi semakin seru itu.
“Tidak mungkin!” Siauw Goat mem-bantah.
“Pendekar nomor satu di kolong langit
adalah mendiang Kong-kongku, kemudian
nomor dua adalah dia itu!” Dia menunjuk
kepada bayangan Kam Hong, kemudian
tiba-tiba dia mendapatkan sua-tu pikiran
yang dianggapnya amat baik dan
berteriaklah gadis cilik itu, “Heii, Paman
Kam, lekas selesaikan pertandingan itu
agar engkau dapat diadu dengan Pendekar
Siluman Kecil!”
Bukan hanya Kam Hong yang terkejut
sekali mendengar kata-kata dan
disebut-nya nama Pendekar Siluman Kecil
itu, bahkan empat orang lawannya yang
sudah terdesak juga amat terkejut dan
mereka itu berloncatan mundur.
“Tahan!” seru A-hui sambil melintang-kan
pedangnya di depan dada. Keringat-nya
bercucuran membasahi seluruh tubuh-nya,
demikian pula dengan tiga orang
te-mannya. Kam Hong berhenti bergerak
dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan
lelah sama sekali. “Pernah apakah engkau
dengan Pendekar Siluman Kecil?”
Kam Hong tersenyum dan menggeleng
kepala. “Bukan apa-apa.”
Choirul, maret 2008 67
“Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu
dengan Siluman Kecil. Apa-kah engkau
musuhnya?”
“Hemm, perempuan kejam, jangan kau
bicara sembarangan! Pendekar Siluman
Kecil adalah seorang pendekar kenamaan
yang budiman, mana mungkin aku
memusuhinya? Sudahlah, kalian lekas pergi
dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau
tidak, mengingat bahwa engkau telah
membunuh banyak orang dalam
rombong-an piauwsu itu, kalian harus
dihukum....“
“Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis
betina itu!” Siauw Goat ber-teriak lagi.
Empat orang wanita itu men-jadi marah dan
serentak mereka menye-rang lagi.
“Katakan siapa engkau baru kami mau
sudah!” teriak A-hui sambil menggerakkan
pedang diikuti oleh tiga orang temannya.
“Pergilah....!” Tiba-tiba Kam Hong
membentak dan nampak sinar kuning
ke-emasan yang berkeredepan
menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring
empat kali dan empat orang wanita itu
terjengkang ke belakang, pedang mereka
terlepas dan terjatuh ke atas salju! Mereka
terbelalak memandang kepada pemuda
sastrawan itu yang kini berdiri dengan
gagahnya, ta-ngan kiri masih memegang
sebatang ki-pas yang dikembangkan, dan
tangan ka-nan tahu-tahu telah memegang
sebatang suling terbuat daripada emas
yang ber-kilauan.
“Suling Emas....?” A-hui merangkak bangun
dan memandang kepada suling di tangan
sastrawan muda itu dengan mata
terbelalak. Nama Pendekar Suling Emas
pada waktu itu hanya sebagai dongeng
pahlawan kuno belaka, dan biarpun per-nah
dihebohkan oleh dunia kang-ouw bahwa
Pendekar Suling Emas meninggal-kan
pusaka-pusaka, namun karena tidak ada
yang berhasil mencarinya maka lam-bat
laun berita itu lenyap ditelan waktu. Dan kini
muncul seorang sastrawan muda yang
bersenjata suling dan kipas secara lihai
sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno
itu! Empat orang wanita itu kini sudah
bangkit, menyeringai kesakitan dan
mengambll pedang masing-masing, tidak
berani banyak lagak lagi dan A-hui lalu
menjura ke arah Kam Hong.
“Kepandaian Tai-hiap sungguh hebat, kami
mengaku kalah. Kami adalah utus-anutusan
dari Sam-thai-houw, kami di-kenal
sebagai Su Bi Mo-li (Empat Iblis Cantik).
Agar kami dapat menyampaikan pelaporan
kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke
Tiga), maka harap Tai-hiap sudi
memberitahukan nama dan....“
“Kalian sudah melihat suling emas, nah,
cukup dan pergilah!” kata Kam Hong dan
sekali menggerakkan kedua tangannya,
suling emas dan kipas sudah lenyap di balik
bajunya.
“Suling Emas....?” Kembali A-hui ter-gagap
dan dia lalu memberi isarat, mengajak
teman-temannya pergi dari situ setelah
menjura ke arah Kam Hong.
“Enaknya pergi begitu saja!” Siauw Goat
berteriak dan dia sudah mengepal salju dan
dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui.
A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu
pandang mata dengan Kam Hong dan dia
tidak berani mengelak.
“Plokk!” Bola salju mengenai mukanya
sehingga berlepotan salju. Dia hanya
mengusap salju itu dan membalikkan tubuh,
pergi bersama teman-temannya dengan
muka menunduk.
“Paman, kenapa engkau tidak membunuh
mereka?” Siauw Goat menegur Kam Hong.
Akan tetapi Kam Hong tidak menja-wab,
melainkan balas bertanya, “Apa maksudmu
dengan menyebut-nyebut Pen-dekar
Siluman Kecil tadi?”
“Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang
menyombong, mengatakan bahwa di dunia
Choirul, maret 2008 68
ini Pendekar Siluman Kecil meru-pakan
jagoan nomor satu! Panas perutku
mendengarnya maka aku menantang
Pen-dekar Siluman Kecil untuk diadu
dengan-mu!”
Kam Hong memandang kepada Sim Hong
Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan
bertubuh kekar kuat itu. Me-lihat sinar mata
yang demikian tajam penuh kejujuran dan
keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa
kagum dan suka. “Saudara cilik, apakah
engkau mengenal Pendekar Siluman
Kecil?”
Sim Hong Bu mengangguk bangga. “Dia
adalah bintang penolong kami semua di
daerah perbatasan Ho-nam.”
Sim Tek yang maklum bahwa dia
ber-hadapan dengan seorang pendekar
besar, lalu melangkah maju dan memberi
hormat. “Harap Tai-hiap sudi memaafkan
ka-mi. Saya adalah Sim Tek dan ini
keponak-an saya Sim Hong Bu. Kalau dia
memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan
maksudnya untuk merendahkan Tai-hiap.
Kalau tidak ada Tai-hiap datang meno-long,
tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di
tangan mereka, oleh karena itu, terimalah
hormat dan terima kasih kami, Tai-hiap.”
Kam Hong menggerakkan tangan se-perti
menangkis sesuatu, seolah-olah
per-nyataan terima kasih orang membuat
dia merasa terpukul dan tidak enak sekali,
“Sudahlah! Siauw Goat, mari kita
meme-riksa para piauwsu itu.”
Mendengar ini, Siauw Goat teringat akan
nasib para piauwsu, maka dia lalu
mengangguk dan cepat Kam Hong
me-nyambar dan memondongnya karena
Siauw Goat sudah merasa lelah sekali dan
sukar untuk menggerakkan tubuh saking
lelah dan dingin dan juga lapar-nya. Dengan
beberapa lompatan saja le-nyaplah Kam
Hong dari depan kedua orang pemburu itu
yang memandang de-ngan melongo penuh
kagum.
“Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa
lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman
Kecil.” kata pula Sim Hong Bu penuh
kagum.
Pamannya menghela napas panjang. “Hong
Bu, lain kali harap jangan engkau lancang
menyebutkan nama Pendekar Si-luman
Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan
itu agaknya mengenal baik Pendekar
Siluman Kecil. Kalau kita ber-temu dengan
seorang di antara musuh-musuhnya, tentu
kita akan mendapatkan kesusahan.”
Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa
kagum kepada orang-orang yang berilmu
tinggi, seperti tidak mendengar teguran
pamannya, dan dia berkata dengan
pandang mata melamun, “Sayang kita ti-dak
mengetahui nama dan julukannya.”
“Melihat senjata suling yang luar biasa itu,
sepatutnya dia dikenal dengan julukan
Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai
itu pun terkejut melihat suling emas dari
tangannya, sungguhpun kipasnya itu juga
luar biasa sekali. Su-dahlah, mari kita pergi
dari tempat ber-bahaya ini. Kita pergi untuk
menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk
mencari per-musuhan dengan siapa pun.”
Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar
dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah
yang tertutup salju tebal. Sementara itu,
Siauw Goat berdiri memandang dengan
wajah pucat kepada mayat-mayat yang
berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para
piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong
tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek
sehingga mereka merasa heran sekali.
“Ke mana perginya Lauw-pek?” Siauw Goat
bertanya dengan suara khawatir.
“Aneh sekali.... tak mungkin dia dapat
terhindar dari tangan maut iblis-iblis be-tina
itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di
antara mayat-mayat ini. Biar kukubur
mereka ini....“ Kam Hong lalu menggali
lubang dan mengubur semua mayat itu
dalam beberapa buah lubang yang
Choirul, maret 2008 69
dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari
pun sudah menjelang senja dan dia
mengajak Siauw Goat pergi dari situ.
“Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam?”
“Hemm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi
tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke
manakah rombongan piauwsu itu hen-dak
membawamu?”
“Menurut kata Lauw-pek, aku akan
diantarkannya ke puncak Ginung Kong-maa
La....”
“Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung
itu?”
Gadis cilik itu memandang tajam, lalu
menarik napas panjang. “Lauw-pek tadi-nya
memesan kepadaku agar tidak
mem-bicarakan hal ini kepada siapapun
juga, akan tetapi aku percaya kepadamu,
Pa-man. Aku hendak diajaknya ke sana
un-tuk mencari orang tuaku, sesuai dengan
pesanan mendiang Kong-kong kepada
Lauw-piauwsu.”
Diam-diam Kam Hong terkejut. Sung-guh
mengherankan mendengar bahwa orang
tua gadis cilik ini berada di tem-pat seperti
itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan
berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun
sungguh penuh ra-hasia.
“Siapakah nama orang tuamu, Siauw
Goat?”
Kembali sepasang mata yang bening itu
menatap tajam, seperti orang yang meragu,
akan tetapi akhirnya dia menja-wab juga.
“Engkau sudah menceritakan nama dan
rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku
menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi
yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya
Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku
karena dialah yang menerima pesanan
terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak
aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama
Kong-kong, aku tidak ingat lagi bagaimana
rupanya Ayah Bun-daku. Kong-kong dan
aku hidup di sebuah dusun kecil di
Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai
petani. Kong-kong melatih ilmu baca tulis
dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang
dua orang kakek aneh yang kemudian
berkelahi dengan kong-kong. Kong-kong
berhasil mengusir mere-ka, akan tetapi
ternyata Kong-kong menderita luka dalam
yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kongkong
pada hari itu juga mengajakku pergi,
katanya hendak mencari orang tuaku di
Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya
Aku tahu bahwa dia masih menderita luka
hebat dan akhirnya....“ Gadis cilik itu
berhenti, me-nunduk dan mengerutkan
alisnya. Dua butir air mata berlinang turun,
akan te-tapi dia tidak terisak atau menangis
sama sekali.
Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak
mau bertanya lagi tentang kakek itu.
“Jangan khawatir, Siauw Goat. Kare-na
engkau sekarang sebatang kara, juga aku
melakukan perjalanan sendirian saja,
biarlah aku yang menggantikan Lauwpiauwsu
mengantarmu sampai di Kong-maa
La mencari orang tuamu. Akan te-tapi
siapakah nama orang tuamu?”
Gadis cilik itu menggeleng kepala. “Kongkong
tidak memberitahukan kepa-daku.
Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang
bahwa kalau aku sudah bertemu dengan
mereka aku akan mengerti dan mendengar
semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku
seorang she Bu....” Gadis cilik itu
memejamkan mata dan nampak berduka
karena betapapun juga hatinya merasa
perih bahwa dia tidak mengenal orang
tuanya, baik nama lengkapnya maupun
wajahnya.
“Hemm, kalau begitu engkau she Bu?”
“Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci
Sian! Aku disebut Goat oleh Kong-kong
hanya untuk menggunakan nama sebutan
palsu saja, kata Kong-kong wajahku
mengingatkan dia akan bulan purnama,
maka aku disebutnya Goat (Bulan)....“
Choirul, maret 2008 70
“Ah, Kong-kongmu sungguh seorang yang
amat aneh, dan engkau.... memang
wajahmu seperti bulan purnama.... akan
tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek
Kun, siapakah namanya yang lengkap?”
“Namanya.... biarlah kulanggar
pan-tangannya karena dia sudah meninggal
adalah Bu Thai Kun....”
“Ahhh! Kaumaksudkan Kiu-bwe Sin-eng
(Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai
Kun?” Kam Hong bertanya dengan kaget
karena dia pernah mendengar nama besar
ini yang pernah menggemparkan dunia
selatan.
“Hemm, kau mengenal Kakekku!”
Siauw Goat atau lebih tepat mulai
seka-rang kita sebut nama aselinya saja, Ci
Sian, berseru girang dan bangga.
“Hanya mengenal nama julukannya saja,
pantas dia lihai.”
“Ayahku lebih lihai! Begitu kata men-diang
Kong-kong. Biarpun dia tidak
mem-beritahukan kepadaku, akan tetapi
meli-hat betapa Kong-kong terluka oleh dua
orang kakek aneh itu lalu mengajakku
mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kongkong
hendak minta orang tuaku turun
tangan menghajar dua orang kakek aneh
itu.”
Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah
mengatakan kepadanya bahwa dia hendak
pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat
menduga siapa gerangan ayah dari anak
ini, dan karena Ci Sian sendi-ri pun tidak
tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian
mengenal nama dua orang kakek aneh
yang melukai kong-kongnya.
“Namanya? Aku tidak diberitahu oleh Kongkong,
akan tetapi ketika Kong-kong
bertengkar dengan mereka, kudengar
Kong-kong menyebut mereka itu Sam-ok
dan Ngo-ok.”
Bukan main kagetnya hati Kam Hong
mendengar ini. Tentu saja dia tahu siapa itu
Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara
Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat),
lima orang yang terkenal sebagai datukdatuk
kaum sesat yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya! Kini dia dapat menduga
bahwa tentu dua orang kakek jahat itu
sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan
setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe
Sin-eng telah men-derita luka parah,
mereka sengaja me-ninggalkannya agar
kelak kakek itu pergi memanggil putera dan
mantunya yang agaknya bersembunyi di
Pegunungan Hi-malaya itu! Ah, dia mulai
dapat menger-ti. Karena dia sendiri sudah
melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng
dan agaknya kalau dibandingkan dengan
Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus
di-keroyok dua, betapa pun lihainya, Bu
Thai Kun masih belum dapat menandingi
mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu
menghendaki, tentu mereka dapat
membunuhnya, tidak perlu pergi seperti
yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu
terusir oleh kakeknya biarpun kakeknya
menderi-ta luka parah. Memang sudah pasti
ada rahasia terselubung di balik semua ini
yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Akan
tetapi, mendengar bahwa keluarga anak ini
dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja
sudah cukup bagi Kam Hong untuk berfihak
kepadanya dan melindunginya.
“Baiklah, Siauw.... eh, Ci Sian. Setelah kita
saling mengenal keadaan masing-masing,
marilah engkau kuantar mencari orang
tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku,
kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini.
Sekarang malam hampir tiba, kita
sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau
nampak lelah dan lapar.”
Ci Sian menurut saja dan mereka lalu
menemukan sebuah guha di mana mereka
melewatkan malam dan Ci Sian bersama
Kam Hong makan roti kering yang mere-ka
kumpulkan dari bekal para piauwsu yang
banyak terdapat di tempat perke-lahian itu
dan yang mereka bawa sekadarnya untuk
bekal.
Choirul, maret 2008 71
Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan,
Ci Sian melakukan perjalanan yang amat
sukar, menempuh bukit-bukit salju dan
jurang-jurang yang amat curam. Malam itu
mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di
Lembah Arun yang luas.
Mereka melewatkan malam di dataran tinggi
dan malam demikian indahnya se-hingga
Kam Hong terpesona, meninggal-kan guha
di mana dia membuat api ung-gun, keluar
dan duduk di dataran tinggi sambil meniup
suling. Suara suling emas itu menembus
kesunyian malam, meleng-king naik turun
namun sama sekali tidak mengganggu
keheningan. Bahkan sebalik-nya, suara
suling beralun naik turun itu bahkan
membuat keheningan menjadi semakin
syahdu, semakin terasa kehe-ningan itu,
semakin indah dan penuh rahasia.
Setelah berhenti menyuling, Kam Hong
menoleh. Dia sudah mendengar langkah
kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini
sudah semakin akrab dengannya. Selama
dalam perjalanan, Kam Hong me-rasakan
benar kehadiran gadis cilik itu dan
mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai
Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik
seperti bulan purnama selain cantik jelita
juga mendatangkan kegembiraan dalam
hati siapa pun karena dia lincah, gembira
dan berseri-seri.
“Paman Kam, suara sulingmu indah
sekali....” Ci Sian berkata sambil duduk di
dekat Kam Hong, di atas rumput.
“Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian.” kata
Kam Hong sederhana, akan tetapi dia
sendiri merasa heran mengapa pujian yang
keluar dari mulut gadis cilik ini dapat
membuat hatinya terasa begitu enak dan
nyaman!
“Mainkan lagi, Paman....“ Ci Sian me-minta
dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan
bersandar ke bahu Kam Hong. Memang
sudah biasa dia bersikap kadang-kadang
manja seperti itu, dan tidak ja-rang pula
Kam Hong menggandengnya kalau
melewati tempat sukar, bahkan
memondongnya kalau harus berloncatan
lewat jurang-jurang yang curam. Oleh
karena itu, gadis cilik ini seperti
meng-anggap Kam Hong pamannya sendiri,
dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul
atau memegang lengan pemuda itu.
“Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai,
dengarlah baik-baik.” kata Kam Hong dan
pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya. Ci
Sian lalu merebahkan kepalanya di atas
pangkuan Kam Hong yang duduk bersila.
Suasana kembali menjadi penuh pesona
yang mujijat dalam kehe-ningan yang terisi
suara suling yang merdu itu. Setelah Kam
Hong akhirnya menghentikan tiupan
sulingnya, seolah-olah suara suling itu
masih bergema dan mengalun di udara.
“Paman, engkau pantas benar berjuluk
Suling Emas, tidak hanya sulingmu
meru-pakan senjata ampuh, akan tetapi
juga dapat mengeluarkan bunyi yang
demikian indahnya.”
Kam Hong tidak menjawab, jantung-nya
berdebar tidak karuan, seluruh tu-buhnya
seperti kemasukan kilat yang membuatnya
gemetar. Terjadi perang he-bat di dalam
batinnya, terdapat dorong-an aneh yang
membuat dia ingin merang-kul gadis cilik
itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan
tetapi kesadarannya melawan dan menolak.
“Paman.... kau.... kau kenapa....?” Ci Sian
bangkit duduk dan memandang wa-jah
yang matanya dipejamkan itu. Di bawah
sinar bulan remang-remang wajah itu
nampak putih pucat.
Kam Hong sadar kembali, lalu meme-gang
tangan Ci Sian dan menariknya bangkit
berdiri. “Tidak apa-apa, hayo kita mengaso,
kembali ke guha.”
Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak
dapat memejamkan mata. Alisnya berke-rut
dan berkali-kali bibirnya bergerak
Choirul, maret 2008 72
memanggil nama yang selalu menjadi
ke-nangannya, “Hwi-moi.... Hwi-moi....”
Pada keesokan harinya, mereka
me-lanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai
mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun
dengan cukup deras, membuat tanah penuh
dengan salju tebal sehingga lang-kahlangkah
kaki mereka amat berat dan
meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba
Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan
berhenti. Gadis cilik itu me-mandang dan
bergidik. Di depan mereka terdapat mayat
seorang laki-laki dalam keadaan
mengerikan. Kaki tangannya ter-pisah, dan
tubuh itu seperti dicabik-ca-bik. Darah
berceceran di atas salju yang putih.
“Bukankah itu korban Yeti lagi, Pa-man....?”
Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan
agak gemetar.
Tiba-tiba, seperti menjawab pertanya-an itu,
dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu
terdengar lengkingan yang dahsyat sekali.
Lengkingan itu seperti menggetarkan
seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan
Ci Sian untuk melanjut-kan perjalanan.
Gadis cilik itu merasa semakin dingin
karena kengerian. Kedua tangannya yang
sudah memakai sarung tangan tebal itu
menutupkan kain bulu tebal untuk
melindungi mukanya. Jalan semakin sukar
dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya.
Pendekar ini lalu berlon-catan ke depan,
mendaki gunung itu de-ngan cepat sekali.
Setelah melewati sebuah puncak kecil dan
jalan agak menurun, kembali mereka
berhenti dan kini Ci Sian memeluk
ping-gang Kam Hong, menggigil ketakutan.
Apa yang mereka lihat memang amat
mengerikan. Dataran puncak yang putih
bersih itu dibasahi oleh genangan darah
merah yang berceceran dari belasan
ma-yat-mayat yang sudah tidak karuan lagi
macamnya. Bukan hanya bagian tubuh
yang putus-putus dan robek-robek, juga
usus-usus berhamburan keluar, seperti
habis dikoyak-koyak!
Kam Hong melihat di antara hujan salju itu
sesosok bayangan berkelebatan di sebelah
depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci
Sian dan melangkah maju te-rus dengan
hati-hati. Angin semakin ken-cang dan salju
beterbangan dan berham-buran memukul
muka mereka, membuat mereka agak sukar
bernapas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang me-nyayat
hati disertai geraman-geraman yang
menggetarkan tanah yang mereka injak. Di
sebelah depan nampak belasan orang
berlari-lari turun dari puncak di depan.
Belasan orang itu tentu orang-orang pandai,
hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka
yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika
berpapasan dengan Kam Hong, jelas
kelihatan mereka itu sedang dilanda
ketakutan yang amat hebat. Mereka itu lari
tunggang langgang dan agaknya kepanikan
membuat mereka sama sekali tidak peduli
atau mungkin juga tidak melihat kepada
Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara
mereka yang luka-luka dan pakaian mereka
itu merah oleh darah mereka.
Kam Hong bersikap waspada. Dengan hatihati
dia menggandeng tangan Ci Sian, terus
melangkah maju di antara pohon-pohon
yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah
menjadi pohon putih karena tertutup salju.
Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat
seperti tadi dan ada angin menyambar,
salju berhamburan dan tahu-tahu di depan
mereka telah berdiri seekor mahluk yang
amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan
gadis cilik yang biasanya tidak pernah
mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke
belakang dan akhirnya dia menumbuk
sebatang pohon, setengah lumpuh dia
memeluk pohon itu sambil menengok dan
memandang kepada mahluk itu dengan
muka pucat ketakut-an.
Namun Kam Hong menghadapi mahluk itu
dengan sikap tenang dan penuh per-hatian.
Dia melihat bahwa mahluk itu tinggi besar,
tingginya tentu dua meter lebih, kedua
lengan tangannya yang tertu-tup bulu itu
besar-besar dan nampak amat kuatnya.
Choirul, maret 2008 73
Bulu-bulu yang menutupi tubuh itu pendek
kasar, berwarna merah coklat kehitaman,
dengan totol-totol putih di bagian dada.
Rambut di kedua pundak paling tebal dan
panjang. Mukanya tidak berambut seperti
muka monyet atau muka biruang atau juga
mirip muka manusia, hidungnya pesek,
mulutnya lebar dengan gigi besar-besar.
Kepalanya seperti keru-cut agak meruncing
ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan
besar itu panjang sampai ke lutut. Dan
mahluk ini tidak berekor. Anehnya, pada
paha kanannya nampak sebatang pedang
yang menancap dan menembus, pedang
yang berkilauan.
Mahluk itu juga memandang Kam Hong
dengan sepasang matanya yang
mencorong. Mulutnya bergerak sedikit dan
dari kerongkongannya keluarlah sua-ra
geraman yang dahsyat. Kedua tangannya
bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar
dengan kuku panjang kuat dan agak
melengkung seperti kuku harimau itu juga
bergerak-gerak seperti hendak
menceng-keram.
Kam Hong mengukur dengan pandang
matanya. Dia tahu bahwa mahluk ini tentu
memiliki kekuatan yang luar biasa
dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang
yang dibunuhnya dengan ganas, dicabikcabik,
dan bahkan orang-orang yang
me-larikan diri tadi dia lihat rata-rata
me-miliki gin-kang yang cukup tinggi,
namun mereka itu lari ketakutan, tanda
bahwa mereka tidak kuat menanggulangi
amukan mahluk ini. Mahluk ini ganas sekali,
lebih baik mendahuluinya daripada harus
mempertahankan diri diserang oleh mahluk
buas ini. Dia tahu bahwa seranganse-
rangan seorang ahli silat adalah teratur
dan karenanya dapat dihadapinya dengan
baik karena dia memiliki dasar ilmu silat
tinggi, akan tetapi serangan mahluk buas
seperti ini tentu ganas dan tidak teratur,
mengandalkan kekuatan yang luar biasa
dan naluri yang amat peka. Aku harus
mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam
Hong meloncat ke depan dengan cepatnya.
Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia
sudah mengirim pukulan ke arah dada
mahluk itu, dengan penge-rahan tenaganya.
“Dukkk!” Pukulan itu sedemikian kuatnya
sehingga tubuh mahluk itu ter-getar dan
terdorong ke belakang, akan tetapi
anehnya, mahluk itu tidak roboh
terjengkang, sebaliknya Kam Hong mera-sa
betapa pukulannya itu seperti berte-mu
dengan gunung baja yang amat kuat!
Mahluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat
dan secepat kilat tangan kirinya menyambar
ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini
sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak
kehilangan kecepatannya yntuk menarik
tubuh ke belakang sehing-ga tamparan
kuku-kuku tajam itu hanya mengenai angin
belaka. Diam-diam Kam Hong merasa
terheran-heran. Kalau mah-luk ini
merupakan seekor binatang buas, tentu
hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan
tetapi bagaimana mungkin da-pat menahan
pukulannya yang dilakukan dengan
pengerahan sin-kang amat kuat yang akan
membobolkan semua pertahan-an tenaga
kasar? Hanya lawan yang me-miliki tenaga
sin-kang kuat saja yang akan mampu
bertahan. Apakah mahluk ini memiliki
tenaga sakti pula?
Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak
kesempatan kepadanya untuk ba-nyak
memikirkan hal aneh itu karena kini dengan
gerengan-gerengan buas, agaknya marah,
mahluk itu sudah mener-jang lagi. Dan
kembali Kam Hong yang berloncatan ke
sana-sini untuk menghin-darkan kuku-kuku
tajam itu terkejut dan heran. Mahluk itu
mampu bergerak de-ngan luar biasa
ringannya! Ini hanya ge-rakan dari ilmu ginkang
yang sudah masak, pikirnya.
Mungkinkah mahluk yang seperti binatang
ini selain memiliki sin--kang yang kuat juga
memiliki ilmu meringankan diri? Bergidik
rasa hati Kam Hong saking ngerinya.
Apakah dia berte-mu siluman? Ataukah
semacam mahluk sakti seperti Kauw Cee
Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di
dalam dongeng See-yu? Jangan-jangan
Choirul, maret 2008 74
mahluk ini, seper-ti Sun Go Kong, dapat
menghilang pula, pikirnya ngeri.
Akan tetapi, hampir saja dadanya kena
dicengkeram ketika Kam Hong da-lam
lamunannya menjadi agak kurang cepat
mengelak. “Brettt!” Sedikit bajunya robek
oleh cengkeraman itu! Cepat Kam Hong
mencabut suling emasnya! Dia tidak mau
mempergunakan kipasnya. Mahluk itu
terlalu kuat untuk dihadapi dengan
kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada
gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka
kini dia membalas dengan totokan-totokan
yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi mahluk itu pandai sekali
mengelak. Nalurinya sedemikian tajamnya
sehingga mengatasi semua kesigapan
gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap
totokan suling itu dapat dielakkan, dan
kalau sekali dua kali suling itu mengenai
sasaran, maka kenanya itu meleset kare-na
gerakan mahluk itu terlalu cepat, dan
agaknya mahluk itu memiliki kekebalan luar
biasa sehingga tusukan suling yang dapat
menghancurkan batu karang itu baginya
seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari
halus saja! Sedikit pun tidak terasa
agaknya!
Kam Hong merasa penasaran. Dike-rahkan
seluruh tenaganya, dan dia me-ngeluarkan
gerakan-gerakan yang terhe-bat dari ilmuilmu
simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang
diwarisinya dari nenek moyangnya,
keluarga Suling Emas, di-mainkannya untuk
menundukkan mahluk ini. Akan tetapi,
mahluk itu benar-benar selain kebal
kulitnya, juga memiliki te-naga dahsyat dan
kecepatan yang membingungkan pendekar
ini. Kaki mahluk itu sudah tertancap
pedang, namun gerakan-gerakannya masih
secepat itu.
Suling di tangan Kam Hong sampai
mengeluarkan suara seperti ditiup saja
ketika dia mainkan dengan cepatnya, dan
mahluk itu agaknya menjadi semakin
marah, “Singgg....!” Suling Kam Hong
bergerak meluncur ke arah mata mahluk itu.
Mahluk yang dinamakan Yeti itu
menundukkan kepala sehingga meluncur di
atas kepalanya.
“Wuuuttt.... dessss!” Tangan kiri Kam Hong
dengan miring dan amat kerasnya
memenggal ke arah leher. Akan tetapi
tangan itu meleset dan mengenai pundak,
dan mahluk itu hanya bergoyang sedikit
saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke
depan dan ketika Kam Hong menangkisnya
dengan suling, dia terjengkang kare-na
dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya
menginjak salju yang longsor dan jatuhlah
pemuda itu terjengkang di atas salju. Sambil
menggereng mahluk itu me-nubruk dengan
seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua
tangan dan kedua kakinya ditekuk
mencengkeram, agaknya hendak langsung
mencengkeram dan me-robek-robek tubuh
lawan itu. Akan tetapi Kam Hong sudah
menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri
dan sulingnya berge-rak ke depan,
menusuk mata. Mahluk itu luput menubruk,
akan tetapi masih dapat menggunakan
lengannya yang panjang menyampok
suling. Kam Hong meloncat dengan cepat
sekali sebelum mahluk itu sempat bangun
dan sulingnya diayun se-kuat tenaga.
“Takkkk!!” Suling itu menghantam ke-pala
akan tetapi.... ternyata kepala itu pun
terlindung kekebalan dan suling itu
membalik seperti mengenai kepala baja,
terpental dan Kam Hong merasakan
tela-pak tangannya panas.
Akan tetapi senjata suling emas itu adalah
sebuah senjata pusaka yang am-puh, maka
biarpun di luarnya tidak nam-pak bahwa
pukulan itu mendatangkan akibat yang
hebat bagi Yeti, namun ter-nyata mahluk itu
terhuyung juga ke be-lakang. Hal ini
agaknya membuat Yeti menjadi marah dan
setelah dia dapat mengatur lagi
keseimbangan tubuhnya, dia memandang
Kam Hong dengan mata merah, kemudian
dari mulutnya terdengar teriakan yang
menggetarkan jantung, ke-mudian dia pun
bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat
lagi, daripada tadi!
Choirul, maret 2008 75
Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan
hanya kecepatan dan kekuatan mahluk itu
yang membuatnya kewalahan, akan tetapi
juga hujan salju yang mendatangkan rasa
dingin dan menghalangi pandangan
matanya dan juga pernapasan-nya. Akan
tetapi sebaliknya, mahluk itu nampaknya
sama sekali tidak terganggu oleh salju,
bahkan makin deras salju turun, membuat
dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan
merupakan cengkeraman seperti tadi akan
tetapi merupakan hantaman dengan kedua
tangannya yang besar dan lengan yang
panjang itu menghantam se-perti tongkat
besar, menyambar dari ka-nan kiri. Bukan
seperti gerakan silat akan tetapi karena
didorong oleh tenaga yang amat besar
maka berbahaya bukan main!
Kam Hong meloncat ke belakang, akan
tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan
tangan kanannya menyambar dari sebelah
kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri
mahluk itu mencengkeram ke arah perut!
Kam Hong tidak sempat me-ngelak lagi,
maka dia lalu menangkis dengan sulingnya
ke arah tangan kiri yang mencengkeram,
sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu
ditangkisnya de-ngan lengan kirinya yang
diangkat ke atas.
“Dess! Dukkk!” Akibat dari adu tena-ga ini,
tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang
akan tetapi tubuh Kam Hong terpental dan
terguling-guling! Ini saja sudah menjadi
bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah
kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada
saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak
tumpukan salju yang lunak sehingga dia
tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng
salju. Yeti itu menggeram dan meloncat
begitu saja dari atas untuk mengejar Kam
Hong yang masih bergulingan! Melihat ini,
Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia
pun menjadi nekat, berlari dan meloncat
turun pula untuk mengejar Kam Hong dan
kalau perlu membela pemuda itu! Akan
tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka
dia tidak dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan
terguling-guling di sepanjang lereng salju,
seperti Kam Hong!
Yeti itu telah tiba lebih dulu dan ce-pat
sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah
menggunakan kedua tangannya yang kuat
untuk memegang kedua lengan Kam Hong!
Pendekar ini merasa betapa perge-langan
tangannya seperti dijepit oleh baja-baja
yang amat kuat, dan betapa pun dia
berusaha untuk melepaskan diri, namun
sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia
sudah hampir putus harapan. Dengan
te-naganya yang dahsyat tentu Yeti itu akan
mencabik-cabik tubuhnya pula. Ke-kalahan
dan putus asa membuat Kam Hong tidak
melawan lagi, hanya dia me-ngerahkan
tenaga untuk menahan jika mahluk itu
hendak menarik putus kedua lengannya.
Tiba-tiba pada saat yang amat gen-ting dan
berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin
bertiup kencang sekali dan terdengarlah
suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju
yang berada di ba-wah kaki Kam Hong itu
tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan
Kam Hong menoleh dan melihat ke arah
Suara ge-muruh itu. Tiba-tiba Yeti
mengeluarkan suara melengking dahsyat
dan dia me-lemparkan Kam Hong ke
samping, ke-mudian dengan sikap amat
ketakutan dia meloncat ke kanan, terus
berloncatan dengan kecepatan seperti
terbang me-ninggalkan tempat itu!
Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia
tidak mempedulikan hal ini karena dia terus
memandang ke arah puncak gunung penuh
salju itu. Suara makin ber-gemuruh dan
dengan mata terbelalak dia melihat betapa
sebagian dari puncak itu longsor dan kini
salju menimpa turun se-perti air bah, diikuti
batu-batu es yang amat besar
menggelundung ke bawah, ke arah tempat
itu!
“Ci Sian....!” teriaknya dan dia me-lihat
gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci
Sian juga baru saja dapat mengatasi
Choirul, maret 2008 76
kepeningannya karena bergu-lingan dari
atas tadi. Dengan jantung berdebar tegang
dan tubuh agak gemetar karena cemas
Kam Hong meloncat, menghampiri Ci Sian,
menyambar tubuh gadis cilik itu,
dipondongnya dan dia pun cepat meloncat
ke kanan karena untuk lari sudah
kekurangan waktu. Kedua ka-kinya berhasil
mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika
kedua kakinya meng-injak salju, yang
diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata
bukit itu pun ikut bergerak longsor terbawa
dari atas! Kam Hong tak dapat menguasai
dirinya. De-ngan Ci Sian masih
dipondongnya dia melayang turun bersama
salju dan po-tongan-potongan es, merasa
tubuhnya terpukul dari sana sini, dan dia
masih mencoba untuk melindungi Ci Sian
yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan
kedua lengan dan badannya. Mereka
terbanting dan Kam Hong tidak ingat apaapa
lagi!
***
Runtuhnya sebagian dari tumpuk-an es dan
salju di puncak gunung itu selain
mendatangkan suara gemuruh yang hirukpikuk
seolah-olah dunia hendak kiamat,
juga menimbulkan debu salju yang
mengebul sampai tinggi dan tu-run seperti
embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon
gundul yang tertutup salju dilanda arus salju
dan batu-batu es ke bawah kemudian
memasuki dan me-menuhi jurang-jurang
yang curam di bawah kaki gunung.
Mati hidup manusia merupakan hal yang
wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam
maya pada ini, di dalam kewa-jaran
terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang
amat luar biasa dan mentakjubkan.
Kegaiban yang sama sekali tak terselami
oleh pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di
dalam alam raya ini, dari beraraknya awan,
berputaran dunia, tumbuhnya po-honpohon,
kehidupan segala mahluk, semua
adalah berjalan dengaan wajar dan
karenanya mengandung ketertiban yang
amat indah. Di dalam segala kewajaran
yang penuh kegaiban itu termasuk juga
kehidupan dan kematian. Wajar, karena-nya
gaib.
Menurut jalan pikiran, orang yang sudah
terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh
ke bawah, seperti yang di-alami oleh Kam
Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin
dapat terluput dari kema-tian. Namun
kenyataannya tidaklah demi-kian! Secara
“kebetulan” mereka itu ber-ada di lereng,
bukan di dasar kaki gunung, sehingga salju
yang longsor itu hanya lewat saja di atas
mereka. Dan “kebetulan” pula Kam Hong
dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit
kecil yang runtuh sehingga mereka seperti
terlin-dung dan biarpun keduanya pingsan
kare-na dilalui oleh longsoran salju dan
balok-balok es sebesar itu, namun mereka
ti-dak sampai tewas. Lebih “kebetulan” lagi
bahwa kepala mereka tidak sampai
ter-pendam salju, karena kalau hal ini
terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu
mereka takkan bernapas dan akan tewas
juga.
Lama setelah salju yang longsor itu sudah
lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali,
angin yang tadi bertiup kencang itu agaknya
sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin
bergerak, Kam Hong siuman dari
pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah
miring, dari pinggang ke bawah terpendam
salju. Ada bongkahan-bongkahan es
sebesar kerbau bunting di sekitar tempat
itu, dan dia merasa heran mengapa dia
masih dapat hidup, padahal tertimpa satu
saja di antara batu-batu es besar itu, tentu
tubuhnya akan remuk. Kepalanya masih
pening dan ketika dia membuka matanya,
dia melihat sekeli-lingnya seperti
berputaran. Akan tetapi dia dapat melihat Ci
Sian menggeletak di dekatnya, telentang
dan juga dalam keadaan pingsan. Muka
yang manis itu kelihatan pucat, matanya
terpejam dan kulit di antara kedua alisnya
masih ber-kerut tanda bahwa dara itu
mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak
dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi
yang jelas, dia masih hidup! Hawanya
Choirul, maret 2008 77
dingin sekali. Mereka berdua terbujur di
antara batu-batu es yang bening dan
berkilauan amat aneh dan indahnya,
memantulkan cahaya matahari tertutup
halimun. Kalau dia membayang-kan betapa
dia telah hampir dikoyak-koyak Yeti,
kemudian dijatuhi puncak yang longsor
seperti itu dan kini masih hidup, juga Ci
Sian masih hidup, sungguh hampir tak
dapat dia mempercayainya. Sejenak
seluruh perasaannya membubung ke atas
atau ke mana saja di mana Tuhan berada
dan batinnya membisikkan puji syukur yang
mendalam. Kemudian ia membuka matanya
dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul
kekhawatirannya. Ja-ngan-jangan anak itu
telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga
di tubuhnya yang terasa lemah dan dia
menarik ke-dua kakinya dari urukan salju.
Akan te-tapi ketika dia bangkit, dia berteriak
kesakitan dan terduduk kembali, tangan-nya
memegangi paha kirinya. Dia me-mandang
dan melihat celana kirinya ro-bek, penuh
darah. Ternyata kaki kirinya, di dekat
pergelangan, telah patah tulangnya!
Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong
tadi membantu Ci Sian memperoleh
kembali kesadarannya. Gadis cilik ini
membuka mata dan dia mengeluh kagum
melihat betapa dunia di sekelilingnya
se-demikian indahnya. Seperti dalam
mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran,
me-ngucek kedua matanya dengan
punggung tangannya di mana sarung
tangannya ro-bek. Pandang matanya silau
oleh kilatan balok-balok es di sekitar tempat
itu. Sudah matikah aku? Inikah alam baka?
Demikian hatinya berbisik karena dia
teringat akan dongeng tentang alam baka.
Memang melihat sekitarnya dikeli-lingi
benda-benda yang berkilauan itu dia
merasa seperti berada di alam lain.
Akan tetapi suara keluhan membuat dia
menengok dan barulah dia sadar ke-tika dia
melihat Kam Hong duduk sambil
memegangi kaki kirinya, wajahnya
me-nyeringai kesakitan. Dia merangkak
bang-kit dan ternyata gadis cilik ini tidak
terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang
robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada
yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung
menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia
menjerit, mukanya menjadi pucat sekali,
matanya terbelalak lebar.
Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa
nyeri di kakinya. “Eh, ada apakah, Ci Sian?”
tanyanya khawatir.
Gadis cilik itu tidak menjawab, mu-lutnya
bergerak-gerak tanpa dapat me-ngeluarkan
suara, hanya telunjuk kanan-nya yang
menuding, telunjuk yang meng-gigil. Kam
Hong menoleh ke arah kirinya dan baru
sekarang dia memandang ke kiri karena
tadi Ci Sian berada di sebe-lah kanannya
sehingga semua perhatian-nya tertuju ke
sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan
melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik
itu, hampir saja dia pun menjerit seperti Ci
Sian. Mata-nya terbelalak dan mulutnya
ternganga. Tak jauh di sebelah kirinya, agak
ke be-lakangnya di mana terdapat sebuah
batu es, sebongkah balok es yang besarnya
seperti gajah. Ternyata di sebelah dalam
bongkahan batu es yang amat bening ini
terdapat sesosok tubuh manusia yang
masih utuh, lengkap dengan pakaiannya,
nampaknya seperti sedang tidur saja di
dalam bongkahan es itu, terbungkus es
bening yang seolah-olah menjadi petinya!
“Jangan takut, dia.... dia.... hanya se-potong
jenazah....“ kata Kam Hong, namun biar
mulutnya menghibur seperti itu, suaranya
sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri
di kakinya, setengah lagi karena memang
dia sendiri merasa serem!
Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan
mata terbelalak dia memperhati-kan tubuh
manusia dalam es itu. Sungguh
mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu
seperti masih hidup saja. Matanya setengah
terbuka, bola matanya masih berkilau
karena dilapisi es yang berkilau-an.
Mukanya masih agak kemerahan. Muka
yang tampan dan gagah, akan te-tapi
mulutnya itu ditarik seperti orang yang
merasa berduka. Pakaiannya aneh, dan Ci
Choirul, maret 2008 78
Sian teringat akan gambar-gam-bar
manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat
kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun
usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti
juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali
tidak kelihatan lapuk atau rusak.
Yang menarik hati Ci Sian adalah ketika dia
melihat kedua tangan mayat itu yang
dirangkap di depan dada dan kedua tangan
itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya
memegang dengan hati-hati dan erat-erat,
memegang se-buah boneka kecil, yang
kurang lebih dua puluh senti panjangnya.
Boneka itu telan-jang, dan di tubuh boneka
yang putih itu nampak guratan-guratan dan
huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.
Karena tertariknya dan keadaan ma-yat
dalam es ini, Ci Sian seperti melu-pakan
Kam Hong. Baru setelah dia men-dengar
pemuda itu mengeluh, dia me-nengok dan
melihat Kam Hong merobek celana kirinya
dan membuka kaki yang berdarah itu, dia
terkejut dan cepat menghampiri.
“Eh, kakimu kenapa, Paman?” tanya-nya
sambil berlutut dan memandang kha-watir.
“Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar
kubersihkan darahnya.... auhhh....“ Pemuda
itu menggigit bibir menahan nyeri.
“Biar aku yang membersihkannya, Paman.
Engkau canggung benar dan ke-dua
tanganmu takkan mencapai kakimu yang
dilonjorkan.” Ci Sian lalu member-sihkan
luka itu, mempergunakan sapu-tangannya.
Darahnya sudah membeku, dan dengan
hati ngeri dia melihat bahwa di atas
pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan
melihat bentuk kaki itu mudah diduga
bahwa memang tulangnya patah. “Ah,
agaknya memang patah tulangnya. Habis
bagaimana baiknya, Paman?”
Kam Hong mengeluarkan buntalan dari
balik jubahnya yang robek-robek, membuka
buntalan dan mengeluarkan sebuah botol
kecil terisi obat bubuk hi-jau. “Ci Sian, aku
sendiri tidak mungkin menarik kakiku, maka
kaubantulah aku menarik kakiku agar
tulangnya yang patah itu dapat bertemu
kembali. Lalu kaupergunakan obat
penyambung tulang ini, campur dengan
salju dan paramkan di sekitar kaki yang
patah, kemudian balut dengan kuat-kuat.”
“Baik, Paman.”
Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu
mencari enam batang kayu, sepan-ang lima
belas senti, kayu dari ranting yang cukup
kuat, kemudian dia mencam-pur isi botol itu
dengan salju cair dan dia membuat balut
dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain
pembalut yang cukup panjang.
“Sekarang kau duduklah di depan ka-kiku,
pegang kakiku dengan kedua tangan dan
kerahkan tenagamu untuk menarik
sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku
beri tanda, dan kalau aku sudah memberi
tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan
agar tulang itu dapat bertemu kembali
dengan bagian atas. Mengerti?”
Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa
sastrawan itu sedang menderita nyeri yang
amat hebat, maka dia mengangguk dengan
yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk
di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu,
menggunakan kedua tumit kakinya untulk
mencari tempat menahan tubuhnya,
kemudian dia memegang kaki sastrawan itu
di bawah pergelangan kaki.
“Nah, mulai tarik!” kata Kam Hong yang
sudah mengerahkan tenaga untuk menahan
kakinya.
Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi
sedikit. Dia melakukan ini sambil
memandang kaki itu, kemudian dia
meng-angkat muka memandang wajah Kam
Hong. Hampir dia melepaskan kaki itu
ketika melihat betapa wajah sastrawan itu
jelas memperlihatkan penderitaan he-bat!
Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua
tangan memegangi paha kaki kiri bertahan,
matanya setengah terpejam dan di dahinya
timbul keringat, padahal hawanya demikian
Choirul, maret 2008 79
dingin! Ci Sian menge-rahkan tenaga
menarik terus sampai te-rasa olehnya
pergelangan kaki yang dita-riknya itu
mengeluarkan bunyi krek-krek!-
“Le.... pas.... perlahan.... lahan....“
ter-dengar Kam Hong berkata dengan
ter-engah-engah. Ci Sian mengendurkan
te-naganya sedikit demi sedikit dan tulang
yang patah itu pun dapat bertemu kem-bali.
“Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayukayu
itu di seputar kaki dan balut!”
Ci Sian melakukan semua itu dengan
cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya
dan rasa kasihan kepada sastrawan ini.
Semua obat bubuk hijau yang sudah
dicampur dengan salju cair itu diparamkan
di seputar luka, kemudian dia memasang
kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai
membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia
membalut dengan pengerahan tenaga
se-hingga kaki itu terjepit dan tidak akan
berobah lagi letak tulangnya. Setelah
se-lesai, Kam Hong menarik napas lega
dan mengusap keringat di dahi dengan
ujung jubahnya.
“Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan
tersambung kembali tulangnya dalam waktu
beberapa hari saja.”
Ci Sian memandang wajah itu. Mere-ka
saling pandang dan Ci Sian melihat wajah
itu agak pucat, akan tetapi terse-nyum! Baru
sekarang dia melihat sastra-wan yang
biasanya muram itu tersenyum, senyum
yang bebas dan wajar, tidak seperti
biasanya kalau sastrawan itu tersenyum
maka senyumnya itu senyum masam!
“Paman Kam, kalau mau bicara ten-tang
terima kasih, akulah yang harus berterima
kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk
budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya
sudah berkali-kali aku mati!”
“Mana mungkin orang mati berkali-kali? Dia
itu sekali mati sampai seribu tahun tak
dapat bangun lagi untuk mati kembali!” Kam
Hong menuding kepada mayat dalam es itu.
Ci Sian cepat menoleh. Baru dia ter-ingat
akan mayat yang aneh itu sekarang setelah
Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia
mendekatinya lagi dan meme-riksa dengan
teliti dari segala jurusan.
“Dia seperti masih hidup saja, Paman!”
teriaknya penuh gairah dan kegembiraan.
“Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di
tempat seperti ini muncul mayat yang kuno
ini dalam balok es? Dan boneka di
tangannya itu.... sungguh indah sekali....!”
Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat
sikap Ci Sian. Dengan menggu-nakan
kekuatan kedua tangannya berto-pang pada
batu menonjol tertutup salju, dia bangkit
berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia
berdiri di tempat yang agak tinggi dan
sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa
disengajanya dia melihat ke sekeliling
tempat itu. Matanya terbe-lalak dan dia
mengeluarkan seruan kaget yang membuat
Ci Sian melompat dan menghampirinya,
karena gadis ini me-ngira tentu pendekar itu
melihat hal yang lebih aneh lagi daripada
mayat dalam balok es itu.
“Ada apakah, Paman?” tanyanya de-ngan
cemas dan dia sudah memegang lengan
Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling.
Dan dia pun melihat apa yang membuat
pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri
terbelalak.
“Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!” Dan
gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan
Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa
sekeliling tempat mereka itu.
“Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh.
Awas salju longsor!” Kam Hong
memperingatkan dan sambil berloncatan
dengan sebelah kaki saja dia pun menge-jar
untuk melindungi dara itu.
Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan
memang tempat itu kini merupa-kan tempat
Choirul, maret 2008 80
yang terpencil. Akibat long-sor hebat itu,
tempat ini menjadi ter-kurung oleh jurangjurang
yang amat curam dan agaknya tidak
mungkin dapat dituruni, apalagi dengan
sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam
Hong. Me-reka terjebak dalam tempat yang
agak-nya tidak ada jalan keluarnya!
“Wah, bagaimana kita dapat melanjut-kan
perjalanan, Paman?”
“Tenanglah, Ci Sian. Andaikata tem-pat ini
tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat
melanjutkan perjalanan sebe-lum tulang
kakiku tersambung dan sem-buh kembali.
Sebaiknya kita mencari tempat untuk tinggal
selama beberapa hari ini di sekitar sini.”
“Aku mau melihat mayat aneh itu dan
bonekanya!” kata Ci Sian yang dalam waktu
singkat sudah dapat melupakan kembali
kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke
tempat di mana mereka me-nemukan
jenazah itu. Mau tidak mau Kam Hong
tersenyum. Melakukan perja-lanan dengan
seorang anak perempuan yang tidak
cengeng seperti Ci Sian me-mang
menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak
mudah putus asa, berbakat untuk menjadi
seorang pendekar wanita. Maka dia pun
segera mengejarnya, karena dia pun tertarik
sekali untuk menyelidiki keadaan mayat
yang memakai pakaian kuno sekali itu.
Baru teringat dia akan suling emas-nya.
Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi
menghampiri Ci Sian, melainkan mencaricari
sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu
terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es
balokan besar yang long-sor dari atas. Tibatiba
dia melihat sinar menyilaukan di tepi
jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan
giranglah hati-nya karena sinar itu ternyata
adalah ujung sulingnya yang tersembul
keluar dari tim-bunan salju! Cepat
diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan
ternyata tidak rusak sa-ma sekali. Dengan
hati lapang dan girang diselipkannya suling
itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya,
di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia
menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang
terpesona oleh jenazah dalam bongkahan
es besar itu.
Memang jenazah itu aneh sekali. Wa-jah
jenazah itu seperti wajah orang hidup saja,
pakaiannya yang masih rapi dan se-perti
baru. Juga boneka yang dipegang oleh
jenazah itu merupakan boneka anak kecil
yang montok dan sehat, tersenyum lebar
seperti muka yang ramah dan suci dari arca
Ji-lai-hud. Melihat jenazah seperti terlantar
seperti itu, dan meli-hat keadaan
pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong
menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah
terlantar dan terbungkus es selama
sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan
dalam hati Kam Hong.
“Kita harus mengubur jenazah itu dengan
baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiar, kan
terlantar seperti itu.”
Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak
mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu
asyiknya dia mengamati boneka di tangan
mayat itu sehingga dia mendekatkan
mukanya sampai hidungnya yang mancung
kecil itu menyentuh balok es yang men-jadi
peti mayat itu. Tiba-tiba dia berseru dan
matanya dilebar-lebarkan untuk da-pat
memandang lebih jelas lagi, “Paman,
lihat....! Ada tulisannya pada dahi bone-ka
itu!”
“Ah, benarkah?” Kam Hong bertanya dan
dia pun mendekat, lalu memandang dengan
cermat ke arah boneka. Akhirnya dia
berkata, “Benar, itu tentu huruf-hu-ruf yang
ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk
dapat dibaca melalui es ini. Es membuat
huruf-huruf itu kabur tak dapat dibaca dari
luar.”
“Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat
memecahkan balok es ini?”
“Ah, untuk apa, Ci Sian? Kita tidak boleh
mengganggu jenazah manusia!”
“Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman.
Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan
Choirul, maret 2008 81
untuk kita atau siapa saja yang menemukan
jenazah ini!”
Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin
apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau
tidak mengandung maksud ter-tentu,
mengapa dahi boneka diberi tulis-an hurufhuruf
amat kecilnya? Dia me-mandang lagi
wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia
seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu
adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi! Maka dia lalu berkata
kepada je-nazah itu, “Locianpwe, harap
maafkan teecu yang berani lancang
memecahkan balok es. Teecu berjanji akan
mengubur jenazah Locianpwe baik-baik.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati
Kam Hong menaruh telapak tangannya
pada balok es itu, mula-mula di atas kedua
kaki jenazah. Dia menge-rahkan sinkangnya
menekan. Terdengar suara “krek,
krek” dan balok itu pun pecah di bagian
bawah! Ci Sian hampir bersorak.
“Engkau hebat sekali, Paman!”
Siauw Hong atau Kam Hong hanya
tersenyum, lalu memecah balok es di
bagian atas. Terdengar suara agak keras
dan balok es itu kini terbelah menjadi dua
dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh,
tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu!
Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama
ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah
aneh karena mayat itu terbungkus es dan
selalu terbenam dalam tempat yang
suhunya teramat dinginnya. Akan tetapi
kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan
tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini
adalah suatu keanehan dan tentu ada
rahasia tertentu tersembunyi di balik
kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia
menduga bahwa tentu sesudah mati mayat
ini diberi semacam obat yang luar biasa,
yang membuat selain mayat itu tidak rusak
selamanya, juga tidak menge-luarkan bau
busuk.
Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat
tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf
kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca,
sungguhpun untuk itu Kam Hong dan Ci
Sian terpaksa harus mendekatkan mata
mereka kepada boneka itu. Tulisan itu
bergaya kuno, baik coretannya mau-pun
susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci
Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra,
karena ternyata dia mampu juga membaca
dan mengerti arti-nya, membuat Kam Hong
merasa kagum juga.
“Aku mohon agar boneka ini dibakar agar
pusaka keramat yang mengandung
pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam
tangan orang jahat.”
“Aihh, sungguh sayang sekali kalau boneka
ini dibakar!” Ci Sian berseru dan
memandang kepada wajah jenazah itu
seolah-olah jenazah itu seorang yang masih
hidup. “Kenapa engkau meninggal-kan
pesan yang demikian aneh dan gila? Kalau
memang ingin melenyapkan boneka indah
ini, kenapa tidak dulu-dulu kauba-kar
sendiri?”
Biarpun ucapan Ci Sian itu keluar dari
sifatnya yang keras, bengal dan ti-dak mau
tunduk kepada, siapapun juga, akan tetapi
Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu
yang memang aneh sekali. Memang
ucapan Ci Sian itu benar bela-ka. Mengapa
bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di
dahi boneka itu ka-lau memang hendak
melenyapkan boneka itu? Kenapa tidak
langsung saja dibakar daripada menanti
sampai ribuan tahun agar ditemukan orang
dan dibakar oleh orang itu? Bukankah
langsung saja diba-kar jauh lebih mudah
daripada membuat tulisaan huruf kecil-kecil
itu? Tentu ada rahasianya di balik semua
ini.
“Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini,
beliau tidak minta kita menemukan-nya.
Biarpun kita juga tidak sengaja mencarinya,
akan tetapi kita toh ber-temu dengan beliau.
Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan
orang yang sudah mati merupakan perintah
keramat yang harus dipenuhi, apalagi
Locianpwe ini sampai memohon dan
Choirul, maret 2008 82
permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita
bakar boneka ini seperti yang dipesankan.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. “Terlalu! Itu
namanya mempermainkan perasaan orang!
Kenapa boneka yang indah ini di-bawa
mati, dibiarkan terlihat orang? Membiarkan
orang merasa suka lalu menyuruh orang itu
membakarnya, sung-guh merupakan
perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah
orang ini dahulu di-waktu hidupnya tentu
membuat banyak dosa, Paman. Sampai
sudah ribuan tahun menjadi mayat pun
masih melakukan per-buatan kejam!
Jangan dibakar saja, Pa-man, aku ingin
melihat dia bisa apa!”
“Hemm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan
Locianpwe ini tentu mengandung maksud
amat penting. Siapa tahu boneka ini yang
disebutnya benda keramat benar-benar
mengandung pelajaran yang mujijat dan
kalau sampai terjatuh ke tangan orang
jahat, bukankah dunia ini akan menjadi
semakin kacau?”
“Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau
bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku
masih layak disebut orang jahat, akan tetapi
engkau sama sekali bukan orang jahat!
Engkau seorang pen-dekar yang budiman.
Kalau memang bo-neka ini mengandung
pelajaran tinggi, bukankah akan berguna
sekali kalau di-pelajari olehmu? Memang
orang ini mempermainkan dan memperolok
orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai
sudah mati pun tidak dapat sempurna.”
“Hushh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak
tahu. Seorang Locianpwe melakukan halhal
yang aneh bukan tidak mengandung
maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu
yang terkandung dalam boneka itu
mempunyai pengaruh dan daya yang aneh
sehingga siapa pun yang mempelajarinya
akan berobah menjadi tersesat dan jahat.
Biarkan aku membakarnya.”
“Sesukamulah!” kata Ci Sian agak marah.
“Kau bakarlah boneka tak ber-guna itu. Aku
sendiri lebih senang mem-bakar sesuatu
yang lebih berguna bagi perutku yang lapar
ini.” Setelah berkata demikian, gadis cilik ini
meninggalkan Kam Hong karena dia
melihat banyak sekali burung-burung yang
berbulu putih dengan kepala hitam
beterbangan dan ada yang hinggap di tepi
jurang dari tempat yang kini seolah-olah
menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau
yang di-kelilingi jurang curam, bukan
dikelilingi laut.
Matahari telah condong ke barat ke-tika
Kam Hong akhirnya berhasil mem-buat api.
Tidak mudah membuat api di tempat dingin
itu. Akan tetapi pendekar ini memang
menyimpan batu api, bahan bakar dan
dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting
yang terbawa longsor dan
membersihkannya, akhirnya dengan susah
payah dapat juga dia membuat api dan
membakar boneka itu. Selagi dia
memba-kar boneka itu, Ci Sian datang
membawa dua ekor burung yang gemuk.
Burung itu bentuknya seperti bebek,
besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti
semua bulu-nya, tiada bedanya dengan
bebek.
“Seorang seekor, Paman. Paman tentu
lapar, bukan?” katanya sambil meman-dang
ke arah boneka yang dibakar itu dengan
mulut cemberut. “Bukankah lebih berguna
membakar bebek-bebek ini?”
Kam Hong tersenyum. “Engkau pandai
sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau
bisa mencari makanan.”
Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian
membakar dua ekor burung. Daging burung
sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak
juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal
pakaian yang dipakai boneka itu sudah
hancur sama sekali. Boneka kecil itu kini
telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
“Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar
tidak rusak?” Ci Sian menjadi tertarik dan
sambil makan daging burung mereka lalu
menambah kayu ba-kar memperbesar api
Choirul, maret 2008 83
untuk terus mem-bakar boneka itu sampai
hancur.
Sinar api menciptakan pemandangan yang
mentakjubkan. Sinar api itu terpan-tul oleh
bongkahan es yang besar-besar itu, dan
timbullah beraneka warna gemilang seperti
pelangi di mana-mana. Me-reka merasa
aneh, seolah-olah mereka berada di dalam
dunia lain, atau dalam dunia mimpi anakanak
yang amat luar biasa. Seperti berada
di dalam ruangan penuh dengan cermin.
Bayangan mereka berdua nampak di manamana,
akan te-tapi bayangan-bayangan itu
menjadi aneh bentuknya seperti ada
ratusan buah cer-min palsu mengelilingi
mereka, ada yang membuat mereka
menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang
membuat mereka menjadi tinggi kurus
dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua
ekor burung panggang sudah mereka
makan habis, akan tetapi boneka itu masih
tetap utuh!
“Hentikan saja, Paman. Engkau sudah
membakarnya sejak tadi. Kakek itu
memang agaknya sengaja mempermainkan
kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi
akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah
sana terdapat sebuah guha yang cukup
besar untuk kita berlindung dari angin dan
beritirahat.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Wa-laupun
nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan
tetapi dia tidak percaya bah-wa orang
seperti locianpwe itu sengaja
mempermainkan orang dengan bonekanya.
“Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu
di sana. Aku akan melanjutkan membakar
boneka ini.”
Dengan marah Ci Siang bangkit ber-diri,
lalu dia menuding-nuding ke arah mayat
yang rebah di atas tanah tertutup salju itu
sambil berkata. “Awas kau, kalau kau yang
menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak
memberi sesuatu kepada-nya sebagai
balasan, engkau tentu akan kukutuk habishabisan!”
“Ci Sian....!” Kam Hong mencela, akan
tetapi gadis cilik itu sudah melon-cat dan lari
meninggalkannya.
Kam Hong merasa penasaran sekali dan
menghabiskan kayu yang disediakan-nya
tadi untuk membakar boneka itu. Akan
tetapi sampai api padam kehabisan bahan
bakar, boneka itu tetap utuh saja
sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
“Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu
tidak mau mentaati perintah Lo-cianpwe,
akan tetapi agaknya boneka ini memang
tidak dapat terbakar.” katanya. Dia
mengambil boneka yang sudah telan-jang
karena pakaiannya sudah hancur menjadi
abu itu, dan yang gosong kehitaman,
meletakkannya kembali ke dalam tangan
jenazah yang masih rebah telen-tang,
kemudian sambil berloncatan de-ngan satu
kaki Kam Hong pergi menyu-sul Ci Sian.
Dia harus bersama gadis cilik itu untuk
melindungi dan menjaganya.
Dia mendapatkan Ci Sian meringkuk di
dalam guha, agaknya kedinginan. Me-lihat
bayangan yang dipantulkan oleh sinar
terakhir dari matahari yang mulai
bersembunyi di balik bukit salju, bayang-an
Kam Hong berdiri di depan guha. Ci Sian
segera menyambutnya dengan
per-tanyaan. “Sudah hancurkah dia?”
“Belum, sampai apinya padam boneka itu
masih tetap utuh.”
“Huh! Lalu kauapakan dia?”
“Kukembalikan kepada Locianpwe itu.”
“Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu
adalah mayat seorang badut dulunya, atau
seorang yang memang jahat dan suka
mempermainkan orang.”
“Biar besok akan kubakar kembali jenazah
itu bersama bonekanya.”
Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong
mendengar suara Ci Sian kedingin-an. Dia
Choirul, maret 2008 84
lalu memasuki guha dan duduk di dekat
gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia
melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik
kaki tangannya dan agak meng-gigil.
“Kau merasa kedinginan?”
“Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagai-mana
kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau
begini terus aku akan men-jadi seperti
badut itu!” Ci Sian menggi-gil. “Sayang aku
tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik
untuk meninggalkan permainan seperti dia
untuk mempermainkan orang!”
“Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian.
Nah, duduklah bersila, aku akan membuat
tubuhmu hangat. Dan mulai se-karang
engkau harus menurut petunjukku, aku
akan mengajarmu bagaimana untuk
mengerahkan hawa murni di dalam tubuh
agar dapat melawan dingin.”
Ci Sian menjadi girang sekali dan de-ngan
taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam
Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati
menggerakkan kakinya yang patah
tulangnya, kemudian dia me-nempelkan
telapak tangan kanannya di atas punggung
gadis cilik itu. “Dengarkan baik-baik.”
bisiknya, “engkau sudah di-ajari mendiang
Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau
aku menyebutkan jalan darah tertentu,
engkau harus mencoba untuk membuka
jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga
dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan
mendorongnya dengan tenagaku....”
Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada
hawa yang amat kuat dan hangat masuk
melalui punggungnya. Dia menjadi girang
sekali dan dengan tekun dia mem-pelajari
ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk
dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat
membuat tubuhnya menjadi hangat, sama
sekali tidak lagi menderita oleh serangan
hawa dingin dari luar tu-buhnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci
Sian sudah keluar dari guha. Kam Hong
masih duduk bersamadhi se-tengah tidur.
Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian
pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun,
dia melihat Ci Sian sudah membuat api
unggun dan dara itu sedang membakar
atau memanggang sesuatu yang sedap
baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai
membuat api dengan batu api dan bahan
bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat,
ternyata gadis cilik itu sedang memanggang
daging, entah daging apa!
“Heii, darimana engkau memperoleh daging
itu? Daging apakah itu?”
Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang
berbulu putih ke atas. “Entah bina-tang apa,
macamnya seperti kelinci, ge-muk sekali,
Paman dan baunya sedap, ya?”
Melihat kulit berbulu putih itu, Kam Hong
menahan ketawanya dan tidak mau
memberitahu kepada Ci Sian bahwa yang
sedang dipanggangnya itu adalah daging
tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan
seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk
pengisi perut, daripada kelaparan.
“Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat
di dekat jenazah itu dan melihat boneka
hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu
pun ada huruf-hurufnya.”
“Eh....? Apa bunyinya?”
“Entah aku tidak membacanya. Aku tahu
pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru
dari badut itu untuk memper-mainkan kita.
Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini
daripada membaca tulisan tiada gunanya
itu.”
Malam tadi Kam Hong memang sudah amat
tertarik untuk mencari tahu rahasia dari
jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar
Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya
adalah seorang badut yang sengaja hendak
meninggalkan lelucon untuk
mem-permainkan orang lain. Tentu ada
rahasia yang tersembunyi, terkandung
dalam se-mua pesan yang ditinggalkan oleh
Choirul, maret 2008 85
jena-zah itu. Apakah dia yang keliru
mengar-tikan pesan itu? Ah, tidak mungkin.
Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak
bisa diartikan lain. Mungkin orang lain akan
merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian
tidak rela boneka itu diba-kar, akan tetapi
anak perempuan itu hanya menyayangkan
keindahan boneka itu saja, merasa sayang
bahwa benda mainan yang demikian
bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain,
terutama orang-orang kang-ouw, setelah
melihat tulisan itu yang menyebutkan
bahwa boneka itu merupakan benda
keramat yang mengan-dung pelajaran
dahsyat, pasti akan menyimpannya dan
berusaha untuk mencari rahasia pelajaran
dahsyat itu. Akan tetapi dia tidak mau
melakukan hal seperti itu. Dia adalah
keturunan Suling Emas, dan dia sendiri
sudah memiliki kepandai-an peninggalan
nenek moyangnya yang tinggi dan hebat,
perlu apa dia meng-inginkan kepandaian
lain? Juga, dia tidak sudi melanggar pesan
orang yang sudah mati.
Kini, mendengar bahwa boneka yang
dibakar sekian lamanya tetap utuh itu -ada
huruf-hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik
sekali. Tanpa berkata apa pun dia lalu
meninggalkan Ci Sian yang ma-sih sibuk
memanggang daging “kelinci” sambil
mengomel karena di situ tidak terdapat
bumbu masak, dan sambil berlon-catan
dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke
tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu
masih rebah telentang seperti malam tadi,
boneka itu masih terletak di atas dadanya,
di antara ta-ngannya seperti yang dia
letakkan sema-lam, lalu dia mengamati
boneka yang gosong itu.
Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka
itu! Agaknya huruf-huruf itu tim-bul setelah
boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan
tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika
dia membakar boneka itu, tidak terdapat
huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali
pada dahinya itu. Cepat dia mengambil
boneka gosong itu dan membersihkan
angus dari tubuh boneka yang masih utuh.
Bukan main girang hatinya ketika dia
melihat bahwa huruf-huruf yang timbul
setelah boneka dibakar itu merupakan
kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan
mudah. Dia mem-bersihkan seluruh tubuh
boneka, kemudian mulai membaca dengan
jantung berdebar tegang dan tertarik sekali.
Makin lama, sepasang matanya makin
terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang
meme-gang boneka itu menggigil. Lalu dia
menggoyang-goyang kepala dan
menge-jap-ngejapkan kedua matanya
seolah-olah tidak percaya akan apa yang
dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf
yang ter-susun rapi dari atas ke bawah di
tubuh boneka itu.
“Mau membakar boneka pertanda jujur dan
tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti
berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa
Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku
menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling
emas buatan-ku. Akan tetapi suling itu
tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku,
rendam-lah boneka itu dalam air, dan
perguna-kan airnya untuk memandikan
jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu
yang ada padaku dengan hati yang besih.
Tunggui aku selama tiga hari tiga malam,
baru boleh engkau menguburku. Mulai saat
ini engkaulah muridku dan ahli wa-risku.”
SULING EMAS
Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong
menjadi terbelalak lalu bengong seperti
orang kehilangan ingatan saking bengong,
heran dan kagetnya. Jenazah yang
meninggalkan pesan itu menamakan dirinya
sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah
Suling Emas itu adalah Pende-kar Suling
Emas bernama Kam Bu Song yang
merupakan nenek moyangnya? Apa-kah....
apakah jenazah ini jenazah nenek
moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam
Bu Song? Ah, tidak bisa jadi! Nenek
mo-yangnya itu meninggal dunia di utara,
bukan di Pegunungan Himalaya. Dan pula,
tulisan itu menyebutkan bahwa pe-nulisnya
yang bernama Suling Emas itu hidup di
jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu
hidup pada jaman sesu-dah Dinasti Cin
Choirul, maret 2008 86
atau pada kurang lebih tahun empat ratus,
jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang
lebih. Sedang-kan nenek moyangnya itu,
Pendekar Su-ling Emas Kam Bu Song
hidup dalam tahun sembilan ratus lebih.
Jadi ada se-lislh lima ratus tahunan antara
penulis surat ini dan nenek moyangnya
yang ber-juluk Suling Emas itu. Penulis atau
jena-zah ini jauh lebih tua.
Akan tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut
tentang suling emas. Suling emas yang
dikatakan buatannya itu diberikan kepada
Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta
yang amat sakti dan yang terkenal
menjelajah sampai jauh ke luar Cina.
Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh
dunia karena dia telah mencatat semua
perjalanannya sehingga catatannya itu
merupakan catatan sejarah yang amat
penting. Ada, hubungan apakah antara
jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam
Bu Song? Dan ada hubungan apakah
antara suling emas buatan jenazah ini yang
diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu
dengan suling emas peninggalan nenek
moyangnya yang kini terselip di ikat
pinggangnya?
Sampai bagaimanapun juga, Kam Hong
tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan
itu tanpa bahan-bahan. Tidak ada hal yang
lebih ajaib daripada hal yang telah terjadi
secara “kebetulan”. Dia tidak tahu bahwa
memang suling emas yang berada di
pinggangnya itu adalah buatan jenazah
inilah! Kurang lebih seribu empat ratus
tahun yang lalu! Dan memang pen-cipta
ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah
kakek yang kini membujur di depannya
sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah
tangan berapa puluh kali ke-tika suling
emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar
Kam Bu Song. Seperti dapat dibaca dalam
cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu
Song memper-oleh suling itu di Pulau Pekcoa-
to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu
Bun dan juga memperoleh kitab terisi sajaksajak
yang menjadi pelengkap suling emas
itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan
Liong adik sastrawan Ciu Bun itu. Dan
kedua orang sastrawan besar she Ciu ini
menerima kitab sajak dan suling emas itu
dari seorang tokoh manusia sakti yang
dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu!
Mungkin saja Bu Kek Siansu menerima
suling emas itu dari orang lain, ataukah dari
Pendeta Fa Sian sendiri? Tidak ada yang
mengetahui karena memang apa pun boleh
saja dan mungkin saja terjadi pada dua
orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak
lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian
dan Bu Kek Siansu! Kakek pem-buat suling
emas itu telah lenyap dari dunia selama
seribu empat ratus tahun, dan kini secara
kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu,
dengan jasad yang masih utuh, telah
berhadapan dengan ahli waris suling emas
buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan
yang memegang suling emas itu!
Bagaikan orang yang kehilangan ingat-an
Kam Hong masih memegangi boneka itu
dan entah sudah berapa kall dia membaca
tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa
panggang daging, “ke-linci”nya dengan
wajah berseri.
“Paman, sarapan dulu! Eh, mengapa
engkau melamun? Lelucon apa lagi yang
ditulis oleh badut kuno itu?”
Suara bening merdu ini menyeret Kam
Hong kembali ke alam kenyataan. Dia
menoleh, tersenyum dan menaruh kembali
boneka gosong itu ke atas dada jenazah,
lalu menghampiri Ci Sian sambil berkata.
“Ada perintah baru dari Locian-pwe ini.
Baiklah kita sarapan, dan akan kuceritakan
kepadamu suatu keanehan yang benarbenar
ajaib sekali, Ci Sian.”
Mereka lalu makan panggang daging tikus
salju itu yang terasa sedap karena memang
di situ tidak ada apa-apa lagi untuk
dijadikan perbandingan. Setelah makan dan
minum air cairan es, dan mencuci tangan,
barulah Kam Hong men-ceritakan tentang
tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian
mendengarkan dengan ragu-ragu karena
dia sudah curiga saja kalau-kalau
pamannya ini akan menjadi korban lelucon
Choirul, maret 2008 87
permainan yang ditinggal-kan oleh jenazah
badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar
tentang suling emas, membuat dia
mengerutkan alisnya dan terheran-heran.
“Suling Emas? Paman Kam, bukankah
engkau juga memiliki suling emas itu?”
Kam Hong mengangguk dan mencabut
sulingnya. Nampak sinar keemasan
ber-kilat dan pendekar ini. mengangkat
su-lingnya ke atas. “Bukan hanya memiliki
suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan
kepa-damu aku tidak perlu merahasiakan
bah-wa aku adalah keturunan terakhir dari
Pendekar Sakti Suling Emas”
“Ahhh....!”
“Kenapa?”
“Aku pernah mendengar dari mendiang
Kong-kong, kiraku hanya nama dalam
do-ngeng saja....“
“Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling
Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi
nenek moyangku. Maka dapat kaumengerti
betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe
ini, seperti dapat kita baca pada
pesanannya, memakai nama Suling Emas
dan bahkan mengaku dialah pembuat suling
emas! Membuat aku ber-pikir-pikir apakah
hubungan Locianpwe ini dengan nenek
moyangku? Dan apakah suling emas
buatannya yang dimaksudkan ini adalah
suling yang kini menjadi mi-likku ini?”
Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula
membaca huruf-huruf pada tubuh boneka
itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong
untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut
membaca, Ci Sian berkata dengan nada
suara bersungguh-sungguh, tidak lagi
memandang rendah kepada jenazah itu.
“Paman, mengapa tidak kautaati
pe-rintahnya? Ternyata dia tidak main-main!
Mungkin suling emas yang diberikan
olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah
yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu
dan kini menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu
yang disebut-sebutnya itu, sepatut-nya
kaupelajari. Sekarang engkau telah menjadi
murid dari Locianpwe ini, Pa-man! Engkau
memang berjodoh dengan dia. Buktinya,
engkaulah yang berkeras hendak
membakar boneka itu. Kalau aku, aku
tadinya merasa sayang, dan kalau menurut
aku tentu boneka itu tidak akan pernah
kubakar.”
Kam Hong mengangguk. “Memang benar
ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hen-dak
mentaati perintahnya.”
Kam Hong lalu menjatuhkan diri ber-lutut di
depan jenazah yang rebah te-lentang itu,
kemudian berkata, “Teecu Kam Hong,
hendak melaksanakan perin-tah Locianpwe,
harap Locianpwe mem-beri berkah.”
Setelah memberi hormat, dia lalu
merendam boneka gosong itu dalam air.
Kemudian, air rendaman itu dipergunakan
untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang
merasa agak ngeri dan jijik, menjauh.
Apalagi karena dia mengerti bahwa dia
adalah “orang luar” dan tidak berhak ikutikut.
Setelah memandikan jenazah itu dan
membereskan kembali pakaian jenazah itu,
Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik
membiarkan jenazah itu di tempat terbuka,
maka dia lalu memondong jena-zah itu dan
dibawanya masuk ke dalam guha lebih kecil
yang berada di sebelah kanan guha tempat
dia dan Ci Sian ber-malam. Guha ini juga
diliputi es dan salju, jadi merupakan “peti”
es yang lebih besar lagi.
“Ci Sian, aku harus mentaati perintah
Locianpwe ini yang aku percaya adalah
pembuat suling emas ini, sehingga dengan
demikian agaknya beliau ini malah
merupakan pencipta suling emas dan ilmuilmu
yang bersangkutan dengan pusaka itu.
Maka beliau ini terhitung nenek mo-yang
perguruanku yang pertama! Maka, harap
kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga
Choirul, maret 2008 88
malam ini, karena aku hendak menjaganya
seperti yang diperintahkannya itu.”
Ci Sian mengerutkan alisnya, agak
cemberut karena dia merasa betapa
be-ratnya kalau dia selama tiga hari tiga
malam harus sendirian saja, akan tetapi dia
pun sudah membaca sendiri pesan itu maka
dia mengangguk dan berkata, “Baiklah,
Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan
menangkap burung, kelinci dan mencobacoba
untuk mencari jalan keluar dari tempat
ini.”
“Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan
engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu.
Biarpun aku sedang menjaga jenazah,
kalau engkau terancam sesuatu tentu aku
akan datang menolongmu.”
Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci
Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan
tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan
itu saja dia sudah mak-lum bahwa
sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong
masih lebih sayang kepadanya daripada
kepada mayat itu! “Bagaimana dengan
makan dan minummu selama tiga hari itu,
Paman?”
Kam Hong tersenyum. “Kalau engkau
memperoleh sesuatu, taruh saja bagianku
di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar
atau haus tentu akan kumakan dan
kuminum.”
“Baik, Paman.” kata Ci Sian lalu dia pergi
meninggalkan Kam Hong yang du-duk
bersila seorang diri di dekat jenazah.
Setelah dia memandikan mayat itu, dia
tadinya mengira tentu akan timbul pe-tunjuk
baru. Akan tetapi ternyata tidak terjadi apaapa
sehingga dia merasa he-ran. Pikirannya
dikerahkan untuk mendu-ga-duga, di mana
kiranya mayat ini me-nyimpan ilmunya yang
katanya dalam pesan terakhir itu agar
dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah
tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan
tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia
tidak melihat sesuatu yang dapat
dipergunakan sebagai petunjuk. Kini, untuk
menggeledah badan mayat itu, dia merasa
tidak berani ka-rena betapapun juga, dia
mempunyai pe-rasaan menghormat
terhadap jenazah orang yang selain telah
mengangkatnya sebagai murid, juga
diduganya merupakan nenek moyang
perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa
keadaan jenazah ini memang penuh
rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri,
Sin-siauw Seng-jin, yang merupakan
keturunan pengasuh ke-percayaan nenek
moyangnya dan bahkan yang menyimpan
dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya
yang kemudian diturun-kan kepadanya,
agaknya juga tidak akan dapat
memecahkan rahasia jenazah ini.
Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam
Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti
yang diperintahkan oleh tulisan jenazah itu
pada boneka. Selama tiga hari tiga malam
itu, dia sama sekali tidak pernah makan
panggang daging yang setiap hari
dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah
jenazah itu memesan agar dia mempelajari
ilmu-ilmunya de-ngan hati yang bersih? Dan
untuk men-jaga agar Ci Sian tidak kecewa
atau menyesal, Kam Hong mengubur
panggang daging itu di bawah salju, seolaholah
dia telah menghabiskan semua
hidangan gadis itu.
Pada hari ke empat, dia sudah me-rasa
sangat yakin bahwa jenazah itu memang
tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun,
maka dia mengambil keputusan untuk
menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat
tubuh yang rebah telentang itu sambil
berkata. “Locianpwe, teecu telah memenuhi
perintah Locian-pwe, perkenankan hari ini
teecu mengu-bur jenazah....“ Tiba-tiba dia
menghenti-kan kata-katanya karena dia
melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan
yang terletak di atas dada memegang
boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu
nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada
hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum
ada! Hal ini dia ketahui benar ka-rena dia
sudah memeriksa seluruh ba-gian tubuh
yang nampak, dan ketika dia memandikan
jenazah itu pun dia melihat bahwa pada
Choirul, maret 2008 89
kuku yang panjang terpe-lihara itu tidak ada
apa-apanya. Bagai-mana kini dapat timbul
huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang
cerdas itu segera dapat menangkap
rahasianya. Ten-tu huruf-huruf itu ditulis
oleh tinta is-timewa yang bara timbul
setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air
rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti
dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu
jari sampai kuku kelingking.
“Muridku, salurkan tenaga “Yang” ke
badanku agar aku tidak kedinginan.”
Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana
mungkin jenazah merasa kedinginan?
Memang aneh-aneh saja pesan dari
jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian
menganggapnya seorang badut yang suka
mempermainkan orang, biar sudah mati
sekalipun. Akan tetapi, karena ada rasa
hormat yang mendalam terhadap jenazah
itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi.
Dia meletakkan kedua tangannya ke atas
dada jenazah itu, kemudian dia
mengerahkan tenaga “Yang” yaitu tenaga
sin-kang yang mendatangkan hawa panas
dan disalurkannya ke dalam tubuh itu
melalui dada. Tubuh jenazah yang tadi-nya
dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat,
makin lama menjadi semakin panas.
Pada saat itu, Ci Sian datang mem-bawa
hidangan panggang daging burung seperti
biasanya. Karena sekarang sudah hari ke
empat, maka dia pun berani memasuki
guha mendekati Kam Hong, terheran-heran
melihat betapa Kam Hong mengerahkan
sin-kang disalurkan kepada tubuh jenazah
itu. Apa yang hendak di-lakukan oleh
pendekar ini? Dia merasa heran dan juga
ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba
dapat bangkit dan hidup kembali?
Meremang bulu tengkuk-nya memikirkan
kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan
tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan
sin-kang sampai tubuhnya gemetaran ke
dalam tubuh mayat itu. Tiba-tiba dia melihat
sesuatu yang membuat menjerit. “Heiii! Ada
huruf-huruf timbul di punggung tangan-nya!”
Kam Hong juga melihat hal itu dan dia
menjadi terkejut. Tentu saja dia
menghentikan pengerahan sin-kangnya dan
sempat membaca sedikit tulisan pada
punggung lengan tangan itu yang ter-nyata
berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang
aneh. Akan tetapi, baru se-dikit dia
membaca, huruf-huruf itu sudah memudar
dan lenyap kembali. Padahal tadi amat
jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan
sin-kangnya. Maka dicobanya lagi. Begitu
dia mengerahkan tenaga “Yang”, hurufhuruf
itu timbul kembali dengan jelasnya.
Mengertilah kini Kam Hong. Dia lalu
membuka jubah jenazah itu setelah
memberi hormat, dan begitu dia
mengerahkan tenaga sin-kang, maka pada
dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat
huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari
dada dekat leher terus me-nurun. Akan
tetapi, untuk mengerahkan sin-kang sambil
mempelajari huruf-huruf itu sungguh
merupakan hal yang tidak mungkin. Maka
dia lalu mencari akal.
“Ci Sian, engkau harus membantuku. Tanpa
bekerja sama, tidak mungkin aku dapat
mempelajari ilmu yang diwariskan oleh
Locianpwe ini. Dan memang
sesung-guhnya beliau adalah nenek
moyang perguruanku, pembuat suling emas
ini.”
“Bagaimana engkau bisa tahu, Pa-man?”
“Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca
tadi menyebutkan tentang pela-jaran
meniup suling!”
“Wah, untuk apa pelajaran meniup su-ling,
Paman?”
“Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau
membantuku, Ci Sian?”
“Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku
dapat membantumu?”
“Aku akan mengerahkan sin-kang dan
ketika huruf-huruf itu timbul, engkau
Choirul, maret 2008 90
mencatatnya dari permulaan dekat leher ke
bawah.”
“Hemm, dengan apa aku harus menu-lis?
Tidak ada alat tulis....“ Akan tetapi dia
menghentikan kata-katanya karena dari
balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan
alat tulis berikut tinta keringnya.
“Kaukira aku berpakaian sastrawan hanya
untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat
tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau
dapat menuliskannya di sini.” Kam Hong
merobek sebagian dari baju dalamnya dan
menyerahkan baju dalam berwarna kuning
muda itu kepada Ci Sian.
Ci Sian menggosok bak (tinta kering) dan
mempersiapkan alat tulisnya. Kemu-dian
mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong
menyalurkan sin-kangnya ke dalam tubuh
jenazah itu dan Ci Sian mencatat semua
huruf yang timbul. Ternyata huruf-huruf itu
memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong
mengerahkan sin-kang-nya, makin jelas
pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi
begitu Kam Hong mengurangi tenaganya,
maka huruf-huruf itu pun menyuram!
Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan
tetapi, sering kali mereka terpaksa harus
berhenti, karena Kam Hong harus
beristirahat dulu untuk mengumpulkan
tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu.
Sampai tiga hari lamanya barulah habis
semua tulisan yang terdapat pada dada,
perut dan dengan itu ditulis Ci Sian.
Ternyata di bagian punggung tidak terdapat
tulisan, dan tulisan itu terus menurun
sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan
tetapi, ketika mereka sudah mengutip
tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong
maupun Ci Sian tidak me-lanjutkan lebih ke
bawah lagi.
“Paman, kalau engkau hendak mem-buka
celana itu aku tidak mau melan-jutkan dan
biar kautulis saja sendiri!” katanya.
“Ah, aku pun tidak mau melakukan hal itu,
Ci Sian. Aku menghormati Guru-ku, tidak
mungkin akan melakukan hal tidak sopan
terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang
bagaimana hebat sekali-pun.”
Maka berhentilah mereka. Kam Hong yang
kelelahan itu lalu bersamadhi
me-ngumpulkan hawa murni untuk
memulih-kan tenaga sin-kangnya yang
selama tiga hari ini terus-menerus
dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu
menyusun tulisan-nya itu agar teratur. Kalau
saja keduanya tahu bahwa sikap mereka
yang sopan terhadap jenazah itu ternyata
malah menyelamatkan mereka, atau
setidak-nya menyelamatkan Kam Hong!
Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya
itu, memang sebelum mati telah
memper-hitungkan segala-galanya. Di
dalam tem-pat-tempat terlarang itu memang
ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi
tulisan-tulisan di tempat terlarang ini
mengandung pelajaran-pelajaran
menye-satkan yang hanya dapat menyeret
orang yang mempelajarinya ke jurang
kese-satan! Jadi locianpwe itu telah
memper-hitungkan dengan cermat sekali,
memberi ganjaran kepada penemu
mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya
memberi hu-kuman kepada penemu
mayatnya yang berwatak buruk! Hanya
orang-orang ku-rang menghormat, tidak
sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang
akan membuka celana untuk menuliskan
huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang
itu!
Setelah tenaga sin-kangnya pulih kembali,
mulailah Kam Hong membaca catatancatatan
yang dibuat oleh Ci Sian itu.
Memang kurang tersusun baik, akan tetapi
akhirnya Kam Hong dapat me-nyusunnya
kembali dan dia menjadi gi-rang sekali.
Ternyata catatan-catatan itu mengandung
dua macam pelajaran. Pelajaran pertama
adalah pelajaran meniup suling! Akan tetapi
bukan sembarangan meniup suling,
melainkan meniup suling dengan
mempergunakan khi-kang dan sin-kang
yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan
itu, kalau orang berhasil mempelajari cara
meniup suling menurut pelajaran ini, dia
Choirul, maret 2008 91
akan dapat meniup suling yang semua
lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu,
sampai akhirnya bahkan dia akan mampu
meniup suling tanpa suling! Memang aneh
dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin.
Kalau tingkat khi-kang dan sin-kang yang
dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu
mengeluarkan hawa tiupan melalui
teng-gorokkannya sendiri tanpa suling dan
akan dapat mengeluarkan bunyi seindah
suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah
setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini
akan jarang sekali terdapat orang yang
akan mampu menandingi sin-kang dan khikangnya,
dan pantaslah disebut Pendekar
Suling Emas yang seja-ti!
Pelajaran ke dua mengandung pelajar-an
gerakan ilmu pedang yang hanya ter-diri
dari delapan belas jurus. Ilmu pedang ini
tidak begitu baik kalau dimainkan dengan
pedang, melainkan baru tepat kalau
dimainkan dengan suling emas! Dan
namanya adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu
Pedang Suling Emas)!
Giranglah hati Kam Hong dan sambil
menanti sembuhnya tulang kakinya yang
patah, mulailah dia berlatih meniup su-ling!
Kadang-kadang Ci Sian mentertawa-kan
pendekar ini. Kalau meniup suling dengan
cara biasa, pendekar ini mampu meniup
lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan
Ci Sian sendiri menjadi kagum
mendengarnya. Akan tetapi kini dia bela-jar
meniup. seperti seorang anak kecil yang
belum pandai meniup suling. Suara-nya
tidak karuan. Tentu saja demikian karena
dia meniup dengan menurut pela-jaran
dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus
dapat dipergunakan untuk meniupkan suara
bermacam-macam not! Dan untuk
menguasai ini tidaklah mudah, karena dia
harus dapat mengatur tenaga khi-kang
sedemikian rupa sehingga sesuai benar
dengan tenaga yang dibutuhkan untuk
menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong
belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian
sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu
itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar
ilmu silatnya masih terlam-pau rendah kalau
harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi
itu.
Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam
Hong yang sudah mulai dapat
menggunakan kakinya yang patah
tulang-nya, akan tetapi terpincang-pincang,
sering kali mencari-cari jalan keluar, namun
mereka terpaksa harus melihat kenyataan
bahwa tempat itu benar-benar dikurung oleh
jurang-jurang yang amat curam sekali
sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi
bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci
Sian hampir me-nangis melihat kenyataan
ini. “Haruskah kita hidup terus di sini sampai
mati menjadi orang-orang terasing di tempat
dingin ini?” keluhnya.
“Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku
sembuh sama sekali. Aku akan mencari
jalan keluar dan aku akan me-nuruni jurang
itu untuk memeriksa ke-mungkinan keluar
dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara
ini, untungnya di sini engkau bisa
mendapatkan burung dan.... eh, kelinci itu
untuk makan, bu-kan?”
“Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging
burung dan kelinci tanpa bumbu! Lamalama
kita bisa berubah menjadi binatang
buas!”
Betapapun juga, Ci Sian bukanlah se-orang
anak perempuan cengeng yang suka
mengeluh. Dia sudah menjadi lincah
gembira kembali dan dia pun membuang
waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas
petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam
waktu beberapa hari saja dia su-dah
memperoleh kemajuan pesat.
***
Kita tinggalkan dulu dua orang anak
manusia yang terpencil di tempat sunyi dan
dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan
Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek.
Seperti telah kita ketahui, dua orang paman
dan keponakan yang meru-pakan pemburupemburu
yang gagah per-kasa ini telah
menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya
Choirul, maret 2008 92
mereka malah terancam bahaya maut dan
baru selamat setelah Kam Hong turun
tangan. Mereka berdua kagum bukan main
menyaksikan kelihaian pendekar yang
memegang kipas dan suling emas itu, dan
diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa
dan bahwa dia tidak dapat berkenalan lebih
jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan
dengan pende-kar yang demikian perkasa.
Dua orang pemburu ini melanjutkan
perjalanan dan ketika mereka melihat
adanya banyak mayat berserakan di ma-namana
dalam keadaan terluka parah dan
mengerikan, timbul keraguan dalam hati
Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.
“Paman, di mana-mana terdapat bekas
amukan binatang buas seperti yang belum
pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar
ini semua perbuatan Yeti seperti yang
dikabarkan orang selama ini, sungguh amat
berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan
dia. Perlukah perjalanan ini dilanjutkan?”
tanyanya sambil mem-bantu pamannya
mengubur setiap mayat yang mereka
temukan di jalan.
“Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat
merasakan desir darah dan tuntut-an hati
seorang pemburu! Setelah melihat seekor
binatang yang begini buasnya, yang bukan
hanya amat menarik akan tetapi juga telah
membunuh banyak ma-nusia, bagaimana
mungkin kita dapat kembali sebelum
berusaha menangkap atau membunuhnya!”
“Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang
kita buru sekali ini adalah mahluk yang luar
biasa kuat dan kejamnya mele-bihi setan!
Mana mungkin kita akan mampu
menangkapnya apalagi membu-nuhnya
kalau sekian banyaknya orang kang-ouw
saja juga tidak mampu, bahkan menjadi
korban dan mati konyol di ba-wah
kebuasannya?”
“Kalau tidak mungkin menangkap atau
membunuh, baru melihatnya saja pun
sudah merupakan suatu kebanggaan besar
bagi seorang pemburu sejati! Pemburu
manakah di dunia ini yang sudah dapat
melihat, bertemu dan berhadapan muka
dengan Yeti? Belum ada, dan aku
mengharapkan untuk menjadi pemburu
pertama yang mengalaminya!”
Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat
merasakan hasrat itu di dalam ha-tinya,
hasrat seorang pemburu yang se-perti juga
setiap orang pemburu atau penangkap ikan,
selalu rindu akan ke-banggaan bercerita
tentang keanehan binatang yang diburunya.
Makin ganas binatang itu, makin buas dan
makin ber-bahaya, akan makin banggalah
untuk menceritakan pengalamannya! Dia
pun terus mengikuti pamannya tanpa
mem-bantah lagi, bertekad untuk
menghadapi segala kemungkinan bersama
pamannya tanpa mengenal takut.
Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa
di balik puncak yang menjulang di depan
mereka, yang akan mereka lewati siang hari
itu, terjadi hal yang lebih hebat dan
mengerikan lagi. Di antara para orang kangouw
yang ramai-ramai mendatangi
Himalaya, tertarik akan be-rita tentang
pedang pusaka yang dipere-butkan itu,
terdapat lima orang murid-murid Kun-lunpai.
Mereka berlima ini tidak ada
hubungannya dengan tiga orang tokoh Kunlun
yang pernah diceritakan dalam awal
cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya
Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Huisiang-
kiam Ciok Kam yang terluka, biarpun
tiga orang tosu itu pun datang dari
Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali
tidak ada hubungannya, karena lima orang
ini adalah murid dari partai persilatan besar
Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan
Kun-lun-san. Mereka adalah murid-murid
kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia
kang-ouw sudah merupakan tingkat yang
lumayan dan mereka telah memiliki ilmu
silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua
orang pemuda dan tiga orang gadis yang
kesemuanya memiliki sikap yang gagah
perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan,
merupakan orang pertama dan tertua,
usianya dua puluh lima tahun dan
merupakan pemimpin rombongan mereka
itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula,
Choirul, maret 2008 93
bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga
tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang
bernama Lim Siang, seorang gadis berusia
dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke
lima juga wanita, kakak beradik bernama
Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun
dan Tio Ang Bwee berusia enam belas
tahun.
Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun
tertarik oleh berita tentang pedang pusa-ka
yang dilarikan pencuri dari istana dan
kabarnya dibawa ke daerah Himalaya.
Kebetulan mereka berada di Pegunungan
Kun-lun-san, maka mereka minta perke-nan
dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi
ke Himalaya, sekedar untuk me-luaskan
pandangan, menambah pengetahu-an dan
kalau mungkin mendapatkan kem-bali
pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti
kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai
merasa khawatir, akan tetapi karena lima
orang muda itu mendesak, akhirnya para
tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan
agar mereka tidak melayani orang-orang
kang-ouw dan tidak menimbulkan
perkelahian dan permusuh-an, melainkan
hanya sekedar menambah pengalaman
belaka.
Demikianlah, ketika lima orang murid Kunlun-
pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba
mereka bertemu dengan tiga orang tua
aneh yang memandang kepada tiga orang
gadis muda itu sambil ter-tawa-tawa. Lima
orang murid Kun-lun-pai itu tidak mengenal
mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu
adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang
amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu
adalah bekas para pembantu dari tokoh
sesat Hwa-i-kongcu Tang Hun Ketua Liongsim-
pang yang kemudian bergabung
dengan pembe-rontak Pangeran Nepal dan
kemudian te-was di tangan pendekar yang
terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal
lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil
(baca kisah JODOH SEPASANG
RAJAWALI). Tiga orang aneh ini adalah
orang-orang yang sudah biasa
berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang
pertama berpakai-an seperti seorang tosu,
usianya kurang lebih enam puluh lima
tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah
bengis. Orang ke dua adalah Ban-kin-kwi
Kwan Kok, usia-nya sebaya dengan tosu
tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya
hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan
gin-kangnya yang hebat, orang ke dua ini,
sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kinkwi
(Setan Selaksa Kati), tenaganya
sebesar gajah dan dia adalah seorang yang
memi-liki sin-kang kuat sekali dan kedua
ke-palan tangannya merupakan senjata
am-puh. Orang ke tiga adalah Hai-liong-ong
Ciok Gu To, usianya juga sebaya,
kepala-nya gundul akan tetapi dia bukanlah
seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk,
tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli
bermain dalam air dan memiliki tenaga
dalam yang kuat pula. Orang ke tiga ini
suka tertawa-tawa, dan tangan-nya
memegang sebatang dayung yang kini
dipergunakan sebagai tongkat.
Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini
menghambakan diri kepada ketua Liongsim-
pang, biarpun mereka itu ter-masuk
tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka
bertiga tidak atau jarang sekali menggoda
wanita. Akan tetapi, semen-jak mereka
menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu
yang selalu menghibur me-reka dengan
wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini
berubah menjadi orang-orang yang haus
akan pemuasan nafsu berahi mereka yang
bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang
itu. Maka, kini ketika mereka melihat ada
tiga orang gadis muda yang manis-manis,
bertemu dengan mereka di tempat sunyi,
tentu saja me-reka menjadi tertarik karena
pikiran mereka sudah membayangkan
pengalaman pengalaman lalu dengan
wanita-wanita muda dan membayangkan
betapa akan senangnya kalau mereka
mendapatkan te-man seorang satu di
tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!
Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau
nafsu apapun juga yang menguasai hati
dan pikiran, menguasai batin kita setiap
saat dan yang kemudian menjadi
Choirul, maret 2008 94
pendorong dari setiap perbuatan kita dalam
hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran
yang bekerja mengenangkan sega-la
kesenangan yang pernah dialami. Pi-kiran
yang merupakan gudang dari peng-alaman
dan ingatan. Kalau mata kita tertarik dan
suka melihat segala sesuatu yang indah
setangkai bunga yang indah warnanya,
awan berarak di langit, tama-sya alam
terbentang luas di depan kita, matahari
senja yang mentakjubkan, wajah seorang
wanita yang cantik manis, semua rasa suka
memandang itu adalah wajar, karena mata
kita sudah dibentuk sejak kecil untuk
menilai apa yang dinamakan indah dan apa
yang buruk itu. Kalau yang ada hanya
memandang saja, maka hal itu wajar dan
tidak terjadi konflik. Akan tetapi sayang,
setiap kali kita me-mandang, pikiran yang
penuh dengan ingatan ini selalu campur
tangan. Pikiran yang mendambakan
kesenangan ini lalu membayangkan
kembali segala kese-nangan yang pernah
dialami atau pernah didengarnya, lalu
membayangkan hal-hal yang menimbulkan
nafsu. Mata me-lihat wanita cantik jelita dan
terjadi daya tarik, timbul semacam
dorongan untuk memandang keindahan
yang terda-pat pada wajah itu. Kalau yang
ada ha-nya memandang saja, maka setelah
wani-ta itu lewat dan lenyap, habislah saja
sampai di situ. Akan tetapi, kalau pikir-an
memasukinya, lalu membayangkan be-tapa
akan senangnya kalau dapat bercin-ta
dengannya dan sebagainya, maka
tim-bullah nafsu berahi!
Pikiran adalah sumber segala konflik.
Pikiran menjadi tempat bertumpuknya
kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang
pernah kita alami dan selalu pikiran
mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi,
mengejar pengulangan kesenangan yang
lalu dengan menciptakan kesenangan yang
ingin dialami di masa mendatang, dan
selalu karenanya menolak dan
meng-hindarkan ketidaksenangan. Karena
ke-inginan mengejar kesenangan inilah
maka timbul perbuatan-perbuatan yang
menye-leweng dari pada kebenaran,
perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan
orang lain dan diri sendiri. Setelah melihat
semua ini, dapatkah kita membebaskan diri
dari pencampurtanganan pikiran? Dapatkah
kita memandang atau men-dengar saja
penuh perhatian, tanpa ada-nya pikiran
yang membandingkan, mem-pertimbangkan
lalu memutuskan baik buruknya senang
susahnya? Dapatkah pikiran berhenti
mengoceh dan meng-hidupkan kembali halhal
yang telah lalu?
Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup
tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah
mungkin! Pikiran adalah alat yang amat
dibutuhkan untuk hidup, atau untuk
melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa
ingatan tentu saja kita tidak akan dapat
pulang ke rumah, takkan dapat melakukan
pekerjaan, takkan dapat menghitung,
membaca dan sebagainya lagi. Pikiran
amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soalsoal
teknis saja. Dalam soal-soal keperluan
lahiriah saja. Akan tetapi begitu pikiran
penuh ingatan me-masuki batin, mengusik
hubungan antara kita dengan manusia lain,
akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi
antara kita dengan manusia lain, dengan
benda, de-ngan batin, tidak dibutuhkan
pikiran yang menilai berdasarkan ingatan
masa lalu.
Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas
membayangkan bahwa mereka itu adalah
tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang
muda yang tahu aturan kang-ouw, lima
orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti
melangkah, dan menjura kepada tiga orang
kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan
sebagai yang tertua dan pemimpin
rombongan, lalu melangkah maju.
“Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Ga-gah),
selamat berjumpa dan persilakan Sam-wi
lewat.” Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk
membiarkan mereka lewat lebih dulu.
Tiga orang kakek itu saling pandang dan
Hai-liong-ong Ciok Gu To yang bia-sanya
terus menyeringai dan tertawa-tawa itu
berkata. “Aha, kalian adalah orang-orang
Choirul, maret 2008 95
muda yang tahu aturan dan menyenangkan
sekali. Siapakah kalian?”
“Kami berlima adalah murid-murid Kun-lunpai....“
“Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai
juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah
kalian juga ingin pula mempere-butkan
pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” Hak
Im Cu berkata dengan nada suara
mengejek.
Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak
senang melihat sikap mereka dan
mendengar ucapan-ucapan yang nadanya
mengejek itu. Sikap mereka tidak
meng-hormat Kun-lun-pai itu saja sudah
dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka
ini adalah orang-orang dari golongan hitam!
Kaum bersih, di mana juga dia berada,
tentu akan menghormat Kun-lun-pai yang
merupakan sebuah di antara partai-partai
persilatan besar. Akan tetapi dia mena-han
kesabaran dan menjura sambil ber-kata,
suaranya tetap tenang dan halus.
“Kami mendengar tentang pokiam itu, akan
tetapi kami hanya datang untuk melihat dan
mendengar, meluaskan pe-ngalaman kami
yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe
tidak mentertawakan kami yang bodoh.”
“Huh, orang-orang Kun-lun-pai sela-manya
sombong dan tinggi hati!” Tiba-tiba Ban-kinkwi
Kwan Ok mencela, sua-ranya berat dan
memang dia pernah menaruh dendam
karena pernah dia dika-lahkan oleh seorang
tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu.
Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang
masih tersenyum sambil meman-dangi tiga
orang gadis itu, masih bicara dengan
ramah. “Orang-orang muda, keta-huilah
bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti
mengamuk dan sudah banyak sekali orang
kang-ouw yang tewas.”
“Oleh karena itu.” sambung Hak Im Cu,
“tidak baik bagi nona-nona ini untuk
melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua
orang pemuda boleh saja berjalan sendiri,
akan tetapi biarlah tiga orang nona ini
melanjutkan perjalanan bersama dengan
kami. Kami akan menjaga dan melindungi
keselamatan kalian, Nona-nona manis!”
“Bagus! Seorang satu, itu baru adil
namanya.” kata pula Ciok Gu Tosu sam-bil
tertawa bergelak. “Marilah, Nona-nona,
kalian akan melakukan perjalanan yang
menyenangkan, selain akan aman juga
tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”
Lima orang murid Kun-lun-pai itu ter-kejut
bukan main. Muka mereka sudah berobah
merah sekali dan sinar mata mereka
bernyala karena marah. Mereka telah
diperingatkan oleh guru mereka agar tidak
bermusuhan dan agar jangan berkelahi,
akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga
orang kurang ajar semacam tiga orang
kakek ini, apakah mereka juga harus
bersahabat? Bagaimanapun juga, mereka
adalah orang-orang muda gem-blengan,
maka Tan Coan dapat menya-barkan adikadik
seperguruannya dengan pandang
matanya, kemudian dia menjura lagi dan
berkata kepada tiga orang ka-kek itu, nada
suaranya masih halus na-mun penuh
ketegasan.
“Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang
merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw,
maka agaknya sengaja Sam-wi hendak
menggoda kami orang-orang muda dari
Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan
guru-guru kami telah ber-pesan kepada
kami agar kami tidak ber-laku kurang ajar
dan tidak mencari per-musuhan dengan
siapapun juga. Oleh karena itu, harap Samwi
menaruh ka-sihan kepada kami dan
membiarkan kami pergi melanjutkan
perjalanan kami.”
“Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau
engkau mau pergi bersama teman-mu
pemuda yang satunya lagi itu, lekas-lah
minggat dan menggelinding pergi! Akan
tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu
untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi
Kwan Ok dengan bentakan keras.
Choirul, maret 2008 96
Tak mungkin kini mereka berlima dapat
menahan kemarahan mereka yang
memuncak oleh ucapan yang amat
meng-hina ini. Jelaslah kini bagi mereka
bahwa mereka berhadapan dengan tokohtokoh
golongan hitam yang jahat sekali. Lim
Sun yang lebih muda dan lebih berdarah
panas itu lalu maju membentak. “Siapa-kah
kalian bertiga yang bersikap seperti
memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya
de-ngan melotot.
Hak Im Cu tertawa menyambut per-tanyaan
ini. “Ha-ha-ha, memang sebaik-nya kami
memperkenalkan diri, agar kalian berdua
tidak mati penasaran dan agar ketiga orang
gadis itu akan merasa lebih senang karena
telah kami pilih se-bagai teman-teman
seperjalanan di tem-pat dingin ini.
Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im
Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok,
sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liongong
Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”
Lima orang muda Kun-lun-pai itu me-mang
belum banyak pengalaman di dunia kangouw,
apalagi dunia penjahat, maka tentu
saja nama-nama itu asing, bagi mereka.
“Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak
menanam permusuhan dengan kami orangorang
muda yang tidak ingin ber-kelahi
dengan siapapun juga dan mem-biarkan
kami pergi.” Tan Coan berkata lagi,
sungguhpun nada suaranya tidak se-hormat
tadi, akan tetapi juga tidak ka-sar dan dia
memberi tanda Kepada adik-adik
seperguruannya untuk meninggalkan
tempat itu.
“Haiiiit, tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong
Ciok Gu To yang biarpun tu-buhnya pendek
gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit
sekali karena tahu-tahu dia sudah
berkelebat dan menghadang di depan
mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua
laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang
tiga wanita harus tinggal!”
“Manusia jahat!” bentak Tio Ang Bwee,
murid perempuan Kun-lun-pai yang baru
berusia enam belas tahun itu dan dia sudah
menyerang dengan pedangnya yang
dicabut secepatnya.
“Ha-ha-ha, engkau memilih aku sa-yang?
Aha, engkau tidak salah pilih!” Si Pendek
Gendut yang berkepala gundul ini tertawa
dan dengan tenang saja dia mengelak dari
sambaran pedang Tio Ang Bwee.
Sementara itu, empat orang murid Kun-lunpai
yang lain sudah mencabut pedang dan
mereka pun menerjang maju.
Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok
menyambut mereka dengan tertawa
mengejek. Dan memang sesungguhnya
tingkat kepandaian murid-murid kelas dua
dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau
dibandingkan dengan tingkat kepan-daian
tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa
mengerahkan banyak tenaga, lewat
belas-an jurus saja lima orang muda itu
sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan
Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak
Im Cu dan senjata dayung di tangan Hailiong-
ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang
gadis itu telah roboh tertotok!
Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang
kejam seperti binatang buas itu telah
memilih masing-masing seorang gadis,
mengangkat dan memondong mere-ka itu
sambil terkekeh dan hendak mem-bawa
mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu
berkelebat bayangan yang cepat sekali dan
tahu-tahu di situ telah ber-diri dua orang
lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek
itu terkejut bukan main dan wajah mereka
berobah pucat.
Yang baru muncul ini adalah dua orang
kakek lain yang amat luar biasa. Yang
seorang amat pendek, jauh lebih pendek
gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong
Ciok Gu To, karena Si Pendek yang
berkepala gundul dan berpakaian seperti
hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu
seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil
tertawa ha-ha-ha-ha se-perti orang gendeng
Choirul, maret 2008 97
akan tetapi sepasang matanya mencorong
menyeramkan. Orang ke dua tidak kalah
anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut
Pendek, orang ke dua ini berpakaian tosu,
kurus sekali dan tingginya sampai dua
setengah me-ter, dua kali lebih tinggi
daripada Si Pendek. Kalau Si Gendut
Pendek itu berwajah riang gembira, Si
Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti
orang mena-ngis, sepasang matanya sipit
seperti ter-pejam. Tentu saja tiga orang
kakek jahat itu terkejut seperti melihat
setan, karena memang dua orang di depan
mereka itu seperti manusia-manusia setan
yang ter-kenal sebagai manusia-manusia
yang pa-ling jahat di kolong langit! Mereka
itu adalah orang ke empat dan ke lima dari
sekelompok orang-orang sakti jahat yang
terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok
(Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu
adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauwsiang-
cu, sedangkan Si Jangkung itu
ada-lah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng
Sian-su! Para pembaca cerita JODOH
SEPASANG RAJAWALI tentu sudah
mengenal mereka ini karena mereka adalah
tokoh-tokoh utama yang memimpin
pemberon-takan Pangeran Nepal terhadap
Kerajaan Ceng beberapa tahun yang
lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat
itu tadi-nya menjadi pembantu-pembantu
Hwa-i-kongcu yang juga bersekutu deangan
pemberontak tentu saja mereka bertiga
mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat
melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lunpai
itu dan menjura dengan sikap hormat
sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. “Sungguh
tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi
Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu. Orang
seperti Hak Im Cu sampai menyebut
Locianpwe terhadap mereka berdua,
sungguh merupakan peng-hormatan yang
amat besar.
“Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi
Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi
Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.
“Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi
Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok
Gu To.
Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak
menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he
menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang
cemberut itu memandang kepada tubuh tiga
orang gadis muda yang tak dapat bergerak
karena tertotok itu.
Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok
dan melihat betapa mata yang sipit itu
ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lunpai
itu, Su-ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
kalau engkau menghendaki mereka, tiga
ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”
Ngo-ok mengangguk. “Untuk apa kalau
tidak dibunuh!” katanya.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya
terkejut bukan main. “Ji-wi Locianpwe
mengapa berkata demikian? Kalau
Lo-cianpwe menghendaki mereka, biarlah
kami mengalah dan menghaturkan mereka
kepada Locianpwe dengan senang hati.
“Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah
berani naik ke sini mengapa takut mati?
Hayo majulah, bagaimanapun juga kami
harus membunuh kalian.”
Tiga orang tokoh sesat itu makin ke-takutan
sampai wajah mereka berobah pucat.
“Locianpwe sungguh tidak adil!” Ban-kimkwi
Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah
sahabat-sahabat yang ti-dak pernah
mengganggu Locianpwe, bah-kan dengan
hormat kami mempersembah-kan tiga
orang gadis ini kalau Locianpwe
menghendaki. Mengapa hendak membunuh
kami?”
“Siapa bilang kita bersahabat?” Ngo-ok
mendengus dan matanya terbuka se-dikit,
sikapnya sungguh mengerikan.
“Locianpwe, bukankah kita pernah
bersama-sama membantu Pangeran
Ne-pal? Bukankah kita adalah orang-orang
Choirul, maret 2008 98
sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im
Cu berkata.
“Ha-ha-ha!” Si Pendek Gendut Su-ok
tertawa mengejek. “Memang ketika itu
kalian menguntungkan, maka bersaha-bat.
Sekarang, kalian merupakan saingan kami
dalam mencari dan memperebutkan Koailiong-
pokiam, maka kalian adalah saingan
kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain
dulu lain sekarang! Dulu menguntungkan
maka sahabat, sekarang merugikah maka
musuh!”
Sungguh pendapat yang sama sekali mau
enak sendiri saja! Akan tetapi, be-narkah
sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat?
Lupakah kita bahwa kita sen-diri pun
dengan diselubungi oleh segala sopan
santun dan kebudayaan, pada hake-katnya
mempunyai perhitungan dan pan-dangan
yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua
orang manusia iblis itu? Sebaik-nya kalau
kita meneliti dan memandang diri sendiri,
mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan
dan pandang dengan seju-jurnya, mengapa
kita mempunyai saha-bat-sahabat dan
mengapa pula kita mem-punyai musuhmusuh?
Bukankah orang yang kita anggap
sahabat itu adalah orang yang kita pandang
menguntungkan kita, baik keuntungan lahir
maupun batin? Dan sebaliknya bukankah
orang yang kita anggap musuh itu adalah
orang yang kita pandang merugikan lahir
maupun batin? Dan orang yang sekarang
kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari
dia itu merugikan kita lahir atau batin,
apakah dia masih kita anggap sahabat,
ataukah lalu kita anggap sebagai musuh?
Berapa banyaknya orang yang kini kita
anggap musuh itu dahulu pernah menjadi
sahabat kita? Ah, kehidupan kita penuh
dengan penilaian yang didasarkan untung
rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah
maka kita memisah-misahkan orang-orang
lain sebagai yang disuka dan yang tidak
disuka, sebagai sahabat atau musuh.
Bu-kankah pada dasarnya kita, yang masih
mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh
beda pandangan kita dengan Su-ok dan
Ngo-ok?
Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokohtokoh
jahat dan kejam. Baru saja mereka
sudah memperlihatkan watak me-reka yang
kejam, dengan membunuh dua orang
pemuda Kun-lun-pai yang tidak berdosa
dan hendak memaksa tiga orang gadis Kunlun-
pai untuk melayani mere-ka. Maka, kini
melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah
mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi
mereka selain mem-bela diri mati-matian.
Dan karena mere-ka sudah tahu akan
kelihaian Su-ok dan Ngo-ok, maka mereka
pun tidak mau mengalah dan tidak segan
melakukan kecurangan demi untuk
menyelamatkan diri.
“Haiiittt....!” Tiba-tiba Hai-liong-ong Ciok Gu
To yang berdiri di sebelah agak kiri dari Suok,
sudah menggerakkan dayungnya yang
terbuat dari pada ku-ningan itu dan
menghantam ke arah ke-pala Su-ok yang
pendek gendut seperti dirinya, akan tetapi
tetap saja dia masih lebih tinggi sehingga
Su-ok itu hanya sampai di bawah telinganya
saja tinggi-nya. Dayung itu menyambar
dengan dahsyat sekali. Melihat ini, Hak Im
Cu sudah menerjang maju lagi dengan
pe-dangnya, sedangkan Ban-kin-kwi Kwan
Ok sudah menggunakan kepalan tangannya
untuk membantu Ciok Gu To mengeroyok
Su-ok yang mereka tahu lebih lihai
dari-pada Ngo-ok Si Jangkung itu.
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Suok
dengan enak saja menyelinap ke bawah
dan dayung itu menyambar ke atas
kepalanya. Ketika melihat berkelebatnya
bayangan Ban-kin-kwi yang me-mukul
sehingga menyambar angin pukulan
dahsyat dari tokoh bertenaga gajah ini, Suok
tertawa dan tubuhnya sudah
ber-gulingan ke atas tanah sehingga
pukulan itu pun luput. Dua orang lawannya
terus mengepung dan mengirim serangan
ber-tubi-tubi, namun Su-ok selalu dapat
mengelak dengan ilmu silatnya yang aneh,
tubuhnya kadang-kadang berloncat-an,
kadang-kadang menggelundung ke sanasini
seperti trenggiling dan kalau dia
meloncat dari atas tanah, dia sudah
Choirul, maret 2008 99
mengirimkan pukulan yang amat kuat
sehingga beberapa kali kedua orang la-wan
yang sudah mengelak itu tetap saja
terhuyung, terbawa angin pukulan yang
amat dahsyat!
Sementara itu, Ngo-ok juga dengan
enaknya menghadapi pedang di tangan Hak
Im Cu. Tubuhnya yang jangkung itu kalau
mengelak hanya dengan lengkung-anlengkungan
panjang dan pedang itu selalu
mengenai angin, kemudian kedua tangan
itu dari atas menyambar dengan lengan
yang panjang seperti dua ekor burung
menyambar-nyambar dari atas membuat
Hak Im Cu sibuk sekali untuk melindungi
tubuhnya dari sambaran dua buah tangan
itu. Pedangnya terpaksa diputarnya secepat
mungkin karena mem-bentuk sinar
bergulung-gulung merupakan benteng yang
melindungi tubuhnya.
Tingkat ilmu silat dari tiga orang kakek itu
sesungguhnya sudah men-capai tingkat
tinggi dan nama mereka di dunia kang-ouw
sudah terkenal sekali. Murid-murid Kun-lunpai
kelas dua tadi pun sama sekali bukan
lawan mereka, dan di dunia kaum sesat
mereka ini sudah me-rupakan tokoh-tokoh
yang disegani. Akan tetapi sekali ini mereka
bertemu dengan datuk-datuk kaum sesat
yang jauh lebih lihai daripada mereka. Baru
ada satu saja di antara Im-kan Ngo-ok, ada
Su-ok atau Ngo-ok seorang saja, belum
ten-tu mereka bertiga akan mampu
mengalahkannya. Apalagi sekarang sekali
mun-cul ada dua orang tentu saja mereka
menjadi kewalahan sekali.
Yang pertama kali mengalami desakan
hebat adalah Hak Im Cu. Hal ini tidak
mengherankan karena biarpun tingkat
ke-pandaian Ngo-ok masih kalah setingkat
dibandingkan dengan tingkat kepandaian
Su-ok, akan tetapi Hak Im Cu mengha-dapi
tokoh ini seorang diri saja, dan watak Ngook
berbeda dengan Su-ok. Su-ok adalah
orang yang suka bergurau dan suka
mempermainkan orang, maka kini
menghadapi pengeroyokan dua orang
lawan itu dia pun sengaja mempermainkan
mereka, seperti dua ekor tikus
diper-mainkan seekor kucing yang sudah
mera-sa yakin akan kekuatan dan
kemenangan-nya. Oleh karena itulah maka
kalau Ngo-ok sudah dapat mendesak
lawannya. Su-ok masih belum mendesak
dan membiar-kan dua orang lawannya itu
melakukan serangan bertubi-tubi yang
dapat dihin-darkannya dengan mudah saja.
Ngo-ok sudah mendesak hebat dan kedua
tangannya makin gencar melakukan
serangan ke arah kepala Hak Im Cu. Tosu
ini sudah mandi keringat karena berkali-kali
tangan yang berlengan pan-jang itu hampir
saja berhasil menotoknya atau
menghantam kepalanya dari arah yang
tidak terduga-duga sebelumnya ka-rena dia
tidak mungkin dapat mengikuti gerakan dari
atas itu. Dengan kegelisah-an yang
membuatnya nekat, tiba-tiba dia menusuk
ke depan, memutar pedang itu dan tangan
kirinya ikut melancarkan pukulan yang
mengandung sin-kang kuat ke arah dada
lawan, pedangnya berputar hendak
merobek perut. Serangan ini dah-syat
bukan main sehingga biarpun Ngo-ok amat
lihai, tokoh ini terkejut juga. Dan tiba-tiba
terjadilah apa yang dikha-watirkan sejak
tadi oleh Hak Im Cu. Tubuh tinggi kurus itu
tiba-tiba berjung-kir balik dan selagi Hak Im
Cu terkejut dan tidak tahu bagaimana harus
mengha-dapi lawan ini, tahu-tahu ubunubun
ke-palanya kena dicium ujung jari kaki
ka-nan Ngo-ok.
“Aughh....!” Hak Im Cu terhuyung ke
belakang, pandang matanya berkunangkunang
dan pada saat itu, Ngo-ok sudah
menubruk ke depan dengan tubuh
ber-jungkir balik kembali seperti semula,
dua kali tangannya menampar terdengar
suara “krek! krek!” dan patahlah kedua
perge-langan tangan Hak Im Cu.
Pedangnya terlempar jauh dan tahu-tahu
jari-jari tangan kiri yang panjang dari Ngo-ok
telah mencekik lehernya dari belakang
disambung oleh jari-jari tangan kanannya
dari depan.
Choirul, maret 2008 100
Hak Im Cu meronta-ronta, tidak mampu
melakukan tendangan karena tubuh lawan
berada di belakangnya, sedang kedua
lengannya sudah tak dapat dipergunakan
lagi. Dia meronta-ronta dan tubuhnya
berkelojotan, namun sia-sia belaka. Cekikan
itu makin kuat saja. Sungguh merupakan
penglihatan yang mendirikan bulu roma apa
yang dilakukan oleh Ngo-ok secara kejam
bukan main itu. Akhirnya tubuh itu berhenti
berke-lojotan dan Ngo-ok melemparkan
tubuh Hak Im Cu yang telah mati dengan
mata melotot dan lidah keluar sampai
meman-jang.
“Aha, engkau keburu-buru amat, Ngo-te!”
Su-ok yang dikeroyok dua itu masih sempat
mentertawakan Ngo-ok. Akan te-tapi Ngook
sudah tidak mau mempeduli-kan lagi
karena manusia iblis ini dengan langkah
panjang sudah menghampiri Tio Gin Bwee,
gadis Kun-lun-pai yang berusia delapan
belas tahun itu.
Tiga orang gadis itu tidak pingsan, ha-nya
tertotok saja dan tidak mampu
menggerakkan tubuhnya. Semenjak tadi,
mereka itu menangis melihat dua orang
suheng mereka tewas, kemudian mereka
menonton pertempuran antara manusiamanusia
iblis itu dengan hati merasa ngeri
dan takut. Mereka adalah gadis-gadis yang
menerima gemblengan lahir batin, akan
tetapi baru sekarang mereka merasa ngeri
dan takut karena maklum betapa mereka itu
sama sekali tidak berdaya dan mereka
terjatuh ke dalam tangan manusia-manusia
yang lebih jahat daripada iblis sendiri.
Ketika Si Jangkung itu menghampiri-nya
dan menyambarnya seperti seekor elang
menyambar anak ayam saja,
meng-angkatnya tinggi-tinggi, Tio Gin Bwee
menjadi ketakutan dan merintih. Dua orang
lainnya memandang dengan mata
terbelalak dan jantung berdebar. Rintihan
Gin Bwee makin lama menjadi jeritan--
jeritan menyayat hati ketika dia dibawa ke
balik tumpukkan salju oleh Si Jang-kung itu
dan akhirnya tidak terdengar lagi jeritannya.
Tak lama kemudian Ngo-ok sudah datang
lagi dan kini tangannya yang berlengan
panjang itu menyambar tubuh Lim Siang,
juga seperti tadi diba-wanya gadis itu ke
balik tumpukan salju. Terdengar oleh Ang
Bwee bagaimana sucinya ini menjerit-jerit
akan tetapi makin lama jeritannya
menghilang terganti isak tangis yang
menyedihkan.
-Sementara itu, Su-ok tertawa dan kini
mulailah dia menyerang dua orang
pengeroyoknya. Tubuhnya merendah
seperti berjongkok dan ketika tangannya
dihantamkan ke depan, Hai-liong-ong Ciok
Gu To berteriak dan tubuhnya terlempar ke
belakang, terbanting dan tewas seketika,
dari mulutnya menyembur darah segar.
Itulah pukulan Katak Buduk yang berbau
amis dan beracun, akan tetapi juga
ampuhnya menggila itu! Melihat ini, Bankin-
kwi Kwan Ok tidak mempedulikan rasa
malu lagi, dia sudah meloncat hendak
melarikan diri. Akan tetapi tahu-tahu Si
Pendek itu sudah berada di de-pannya dan
sekali Su-ok melancarkan pu-kulannya
seperti tadi, Ban-kin-kwi juga terjengkang
dan tewas seketika dengan muntah-muntah
darah!
“Ho-ho-ha-ha-ha....!” Su-ok tertawa dan
pada saat itu Ngo-ok sudah menang-kap
Ang Bwee, gadis ke tiga. Gadis ini saking
takut dan ngerinya sudah berhasil
membebaskan diri dari totokan, maka kini
dia merontak-ronta dan melawan, menangis
sambil berusaha mencakar dengan kedua
tangannya. Akan tetapi Ngo-ok tidak peduli,
lalu membawa gadis itu ke tempat tadi,
diikuti oleh Su-ok dan dengan buas dia
merenggut dan merobek-robek pakaian Ang
Bwee, kemudian memperkosa gadis itu di
bawah penglihatan Su-ok yang tertawatawa
gembira. Ang-Bwee sempat
mengeluarkan jerit yang amat melengking
saking takut dan ngerinya, akan tetapi
selanjutnya dia tidak berdaya seperti dua
orang sucinya yang sudah rebah sambil
menangis dan dalam keadaan setengah
pingsan itu.
Choirul, maret 2008 101
Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh
Sim Hong Bu dan Sim Tek. Dua orang
paman dan keponakan yang mela-kukan
perjalanan mencari Yeti ini men-dengar
suara jerit aneh di tempat sunyi itu. Mereka
tadinya mengira bahwa jerit-jerit yang
mereka dengar terdahulu dan hanya
terdengar lapat-lapat itu adalah jerit dari
mahluk yang mereka buru, yaitu Yeti. Maka
mereka menuju ke tempat itu, di balik
puncak, dengan hati-hati agar mereka tidak
sampai bertemu begitu saja dengan mahluk
berbahaya itu. Mereka berindap-indap dan
mendekati tempat itu sambil berlindung.
Akan teta-pi jerit terakhir yang mereka
dengar, yaitu jerit yang keluar dari mulut
Ang Bwee, adalah jerit yang jelas dapat
mereka kenal sebagai jerit yang keluar dari
seorang wanita yang mungkin berada
dalam keadaan ketakutan hebat. Maka kini
keduanya berlari-lari menuju ke arah
datangnya suara. Mereka mendengar
sua-ra orang tertawa-tawa di balik
tumpuk-kan salju dan jerit wanita tadi tidak
terdengar lagi. Maka keduanya lalu
me-loncat dan menuju ke balik tumpukan
salju.
Apa yang mereka saksikan membuat kedua
orang pemburu ini berdiri terpukau dengan
mata terbelalak dan sejenak me-reka
seperti berobah menjadi patung. Kemudian
wajah mereka menjadi merah sekali,
terutama sekali Sim Hong Bu. Mereka
melihat seorang kakek tinggi kurus sedang
memperkosa seorang gadis yang bergerak
meronta lemah, sedangkan seorang kakek
lain berpakaian hwesio dan berkepala
gundul sedang menonton sambil tertawatawa
seolah-olah sedang menon-ton
pertunjukkan yang amat lucu dan
menyenangkan.
“Manusia hina-dina! Manusia iblis tak
berjantung!” Sim Hong Bu sudah memaki
dan dia meloncat ke depan sambil
men-cabut pedang dengan tangan kanan
dan tangan kiri memegang busurnya.
Niatnya untuk menerjang kakek yang
sedang memperkosa gadis itu, akan tetapi
tiba-tiba kakek gundul itu menggerakkan
ta-ngannya menampar dan angin dahsyat
menyambar ke arah Sim Hong Bu dan
membuat pemuda ini terjengkang dan
bergulingan.
“Ha-ha-ha-ha! Ada lagi yang bosan hidup!”
kata Su-ok ketika dia melihat Sim Tek yang
juga sudah tidak dapat bertahan
menyaksikan peristiwa yang terkutuk itu,
sudah menyerang pula de-ngan pedang di
tangan kanan dan busur di tangan kiri. Dia
maklum bahwa kakek gundul pendek itu
lihai bukan main, akan tetapi untuk
membela gadis yang diper-kosa itu, dia
tidak peduli apa pun dan bersedia untuk
mengorbankan nyawanya kalau perlu. Juga
Hong Bu sudah bangkit lagi dan membantu
pamannya menyerang. Akan tetapi tetap
saja mereka berdua tidak mampu
menyerang kakek jangkung yang sedang
memperkosa gadis itu, ka-rena kakek
pendek gundul selalu mengha-dang
mereka. Maka terpaksa mereka kini
menerjang kakek gundul dan terjadilah
perkelahian yang tidak seimbang. Apalagi
dikeroyok oleh dua orang pemburu paman
dan keponakan ini. Sedangkan
pengero-yokan dua orang berilmu tinggi
seperti Ban-kin-kwi Kwan Kok dan Hailiong-
ong Ciok Gu To pun berakhir dengan
kematian dua orang lihai itu! Kini de-ngan
enaknya Su-ok mempermainkan paman
dan keponakan itu. Dia hanya berdiri saja
sambil bertolak pinggang, sedikit pun tidak
bergerak, hanya kalau dua orang itu datang
menyerang, dia mendorong dengan tangan
kanan atau kiri dan dua orang itu sudah
terjengkang sebelum disehtuh oleh telapak
tangannya!
Melihat ini, Sim Tek marah sekali dan cepat
dia memasang anak panah pada busurnya.
Memang dia seorang pemburu yang pandai
dan terlatih, juga berpengalaman, maka
begitu dia mainkan anak panah pada
busurnya, dengan cepat sekali anak panah
menyambar bertubi-tubi ke arah Su-ok.
Melihat ini, Hong Bu juga meniru perbuatan
pamannya, akan tetapi dia tidak membidik
ke arah Su-ok, melainkan menujukan anakChoirul,
maret 2008 102
anak panahnya ke arah punggung dan
pinggul Ngo-ok yang telanjang!
Terjadilah hal-hal yang amat luar biasa. Suok
hanya menggerakkan kedua tangannya
dan semua anak panah yang dilepas oleh
Sim Tek itu kembali ke arah penyerangnya
dengan kecepatan jauh lebih laju lagi
daripada ketika anak-anak panah itu tadi
meluncur dari gendewa Sim Tek! Pemburu
ini terkejut dan ber-usaha mengelak, akan
tetapi sebatang anak panah yang ditangkap
oleh Su-ok dan dilontarkannya, seperti kilat
me-nyambar dan menembus dadanya!
Roboh-lah pemburu itu dengan dada
tertembus anak panah sampai ke punggung
dan tentu saja dia roboh dan tewas!
Anak-anak panah yang dilepas oleh Hong
Bu dengan tepat mengenai pung-gung dan
pinggul Si Jangkung, akan teta-pi anak
panah itu seperti mengenai tubuh dari baja
saja, semua terpental dan me-leset, tidak
ada sebatang pun yang mam-pu melukai
tubuh Ngo-ok! Dan sebelum Hong Bu dapat
memanah lagi, tahu-tahu tengkuknya telah
dipegang oleh Su-ok dan dia tidak mampu
bergerak lagi, hanya meronta-ronta di udara
dan me-maki-maki.
“Kalian membunuh Pamanku! Kalian Iblisiblis
terkutuk, kalian manusia-manu-sia
jahanam! Hayo, bunuh aku sekalian!”
teriaknya sambil kakinya
menendang-nendang.
“Su-ko, jangan bunuh bocah itu. Mu-lutnya
kotor, dia cocok untuk menjadi bujang kita.”
Ngo-ok berkata dan dia sudah bangkit
berdiri. Kemudian, di de-pan mata Hong Bu
yang terbelalak penuh kengerian, Ngo-ok
mencabuti kuku ibu jari tiga orang gadis
yang rebah diper-kosanya itu. Gadis-gadis
itu menjerit satu kali dan roboh pingsan.
Kemudian, setiap habis mencabut kedua
kuku ibu jari tangan, Ngo-ok melemparkan
tubuh itu dan dia sengaja membanting
secara keras sehingga kepala gadis yang
diban-tingnya itu menimpa batu dan pecah,
tewas seketika! Tiga orang gadis itu tewas
dalam keadaan yang amat menge-rikan dan
menyedihkan.
“Iblis kau! Bukan maanusia kau! Ter-kutuk
kau, menjadi intip neraka kelak, jahanam
busuk!” Sim Hong Bu memaki-maki dan
hampir dia pingsan saking ngeri
menyaksikan kekejaman yang belum
per-nah disaksikan sebelumnya, bahkan
belum pernah dia mendengar atau mimpi
ten-tang kekejaman sehebat itu!
“Uhh, mulutmu benar busuk! Kau sungguh
pandai memaki, bagus sekali!” Su-ok tidak
marah bahkan memuji-muji! Tentu saja
Hong Bu tidak sudi dipuji dan dia memakimaki
makin hebat.
“Anjing kau, babi kau! Kalian buas dan keji,
melebihi binatang, melebihi iblis!”
“Hemm, suruh dia diam, Su-ko. Biar-pun dia
pandai bernyanyi, akan tetapi lama-lama
bosan juga.” kata Ngo-ok. “Atau biar
kurobek saja perutnya dan kita lihat isi perut
anak yang begini berani?”
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Ngo-te. Di tempat
seperti ini kita butuh pembantu, dan anak ini
mempunyai bakat yang baik sekali untuk
menjadi seorang tokoh kita kelak. Lihat,
keberaniannya menonjol, dan mulutnya pun
cukup busuk. Kalau kelak tindakannya
sebusuk mulutnya, wah, dia bisa
menandingi kita.”
“Jahanam keparat, siapa sudi ikut kalian?
Hayo bunuhlah aku, keparat. Kaukira aku
pengecut takut mati? Mau merobek perutku,
robeklah, siksalah, kalian memang anjinganjing
serigala yang buas. Lihat saja, kalau
ada Pende-kar Siluman Kecil di sini, kepala
kalian tentu akan dihancurkan!”
Saking marahnya dan karena merasa tidak
berdaya melihat orang-orang ini berbuat
kejam, dia teringat kepada pen-dekar yang
dikaguminya itu dan menye-but namanya.
Akan tetapi, dua orang tokoh sesat itu
terkejut bukan main, wajah mereka berobah
Choirul, maret 2008 103
dan mereka me-mandang ke kanan kiri,
seperti orang ketakutan!
“Di mana Pendekar Siluman Kecil?” bentak
Ngo-ok yang biasanya pendiam dan tenang
itu, kini kelihatan beringas dan gentar.
Hong Bu adalah seorang anak yang cerdik
sekali. Melihat perubahan pada wajah
kedua orang manusia iblis ini, tahulah dia
bahwa nama pendekar yang dijunjungnya
itu kiranya juga sudah dike-nal oleh mereka
ini dan mereka kelihat-an gentar terhadap
pendekar itu, maka dia lalu tertawa.
“Kalian masih bertanya lagi? Kalian tentu
tahu sendiri kalau sudah mengenal beliau
bahwa beliau adalah malaekat yang bisa
menghancurkan iblis-iblis ma-cam kalian
dan dapat muncul sewaktu-waktu!”
“Kau ingin mampus!” Ngo-ok meng-hantam
ke arah kepala Hong Bu dan anak ini tanpa
berkedip menanti datang-nya maut.
“Plakk!” tangan Ngo-ok itu ditangkis oleh
Su-ok.
“Eh, kau mengapa, Su-ko?” Ngo-ok
mendengus marah.
“Bodoh, anak ini agaknya mengenal dia dan
kalau benar dia muncul, kita dapat
mempergunakan dia sebagai sande-ra,
tolol!”
Hong Bu juga segera mengerti per-soalan
ini dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
kiranya kalian ini hanya garang kalau
menghadapi orang lemah saja. Se-kali
mendengar nama Pendekar Siluman Kecil,
kalian terkencing-kencing dan terkentutkentut
ketakutan dan menggu-nakan akal
licik dan curang untuk meng-gunakan aku
sebagai sandera. Ha-ha-ha lihat siapa di
sana itu?” Tiba-tiba dia menuding ke kanan.
Dua orang itu terke-jut bukan main, cepat
menoleh ke kanan akan tetapi di situ tidak
ada siapa-siapa.
“Oho, siapa itu di sana?” Kembali Hong Bu
menuding ke kiri, dan secepat itu, pula
kedua orang itu menengok ke kiri, sikap
mereka jelas membayangkan ketakutan
sehingga Hong Bu mentertawa-kan mereka.
“Bocah ini mempermainkan kita!” Ngo-ok
mengomel.
“Sudah kukatakan dia berbakat untuk
menjadi tokoh golongan kita.” kata Su-ok.
“Mari kita pergi!” Dia lalu melompat sambil
tetap mencengkeram tengkuk Hong Bu,
diikuti oleh Ngo-ok.
“Eh, kalian tidak tahu? Didepan situ, lihat
siapa yang menanti kalian!” kata pula Hong
Bu yang sengaja hendak mem-permainkan
mereka. Dia tidak berdaya, tidak mampu
melawan, tidak mampu membalas, maka
dia hanya dapat mem-balas mereka dengan
menakut-nakuti mereka saja.
“Bocah tolol, kamu kira dapat mena-kutnakuti....”
Tiba-tiba ucapan Ngo-ok ini terhenti dan dia
berdiri seperti patung, juga Su-ok
mengeluarkan seruan kaget. Bahkan Hong
Bu sendiri juga terkejut setengah mati ketika
pada saat itu terdengar sua-ra geraman
yang luar biasa dahsyatnya, suara geraman
yang membuat salju ber-hamburan dan
tanah yang mereka injak berguncang! Dan
di depan mereka telah berdiri seekor
mahluk yang mengerikan dan menakutkan
sekali. Tingginya luar biasa sekali, sama
dengan tingginya Ngo-ok yang sudah terlalu
luar biasa itu, akan tetapi kalau Ngo-ok kecil
kurus, mahluk itu sebaliknya tinggi besar,
lebih besar daripada Su-ok yang gendut.
Otomatis Su-ok melepaskan Hong Bu
karena dia harus bersiap siaga
mengha-dapi mahluk ini yang mereka
sudah dapat menduganya karena selama
beberapa pekan ini mereka sudah
mendengar ten-tang mahluk ini. Yeti!
Sepasang mata mahluk itu kemerahan dan
liar, beringas seperti sedang marah sekali.
Sebatang pedang menancap di paha
Choirul, maret 2008 104
kanannya dan dia berdiri agak
membungkuk, agaknya siap untuk
menyerang!
“Yeti....!” Sim Hong Bu merangkak ke
samping, lalu terduduk dengan kedua kaki
lemas karena tegang dan ngerinya. Dia
belum pernah merasa takut, walaupun di
dalam perburuan semenjak dia kecil,
banyak sudah dia menghadapi bahaya
maut dan menghadapi binatang-binatang
buas yang kuat dan liar. Akan tetapi belum
perah dia bertemu dengan mahluk seperti
ini! Tidak seperti binatang buas lain, juga
jauh daripada manusia liar, melainkan lebih
dekat dengan ujud dari setan neraka
sendiri! Ah, sayang paman-nya telah tewas.
Kalau ada pamannya di situ, tentu
pamannya itu akan terpesona dan hatinya
dipenuhi kebanggaan. Ke-banggaan
seorang pemburu yang menjadi pemburu
pertama yang berhadapan dengan Yeti,
mahluk yang selama ini hanya ter-dapat
dalam dongeng belaka!
Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok sudah
bersiap siap. Sebagai ahli-ahli ilmu silat
tinggi, mereka tidak mau mendahului
karena mereka sudah men-dengar betapa
tangguhnya dan berbahayanya mahluk ini.
Banyak sudah tersiar berita betapa orangorang
kang-ouw yang pandai-pandai
menjadi korban Yeti ini. Hal itu mereka tidak
pedulikan, karena sesungguhnya bukan
hanya Yeti yang membunuh mereka.
Banyak pula yang mati di tangan Im-kan
Ngo-ok! Memang, mereka ini membunuhi
banyak orang kang-ouw, terutama dari
pihak kaum bersih, agar mengurangi
saingan dalam memperebutkan pedang
pusaka yang ter-kenal itu. Dan kini, melihat
sebatang pedang menancap di paha Yeti,
timbullah niat mereka untuk merobohkan
mahluk Ini. Dua pasang mata yang tajam itu
mengenal pedang yang baik, dan bukan
tidak boleh jadi bahwa pedang itulah yang
sedang diperebutkan orang-orang kangouw.
Pedang itulah yang bernama Koailiong-
pokiam! Akan tetapi bagaima-na
pedang yang diperebutkan oleh semua
orang kang-ouw itu menancap di paha Yeti?
Su-ok dan Ngo-ok tidak mempedu-likan hal
ini. Yang penting bagi mereka adalah
merobohkan Yeti dan merampas pedang
itu. Dan sekali Yeti terluka oleh pedang itu,
agaknya tidak akan sukar bagi mereka
untuk menundukkannya. Se-lama ini semua
orang yang bertemu de-ngan Yeti tentu
mati, maka tidak ada seorang pun yang
pernah bercerita tentang pedang yang
menancap di paha Yeti. Kalaupun ada yang
melihatnya, agaknya juga tidak akan mau
membuka rahasia ini kepada orang lain!
“Ngo-te, siap, kau di belakangnya. Hati-hati,
dia nampak kuat, pergunakan semua
pukulan mematikan!” kata Su-ok.
Akan tetapi Ngo-ok adalah seorang yang
sombong dan terlalu mengagulkan
kepandaiannya sendiri. Dia memandang
rendah mahluk ini. Hanya binatang buas
yang agak besar, apanya yang berbahaya,
pikirnya.
“Mampuslah....!” bentaknya dan tiba-tiba dia
sudah menerjang dari samping, lengannya
yang panjang itu terulur dan dengan
pengerahan sin-kang yang amat dahsyat
tangan itu menghantam ke arah kepala
mahluk itu dari atas ke arah ubun-ubun
yang dianggap tempat yang lemah dan
agaknya Ngo-ok ini hendak merobohkan
mahluk itu dengan sekali pukul saja maka
dia mengerahkan seluruh tenaganya.
Melihat Si Jangkung ini sudah menyerang,
Su-ok juga membarengi de-ngan pukulan
dahysat, Katak Buduk yang dilakukan
sambil berjongkok, menghantam ke arah
perut mahluk itu.
Serangan orang ke empat dan ke lima dari
Im-kan Ngo-ok itu dahsyat bukan main dan
seorang ahli silat yang jagoan sekalipun
kiranya tidak akan begitu mu-dah untuk
menghindarkan diri dari se-ranganserangan
yang hebat itu. Mahluk yang
disebut Yeti itu mengeluarkan ge-rengan
dahsyat sekali, seolah-olah tidak tahu
bahwa dirinya diserang oleh pukulan
pukulan maut dan tanpa mempedulikan
serangan lawan, kedua lengannya yang
Choirul, maret 2008 105
besar panjang berbulu itu sudah
men-cengkeram ke arah dua orang lawan
yang menyerangnya. Jadi seranganserangan
lawan itu dibalasnya dengan
serangan pula dari jari-jari tangan yang
berkuku panjang dan runcing tajam
melengkung itu!
“Dess! Bukkk!” Hantaman Ngo-ok pada
kepala dan hantaman Su-ok pada perut itu
tepat mengenai sasaran, akan tetapi seperti
menghantam bola karet saja karena kedua
pukulan dahsyat itu mem-balik begitu
menyentuh tubuh Yeti! Kiranya Yeti itu
memiliki kekebalan yang sungguh luar biasa
dan selamanya belum pernah dilihat oleh
dua orang datuk kaum sesat itu. Dan pada
saat itu, kedua tangan Yeti sudah
menyambar ke arah leher mereka dengan
cepat dan kuatnya!
Dua orang datuk kaum sesat itu ber-seru
keras dan melempar tubuh ke bela-kang,
akan tetapi angin sambaran tangan itu
menyambar dan membuat mereka merasa
leher mereka perih seperti dise-rempet
pedang tajam! Kagetlah kedua orang datuk
itu dan mereka tahu bah-wa Yeti itu ternyata
bukan lawan sem-barangan, melainkan
mahluk yang memiliki kekebalan sukar
dipercaya. Maka mereka berhati-hati dan
kini Ngo-ok mengeluarkan suara
mendengus dan tu-buhnya sudah berjungkir
balik, sedangkan Su-ok sudah
mengumpulkan kekuatannya dan
bergulingan seperti seekor trenggiling!
Yeti menggereng-gereng dan berdiri agak
membungkuk, kedua tangan diangkat
seperti sikap seekor biruang, dengan
ge-rakan kepala dan lirikan matanya yang
merah itu dia mengikuti gerakan aneh dari
dua orang pengeroyoknya itu. Yang
seorang berjungkir balik dan berloncatan
dengan kepala menjadi kaki sehingga
terdengar suara dak-duk-dak-duk
sedangkan yang seorang lagi bergulingan
seperti trenggiling atau seperti seorang
anak kecil yang rewel! Tiba-tiba Ngo-ok
mendengus lagi dan tubuhnya menyambar
ke depan, mulailah dia menyerang dengan
kedua kakinya, dengan ujung kaki dia
menotok ke arah jalan darah di leher dan
sebelah kaki lagi menusuk ke mata Yeti itu!
Sedangkan dari arah lain Su-ok yang
tadinya bergulingan itu kini telah berjongkok
serendahnya sehingga perut gendutnya
mengenai tanah, sikap-nya seperti seekor
kodok tulen, dan dari bawah itu dia
mengeluarkan pukulan yang ampuh dengan
pengerahan seluruh tenaga sehingga
tercium bau amis bukan main ketika
terdengar suara mencicit diikuti angin
berdesir dari kedua telapak ta-ngannya,
menghantam ke arah Yeti.
Agaknya Yeti itu pun tahu bahwa dua orang
lawannya ini adalah orang pandai, dan
mungkin pengetahuannya ini timbul ketika
dia merasakan hantaman mereka yang
pertama tadi, yang biarpun dapat
diterimanya dengan kekebalan yang luar
biasa, namun agaknya juga terasa
oleh-nya. Pukulan kaki Ngo-ok ke arah
leher dan mata datang lebih dulu dari
serangan Su-ok. Yeti itu tiba-tiba miringkan
tubuh atas sehingga totokan itu luput dan
de-ngan cepat dia menyambar dengan
tangan-nya. Gerakannya itu cepat bukan
main dan tahu-tahu sebelah kaki Ngo-ok
telah dapat dicengkeramnya! Ngo-ok
terkejut bukan main, mengerahkan tenaga
dan meronta. Pada saat itu, pukulan Su-ok
telah tiba dan menghantam dada Yeti.
“Desss!” Sekali ini karena Yeti itu membagi
tenaganya untuk menangkap kaki Ngo-ok
dan Su-ok memukul dengan pe-ngerahan
seluruh tenaga, maka Yeti menggereng,
pegangannya terlepas dan dia terlempar ke
belakang, lalu jatuh terbanting. Akan tetapi
hal ini membuat-nya semakin marah dan
agaknya dia hanya nanar sedikit saja, lalu
dia meloncat dan menubruk ke arah Su-ok!
Bukan main kagetnya orang pendek gendut
ini ketika merasa betapa tubrukan ini
me-ngandung tenaga sedikitnya seribu kati.
Dia melempar tubuh ke belakang dan
bergulingan sehingga terhindar dari
tu-brukan itu. Sebaliknya, yang kena
ditu-bruk adalah sebuah batu besar
terbungkus salju dan terdengar suara keras
Choirul, maret 2008 106
ketika batu itu pecah berhamburan
mencelat ke sana-sini! Su-ok bergidik juga
menyaksi-kan kedahsyatan Yeti itu. Kini dia
dan terutama sekali Ngo-ok tidak berani
main-main lagi. Mereka berdua lalu
me-nerjang dari depan belakang,
mengeluar-kan semua ilmu kepandaian
mereka, mengandalkan kegesitan dan
secara ber-tubi-tubi akan tetapi hati-hati
mereka menyerang dengan pukulanpukulan
sakti.
Yeti itu agaknya juga berhati-hati kini. Dan
mulailah dia menggerak-gerak kan kedua
tangannya dan sungguh aneh sekali,
gerakan-gerakannya itu biarpun kelihatan
kaku dan lucu, namun ternyata
mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi,
juga demikian pula gerakan dan loncatan
kedua kakinya sambil terpincang-pincang
sehingga terjadilah pertempuran yang amat
hebat.
Melihat ini, Sim Hong Bu yang sejak tadi
merasa kasihan kepada Yeti yang kakinya
sudah tertusuk pedang itu, me-maki-maki
dua orang datuk kaum sesat itu, “Kalian
berdua kakek tua bangka yang jahat!
Manusia berwatak iblis! Yeti itu sudah
terluka pedang, dan kalian masih
mendesaknya. Sungguh tidak tahu malu
sama sekali! Kalian lebih buas dan liar
daripada binatang! Tak tahu malu!
Pengecut, beraninya mengeroyok dua
seekor binatang yang sudah terluka pula.
Cih, tak tahu malu!”
Dan untuk melampiaskan kedongkolan
hatinya, Sim Hong Bu mencari batu-batu
sebesar kepalan tangan dan mulailah dia
menyambiti dua orang kakek yang
me-ngeroyok Yeti itu! Tentu saja sambitansambitan
itu tidak ada artinya bagi Su-ok
dan Ngo-ok, akan tetapi mereka tidak dapat
melayani Hong Bu dan tidak mem-pedulikan
anak itu karena mereka sendiri terdesak
hebat oleh Yeti!
Memang hebat sekali mahluk itu. Setiap kali
dua orang datuk itu beradu lengan atau kaki
Ngo-ok bertemu dengan lengan yang
berbulu itu, mereka berdua merasa betapa
tubuh mereka tergetar hebat. Diam-diam
mereka merasa heran dan juga terkejut,
karena mereka tahu bahwa Yeti itu bukan
hanya mempergu-nakan tenaga kasar atau
tenaga otot seperti binatang-binatang buas
pada umumnya, melainkan tenaga sin-kang
yang luar biasa kuatnya! Sungguh sukar
dapat dimengerti bagaimana mungkin
mahluk yang seperti binatang buas ini dapat
menghimpun sin-kang yang sedemi-kian
kuatnya! Dua orang datuk itu telah merasa
lelah dan seluruh tubuh sakit-sakit, juga pipi
Su-ok telah berdarah terkena cakar,
sedangkan telinga kiri Ngo-ok pecah-pecah
terkena sambaran pukulannya! Mereka
kewalahan sekali dan akhirnya dengan
marah Su-ok berkata. “Ngo-te, mari satukan
tenaga dan serang dia!”
Ngo-ok yang juga merasa penasaran sekali,
lalu meloncat ke dekat Su-ok. Memang
mereka merasa penasaran. Masa mereka,
dua orang di antara Im-kan Ngo-ok yang
menggetarkan dunia persi-latan, kini harus
mengaku kalah terhadap seekor binatang,
padahal mereka maju bersama? Hal ini
kalau sampai diketahui dunia kang-ouw,
bukankah nama mereka akan runtuh dan
terseret ke dalam lum-pur?
Su-ok kini berjongkok mengerahkan tenaga
Katak Buduk, sedangkan Ngo-ok juga
mengerahkan tenaganya, kemudian dengan
berbareng mereka menghantamkan kedua
tangan mereka dengan tangan ter-buka ke
arah Yeti yang menerjang maju. Angin yang
dahsyat sekali menyambar ke depan, dan
inilah pukulan jarak jauh yang disertai
penggabungan tenaga sin-kang oleh kedua
orang datuk kaum sesat itu. Agaknya Yeti
itu pun maklum akan hal ini, maka sambil
menggereng, ge-rengan yang
menggetarkan jantung dua orang lawannya
dia pun mendorongkan kedua tangannya ke
arah mereka! Ter-jadilah adu tenaga yang
amat hebat di tengah udara yang dingin itu
dan akibat-nya, Yeti itu terhuyung ke
belakang akan tetapi dua orang datuk kaum
sesat itu terlempar ke belakang seperti dua
buah layang-layang putus talinya! Akhirnya
Choirul, maret 2008 107
mereka terbanting ke atas salju dan
ke-duanya mengeluh panjang, lalu
merangkak bangun, menoleh ke arah Yeti
dengan muka pucat dan melihat Yeti masih
berdiri dengan tubuh agak membungkuk
mata merah penuh kemarahan itu,
ke-duanya lalu lari tunggang-langgang! Adu
tenaga yang terakhir itu meyakinkan hati
mereka berdua bahwa mereka sungguh
kalah kuat dan kalau dilanjutkan
pertem-puran itu, agaknya mereka akhirnya
akan kalah.
Yeti itu tidak mengejar, dan setelah dua
orang lawan yang tangguh itu le-nyap, dia
jatuh terduduk! Yeti itu me-ngeluarkan
suara merintih-rintih dan kedua tangannya
memijit-mijit pahanya yang tertusuk pedang.
Sim Hong Bu yang masih duduk di atas
batu itu memandang de-ngan bengong. Dia
melihat Yeti itu me-rintih dan dari kedua
mata yang merah itu turun beberapa tetes
air mata! Yeti itu menangis!
Tadi Hong Bu merasa kagum bukan main
menyaksikan sepak terjang Yeti. Sungguh
di luar dugaannya bahwa dua orang
manusia iblis yang luar biasa lihai-nya itu
bukan hanya tidak mampu me-nandingi
Yeti, bahkan mereka terdesak hebat dan
kemudian mereka bahkan lari tunggang
langgang. Ingin rasanya dia bersorak-sorai
dan bertepuk tangan me-nyaksikan
kesudahan dari, perkelahian yang seru dan
dahsyat itu karena me-mang di dalam
hatinya dia menjagoi dan berpihak kepada
Yeti. Akan tetapi kini melihat Yeti ini
merintih-rintih, bahkan menangis, timbul
rasa kasihan yang men-dalam di hatinya.
Dia sendiri tidak perlu melarikan diri, karena
merasa percuma saja. Mana mungkin
melarikan diri dari mahluk yang amat
dahsyat itu? Sekali loncat saja Yeti itu akan
dapat menang-kapnya, karena itulah maka
tadi dia pasrah saja. Akan tetapi Yeti itu
tidak mengganggunya, menengok puh
tidak, bahkan kini merintih-rintih, memijati
kakinya yang tertusuk pedang dan
me-nangis.
“Ah, Yeti itu sesungguhnya tidak jahat!” Kini
Hong Bu teringat bahwa tadi pun bukan Yeti
itu yang lebih dulu me-nyerang dua orang
datuk sesat itu, me-lainkan mereka yang
lebih dulu menye-rang, barulah Yeti
bergerak melawan. Makin kasihanlah rasa
hatinya. Luka itu hebat, dan kalau dibiarkan
tentu akan membengkak dan membusuk.
Sebagai seorang pemburu, tentu saja di
dalam saku baju Hong Bu tersimpan obatobat,
terutama sekali obat luka, obat untuk
melawan racun dan gigitan binatang
ber-bisa. Bagaimanapun juga, tadi dia telah
terjatuh ke dalam tangan dua orang ka-kek
iblis yang telah membunuh pamannya itu,
dan tipislah harapannya untuk dapat
selamat di tangan mereka itu. Kini dia
terbebas dan hal ini tak dapat disangkal lagi
adalah karena pertolongan Yeti ini. Maka,
akan malulah dia kalau sekarang tidak
membalas budi selagi Yeti itu da-lam
keadaan yang demikian sengsara! Maka
Hong Bu lalu bangkit berdiri, per-lahanlahan
dia melangkah menghampiri Yeti
yang masih duduk di atas salju me-mijit-mijit
kaki atau paha kanannya itu. Luka yang
tertusuk pedang itu kini mengeluarkan
darah yang agak kehitaman. “Ah, dia
keracunan, pikir Hong Bu. Harus cepat
diberi obat.”
Ketika Hong Bu sudah tiba dekat di depan
Yeti itu, tiba-tiba Yeti itu meng-angkat
kepalanya, sepasang mata merah itu
memandang, mata yang masih basah oleh
air mata dan tiba-tiba Yeti itu menggereng
dengan geram. Hong Bu ter-kejut sekali,
akan tetapi anak ini sudah bertekad untuk
menolong mahluk itu, maka dia menuding
ke arah paha Yeti sambil berkata. “Yeti....
aku.... aku hanya ingin membantumu,
mengobati luka di pahamu itu.”
Yeti itu masih menggereng-gereng, tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi seolah-olah
hendak menghantam. Akan tetapi Hong Bu
yang sudah nekat itu memandang dengan
sepasang matanya yang jernih, terang dan
tajam, sedikit pun tidak merasa takut. Dia
sudah me-lampaui rasa takut kaeena
maklum bahwa melawan atau tidak, lari
Choirul, maret 2008 108
atau tidak, kalau Yeti itu menghendaki, dia
tentu akan mudah dibunuhnya!
“Aku mempunyai obat untuk luka, dan
lukamu itu sudah keracunan. Biarlah aku
merawatmu dan mengobatimu untuk
membalas budimu telah membebaskan aku
dari dua orang jahat tadi.” Hong Bu
menuding ke arah larinya dua orang ka-kek
iblis tadi, kemudian dia mengeluar-kan
bungkusan obat dari dalam saku jubahnya
sebelah dalam. Yeti itu masih menggerenggereng,
akan tetapi hanya perlahan saja
dan kelihatannya tidak ma-rah lagi,
sungguhpun masih nampak curi-ga. Ketika
Hong Bu mendekati dan ber-lutut di
depannya, dia memandang dengan
matanya yang merah basah, kemu-dian dia
mengangguk-angguk!
Girang bukan main hati Hong Bu, Yeti ini
bukan hanya pandai berkelahi dan amat
tangguh melebihi ahli-ahli silat kelas tinggi,
akan tetapi juga dapat mengerti katakatanya
agaknya. Buktinya dia
mengangguk-angguk!
Hong Bu menyentuh paha itu dan
me-meriksa. Luka itu memang sudah agak
membengkak, akan tetapi baiknya ketika
dipakai berkelahi tadi, lukanya pecah
se-hingga darah hitam keluar. Tidak ada
lain jalan, pedang itu harus dicabut lebih
dulu, baru mungkin mengobati luka yang
menembus paha itu! Dan Yeti itu perlu
diberi minum pel pencuci darah dengan
segera! Akan tetapi, mana mungkin
men-cabut pedang itu selagi Yeti dalam
ke-adaan sadar? Pencabutan pedang itu
akan mendatangkan rasa nyeri yang luar
biasa dan kalau hal ini dilakukan, tentu Yeti
akan marah dan mungkin salah sangka,
mengira dia menyakitinya dan tentu akan
membunuhnya sebelum pedang tercabut
semua! Serba sulit, pikirnya. Akan tetapi
Hong Bu yang sejak kecil seolah-olah
sudah belajar hidup sendiri dan
mengha-dapi sendiri segala macam
kesulitan dan bahaya itu telah memiliki
kecerdikan luar biasa. Di antara obatnya
terdapat bubukan obat bius, yaitu yang
kadang--kadang perlu dipergunakan oleh
para pemburu yang ingin menangkap
binatang buas, hidup-hidup memenuhi
pesanan lang-ganan, untuk menjebak
harimau-harimau atau biruang-biruang atau
sebangsa bina-tang buas dan kuat lainnya,
kemudian membius binatang itu agar
pingsan sehing-ga mudah diikat atau
dimasukkan kerang-keng dan ditangkap
hidup-hidup.
“Yeti, engkau keracunan, harus makan obat
ini. Maukah?” Hong Bu mengeluar-kan
sebungkus obat bubuk dan
memperli-hatkannya kepada Yeti. Obat
bubuk itu adalah obat bius yang biasanya
dicampur dengan daging atau makanan lain
untuk diberikan sebagai umpan kepada
binatang buas yang akan ditangkap.
Kembali Yeti itu mengangguk-angguk.
Giranglah hati Hong Bu. Dengan se-buah
cawan yang selalu dibawanya, dia
mencampur obat bubuk itu dengan salju.
Biasanya, seekor harimau cukup diberi
seperempat bungkus saja. Akan tetapi dia
tahu bahwa Yeti ini amat kuat, jauh lebih
kuat daripada seekor binatang yang
bagaimana besar pun, maka dia menaruh
seluruh isi bungkusan itu ke dalam cawan
dan mencampurnya dengan salju. Tentu
saja tidak bisa mencair seperti air dan Hong
Bu menjadi bingung. “Ah, di mana bisa
mendapatkan air di tempat yang se-muanya
serba beku ini?”
Gerakan mulut Yeti itu mengeluarkan suara
ah-ah-uh-uh aneh, kemudian sekali sambar,
cawan itu sudah pindah tangan. Hong Bu
terkejut sekali. “Yeti, engkau harus
meminumnya!” katanya. Mahluk itu
memandang sebentar ke arah cawan,
dalam beberapa detik dia tidak bergerak
dan Hong Bu terbelalak melihat betapa
cawan itu mengepulkan uap dan salju di
dalamnya menjadi cair seolah-olah cawan
itu ditaruh di atas api! Kemudian sekali
tenggak isi cawan itu pun lenyaplah
me-masuki perut Yeti melalui mulutnya!
Choirul, maret 2008 109
Yeti mengembalikan cawan kepada Hong
Bu yang menjadi girang bukan ma-in. Dia
masih terheran-heran bagaimana cawan itu
dapat mengepulkan uap dari salju itu dapat
mencair. Keluarganya yang semua
merupakan ahli-ahli silat belum mencapai
tingkat setinggi itu sehingga melihat hal itu
seperti sulapan saja.
“Yeti yang baik, engkau memang cer-dik
sekali. Nah, percayalah, Hong Bu akan
menolongmu, akan menyelamatkan
nya-wamu seperti engkau telah
menyelamat-kan nyawaku tadi!”
Hong Bu lalu mengelus-elus paha itu.
Agaknya Yeti itu merasa keenakan dan dia
diam saja, kemudian dia menguap seperti
orang diserang kantuk! Hong Bu kembali
terheran-heran. Mahluk ini me-mang mirip
manusia, bisa menguap sega-la kalau
mengantuk, dan dia tahu bahwa obat bius
itu sudah mulai bekerja. Maka sambil
mengelus-elus paha itu dia berka-ta halus,
“Yeti, kau tidurlah kalau telah dan
mengantuk. Biar aku menjagamu di sini.
Tidurlah!” Dengan lembut dia men-dorong
dada Yeti itu disuruhnya berba-ring. Yeti itu
agaknya mengerti karena dia lalu
merebahkan diri miring, berban-tal
lengannya yang besar dan tak lama
kemudian dia pun sudah tidur atau ping-san
karena pengaruh obat bius!
Hong Bu lalu mengeluarkan
perleng-kapannya dari dalam saku-saku
jubahnya. Dia membuat api, hal yang amat
sukar akan tetapi akhirnya dia berhasil juga
dan menggodok obat-obat luka dan obatobat
minum. Setelah itu, barulah dia
mencoba untuk mencabut pedang itu dari
paha Yeti. Agaknya pedang itu terselip
antara tulang dan otot, sukar sekali
di-cabutnya biar dia sudah mengerahkan
se-luruh tenaganya. Tiba-tiba Yeti
mengeluarkan suara dan terkejutlah Hong
Bu, mengira mahluk itu sadar! Akan tetapi
ternyata tidak dan agaknya rasa nyeri
membuat Yeti mengigau dalam tidur atau
pingsannya.
Hong Bu mengerahkan tenaganya lagi. Dia
menginjakkan kaki kirinya pada paha Yeti
itu, dan kedua tangannya memegang
gagang pedang lalu menarik. Dia mena-han
napas, mengerahkan tenaga sampai
mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dan
akhirnya pedang itu mulai dapat ditarik!
Begitu bergerak, maka sekali dia
menge-rahkan tenaga, pedang itu tertarik
keluar dan dia pun jatuh terjengkang! Bukan
main girangnya. Akan tetapi matanya silau
melihat pedang itu yang berkilauan. Pedang
hebat, pikirnya, dan dengan hati-hati dia
meletakkan pedang itu di dekat tubuh Yeti.
Darah mengalir keluar dari depan dan
belakang paha, darah yang agak
menghitam. Hong Bu memijit-mijit paha itu.
Akan tetapi paha itu terlalu besar dan keras
sehingga akhirnya dia menggunakan kedua
kakinya, menginjak-injak paha itu dan
mengenjot-enjotnya agar darah dapat
keluar dari dua lubang luka di depan dan
belakang paha. Usaha-nya ini berhasil dan
lebih banyak darah hitam lagi keluar. Lalu
darah pun berhenti dan betapa pun dia
mengusahakan, tidak ada lagi darah yang
keluar. Terpaksa dia lalu menaruh obat-obat
luka di kedua luka itu sampai penuh, dan
dibalutnya paha itu kuat-kuat dengan
robekan kain ikat ping-gangnya. Setelah
selesai, puaslah hatinya. Kini dia tinggal
menanti Yeti itu sadar dan akan diberinya
minum obat pencuci pada darah yang telah
digodoknya itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara di
be-lakangnya. Cepat Hong Bu menoleh dan
dilihatnya seorang tosu yang usianya
setengah tua, berwajah tampan dan ga-gah,
tubuhnya tinggi tegap, kedua ta-ngannya
memegang sepasang pedang, sudah berdiri
di situ sambil memandang dengan penuh
perhatian ke arah Yeti yang sedang tidur
atau pingsan. Tosu ini bukan lain adalah
Hui-siang-kiam Ciok Kam, tosu dari Kunlun-
san itu, yang pernah bertemu dengan
Yeti bersama dua orang temannya, yaitu
Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah
tewas oleh Yeti. Hanya kebetulan saja tosu
ini lolos dari maut, dan dia merasa sakit
Choirul, maret 2008 110
hati, terus mencari jejak Yeti dan akhirnya
tibalah dia di tempat ini, melihat Yeti sedang
tidur atau pingsan dan seorang anak lakilaki
tanggung duduk di dekat tubuh Yeti
yang rebah miring!
Hampir dia tidak percaya akan apa yang
dilihatnya. Bagaimana ada seorang pemuda
tanggung yang berani duduk di dekat Yeti
dan tidak apa-apa lagi? Akan tetapi
perhatiannya segera tertuju kepada
sebatang pedang di dekat tubuh Yeti itu,
pedang yang berkilauan indah dan
di-kenalnya sebagai pedang yang dulu
me-nancap di paha Yeti yang kini dibalut
kain putih! Itulah pedang yang dicari-cari
oleh semua orang. Tak salah lagi! Jelas
bahwa itu adalah sebatang pedang
keramat, pedang yang terbuat dari bahan
luar biasa, pedang pusaka. Kembali dia
mengerling ke arah wajah Yeti yang masih
tidur, hatinya berdebar tegang.
“Dia.... dia kenapa....?” Akhirnya dia
bertanya kepada Hong Bu karena dia masih
ragu-ragu untuk bergerak. Siapa tahu kalaukalau
Yeti itu hanya tidur dan akan bangkit
kalau diganggu, dan dia maklum bahwa dia
tidak akan mampu menandingi Yeti itu.
Hong Bu tentu saja tidak tahu bahwa tosu
yang datang ini mengandung sakit hati yang
besar terhadap Yeti dan ber-maksud
membunuhnya, maka dia lalu menjawab.
“Dia sedang tidur, pengaruh obat bius.
Sekarang pedang itu telah kucabut dan
lukanya telah kuobati.”
Mendengar ini, bukan main girangnya hati
Hui-siang-kiam Ciok Kam. “Bagus! Kalau
begitu tibalah saatnya aku mem-balas
dendam! Minggirlah, orang muda, biar
kubunuh mahluk iblis kejam ini!”
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati
Hong Bu mendengar kata-kata itu dan
melihat sikap tosu itu yang sudah
melangkah maju dan mengangkat
pedang-nya. “Eh, Totiang.... eh, jangan!
Apa yang hendak kaulakukan itu!” teriaknya
sambil bangkit berdiri dan menghadang di
depan tosu itu.
“Pinto hendak membunuhnya!”
“Jangan, Totiang! Jangan.... dibunuh....!”
Hong Bu berkata dengan kaget dan
matanya terbelalak, kedua tangannya
diangkat dan digoyang-goyangkan.
“Engkau anak kecil tahu apa! Dua orang
sahabatku telah dibunuhnya secara kejam,
juga banyak sekali orang kang-ouw telah
dibunuhnya. Dia mahluk jahat sekali, kalau
tidak dibunuh tentu akan mendatangkan
banyak malapetaka.”
Hong Bu menjadi bingung sekali. Dia
memang tahu bahwa Yeti banyak
mem-bunuh orang, akan tetapi melihat
betapa Yeti itu baik kepadanya, dan melihat
pertempuran antara Yeti dengan dua orang
kakek iblis itu, dia dapat menduga bahwa
Yeti tentu membunuh siapa yang hendak
mengganggunya. Jadi Yeti ini seperti
hampir semua binatang buas yang
dikenalnya, hanya menjadi buas dan ga-nas
kalau diganggu yang merupakan naluri
untuk membela diri dan melindungi
keselamatannya. Akan tetapi kini Yeti masih
pulas, tentu takkan mampu mela-wan dan
akan mati kalau dia tidak membelanya.
Cepat disambarnya pedang yang tadi
menusuk paha Yeti dan dipe-gangnya eraterat.
Melihat bocah itu mengambil pedang, Huisiang-
kiam Ciok Kam berseru, “Minggir dan
serahkan pedang pusaka itu kepada pinto!”
Mendengar ini, Hong Bu memandang ke
arah pedang di tangannya. Pedang ini
ringan dan aneh, dan kalau semua orang
memusuhi Yeti, apakah bukan untuk
memperebutkan pedang ini? Dia pun
mendengar desas-desus tentang sebatang
pedang keramat yang kabarnya dicuri orang
dari kota raja dan dibawa ke Hi-malaya dan
kini orang-orang kang-ouw memenuhi
daerah ini hanya untuk men-cari pedang
Choirul, maret 2008 111
keramat itu. Inikah gerangan pedang yang
diperebutkan itu?
“Totiang, sesungguhnya.... Totiang hendak
membunuh Yeti ataukah hendak merampok
pedang ini....?”
Wajah Hui-siang-kiam Ciok Kam berobah
merah. Memang tak dapat di-sangkal pula,
yang mendorong dia mem-bayangi dan
mencari Yeti adalah pedang yang
menancap di paha Yeti itu, dan tentu saja
juga karena dia ingin memba-las kematian
dua orang sahabatnya.
“Pinto.... pinto.... wah, engkau anak kecil
banyak cerewet. Minggirlah biar kubunuh
dia!”
“Tidak! Engkau tidak boleh
membu-nuhnya!” Hong Bu berkata dengan
tegas dan berdiri melindungi tubuh Yeti
yang masih rebah miring.
“Hemm, bocah setan, engkau hendak
melindungi binatang buas seperti itu?” Huisiang-
kiam Ciok Kam mengeluarkan suara
melengking nyaring dan tubuhnya sudah
melayang ke atas, gerakannya ringan dan
cepat sekali dan dia bermak-sud untuk
melampaui Hong Bu dan me-nyerang ke
arah Yeti yang masih rebah.
Hong Bu terkejut bukan main me-nyaksikan
gerakan yang cepat itu dan tahu-tahu tosu
itu sudah melewati atas kepalanya. Dia
membalik dan melihat betapa tosu itu sudah
menusukkan kedua pedangnya ke arah
leher dan dada Yeti dengan kecepatan kilat.
“Jangan....!” Hong Bu memekik de-ngan
sekuatnya dan tubuhnya menubruk ke
depan, pedang di tangannya digerak-kan
untuk menangkis dua sinar pedang yang
menyerang Yeti itu. Terdengar suara
nyaring ketika sepasang pedang itu patahpatah
bertemu dengan pedang di tangan
Hong Bu, disusul jeritan tosu yang roboh
mandi darah bergulingan sampai beberapa
meter jauhnya, lalu diam tak bergerak lagi.
Hong Bu terbela-lak memandang ke arah
mayat tosu itu, kemudian kepada tangannya
sendiri yang memegang pedang. Dia cepat,
mengham-piri tosu itu dan dapat
dibayangkan be-tapa kagetnya ketika dia
melihat tosu itu telah tewas dengan dada
luka bercu-curan darah!
Terdengar suara gerengan dan ketika dia
menoleh, dia melihat Yeti itu sudah bangkit
duduk, lalu Yeti itu sekali lom-pat sudah tiba
di dekat mayat tosu itu dan melihat tosu itu
sudah tewas, Yeti lalu mengeluarkan suara
aneh seperti orang tertawa, dan sekali
menggerakkan tangan dia telah merampas
pedang dari tangan Hong Bu kemudian dia
memon-dong Hong Bu, diangkatnya tinggitinggi
dan dia menari-nari kegirangan
sambil terpincang-pincang. Kiranya Yeti itu
tadi telah sadar dan melihat betapa Hong
Bu membelanya dan merobohkan tosu yang
menyerangnya, maka dia girang bukan
main, apalagi melihat bahwa pedang sudah
dicabut dari pahanya dan pahanya sudah
diobati dan dibalut.
Yeti itu lalu meloncat jauh sekali. Hampir
Hong Bu berteriak karena mera-sa ngeri
ketika Yeti itu kini berlompatan dan berlari
dengan kecepatan yang luar biasa, melalui
tempat-tempat tinggi, melalui jurang-jurang
yang curam dan memasuki “dunia es” yang
amat aneh bagi Hong Bu. Tempat yang
dilalui oleh Yeti ini amatlah sukar dan tidak
mung-kin dilalui manusia dengan kecepatan
seperti itu, maka kadang-kadang Hong Bu
memejamkan mata karena merasa ngeri
kalau Yeti itu setengah berloncatan me-lalui
tebing-tebing yang curam sekali.
Yeti yang masih memondong tubuh Hong
Bu sambil membawa pedang itu terus
mendaki puncak Gunung Kongmaa La dan
di antara bongkahan-bongkahan es yang
besar dan batu-batu gunung raksasa Yeti
itu bergerak cepat. Dia tentu sudah hafal
akan tempat ini karena dia berge-rak di
antara batu-batu dan bukit-bukit salju dan
es itu dengan cepat tanpa ragu-ragu,
kemudian dia menyelinap an-tara dua buah
batu yang berhimpitan dengan miringkan
tubuhnya. Akan tetapi baru masuk lima
Choirul, maret 2008 112
langkah, Yeti itu berha-dapan dengan batu
bulat yang amat be-sar dan tidak nampak
ada jalan sama sekali. Hong Bu mengira
bahwa tentu Yeti itu tersesat jalan, akan
tetapi tiba-tiba Yeti itu menggunakan tangan
kanan-nya untuk mendorong batu itu,
sedangkan tangan kirinya masih
memondong tubuh Hong Bu. Batu sebesar
bukit kecil itu bergerak dan menggelinding
beberapa kaki ke kiri, dan nampaklah
sebuah lu-bang yang besarnya hanya satu
meter persegi! Yeti itu menurunkan Hong
Bu, menuding ke arah lubang dengan
isyarat seolah-olah menyuruh Hong Bu
masuk. Pada waktu itu, Hong Bu merasa
sendiri-an saja di dunia ini, sudah tidak ada
siapa-siapa lagi setelah pamannya tewas.
Maka kini dia pasrah saja kepada Yeti dan
dia pun merangkak masuk. Yeti itu pun
masuk, akan tetapi lebih dulu dia
mengerahkan tenaga dan menggunakan
kedua tangannya untuk menarik batu itu
menggelinding kembali menutupi lubang.
Mereka lalu merangkak melalui lubang
terowongan itu sampai beberapa puluh
meter dalamnya dan tiba-tiba saja nam-pak
cahaya terang dan lubang kecil itu berubah
menjadi lorong yang besar dan berlantai
batu. Kiranya di situ terdapat terowongan
rahasia yang besar dan Yeti itu
menggandeng tangan Hong Bu, diajaknya
masuk terus. Mereka berjalan maju, berlikaliku
melalui terowongan yang kadangkadang
gelap sekali akan tetapi adakalanya
terang karena bagian atasnya terdapat
lubang-lubang atau ce-lah-celah batu dari
mana sinar matahari dapat masuk.
Ketika Yeti itu akhirnya berhenti, mereka
tiba di ruangan dalam puncak atau di bawah
batu-batu, ruangan yang amat luas. Hong
Bu merasa seperti hidup di alam mimpi.
Bukan main indahnya pemandangan dari
ruangan itu. Terdapat lubang-lubang besar
seperti jendela dan dari sini dia dapat
melihat puncak-pun-cak yang diliputi salju,
lain bagian mem-perlihatkan dunia es yang
bentuknya ber-macam-macam dan
berkilauan memantul-kan sinar matahari,
dan ada lagi bagian yang penuh tumbuhtumbuhan,
hal yang amat aneh sekali di
puncak itu. Dan di sudut ruangan itu, agak
tertutup dan se-bagai penghalang, dia
menemukan dua orang manusia yang
sedang duduk bersila!
Akan tetapi ternyata mereka itu duduk di
dalam es atau salju yang turun dari atas
sehingga tempat itu tidak pernah lepas dari
kurungan es. Dua mayat orang yang masih
seperti hidup saja, masih lengkap
pakaiannya dan melihat pakaian mereka itu,
jelas bahwa mereka adalah sepasang orang
muda yang tampan dan cantik, juga
keduanya menunjukkan sifat gagah!
“Yeti, siapakah mereka ini....?” Tak terasa
lagi Hong Bu bertanya kepada Yeti seolaholah
Yeti itu adalah seorang manusia lain
yang dapat bicara. Akan tetapi ternyata
anehnya, Yeti mengham-piri tempat itu
dengan langkah lemas, kemudian melihat
mayat wanita yang cantik, yang usianya
kurang lebih tiga puluh tahun, tiba-tiba dia
menjatuhkan diri di depan kurungan es di
mana wani-ta itu bersila, dan dia pun
menundukkan mukanya dan mengeluh
panjang pendek, dan dari kedua matanya
bercucuran air mata pula! Tentu saja Sim
Hong Bu menjadi terkejut, terheran dan juga
ka-sihan. Dia menghampiri Yeti itu, meraba
pundaknya dan berkata lirih.
“Yeti, perlu apa menangisi orang yang
sudah mati? Yang mati takkan hidup
kembali, dan kita yang hidup toh akhirnya
akan mati juga seperti mereka ini.”
Yeti itu mengeluarkan suara ah-uh, akan
tetapi agaknya dia pun berhenti berduka,
lalu dia mengajak Hong Bu dengan
menggandeng tangannya mening-galkan
arca aneh itu, menghampiri sudut di mana
terdapat sebuah peti hitam. Dibukanya peti
itu dan dikeluarkannya sebuah kitab catatan
dan diserahkannya kepada Hong Bu.
Setelah begitu, Yeti itu lalu merebahkan
dirinya di sudut lain yang kering dan tak
lama kemudian sudah terdengar
dengkurnya!
Choirul, maret 2008 113
Kasihan, pikir Hong Bu. Gerak-gerik dan
sikap Yeti itu sama sekali bukan seperti
binatang, melainkan seperti se-orang
manusia yang dirundung malang dan
menderita kepedihan hati yang he-bat!
Maka dia lalu membawa kitab itu ke dekat
“jendela” yang terang dan mulailah dia
membalik lembaran pertama dari kitab itu.
Kitab itu terbuat dari kertas yang sudah tua
sekali, sudah menguning dan tulisannya
juga sudah kabur, akan tetapi masih dapat
dibaca karena ditulis dengan huruf-huruf
yang kuat dan jelas. Hong Bu mulai
membaca catatan itu dengan asyik, dan
tahulah dia bahwa catatan itu adalah
catatan yang dibuat oleh mayat pria yang
seperti pendekar itu, agaknya menceritakan
atau mencatat semua peristiwa yang
mereka alami di tempat ini.
***
Kami adalah suami isteri yang ma-lang,
demikian catatan itu memulai. Percuma saja
aku disebut Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar
Tangan Dewa) kalau ter-nyata aku tidak
mampu melindungi diri sendiri dan isteriku.
Aku, Kam Lok, ha-nyalah seorang laki-laki
lemah yang ter-paksa melarikan diri
bersama isteriku karena dikejar-kejar
musuh besarku yang tak dapat kulawan!
Kasihan Loan Si, is-teriku yang tidak dapat
menikmati kehi-dupan suami isteri dalam
rumah tangga yang tenteram karena
semenjak menikah harus mengikuti aku
melarikan diri.
Kami lari ke Himalaya, namun raksasa itu
terus mengikuti jejak kami! Agaknya dia
tidak mau menerima kenyataan bah-wa dia
kalah memperebutkan Loan Si yang lebih
dulu suka menjadi isteriku daripada menjadi
isteri raksasa yang tergila-gila kepadanya
itu. Ouwyang Kwan, engkau sebagai
seorang pendekar gagah, bekas sahabat
baikku, kenapa tidak mau melihat
kenyataan dan masih terus merasa
penasaran? Ah, andaikata aku dapat
mengalahkanmu pun, sukar ba-giku untuk
bertega hati membunuhmu, engkau
sahabatku yang amat baik dan yang kutahu
benar-benar amat mencinta Loan Si. Akan
tetapi apa daya, sahabat-ku juga musuhku,
Loan Si tidak membalas cintamu, cintanya
melainkan untukku seorang!
Kami berhasil menemukan lorong rahasia
yang tersembunyi ini, dan merasa aman
tinggal di sini sampai setahun lebih! Betapa
senang kami melewatkan bulan-bulan madu
di tempat ini, berdua saja, mencurahkan
segala cinta kasih antara kami tanpa ada
yang mengganggu.
Sayang, karena ancaman Ouwyang Kwan,
maka ketegangan mengisi lubuk hati
is-teriku sehingga hubungan kami tidak
da-pat menghasilkan keturunan!
Akan tetapi, kehidupan kami yang tenteram
itu hanya berlangsung satu tahun saja,
karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah
Ouwyang Kwan, bekas sahabatku yang kini
telah menjadi musuh besar kami itu, atau
lebih tepat musuh besarku, karena dia tidak
memusuhi Loan Si, bahkan sebaliknya dia
amat mencinta-nya!
Tidak ada jalan lain bagi kami kecua-li
bertanding memperebutkan Loan Si!
Pertandingan mati-matian di tempat ini, hal
itu sudah pasti akan terjadi. Aku terpaksa
menghentikan catatan ini karena kami
berdua sudah berjanji untuk bertan-ding
sekarang juga, begitu matahari terbit dan
sinarnya menerangi ruangan ini. Semalam
ini, mungkin malam ter-akhir, kuhabiskan
untuk mencurahkan se-luruh cintaku
kepada Loan Si, isteriku. Siapa tahu, malam
ini merupakan malam terakhir.
Sampai di sini, catatan itu ditulis dengan
gaya tulisan lain, gaya tulisan yang halus,
tulisan seorang wanita! Me-reka bertanding
mati-matian dan amat mengerikan,
demikian tulisan wanita ini memulai. Betapa
risau dan gelisah hati-ku. Aku tidak dapat
membantu, karena selain tingkat
kepandaianku jauh lebih rendah, juga
suamiku tidak menghendaki demikian.
Mereka bertanding sebagai dua orang
pendekar yang gagah perkasa, yang tidak
Choirul, maret 2008 114
menemukan jalan lain kecuali sa-ling
bertanding mati-matian untuk
mem-perebutkan aku. Ah, betapa hancur
rasa hatiku. Aku hanya mencinta Kam Lok,
suamiku, mana mungkin aku harus
men-cinta orang lain? Mereka itu setingkat,
akan tetapi semalam suamiku telah
mengaku bahwa sesungguhnya, dia masih
kalah kuat oleh lawannya itu. Aku hanya
dapat memandang dengan gelisah dan
berdoa dalam hati semoga suamiku yang
akan menang.
Berjam-jam mereka bertanding dan
akhirnya, apa yang kutakuti terjadilah.
Suamiku roboh dengan muntah darah dan
tewas setelah mengucapkan dua buah kata
memanggil namaku. Aku menangis dan aku
dihibur oleh Ouwyang Kwan yang
menyatakan cintanya, yang bersum-pah
bahwa dia akan mencintaku melebihi cinta
suamiku. Akan tetapi, aku benci melihat
raksasa itu. Aku benci kepada-nya! Aku lalu
menyerangnya kalang-kabut, akan tetapi
dengan mudah dia menghindar, dan pergi
dari tempat itu. Sesuai dengan pesan
suamiku, aku membereskan pakaian
jenazah suamiku, lalu mengatur dia agar
duduk di sudut ruang-an di mana turun salju
dan es melalui celah-celah sehingga
tubuhnya akan ter-bungkus salju dan es,
dan tidak akan rusak sehingga aku dapat
memandangnya setiap hari, seolah-olah dia
masih hidup.
Setiap hari Ouwyang Kwan datang,
membujukku, mengancamku. Akan tetapi
aku bertekad untuk tidak melayaninya. Aku
mengatakan kepadanya bahwa lebih baik
aku mati daripada harus menjadi isterinya,
bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya,
bahwa sebaliknya aku benci kepadanya.
Akan tetapi orang itu sungguh keterlaluan,
dia tidak mau mela-kukan kekerasan,
sebaliknya membujuk-bujuk, memohonmohon
sehingga kadang-kadang timbul
juga rasa kasihan dalam hatiku. Akan tetapi,
aku berkeras tidak mau menjadi isterinya,
bahkan tidak mau melayani hasratnya.
Sampai setahun lebih dia terus-menerus
membujukku, menye-diakan segala
keperluanku, bahkan dia memelihara
jenazah suamiku sehingga nampak
terbungkus es dan baik, tidak pernah rusak,
dia menyatakan menyesal sambil menangis
kalau dia melihat sua-miku. Akan tetapi, aku
tetap tidak mau melayaninya, bahkan aku
mulai senang menggodanya, melihat dia
tersiksa oleh cintanya yang tidak kubalas.
Dia jelas amat menderita dan itulah
hukumannya! Kadang-kadang dia menangis
sendiri di sudut, lalu bicara sendiri. Aku
khawatir dia menjadi gila karena rindunya
dan cintanya tak terbalas dan tak
terpuaskan. Aku makin menggodanya, aku
sengaja berganti pakaian di depannya agar
dia makin tergila-gila melihat tubuhku
se-tengah telanjang, akan tetapi kalau dia
sudah berapi-api aku lalu menghina dan
mengejeknya, menyatakan benciku. Aku
ingin dia memperkosaku, karena kalau hal
itu terjadi, dia tentu akan terpukul hebat
batinnya, tentu akan merasa me-nyesal
sekali demi cintanya kepadaku yang kutahu
memang benar-benar amat mendalam itu.
Godaanku membuat dia semakin gila.
Pada suatu hari, ketika aku berada di luar,
aku bertemu dengan mahluk aneh. Agaknya
itulah yang bernama Yeti. Aku terkejut dan
ketakutan, jatuh pingsan di depan Yeti,
akan tetapi Ouwyang Kwan menyelamatkan
aku, membawa lari ma-suk ke dalam guha
dan menutup guha dengan batu besar. Yeti
itu berkeliaran di luar guha sampai tiga hari
mengeluar-kan suaranya yang aneh. Aku
ketakutan bukan main.
Dan mulai hari itu, hampir setiap hari aku
melihat Yeti dan makin jarang melihat
Ouwyang Kwan. Aku tidak tahu apa yang
terjadi. Aku menjadi nekat dan ingin
menyerahkan diriku kepada Yeti! Aku ingin
mengecewakan hati Ouwyang Kwan karena
hatiku sakit mengingat suamiku dibunuh,
akan tetapi aku sebe-tulnya mulai jatuh
cinta kepadanya, mungkin karena
kebutuhanku kepada pria! Namun, benciku
melebihi cintaku sehing-ga aku lebih suka
menyerahkan diri ke-pada Yeti, mahluk
buas menyeramkan itu daripada kepada
Ouwyang Kwan. Akan tetapi,
Choirul, maret 2008 115
pengalamanku ketika aku menye-rahkan diri
kepada Yeti malam itu mem-buat aku
semakin tergila-gila. Aku jatuh cinta kepada
Yeti, demikian pikirku. Akan tetapi, ketika
pada keesokan harinya aku terbangun
dalam pelukan Yeti, ternyata Yeti itu adalah
Ouwyang Kwan yang menyamar. Aku malu,
aku benci, aku menyesal, apalagi karena
aku tahu bahwa seluruh tubuhku jatuh cinta
kepa-da Ouwyang Kwan pembunuh
suamiku. Aku harus mati! Aku lebih baik
mati! Aku semalam telah mengkhianati
suami-ku, di depan mata suamiku sendiri
aku telah bermain cinta, berjina semalam
suntuk dengan Ouwyang Kwan, musuh dan
pembunuh suamiku. Aku harus mati....!”
Tulisan itu berakhir, akan tetapi pada
lembar berikutnya terdapat tulisan kasar
seperti cakar ayam, tulisan yang besarbesar
hurufnya dan ditulis oleh tangan yang
kaku: “Aku menyebabkan kematian-nya.
Aku berdosa! Aku binatang, bukan manusia!
Aku Yeti yang buas!”
Demkianlah isi buku catatan yang dibaca
oleh Hong Bu dengan asyik-nya. Dia
termenung. Hebat sekali pengalaman suami
isteri pendekar itu. Dia lalu menghampiri
lagi mayat-mayat yang seperti arca itu.
Pendekar itu memang tampan, dan setelah
dia meneliti, dia melihat memang pada
bajunya terdapat lubang bekas tusukan
pedang, tepat di uluhatinya. Kemudian dia
meneliti jena-zah wanita itu. Terdapat pula
lubang bekas tusukan senjata tajam di
lambung kirinya. Agaknya wanita itu telah
bunuh diri. Dan agaknya tulisan kasar
terakhir itu adalah tulisan Ouwyang Kwan
yang menaruh mayat Loan Si di dekat
suaminya, kemudian tentu saja Ouwyang
Kwan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi.... tiba-tiba Hong Bu teringat
dan bulu tengkuknya meremang, Yeti itu!
Mengapa menangis di depan mayat Loan
Si? Dan di dalam catatan Loan Si, Yeti yang
diserahi dirinya adalah yang penyamaran
Ouwyang Kwan! Dan Ouwyang Kwan mulai
menjadi gila! Dan Yeti itu, gerak-geriknya
lebih mirip manusia, malah bisa merintih,
me-nangis, dan seolah-olah mengerti dan
dapat menangkap kata-katanya. Janganjangan
Yeti yang sekarang ini pun adalah
penyamaran Ouwyang Kwan! Bukankah
dalam catatan-catatan itu disebutkan bahwa
Ouwyang Kwan bertubuh raksasa? Jadi,
tentu tinggi besar, pantas kalau menyamar
sebagai Yeti!
Hong Bu berindap mendekati Yeti yang
masih tidur. Tidurnya nyenyak dan
mendengkur. Dengkurnya seperti dengkur
manusia! Berdebar jantung Hong Bu.
Be-narkah mahluk ini yang dinamakan
orang Yeti, ataukah ini adalah Ouwyang
Kwan yang menyamar? Bagaimana dia
akan dapat membuka rahasia ini?
Betapapun juga, jelas bahwa mahluk ini
emmperlihatkan sifat-sifat yang liar dan
ganas, maka dia harus berhati-hati dan
jangan sampai membuatnya marah, karena
hal itu amatlah berbahaya. Mahluk buas,
atau manusia yang sudah menjadi gila dan
merasa dirinya menjadi binatang, sama saja
berbahayanya, maka dia harus ber-sikap
halus dan hati-hati.
Malam itu Hong Bu tidur dalam ruangan itu
yang tidaklah begitu dingin seperti kalau
berada di luar, Yeti tidak nampak, sejak tadi
telah pergi. Hong Bu tidak berani
sembarangan mencarinya karena memang
dia tidak tahu harus pergi ke mana, dan tak
lama kemudian nampak bayangan
berkelebat dan Yeti telah berada di
dekatnya dan menyerah-kan segebung
daun-daun yang kekuning-kuningan. Dia
menerimanya dalam kere-mangan cahaya
malam yang berbulan tipis itu, sinar bulan
yang memasuki ruangan melalui jendela,
akan tetapi tidak tahu mengapa Yeti
memberikan daun-daun itu kepadanya.
Untuk tilam tidur? Akan tetapi daun-daun
basah itu malah tidak enak kalau untuk
tidur, lebih enak tidur di atas tanah dalam
ruangan itu yang cukup hangat. Akan tetapi,
Yeti itu mengambil setangkai daun lalu
memakannya dan memberi isyarat dengan
tangan agar Hong Bu makan daun itu pula!
Choirul, maret 2008 116
Celaka, pikirnya, kalau Yeti ini ter-masuk
binatang pemakan rumput dan daun, apa
dikiranya dia pun harus hidup sebagai
kerbau atau kuda? Akan tetapi, agar tidak
membikin marah binatang itu, dia pun
mengambil sehelai dan dimasuk-kan ke
mulutnya, lalu dikunyahnya. Eh? Rasanya
enak! Hong Bu menjadi girang sekali. Daun
itu rasanya enak, seperti daun sawit! Maka
dia pun lalu makan daun-daun itu. Lumayan
untuk mengisi perut kosong. Dan malam itu
dia tidur nyenyak, dengan perut kenyang
walaupun hanya diisi daun-daun itu.
Pada keesokan harinya, Yeti itu memberi
isyarat kepada Hong Bu untuk ikut
bersamanya keluar dari ruangan itu.
Hong Bu menurut saja. Yeti itu keluar
melalui jendela dan ketika Hong Bu
menjenguk keluar, hampir dia berteriak
saking ngerinya. Ternyata di luar “jen-dela”
itu merupakan tebing yang luar biasa
curamnya, tak berdasar lagi karena tertutup
oleh kabut kebal. Demikian pula semua
jendela di ruangan itu dikelilingi tebing yang
curam. Akan tetapi Yeti mengajaknya keluar
dari situ! Mana mungkin? Yeti agaknya
mengerti dan dengan tangan kirinya dia
mengempit Hong Bu sedangkan pedang
yang kemarin menancap di pahanya itu
diangsurkan kepada Hong Bu. Hong Bu
mengerti bah-wa dia disuruh memegang
pedang itu, maka dia pun memegang
pedang itu dengan hati-hati dan mulailah
Yeti itu memanjat tebing! Bukan main!
Berku-ranglah kecurigaan Hong Bu. Kalau
Yeti ini manusia yang menyamar, agaknya
tidak mungkin ada manusia berani atau
dapat memanjat tebing seperti ini!
Hong Bu beberapa kali memejamkan
matanya kalau Yeti itu melompat-lompat
dan akhirnya mereka tiba di sebuah ta-man
yang luar biasa. Di sekeliling itu terdapat es
yang berkilauan, bermacam-macam
betuknya. Ada es yang berwarna biru, ada
yang kemerahan, seperti batu-batu akik
yang besar-besar. Akan tetapi kalau Hong
Bu membantingnya, maka di dalamnya
tidak ada apa-apa dan warna itu pun
menghilang. Kiranya itu hanyalah warna
sinar matahari yang tertangkap bagianbagian
tertentu saja oleh bentuk-bentuk
yang aneh itu. Dan di situ tum-buh berbagai
tanam-tanaman. Sungguh luar biasa ada
tanaman dapat hidup di tempat sedingin ini!
Yeti lalu berloncat-an pergi membawa
pedang itu. Hong Bu yang ditinggal sendiri
diam saja, menanti dengan tenang karena
dia maklum bahwa tentu Yeti itu hendak
melakukan sesuatu dan dia disuruh menanti
di situ. Benar saja tak lama kemudian Yeti
kembali dan tangan kirinya menggenggam
dua ekor ular! Ular salju yang berwarna
kemerahan. Merah darah! Selain itu, Yeti
masih membawa pula sepotong cula,
semacam cula badak yang cukup besar.
Tanpa mengeluarkan kata-kata, Yeti itu
mengulurkan tangan memberikan ular itu
kepada Hong Bu. Tentu saja Hong Bu
melangkah mundur dan menarik
tangan-nya, tidak mau menerima. Untuk
apa dia diberi ular? Kalau seperti ketika
membe-ri daun semalam dia disuruh makan
ular, maka Yeti atau apa pun adanya
mahluk itu sudah benar-benar menjadi gila!
Biar-pun dua ekor ular itu telah mati,
agak-nya dipencet oleh jari-jari tangan yang
kuat itu, akan tetapi Hong Bu masih merasa
ngeri. Bukan dia tidak pernah makan ular.
Seringkali malah, akan teta-pi daging ular
kembang yang besar, di-ambil dagingnya
dipanggang atau dima-sak. Bukan ular kecil
merah yang agak-nya mengandung bisa
amat jahatnya ini.
Yeti lalu memisahkan dua ular itu yang
saling belit, kemudian membawa seekor ke
dekat mukanya, membuka mu-lut dan....
“kress!” kepala ular itu digigitnya, putus
sampai ke leher dan diku-nyahnya, matanya
berkedip-kedip, kelihatan enak sekali.
“Huh-huhh!” katanya lagi sambil
me-nyerahkan yang seekor kepada Hong
Bu. Celaka, pikir Hong Bu. Benar-benar
sudah gila. Akan tetapi melihat sinar mata
yang keras dan seperti memaksa itu, dia
takut untuk menolak. Dia harus dapat
mengambil hati Yeti dengan halus, dan
Choirul, maret 2008 117
kalau perlu biarlah dia ikut-ikutan menjadi
gila sedikit. Dia menerima ular itu, dan
seperti yang dilakukan oleh Yeti tadi, dia
membawa, kepala ular itu ke mulutnya,
membuka mulut dan menutup matanya, lalu
“krekk!” kepala ular itu digigitnya kuat-kuat
sampai putus sebatas leher, kemudian
sambil memejamkan mata rapat-rapat dia
lalu mengunyah kepada ular itu yang hanya
sebesar ibu jari kakinya. Terasa masam
akan tetapi ada manisnya dan dia terus
memakannya sampai habis, menelannya
sampai kepala-nya bergerak naik turun
karena dipaksa-nya seperti orang minum
obat pahit.
Yeti itu kelihatan gembira sekali ketika Hong
Bu membuka matanya. Di-tangkapnya
pinggang Hong Bu dan dilem-parkannya
tubuh anak itu ke atas, ketika melayang
turun, diterimanya tubuh itu lalu
dilontarkannya ke atas, makin lama makin
tinggi! Hong Bu yang diperlakukan seperti
bola itu tadinya gembira, akan tetapi karena
makin lama dia dilontarkan semakin tinggi,
dia merasa ngeri juga dan dia berteriakteriak.
“Heii! Yeti, turunkan aku....!”
Yeti itu menyambut tubuhnya dan
me-nurunkannya ke atas tanah, sepasang
ma-tanya kini berseri dan bersinar-sinar,
lenyap keliarannya. Kemudian Yeti itu
melanjutkan makan ular merah, dan
memberi isyarat kepada Hong Bu untuk
makan ularnya pula. Biarpun muak, Hong
Bu memejamkan matanya dan terus
ma-kan ular itu mentah-mentah begitu saja
sampai akhirnya habis juga seluruh ular itu
dari kepala sampai ekornya ke dalam
perutnya!
Dia mau muntah, akan tetapi ditahan-nya
dan tiba-tiba dia merasa kepalanya pening.
Dia terhuyung-huyung dan seluruh
tubuhnya terasa panas, perutnya mulas dan
bergerak-gerak seolah-olah ular yang
dimakannya tadi hidup lagi dan merontaronta
di dalam perutnya.
“Celaka, Yeti! Ular itu beracun....!” Hong Bu
sudah terlalu banyak pengalam-an dalam
pekerjaannya berburu sehingga dia dapat
menduga apa yang terjadi dengan dirinya.
Dia sudah mencari-cari didalam saku
bajunya untuk cepat menelan obat penawar
racun, akan tetapi Yeti menggereng dan
merampas bungkusan obat itu, lalu
membuangnya jauh-jauh obat-!
“Ahhh!” Hong Bu berseru. Obat-obatnya
dibuang ke dalam jurang! Padahal, dia
masih membutuhkan untuk memberi obat
pencuci darah untuk Yeti, karena mahluk itu
belum minum obat pencuci darah, tidak
sempat ketika kemarin di- serang orang
setelah dia bela, kemudian sadar dan terus
saja pergi tanpa minum obat pencuci darah!
Dan kini semua obatnya telah dibuang,
bukan hanya obat pencuci darah untuk Yeti
namunjuga obat penawar racun untuk
menyelamatkan nyawanya.
“Celaka, agaknya engkau hendak
membiarkan aku mati!” serunya penuh
sesal.
Dengan suara ah-ah-uh-uh, Yeti lalu
menarik tangan Hong Bu, disuruhnya
me-nirukan dia. Dan Yeti itu lalu duduk
bersila dengan kedudukan kaku berbentuk
teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua
kaki di atas paha kanan kiri! Aneh se-ekor
binatang dapat duduk bersila seperti itu.
Akan tetapi Hong Bu lalu mencon-tohnya.
Tentu saja dia pun tidak asing dengan cara
bersila seperti itu.
Kemudian, Yeti itu menunjuk ke arah
pusarnya. Dan memang di situlah Hong Bu
merasakan hawa panas yang luar biasa.
Lalu Yeti menarik napas panjang, menahan
napas itu, dan menyuruh Hong Bu
menirunya. Demikianlah, Yeti lalu memberi
contoh cara bernapas kepada Hong Bu,
cara menyalurkan hawa panas itu ke
seluruh tubuhnya dan dengar, jari tangan
kirinya yang besar Yeti menotok beberapa
jalan darah di tubuh Hong Bu dan
terbukalah jalan darah itu sehingga hawa
panas dari pusar itu dapat menem-bus naik.
Lalu dengan gerakan tangan dia memberi
Choirul, maret 2008 118
contoh pengerahan napas untuk membuat
hawa itu berputar-putar.
Hong Bu merasa terheran-heran, akan
tetapi secara membuta dia menurut
pe-tunjuk Yeti dan sungguh luar biasa
sekali. Perutnya tidak sakit lagi, peningnya
lenyap dan kini bahkan tubuhnya terasa
hangat. Yeti itu lalu membuka jubah
tebalnya dan dia tetap merasa hangat,
padahal hawanya di situ amat dinginnya!
Setelah duduk berlatih napas selama satu
jam lebih, Hong Bu merasa betapa
tu-buhnya enak sekali.
Yeti kini melompat bangun dan Hong Bu
tersenyum kepadanya. Diam-diam dia
makin curiga dan terheran-heran, Yeti ini
sama sekali tidak pantas kalau men-jadi
binatang buas, lebih patut menjadi seorang
manusia sakti yang sedang bi-ngung dan
berobah ingatannya! Makin tebal
dugaannya bahwa Yeti ini tentulah
Ouwyang Kwan yang menyamar.
Kini Yeti mengambil cula badak salju itu,
menggunakan kuku jarinya untuk
mengeruknya, dan memberikan kepada
Hong Bu isi dari cula itu yang agak empuk,
seperti tulang muda, dan menyu-ruh dia
makan cula itu! Hong Bu tidak ragu-ragu
lagi kini, disuruh apa pun dia akan menurut
dan biarpun agak keras, seperti makan
tulang muda, dia pun makan cula itu sampai
habis dan ternya-ta baunya amis-amis
harum. Dia tidak tahu bahwa dia sedang
diberi makan racun ular, daun salju dan cula
badak salju yang dapat menguatkan
badannya. Makanan seperti ini dapat
membuat tu-buh tidak hanya kuat, akan
tetapi juga kebal seperti tubuh Yeti itu!
Sampai tiga hari lamanya, setiap hari Yeti
mengajak Hong Bu ke tempat ini dan Hong
Bu kini ikut pula menangkap ular merah
untuk dimakannya mentah-mentah saja,
dan juga mencari daun-daun salju dan cula
badak salju. Pada hari ke empat, Yeti
mengajak Hong Bu keluar dari terowongan
itu dan menutup-kan lagi batu bundar itu
menutupi lubang rahasia itu, kemudian dia
mengajak Hong Bu untuk berjalan menuju
ke sebuah puncak bukit tak jauh dari situ.
Tiba-tiba saja bermunculan beberapa orang
yang agaknya memang sejak lama telah
menanti dan bersembunyi di situ dan
agaknya memang mengamat-amati jejak
Yeti!
Melihat betapa di antara mereka itu terdapat
kakek jangkung dan kakek pen-dek, yaitu
Su-ok dan Ngo-ok, Hong Bu terkejut sekali.
Akan tetapi Yeti lalu menyambar
pinggangnya, memanggulnya dan
membawanya lari dari tempat itu, dengan
cepat sekali dia berlompatan, dengan kaki
masih terpincang-pincang. Dan para tokoh
kang-ouw yang memang mengamati gerakgerik
Yeti dan teruta-ma sekali pedang di
tangan Yeti itu, juga mempergunakan ginkang
mereka, bergerak dengan ringan dan
cepat, meng-ikuti jejaknya yag nampak jelas
di atas salju. Terjadilah kejar-kejaran dan
sampai dua hari dua malam Yeti terus
berjalan tanpa berhenti, hanya makan bekal
daun yang dibawa Hong Bu ketika mereka
keluar dari terowongan. Akan tetapi, setiap
kali Yeti berhenti mengaso, nam-pak sudah
orang-orang kang-ouw yang ternyata
berilmu tinggi itu berdatangan dan
membayangi dari jauh!
Pada hari ke tiga, ketika dia tiba di puncak
yang tinggi dari Pegunungan Kongmaa La,
di bagian yang penuh ra-hasia bahkan dia
sendiri jarang datang ke tempat berbahaya
itu. Yeti yang melihat belasan orang kangouw
itu tetap saja masih membayanginya,
menjadi marah bukan main. Dia
menggereng dan melon-cat ke balik sebuah
bukit salju yang ber-tumpuk di tepi puncak
yang datar itu, akan tetapi dia tidak lari
melainkan ber-sembunyi, mendekam di situ
sambil tetap memeluk Hong Bu dan
memegang pe-dang. Benar saja, semua
orang kang-ouw kini mengejar ke tempat
itu. Hong Bu juga ikut bersembunyi
mengintai itu me-lihat banyak orang yang
aneh-eneh bentuk maupun pakaiannya.
Bahkan ada pula empat orang laki-laki
gundul yang tinggi besar seperti raksasa
memikul sebuah tandu yang tertutup
Choirul, maret 2008 119
sehingga tidak dapat dilihat apa atau siapa
isinya. Sungguh lucu sekali kalau dipikir.
Mengejar atau membayangi jejak Yeti
mengapa mesti naik tandu yang dipikul
empat orang? Seperti orang pesiar saja!
Sungguh gila! Akan tetapi begitulah
kenyataannya dan Hong Bu memandang
terus. Ada beberapa orang kakek yang
aneh yang berdekatan dengan Su-ok dan
Ngo-ok, dan ada pula seorang nenek yang
amat mengerikan, karena nenek ini, atau
wanita itu, karena sukar dikatakan tua atau
muda, memakai topeng tengkorak manusia
tulen! Ada pula seorang kakek tinggi besar
yang persis gorila bentuknya, baik betuk
tu-buhnya maupun bentuk mukanya, seperti
gorila memakai pakaian! Dan ada pula
raksasa berkepala botak yang memakai
mantel merah. Dia tidak tahu bahwa
mereka itu adalah Twa-ok Su Lo Ti Si
Kakek Gorila, kemudian Ji-ok Kui-bin Nionio
yang memakai topeng tengkorak,
kemudian Sam-ok Bah Hwa Sengjin yang
berkepala botak. Mereka itulah, bersama
Su-ok dan Ngo-ok merupakan gerombolan
lengkap dari Im-kan Ngo-ok, datuk-datuk
kaum sesat! Akan tetapi di samping ke-lima
orang ini dan empat orang penggo-tong joli
yang melihat gerakannya juga merupakan
orang-orang pandai, masih terdapat lagi
beberapa orang sehingga jumlah mereka
hampir dua puluh orang! Semua orang itu
nampak berilmu tinggi dan berkumpul di
puncak datar itu, siap untuk mengejar Yeti.
Akan tetapi, tiba-tiba Yeti menge-luarkan
gerengan keras dan melompat keluar dari
tempat persembunyiannya, memondong
Hong Bu dengan tangan kiri dan memegang
pedang berkilauan itu dengan tangan
kanan, memutar-mutar pedang ke atas
kepala dan menggereng-gereng
memperlihatkan kemarahannya karena dia
terus dibayangi oleh orang-orang kang-ouw
itu. Akan tetapi, orang-orang kang-ouw itu
bersikap tenang dan siap untuk membela
diri. Mereka itu semua menanti kesempatan
baik. Tentu saja orang-orang seperti Im-kan
Ngo-ok yang datang dengan lengkap itu
tidak takut terhadap Yeti dan merasa bahwa
kalau mereka berlima maju, mereka akan
mampu merampas pedang keramat yang
amat diinginkan itu, akan tetapi mereka
adalah orang-orang cerdik. Mereka dapat
berpikir secara jauh. Kalau mereka
me-rampas pedang itu, berarti mereka akan
menghadapi pengeroyokan orang-orang
kang-ouw lainnya dan hal itu merupakan
bahaya yang jauh lebih besar lagi. Mere-ka
melihat betapa setiap orang kang-ouw yang
melakukan pengejaran ini ter-diri dari orangorang
yang amat tinggi kepandaiannya.
Oleh karena itulah maka belasan orang
kang-ouw itu hanya mem-bayangi Yeti saja,
belum mau turun ta-ngan merampas
pedang.
Kini tahu-tahu Yeti itu sendiri yang agaknya
hendak menyerang mereka maka mereka
siap siaga untuk menghadapi amukan Yeti.
Betapapun juga, setelah mendengar betapa
banyaknya orang-orang kang-ouw yang
tangguh-tangguh binasa di tangan Yeti ini,
maka ketika Yeti melangkah maju
mengayun-ayun pedang yang berkilauan
itu, semua orang menjadi agak gentar juga
dan me-langkah mundur. Akan tetapi,
empat orang gundul tinggi besar seperti
raksasa itu agaknya tidak mengenal takut
karena mereka tidak melangkah mundur,
hanya berdiri memanggul tandu diam saja
sambil memandang kepada Yeti dengan
muka seperti topeng, sedikit pun tidak
memba-yangkan perasaan apa pun.
Yeti sudah marah sekali karena orangorang
yang mengepungnya itu tidak mau
pergi. Dia lalu melemparkan tubuh Hong Bu
begitu saja ke samping dan pemuda ini
terguling-guling lalu bangkit duduk dan
merangkak ke belakang sebuah batu besar
untuk berlindung, Yeti menggereng-gereng,
kemudian dengan gerakan tiba-tiba dan
cepat sekali, tangan kirinya menyambar ke
depan, ke arah rombongan orang terdekat,
yaitu ke arah empat orang pemikul tandu itu
sendiri.
Biarpun dia hanya menampar dengan
tangan kiri, namun tamparan itu hebat
bukan main akibatnya. Empat orang yang
tinggi besar dan nampaknya kuat kokoh
Choirul, maret 2008 120
seperti menara besi itu, kini se-perti pohonpohon
cemara dilanda angin kencang.
Mereka terpelanting ke kanan kiri dan tandu
itu pun terlepas dari pun-dak mereka dan
jatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri.
Akan tetapi ta-ngan kiri Yeti meluncur terus
dan mengenai dengan tepat dan keras lagi
tandu itu.
“Brakkk....!” Tandu itu hancur beran-takan
kena pukulan itu dan bersama dengan
hancurnya tandu, nampak pecah-anpecahan
tandu berhamburan dan di antara
pecahan-pecahan itu nampak ber-kelebat
bayangan yang sedemikian cepat-nya
sehingga tidak dapat diikuti oleh pandang
mata para tokoh kang-ouw yang
memandang peristiwa itu, saking ce-patnya
gerakan bayangan yang meloncat keluar
dari tandu itu sebelum tandu itu hancur
lebur.
“Yeti keparat!” terdengar bentakan nyaring
merdu dan ternyata di situ telah berdiri
seorang yang wajahnya amat.... buruknya!
Tubuh wanita itu tinggi ram-ping dan
montok, dengan lekuk lengkung tubuh
seorang wanita yang sudah matang dan
yang memiliki daya tarik yang
menggairahkan. Namun apabila orang
melihat wajahnya tanggung semua gairah
akan terbang lenyap dari hati orang itu,
karena wajah wanita ini benar-benar luar
biasa buruknya, bukan hanya buruk
bah-kan menjijikkan dan menakutkan. Kulit
muka ini agak kehitaman, belang-belang
dan berlubang-lubang semacam bopeng
yang berat, dan selain itu juga pletat-pletot
seolah-olah terbuat dari malam yang
terkena panas! Sungguh ganas sekali alam
memberi wajah cacat sedemikian buruknya
pada seorang wanita yang me-lihat bentuk
tubuhnya adalah seorang wanita muda
yang sedang-sedangnya ber-kembang!
Semua orang memandang dengan
ter-heran-heran. Bahkan Im-kang Ngo-ok
sendiri tidak mengenal nona buruk muka itu,
padahal melihat gerakannya tadi jelas
bahwa tingkat gin-kang yang dimiliki wanita
itu tidak kalah oleh tingkat gin-kang dari
Ngo-ok sendiri! Gerakannya seperti dapat
menghilang saja, sedemikian cepatnya
gerakan tadi sampai tidak nampak oleh
mata mereka.
Biarpun sinar matanya membayangkan
kemarahan karena tandunya dihancurkan
Yeti, akan tetapi wanita itu dengan te-nang
berdiri tegak, kemudian dia menyingsingkan
kedua lengan bajunya! Mula-mula nampak
kulit lengannya yang halus mulus, montok
dan putih bersih, akan tetapi segera semua
orang menahan napas, bahkan ada yang
menahan seruan karena merasa ngeri.
Ternyata bahwa kedua lengan itu penuh
dengan ulat-ulat berbu-lu! Ulat-ulat yang
gemuk dan berbulu lebat, ada yang
berwarna putih, merah, hijau, hitam, biru,
kuning dan sebagainya. Baru melihatnya
saja sudah menimbulkan perasaan gatalgatal
di tubuh, apalagi kalau sampai terkena
bulu-bulu lebat yang kesemuanya pasti
mengandung racun yang amat hebat itu.
“Binatang liar, berani engkau merusak
tanduku? Hayo tukar dengan pedangmu
itu!” bentak wanita itu. dengan suara yang
melengking nyaring.
“Si Ulat Seribu....” Terdengar Ji-ok Kui-bin
Nio-nio berseru kaget.
Wanita bermuka buruk itu menoleh kepada
wanita bermuka tengkorak. “Heh-heh, Ji-ok
Kui-bin Nio-nio kiranya? Huh, kalau tidak
bersama-sama dengan Ngo-ok
selengkapnya, mana berani keluar?”
Diejek demikian itu, Ji-ok mendengus
marah. “Bocah sombong! Siapa takut ulatulatmu?”
Akan tetapi Si Ulat Seribu tidak
mempedulikan Ji-ok lagi karena tiba-tiba,
selagi dia bicara kepada Ji-ok dan mukanya
agak menengok ke arah wanita bertopeng
tengkorak itu, tiba-tiba saja tangannya
bergerak menyambar dan dia sudah
menyerang Yeti! Sungguh suatu gerakan
yang selain cepat, juga tidak terduga-duga
sama sekali dan memba-yangkan kelicikan
Choirul, maret 2008 121
dan kecurangan hebat dari orang-orang
golongan sesat!
Akan tetapi Yeti itu pun memiliki
ketangkasan yang luar biasa sekali.
Biar-pun dia diserang secara tiba-tiba,
tangan kiri wanita itu menyambar ke arah
pu-sarnya dan tangan kanan wanita itu
lang-sung menyambar ke atas untuk
merampas pedang, akan tetapi dia malah
membiar-kan saja pukulan ke arah
pusarnya itu, sedangkan pedangnya cepat
digerakkan ke bawah menyambut lengan
kanan Si Ulat Seribu.
“Dukk....” Aihhh....!” Si Ulat Seribu itu
untungnya dapat bergerak dengan
ke-cepatan kilat sehingga lengannya
terto-long sungguhpun ujung lengan
bajunya terbabat putus hanya oleh sinar
pedang itu sehingga dia memekik kaget.
Keka-getan putusnya ujung lengan ini
ditambah dengan terpentalnya tangannya
yang menghantam pusar, seolah-olah
bertemu dengan perut dari baja atau bola
karet yang amat kuat! Akan tetapi, ulat-ulat
dari lengannya itu beterbangan dengan
warna-warnanya yang cerah sehingga
seperti kembang api berpijar dari percik-an
ke mana-mana, terutama sekali ke arah
tubuh Yeti. Akan tetapi, tubuh Yeti penuh
bulu maka ulat-ulat itu tidak mem-pengaruhi
dirinya. Tidak ada bulu ulat yang dapat
membuat gatal kulit yang dilindungi bulu!
Yeti itu menggoyangkan tubuhnya dan
sungguh aneh. Ulat-ulat itu semua
beterbangan ke satu jurusan, yaitu ke arah
empat orang raksasa gun-dul para pemikul
tandu tadi. Dan terjadi-lah pemandangan
yang mengerikan. Em-pat orang itu segera
bergulingan, menggunakan kuku jari tangan
menggaruki seluruh tubuhnya sampai
pakaian mereka robek-robek semua dan
dalam waktu singkat mereka itu sudah
bertelanjang bulat menggaruki semua
bagian tubuh mereka yang bintul-bintul dan
bengkak-bengkak! Hebatnya, bagian yang
digaruk dan mengeluarkan darah segera
dilekati oleh ulat-ulat yang ternyata suka
minum darah seperti lintah-lintah! Dan
dalam waktu singkat saja empat orang
raksasa gundul tukang pikul tandu Si Ulat
Seribu itu telah tewas semua, badan
mereka yang telanjang bulat itu penuh
dengan ulat-ulat yang kini menjadi semakin
menggembung gemuk kekenyangan darah!
Semua orang mengkirik karena serem,
akan tetapi seorang kakek berjenggot
panjang, seorang di antara para tokoh
kang-ouw yang datang ke tempat itu,
menjadi tidak senang. Dia lalu menggo-sok
kedua telapak tangannya, lalu memu-kulkan
kedua telapak tangan itu ke arah mayatmayat
tadi. Hawa panas menyam-barnyambar
dan keempat mayat itu menjadi
kehitaman seperti hangus, dan semua buku
berwarna-warni dari ulat-ulat itu rontok
terbakar semua, akan tetapi hebatnya, ulatulat
itu tidak menjadi mati! Kini semua ulat
itu menjadi ulat-ulat gundul yang makin
menggelikan lagi, juga menjijikkan karena
nampak gerakan-gerakan perut mereka
yang naik turun.
Si Ulat Seribu menjadi semakin ma-rah, kini
kemarahannya ditumpahkan ke-pada kakek
berjenggot panjang itu. “Ke-parat, berani
engkau merusak ulat-ulatku!” Dan tiba-tiba
saja tubuhnya meng-geliat roboh ke atas
tanah, kemudian seperti gerakan seekor
ulat, tubuhnya menggeliat-geliat dan tibatiba
melenting ke atas, ke arah kakek
berjenggot pan-jang itu dan kedua
tangannya sudah mengirim serangan.
Bukan main cepatnya gerakan ini, sukar
diikuti pandang mata. Kakek itu sudah kaget
setengah mati, tidak meng-ira bahwa dia
akan diserang secepat itu. Akan tetapi, tibatiba
dari arah belakang muncul seorang
laki-laki yang berpakaian seperti pengemis,
mukanya ditumbuhi kumis dan jenggot lebat
tak terpelihara, sikapnya acuh tak acuh dan
mulutnya yang tersembunyi di balik kumis
itu ter-kekeh aneh. “Jangan ganggu orang
tua!” dia mendengus dan tiba-tiba jari
telunjuk kanannya menuding dan
menyambar ke depan, memapaki serangan
Si Ulat Seribu itu.
Choirul, maret 2008 122
“Dukk! Aihhhh....!” Untuk kedua kali-nya Si
Ulat Seribu menjerit dan tubuhnya
terdorong ke belakang, tubuhnya tergetar
hebat. Dia berdiri dan memandang kepa-da
jembel yang ternyata masih muda itu
dengan sinar mata penuh kemarahan, akan
tetapi juga dengan muka agak pu-cat
karena dia terkejut bukan main.
“Kau.... kau.... Si Jari Maut....?”
Im-kan Ngo-ok juga terkejut men-dengar
disebutnya nama ini dan mereka semua
memandang ke arah jembel muda itu.
Mereka sudah mengenal Si Jari Maut Wan
Tek Hoat, calon mantu Raja Bhu-tan!
Benarkah jembel muda itu mantu Raja
Bhutan? Sungguh mengherankan hati Imkang
Ngo-ok, dan tiba-tiba Sam-ok Ban
Hwa Sengjin tertawa bergelak sampai
perutnya yang tersembunyi di balik man-tel
itu bergerak-gerak.
“Ha-ha-ha-ha! Kiranya Si Jari Maut tidak
jadi menjadi mantu Raja Bhutan, melainkan
menjadi jembel terlantar!” katanya sambil
memandang kepada jem-bel muda yang
bukan lain adalah Wan Tek Hoat atau juga
dahulu disebut Ang Tek Hoat Si Jari Maut
itu. Akan tetapi, orang muda yang menjadi
seperti jembel itu hanya ha-ha-he-he saja,
terkekeh dan kemudian malah mengguguk
dan terisak menangis!
“Oohhh, dia telah menjadi gila....!” kata
Twa-ok Su Lo Ti dan semua orang
memandang karena merasa aneh. Kakek ini
seperti gorila, pantasnya sikap dan katakatanya
tentu kasar, akan tetapi sebaliknya
malah, suaranya dan ucapan-nya itu seperti
orang yang mempunyai belas kasihan besar
sekali!
Melihat munculnya demikian banyak-nya
orang lihai, Si Ulat Seribu tidak mau
mencari penyakit dan dia sudah mener-jang
lagi, menerjang Yeti yang sejak tadi berdiri
kebingungan. Mereka berdua sege-ra
bertarung lagi, akan tetapi tetap saja Si Ulat
Seribu terdesak hebat dan ter-paksa harus
mempergunakan gin-kangnya yang
memang istimewa kalau dia tidak mau
tubuhnya disayat-sayat oleh pedang di
tangan Yeti yang digerak-gerakkan secara
aneh dan seperti ngawur namun amat
berbahaya itu!
“Twa-ko, biar kucoba sampai di mana Si
Jari Maut yang telah menjadi gila ini!” tibatiba
terdengar Ngo-ok berseru.
“Baiklah, Ngo-te!” kata Twa-ok de-ngan
halus.
Ngo-ok yang jangkung itu lalu berseru keras
dan tubuhya sudah menubruk Si Jari Maut
Wan Tek Hoat. Akan tetapi ternyata
pengemis muda ini juga memiliki gerakan
yang amat gesitnya. Dengan mudah dia
meloncat ke kiri sambil ter-kekeh. Akan
tetapi tiba-tiba kakek berjenggot panjang
yang tadi ditolongnya dari serangan Si Ulat
Seribu itu telah meloncat ke depan.
“Siancai, mengapa Im-kan Ngo-ok yang
tersohor sebagai ja-goan-jagoan cabang
atas itu hendak mengganggu seorang muda
yang ternyata sedang terganggu jiwanya?
Tidak mung-kin aku, Sai-cu Kai-ong,
mendiamkan saja kekejaman ini!”
Im-kan Ngo-ok terkejut bukan main. Kiranya
kakek berjenggot panjang yang berpakaian
sederhana, bukan pakaian pengemis itu,
adalah Sai-cu Kai-ong yang amat terkenal
sebagai keturunan dari ketua Khong-sim
Kai-pang yang amat terkenal dan yang
akhirnya telah mengundurkan diri dan
kabarnya telah ber-tapa di Pegunungan Taihang-
san itu.
Akan tetapi, Ngo-ok adalah orang yang
terlalu mengandalkan kepandaian sendiri.
Diapun sudah mendengar nama orang yang
terkenal di golongan bersih ini, akan tetapi
dia tidak menjadi gentar, apalagi karena di
situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap, takut apa?
Dia mendengus marah. “Kaukah Raja
Pengemis? Biar kubikin kau menjadi
pengemis mati?” Dan dia sudah berjungkirbalik
dan menyerang Sai-cu Kai-ong
dengan hebatnya!
Choirul, maret 2008 123
Para pembaca cerita JODOH SEPASANG
RAJAWALI tentu tidak lupa kepada tokoh
ini. Sai-cu Kai-ong adalah seorang tokoh
besar, keturunan dan ahli waris ketua-ketua
Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal,
memiliki ilmu kepandaian ting-gi. Dia
bernama Yu Kong Tek dan ting-gal di
puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai
sebelah selatan kota Paoteng, di
Pegunungan Tai-hang-san. Seperti telah
diceritakan dalam cerita JODOH
SEPASANG RAJAWALI, kakek ini pernah
mendidik Kam Hong ketika pendekar itu
masih kecil, bahkan dasar-dasar ilmu silat
yang dimi-liki Kam Hong adalah hasil
didikan kakek ini.
Kini, menghadapi cara berkelahi dari Ngook
yang aneh, dengan jungkir balik itu, Saicu
Kai-ong tidak menjadi gentar dan dia
segera mainkan Ilmu silat Khong-sim Sinciang
(Tangan Sakti Hati Kosong). Dengan
tenang dia menghadapi setiap serangan
kaki atau tangan, dan dia membalikkan
keadaan, yaitu menghadapi kedua kaki
lawan dengan kedua tangan-nya,
sedangkan kedua tangan lawan diha-dapi
dengan kedua kakinya! Artinya, dia
menangkis tendangan-tendangan kaki
dengan tangan, sebaliknya menangkis
pu-kulan-pukulan tangan dengan kaki!
Terja-dilah perkelahian yang amat aneh dan
seru sehingga keadaan di situ menjadi
semakin ribut.
Setelah kini ada yang berani turun tangan
menyerang Yeti, maka mulailah beberapa
orang kang-ouw mencoba-coba untuk
merampas pedang di tangan Yeti itu.
Mereka seolah-olah membantu Si Ulat
Seribu, padahal tentu saja maksud mereka
tidak demikian, melainkan mere-ka
menyerang Yeti untuk dapat meram-pas
pedang itu. Akan tetapi sungguh akibatnya
hebat sekali. Beberapa orang di antara
mereka terkena sambar sinar pedang
keramat itu dan roboh tewas, ada pula yang
dirubung ulat-ulat dari lengan Si Ulat Seribu
sehingga jatuh beberapa orang lagi menjadi
korban. Akan tetapi ada pula yang masih
terus mengurung Yeti sehingga Hong Bu
yang melihat keadaan itu menjadi khawatir
sekali akan keselamatan Yeti.
Tiba-tiba Wan Tek Hoat tertawa-tawa dan
dia pun lalu masuk ke dalam medan
pertempuran! Memang dia sedang bingung
karena kedukaannya mencari-cari
kekasihnya tanpa hasil. Maka dia pun
berke-lahi seperti orang bingung, kadangkadang
membantu Sai-cu Kai-ong, kadangkadang
dia membantu Yeti, dan adakalanya
juga dia menyerang Yeti! Akan tetapi
anehnya belum pernah dia menyerang Saicu
Kai-ong! Maka terjadilah perkelahian
yang simpang-siur akan tetapi karena
dilakukan oleh orang-orang yang berilmu
tinggi, maka menjadi pertempuran yang
amat seru dan angin pukulan yang
menyambar--nyambar amat dahsyatnya.
Selagi pertempuran yang kacau itu
berlangsung dengan serunya, tiba-tiba
terdengar suara nyanyian merdu yang
diiringi oleh bunyi musik yang amat in-dah.
Sungguh merupakan hal yang ter-amat
aneh di tempat seperti itu, di tengah-tengah
orang yang sedang berkelahi mati-matian,
tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu
diiringi suara mu-sik yang demikian
indahnya. Tentu saja suara aneh ini
membuat semua orang terheran-heran dan
otomatis yang sedang berkelahi itu dengan
sendirinya berhenti dan semua orang
berloncatan mundur, membuat Yeti dan
Wan Tek Hoat menja-di bingung. Yeti
berdiri bengong seperti tidak tahu harus
berbuat apa, dan Tek Hoat terkekeh aneh,
akan tetapi keduanya lalu diam dan juga
seperti terpesona oleh suara nyanyian dan
musik itu. Suara itu adalah suara wanita,
amat merdu, akan tetapi juga mengandung
tenaga yang mujijat dan seolah-olah dapat
meredakan panasnya hati mereka semua.
Semua mata memandang ke arah
datangnya suara dan dari bawah puncak
datar itu muncullah seorang pemuda yang
diiring-kan oleh belasan orang dayang yang
ber-pakaian indah dan berwajah cantikcantik.
Pemuda itu sendiri adalah seorang
pemu-da tanggung, kurang lebih lima belas
tahun usianya, berwajah tampan sekali dan
Choirul, maret 2008 124
kulit mukanya halus, sepasang mata-nya
yang lebar itu mengandung sinar jernih dan
tajam. Di belakangnya ada seorang dayang
yang membawa sebuah bendera yang
berwarna merah dan ada sulaman benang
emas yang berbunyi KIM SIAUW SAN KOK
(Lembah Gunung Suling Emas).
Setelah tiba di atas pucak datar yang
menjadi tempat pertempuran itu, Si Pemuda
Tanggung memandang kepada mereka
semua, lalu memandang kepada mayatmayat
di atas tanah, kemudian dia berkata
kepada seorang dayang yang ber-pakaian
kuning, “Kui Hwa, lenyapkan mayat-mayat
itu untuk membersihkan tempat kita.”
Wanita berpakaian atau berbaju ku-ning itu
mengangguk, kemudian menge-luarkan
sebuah botol yang bentuknya se-perti tubuh
ular, membuka tutup botol dan begitu dia
memercikkan sedikit cair-an berwarna putih
seperti perak ke atas tubuh mayat-mayat
itu, maka nampaklah asap mengepul tebal
dan da-lam waktu beberapa menit saja
mayat-mayat itu lenyap menjadi cairan
ku-ning dan akhirnya cairan itu pun le-nyap
masuk ke dalam tanah di an-tara salju!
Semua orang menjadi be-ngong, apalagi
mereka yang tahu akan obat-obatan seperti
Sai-cu Kai-ong, ka-rena dia tahu bahwa
obat yang dapat mencairkan mayat secepat
itu hanya terdapat dalam dongeng saja dan
dia sendiri belum pernah menyaksikannya
dengan mata kepala sendiri! Kini tinggal
bau yang tidak enak saja tercium di tempat
itu, sedangkan mayat-mayat itu lenyap
sama sekali, berikut ulat-ulat gundulnya!
“Lan-hwa, lenyapkan bau busuk agar
berobah wangi.” kembali pemuda itu
ber-kata, suaranya halus dan tenang
seolah-olah di situ tidak ada orang lain
kecuali dia dan para dayangnya!
Seorang dayang berbaju hijau yang juga
muda dan cantik mengangguk, lalu
mengambil sebuah botol merah,
meng-hampiri bekas tempat mayat
dicairkan tadi, dan ketika dia membuka
tutup bo-tol itu dan memercikkan sedikit
isinya ke atas tempat-tempat itu, terciumlah
bau yang sedap harum dan lenyap sama
sekali bau tidak enak tadi, membuat semua
orang merasa seolah-olah mereka berada
di taman yang penuh dengan bunga!
Kini pemuda itu memandang kepada semua
orang yang berada di situ, dan ketika
pandang matanya bertemu dengan Yeti, dia
membelalakkan sepasang mata-nya yang
lebar dan indah itu, “Aih, kira-nya inikah
yang selama ini didesas-desus-kan sebagai
Yeti? Dan dia pula yang telah menemukan
pedang kami? Betapa anehnya!”
Pada saat itu, Hong Bu yang sejak tadi
khawatir akan keselamatan Yeti yang
dikeroyok, kini merasa lega dengan
munculnya pemuda yang tampan halus itu.
Akan tetapi dia terkejut menyaksikan
kelihaian pemuda itu menyingkirkan ma-yatmayat
dan bau-bau mayat dicairkan, dan
dia juga mendengar ucapan terakhir tadi.
Maka meloncatlah dia keluar dari balik batu
besar, mendekati Yeti dan memegang
lengan Yeti seperti hendak melindungi.
“Memang Yeti yang menemukan pe-dang
ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah
merampas pedang seperti yang akan
dilakukan oleh semua orang yang tak tahu
malu ini!” Dia menentang pan-dang mata
semua yang hadir dengan penuh
keberanian. “Melainkan ada orang yang
menusukkan pedang ini di pahanya. Lihat,
pahanya masih juga belum sembuh. Dan
sekarang, kembali dia dikejar-kejar hendak
dibunuh dan dirampas pedangnya!
Sungguh manusia merupakan mahluk
paling kejam dan licik di dunia ini!”
Pemuda tampan itu seperti terce-ngang
mendengar ini dan sampai lama matanya
menatap wajah Hong Bu seperti orang tidak
percaya akan apa yang di-dengarnya.
“Siapa kau?” akhirnya pemuda itu bertanya,
suaranya mengandung kehe-ranan dan
mungkin kekaguman.
“Aku Sim Hong Bu, dan aku adalah satusatunya
manusia yang menjadi sahabat
Choirul, maret 2008 125
Yeti!” jawab Hong Bu dengan bangga dan
berani. Yeti agaknya senang mendengar ini,
tangan kirinya mengelus-elus rambut
kepada Hong Bu dan tangan kanan masih
memegang pedang dengan kaku.
“Cukup semua ini!” Tiba-tiba Sam-ok Ban
Hwa Seng-jin berkata dengan suaranya
yang nyaring. “Siapakah engkau, orang
muda? Dan mengapa engkau me-ngatakan
bahwa pedang itu adalah pe-dang kalian?“
Pemuda itu menoleh dan menghadapi Ban
Hwa Seng-jin. “Aha, kiranya Sam-ok Ban
Hwa Seng-jin yang bicara! Bukan-kah
engkau pernah menjadi Koksu dari Nepal?
Dan semua saudaramu juga hadir. Hemm,
juga Si Ulat Seribu, Si Golok Setan, dan
bukankah Anda Sai-cu Kai-ong?” katanya
mengangguk kepada kakek berjenggot itu.
“Hem, dan inikah Si Jari Maut? Betapa
bedanya dengan yang per-nah kami
dengar. Yang di sana itu, bu-kankah kalian
bertiga adalah Liok-te Sam-mo (Tiga Iblis
Bumi)? Kulihat hadir pula Pat-pi Kim-wan
(Lutung Emas Ta-ngan Delapan), dan itu
Tok-gan Sin-liong (Naga Sakti Mata Satu),
mengapa matamu yang sebelah kaututupi
dengan kain? Hemm, masih banyak tokohtokoh
yang terkenal. Pantas saja tempat ini
menjadi ramai!”
Semua orang terkejut bukan main dan
mereka memandang kepada pemuda itu
dengan mata terbelalak. Tidak ada se-orang
pun di antara mereka yang menge-nal
pemuda ini, akan tetapi pemuda ini
mengenal mereka satu demi satu, pada-hal
mereka itu datang dari seluruh pelosok
dunia, ada yang dari selatan, dari timur, dari
utara dan dari barat! Tentu saja hal ini
membuat mereka menjadi ingin sekali tahu,
kecuali tentu saja Si Jari Maut dan Yeti
yang tetap tidak peduli sikapnya.
“Siapakah engkau?” tanya pula Ban-hwa
Seng-jin, kini suaranya menjadi ha-lus, dan
hati-hati.
“Anda sekalian yang telah datang ke sini
hendaknya jangan membuat ribut di tempat
kami ini. Ini termasuk wilayah Lembah
Gunung Suling Emas, tempat ke-luarga
kami semenjak turun tenurun ribuan tahun
lamanya. Jika kalian hendak berkunjung ke
tempat kami, lakukanlah hal itu dengan
sopan seperti layaknya tamu-tamu terkenal.
Ayah dan paman-pamanku tentu akan
menyambut kalian dengan gembira.
Silakan! Juga engkau, Sim Hong Bu.
Sahabatmu, Yeti itu, boleh ikut, jangan
khawatir, kami tidak biasa membedabedakan
tamu, baik dia itu anjing, biruang,
atau manusia!” Bibir itu tersenyum dan Sim
Hong Bu juga terse-nyum karena ucapan itu
setidaknya menyatakan bahwa dalam
pandangan pemuda tampan itu, derajat Yeti
tidaklah kalah oleh manusia mana pun!
Sungguh aneh memang. Kini pemuda itu
diikuti oleh para dayangnya yang be-lasan
orang banyaknya itu membalikkan tubuh
dan berjalan perlahan pergi dari situ tanpa
menoleh sedikitpun juga kepa-da para tamu
itu seolah-olah mereka semua yakin bahwa
para tamu yang sudah dipersilakan itu tentu
akan mengikuti mereka. Dan memang
kenyataannya pun begitu! Para tokoh kangouw
itu kini melangkah dan perlahan-lahan
mengikuti rombongan aneh itu menuruni
puncak datar itu. Orang-orang yang tadinya
sa-ling berkelahi itu kini seperti
serombong-an tamu terhormat, berjalan
bersama-sama tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Di dalam hati masingmasing
me-mang ingin sekali tahu siapa
“tuan rumah” yang memiliki tempat seaneh
ini. Mereka tidak berani lancang
melanjutkan perkelahian yang belum
menentu itu, apalagi kalau sampai fihak
tuan rumah turun tangan. Tentu membuat
mereka yang sudah saling berlawan sendiri
itu menjadi makin berabe. Maka, mereka
semua ingin melihat bagaimana
perkem-bangannya agar mereka dapat
mengambil tindakan yang menguntungkan
fihak ma-sing-masing. Tentu saja kecuali Si
Jari Maut yang hanya ikut-ikutan saja
dengan rombongan itu, dan Yeti yang ditarik
le-ngannya oleh Hong Bu.
Choirul, maret 2008 126
Pemuda tampan itu bersama
rombong-annya berjalan terus berliku-liku,
melalui lereng-lereng yang terjal,
menyelinap di antara bukit-bukit es yang
amat banyak terdapat di situ, ada puluhan
buah ba-nyaknya dan macamnya sama
sehingga orang luar akan sukar sekali untuk
me-ngenal jalan yang dilalui rombongan ini.
Akhirnya mereka berhenti di tepi tebing
yang curam sekali. Tidak ada jalan turun
atau naik dan semua tamu itu sudah
melongo keheranan mengapa rombongan
pemuda itu membawa mereka ke tempat
seperti itu. Akan, tetapi tiba-tiba pemuda itu
menggerakkan tangannya dan dia sudah
memegang sebatang suling. Suling dari
emas! Tentu saja, melihat ini, Sai-cu Kaiong
terbelalak dan hampir saja dia
mengeluarkan seruan kaget. Bukankah
yang memiliki suling emas itu hanya be-kas
muridnya dan calon cucu mantunya, Kam
Hong keturunan langsung dari keluarga
Suling Emas? Dan kini pemuda tampan itu
menyuling. Suara sulingnya merdu bukan
main, bernada tinggi sampai melengking
dan seperti hendak memecahkan anak
telinga. Tiba-tiba pula dia ber-henti meniup
suling dan dari bawah tebing itu
“terbanglah” sehelai tambang yang
merentang antara tepi tebing itu sampai ke
puncak di depan sana! Kiranya tadinya
tambang itu memang sudah ada, hanya
tergantung ke bawah sehingga tidak
nampak, dan kini, atas isarat bunyi su-ling,
agaknya para penjaga di sebelah sana,
yaitu di puncak depan yang nampak
tertutup sebagian oleh awan atau kabut,
menarik ujung tambang di sana sehingga
kini tambang yang diikatkan ujungnya yang
sebelah sini pada batu besar dan
ditanamkan di tebing sini, merentang kuatkuat
dan nampak jelas.
“Maaf, Cu-wi yang terhormat. Tidak ada
jalan lain menuju ke lembah kami kecuali
melalui jembatan ini. Siapa yang ingin
mengunjungi tempat tinggal kami, kami
persilakan mengikuti kami.” Setelah berkata
demikian, pemuda itu dengan te-nangnya
lalu melangkahkan kaki ke atas tambang
itu, diiringkan oleh belasan orang dayang itu
dan mereka semua lalu berjalan di atas
tambang itu, merupakan barisan yang aneh.
Hebatnya, selagi menyeberang jurang
tebing yang amat cu-ram itu melalui
tambang, mereka yang memegang alat
musik itu masih memain-kan lagu merdu,
seolah-olah mereka bu-kan sedang berjalan
di atas tambang maut, melainkan sedang
berjalan-jalan di kebun bunga saja!
Para orang kang-ouw ,yang berada di situ
adalah orang-orang pandai. Berjalan di atas
tambang seperti itu saja tentu bukan
merupakan hal aneh bagi mereka. Akan
tetapi mereka maklum dan bergidik kalau
memikirkan bahwa orang luar tidak mungkin
dapat melalui tambang ini kare-na pasti
terjaga siang malam dan sekali ada orang
luar berani lancang memper-gunakan
tambang ini tanpa ijin, fihak sana tinggal
melepaskan ujung tambang di sana dan
orang luar yang lancang hendak memasuki
daerah itu, betapa pun saktinya dia, tentu
akan menghadapi ke-matian yang
mengerikan di dasar jurang yang luar biasa
curamnya sehingga tidak nampak dari atas
itu. Mereka lalu me-langkah ke atas
tambang dan satu demi satu mereka pun
berjalan di atas tam-bang.
Hong Bu juga tidak takut untuk ber-jalan di
atas tambang, akan tetapi hatinya merasa
ngeri juga ketika melihat ke bawah dan
tidak nampak apa-apa, hanya nampak
kabut saja, seolah-olah orang berjalan di
atas tambang yang direntang di udara yang
amat tinggi. Akan tetapi Yeti agaknya tidak
sabar lagi, dan dia sudah menyambar
pinggang Hong Bu lalu dipanggulnya dan
dia berjalan di atas tambang itu dengan
mudah dan enaknya. Tambang itu agak
terayun-ayun karena tubuh Yeti yang lebih
berat daripada yang lain.
Akhirnya semua tamu tibalah sudah di tepi
sana, yaitu di tebing dari sebuah lembah
yang sungguh lain daripada di seberang
sini. Sungguh aneh sekali karena lembah ini
biarpun juga tidak terhindar dari hawa
dingin dan salju, namun salju tidak begitu
Choirul, maret 2008 127
tebal dan di sini tumbuh macam-macam
tumbuhan yang aneh-aneh, bahkan ada
burung-burung dan ada bina-tang-binatang
berkeliaran di lembah itu. Puncaknya juga
tertutup salju, akan tetapi diselang-seling
warna hljau daun--daun. Dan lembah itu
sungguh tak mung-kin dapat didatangi
orang luar kecuali melalui tambang tadi
karena selain terkurung jurang-jurang yang
curam, juga melalui daerah-daerah yang
mudah sekali terjadi salju dan tanah longsor
sehingga merupakan daerah maut!
Semua tamu, kecuali SI Jari Maut yang
tidak mengacuhkan apa pun, dan Yeti,
memandang ke sekeliling penuh takjub.
Anehnya, Yeti kelihatan biasa saja, bahkan
tenang-tenang sekarang, dan kadangkadang
ada nampak oleh Hong Bu betapa
Yeti menarik napas panjang bebe-rapa kali.
Dan agaknya daerah ini bukan merupakan
daerah asing bagi Yeti, se-oah-olah dia
berada di rumah atau dae-rah sendiri. Dan
hal ini mungkin saja, pikir Hong Bu. Yeti
memiliki kepandaian menjelajahi daerah
salju itu jauh lebih hebat daripada
kepandaian manusia mana pun, tentu
bukan tidak mungkin kalau Yeti pernah
mendatangi tempat ini mela-lui jalan lain
betapa pun tidak mungkin hal itu dilakukan
agaknya oleh manusia.
“Cu-wi, silakan.” kata pemuda itu dan para
tamu melihat betapa dari tempat penjagaan
di tepi tebing sebelah sini, nampak
beberapa orang laki-laki yang bertubuh
tinggi tegap memutar alat penggulung
tambang dari baja. Benar dugaan mereka,
tempat itu selalu terjaga dan bahkan
jembatan tambang itu selalu dijaga orang
sehingga tidaklah mungkin orang luar
datang melalui tambang itu tanpa seijin
pemilik lembah yang dina-makan Lembah
Gunung Suling Emas ini! Mereka lalu
mengikuti rombongan dayang dan pemuda
itu menuju ke tengah lem-bah di mana
nampak bangunan-bangunan mengelilingi
sebuah bangunan besar yang megah dan
mewah. Sungguh mengagum-kan dan juga
mengejutkan sekali bagai-mana di tempat
seperti itu, yang ter-asing dari keramaian
dunia ada orang dapat membangun
bangunan yang seperti istana itu! Dan
mereka makin kagum ketika tiba di dekat
bangunan-bangunan seperti perkampungan
itu karena di situ memang indah, terdapat
taman-taman bunga yang aneh-aneh, yang
penuh de-ngan batu-batu ukir-ukiran, arcaarca
yang dibuat secara indah sekali.
Ketika melewati sebuah taman, tiba-tiba
Yeti mengulur tangannya memetik
setangkai bunga merah dan langsung saja
memakannya, bahkan memberikan
setang-kai kepada Hong Bu yang tanpa
ragu-ragu juga memakannya. Dan memang
seperti yang diduga, Yeti tidak menipunya,
bunga merah itu berbau sedap dan rasanya
enak, agak masam-masam seperti buah
apel! Melihat ini, pemuda itu menengok dan
berkata dengan wajah berseri, “Aihh,
kiranya Yeti mengenal Bunga Hati Merah
kami!” serunya gembira dan juga kagum.
“Dia adalah penjelajah nomor satu di
Himalaya, tentu saja mengenal segala-nya.”
jawab Hong Bu membanggakan
sa-habatnya. Pemuda tampan itu hanya
tersenyum, lalu dengan tangannya
mempersilakan semua orang untuk
melanjut-kan perjalanan menuju ke ruangan
depan rumah terbesar di perkampungan
aneh itu.
Ketika mereka tiba di depan rumah besar
dan indah seperti istana itu, nam-pak papan
nama yang besar dan indah tulisannya
dipasang orang di depan pintu gerbang.
Istana Suling Emas, demikian bunyi tulisan
dan kembali Sai-cu Kai-ong tertegun.
Para pembaca tentu juga sama heran-nya
seperti Sai-cu Kai-ong, karena bu-kankah
keluarga Pendekar Suling Emas adalah
keluarga yang sudah habis dan kini tinggal
diri Kam Hong seorang seba-gai keturunan
terakhir? Bagaimana di Himalaya, di tempat
terasing ini terda-pat perkampungan yang
disebut Lembah Gunung Suling Emas, dan
pemuda yang menyambut mereka itu pun
tadi meniup suling emas dan kini istana ini
disebut Istana Suling Emas? Apa
Choirul, maret 2008 128
hubungannya ini dengan nenek moyang
dari cucu mantu-nya itu? Akan tetapi
sebelum menerang-kan soal yang aneh ini,
lebih dulu se-baiknya kita ketahui
bagaimana Sai-cu Kai-ong, tokoh kang-ouw
yang sudah lama menutup diri di Tai-hangsan
itu, kini tiba-tiba muncul pula bersama
orang-orang kang-ouw di Himalaya?
Apa-kah dia juga ingin memperebutkan
pe-dang keramat yang dikabarkan lenyap
dari istana itu?”
Sesungguhnya tidaklah demikian. Se-orang
kang-ouw yang gagah perkasa se-perti Saicu
Kai-ong tidak sudi lagi mem-perebutkan
sesuatu seperti sebagian besar tokoh-tokoh
kaum sesat. Dia memang datang ke
Pegunungan Himalaya sehu-bungan
dengan berita membanjirnya orang-orang
kang-ouw di pegunungan yang tinggi itu,
akan tetapi bukan untuk mencari pedang.
Andaikata dia dapat memperoleh pedang
itu, tentu hanya untuk dikembalikan ke
istana kaisar. Tidak, dia tidak ingin berebut
pedang, akan tetapi dia mengharapkan
untuk dapat bertemu dengan cucu
perempuan-nya yang telah menghilang
bertahun-ta-hun lamanya. Cucu perempuan
itu adalah Yu Hwi, atau yang pernah dikenal
seba-gai Kang Swi Hwa atau Ang Siocia,
se-orang yang cantik dan lincah, penuh
keberanian dan kecerdikan, pandai sekali
menyamar menjadi apa pun, dan memiliki
ilmu mencopet yang luar biasa. Semua ilmu
ini dipelajarinya dari gurunya, yaitu Hek-sim
Touw-ong Si Raja Maling yang terkenal itu.
Cucu perempuan yang men-jadi tunangan
Kam Hong itu melarikan diri, agaknya
menolak dijodohkan dengan Kam Hong dan
sampai kini tidak pernah ada beritanya!
Maka, hal ini amat me-nyusahkan hati
kakek ini dan berangkat-lah dia ke
Pegunungan Himalaya untuk mencari
cucunya itu yang diharapkannya akan
datang juga ke daerah itu untuk beramairamai
memperebutkan pedang keramat.
Maka, sudah tentu saja kakek ini terheranheran
bukan main ketika disambut oleh
pemuda yang bersuling itu dan dibawa ke
dalam perkampungan luar biasa yang
dinamakan Lembah Gunung Suling Emas,
karena keluarga Suling Emas adalah
sahabat dari keluarganya sendiri. Semenjak
ratusan tahun yang lalu, keluarganya, yaitu
keluarga Yu dari Khong-sim Kai-pang
adalah sahabat-saha-bat dari keluarga
Pendekar Suling Emas dan karena
mengingat pertalian persaha-batan antara
nenek moyangnya itulah maka diambil
keputusan untuk menjodoh-kan Yu Hwi,
keturunan terakhir dari keluarga Yu, dengan
Kam Hong, ketu-runan terakhir dari
keluarga Kam atau keluarga Suling Emas.
Dan kini tiba-tiba muncul keluarga Suling
Emas lain di tengah-tengah Pegunungan
Himalaya!
Tentu saja Sai-cu Kai-ong tidak tahu akan
hal ini. Akan tetapi di lain pihak, keluarga
yang tinggal di Lembah Gunung Suling
Emas ini adalah keluarga yang benar-benar
hebat, sedemiklan hebatnya sehingga
keluarga ini sudah mengenal semua orang
yang mendatangi daerah mereka dan
pemuda yang menyambut tadi pun sudah
mengenal nama-nama mereka! Biarpun
keluarga ini tidak pernah berkecimpung di
dunia kang-ouw, akan tetapi mereka
mempunyai banyak sekali penyelidik,
apalagi dalam menghadapi perebutan
pedang keramat itu, maka mereka sudah
menyelidiki semua tokoh yang ikut naik ke
Pegunungan Himalaya sehingga gambarangambaran
tentang mereka telah dikenal
oleh semua penghu-ni Lembah itu dan
pemuda itu pun de-ngan mudah dapat
mengenalnya satu demi satu!
Keluarga Suling Emas yang berada di
lembah ini bukan lain adalah keturunan
langsung dari kakek kuno yang ditemukan
mayatnya oleh Kam Hong di bagian lain dari
lembah itu! Memang aneh sekali. Keluarga
ini sendiri tidak tahu bahwa masih ada
mayat nenek moyang mereka yang masih
utuh dan membawa-bawa rahasia terbesar
dari ilmu keturunan mereka dan sama sekali
tidak mengira bahwa mayat nenek moyang
mereka itu akan ditemukan oleh Kam Hong
dan bah-kan pemuda ini yang akhirnya
mewarisi semua ilmu nenek moyang
mereka! Mereka ini adalah keturunan dari
Choirul, maret 2008 129
kakek pembuat suling emas yang lihai itu,
tu-run temurun tinggal di tempat itu. Kare-na
mereka merupakan keluarga yang pandai,
dan berhubungan dekat dengan keluarga
Raja Nepal, maka mereka tidak kekurangan
sesuatu. Semenjak nenek moyang mereka,
mereka itu merupakan sahabat keluarga
Raja Nepal dan sering-kali memberi nasihat
dan petunjuk, dan sebaliknya Raja Nepal
juga selalu men-cukupi keperluan mereka,
bahkan men-dirikan istana itu untuk mereka
setelah pada puluhan tahun yang lalu
keluarga mereka berjasa mengusir musuhmusuh
yang datang dari barat Kerajaan
Nepal!
Jadi memang ada perbedaan besar antara
keluarga Suling Emas yang berada di
Himalaya ini dengan keluarga Suling Emas,
yaitu keluarga Kam yang menjadi keturunan
Pendekar Suling Emas Kam Bu Song.
Keluarga Suling Emas di Himalaya ini
adalah keturunan dari pembuat suling emas
itu, sedangkan keluarga Kam ada-lah orang
yang akhirnya mendapatkan Suling itu dan
dipergunakan sebagai sen-jata dan
akhirnya terkenal dengan juluk-an Pendekar
Suling Emas. Jadi terdapat perbedaan yang
besar sekali, dan tidak ada hubungannya
sama sekali, kecuali hubungan melalui
suling emas yang kini dipegang Kam Hong
itu, hubungan antara pembuat suling dan
pemakai suling. Sungguhpun terdapat suatu
keistimewaan yang sama, yaitu ahli
mempergunakan suling sebagai senjata!
Keluarga Suling Emas di lembah ini adalah
keluarga Cu, yaitu nama keturun-an dari
kakek pembuat suling emas, yang
sesungguhnya masih seorang pangeran
dari Kerajaan Cin yang suka merantau dan
akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di
lembah itu. Menurut dongeng keluarga Cu,
kakek ini setelah berkeluarga dengan puteri
Nepal, menetap di situ dan hidup sampai
beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari
dia menghilang, katanya untuk pergi
bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar
tentang dirinya. Anak cucunya hidup terus
di lembah itu, ada pula yang pergi
merantau, akan tetapi lembah itu tetap
dipelihara, bahkan sekarang, ke-turunan
terakhir yang tinggal di situ ter-dapat tiga
orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu
Han Bu, pria sederhana berusia empat
puluh tahun, ayah dari pemuda tampan
yang menyambut para tamu tadi. Yang ke
dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga
puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu
Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun.
Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang
ini-lah merupakan keturunan terakhir dari
keluarga Suling Emas she Cu itu.
Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak
saja, yaitu “pemuda” yang menyam-but para
tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya
bukan seorang laki-laki, me-lainkan seorang
anak perempuan. Karena ingin sekali
mempunyai anak laki-laki, maka untuk
menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan
isterinya memperlakukan anak mereka
seperti anak laki-laki, bah-kan sejak kecil
anak itu memakai kain laki-laki, sungguhpun
dia sadar sepenuh-nya bahwa dia seorang
perempuan. Seba-gai seorang anak yang
berbakti Cu Pek In, demikian nama anak itu,
dia ingin menyenangkan hati orang tuanya
dan se-lalu berpakaian pria sehingga dia
menjadi seorang pemuda cilik sekarang!
Sebagai keturunan dari kakek sakti
pembuat su-ling emas itu, sudah tentu saja
keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang
mujijat dan tinggi sekali.
Sudah belasan tahun semenjak ayah
mereka meninggal, keluarga yang terdiri
dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi
berhubungan dengan Nepal. Mereka
melihat betapa Nepal mulai melakukan
penyelewengan, mulai mencampuri urusan
kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau
mencampuri. Apalagi ketika mereka
mendengar bahwa Raja Nepal yang baru
mempunyai seorang Koksu yang kabarnya
merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngook,
keluarga Cu ini makin mengun-durkan
diri dan tidak pernah berhubung-an. Oleh
karena itu, maka mereka tidak mengenal
Sam-ok Ban-hwa Seng-jin, sungguhpun
mereka mendengar namanya, dan mungkin
Choirul, maret 2008 130
juga Koksu Nepal itu men-dengar tentang
nama mereka.
Dan memang demikianlah kenyataan-nya.
Ketika pemuda tampan yang
sesung-guhnya adalah Cu Pek In itu
bersama rombongan dayangnya
menyambut dan menyebut nama Lembah
Gunung Suling Emas, berdebar rasa
jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar
tentang keluarga di Himalaya ini, yang
menurut berita di Nepal merupakan
keluarga yang turun temurun bersahabat
dengan keluarga Raja Nepal, akan tetapi
yang semenjak raja yang sekarang, yaitu
raja yang mengang-kat dirinya sebagai
koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya
dan agaknya putus hubungan antara
keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan
Nepal. Sam-ok tidak peduli akan hal itu
ketika dia masih menjadi koksu, apalagi
mendengar bahwa tempat tinggal keluarga
itu meru-pakan rahasia besar dan tidak ada
seorang pun tahu presis di mana letak
tempat tinggal mereka. Yang diketahui
umum hanyalah bahwa tempat itu berada di
Pegunungan Himalaya. Dan kini, tanpa
disangka-sangkanya, dia telah ikut
rom-bongan orang kang-ouw memasuki
daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang
menjadi sahabat keluarga raja sejak
ra-tusan tahun yang lalu! Dengan demikian,
maka ada dua orang dalam rombongan itu
yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu
Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Seng-jin.
Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In
dan rombongan dayang itu sudah tiba di
ruangan depan yang luas dan terhias
gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah,
Cu Pek In mempersilakan mereka menanti
di situ dan para dayang lalu masuk ke
dalam melalui pintu besar di depan dan di
tengah ruangan itu. Tak lama kemudian,
para tamu yang masih berdiri karena belum
dipersilakan duduk itu melihat pintu itu
terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang
laki-laki. Se-mua orang memandang
dengan penuh perhatian. Akan tetapi tidak
ada sesuatu yang mengesankan pada diri
tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian
biasa saja, dengan sikap yang sederhana
pula, akan tetapi wajah dan pandang mata
mereka serius dan penuh wibawa,
sedang-kan sinar mata mereka yang
mencorong itu mengejutkan, orang karena
hal itu menunjukkan bahwa mereka itu
memiliki kekuatan dalam yang hebat!
“Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di
puncak datar. Semua, kecuali yang tewas
dalam keributan antara me-reka, telah
kuundang datang sebagai tamu sesuai
dengan perintah Ayah.” kata Cu Pek In
sambil menyelipkan sulingnya di ikat
pinggangnya. Tentu saja Sai-cu Kai-ong
dan Ban-hwa Seng-jin, lebih-lebih dari para
tamu lainnya, memandang dengan penuh
perhatian dan dengan hati tertarik sekali.
Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu
dengan tajamnya memandang para
tamunya seorang demi seorang, dan paling
lama mereka memperhatikan Sam-ok Banhwa
Seng-jin yang menjadi tidak enak hati,
kemudian mereka juga me-mandang Yeti
sampai lama, terutama ke arah pedang
yang berada di tangan Yeti.
“Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam
keluarga kami!” Tiba-tiba orang termuda di
antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang
ke tiga ini bertubuh ting-gi besar, bermata
lebar dan selain sikap-nya gagah, juga dia
kasar dan jujur. Dan inilah Yeti seperti yang
diceritakan Twa-so (Kakak Ipar Perempuan
Tertua)!”
Tiba-tiba terdengar suara merdu, “Tidak
salah, dialah binatang itu!” Semua orang
menengok karena terkejut. Mereka adalah
orang-orang kang-ouw yang beril-mu tinggi,
akan tetapi tidak ada yang mendengar
datangnya seorang wanita di tempat itu,
tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di
situ, entah sejak kapan. Wanita itu usianya
kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali,
dengan ping-gang ramping dan gerak
geriknya luwes dan lemah gemulai seperti
gerakan seorang penari pandai atau
gerakan tubuh seekor ular saja, dan
pakaiannya juga mentereng dan mewah,
Choirul, maret 2008 131
rambutnya yang hitam gemuk digelung ke
atas seperti gelung rambut puteri-puteri
istana!
“Dialah binatang itu, dan itulah pe-dang
kami! Kalian, harus merampasnya dari
tangan Yeti keparat itu!” bentak lagi wanita
ini.
Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata,
“Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda
itu. Sebaiknya pedang itu diminta
kepadanya.”
Mendengar ini, Cu Han Bu memandang
kepada Hong Bu dengan penuh perhatian,
seolah-olah tidak percaya kepada
omong-an puterinya. Mana mungkin Yeti,
mah-luk yang selama ini menjadi dongeng
dan ditakuti semua orang, yang amat sakti
sehingga Twa-sonya sendiri kewalahan
menghadapinya, menjadi milik bocah ini?
“Siapakah namamu, orang muda?”
tanyanya hati-hati. Memang, tokoh ini selalu
bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu.
Sim Hong Bu maklum bahwa dia
ber-hadapan dengan keluarga yang berilmu
tinggi, dan juga mereka adalah tuan ru-mah,
maka sebagai tamu yang tahu diri dan
mengenal kesopanan, dia lalu me-langkah
maju, memberi hormat dan men-jawab,
“Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe.”
Sikap dan ucapan Hong Bu ini
menye-nangkan hati Han Bu yang
mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh
mengagumkan dan jarang pada jaman itu
menemukan bocah yang begini matang,
begini tabah dan berani berdiri di atas
kakinya sendiri seperti orang yang sudah
dewasa benar. Juga, sekali pandang saja
dia dapat mengukur bahwa bocah ini
memiliki ba-kat yang baik sekali, sinar
matanya begi-tu tajam, gerak-geriknya
begitu tenang.
“Benarkah bahwa Yeti ini adalah mi-likmu,
peliharaanmu?”
Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan
itu, lalu menjawab lantang. “Ha-rap jangan
ada yang menghina Yeti! Dia ini sama
sekali bukan binatang pelihara-an, bukan
binatang liar yang jahat, harap semua
mengetahui betul hal ini!”
“Huh, omongan apa itu! Kami sudah
merasakan kebuasannya!” Tiba-tiba Ngo-ok
mendengus marah, tangannya meraba
daun telinganya yang pecah-pecah ketika
dia berkelahi melawan Yeti itu.
“Benar!” Su-ok berteriak, “Yeti itu mahluk
buas seperti iblis!”
Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan
sinar matanya seperti kilat menyam-bar ke
arah dua orang itu. “Tuan-tuan berada di
tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga
kesopanan dan bicara me-nanti giliran!”
kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Suok
dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah
mereka agak merah.
“Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu?
Banyak orang kang-ouw mengabarkan
bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah
membunuh dan melukai banyak orang.”
kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih
berdiri dan semua orang kini me-mandang
kepada Hong Bu.
“Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan
kejam, suka menyerang atau membu-nuh
orang adalah bohong, Locianpwe!” kata
Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas,
bukan peliharaan saya, melainkan sahabat
saya yang paling baik. Manusia-lah yang
jahat, yang mengganggunya,
menyerangnya sehingga dia membela diri
dan untuk membela diri, tentu saja dia
harus mengalahkan lawannya, kalau perlu
mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai
orang ditusuk pedang, tentu saja dia
menjadi marah. Semua orang agaknya
hendak membunuhnya untuk merampas
pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa
yang tidak akan menjadi marah dan
membela diri?”
Choirul, maret 2008 132
“Toa-so.” tiba-tiba Cu Han Bu me-noleh
kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak
menyerangmu dan apakah Toa-so yang
mendahului menyerangnya?”
Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang
penuh dan merah itu bermain se-bentar,
kemudian dia berkata, “Memang aku yang
menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa
yang tidak menjadi kaget melihat dia tibatiba
muncul dan kelihat-an begitu buas?
Aku menyerangnya dan dia melawan,
ternyata dia lihai sekali dan biarpun aku
berhasil menusuk paha-nya, pedang itu
tertinggal di pahanya, dia menjadi buas dan
aku terpaksa me-larikan diri. Lalu dia
menghilang....“
Cu Han Bu mengangguk-angguk, lalu
menghadapi semua orang kang-ouw yang
berdiri di hadapannya. “Apakah Cu-wi
sengaja berdatangan ke Himalaya untuk
mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?” Dia
menuding ke arah pedang yang masih
dipegang oleh Yeti.
“Hemm, terus terang saja, siapakah yang
tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab
Toa-ok dengan suara halus.
“Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu
adalah milik keluarga kami sejak turun
menurun. Nenek moyang kami yang
membuatnya dan menciptakannya. Pada
suatu hari pedang itu hilang dan setelah
kami mendengar pedang itu berada di
is-tana kaisar, Toa-soku ini pergi ke sana
dan mengambilnya kembali. Akan tetapi
malang baginya, di tengah jalan bertemu
dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di
paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan
hendaknya Cu-wi tidak memperebut-kan
lagi. Untuk itu kami dapat menjelas-kannya,
dan untuk jerih payah Cu-wi kami bersedia
mengganti sekedar ongkos perjalanan yang
telah dikeluarkan.”
“Ah, mana ada aturan seperti itu?” Tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring, suara
Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk
menjadi semakin buruk karena marahnya.
Dialah yang merasa paling dirugikan dalam
perebutan pedang itu, karena selain empat
orang pemikul tandu yang menjadi
pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulatulatnya
sendiri, juga sebagian ulatnya telah
mati dan lenyap pula. “Bagaimana bisa
enak saja menga-kui pedang tanpa buktibukti
yang jelas? Kalau hanya penjelasan
saja, setiap orang pun mampu mengisap
jempol!”
Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu
melangkah maju dan suaranya lantang
ketika dia berseru, “Perempuan buruk!
Apakah Si Ulat Seribu sudah mempunyai
nyawa rangkap berani berkata seperti itu di
sini?” Dia sudah melangkah maju, akan
tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata
dengan suara berwibawa.
“Harap Toa-so suka memaafkan bicara-nya.
Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau
orang seperti dia bicara demikian.” Agaknya
Sang Toa-so itu cukup segan terhadap adik
iparnya ini maka dia mun-dur lagi dengan
mulut cemberut. Cu Han Bu lalu berkata
kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan
halus.
“Orang muda, apakah engkau percaya
kepada kami keluarga dari Lembah
Gu-nung Suling Emas? Kalau. percaya,
serah-kan pedang itu kepadaku untuk
dipergunakan sebagai bukti bahwa memang
kami yang berhak atas pedang itu.”
Sim Hong Bu cepat berkata. “Tentu saja,
Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan
serakah mengukuhi pedang bukan miliknya,
apalagi saya. Hanya kami mohon agar
pedang benar-benar dikembalikan kepada
yang berhak.” Sete-lah berkata demikian,
dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus.
“Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar
pedang itu.”
Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja
seperti termenung, dan mendengar ucapan
Hong Bu itu dia segera menurun-kan
tangannya yang memegang pedang dan
menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong
Choirul, maret 2008 133
Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan
menyerahkannya dengan sikap hormat
kepada Cu Han Bu.
Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggitinggi
di atas kepalanya. “Pedang Koailiong-
pokiam ini adalah pedang pu-saka
buatan nenek moyang kami, oleh karena itu
kami tahu segala hal-ihwal-nya, riwayatnya
dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada
pedang ini. Cu-wi se-kalian boleh mencoba
dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu,
barulah kami akan menunjukkan rahasianya
sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik
dan pusaka keluarga kami.”
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu
menyerahkan pedang pusaka itu kepada
orang yang berdiri paling dekat dengannya,
yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka
buruk itu menerima pedang itu. Semua
mata memandang dan tidak ada seorang
pun yang mempunyai pikiran untuk
melarikan pedang itu, bah-kan Im-kan Ngook
pun tidak berani. Karena siapa yang
melarikan pedang itu tentu akan
berhadapan dengan mereka semua,
ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan
keluar dari tempat itu hanya melalui
tambang. Tidak mungkin melari-kan diri
dengan pedang itu! Maka kini Si Ulat Seribu
meneliti pedang itu, digerak-gerakkan,
ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia
memang tidak tahu rahasia-nya, dia tidak
menemukan sesuatu yang aneh pada
pedang itu, kecuali bahwa pedang itu
benar-benar amat hebat, sebatang pedang
yang terbuat daripada logam yang aneh
sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar
kehijauan, amat ringannya namun
membayangkan kekeras-an yang tak
terlawan oleh apa pun!
“Sebatang pedang yang luar biasa!”
katanya kemudian dan dia pun
mengem-balikannya kepada tuan rumah.
“Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang
aneh padanya.”
“Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat
menunjukkan rahasianya, maka se-karang
giliran orang berikutnya.” Dan dia lalu
menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain.
Pedang itu terus berpindah tangan setelah
setiap orang meneliti dengan pe-nuh
kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok
sendiri yang terkenal sebagai orang--orang
licik dan cerdik, tidak dapat me-nemukan
rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok
Ban-hwa Seng-jin yang memegang pedang
itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil
berkata.
“Telah lama sekali kami mengenal nama
penghuni Lembah Gunung Suling Emas
sebagai orang-orang terhormat dan gagah
perkasa, maka kini kami percaya bahwa
dalam urusan pedang, ini penghuni Lembah
Gunung Suling Emas tidak akan berlaku
curang.”
Cu Han Bu tersenyum tenang, “Sam-ok
Ban-hwa Seng-jin, kami pun men-dengar
akan namamu sebagai bekas Kok-su Nepal
yang pandai. Cobalah perguna-kan
kepandaianmu untuk mengetahui ra-hasia
pedang yang menjadi milik nenek moyang
kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang
menyimpan pedang ini sejak dua keturunan,
tidak tahu akan rahasia-nya. Hanya kami,
pemilik sah dari pe-dang ini yang akan
dapat menunjukkan rahasianya.”
Sam-ok memeriksa dengan teliti seka-li,
dari ujung pedang sampai ke gagang-nya.
Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan
rahasia pedang itu. Akhirnya dia
mengembalikan kepada tuan rumah sambil
berkata, “Kami tidak melihat ada rahasia
apa pun pada pedang ini.”
Cu Han Bu menarik napas parijang, lalu
berkata. “Nah, Cu-wi sekalian me-lihat
sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang
tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang
hendak kami perlihatkan.”
Tuan rumah memegang batang pedang itu
dan mengacungkan pedang ke atas, ke
arah udara. “Cu-wi, lihatlah baik-baik!” Tibatiba
pedang itu mengeluarkan bunyi dan
tergetar, lalu nampaklah sinar ber-kilat
Choirul, maret 2008 134
keluar dari gagang pedang, melalui dua
bagian meruncing yang mengapit pedang
dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor
burung yang tadi beterbangan di atas,
menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang
terkejut dan kagum. Kira-nya pedang itu
mengandung rahasia, da-pat mengeluarkan
senjata rahasia seperti itu!
“Bagus sekali!” Hong Bu berteriak memuji.
“Locianpwe, bagaimana hal itu dapat ter
jadi?”
Tuan rumah tersenyum, menjawab
pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada
semua tamunya, “Cu-wi lihat, tanpa
mengenal rahasia pedang ini mana
mungkin melakukan hal tadi? Nenek
moyang kami membuat pedang ini dengan
menyimpan rahasia itu. Gagang pedang
menyimpan jarum-jarum halus yang
dige-rakkan oleh alat rahasia di dalam
ga-gang, dan untuk menggerakkan alat
ra-hasia itu kita harus mengerahkan tenaga
sin-kang yang mengandung hawa panas
sampai suhu tertentu, barulah alat itu
bergerak dan jarum-jarum itu dapat ke-luar
dengan kecepatan yang mematikan.”
Semua orang merasa kagum sekali. Akan
tetapi dengan terheran-heran mere-ka
melihat betapa tuan rumah itu
me-nyerahkan pedang itu kembali kepada
Sim Hong Bu sambil berkata, “Nah,
te-rimalah kembali pedang yang kami
pin-jam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke
tangan Yeti dan hal ini terus terang saja
terjadi karena kelengahan pihak kami
sendiri.” Dia tidak terang-terangan
menyalahkan Toa-sonya sungguhpun
semua tamu maklum wanita itulah yang
lengah sehingga pedang menancap di paha
Yeti. “Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin
mengembalikan, kami tidak menyalahkan
dia dan kelak kami akan mempergunakan
kepandaian untuk merampasnya kembali
dari tangannya.”
Sim Hong Bu juga terkejut sekali me-lihat
pedang dikembalikan kepadanya. Akan
tetapi dia mengerti dan makin kagumlah
hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata
selain gagah perkasa, juga jujur dan
budiman. Maka dia lalu mene-rima pedang
itu, menyerahkan kepada Yeti sambil
berkata, “Yeti, kalau engkau menganggap
aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu
agar engkau mengembalikan pedang ini
kepada yang berhak, yaitu kepada
Locianpwe majikan dari Lembah Suling
Emas ini. Akan tetapi kalau eng-kau tidak
rela, aku pun tidak berani me-maksa, hanya
aku akan kecewa.”
Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak
ragu-ragu, sebentar memandang kepada
pedang itu, kepada wajah Hong Bu,
kemudian menoleh ke arah wanita cantik
yang telah melukai pahanya, dan akhirnya
pedang yang telah diterimanya itu
dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia
menunduk, sikapnya tak acuh!
“Yeti, engkau merelakan pedang ini
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?”
tanya Hong Bu dengan suara girang sekali.
Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk
dan tetap diam saja.
Girang dan legalah hati Hong Bu. “Bagus,
engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh
lebih budiman daripada manu-sia-manusia
yang jahat di dunia ini!” Ma-ka Hong Bu
tidak ragu-ragu lagi menye-rahkan pedang
itu dengan kedua tangannya kepada Cu
Han Bu sambil berkata, “Inilah pedang itu,
Locianpwe. Yeti mengembali-kannya
kepada Locianpwe sebagai pemilik yang
sah. Seorang gagah tidak akan
menginginkan barang orang lain, dan Yeti,
biarpun bukan termasuk manusia, namun
berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para
pendekar.”
Cu Han Bu memandang dengan kagum
kepada Hong Bu, lalu menarik napas
pan-jang, “Amat sukar menemukan mahluk
seperti Yeti, dan lebih sukar lagi
mene-mukan seorang anak seperti engkau,
Sim Hong Bu.” Kemudian dia menerima
pedang itu dan menyerahkannya kepada
Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu
Choirul, maret 2008 135
meneri-ma pedang itu dengan sikap hormat,
lalu membawanya masuk ke dalam.
Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu
mempersilakan semua tamunya duduk.
“Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk
me-nerima hidangan penghormatan kami
dan untuk mendengarkan kisah tentang
pe-dang itu sekadarnya dari kami.”
Semua orang diam-diam merasa kece-wa
sekali karena pedang itu telah kem-bali
kepada majikan Lembah Suling Emas ini
dan akan sukarlah bagi mereka untuk
mengharapkan memperoleh pedang
ke-ramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan
bahwa mereka berhasil memasuki daerah
terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah
merupakan pengalaman yang luar biasa
bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malumalu
lagi lalu mengambil tempat duduk dan
berkelompok memilih teman masingmasing.
Sim Hong Bu mengambil tempat
duduk di sudut bersama Yeti yang tidak
mau duduk di atas kursi, me-lainkan
mendeprok di atas lantai. Sejak tadi, Yeti
nampak seperti orang yang lemas dan
kesal, lebih banyak menunduk seperti orang
termenung.
Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang
yang muda dan cantik dan berbau harum
itu. Dan semua orang semakin kagum
karena arak yang dihidangkan adalah arak
yang amat baik dan masak-an-masakan
mengepulkan uap itu pun bukan masakan
sembarangan dan terbuat dari bahan dan
bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di
tempat itu terdapat ruang-an es yang dingin
dan yang dapat dipakai menyimpan daging
atau apa saja sehingga berbulan-bulan
dalam keadaan masih segar!
Setelah semua tamu dipersilakan makan
minum, semua orang merasa puas kecuali
Yeti yang tidak mau makan apa-apa
sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu
lezat makan sendirian saja, dan dayangdayang
sudah menyingkirkan mangkok
piring meninggalkan cawan dan guci arak
berikut penganan, tuan rumah lalu bercerita
tentang pedang keramat itu. Semua orang
mendengarkan dengan asyik karena
memang cerita itu agak aneh.
Kakek buyut dari tiga orang saudara Cu itu,
yang bernama Cu Hak, mewarisi
kepandaian nenek moyangnya dalam hal
kesenian memasak dan membentuk
lo-gam, pendeknya kepandaian seorang
pan-dai besi yang luar biasa. Akan tetapi,
kalau di antara nenek moyangnya itu ahli
dalam hal pembuatan benda dari logam
emas, ada yang ahli perak, dan ada pula
yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak
ini adalah seorang ahli pembuat pedang
yang amat baik.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak
yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam
keadaan lemah dan agaknya pe-nyakit
jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang
pendek dan tidak bangkit dari tempat
tidurnya. Anak cucunya datang
menjaganya, akan tetapi kakek itu tetap
gelisah dan akhirnya berkata bahwa ma-lam
tadi dia bermimpi melihat seekor naga
terbang melayang turun kemudian
menghilang ke belakang rumahnya, masuk
ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang
berada di belakang rumah mereka.
“Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu
ada apa-apa di situ” pintanya berkali-kali.
Karena melihat kakek itu keadaannya
payah, maka anak cucunya lalu beramairamai
mencari. Dengan kekuatan yang
disatukan, keluarga yang memang lihai dan
berilmu tinggi ini mendorong batu sehingga
menggelinding beberapa meter dari tempat
semula, lalu digalilah tanah di bawah batu
itu. Dan mereka menemukan sebongkah
batu yang berwarna hijau kemerahan.
Mereka membawa batu itu kepada kakek
Cu Hak dan kakek yang sedang sakit itu
seketika bangkit dari tidurnya, memegang
batu itu dan berseru girang, “Hebat....! Ini
adalah logam mulia! Ini adalah logam
pusaka keramat. Ah, pantas saja
bersemangat naga.”
Choirul, maret 2008 136
Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia
pun menyibukkan dirinya di dalam dapur
perapian tempat dia membuat pedang itu.
Bongkahan batu yang ternyata merupakan
logam mulia itu dibakar dan digemblengnya
menjadi sebatang pedang yang diberi nama
Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang
Naga Siluman karena ternyata “naga” itu
ternyata tidak mendatangkan berkah.
Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu
Hak menderita sakit. Akan tetapi dia
memaksa diri menyelesaikan pedang itu,
dan kemudian pedang itu selesai dan
sempurna, dia pun meninggal dunia setelah
meninggalkan pesan tentang rahasia yang
terkandung dalam gagang pedang.
“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu.”
Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi,
hanya beberapa bulan setelah pedang itu
jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami
tahu siapa yang mengambilnya, akan etapi
itu merupakan rahasia keluarga kami dan
tidak dapat kami ceritakan kepada siapapun
juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut
dan menganggap bahwa pedang itu sudah
lenyap begitu saja. Samai kemudian setelah
kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami
mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu
sudah berada di gudang pusaka istana
Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang
kami itu, Toa-so kami lalu turun tangan,
datang ke kota raja dan mengambil kembali
pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia
bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi
telah menge-tahui. Demikianlah riwayat
pedang itu, yang berada di tangan kaisar
selama puluhan tahun tanpa kami ketahui
dan sekarang pedang pusaka itu telah
kembali ke dalam lingkungan keluarga
kami. Ma-ka harap Cu-wi maklumi dan tidak
men-jadi penasaran. Tentu saja untuk jerih
payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam
dan kami hendak membekali Cu--wi dengan
hadiah sekadarnya.”
“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Se-ribu,
wanita muda bermuka mengerikan itu
berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya.
Mukanya yang bopeng dan ple-tat-pletot itu
kelihatan merah, tanda bahwa arak tua
telah mulai mempenga-ruhinya. Semua
orang memandang kepa-danya dan pihak
tuan rumah juga me-mandangnya dengan
penuh perhatian.
“Kami berterima kasih kepada keluar-ga Cu
yang telah menerima kami seba-gai tamu.
Akan tetapi kami, terutama aku sendiri,
bukanlah sebangsa pengemis yang datang
untuk minta-minta sedekah!” Dia melirik ke
arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah
merugikannya. Kemudian, me-lihat betapa
kakek ini tidak mempeduli-kannya, dia
melanjutkan. “Akan tetapi kami adalah
orang-orang gagah yang terus terang saja
tertarik untuk mempe-rebutkan pedang
pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini
ternyata pedang itu adalah milik keluarga
Cu di sini. Biarpun kami melihat buktinya,
namun tentu saja sebagai orang-orang yang
biasa meman-dang kepada kegagahan,
kami merasa ragu-ragu apakah pedang
pusaka itu pa-tut dimiliki oleh keluarga Cu.
Oleh kare-na itu, ingin sekali aku melihat
apakah sudah selayaknya dan sepantasnya
keluar-ga Cu menjadi majikan pedang itu.”
Se-telah berkata demikian, tanpa nampak
dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah
melayang ke tengah ruangan itu. Memang
Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli ginkang
yang luar biasa. Tubuhnya dapat
bergerak sedemikian ringannya seolah--
olah dia pandai terbang saja!
Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu
sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh
mengerikan ini jelas menantang pihak tuan
rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang
ada semacam “penyakit” yang hinggap di
dalam batin hampir se-mua tokoh kangouw,
yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu
silat dan adu ke-pandaian. Mereka belum
merasa puas kalau belum menguji ilmu
orang lain yang terkenal pandai, bahkan
untuk ke-senangan mengadu ilmu ini
mereka tidak akan menyesal andaikata
harus kehilang-an nyawa dalam pi-bu (adu
kepandaian silat) itu!
Sebelum Cu Han Bu menjawab, ter-dengar
suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu,
Choirul, maret 2008 137
wanita yang cantik dan berpa-kaian mewah
berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh
pihak tuan rumah, telah bangkit dari
duduknya.
“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berla-gak di
luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan
laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang
dan kalau ada yang tidak terima dan
meragukan kemampuan kami, boleh
menguji kepandaiannya de-ngan aku. Toacek
(Paman Terbesar), biarkan aku
menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata
terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu.
Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat
Cu Han Bu, maka dia me-manggil Han Bu
dengan sebutan toa-cek, kemudian kepada
Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke
dua) dan kepada Kang Bu menyebut samcek
(paman ke tiga), yaitu sebutan lajim dari
seorang kakak ipar untuk menyebut adikadik
suaminya, yang menyebutnya untuk
anaknya, sung-guhpun Tang Cun Ciu ini
tidak mempunyai anak dalam
pernikahannya dengan mendiang
suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat
dari ayah keluarga Cu itu.
Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun
Ciu dan memandang tajam sekali.
Dia tahu bahwa orang yang mampu
men-curi pedang dari dalam gedung pusaka
istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki
ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi
anehnya, dia belum pernah men-dengar
nama wanita ini atau bertemu padanya,
padahal hampir semua nama orang-orang
kang-ouw yang terkenal te-lah dikenalnya.
“Orang menamakan aku Si Ulat Seri-bu,
dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu
ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal
namanya.” kata Si Ulat Seribu dengan
sikapnya yang keren.
Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang
harus mengakui bahwa di samping gesit,
wanita ini memang cantik dan mempunyai
daya tarik atau daya pikat yang amat kuat.
Apalagi kalau tertawa nampak deretan
giginya yang seperti mutiara, biarpun
usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi
dia nampak masih se-orang gadis remaja
saja!
“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh juluk-an
yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu
memang tidak suka memamerkan nama di
dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang
menyebutku dahulu Cui-beng Sian--li. Nah,
kalau engkau ada kepandaian, -majulah.”
Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata
dia pernah mendengar nama Cui-beng
Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi
sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun
yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul
nama ini yang amat menggemparkan, lalu
nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya
orangnya telah berada di Lembah Suling
Emas!
“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Ba-gus,
ternyata aku melakukan pi-bu de-ngan
orang yang telah bernama besar dan
memiliki kepandaian yang pantas untuk
bertanding melawanku. Nah, mari kita
mencoba ilmu silat masing-masing! Awas
serangan!” Baru saja ucapan itu berhenti,
orangnya sudah mencelat ke depan dan
mengirim serangan dengan kecepatan yang
mengejutkan sekali.
Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu
tertawa merdu dan tubuh wa-nita cantik ini
pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu
dia sudah berada di tempat tinggi dan kini
tubuhnya mela-yang turun dan melakukan
serangan ba-lasan dengan tendangan
dahsyat!
“Bagus....!” Si Ulat Seribu memuji dan selain
terkejut juga gembira sekali kare-na
ternyata lawannya ini pun merupakan
seorang ahli gin-kang yang hebat. Dia cepat
mengelak dan kini kedua orang wanita yang
wajahnya sungguh amat berlawanan itu,
yang seorang amat buruk dan yang seorang
lagi amat cantik, mulai serang-menyerang
dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali.
Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari
Choirul, maret 2008 138
setiap serangan mereka itu menyambar
hawa pukulan yang kadang-kadang
mengeluarkan suara bercuitan saking
kuatnya!
Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk
memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat
Seribu tidak menggunakan ulat-ulat-nya.
Dia tahu bahwa dia berada di tem-pat
musuh, di tempat berbahaya dan bahwa
pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu
silat belaka, untuk menguji siapa yang lebih
pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu
silatnya yang aneh dan gin-kangnya yang
tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk
ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya
melejit-lejit ke atas dengan tubuh
melengkung-lengkung, seperti loncatan
semacam ulat. Dan ge-rakannya amat
gersitnya sehingga bebe-rapa kali Tang
Cun Ciu sendiri sampai terkejut.
Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat
kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini
masih lebih unggul, dan dasar ilmu silat-nya
lebih aseli dan lebih tinggi. Bahkan dalam
gerakan yang mengandalkan gin-kang yang
lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun
Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat
Seribu hanya menang aneh saja, namun
intinya kalah kuat.
Itulah sebabnya maka setelah lewat lima
puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak
hebat dan tidak mampu balas menyerang
lagi karena dia sibuk harus menghindarkan
diri dari serangan yang amat cepat, bertubitubi
dan teratur baik, kuat dan indah. Dan
akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan
lengking panjang yang menggetarkan
jantung, tubuhnya mencelat ke atas
menukik turun dan seperti garuda
menyambar ular dia menyerang dari atas.
Si Ulat Seribu berusaha menghindar,
namun dia kalah cepat dan pundaknya kena
didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat
dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting
roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan
hendak menyusulkan tamparan berikutnya,
akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu,
”Cukup, Toa-so!”
Aneh sekali, biarpun dia amat dihormat dan
disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat
kepada adik mendiang suaminya ini, karena
dia pun menahan serangannya dan berdiri
dan memandang kepada Si Ulat Seribu
dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu
maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah
tidak menahan dan dia diserang lagi, tentu
dia akan celaka, maka dia melangkah
mundur dan duduk kembali di atas kursinya
tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Wajahnya yang buruk itu nampak semakin
buruk.
“Siapa lagi di antara para tamu yang masih
meragukan kepandaian kami? Boleh maju!”
Karena kemenangannya, Cui-beng Sian-li
menantang.
Para tamu itu terdiri dari orang-orang
pandai, Sai-cu Kai-ong Yo Kong Tek
melihat benar betapa lihainya wanita itu,
memiliki tingkat kepandaian yang amat
tinggi sehingga dia sendiri pun tidak berani
sembrono untuk maju dalam pi-bu dan
mencari penyakit seperti Si Ulat Seribu tadi.
Akan tetapi di antara mereka terdapat Imkang
Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat
yang merasa bahwa merekalah yang
merupakan orang-orang paling pandai di
dunia persilatan.
Lima orang kakek sakti ini sudah saling
pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun
merasa tidak puas bahwa perjalanan susah
payah mereka untuk merebut pedang
pusaka itu berakhir se-perti ini, hanya
menjadi tamu di Lem-bah Suling Emas dan
melihat pedang pusaka yang diinginkan itu
kembali kepa-da pemiliknya. Tentu saja
diam-diam mereka mencari akal untuk
dapat me-rampas pedang itu, bahkan begitu
mereka tahu bahwa tempat itu adalah
Lembah Suling Emas yang tentu
menyimpan ba-nyak macam pusaka, diamdiam
mereka merasa girang dan timbul
keinginan me-reka untuk dapat merampas
pusaka-pusa-ka yang berada di tempat
tersembunyi itu. Akan tetapi mereka pun
bukan orang-orang bodoh yang sembrono.
Choirul, maret 2008 139
Mereka maklum bahwa mereka berada di
tempat berbahaya, tempat yang hanya
mempunyai hubungan dengan dunia
melalui jembatan terbang itu, dan bahwa
pihak tuan rumah terdiri dari orang-orang
yang lihai, maka semenjak mereka datang,
mereka belum melihat cara yang baik untuk
dapat memetik keuntungan dari kunjungan
ini. Ketika melihat Si Ulat Seribu beraksi,
diam-diam mereka menjadi girang. Mungkin
inilah kesempatan itu, ialah dengan cara
berpibu! Dalam pi-bu itu, kalau mereka
berlima dapat me-ngalahkan pihak tuan
rumah, bukankah mereka memperoleh
kekuasaan? Dan menguji kepandaian pihak
tuan rumah melalui pi-bu adalah cara yang
halus dan tidak kentara!
Betapapun juga, kegirangan mereka itu
dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka
menyaksikan sepak terjang wani-ta cantik
yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu. Wanita
itu saja sudah demikian lihainya! Dari
gerakan Cui-beng Sian-li, ketika melayani Si
Ulat Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa
tingkat ke-pandaian wanita itu saja sudah
mengim-bangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok!
Ini berarti bahwa yang agaknya dapat
dipas-tikan untuk dapat menghadapi Cuibeng
Sian-li hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toaok
sendiri. Dan di pihak tuan rumah masih
ada tiga orang saudara Cu itu yang mereka
belum dapat mengukur sampai di mana
kelihaian mereka.
Sam-ok Ban-Hwa Seng-jin adalah se-orang
yang cerdik, paling cerdik di anta-ra kelima
Im-kan Ngo-ok. Karena ke-cerdikannya
itulah maka dia pernah di-angkat menjadi
Kok-su dari Negara Ne-pal. Dan di antara
lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang
dianggap sebagai pengatur siasat, bahkan
Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan adik ke
tiga ini. Maka kini empat pasang mata itu
pun memandang kepada Sam-ok seolaholah
mereka menyerahkan tindakan
selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga ini
untuk mengaturnya.
Sam-ok lalu bangkit dan sambil ter-senyum
dia menjura dan memuji. “He-bat.... hebat
sekali. Sudah lama kami mendengar
kebesaran nama majikan Lembah Suling
Emas dan ternyata nama besar itu bukan
kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak
tahu diri sehingga membentur batu karang!
Karena kami Im-kang Ngo-ok amat kagum
sekali. Dan kami percaya bahwa tidak ada
seorang pun di antara para tamu yang akan
be-rani menganggap pihak tuan rumah
ku-rang patut memiliki pedang pusaka itu.”
Cui-beng Sian-li yang masih berdiri itu
tersenyum. Dia paling tidak suka
mendengar orang bicara bertele-tele dan
berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan
berkata dengan suara mengejek. “Kalau Imkan
Ngo-ok hendak menguji kepandaian
kami pun boleh saja! Perlu apa banyak
bicara nmemuji-muji kosong? Kami tidak
butuh pujian.”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu
dan nyaring, disusul suara meleng-king
tinggi. “Cui-beng Sian-li bicara be-sar! Apa
dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari bocahbocah
penakut? Biar aku mencobanya,
Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio sudah
berada di depan Cui-beng Sian-li.
Sungguh mereka merupakan dua orang
wanita yang amat berlawanan. Yang
seorang bertubuh ramping dan berwajah
cantik, yang ke dua juga bertubuh ram-ping
seperti tubuh wanita muda, akan tetapi
karena mukanya ditutup topeng tengkorak,
maka amat menyeramkan, bahkan lebih
menakutkan daripada wajah Si Ulat Seribu
yang buruk itu. Dari balik topeng tengkorak
itu mengintai sepasang mata yang
mengeluarkan sinar mencorong dan liar
seperti mata setan, dan rambut di kepala itu
telah putih semua. Melihat Ji-ok telah maju,
Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri.
Dia sendiri merasa bahwa dia akan dapat
menundukkan wa-nita cantik itu, akan tetapi
karena Ji-ok juga wanita dan lebih tepat
untuk menguji lawannya yang juga
perempuan, maka dia mengalah dan
mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.
Choirul, maret 2008 140
Suara Ji-ok yang melengking nyaring itu
membayangkan adanya khi-kang dan sinkang
yang amat kuat, maka Cu Han Bu
memberi isarat dengan pandang mata-nya
kepada Cu Kang Bu. Pria tinggi be-sar dan
gagah perkasa yang berusia kurang lebih
tiga puluh tahun, lalu bang-kit berdiri dan
segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li
yang agaknya sudah bersiap untuk
menandingi Ji-ok.
“Harap Toa-so yang sudah capek me-layani
lawan suka mengaso, biar aku yang
menghadapi Ji-ok.”
Melihat munculnya adik iparnya ini, Cuibeng
Sian-li mengangguk dan dia kembali
ke tempat duduknya, lalu me-nyambar
cawan araknya, mengisinya de-ngan arak
dari guci dan meminumnya. Se-mentara itu,
pemuda yang tinggi besar dan gagah
perkasa itu kini sudah meng-hadapi Ji-ok.
Suaranya lantang dan kasar ketika dia
berkata dengan sikap gagah.
“Aku Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama
mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio--nio
yang tersohor kejam, jahat dan li-hai! Maka
sekarang memperoleh kesem-patan untuk
bertanding, sungguh aku merasa girang!”
Semua orang terkejut. Betapa besar
bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya
yang bernama Cu Kang Bu ini. Orang ini
memiliki watak yang sama dengan bentuk
tubuhnya yang tinggi besar dan gagah.
Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan
rahasia dalam hatinya. Maka begitu
bertemu, dia dengan jujur dan dengan
suara yang tidak mengandung ejekan
melainkan sewajarnya telah mengatakan Jiok
kejam dan jahat! Dan julukannya adalah
Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa
Kati) yang juga meru-pakan julukan yang
terang-terangan, tan-da bahwa dia memiliki
tenaga yang be-sar.
Seperti semua tokoh di Lembah Suling
Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak
terkenal sama sekali, bahkan kalah
ter-kenal dibandingkan dengan Cui-beng
Sian-li yang menjadi toa-sonya itu. Oleh
ka-rena itu, Ji-ok belum pernah
mendengar-nya dan tentu saja orang nomor
dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang
rendah.
Akan tetapi watak Im-kan Ngo-ok memang
aneh. Mereka sudah mengguna-kan julukan
Ngo-ok (Lima Jahat) dan ini bukan nama
kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini
bukan merupakan suatu hal buruk yang
patut membuat mereka malu, sebaliknya
malah, mereka itu se-perti mengagungkan
kejahatan dan malah merasa bangga kalau
disebut jahat dan kejam! Oleh karena itu,
ketika Cu Kang Bu secara jujur
menyebutnya kejam dan jahat, Ji-ok
tersenyum di balik kedoknya dan sepasang
mata di balik kedok itu berseri-seri!
“Ha-ha-hi-hik, bagus sekali! Aku girang
sekali mendengar bahwa namaku sampai
dikenal di tempat yang tersembunyi ini.
Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak
mewakili pihak tuan rumah menguji
ke-pandaianku? Bagaimana kalau sampai
engkau terluka parah atau mati?
Keta-huilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu
ada yang mati!”
Cu Kang Bu tertawa dan wajahnya nampak
tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha,
bicaramu lucu, Ji-ok! Pibu, kalah, menang,
luka dan mati adalah hal-hal yang
merupakan rangkaian tak terpisah-kan.
Sudah berani pi-bu tentu berani kalah, luka
atau mati. Akan tetapi ingat, hal itu berlaku
untuk kedua pihak. Bukan hanya aku yang
mungkin luka atau mati, akan tetapi engkau
juga.”
“Hi-hik, bagus! Kalau begitu bersiap-lah
engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru
saja dia berkata demikian, tahu-tahu Ji-ok
sudah menubruk maju, kedua tangannya
membentuk cakar-cakar setan dan
gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu
tangan kiri mencengkeram ke arah kedua
mata lawan sedangkan tangan kanan
mencengkeram ke arah kemaluan! Bukan
main bahayanya serangan ini, se-macam
Choirul, maret 2008 141
serangan yang amat curang dan kotor, yang
tidak akan dilakukan oleh ahli silat tinggi.
“Duk! Desss!”
Serangar, maut itu sama sekali tidak
dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan
ditangkis dengan kekerasan! Kedua
le-ngannya yang kuat itu menangkis dengan
pengerahan tenaga dan adu lengan itu
membuat Ji-ok meringis di balik kedok-nya
karena kedua lengannya yang kecil itu
seolah-olah bertemu dengan dua ba-tang
baja besar yang amat kuat!
Ji-ok bukan seorang ahli silat
semba-rangan. Tangkisan yang amat kuat
itu biarpun membuat kulitnya terasa nyeri,
akan tetapi tidak sampai melukai lengannya
dan dia yakin akan kekuatan lawan yang
berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu,
maka dia pun mengandalkan kecepatan
gerakannya dan mulailah dia menghujani
lawan dengan serangan-serangannya.
Setiap serangan merupakan serangan maut
yang mengerikan, dan se-kali saja tangan
Ji-ok mengenai sa-saran, akan celakalah
lawannya. Pihak tuan rumah memandang
dengan alis ber-kerut, maklum betapa
kejinya serangan-serangan yang dilakukan
oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas
dinamakan pi-bu atau mengadu ilmu silat
untuk meng-ukur kepandaian masingmasing,
lebih patut dinamakan seranganserangan
yang mengarah nyawa lawan!
Akan tetapi, betapa terkejut hati Ji-ok ketika
dia melihat bahwa semua se-rangannya itu,
betapa cepat dan kuatnya karena dia
mengerahkan segenap tenaga-nya, tidak
ada satu pun yang mampu membobolkan
pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu
bergerak dengan tenang se-kali, mantap
dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh
benteng baja yang tercip-ta dari gerakan
tubuhnya, setiap serang-an dapat
ditangkisnya dengan amat mu-dah dan
sekali-kali dia membalas dengan tamparan
atau dorongan tangan yang mengandung
kekuatan dahsyat!
Ji-ok bukan seorang bodoh. Setelah
melakukan penyerangan hampir lima pu-luh
jurus lamanya, dia sudah tahu bahwa
tingkat kepandaian lawan itu ternyata luar
biasa tingginya dan sukarlah baginya untuk
mencapai kemenangan! Maka dia pun lalu
mengeluarkan suara melengking nyaring
dan dia sudah mempergunakan ilmunya
yang terbaru, ilmu dahsyat seka-li yang
merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari
Pedang)! Jari telunjuknya bergerak dan
hawa yang seperti kilat cepatnya, amat
dingin dan tajamnya se-perti pedang
pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang
Bu! Hawa pukulan jari mujijat ini
mengeluarkan suara bercuitan amat
mengerikan.
Cu Kang Bu maklum akan hebatnya
pukulan itu, dia mengenal ilmu mujijat.
Cepat dia menangkis dengan dorongan
telapak tangannya dari samping dan
me-mutar lengan.
“Brett....!” Tetap saja lengan bajunya dekat
pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan
dari Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka,
maka kulit pangkal lengannya ikut terobek
dan mengeluarkan sedikit darah, seperti
bekas dicakar kucing!
“Hi-hi-hik!” Ji-ok tertawa mengejek di balik
kedoknya, akan tetapi suaranya tertawa itu
segera terhenti karena Cu Kang Bu kini
sudah menyerangnya dengan hebat, kedua
lengan yang besar kuat itu bergerak-gerak
bergantian ke depan, ke-dua kakinya juga
menggeser maju. Dari kedua telapak
tangan itu menyambar hawa pukulan
dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak
berani menghadapi dengan kekerasan,
maklum akan kekuatan lawan, maka dia
sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke
sana-sini, terus didesak oleh lawan.
Ji-ok menjadi marah sekali. Dia harus
menang, demikian pikirnya. Di depan
be-gitu banyak orang kang-ouw, akan
rusak-lah nama besarnya kalau sampai dia
kalah oleh seorang lawan yang sama sekali
Choirul, maret 2008 142
tidak memiliki nama besar di du-nia
persilatan, walaupun sungguh harus diakui
bahwa tingkat kepandaian lawan-nya ini
benar-benar amat tinggi. Dia mengeluarkan
bentakan yang menggetar-kan seluruh
tempat itu dan tiba-tiba, dalam keadaan
terdesak itu dia mengirim serangan
balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke
depan seperti sepasang pe-dang dan ada
hawa pukulan yang amat dingin menyambar
dahsyat ke arah la-wan!
Diam-diam Cu Kang Bu terkejut. Serangan
ini adalah serangan mengadu nyawa,
karena wanita berkedok tengkorak itu
menyerangnya dengan sepenuh tenaga
tanpa mempedulikan penjagaan diri lagi,
pendeknya ingin membunuh lawan dengan
taruhan nyawa sendiri! Tentu saja dia tidak
sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati
bersama lawan yang amat keji dan jahat ini.
Dia pun mengeluarkan se-ruan panjang dan
kedua tangannya dibuka menyambut
terjangan ganas itu.
“Bresss....!”
Dua tenaga sakti bertemu amat he-batnya
dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpe-lanting dan
terbanting ke belakang sam-pai
bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap
berdiri, akan tetapi kedua lengannya
ber-darah karena kulitnya tergores seperti
tergores pedang. Dia menderita luka
tergores kulitnya dan mengeluarkan darah
sedangkan Ji-ok terbanting keras, maka
dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah
yang menang, sungguhpun mengenai ilmu
pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci
yang amat ganas dan dahsyat!
Ji-ok sudah meloncat bangun kembali, dan
sebelum dia sempat menyerang lagi, tibatiba
terdengar gerengan keras, nam-pak
bayangan besar berkelebat dan tahu--tahu
Yeti, mahluk raksasa itu telah ber-diri di
depannya dengan sikap beringas dan
mengancam! Yeti mengembangkan kedua
lengannya yang panjang dan besar,
menggereng dan memukul-mukul dada
dengan tangan kiri seolah-olah menantang
lawan, dan kemudian tangan kanannya
menunjuk-nunjuk keluar sambil
mengge-reng. Jelas sekali gerakannya ini,
yaitu dia menantang Ji-ok kalau mau
berkela-hi, dan mengusir semua orang agar
pergi meninggalkan tempat itu!
“Cuuuuttt....!” Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok,
yaitu telunjuk kirinya telah mengirim
serangan ke arah Yeti. Mahluk itu
menggereng saja, seolah-olah kurang cepat
mengelak dan hawa pukulan dari telunjuk
kiri itu mengenai dadanya, disu-sul telunjuk
itu menotok dadanya.
“Dukkk!” Ji-ok berteriak dan meloncat ke
belakang. Hampir patah telunjuknya ketika
mengenai dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki
kekebalan yang amat luar biasa sehingga
ilmu pukulan itu tidak mempan. Dan pada
saat itu Yeti menggerakkan lengannya.
Hampir saja kepala wanita berkedok itu
kena dicengkeram kalau saja dia tidak
cepat membuang tubuh ke belakang dan
berjungkir balik beberapa kali.
Melihat mahluk itu menyerang Ji--ok, Toaok
sudah bergerak ke depan, kedua
tangannya membuat gerakan memu-tar dan
ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti!
Tubuh Yeti yang tinggi besar itu terbawa
oleh angin dahsyat ini sam-pai terhuyung,
akan tetapi ketika Toa-ok menampar
dengan tangan kiri, Yeti juga menggerakkan
tangannya dan tak dapat dicegah lagi dua
dengan itu saling beradu.
“Desss....!” Dan akibatnya, mereka berdua
terpental ke belakang! Bukan main
kagetnya hati Toa-ok. Dia tadi telah
mengerahkan tenaga sin-kangnya yang
paling kuat, namun Yeti itu dapat
me-nangkisnya dan ternyata tenaga mereka
seimbang! Dan dia tahu benar bahwa Yeti
itu juga memiliki tenaga sin-kang, bukan
hanya tenaga otot seperti layaknya binatang
buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan
terheran-heran.
Seperti juga tadi, Yeti memukul-mu-kul
dada sendiri dengan tangan kiri se-dangkan
Choirul, maret 2008 143
tangan kanannya menunjuk ke-luar seperti
orang mengusir. Ngo-ok ber-lima kini sudah
mengepung Yeti dengan sikap mengancam.
Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri dan
berkata, suaranya berwibawa dan tegas,
“Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan
tidak membikin ribut di tempat kami!”
Lima orang datuk kaum sesat itu me-lirik ke
arah Cu Han Bu. Ji-ok menge-luarkan suara
ketawa mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga
tersenyum menyeringai. Tentu saja di
dalam hati mereka tidak sudi mentaati
permintaan orang yang dianggap masih
muda itu. Akan tetapi berbeda dengan
saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok
yang cerdik melihat be-tapa selain Cu Han
Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat
dan Cu Kang Bu sudah bangkit berdiri, juga
Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai
sekali, dan keluarga Cui itu pun tak boleh
dipandang ringan, maka kalau mereka
nekat, tentu mereka berlima akan
meng-alami rugi. Toa-ok lalu tersenyum
ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu
sambil berkata, “Maaf.... maaf.... kami
hanya main-main saja melihat Yeti
menantang.”
Cu Han Bu memandang kepada Sim Hong
Bu dan berkata, “Bujuk dia agar jangan
membikin ribut.”
Hong Bu lalu menghampiri Yeti,
di-pegangnya tangan Yeti itu sambil
berka-ta. “Mari kita duduk kembali dan tidak
perlu membikin ribut di tempat ini....”
Yeti masih menggereng-gereng, akan tetapi
dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke
pinggir.
“Pek In, kau bagi-bagi pek-giok (batu
kumala putih) itu kepada para tamu,
masing-masing sebutir!” tiba-tiba Cu Han
Bu berkata kepada pemuda tanggung
tampan yang sejak tadi hanya menonton
dengan anteng itu.
“Baik, Ayah.” jawab Cu Pek In. Pe-muda
tampan ini mengeluarkan sebuah kantung
kuning, membuka tali mulut kantung dan
merogoh dengan tangan kanan.
“Cu-wi, harap suka menerima pembe-rian
hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya
nyaring dan tangan kanannya sudah
mengeluarkan sebutir batu berwar-na putih
bening sebesar gundu dan dia
melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat
Seribu. Bukan sembarang lemparan
kare-na gundu itu berobah menjadi sinar
putih menyambar ke arah mata kanan Si
Ulat Seribu! Namun wanita berwajah buruk
ini dengan mudah menyambut dan
menerima batu itu, memeriksanya penuh
perhatian.
Cu Pek In sudah melempar-lemparkan
batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah
para tamu, setiap lemparan dilaku-kan
dengan gaya yang indah namun batu itu
meluncur dengan cepatnya ke arah
sasaran. Karena mereka yang menjadi
tamu adalah orang-orang kang-ouw yang
rata-rata berilmu tinggi, tentu saja me-reka
semua dapat menerima lontaran batu itu
dengan mudah, akan tetapi diam-diam
mereka pun terkejut karena mereka dapat
merasakan betapa tenaga lontaran pemuda
tanggung itu sudah me-ngandung tenaga
sin-kang yang cukup kuat!
Hanya Hong Bu yang tidak diberi batu itu,
demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu,
pemuda tanggung yang tampan itu berkata
halus. “Karena engkau dan Yeti telah
mengembalikan pedang pusaka kami, maka
Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah
kepada kalian.”
Hong Bu tidak menjadi kecewa. Dan tidak
mengharapkan dan membutuhkan hadiah.
Dikembalikannya pedang pusaka kepada
keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan
bahkan sudah sepatutnya, ma-ka dia tidak
mengharapkan upah apa pun.
“Harap Cu-wi tidak memandang ren-dah
batu kecil itu.” terdengar Cu Han Bu berkata
kepada para tamu yang masih meneliti batu
sebesar gundu di tangan mereka. “Itu
Choirul, maret 2008 144
adalah pek-giok tulen. yang terdapat dalam
tempat rahasia di Pe-gunungan Himalaya,
dan sebagai orang--orang kang-ouw, tentu
Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang
tulen. Apabila ter-kena racun apa pun, dia
akan berubah menjadi hijau. Dengan pekgiok
di tangan, Cu-wi takkan sampai
terjebak oleh ma-kanan beracun.”
Semua orang tahu akan kegunaan pek-giok
itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil
itu ke dalam saku baju ma-sing-masing.
“Dan sekarang kami persilakan Cu-wi untuk
meninggalkan tempat kami. Ji-te dan Samte,
kalian antar mereka keluar lembah. Sim
Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di
sini, kami akan bi-cara dengan kalian.”
Sebetulnya penahan-an tuan rumah
terhadap Hong Bu ini ada maksudnya.
Melihat betapa pemuda tang-gung itu tidak
memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan para
orang kang-ouw itu se-lain lihai juga di
antara mereka banyak terdapat orang-orang
jahat seperti Im-kang Ngo-ok, maka
melepas pemuda itu bersama mereka
sungguh merupakan hal yang amat
berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi
kalau pemuda itu membawa hadiah pusaka
yang berharga, tentu akan dirampas oleh
mereka. Biarpun ada Yeti yang agaknya
melindungi pemuda itu, namun Yeti berada
dalam keadaan terlu-ka dan hal ini diketahui
benar oleh fihak tuan rumah yang bermata
tajam itu.
Oleh karena itulah maka Cu Han Bu
sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya
dari tempat itu tidak berbareng dengan
rombongan itu.
Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu lalu
mengantar rombongan itu yang berjumlah
delapan belas orang, diikuti pula oleh Tang
Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika
mereka memasuki lembah, kini mereka pun
harus menggunakan satu-satunya jalan
keluar, yaitu melalui jem-batan tambang
yang berbahaya di atas jurang yang amat
lebar dan dalam itu. Setelah mereka semua
menyeberang sam-pai ke seberang sana,
tiba-tiba tali yang menjadi jembatan itu
dikendurkan dan tali itu turun ke bawah
sampai lenyap di balik kabut yang
memenuhi jurang di bawah itu.
Ketika Cu Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan
Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut
Istana Lembah Suling Emas itu, terjadi
keributan di situ. Kiranya, setelah
rombongan orang-orang kang-ouw itu pergi,
tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh
terpelanting. Sim Hong Bu terkejut sekali
dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti.
Ternyata Yeti itu telah roboh ping-san dan
dari mulutnya keluar darah me-netes-netes!
“Yeti....! Yeti....! Ah, Locianpwe,
tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu
Han Bu cepat menghampiri dan memerik-sa
keadaan Yeti dengan meraba dada,
memeriksa urat nadi dan lain-lain. Dan tuan
rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti
ini telah parah sekali ke-adaannya, bukan
hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya,
akan tetapi juga jalan darahnya kacau-balau
dan ada tanda-tanda bahwa darahnya
keracunan hebat!
“Mari kita membawanya ke dalam untuk
dirawat.” katanya singkat dan de-ngan
bantuan Hong Bu, mereka menggo-tong
tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan
merebahkannya ke atas sebuah
pem-baringan dalam sebuah kamar kosong.
Cu Han Bu lalu meninggalkan kamar itu
untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat
menolong Yeti. Ketika itulah dua orang
adiknya dan twakonya kembali ' dari
mengantar para tamu dan mereka pun
terkejut mendengar bahwa Yeti telah
pingsan dengan tiba-tiba dan keadaannya
payah sekali.
“Agaknya luka oleh Koai-liong-pokiam yang
lama itu telah membuat dia kera-cunan dan
kini darahnya telah keracunan, juga
perlawanannya terhadap banyak orang
kang-ouw mendatangkan luka parah dalam
tubuhnya. Dan lebih-lebih lagi ketika dia tadi
beradu tenaga dengan Twa-ok, agaknya hal
Choirul, maret 2008 145
itu membuat luka-nya semakin parah.
Keadaannya meng-khawatirkan sekali,
betapapun juga, kita harus berdaya untuk
menolongnya.” kata Cu Han Bu kepada
adik-adiknya dan twasonya. Mereka
berempat lalu pergi ke kamar itu dan Cu
Han Bu sudah mem-bawa obat-obat yang
diperlukan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan
kamar, mereka terkejut mendengar suara
Hong Bu yang memanggil-manggil sambil
meratap sedih. “Ouwyang-locian-pwe....!
Ouwyang-Locianpwe, kau.... sadar-lah.
Cu Pek In yang diam-diam datang pula di
belakang ayahnya dan paman--pamannya,
mendengar suara Hong Bu itu segera
berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah
menjadi gila!”
Akan tetapi ayahnya dan dua orang
pamannya tidak mempedulikannya dan
segera meloncat masuk kamar. Mereka
melihat Hong Bu berlutut dan
menggun-cang-guncang tubuh Yeti sambil
mena-ngis! Kiranya Hong Bu yang melihat
keadaan Yeti yang terus mengeluarkan
darah dari mulut itu menjadi sedemikian
khawatir dan kasihan sehingga dia
me-manggil-manggil dengan nama itu
karena dia yakin bahwa Yeti adalah
penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang
riwayatnya dia baca dalam guha es. Apalagi
ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti
dalam keadaan tidak sadar, “Loan Si....
Loan Si....“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.
Melihat masuknya keluarga Cu, Hong Bu
sadar dan terkejut bahwa dia telah
membuka rahasia itu, maka untuk
menutupinya dia berkata, “Locianpwe,
harap Locianpwe sudi menolong Yeti....“
Akan tetapi Cu Kang Bu yang kasar itu telah
menangkap bahunya dan mena-riknya
bangun. Kau tadi menyebut-nye-but
Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?”
Pertanyaan itu amat keras dan agak
mem-bentak.
Akan tetapi Hong Bu adalah seorang anak
yang luar biasa tabah dan tidak pernah
mengenal takut. Makin diperlaku-kan
dengan kasar, dia akan semakin me-lawan.
Maka dengan mata melotot dia menatap
orang yang mencengkeram bahunya itu
tanpa menjawab! Melihat ini, Cu Kang Bu
yang paling menghargai keberanian, diamdiam
merasa kagum se-kali. Dan Cu Han
Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu,
engkau tadi me-nyebut-nyebut Ouwyanglocianpwe,
ada hubungan apakah nama itu
dengan Yeti ini?”
Ditanya secara halus, Hong Bu yang sudah
dilepaskan bahunya itu menjadi cair
kemarahannya, dan dengan muka
menunduk dan halus dia berkata. “Maaf,
Locianpwe. Saya tidak berani bicara
tentang itu....“
“Sim Hong Bu, engkau menyebut na-ma
Ouwyang-locianpwe, apakah engkau
hendak maksudkan bahwa Yeti ini adalah
seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”
Diam-diam Hong Bu terkejut dan menyesal
sekali bahwa dalam kekhawa-tirannya akan
keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri
dan menyebut-nyebut nama itu, Ouwyang
Kwan telah bersusah payah
menyembunyikan diri dan menya-mar
sebagai Yeti, tentu ada sebabnya, maka
kalau dia sekarang membuka raha-sia
sungguh dia merasa bersalah besar
terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong
jiwanya berkali-kali itu.
“Tidak.... tidak tahu.... saya tidak be-rani
bicara....” ratapnya.
“Ah, tidak mungkin!” kata Cu Kang Bu
keras.
“Dia ini.... Ouwyang Kwan....? Mana
mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.
Tiba-tiba Yeti yang tadi tidak ber-gerakgerak
itu mengeluarkan suara ge-rengan,
Hong Bu meloncat bangun dan menubruk
dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia
Choirul, maret 2008 146
terkejut mendengaar Yeti itu bicara,
suaranya kaku dan aneh, seperti suara
orang yang sudah hampir lupa akan
bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku
adalah.... Ouwyang.... Kwan....“
Mendengar ini, tiga orang pria itu terkejut
dan cepat menjatuhkan diri ber-lutut di
dekat pembaringan sambil me-nyebut,
“Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu
juga ikut menjatuhkan diri dan juga Cu Pek
In lalu berlutut sambil me-mandang dengan
mata terbelalak.
Tentu saja Sim Hong Bu menjadi ter-kejut,
heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang
Kwan benar adalah Yeti ini dan ternyata
meisih keluarga orang-orang gagah ini!
Malah mereka menyebut Twa-pek, berarti
bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar
sebagai Yeti adalah kakak dari ayah tiga
orang she Cu itu.
“Ouwyang Twa-pek.... kenapa Twa-pek
menjadi begini....?” Cu Han Bu ber-tanya
dengan suara halus penuh penghor-matan.
“Krettt....!” Tiba-tiba Yeti itu meng-gunakan
keedua tangannya merobek bibir-nya yang
tebal dan terobeklah muka Yeti menjadi
dua, dan nampak kini wajah seorang lakilaki
yang tua, sedikitnya ada tujuh puluh
tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya
sudah putih semua, dan sepasang matanya
kelihatan penuh duka. Kiranya Yeti itu
hanya merupakan kedok saja, kedok yang
amat bagus dan agak-nya sudah menempel
pada muka pria itu karena ketika dirobek,
ada sebagian leher dan pipi kakek itu yang
lecet-lecet dan berdarah! Kedua mata tua
itu berlinang air mata dan dari ujung
mulutnya masih menetes-netes darah
segar.
Dengan suara yang amat kaku karena
puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu
lalu berkata lirih dan didengarkan oleh
semua orang dengan penuh perhati-an.
Aku.... aku seperti baru sadar dari mimpi
buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku
sadar bahwa aku telah berobah menjadi
mahluk ganas....“
“Harap Twa-pek jangan berkata demi-kian.
Twa-pek terlampau lelah dan terlu-ka,
biarlah kami merawat Twa-pek sam-pai
sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek
mengaso....“ kata Cu Han Bu dengan
lembut.
Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan
kanannya yang besar dan masih
merupakan tangan Yeti. “Tidak ada
guna-nya.... aku akan mati.... akan tetapi
aku harus lebih dahulu menceritakan
semua-nya kepada kalian keponakankeponakanku....
dan meninggalkan pesan
untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu
mengelus kepala Sim Hong Bu yang masih
berlutut di dekatnya dengan penuh kasih
sayang.
Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama
puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia
bernama Ouwyang Kwan, dan di dalam
keluarga Cu, sebenarnya dia ada-lah
keturunan luar. Ibunya she Cu yang
menikah dengan seorang luar she
Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki
bakat yang amat baik dalam ilmu silat,
maka oleh keluarga Cu dia diberi hak untuk
mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat
tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak
pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam
itu amat sayang kepada cucu luar yang
berbakat ini.
Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan te-lah
menjadi seorang pemuda gagah perka-sa,
terjadilah malapetaka itu. Di Lembah
Gunung Suling Emas datang sepasang
suami isteri yang masih pengantin baru,
yaitu pendekar silat dan sastrawan yang
bernama Kam Lok dan berjuluk Sin-ciang
Eng-hiong bersama isterinya yang
berna-ma Loan Si, seorang wanita yang
amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang
masih muda dan belum berpengalaman itu
seke-tika jatuh dan tergila-gila kepada isteri
orang itu! Karena dia bersikap menggoda
Choirul, maret 2008 147
terhadap Loan Si, maka terjadilah kesa-lahpahaman
dan terjadilah perkelahian antara
Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan
Ouwyang Kwan. Dalam pertandingan ini,
Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian
lawannya dan dia tahu bahwa kalau
di-lanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan
menang. Sesuai dengan julukannya, yaitu
Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan
Sakti), Kam Lok memiliki ilmu silat yang
hebat dan kekuatan tangannya
mengejut-kan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu
mele-rai dan melihat bahwa keluarga fihak
mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu
menegur Ouwyang Kwan minta maaf
kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.
Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan
meninggalkan Lembah Suling Emas. Akan
tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergilagila
itu lalu mencuri pedang pusa-ka Koailiong-
pokiam peninggalan kakek-nya Cu
Hak, lalu minggat dari Lembah Suling
Emas!
“Aku.... aku berdosa kepada keluarga
Lembah Suling Emas....” demikian kakek
yang menyamar sebagai Yeti itu berkata,
menghentikan ceritanya sebentar. Semua
orang mendengarkan dengan hati amat
tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti
mengapa keluarga Cu merahasiakan
kehilangan pedang pusaka keluarga itu
ke-pada para tokoh kang-ouw. Kiranya
pe-dang itu hilang dari keluarga Lembah
Suling Emas karena dicuri dan dilarikan
oleh seorang anggauta keluarga mereka
sendiri!
Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya
dengan suara lirih dan terputus-putus.
Beberapa kali para anggauta keluarga Cu
itu hendak menghentikan ceritanya, me-lihat
keadaan kakek itu yang payah, akan tetapi
Ouwyang Kwan memaksa, bahkan
mengatakan bahwa ceritanya itu
merupakan pesan terakhir!
Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri
di tangan, Ouwyang Kwan menge-jar Sinciang
Eng-hiong Kam Lok dan dengan
terang-terangan dia minta agar Loan Si
diberikan kepadanya! Tentu saja Kam Lok
menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta
orang begitu saja? Dan tentu saja
pertemuan itu disusul dengan perkelahian
yang lebih seru dan dahsyat lagi. Akan
tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koailiong-
pokiam, sebatang pedang pusaka
yang amat ampuh. Dan dengan pedang di
tangan ini, Ouwyang Kwan membuat
lawannya terdesak dan akhirnya Sin-ciang
Eng-hiong tidak kuat melawan terus, dan
melarikan diri ber-sama isterinya.
Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali
terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk
mengakui keunggulan Ouwyang Kwan,
atau, lebih tepat kehebatan Koai--liongpokiam
karena sesungguhnya pedang
pusaka itulah yang membuat Ouwyang
Kwan dapat membuat lawannya repot.
Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan
takkan mampu menandingi Kam Lok. Dan
akhirnya, Kam Lok dan isterinya berpu-tarputar
di daerah Pegunungan Himalaya dan
bersembunyi di dalam guha batu dan es.
Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah
tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah
bersumpah tidak akan berhenti mengejar
sebelum dia dapat memiliki wanita yang
membuat dia jatuh hati itu, terus mencari
dan bertemulah kedua orang musuh besar
ini di dalam guha! Terjadilah perkelahian
mati-matian yang amat seru, akan tetapi
akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam
bersarang di dada Kam Lok dan pendekar
itu pun tewaslah!
Akan tetapi, kenyataan tidaklah sa-ma
indahnya dengan apa yang dicita-citakan
dan diharapkan. Biarpun Ouwyang Kwan
berhasil membunuh Kam Lok, namun dia
tidak berhasil menunduk-kan hati Loan Si.
Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya.
Loan Si hanya men-cinta seuaminya
seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang
Kwan, dia tidak hanya bersikap tidak peduli
dan tidak mau membalas cintanya, bahkan
timbul rasa bencinya karena pendekar
gagah perkasa ini telah membunuh
Choirul, maret 2008 148
suaminya! Segala bujuk rayu Owyang Kwan
tidak menarik hatinya dan tidak ada
hasilnya. Untuk menggunakan kekerasan,
Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan
seorang pria yang begitu rendahnya untuk
memperkosa wanita, dan pula, wanita itu
amat dicintanya sehingga dia tidak tega
untuk menghinanya. Dia menghendaki agar
Loan Si menyerahkan diri kepadanya
dengan sukarela! Dan ternyata hal itu sama
sekali tidak mungkin sehingga aki-batnya
dia sendiri yang merana dan mu-lailah dia
menyerahkan perbuatannya ter-hadap Kam
Lok yang sama sekali tidak bersalah
kepadanya itu.
Betapapun juga, gairah cintanya ter-hadap
Loan Si makin menghebat dan inilah yang
membuat dia makin merana. Api berahi
berkobar-kobar di dalam diri-nya dan dia
seperti orang terbakar dari sebelah dalam.
Ketika pada suatu hari dia melihat betapa
takutnya Loan Si melihat seekor biruang
besar di luar guha, Ouwyang Kwan lalu
mendapat akal. Diam-diam ia membunuh
biruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu
memakai kulit biruang salju itu sebagai
kedok, dengan sedikit merobah muka atau
kulit muka biruang itu. Maka terciptalah Yeti,
manusia salju mengerikan. Dengan
penya-maran ini, dia hendak menakutnakuti
Loan Si dengan harapan agar dalam
ke-adaan takut itu Loan Si mau menoleh
kepadanya, minta tolong kepadanya, dan
menyerahkan diri dengan suka rela
kepa-danya!
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar
dugaannya. Memang tadinya Loan Si
ketakutan setengah mati. Munculnya
biruang setengah monyet setengah
manu-sia itu amat mengejutkan hatinya dan
hampir membuat dia pingsan. Akan teta-pi,
pada saat dia ketakutan dan hampir
memanggil musuh besarnya, Ouwyang
Kwan, untuk menolong dan melindungi-nya,
dia teringat akan kebenciannya ter-hadap
Ouwyang Kwan dan mengurungkan niatnya
itu. Lebih baik dia dibunuh mah-luk ini
daripada minta tolong kepada Ouwyang
Kwan!
Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak
diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si
bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan
minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si
menyerahkan dirinya kepada Yeti ! Wanita
cantik jelita itu, yang membuatnya tergilagila,
menolaknya mati-matian dan kini
menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu
mengerikan, menjijikkan dan menakutkan!
Akan teta-pi, karena yang menjadi Yeti itu
adalah Ouwyang Kwan, maka melihat
penyerah-an diri wanita yang membuatnya
tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah
cin-ta semalam suntuk di depan mayat Kam
Lok yang dibiarkan membeku dalam
tum-pukan salju dan es di dalam guha itu!
Biarpun dia masih menyamar sebagai Yeti,
namun Ouwyang Kwan mencurahkan
seluruh cinta kasihnya malam itu kepada
Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain
fihak, Loan Si juga merasa betapa dia jatuh
cinta kepada mahluk buas itu! Maka
terjadilah hal yang luar biasa itu, saling
memberi dan saling mengambil, dengan
sepenuh hati, dengan mesra dan juga
dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang
Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh
wanita yang dicintanya.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan
mendapat kenyataan bahwa semalam
suntuk tadi dia telah menyerahkan diri,
dengan sukarela, bahkan dengan panas,
kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia
dalam hatinya, karena memang dia mulai
tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan
tetapi perasaan malu terhadap je-nazah
suaminya yang semalam suntuk telah
“menonton” perbuatannya yang berjina itu,
jauh lebih besar daripada rasa senangnya.
Dia malu, dan dia mera-sa telah
mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan
dia melihat pedang pusaka Koai-liongpokiam
menggeletak di dekat tubuh
Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang
itu dan di lain saat pedang itu telah
menembus jantungnya!
Choirul, maret 2008 149
Bercerita sampai di sini, kedua mata tua
Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku
manusia berdosa.... aku telah men-jadi Yeti,
mahluk buas....!” demikian keluhnya.
Semua pendengarnya memandang-nya
dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang
memang sudah tahu akan cerita itu, sudah
dibacanya catatan dari suami isteri yang
mati di dalam guha itu. Kemudian Ouwyang
Kwan melanjutkan ceritanya.
“Melihat wanita yang kucinta sepenuh
nyawaku itu roboh tak bernyawa di
sam-pingku, bergelimang darah yang keluar
dari dadanya karena tusukan pedang Koailiong-
pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan
memang aku telah gila.... aku telah gila....!”
Kembali Ouwyang Kwan menghentikan
ceritanya dan menangislah kakek itu!
Kemudian, dengan suara yang semakin
payah, dengan napas satu-satu yang
me-nyesak dada, Ouwyang Kwan
melanjutkan ceritanya. Dia pun
mendudukkan wanita yang tercinta itu di
samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan
Si membeku terbungkus es seperti keadaan
mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat
dia seperti linglung, apalagi ketika
ditemukannya buku catatan Kam Lok yang
kemudi-an disambung dengan catatan Loan
Si yang menyatakan betapa wanita itu
mu-lai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya,
akan tetapi munculnya Yeti itu
meng-gagalkan segalanya! Kiranya
sebelum membunuh diri, Loan Si masih
sempat melanjutkan tulisannya dalam buku
ca-tatan itu. Makin hancur rasa hati
Ouw-yang Kwan dan dia tidak lagi mau
me-nanggalkan penyamarannya sebagai
Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia,
lebih patut menjadi mahluk buas Yeti!
“Pedang pusaka itu yang telah mem-bunuh
Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci
melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam
jurang yang curam.” de-mikian katanya.
“Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak
ingat bahwa aku ada-lah manusia. Aku
merasa bahwa aku adalah Yeti, mahluk
buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata,
seolah-olah me-rasa ngeri setelah dia kini
teringat akan semua itu.
“Kemudian, pada suatu hari, aku me-lihat
seorang wanita yang membawa pedang itu.
Aku mengenal pedang itu dan timbul
kemarahanku. Apalagi ketika wa-nita itu
menyerangku. Agaknya, selama aku lupa
segalanya itu, hanya Ilmu silat yang tak
pernah kulupakan, bahkan aku
memperdalam ilmu silat selama puluhan
tahun itu....!
“Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek....”
terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu
berkata ketika mendengar penuturan itu.
“Ya, engkaulah wanita itu. Aku mulai
teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini
membawaku ke lembah ini. Ketika aku
melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini,
akan tetapi mendengar semua-nya, aku
teringat kembali dan aku mulai mengerti.
Tubuhku telah kulatih sehingga kebal
terhadap segala macam senjata, namun
agaknya tidak cukup kebal meng-hadapi
Koai-liong-pokiam.... ah, pedang yang
kupakai membunuh Kam Lok dan telah
menembus jantung Loan Si kekasih-ku itu,
kini ternyata mengantar pula nyawaku ke
alam baka menyusul mereka. Aku tidak
penasaran....”
Sampai di sini Ouwyang Kwan menge-luh
panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga
orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk
dan berusaha menolong. Kini semua orang
mengerti atau dapat menduga apa yang
terjadi. Agaknya pe-dang pusaka itu setelah
dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam
jurang, kemudi-an ditemukan oleh
seseorang dan akhir-nya pedang pusaka
itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual
beli yang mahal, terjatuh ke tangan Kaisar
dan menjadi pengisi kamar pusaka istana.
Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di
Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu
mene-rima tugas untuk mengambilnya
kembali. Pencurian atau lebih tepat
pengambilan kembali pedang ini
menggegerkan dunia kang-ouw.
Choirul, maret 2008 150
Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang
membawa pulang pedang itu, di tengah
perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena
kaget dan takut, dia menyerang mahluk itu.
Terjadi perkelahian dan ter-nyata mahluk itu
terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga
ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk
paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan
terjadilah peristiwa-peristiwa yang
menggegerkan itu di daerah Pegunungan
Himalaya.
Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan
siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak
beradik Cu itu yang merupakan ahli-ahli
pula dalam urusan kesehatan, maklum
bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak
mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah
telah keracunan dan luka di dalam tubuh
Twa-pek itu pun amat hebat. De-ngan
napas terengah-engah Ouwyang
Kwan yang tubuhnya panas sekali itu
memberi isyarat kepada Hong Bu untuk
mendekat. Pemuda tanggung ini maju
berlutut dan Ouwyang Kwan membelai
kepalanya. Kemudian kakek itu
meman-dang kepada kakak beradik Cu
yang berkumpul dalam kamar itu, lalu
berkata lemah sekali.
“Dia ini sudah kupilih menjadi mu-ridku....
jadi terhitung saudara kalian sen-diri.... aku
ada mencatatkan ilmu pedang yang
kuciptakan di balik kulit Yeti ini.... baru
kalian boleh buka setelah aku mati.... dan
kupesan agar kalian menuntun Sim Hong
Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai
dapat menguasainya.... dan karena ilmu ini
kuciptakan untuk pedang Koai-liongpokiam....
maka kuminta.... kelak kalau dia
sudah menguasai ilmu-nya.... kalian
serahkan pedang itu kepada-nya....” Mulut
itu masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak
ada suaranya lagi dan kepalanya lalu
terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang
Kwan yang hidup mera-na karena asmara
gagal itu.
Sim Hong Bu seorang yang menangisi
kematian kakek itu. Dia merasa suka,
sayang dan kasihan kepada “Yeti” ini, dan
kematiannya amat menyedihkan. Tiga
orang kakak beradik Cu lalu mengurus
jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati
membuka kulit biruang yang sudah melekat
pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di
sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan
lecet-lecet. Dan ternya-ta bahwa di sebelah
dalam kulit ini ter-dapat coretan-coretan
ilmu yang dimak-sudkan itu. Dengan hatihati
Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan
dengan pe-nuh khidmat jenazah Ouwyang
Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian
dilakukan pembakaran jenazah itu dalam
keadaan berkabung.
“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, eng-kau
sudah murid kami! Ingat, murid Lembah
Suling Emas harus bersumpah untuk
melaksanakan semua peraturan yang ada
pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak
boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin
dari kami. Ke dua, engkau tidak boleh
mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada
orang lain tanpa persetujuan dari keluarga
kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung
tinggi nama Lembah Gunung Suling Emas
dan tidak menyeret nama baiknya dengan
perbuatan-perbuat-an jahat. Masih ada
peraturan-peraturan tambahan yang kelak
akan diberitahukan kepadamu, dan kalau
engkau melakukan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan kami, maka engkau
akan dianggap musuh oleh Lembah Suling
Emas.”
Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlu-tut di
depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu,
disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In
yang tersenyum-senyum me-lihat ini semua.
“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu
adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah
Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah
dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada
anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Samsuhumu
yang akan membimbingmu.”
Choirul, maret 2008 151
Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu
merasa girang dan cepat memberi hormat
dan menyatakan sumpahnya. De-mikianlah,
mulai saat itu Sim Hong Bu diterima
sebagai “anggauta keluarga” Lembah
Suling Emas, suatu hal yang amat
beruntung baginya, dan hal itu hanya
mungkin terjadi karena pertemuannya
dengan Yeti!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam
Hong bersama Bu Ci Sian yang ter-asing
dari dunia sekitarnya karena ter-dampar ke
“pulau” yang merupakan gu-nung diselimuti
es yang terkurung jurang-jurang yang amat
curam sehingga tidak memungkinkan
mereka keluar dari “pu-lau” itu!
Biarpun dia terkurung di tempat itu, namun
Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama,
kakinya yang patah tulangnya itu
memerlukan waktu untuk sembuh sehingga
andaikata tidak terkurung dan terasing pun,
dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan
perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan
untuk memperce-pat pertumbuhan
tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak
dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh
jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan
amat tekun-nya melatih diri. Setiap hari dia
berlatih meniup suling! Memang sungguh
luar biasa kalau dipikir betapa sejak
kecilnya Kam Hong sudah pandai sekali
meniup suling. Akan tetapi dia meniup
suling un-tuk berlagu merdu dan sekali ini
dia bela-jar meniup suling dengan cara
yang lain sama sekali! Kini dia belajar
meniup su-ling sebagai cara untuk berlatih
agar dia bisa mencapai tingkat yang amat
tinggi dalam ilmu sin-kang dan khi-kang! Dia
berlatih menurut petunjuk dalam catatan
yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena
catatan itu merupakan huruf-huruf kuno
yang ditiru oleh Ci Sian yang kadangka-
dang hanya mencontoh saja tanpa tahu
artinya, maka sebelum melatih diri dia harus
lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan
maksud dari catatan-catatan itu. Dan
setelah dia melatih diri, barulah dia tahu
bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sem-barangan
dan amat sukar untuk dapat meniup suling
seperti yang dimaksudkan oleh nenek
moyang Suling Emas yang aseli itu!
Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan
para orang kang-ouw di puncak yang
berada di seberang sana, dari jauh Kam
Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja
hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan
menonton pertempuran dahsyat itu, akan
tetapi kakinya dan tempat di mana dia
berada tidak me-mungkinkan hal itu, maka
dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak
tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang
terjadi kemudian karena tak lama setelah
pertempuran itu, orang-orang yang nam-pak
di atas puncak di seberang itu pun
menghilang. Tentu saja dia tidak melihat
betapa orang-orang kang-ouw itu disam-but
oleh penghuni Lembah Suling Emas.
Dengan tekun sekali sehingga lupa akan
keadaan dirinya yang berada di tempat
terasing itu, Kam Hong terus belajar
menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya
dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini
setiap hari murung saja karena merasa
kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal?
Berada di tempat terasing itu, setiap hari
hanya makan panggang daging burung dan
hanya ka-dang-kadang saja dia dapat
menangkap binatang kelinci yang
sesungguhnya ada-lah tikus salju. Siapa
tidak akan menjadi bosan? Akan tetapi
kekesalannya itu segera berubah ketika dia
mulai mene-rima petunjuk dari Kam Hong
yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu
silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan
ternyata Ci Sian merupakan seorang murid
yang cerdas dan juga berbakat.
Demikianlah, dua orang itu melewatkan
waktu dan mengusir kekesalan dengan
berlatih ilmu. Hanya suara suling yang ituitu
saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit
kadang-kadang panjang kadang-kadang
pendek itu kadang-kadang menimbulkan
kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah
begitu dia lalu murung dan tidak mau
berlatih, kadang-kadang marah. Baru
setelah Kam Hong menghiburnya dengan
kata-kata manis kemarahannya berkurang
kemudian lenyap lagi.
Choirul, maret 2008 152
“Paman Kam Hong, aku pernah
men-dengar engkau meniup suling itu
dengan lagu yang amat merdu dan indah
menye-nangkan, mengapa sekarang
setelah eng-kau mempelajari catatancatatan
dari kakek pelawak itu engkau kini
belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuattuit
menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian
menegur Kam Hong yang sedang meniup
suling emasnya.
Kam Hong tersenyum. “Ah, engkau tidak
tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar
meniup suling, akan tetapi sesungguhnya
ini merupakan pelajaran la-tihan sin-kang
dan khi-kang yang paling tinggi tingkatnya!”
“Aihhh....!” Anak perempuan itu
me-mandang dengan mata terbelalak dan
diam-diam Kam Hong harus mengakui
bahwa selama hidupnya belum pernah
melihat mata seindah itu! “Kalau begi-tu,
kauajarilah aku meniup suling seper-ti itu,
Paman! Ingat, aku pun membantu-mu
mencatat pelajaran itu, aku berhak
mempelajarinya!”
Kam Hong tersenyum dan mengang-guk.
“Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita
berdua yang menemukan jenazah dan
pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah,
pelajaran meniup suling ini sama sekali
tidaklah mudah, melainkan merupakan
latihan sin-kang dan khi-kang tingkat tinggi.
Engkau tidak akan mungkin dapat
melatihnya sebelum engkau memiliki
tenaga sin-kang yang kuat. Maka, biarlah
kuajarkan engkau latihan sin-kang melalui
siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat,
aku mau memberimu pelajaran dari catatan
ini.”
Dan Ci Sian mulai melatih dengan
menghimpun tenaga sin-kang seperti yang
diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latih-anlatihan
ini setiap hari maka sang waktu
lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan
biarpun mereka setiap hari harus makan
daging burung dan tikus!
Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan
setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat
itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata
baru mampu berlatih meniup suling dengan
satu lubang saja. Baru tingkat permulaan
dari latihan menurut catatan itu! Betapapun
juga, giranglah hati Kam Hong karena
biarpun baru mencapai ting-kat permulaan,
ternyata kini sin-kangnya sudah bertambah
kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan
sebelum dia berlatih meniup suling.
Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih
meniup suling, dia mendengar jerit panjang
yang mendirikan bulu roma-nya, karena dia
mengenal suara itu ada-lah suara Ci Sian!
Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu
berada dalam an-caman bahaya besar dan
dalam keadaan ketakutan. Dengan hati
penuh kekhawa-tiran, sekali menggerakkan
tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari
tempat duduknya, ke arah suara itu dan
berlari-lah dia secepatnya. Kini kakinya
telah sembuh dan tulang yang patah telah
ter-sambung kembali. Biarpun telah sembuh
selama beberapa hari, namun biasanya dia
masih amat berhati-hati kalau ber-jalan.
Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar
jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya
dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa
kakinya yang patah tu-langnya itu kini telah
benar-benar sem-buh sama sekali.
Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari
dan mencari, dia tidak melihat dara itu!
Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi
sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil
terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong
ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang
tepi jurang. Dan mulailah dia merasa
gelisah sekali.
“Ci Sian....” Dia memanggil dan terkejutlah
dia karena di dalam suaranya itu
terkandung tenaga khi-kang yang amat
hebat sehingga suaranya mengge-tarkan
seluruh permukaan bukit es itu. Tak
disangkanya bahwa latihan selama tiga
bulan meniup suling itu telah
men-datangkan tenaga yang demikian
Choirul, maret 2008 153
kuatnya, padahal dia baru saja dapat
menutup sebuah lubang dari suling itu yang
berlubang enam buah. Akan tetapi
kenyataan yang menggirangkan ini tak
terasa oleh hatinya yang penuh dengan
kekhawatiran tentang Ci Sian.
“Ci Sian, di mana engkau....?” Dia berlarilari
lagi, kini sambil berteriak-teriak
memanggil nama dara itu. Namun hasilnya
sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat
itu, seolah-olah ditelan bumi.
Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong
dan wajahnya berubah pucat. Di-telan bumi
ataukah ditelan jurang yang mengerikan
itu? Jantungnya seperti ditu-suk rasanya.
Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke
dalam jurang yang sedemi-kian curamnya
sehingga tidak nampak dasarnya dari atas
itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin
gadis cilik itu tertolong nyawanya!
“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan
me-mejamkan mata, hendak mengusir
ba-yangan yang demikian mengerikan,
bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam
ju-rang dan mengalami kematian
menyedih-kan jauh di bawah sana. Dan dia
pun bertekad untuk menyelidiki dan
mencari-nya. Kakinya sudah sembuh benar,
dia hendak mencoba untuk mencari jalan,
kalau perlu menuruni jurang yang suram
sekali itu!
Ke manakah perginya Ci Sian?
Kekhawatiran dalam hati Kam Hong
memang benar, dan malapetaka menimpa
dara itu seperti yang dibayangkannya.
Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup
suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung
untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi
mereka. Ketika dia melihat seekor burung
putih seperti dara di anta-ra kelompok
burung yang biasa, timbul keinginannya
untuk menangkap burung itu. Tentu rasa
dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung
putih itu gesit sekali. Beberapa kali
disambitnya burung itu dapat mengelak dan
berpindah-pindah tempat. Ci Sian terus
mengejarnya dan akhirnya, ketika burung
itu melayang tu-run di tepi jurang, dia
menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci
Sian ber-sorak girang dan berlari-lari
mengham-piri, akan tetapi alangkah kecewa
hati-nya melihat burung itu tergelincir dari
atas tebing. Dia menjenguk dan melihat
bangkai burung itu kurang lebih dua me-ter
dari tebing, tertahan oleh batu besar di
dinding tebing. Burung itu telah mati, angin
gunung membuat bulu dada burung itu
bergerak-gerak tersingkap memperlihat-kan
kulit dada yang putih dan mulus, montok
dan berdaging menimbulkan se-lera Ci
Sian. Hanya dua meter dan di situ ada batu
besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu
akan cukup kuat mena-hanku, pikirnya dan
dengan nekad karena dia terangsang oleh
daging burung itu. Ci Sian lalu merayap
turun dari tepi tebing yang amat curam itu.
Dia merosot dan berhasil menginjak batu
besar itu, lalu mengambil burung yang
gemuk itu de-ngan girang. Burung itu masih
hangat dan enak sekali terasa di telapak
tangan. Akan tetapi, tiba-tiba batu besar
yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci
Sian terkejut bukan main dan sebelum dia
dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh
dan membawa tubuhnya bersama-sama
melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan
suara jerit melengking yang terdengar oleh
Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja
tubuhnya sudah dite-lan oleh udara yang
tertutup kabut tebal, terus melayang ke
bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu
menimpa dinding tebing dan terlempar jauh
ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung
sekali tidak melanggar tebing dan terus
meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!
Ketika Ci Sian siuman dan membuka
matanya dia segera teringat akan peris-tiwa
tadi. Dia masih memejamkan mata dan
menggerakkan kedua tangan meraba-raba
tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ah,
masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya
mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli.
Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!
Ci Sian membuka kedua matanya dan
seketika dia terloncat bangun saking heran
Choirul, maret 2008 154
dan kagetnya. Dia tidak lagi ber-ada di
dalam guha di mana biasa dia tidur! Dia
berada di tempat lain! Tempat yang seperti
istana es! Banyak terdapat batu-batu
runcing tergantung dari atas dan juga batubatu
runcing terbungkus es, putih
berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh
dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di
sebuah guha yang lain, di mulut guha yang
aneh sekali.
Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia
memutar tubuh ke arah guha, hampir dia
berteriak saking kagetnya. Di mulut guha
itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah
nampak seorang kakek duduk di atas batu
bulat. Kakek yang tubuhnya telan-jang,
hanya bercawat saja. Hawa begitu
dinginnya namun kakek itu telanjang dari
kepalanya yang gundul kelimis sam-pai ke
kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan
dari kepala gundul yang besar itu nampak
uap mengepul! Lebih mengerikan lagi,
seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai
ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit
oleh seekor ular yang amat panjang dan
besar, perutnya sebesar paha kakek itu! Ci
Sian makin mengkirik kegelian melihat ular
yang panjang besar itu, dan dia merasa
gentar dan ngeri melihat kakek yang kurus
ting-gi dengan hidung besar mancung
meleng-kung itu. Seorang kakek bangsa
asing melihat bentuk mukanya yang kurus
dengan alis yang amat lebat, mata lebar
tajam sekali, hidung seperti paruh burung
kakatua, telinga lebar yang dihias antinganting,
dan kumis jenggot yang tak
ter-pelihara, kulit mukanya yang kehitaman
mengkilap.
Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba
kakek itu berkata, suaranya lembut akan
tetapi dengan logat yang ageh dan asing.
“Jangan takut, anak baik, ular inilah yang
menyelamatkan engkau ketika jatuh dari
sana tadi.”
“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata
dengan mata terbelalak meman-dang ke
atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya
tidak nampak dari bawah, ter-tutup awan
atau kabut.
“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”
Jadi, kalau begitu bukan mimpi! Dia benarbenar
telah jatuh dari atas. Dia lalu
memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Ketika dia melihat bangkai burung putih
menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat
dan diambilnya bangkai burung itu. Benar!
Inilah bangkai burung yang menjadi biang
keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang!
Ci Sian membuang burung itu, lalu dia
melangkah maju mendekati kakek aneh itu,
kini tidak takut lagi.
“Aku hendak menangkap burung itu dan
tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular
itukah yang menyelamatkan aku?
Bagaimana mungkin?”. Dia berkata, tak
percaya bahwa seekor ular, betapa-pun
panjang dan besarnya, mampu
me-nyelamatkannya yang dari tempat
sedemikian tingginya.
“Anak baik, engkau tidak tahu lihai-nya ular
salju kembang ini! Dia ber-gantung pada
batu di dinding tebing dengan membelitkan
ekornya, kemudian dengan seluruh
tubuhnya dia menerima tubuhmu dan
membelitmu dan dengan demikian engkau
terhindar dari bencana maut! Lihat, kulitkulit
pada ekornya masih rusak dan lukaluka
karena terta-rik oleh tenaga
luncurannya ketika dia menahanmu.”
Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit
pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan
berdarah, akan tetapi telah diberi obat oleh
kakek itu dan menge-ring. Ular itu ketika
melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilat
lidahnya se-perti seekor anjing yang jinak.
Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian
ketika mendengar betapa ular itu telah
meno-longnya dan melihat betapa ular itu
jinak sekali.
“Ah, kalau begitu aku berhutang budi
kepada ular ini dan kepadamu, Kek!”
katanya dan wajahnya berseri.
Choirul, maret 2008 155
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada
hutang-piutang budi. Semua terjadi secara
kebetulan. Semua ada yang
meng-gerakkan dan kita hanyalah pelakupelaku
belaka! Kalau tidak begitu mengapa
ke-betulan sekali ular ini melingkar di
tem-pat engkau akan jatuh lewat, dan
ke-betulan sekali dapat menangkapmu
de-ngan tepat, dan kebetulan sekali ular itu
adalah ular sahabatku sehingga kebetulan
pula engkau dapat bertemu dengan aku dan
menggugahku dari samadhiku? Bukan-kah
semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya
kita yang bermata ini selamanya seperti
orang buta saja.”
Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata
itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga
dikeluarkan dengan logat yang kaku dan
asing. Dia lalu menjatuh-kan diri berlutut di
depan kakek yang duduk bersila di atas
batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan
terima ka-sih kepada ularmu itu dan
kepadamu, Kakek yang baik.”
Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya
yang ompong tidak ada giginya sepotong
pun. “Siapakah engkau, Nona dan apa
sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas
sana!”
“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah
kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas
sana ketika hendak menangkap burung
putih keparat itu!”
“Ho-ho, engkau sudah mewarisi keke-jaman
manusia Bu Ci Sian. Engkau mem-bunuh
burung itu, untuk kaumakan dagingnya,
kemudian setelah membunuhnya engkau
hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh,
dan engkau memaki-maki burung yang
sudah kaubunuh itu!”
Akan tetapi Ci Sian tidak mempe-dulikan
celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana
masih ada Pamanku, Kek. Ba-gaimana aku
dapat naik ke sana, kembali kepada
Pamanku?”
“Ah, yang suka meniup suling itu?”
“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”
“Aku dapat mendengar getaran suara
sulingnya dalam samadhiku. Dia
berke-pandaian hebat!”
“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam,
dan aku ingin kembali ke sana.”
Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak
mungkin naik ke sana. Sama sukarnya
seperti naik ke langit saja. Salju dan es
longsor telah membuat bukit itu terasing,
terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa
pun lihainya dia, kalau dia tidak memiliki
sayap untuk terbang, selamanya dia pun
tidak akan dapat turun.”
“Ah.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek
yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun
ke sini.”
“Menolong dia? Ci Sian, engkau
mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang
begitu lihai saja tidak mampu turun,
bagaimana pula aku dapat menolongnya?”
“Akan tetapi, engkau tentu seorang
Locianpwe berilmu tinggi.”
“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya
seorang tua bangka sahabat para ular yang
telah kalah bertaruh melawan se-orang
wanita. Hemm.... sampai sekarang aku
telah terhukum selama tiga tahun di guha
ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah
bertaruh melawan seorang wanita.”
“Apa? Ada wanita yang dapat
menga-lahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat
sekali ilmu silatnya!”
“Bukan kalah dalam ilmu silat....”
“Habis, kalah dalam hal apakah?”
“Kalah dalam menebak teka-teki.”
Choirul, maret 2008 156
“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli.
Seperti anak-anak kecil saja, main tebak
teka-teki. Dia tertarik sekali. “Kek,
ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang
membuatmu kalah. Barangkali saja aku
dapat membantumu!” Memang Ci Sian
adalah seorang anak yang suka akan tekateki
dan dahulu ketika dia tinggal bersama
Kong-kongnya, setiap kali ber-kumpul
dengan anak dusun sebaya, dia lalu
bermain teka-teki dan dialah yang selalu
menang karena kecerdasannya menebak
segala macam teka-teki yang sulit-sulit.
Wajah kakek yang hitam itu tiba--tiba
menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau
yang akan dapat membantuku. Nah,
dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan
kisahku secara singkat agar engkau tahu
akan duduknya perkara.”
Kakek itu adalah seorang saniyasi atau
seorang pertapa berbangsa Nepal yang
bernama Nilagangga. Semenjak muda
kesukaannya hanyalah merantau di sekitar
daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia
pernah merantau sampai jauh ke timur, ke
Tiongkok dan akhirnya se-telah tua dia
kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama
dalam perantauannya itu, dia telah
memperoleh banyak ilmu dan terutama
sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang
ular sehingga dia memperoleh julukan Seethian
Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di
dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun
memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi,
seperti juga mereka yang telah
“menjatuhkan” diri dari dunia ramai, ada
semacam pe-nyakit menghinggapi diri
kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk
mengadu ilmu dan di samping itu, dia
gemar pula untuk berdebat tentang ilmu
kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!
Demikianlah memang keadaan manusia
pada umumnya. Di dalam batin sebagian
besar dari kita manusia terdapat gairah atau
hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki
sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar
dapat membuat kita dipandang oleh
manusia lain, baik sesuatu itu me-rupakan
harta kekayaan, kedudukan ting-gi,
kepintaran luar biasa, kekuatan yang
dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi,
pendeknya yang dapat membuat kita
menonjol dan menjadi lebih tinggi dari-pada
orang-orang lain! Kebanggaan diri ini telah
menjadi “kebudayaan” kita manu-sia,
semenjak kecil ditanamkan pada batin kita
oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh
kitab-kitab dan oleh guru-guru da-lam
pendidikan kita. Betapa sampai kini-pun kita
selalu menganjurkan anak-anak kita agar
tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi
paling menonjol, paling pintar, paling rajin
dan segala macam “paling” lagi. Bukankah
pendidikan sema-cam ini yang menanam
sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol
dalam batin anak-anak kita?
Kemudian, setelah kita menjadi dewa-sa,
setelah sifat ingin menang dan ingin
menonjol, ingin dipuji ini membawa kita
bertemu dan bertumbuk dengan segala
konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang
menimbulkan pertentangan antara manusia,
sifat inilah yang mendatangkan permusuhan
dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari
kita lalu melarikan diri! Seperti halnya
Nilagangga itu, dia me-larikan diri dari
kenyataan itu, lalu me-nyepi, menjauhkan
diri dari tempat ra-mai. Namun, apakah
gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di
dalam batin, kita bawa ke manapun juga
kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak
terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin
kita melari-kan diri darinya, yang berarti kita
me-larikan diri dari kita sendiri. Sungguh
tidak mungkin ini! Maka, tidaklah
meng-herankan kalau sifat ingin menang ini
muncul dalam bentuk lain, seperti halnya
Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul
dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki
dan sebagainya lagi.
Kita sudah biasa melarikan diri dari
kenyataan pahit. Kita pemarah, lalu kita lari
ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari
ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita
lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah
kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak
pernah terpisah dari kita, berada di dalam
Choirul, maret 2008 157
batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke
dalam kesabaran dan hiburan, maka kita
hanya akan terlupa atau terbius sebentar
saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH
ADA di dalam batin kita, seperti api dalam
sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus
dan berkobar lagi!
“Pada suatu hari, ketika aku meran-tau di
daerah Himalaya, aku memasuki daerah
Lembah Gunung Suling Emas tan-pa
kusengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu
melarangku memasuki lembah. Karena aku
menganggap bahwa seluruh Himalaya
adalah daerah bebas, maka terjadilah
perbantahan dan dilanjutkan dengan
per-tandingan silat. Wanita itu, seorang
wanita muda dan cantik yang menjadi
anggauta keluarga penghuni lembah itu,
ternyata lihai sekali dan sampai kami
berdua kehabisan tenaga, kami ternyata
seimbang. Maka aku mengusulkan untuk
bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku
kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan
ceritanya.
“Bagaimanakah teka-tekinya, Kek?” Ci Sian
yang mendengarkan dengan penuh
perhatian itu bertanya, hatinya tertarik
sekali.
Kakek itu melanjutkan ceritanya. La-wannya
itu menerima tantangannya untuk masingmasing
mengeluarkan sebuah te-ka-teki.
Dan mereka berdua berjanji, janji orangorang
yang menjunjung tinggi kegagahan
dan menganggap janji lebih berharga
daripada nyawa, bahwa siapa yang tidak
dapat menjawab teka-teki harus bertapa
dalam guha itu dan sampai lima tahun tidak
boleh meninggalkan guha sebelum dapat
menjawab teka-teki itu!
“Aku mengajukan teka-teki, akan te-tapi
sungguh hebat dia, teka-tekiku dapat
dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga
mengeluarkan teka-tekinya, dan....
sung-guh sial aku, sampai sekarang sudah
tiga tahun aku bertapa di dalam guha ini,
tetap saja aku belum dapat menemukan
jawabannya. Kalau tidak ada yang
meno-longku, agaknya aku terpaksa harus
ber-tahan sampai dua tahun lagi di tempat
ini.”
Tentu saja Ci Sian merasa geli dan
panasaran. Mana ada aturan seperti itu?
Mengapa orang memegang janji sampai
mati-matian begitu? Andaikata kakek itu
meninggalkan guha, tentu lawannya itu pun
tidak akan tahu!
“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat?
Coba kauberitahukan, Kek, siapa tahu aku
akan-dapat menebaknya untuk-mu.”
“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau
yang masih kanak-kanak ini akan dapat
menebaknya!”
“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.
“Apakah perbedaan pokok antara cinta
seorang pria dan cinta seorang wanita?”
Kakek itu berhenti sebentar setelah
mengucapkan pertanyaan yang agaknya
sudah begitu hafal olehnya itu, yang
agaknya sudah ribuan kali diulanginya
tanpa dia dapat memberi jawaban. “Nah,
itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku
tidak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya
cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan? Akan tetapi dia
membantah, mengatakan bahwa ada
beda-nya. Kami berdebat, dia bilang bahwa
dia adalah wanita maka dia tahu akan
perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang
sialan ini, aku tidak tahu, apalagi beda-nya,
bahkan aku tidak pernah mencinta seorang
wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya
cinta itu.... wah, aku ka-lah.”
Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun
pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga
tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam
urusan cinta, dia sama “buta hurufnya”
dengan kakek tua renta itu.
“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah eng-kau
membantuku dbn memberikan
jawab-annya?”
Choirul, maret 2008 158
Memang tentu saja Ci Sian, sebagai
seorang dara yang baru remaja, baru
menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta
kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah
seorang anak yang amat cer-dik. Dia lalu
membayangkan tentang Kam Hong, satusatunya
pria yang per-nah mendatangkan
rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu
membayangkan diri-nya sendiri, bagaimana
seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar
sakti itu! Setelah mengerutkan kedua
alisnya agak lama, sambil memejamkan
kedua mata-nya sehingga kakek itu
memandang penuh harapan, tiba-tiba dia
membuka mata memandang kakek itu,
sepasang mata yang indah itu bersinarsinar.
“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria,
coba kauberitahukan bagaimana
perasaanmu, apa yang kauinginkan
andai-kata engkau jatuh cinta kepada
seorang wanita.” Ci Sian menyebut Coaong
(Raja Ular) kepada orang asing itu,
mengingat bahwa julukannya adalah Raja
Ular dari Barat! Dan kakek itu agaknya
malah se-nang disebut demikian. Hanya
karena pertanyaan itu justeru merupakan
perta-nyaan yang dianggapnya amat sulit,
dia mengerutkan alisnya.
“Wahhh.... engkau tanya yang bukanbukan.
Mana aku tahu?”
“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa tekateki
yang diajukan oleh lawanmu itu baru
dapat dijawab kalau aku tahu ba-gaimana
perasaan seorang pria yang mencinta
seorang wanita. Tanpa menge-tahui
perasaan pria, bagaimana mungkin aku
dapat tahu akan perbedaan antara cinta
seorang pria dan seorang wanita? Dan
tanpa diberi tahu oleh seorang pria,
bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta
seorang pria itu? Hayo pikirlah, Coa-ong.
Aku pun belum pernah jatuh cinta, akan
tetapi setidaknya kita sama-sama dapat
membayangkan bagaimana perasaan kita
dan apa keinginan kita kalau kita masingmasing
jatuh cinta kepada seseorang.”
“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat
yang pernah kuhadapi....” kakek itu
mengomel, akan tetapi dia pun segera
mengerutkan alis dan memejamkan mata,
seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi
untuk membayangkan tentang bagaimana
seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian
sudah memejamkan mata membayangkan
keadaannya sendiri. Demikianlah, dua
orang ini, seorang kakek tua renta dan
seorang dara menjelang dewasa, duduk
bersila dan memejamkan mata,
menge-rutkan alis, membayangkan tentang
me-reka jatuh cinta!
Cinta adalah suatu hal yang amat lembut,
amat halus, amat rumit, dan amat banyak
lika-likunya sehingga men-jadi bahan
percakapan, bahan tulisan dari bahan
perdebatan para sastrawan, para cerdik
pandai, dari jaman dahulu sampai
sekarang, tanpa ada yang mampu
melu-kiskannya atau memperincinya
dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini,
yang selama hidupnya belum pernah jatuh
cinta, kini keduanya membayangkan
bagai-mana seandainya mereka itu jatuh
cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita
adalah sedemikian ruwetnya dan banyak
sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya!
Betapapun juga, Ci Sian yang cerdik itu
dengan naluri kewanitaannya seperti da-pat
meraba apa yang dimaksudkan de-ngan
teka-teki yang diajukan oleh se-orang
wanita pula itu! Maka dia langsung menuju
kepada sasaran pokok, yaitu ten-tang
perasaan seorang pria dan seorang wanita
yang jatuh cinta, apa yang paling
dikehendakinya dari orang yang dicinta.
Ada satu jam lamanya kakek itu du-duk
diam seperti itu! Dan biarpun ha-wa udara
amat dinginnya, namun kakek yang
tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai
berkeringat! Keringatnya besar-besar
menempel di seluruh tubuhnya, dan uap
yang mengepul di atas kepalanya semakin
tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang,
membuka matanya dan mata itu berseri-seri
memandang kepada Ci Sian yang sudah
sejak tadi membuka matanya. Kakek itu
Choirul, maret 2008 159
mengguncang tubuh-nya seperti seekor
anjing kalau mengusir air yang membasahi
tubuhnya. Terdengar suara berketrikan
ketika keringat yang telah membeku itu
berjatuhan rontok dari tubuhnya,
merupakan butiran-butiran es kecil!
“Wah, memenuhi permintaanmu
mem-bayangkan tentang cinta itu
mendatang-kan bayangan yang amat
mengerikan dan menakutkan!” katanya.
Diam-diam Ci Sian merasa geli juga.
Bagaimana mungkin bayangan mencinta
orang bisa begitu mengerikan dan
mena-kutkan?
“Yang penting, apakah engkau kini sudah
mampu menceritakan atau
meng-gambarkan bagaimana perasaan
seorang pria yang jatuh cinta kepada
seorang wanita?”
“Aku sudah membayangkan.... aku sudah
membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu
menggigil, bukan karena ke-dinginan,
melainkan karena geli dan ta-kut! “Yang
terbayang adalah cerewetnya, manjanya,
dan betapa dia merongrong hidupku
sehingga hidupku tidak lagi mengenal
ketenteraman dan ketenangan, betapa dia
ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku.
Ihhhh....!”
Kembali Ci Sian tertawa dalam hati-nya,
akan tetapi mulutnya hanya ter-senyum
saja. Betapa anehnya kakek ini! “Bukan itu
maksudku, Kek. Akan tetapi bagaimana
perasaanmu dan apa yang paling
kauinginkan andaikata engkau ja-tuh cinta
kepada seorang wanita?”
Kakek itu mengingat-ingat. “Keingin-anku
hanya ingin menyenangkan dia,
membahagiakan dia, memanjakan dia.”
Akhirnya dia berkata, dengan alis ber-kerut,
seolah-olah dia harus menjawab sesuatu
persoalan yang amat rumit!
“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan
wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang!
Biarpun hanya hasil bayangan kita ber-dua,
akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coaong!”
“Sudah kautemui jawaban teka-teki itu.”
Ci Sian mengangguk. “Agaknya tidak akan
keliru lagi.”
“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun
berseri, penuh harap. “Coba jawab, apa-kah
perbedaan antara cinta seorang pria dan
cinta seorang wanita?”
“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta
seorang pria adalah ingin selalu
menyenangkan dan memanjakan,
sedang-kan cinta seorang wanita adalah
sebalik-nya, yaitu menurut hasil khayalan
dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita
justeru menjadi kebalikannya. Dalam
cintanya, wanita ingin selalu disenangkan,
dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”
Kakek itu melompat bangun dan baru
nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya
kakek itu. Jangkung kurus sehingga
po-tongan tubuhnya tidak menarik sama
sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini
bertepuk tangan dan mengeluarkan suara
melengking seperti suara suling. Dan tibatiba
Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan
ketakutan ketika mendengar suara
mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari
empat penjuru mengurung tem-pat itu!
Heran dia bagaimana di tempat bersalju
bisa terdapat begitu banyak ular!
“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia
bersembunyi di belakang tubuh kakek itu.
Dia bukan takut, melainkan jijik.
“Kenapa takut? Engkau akan kujadi-kan
puteri ular, mengapa takut?”
“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”
“Eh, bocah bodoh. Kalau engkau menjadi
puteri ular, siapa lagi berani
Choirul, maret 2008 160
meng-ganggumu? Sahabatmu ular-ular itu
ber-ada di mana-mana dan jika engkau
ter-ancam bahaya, engkau dapat sewaktuwaktu
memanggil mereka! Engkau telah
berjasa kepadaku, maka aku ingin
menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau
tidak mau?”
Ci Sian menelan ludah! hatinya terta-rik
juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira
tadi.... aku hendak kaujadikan ular....”
“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau de-kati
mereka dan kau pegang-pegang me-reka.
Ke sinikan dulu kedua telapak ta-nganmu!”
Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu
dan mengulurkan kedua tangannya,
ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan
kakek itu bergerak cepat ke depan.
“Plak! Plak!”
“Aduhhh....!” Ci Sian berteriak ketika kedua
telapak tangannya terasa panas sekali
ditampar oleh tangan kakek itu dan dia
memandang terbelalak marah.
“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan
tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian.”
kata kakek itu, Ci Sian menelan kembali
kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan
itu merupakan semacam pemin-dahan ilmu
untuk menalukkan ular! Dia lalu
menghampiri ular-ular itu yang nam-pak
diam tak bergerak di atas tanah, hanya
lidah mereka yang bergerak keluar masuk
di mulut masing-masing. Biarpun hatinya
merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci
Sian segera meraba kepa-la ular-ular itu
dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak
takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di
lain saat dia sudah mengangkat seekor ular
kemerahan yang sebesar jari kakinya,
membelainya dan mempermainkannya. Ular
itu sama sekali tidak berani berkutik!
“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu
gigitan ular itu akan dapat membu-nuh
seorang manusia seketika juga?”
“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian
me-lemparkan ular merah itu.
“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan
berani berbuat apa-apa!” See-thian Coaong
lalu mengeluarkan suara meleng-king
tiga kali dan.... ular-ular itu lalu
membalikkan tubuh dan merayap pergi
dengan cepat dari tempat itu, seperti
sekumpulan anjing yang ketakutan diusir
pergi oleh majikan mereka.
“Ha-ha, ternyata aku yang bodoh se-kali, Ci
Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, haha,
begitu mudahnya! Mengapa aku tidak
ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im
dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi
dan pria adalah Matahari! Sinar matahari
menembus apa pun juga untuk mencari
bumi, untuk menyinari bumi, untuk
membuat bumi hidup dan subur, untuk
memberikan se-mangat dan kekuatan
kepada bumi. Se-baliknya, bumi menantinanti
untuk di-sinari, untuk dibelai, untuk
disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha,
benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin
menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan
wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin
dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa
raga-nya, kepada pria untuk dimiliki dan
di-cinta dan dipuja! Ha-ha-ha, betapa
bo-dohnya tidak mampu menjawab teka--
teki yang amat sederhana itu!”
Melihat sikap kakek itu yang kegi-rangan, Ci
Sian memperingatkan. “Jangan anggap
sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa
bantuan seorang wanita, tak mungkin
engkau dapat menjawab teka-teki itu.”
“Ha-ha, benar sekali. Karena itulah maka
aku akan menurunkan ilmu-ilmuku
kepadamu.”
“Aku ingin kembali kepada Paman Kam
Hong.”
“Ah, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin
bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak
mungkin pula bagi Paman-mu untuk turun
dari sana. Longsoran bukit itu telah
Choirul, maret 2008 161
merobah keadaan dan kita hanya bisa
mengharapkan terjadi longsor-an lain
sehingga tempat di mana Pa-manmu
terkurung itu akan dapat dihu-bungkan
dengan tempat lain. Sementara ini, marilah
kau ikut denganku untuk menjumpai
musuhku itu.
Hati Ci Sian menjadi tertarik. “Wani-ta yang
memberimu teka-teki itu?”
“Ya, dan kuharap engkau suka
mem-bantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara
dan pandai berdebat, dan engkau pun
agaknya tidak kalah pandai. Maka
bantuanmu kuharapkan. Mari kautemani
aku meng-hadapinya, dan kelak aku akan
memban-tumu mencari Pamanmu itu.”
Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini
tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak
terdapat jalan yang boleh membawanya
kembali kepada Kam Hong. Dia
memerlukan bantuan Kam Hong un-tuk
mencari orang tuanya, setelah kini dia
terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak
mungkin dapat berkumpul kembali, apa
salahnya kalau kini Coa-ong ini yang
membantunya mencari orang tuanya? Akan
tetapi, dia belum mengenal betul kakek
asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu
menceritakan tentang orang tuanya dan
mendiang kakeknya. Sementara ini,
daripada sendirian saja di daerah liar dan
berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini,
lebih baik dia berteman dengan seorang
pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi
akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja
dia merasa gi-rang.
“Baiklah, Coa-ong. Aku akan
memban-tumu.”
Kakek itu menjadi girang sekali, wajahnya
yang berkulit hitam itu berseri dan dia lalu
menggandeng tangan Ci Sian sambil
berkata, “Kalau begitu, hayo kita berangkat
sekarang. Ingin sekali aku me-lihat wajah
Cui-beng Sian-li kalau men-dengar aku
menebak teka-tekinya!”
“Cui-beng Sian-li? Itulah julukan lawanmu?”
tanya Ci Sian, diam-diam dia bergidik ngeri
karena julukan itu sungguh menyeramkan.
Dewi Pengejar Arwah! Tentu saja orangnya
mengerikan juga!
“Ya, dan dia lihai sekali. Sebetulnya dia
adalah warga dari penghuni Lembah
Gunung Suling Emas, akan tetapi
semen-jak suaminya meninggal, dia kini
tinggal di Lereng Batu Merah tak jauh dari
lem-bah itu hanya di sebelah bawahnya.
Se-perti juga Lembah Gunung Suling Emas,
Lereng Batu Merah itu pun sukar dida-tangi
manusia dari luar kecuali mereka yang
sudah tahu jalannya.”
“Dan engkau tahu jalannya, Coa-ong?”
“Tentu saja!”
Maka berangkatlah mereka meninggal-kan
tempat itu. Menurut keterangan See-thian
Coa-ong, tempat tinggal lawannya itu, yaitu
Lereng Batu Merah, sebetulnya tidak jauh
dari situ, masih merupakan satu daerah
gunung, akan tetapi karena terjadi longsor,
terpaksa mereka harus mengambil jalan
memutar yang amat jauh!
Kini See-thian Coa-ong tidak berte-lanjang
lagi. Kalau tadinya dia hanya bercawat
ketika untuk pertama kali Ci Sian
melihatnya, kini kakek itu telah mengambil
pakaiannya yang disimpan di dalam guha.
Sesungguhnya bukan pakaian, hanya kain
kuning panjang yang dilibat-libatkannya di
tubuhnya, sebelah pundak-nya dan dari
pinggang ke bawah sampai ke lutut, seperti
pakaian para pendeta pada umumnya. Ular
panjang besar yang telah menolong Ci Sian
itu ditinggalkan.
“Tanggalkan saja jubahmu itu. Aku akan
mengajarkan ilmu untuk membuat tubuhmu
hangat dan tahan menghadapi hawa yang
bagaimana dingin pun.” kata See-thian Coaong
kepada Ci Sian. Man-tel bulu itu
memang sudah kotor, maka mendengar
bahwa dia akan diajari ilmu yang aneh itu,
Ci Sian merasa girang. Dia percaya penuh
Choirul, maret 2008 162
karena dia sudah melihat sendiri betapa
kakek itu hampir telanjang di dalam hawa
udara yang se-demikian dinginnya.
Demikianlah, mereka melakukan
per-jalanan dan di waktu mereka
beristira-hat, See-thian Coa-ong memberi
petunjuk kepada Ci Sian untuk
mengerahkan hawa murni dan membuat
tubuhnya terasa hangat biarpun berada
dalam hawa udara yang amat dingin. Tentu
saja ilmu ini tidak mudah karena
sesungguhnya mem-butuhkan tenaga sinkang
yang amat kuat, akan tetapi kakek itu
membantu Ci Sian dan menempelkan
telapak tangannya yang panjang dan lebar
ini ke punggung Ci Sian, maka dara remaja
ini pun dapat dengan cepat menguasai
hawa murni yang mengalir di tubuhnya.
Pada suatu pagi, ketika mereka se-dang
mendaki lereng, tiba-tiba mereka melihat
serombongan orang turun dari puncak. Seethian
Coa-ong cepat menarik tangan Ci
Sian dan diajaknya dara itu bersembunyi di
balik batu besar. Akan tetapi Ci Sian dapat
mengenal wanita yang berjalan di depan
bersama dua orang anak laki-laki itu.
Wanita itu bu-kan lain adalah A-ciu, wanlta
baju hijau dari rombongan empat wanita
bertandu yang pernah dia pukuli dengan
bantuan Kam Hong! Dia tidak mungkin
salah me-ngenalnya biarpun dari jauh,
karena di belakang wanita itu terdapat
orang-orang yang memikul tiga buah tandu.
Tentu tiga buah tandu itu berisi tiga orang
wanita lainnya, pikir Ci Sian. Akan teta-pi
yang amat menarik perhatiannya ada-lah
keadaan dua orang anak laki-laki itu.
Mereka itu sebaya dengan dia, dan
lucu-nya, dua orang anak laki-laki itu serupa
benar, baik pakaiannya, wajahnya maupun
gerak-geriknya. Mudah saja diduga bahwa
mereka tentulah dua orang anak kembar.
Akan tetapi, Ci Sian tidak merasa lucu
karena dia melihat betapa dua orang anak
laki-laki itu berjalan dengan kedua lengan di
belakang tubuh, tanda bahwa mereka itu
tidak bebas, terbelenggu kedua lengan
mereka! Mereka itu tentu ditawan oleh
wanita-wanita jahat itu. Teringatlah Ci Sian
akan pertanyaan wanita-wanita itu di depan
warung dahulu. Mereka bertanya-tanya
tentang dua orang pemuda remaja kembar!
Tentu itulah mereka yang ditanyakan dan
kini agaknya mereka telah tertangkap dan
menjadi tawanan. Karena hatinya merasa
amat tidak suka kepada empat orang wanita
itu yang dianggapnya jahat, maka biarpun
dia tidak mengenal dua orang pemuda
tanggung itu, hati Ci Sian condong
ber-pihak kepada dua orang pemuda yang
menjadi tawanan itu dan dia mengambil
keputusan untuk menolong mereka dari
tangan wanita-wanita itu. Akan tetapi dia
pun maklum bahwa empat orang wanita itu
lihai bukan main. Dia pernah dapat
mempermainkan mereka hanya karena
pertolongan Kam Hong dan kini pendekar
sakti itu tidak berada di situ. Yang ada
hanya See-thian Coa-ong. Maka dia lalu
menyentuh lengan kakek itu dan berkata
dengan suara berbisik.
“Coa-ong, sekarang engkau harus
membantuku, baru aku nanti membantu
menghadapi lawanmu.”
“Membantu apa, Ci Sian? Tanpa kau-minta
sekalipun tentu perlu aku memban-tumu.
Bukankah kita sudah menjadi saha-batsahabat
baik yang saling membantu?”
Girang hati Ci Sian mendengar ini. “Coaong,
wanita itu dan tiga orang temannya
yang berada di dalam tandu adalah wanitawanita
jahat sekali, akan tetapi mereka juga
lihai. Dan aku pernah bentrok dengan
mereka, maka sekarang aku hendak
membebaskan dua orang pe-muda yang
mereka tawan itu. Engkau mau
membantuku, bukan?”
“Siapakah dua orang pemuda kembar itu?
Apa kau mengenal mereka?”
“Tidak, melihat pun baru sekarang.”
See-thian Coa-ong menghela napas. “Ah,
Ci Sian, mengapa engkau mencari
penyakit? Bukankah engkau merupakan
seorang anak yang sudah lama
Choirul, maret 2008 163
berkecim-pung di dunia, kang-ouw?
Mengapa harus mencampuri urusan orang
lain?”
“Coa-ong, mana kita dapat terlepas dari
urusan orang lain? Engkau menyela-matkan
aku, dan kini aku ikut denganmu untuk
menghadapi lawanmu. Bukankah itu berarti
bahwa engkau dan aku telah mencampuri
urusan orang lain? Hayo, engkau mau
membantuku atau kau ingin melihat aku
mati di tangan mereka?”
“Baiklah.... baiklah.... akan tetapi aku tidak
mau kalau engkau menyuruhku membunuh
orang.”
“Siapa mau bunuh siapa? Aku hanya ingin
menolong dua orang pemuda yang tertawan
itu, kata Ci Sian. Sementara itu, rombongan
yang menuruni puncak telah tiba dekat
dengan mereka. Memang benar dugaan Ci
Sian. Wanita yang ber-jalan di depan itu
adalah A-ciu, wanita baju hijau yang cantik
dan berwajah bengis. Wanita itu membawa
sebatang pedang yang tergantung di
belakang pun-daknya, berjalan dengan
langkah gagah mendahului di depan dua
orang pemuda remaja yang berwajah
tampan dan yang melangkah tenang
berdampingan dengan kedua lengan
terbelenggu di belakang tubuh, lalu diikuti
oleh tiga buah tandu yang masing-masing
dipakai oleh empat orang.
Siapakah adanya dua orang anak laki-laki
kembar itu? Usia mereka kurang lebih dua
belas tahun, pakaian mereka sederhana
dan wajah mereka tampan, sikap mereka
tenang sekali. Wajah dua orang ini serupa
benar, sukar membeda-kan satu dari yang
lain, wajah yang membayangkan
kegagahan dan rambut kepala mereka yang
hitam gemuk itu dikuncir ke belakang
punggung. Melihat sikap mereka, biarpun
mereka itu masih remaja dan mereka
menjadi tawanan, dibelenggu kedua tangan
mereka, namun mereka nampak begitu
tenang. Hal ini saja sudah jelas
menunjukkan adanya kegagahan dalam diri
mereka.
Dan memang demikianlah. Dua orang anak
laki-laki kembar ini memang bukan
sembarang anak. Mereka adalah puteraputera
dari pendekar sakti Gak Bun Beng
dan pendekar wanita yang pernah
meng-gemparkan dunia kang-ouw dan
terkenal sebagai puteri istana, juga seorang
pang-lima wanita yang disamakan dengan
nama Hwan Lee Hwa di jaman cerita Sie Jin
Kwie Ceng Tang. Wanita yang men-jadi ibu
mereka ini bukan lain adalah Puteri Milana,
keponakan dari kaisar! Gak Bun Beng dan
Puteri Milana, suami isteri yang keduanya
memiliki nama be-sar di dunia kang-ouw itu,
telah lama mengundurkan diri dan hidup
aman ten-teram di puncak Telaga Warna, di
Pegu-nungan Beng-san, di mana mereka
hidup saling mencinta dan rukun bersama
dua orang putera kembar mereka yang
ber-nama Gak Jit Kong dan Gak Goat
Kong. Di dalam bagian-bagian terdahulu
dari rangkaian cerita ini, yaitu dalam kisahkisah
SEPASANG PEDANG IBLIS,
SEPASANG RAJAWALI, dan JODOH
SEPASANG RAJAWALI, pasangan
pendekar sakti ini muncul de-ngan ilmu-ilmu
mereka yang menggem-parkan.
Bagaimanakah tahu-tahu dua orang
saudara kembar itu, Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong, yang tinggal di puncak
Pegunungan Beng-san dapat berada di
Pegunungan Himalaya dan menjadi
ta-wanan Su-bi Mo-li?
Su-bi Mo-li adalah empat orang wa-nita
cantik yang lihai sekali karena me-reka itu
adalah murid-murid gemblengan dari Imkan
Ngo-ok! Mereka berempat oleh guruguru
mereka sengaja diperban-tukan
kepada Sam-thaihouw yang diam-diam
mengadakan hubungan dengan kelima
Ngo-ok. Ketika mendengar dari para matamata
yang disebarnya bahwa dua orang
putera dari Puteri Milana itu me-ninggalkan
rumah orang tua mereka un-tuk ikut
beramai-ramai berkunjung ke Himalaya,
Sam-thaihouw cepat memerin-tahkan Su-bi
Mo-li untuk melakukan pengejaran dan
berusaha menawan dua orang kakak
Choirul, maret 2008 164
beradik kembar itu, untuk melampiaskan
kebenciannya terhadap Puteri Milana!
Mengapa Ibu Suri ke Tiga ini membenci
Puteri Milana dan karena tidak berdaya
terhadap puteri itu kini hendak
melampiaskan dendamnya kepada kedua
orang putera dari Puteri Milana?
Sam-thaihouw adalah satu-satunya selir
yang masih hidup dari mendiang Kaisar
Kiang Hsi. Sebagai selir mendiang ayahnya,
maka tentu saja kaisar yang sekarang, yaitu
Kaisar Yung Ceng, tetap menghormati ibu
tiri itu, satu-satunya di antara para selir
ayahnya yang masih hidup, dan
memberinya kedudukah seba-gai Samthaihouw
atau Ibu Suri ke Tiga dan
menempati sebuah istana yang cukup
mewah.
Ketika Sam-thaihouw ini masih muda,
pernah terjalin cinta asmara antara selir ini
dengan mendiang Pange-ran Liong Khi
Ong, yaitu pangeran yang memberontak itu
(baca KISAH SEPASANG RAJAWALI).
Mereka mengadakan perjinaan di luar
tahunya mendiang Kaisar Kiang Hsi. Maka
ketika pemberontakan dari kekasihnya itu
gagal dan Pangeran Liong Khi Ong
bersama saudaranya, Pangeran Liong Bin
Ong, tewas, diam-diam Sam-thaihouw
merasa berduka sekali. Maka,
ditimpakanlah semua rasa benci dan sakit
hatinya kepada keturunan Puteri Nirahai
atau keturunan dari Pendekar Super Sak-ti.
Terutama sekali kepada Puteri Milana yang
berjasa pula memberantas pembe-rontakan
kekasihnya itu. Kini, setelah selir kaisar ini
menjadi tua, satu-satunya nafsu yang
berkobar di dalam dadanya hanyalah
membalas dendam dan mem-basmi
keturunan Pendekar Super Sakti atau
keturunan Milana, kalau tidak mungkin
menghancurkan kehidupan puteri itu
sendiri. Inilah sebabnya mengapa Samthaihouw
mengadakan kontak dengan Imkan
Ngo-ok melalui orang-orang
kepercayaannya, dan ini pulalah yang
men-jadi sebab mengapa Su-bi Mo-li
menjadi pembantu-pembantunya dan kini
empat orang wanita cantik yang lihai itu
bersusah payah pergi ke Himalaya untuk
mengejar dua orang putera kembar dari
Puteri Milana ketika mereka mendengar
bahwa dua orang anak kembar itu ikut
beramai-ramai ke Himalaya mencari
pedang pusaka yang hilang dari istana.
Sungguh tak terduga oleh Su-bi Mo- li
betapa di daerah Himalaya itu mereka
berempat harus kehilangan muka ketika
mereka bentrok dengan Kam Hong yang
ternyata adalah keturunan Pendekar Suling
Emas yang amat lihai! Akan tetapi, rasa
penasaran dan kecewa ini terobatlah ketika
mereka akhirnya dapat menemu-kan di
mana adanya dua orang pemuda tanggung
yang kembar itu! Mereka mene-mukan Gak
Jit Kong dan Gak Goat Kong yang sedang
berkeliaran di dalam sebuah hutan dalam
keadaan bingung dan sesat jalan! Memang
dua orang anak ini dengan keberanian luar
biasa telah meninggalkan rumah orang tua
mereka tanpa pamit untuk “mencari
pengalaman” di daerah Himalaya yang luas
itu.
Su-bi Mo-li tidak perlu memperguna-kan
kekerasan. Ketika melihat mereka dikurung
oleh empat orang wanita lihai yang
mengaku utusan Sam-thaihouw yang minta
kepada mereka berdua agar ikut untuk
menghadap ke kota raja, dua orang anak
muda itu menyerah tanpa perlawan-an.
Mereka berdua bukan merasa takut. Sama
sekali tidak. Sejak kecil mereka telah
digembleng oleh ayah bunda me-reka
sehingga mereka tidak pernah mengenal
takut, dan biarpun keduanya baru berusia
sekitar tiga belas tahun, namun mereka
telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi
yang hebat. Akan tetapi, mereka takut
kepada ayah bunda mereka yang selalu
menekankan agar mereka berdua tidak
mencari permusuhan di dunia kang-ouw
dan agar tidak menim-bulkan keributan.
Kini, mendengar bahwa Su-bi Mo-li adalah
utusan Sam-thaihouw yang “memanggil”
mereka, maka kedua orang anak kembar ini
menyerah dan bahkan tidak membantah
ketika A-ciu membelenggu kedua tangan
Choirul, maret 2008 165
mereka ke belakang dengan alasan agar
“jangan lari”.
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong bukanlah
anak-anak yang bodoh, mereka menyerah
bukan hanya untuk menghindar-kan
bentrokan dan keributan, akan tetapi juga
mereka percaya penuh bahwa kalau
mereka dibawa ke kota raja, apalagi ke
istana, mereka akan selamat dan tidak akan
ada yang berani mengganggunya!
Bukankah Kaisar masih terhitung paman
mereka sendiri, masih keluarga dengan ibu
mereka? Dan siapakah yang tidak
mengenal Puteri Milana, ibu mereka? Siapa
yang akan berani mengganggu me-reka,
putera dari Puteri Milana yang terkenal?
Mereka tidak tahu tentang Sam-thaihouw!
Ketika rombongan ini tiba ditempat Ci Sian
dan See-thian Coa-ong bersem-bunyi, tibatiba
Ci Sian meloncat keluar dari balik batu
besar, mengembangkan kedua lengannya
dan dengan suara yang lantang dia
membentak.
“Su-bi Mo-li! Kalian masih berani melakukan
kejahatan dan menawan dua orang bocah
itu? Hayo kalian bebaskan mereka!”
A-ciu tentu saja segera mengenal dara
remaja itu dan wajahnya tiba-tiba berobah
pucat. Cepat dia menoleh ke arah dua
orang pemuda tanggung itU. Akan tetapi
dua orang pemuda kembar itu hanya saling
lirik dan bersikap biasa saja, sikap yang
menunjukkan bah-wa mereka tidak
mengenal dara cilik yang menghadang itu.
A-ciu juga me-noleh ke kanan kiri, merasa
ngeri karena mengira bahwa tentu dara itu
muncul bersama dengan Suling Emas,
sastrawan muda yang membuat dia dan
tiga orang sucinya tak berdaya.
Melihat A-ciu hanya bengong dan
me-mandang ke kanan kiri, Ci Sian
memben-tak lagi dengan marah. “Heii,
apakah engkau sudah menjadi tuli? Hayo
kaube-baskan dua orang bocah itu! Apa
engkau ingin kugampar lagi mukamu
sampai bengkak-bengkak?”
Ucapan itu mengingatkan kepada A- ciu
akan penghinaan yang diterimanya dari
dara remaja ini. Sepasang mata wanita
cantik itu berkilat seperti menge-luarkan api
dan dengan menahan rasa marah karena
dia masih takut pada Kam Hong, dia
berkata, suaranya nyaring, “Bocah setan!
Hayo suruh Pendekar Suling Emas keluar
bicara dengan kami, jangan engkau
mengacau di sini! Aku percaya bahwa
Pendekar Suling Emas tidak akan
selancangmu mencampuri urusan kami
yang tiada sangkut-pautnya dengan dia!”
Ci Sian juga seorang yang amat cer- dik.
Melihat sikap A-ciu itu, dia pun tahu bahwa
wanita itu masih merasa gentar kepada
Kam Hong, maka dia ter senyum. Biarpun
Kam Hong tidak bersa- manya, namun dia
tidak merasa takut kepada wanita itu,
mengingat bahwa See-thian Coa-ong
berada di belakang batu besar, siap untuk
melindunginya.
“Hemm, Paman Kam tidak datang
bersamaku, akan tetapi hal itu bukan berarti
bahwa engkau boleh membang-kang
terhadap perintahku. Hayo kaube-baskan
dua orang bocah itu.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja A-c iu
menjadi girang bukan main, “Bagus!
Sekarang bersiaplah engkau untuk mampus,
bocah setan!” teriaknya dan dia sudah
mencabut pedangnya. Walaupun tanpa
pedang juga dengan mudah dia akan
mampu membunuh Ci Sian, namun saking
marahnya, dia menghunus pedang- nya dan
siap menerjang dara remaja itu.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar
bunyi lengking nyaring yang tinggi sekali,
sedemikian tinggi suara itu sehingga amat
halus menggetarkan jan- tung! A-ciu
menahan gerakannya. Hatinya memang
masih gentar terhadap Kam Hong dan kalau
memang pendekar itu berada di situ,
sampai bagaimana pun dia tidak akan
berani menyentuh Ci Sian. Maka,
mendengar lengking yang tidak wajar ini,
Choirul, maret 2008 166
wajahnya berobah dan jantung-nya
berdebar. Siapa tahu kalau-kalau bocah
setan itu menipu dan membohong, pikirnya
dan dia menoleh ke kanan kiri.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis- desis
dan bermunculanlah ular-ular dari segala
jurusan datang ke tempat itu.
“Ular....! Ular....!” Para pemikul tan-du
berteriak-teriak ketakutan karena amat
banyaklah binatang-binatang itu
bermunculan dari segala tempat. Ular-ular
besar kecil dan bermacam-macam
warnanya.
Dan ular-ular itu seperti digerakkan atau
dikendalikan oleh suara melengking tinggi
itu langsung menyerang kepada A-c iu dan
para anggauta rombongan itu! A- ciu
mengeluarkan seruan kaget dan me-loncat
ke belakang. Ci Sian juga tertawa dan
sekali meloncat dia telah mengham- piri dua
orang anak laki-laki yang ter- tawan itu.
“Kalian jangan bergerak keluar dari sini!”
katanya dan dengan telunjuk tangan
kanannya dia menggurat tanah di sekeliling
dua orang pemuda tanggung itu.
Sungguh ajaib, ratusan ekor ular yang
berkeliaran di situ, tidak seekor pun yang
berani melanggar garis bulat yang
mengelilingi Si Kembar itu!
Keadaan rombongan itu menjadi kacau
balau. Karena takutnya dan jijiknya, para
pemikul tandu itu melepaskan tandu-tan-du
mereka dan berlompatanlah tiga orang
wanita dari dalam tiga buah tandu yang
dilepaskan itu. Su-bi Mo-li tentu saja
merasa jijik dan mereka berlompat-an ke
sana-sini menghindarkan diri dari serbuan
ular-ular itu yang makin banyak
berdatangan ke tempat itu! Akan tetapi, dua
belas orang pemikul tandu itu kurang gesit
gerakan mereka dan dalam waktu singkat
mereka itu sudah tergigit ular dan mereka
berteriak-teriak ketakutan.
Su-bi Mo-li tidak tahu siapa yang
memanggil ular secara luar biasa ini, akan
tetapi mereka maklum bahwa di belakang
dara cilik yang bengal itu terdapat seorang
sakti yang membantu. Tidak nampak
Pendekar Suling Emas membantu, akan
tetapi kini muncul se-orang aneh lain yang
dapat memanggil datang ular-ular
sedemikian banyaknya! Apalagi melihat
betapa dara cilik itu mampu menyelamatkan
dua orang tawan-an mereka dengan
menggurat tanah dengan telunjuk dan ularular
itu sama sekali tidak berani
menghampiri dua orang pemuda itu,
maklumlah Su-bi Mo-li bahwa orang sakti
pemanggil ular itu tentu ada hubungan baik
dengan dara cilik itu yang ternyata juga
menguasai ilmu menaklukkan ular. Karena
mereka berempat masih jerih dan belum
hilang rasa takutnya terhadap Kam Hong
maka kini melihat dua belas orang pemikul
tandu itu roboh semua, mereka menjadi
semakin jerih dan dengan cepat,
mem-pergunakan gin-kang, mereka lalu
ber-loncatan meninggalkan tempat itu!
Setelah mereka pergi, barulah See- thian
Coa-ong muncul. Kakek ini me-mang tidak
mau menanam bibit permu-suhan, maka dia
tadi hanya menggerak-kan ular-ularnya
tanpa muncul sendiri. Kini dia sudah
mengusir ular-ularnya yang merubuh tubuh
dua belas orang pemikul tandu, dan
beberapa kali tangan-nya mengusap tubuh
orang-orang itu yang tadi kelihatan seperti
sudah mati atau pingsan. Sungguh aneh,
begitu kena di-usap oleh tangan kakek Raja
Ular ini dua belas orang itu dapat bergerak
kem-bali lalu bangkit.
“Pergilah kalian dengan tenang.” kata Seethian
Coa-ong dan dua belas orang itu lalu
mengangguk hormat, lalu pergi dengan
terhuyung-huyung meninggalkan tempat
yang mengerikan itu.
Sementara itu, Ci Sian sudah meng-hampiri
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong berdua
yang masih berdiri di dalam lingkaran. Ci
Sian tersenyum ramah dan berkata. “Kalian
Choirul, maret 2008 167
sudah terbebas dari bahaya, biarlah
kubukakan belenggu ke-dua tangan kalian.”
“Jangan sentuh aku!” tiba-tiba Gak Jit Kong
berseru, alisnya berkerut dan sinar matanya
memancarkan kemarahan.
“Engkau siluman ular!” bentak Gak Goat
Kong.
Ci Sian terkejut dan melangkah mun- dur,
matanya memandang terbelalak dan
mukanya berobah merah. Dua orang
bo-cah kembar yang telah diselamatkannya
itu sekarang malah menghinanya! Akan
tetapi, dia makin menjadi terkejut me-lihat
dua orang anak laki-laki itu tiba-tiba
menggerakkan tangan mereka dan....
belenggu-belenggu itu putus semua,
ke-mudian pada saat berikutnya, tubuh
kedua orang anak kembar itu bergerak dan
mereka sudah meloncat jauh dan tinggi
melewati semua ular dan mereka lalu berlari
sangat cepatnya menuju ke arah perginya
Su-bi Mo-li dan dua belas orang pemikul
tandu tadi!
Tentu saja Ci Sian menjadi bengong. Dia
terkejut, heran dan juga penasaran sekali.
Kiranya dua pemuda tanggung tadi bukan
sembarangan, melainkan memiliki
kepandaian yang cukup hebat, bah- kan
jauh lebih lihai daripada dia sendiri. Ketika
mematahkan belenggu, ketika meloncat,
jelas nampak betapa tinggi ilmu kepandaian
mereka! Akan tetapi mengapa mereka tidak
memberontak dan melawan ketika dijadikan
tawanan? Dan mengapa mereka itu marahmarah
kepa danya yang telah berusaha
menolong me- reka?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli di
belakangnya. Ci Sian menengok dan
melihat bahwa yang tertawa adalah Seethian
Coa-ong.
“Kenapa kau tertawa?” Ci Sian berta- nya
dengan suara seperti membentak ka- rena
hatinya terasa semakin mengkal.
“Ha-ha-ha, Ci Sian. Bukankah tadi sudah
kukatakan bahwa kita tidak perlu
mencampuri urusan orang lain? Kaulihat,
karena engkau mencampuri urusan mereka,
maka engkau hanya merasa kecewa
saja. Dua orang pemuda kembar itu bu-kan
orang sembarangan, dan tentu ada
sebabnya mengapa mereka mau saja
di-tawan oleh wanita-wanita itu. Dan empat
orang wanita itu pun lihai-lihai sekali.”
“Akan tetapi.... bocah-bocah tak kenal budi
dan kurang ajar itu malah memaki aku
siluman ular!” Ci Sian berseru de- ngan hati
panas dan dia mengepal tinju, kini
kemarahannya bukan lagi ditujukan kepada
Su-bi Mo-li, melainkan kepada dua orang
pemuda tanggung kembar itu!
Memang demikianlah. Kemarahan yang
mendatangkan kebencian itu merupakan
api dalam batin yang tidak dapat
dile-nyapkan dengan jalan menutupnutupinya
dengan kesabaran atau dengan
mencoba untuk melupakan melalui hiburanhiburan.
Kalau kita marah kepada
seseorang, ke-pada isteri atau suami
umpamanya, lalu kita sabar-sabarkan
dengan alasan-alasan yang kita buat
sendiri, memang dapat kita menjadi sabar
dan tenang. Akan tetapi, api kemarahan itu
sendiri belum padam, masih bernyala di
dalam batin, hanya tidak berkobar-kobar,
tidak me-ledak karena ditutup oleh
kesabaran yang kita ciptakan melalui
pertimbangan-per-timbangan dan akal budi.
Seperti api dalam sekam. Kalau
mendapatkan ketika, maka api kemarahan
yang masih bernyala itu akan berkobar lagi,
akan meledak lagi dalam kemarahan yang
mengambil sasaran lain, mungkin kita lalu
akan marah-marah kepada anak kita,
kepada pembantu kita, kepada teman dan
seba-gainya! Maka kita akan terperosok ke
dalam lingkaran setan yang tiada
berke-putusan, marah lagi bersabar lagi,
marah lagi, bersabar lagi dan seterusnya,
me-lakukan perang terhadap kemarahan
yang pada hakekatnya adalah diri kita
sendiri. Terjadilah konflik di dalam batin
yang terus-menerus antara keadaan kita
Choirul, maret 2008 168
yang marah dan keinginan kita untuk tidak
marah!
Akan terjadi hal yang sama sekali berbeda
apabila di waktu kemarahan timbul kita
hanya mengamatinya saja! Mengamati
tanpa penilaian buruk atau baik, tanpa
menyalahkan atau membenar- kan. Ini
berarti tanpa adanya aku atau sesuatu yang
mengamati, karena begitu ada si aku yang
mengamati, sudah pasti timbul penilaian
dari si aku. Jadi yang ada hanyalah
pengamatan saja, menga-mati dan
menyelidiki kemarahan itu, mengikuti segala
gerak-geriknya penuh perhatian. Yang ada
hanya PERHATIAN saja, tanpa ada yang
memperhatikan. Pengamatan tanpa si aku
yang meng-amati inilah yang akan
melenyapkan atau memadamkan api
kemarahan itu, tanpa ada unsur
kesengajaan atau daya upaya untuk
memadamkan!
Dari manakah timbulnya kebencian?
Kalau kita semua membuka mata memandang,
akan nampak jelas bahwa benci
timbul karena si aku merasa dirugikan, baik
dirugikan secara lahiriah, misalnya
dirugikan uang, kedudukan nama dan sehagainya,
maupun dirugikan secara batiniah,
seperti dihina, dibikin malu dan
sebagainya. Karena merasa dirugikan,
maka timbullah kemarahan yang
melahir-kan kebencian. Kebencian ini
seperti racun menggerogoti batin kita,
menuntut adanya pembalasan, ingin
mencelakakan orang yang kita benci,
menimbulkan pe-rasaan sadis yang dapat
dipuaskan oleh penderitaan dia yang kita
benci sehingga tidak jarang mendatangkan
perbuatan-perbuatan kejam yang kita
lakukan ter-hadap orang yang kita benci
demi untuk memuaskan dendam!
Kebencian ini dipupuk oleh pikiran yang
bekerja dan yang sibuk terus, mengoceh,
menilai, mendorong, menarik,
mengendalikan. Kadang-kadang pikiran
membenarkan kebencian dengan berbagai
dalih, kadang-kadang pula menyalahkan.
Terjadilah konflik batin ini memboroskan
enersi batin. Pemborosan enersi batin ini
memupuk dan memberi kelangsungan
kepada kebencian itu, karena pikiran
bekerja terus mengingat-ingat dan
menghidupkan segala hal yang terjadi, yang
merugikan kita dan mendatangkan
keben-cian itu. Padahal kebencian itu
adalah aku sendiri, kebencian adalah
pikiran itulah! Pikiran menciptakan aku dan
ka-rena aku dirugikan, timbullah benci. Jadi
benci dan aku tidaklah terpisah.
Kalau pikiran tidak bekerja untuk menilai,
kalau yang ada hanya pengamat- an
terhadap kebencian itu, berarti pikir- an
menjadi hening, pengamatan tanpa
penilaian terhadap kebencian, maka
ke-bencian akan kehilangan daya gerak,
akan kehilangan pupuk, kehilangan
ke-langsungan yang dihidupkan oleh pikiran
yang menilai-nilai. Dan kalau sudah be-gitu,
maka kemarahan, kebencian akan lenyap
dengan sendirinya, seperti api yang
kehabisan bahan bakar. Pikiran yang
mengingat-ingat dan menilai-nilai itulah
merupakan bahak bakar.
Baik kebencian itu merupakan keben-cian
perorangan, kebencian demi suku, demi
bangsa, dan sebagainya, pada hake-katnya
adalah sama, karena di situ tentu
terkandung si aku yang merasa dirugikan.
Si aku dapat berkembang menjadi sukuku,
bangsaku, agamaku, keluargaku, dan
se-lanjutnya.
Kembali See-thian Coa-ong tertawa
mendengar gadis itu marah-marah.
“Mengapa marah? Engkau muncul di antara
ratusan ekor ular, tentu dua orang muda
kembar itu mengira bahwa engkau adalah
siluman ular!”
“Ah, kalau begitu, Coa-ong, aku tidak sudi
belajar ilmu ular!” kata Ci Sian dan dia pun
lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah
sambil menggosok kedua ma- tanya!
Hatinya sakit sekali dimaki orang sebagai
siluman ular tadi!
Choirul, maret 2008 169
See-thian Coa-ong tersenyum lebar. “Aih,
Ci Sian, mengapa engkau mempe-dulikan
amat segala pendapat orang lain? Disebut
Raja Ular seperti aku, atau Si-luman Ular,
atau sebutan apa pun, apa-kah artinya? Itu
hanya sebutan yang diucapkan oleh bibir
saja, hanya kata-kata kosong. Yang penting
adalah per-buatan kita dalam hidup. Apa
artinya disebut dewa kalau tindakannya
lebih jahat daripada setan? Sebaliknya, apa
salahnya dimaki orang sebagai iblis kalau
hidupnya melalui jalan benar?”
Seorang anak perempuan yang biasa
dimanja seperti Ci Sian, mana dapat menangkap
ucapan seperti itu?
“Pula, kalau tidak ada sahabat-saha- bat
ular tadi yang membantu, apa kau-kira
empat orang wanita itu mau mela-rikan diri
meninggalkan engkau?”
Ci Sian sadar kembali dan dia dapat melihat
betapa pentingnya kepandaian menguasai
ular-ular itu yang sewaktu- waktu dapat
dipakai membela diri dan melindungi
keselamatannya dari gangguan orangorang
jahat! Maka dia berhenti menangis.
“Su-bi Mo-li itu jahat sekali. Mereka pernah
mengaku kepada Paman Kam bahwa
mereka adalah utusan dari Sam-thaihouw.
Entah siapa Sam-thaihouw itu.”
See-thian Coa-ong juga tidak menger-ti dan
mereka lalu melanjutkan perjalan-an
mereka. Ci Sian tidak dapat meng-ingat lagi
jalan yang amat sukar dan berkeliling itu.
Melalui celah-celah jurang yang amat
curam, menuruni tebing dan mendaki bukitbukit.
Kalau bukan orang yang sudah
benar-benar hafal akan jalan di situ, tidak
akan mungkin dapat me-ngunjungi tempat
ini. Agaknya See-thian Coa-ong sudah hafal
akan jalan di situ dan beberapa hari
kemudian, setelah me-ngelilingi sebuah
gunung besar, barulah mereka tiba di
perbatasan tempat yang hendak dikunjungi
kakek itu.
“Nah, inilah perbatasan yang berada di
sebelah bawah Lembah Suling Emas. Di
atas sana itulah lembah gunung itu, dan
kalau tidak tahu jalan rahasia menu- ju ke
sana, jangan harap dapat mengunjunginya.
Kecuali menyeberangi jurang
yang harus menggunakan jembatan tambang
yang hanya dapat dipasang atas
kehendak tuan rumah. Wanita yang menjadi
lawanku itu tinggal di bawah sini. Hatihati,
jangan sembrono, kita sudah
memasuki daerah kekuasaannya.”
“Daerah kekuasaan yang kausebut Cuibeng
Sian-li?” tanya Ci Sian _ berbisik dan
kakek itu mengangguk.
Mereka maju terus di sepanjang din- ding
gunung yang amat tinggi. Ketika mereka
menikung, tiba-tiba mereka men- dengar
suara orang berkelahi. Dari jauh sudah
nampak bahwa yang berkelahi itu adalah
seorang gadis cantik jelita mela- wan
seorang pemuda tanggung yang berpakaian
pemburu, memegang busur dengan
tangan kiri dan di punggungnya
tergantung tempat anak panah. Biarpun
pemuda tanggung itu kelihatan kuat dan
mempergunakan senjata busur di tangan
kiri untuk melawan, namun ternyata dia
terdesak hebat oleh pukulan-pukulan
wa-nita cantik itu yang menggunakan kedua
tangannya yang dibuka dan dimiringkan,
membacok-bacok seperti dua batang pedang
atau golok. Dan See-thian Coa- ong
terkejut bukan main melihat betapa
sambaran tangan wanita cantik itu me
ngeluarkan suara bercuitan, tanda bahwa
sin-kangnya telah kuat sekali!
Sementara itu, setelah tiba dekat dan dapat
melihat mereka dengan jelas, Ci Sian
segera mengenal pemuda pemburu itu
sebagai pemburu muda yang pernah
menolongnya ketika dia hendak dibunuh
oleh Su-bi Mo-li dahulu! Maka, tanpa
diminta, dia sudah meloncat ke depan dan
membentak sambil menyerang wanita
cantik itu. Baru saja dia marah-marah
kepada Su-bi Mo-li dan wanita itu pun
cantik, usianya tentu sudah dua puluh lima
tahun, biarpun jauh lebih cantik
dibandingkan Su-bi Mo-li, akan tetapi ada
Choirul, maret 2008 170
persamaannya, yaitu seorang wanita
dewasa. yang cantik.
“Perempuan jahat, jangan kauganggu
sahabatku!” Sambil berteriak demikian Ci
Sian sudah menerjang maju dan memukul
wanita itu kalang-kabut. Tentu saja wanita
itu menjadi terkejut, akan tetapi dia
tersenyum mengejek melihat bahwa
se-rangan Ci Sian itu biasa dan tidak
ber-bahaya. Dengan mudahnya wanita
cantik itu mengelak dan sebelum Ci Sian
menyerang lagi, pemuda tanggung itu
sudah berseru kepadanya sambil melompat
keluar dari kalangan pertandingan.
“Eh, Nona, harap jangan salah sangka!
Kami hanya saling menguji kepandaian,
bukan berkelahi!”
Mendengar ini, tentu saja Ci Sian juga tidak
melanjutkan serangannya dan dia
memandang dengan heran. Siapakah dua
orang itu dan mengapa mereka ber ada di
tempat sunyi itu dan mengadu ilmu silat?
Ci Sian tidak keliru mengenal orang.
Memang pemuda tanggung itu adalah Sim
Hong Bu, pemuda pemburu yang kini telah
menjadi murid keluarga Cu di Lembah
Suling Emas itu. Dan baru se- karang dia
bertemu dengan wanita cantik yang
mengadu ilmu silat dengan dia, dan belum
dikenalnya benar sungguhpun tadi wanita
itu telah memperkenalkan diri. Setelah
tinggal di Lembah Suling Emas, mulailah
Hong Bu berlatih ilmu silat, yaitu dasardasar
ilmu silat tinggi ke- luarga itu di
bawah pimpinan Cu Seng Bu dan Cu Kang
Bu yang merupakan Ji- suhu dan Sam-suhu
baginya, yaitu guru ke dua dan guru ke tiga.
Akan tetapi pemuda tanggung ini tidak
pernah me-lupakan kesenangan memburu
binatang yang telah menjadi pekerjaannya
semen-jak dia kecil, maka di waktu terluang
dia selalu membawa busur dan anak
pa-nah untuk memburu binatang di sekitar
lembah, dan hasil buruannya lalu
diserah-kan pekerja di dapur untuk dimasak
dan untuk hidangan sekeluarga Cu. Pada
pagi hari itu, ketika dia berburu dan tiba di
perbatasan lembah yang hanya dapat
ditempuh melalui jalan rahasia yang ha-nya
dikenal oleh orang-orang Lembah Suling
Emas, dan yang telah diberitahu-kan
kepadanya pula, tiba-tiba dia melihat wanita
cantik itu!
Keduanya terkejut. Hong Bu segera menjadi
curiga karena menurut para gurunya, tidak
boleh ada orang luar me- masuki daerah
Lembah Suling Emas. Pula, daerah itu
merupakan daerah raha-sia yang tidak
dikenal orang luar, bagai-mana tahu-tahu
ada wanita cantik mun-cul di situ?”
“Siapa engkau?” tegurnya. “Berani benar
engkau memasuki daerah Lembah Suling
Emas tanpa ijin!”
Wanita cantik itu juga kelihatan ter- kejut
dan heran, apalagi melihat sikap pemuda
tanggung itu seperti seorang pemburu,
maka dia menduga bahwa pe-muda itu
tentulah seorang pemburu yang salah jalan.
Yang membuat dia terheran-heran adalah
teguran pemuda itu, seolah-olah pemuda itu
berhak mengatur orang lain yang berada di
tempat itu! Wanita itu tersenyum mengejek.
“Eh, bocah lan-cang. Engkaulah yang
lancang berani me-masuki daerah terlarang
ini. Siapa eng-kau?”
Melihat sikap ini dan mendengar
per-tanyaan itu, Hong Bu menjadi ragura-
gu. Dia belum lama menjadi penghuni
lembah itu dan belum mengenal betul
semua anggauta keluarga majikan lem-bah.
Siapa tahu kalau-kalau wanita can-tik ini
juga merupakan seorang anggauta
keluarga, atau seorang murid, atau
se-orang pelayan! Maka dia pun bersikap
halus dan cepat-cepat memperkenalkan
diri. “Aku adalah murid dari majikan lembah
ini.”
Wanita itu tersenyum lebar dan nam-pak
cantik sekali, akan tetapi sikapnya
memandang rendah. “Aih, kiranya
eng-kaukah yang datang bersama Yeti itu?
Subo telah bercerita tentang dirimu.
Choirul, maret 2008 171
Bukankah engkau yang bernama Sim Hong
Bu itu?”
“Benar....” Hong Bu menjadi semakin ragu
karena dia yakin bahwa wanita ini tentu
keluarga atau murid dari lembah itu. “Dan....
siapakah engkau, Cici?”
“Aku? Engkau harus menyebut Suci (Kakak
Seperguruan) kepadaku. Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu adalah Suboku.”
Hong Bu terkejut mendengar ini, dan juga
merasa heran. Twaso dari para gurunya itu,
yang dia harus menyebut Supek-bo, adalah
seorang wanita yang masih kelihatan muda
dan cantik. Murid-nya ini juga seorang
wanita dewasa yang cantik, dan kalau
Supek-bo itu usianya kurang lebih tiga
puluh tahun muridnya ini tentu sudah ada
dua puluh lima ta-hun. Pantasnya mereka
itu adalah kakak beradik, bukan guru dan
murid! Akan tetapi dia segera memberi
hormat.
“Ah, harap Suci maafkan, karena aku
belum mengenal semua keluarga, maka
aku tidak tahu bahwa Suci adalah murid
dari Supek-bo.”
Wanita itu tertawa. “Tidak apa, Sute. Aku
pun belum lama menjadi murid Su bo.
Engkau sungguh beruntung bisa men- jadi
murid Lembah Suling Emas, bahkan
menurut Subo, engkau akan mewarisi
pedang Koai-liong-pokiam. Entah bagaimana
sih lihaimu maka engkau dipilih?
Sute, kita adalah orang sendiri. Aku adalah
Sucimu dan namaku adalah Yu Hwi.
Jangan engkau sungkan, mari kita berlatih
sebentar karena aku ingin sekali mengukur
sampai di mana kepandaian silatmu.”
“Ah, aku belum belajar apa-apa, Su- ci....“
Hong Bu berkata.
Akan tetapi wanita itu mendesak de-ngan
kata-kata yang tegas. “Sute, murid Lembah
Suling Emas tidak boleh bersikap lemah.
Apalagi aku hanya ingin menguji-mu, apa
salahnya? Hayo, kausambut ini!” Dan
wanita itu lalu menyerangnya. Hong Bu
terkejut sekali karena gerakan wanita itu
sungguh amat lihai. Maka dia cepat
mengelak dan terpaksa dia melayani
sucinya itu. Namun, biarpun dia
meng-gunakan busurnya sebagai senjata,
tetap saja dia terdesak hebat.
Tentu saja, karena wanita itu adalah Yu
Hwi, yang pernah menggemparkan dunia
persilatan dengan julukan Ang-sio-cia! Para
pembaca kisah JODOH SEPASANG
RAJAWALI tentu masih mengenal wanita
lihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai- cu
Kai-ong Yu Kong Tek yang semenjak kecil
diculik dan diambil murid oleh Hek-sin
Touw-ong, raja maling yang luar biasa
lihainya itu.
Seperti telah diceritakan dalam kisah
Sepasang Jodoh Rajawali, dara cantik lincah
Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia dan
suka mengenakan pakaian merah muda ini,
melarikan diri dari depan kakeknya keti-ka
dia diberitahu dan diperkenalkan ke-pada
tunangannya sejak kecil yang bukan lain
adalah Kam Hong! Dia merasa malu, dan
juga cinta kasihnya terhadap Pendekar
Siluman Kecil membuat dia merasa
kecewa, sungguhpun harus diakuinya
bah-wa Kam Hong tidak kalah tampan dan
gagah dibandingkan dengan Pendekar
Siluman Kecil. Dara yang keras hati ini
melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan
dari cerita ini, perbuatannya itu membuat
Kam Hong, calon suaminya yang telah
dijodohkan dengan dia sejak mereka
berdua masih kecil, merana dan pendekar
ini rnencari-carinya selama lima tahun tanpa
hasil!
Dan memang dugaan dan harapan Kam
Hong itu tidak kosong belaka. Ramai-ramai
orang kang-ouw yang me-nuju ke Himalaya
memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi
adalah seorang dara murid Si Raja Maling,
dan dalam hal permalingan memang dia
lihai bukan main, maka mendengar bahwa
ada orang mencuri pedang pusaka dari
istana dan membawanya lari ke Himalaya,
Choirul, maret 2008 172
hatinya amat tertarik dan dia pun ikut pula
me-lakukan pengejaran dan pencarian.
Ingin dia melihat siapa malingnya yang
demi-kian berani dan lihai, dan ingin dia
menguji sampai di mana kepandaian
ma-ling itu! Juga, dia tertarik untuk
mem-perebutkan pedang pusaka yang
mengge-gerkan dunia kang-ouw dan yang
telah menarik hati semua orang kang-ouw
un-tuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.
Akhirnya, dalam perantauannya ke
Himalaya di mana dia tidak pernah
berjumpa dengan orang-orang yang
mencari-nya, yaitu tunangannya, Kam
Hong, dan kakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia
malah tiba di perbatasan Lembah Suling
Emas itu tanpa disengaja dia memasuki
daerah tempat tinggal Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu di kaki gunung, di bawah lem-bah
itu!
Di tempat inilah bertemulah Yu Hwi dengan
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Ketika
mendengar bahwa dara cilik itu adalah
murid Hek-sin Touw-ong yang hendak
mencari pencuri pedang pusaka, Cui-beng
Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya.
Yu Hwi tekejut bukan main, dan juga kagum
karena ternyata kepandaian pencuri ini jauh
lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya
sendiri, bahkan masih lebih tinggi daripada
ilmu kepandaian gurunya, Si Raja Maling!
Maka tunduklah hati dara yang keras ini dan
dia pun mengangkat guru kepada Cui- beng
Sian-li yang juga merasa suka ke-pada Yu
Hwi.
Demikianlah sedikit riwayat dari Yu Hwi
yang kini bertemu sutenya, karena
keduanya adalah para murid-murid dari
para tokoh Lembah Suling Emas dan dalam
kesempatan itu, Yu Hwi sengaja menguji
kepandaian sutenya yang dilihat oleh Ci
Sian sehingga gadis cilik ini turun tangan
hendak membantu Hong Bu.
Kini Yu Hwi yang berdiri di samping Hong
Bu memandang kepada Ci Sian dan kepada
See-thian Coa-ong dengan alis berkerut.
“Sute, engkau kenal mereka?” tanyanya
tanpa menoleh kepada Hong Bu.
“Aku tidak mengenal kakek itu, Suci, dan
Nona ini pernah kujumpai di pegu-nungan
salju.”
Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya dua orang
yang datang ini bukan keluarga atau
sahabat sutenya. Maka setelah
me-mandang penuh perhatian, dia dapat
men-duga bahwa kakek gundul botak yang
datang bersama gadis cilik itu tentulah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Maka dia pun menghadapi kakek itu
dan berkata dengan suara tegas.
“Kalian berdua telah memasuki daerah kami
yang terlarang. Kalau hal itu kalian lakukan
tanpa sengaja, harap kalian sege- ra pergi
lagi secepatnya meninggalkan tempat ini.
Kalau disengaja, harap kata kan apa
keperluan kalian datang ke sini dan siapa
adanya kalian berdua!”
See-thian Coa-ong tersenyum ramah.
“Memang kami sengaja mendatangi tempat
ini. Aku adalah See-thian Coa-ong,
hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian- li
Tang Cun Ciu.”
Terkejutlah Yu Hwi mendengar ini dan dia
menjadi semakin curiga. “Sute, harap kau
pulang dulu, tidak baik kalau sampai Subo
melihatmu di sini.”
Hong Bu mengangguk. “Baiklah, aku pergi
dulu, Suci.” Dan dia pun lalu me- noleh
kepada Ci Sian. Sejenak mereka
berpandangan. Kedua orang muda remaja
ini semenjak bertemu memang merasa
saling suka, bahkan begitu berjumpa
me-reka telah bekerja sama menghadapi
Su- bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidak
enak dalam hati Hong Bu bahwa mereka
bertemu lagi dalam waktu sesingkat itu,
tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang
lebar.
“Nona, kuharap keadaanmu akan baik
selalu.” akhirnya Hong Bu berkata.
Choirul, maret 2008 173
“Terima kasih, kuharap engkau pun begitu
pula.” jawab Ci Sian.
“Sute, pergilah.... “ desak Yu Hwi,
mengingat akan pentingnya urusan yang
dihadapinya. Kakek ini jelas bukan orang
Han, melainkan seorang Nepal atau India,
maka kini datang mencari subonya, tentu
ada urusan yang amat gawat. Apalagi
melihat keadaan kakek itu yang
menun-jukkan tanda-tanda seorang yang
berilmu tinggi.
Hong Bu mengangguk dan membalik- kan
tubuhnya, akan tetapi teringat bahwa dia
belum berkenalan dengan gadis cilik itu.
Maka dia membalik lagi dan berkata cepat,
“Namaku Sim Hong Bu.”
Ci Sian tersenyum. “Dan namaku Bu Ci
Sian.”
Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya.
“Sampai jumpa!” katanya dan dia pun
berlari cepat meninggalkan tempat itu,
menghilang di balik batu-batu besar. Dia
harus melalui jalan rahasia untuk kembali
ke daerah Lembah Suling Emas di atas
sana, jalan rahasia terowongan yang
ha-nya diketahui oleh para penghuni
Lembah Suling Emas saja. Sementara itu,
Yu Hwi lalu berkata kepada See-thian Coaong.
“Gurumu tidak begitu mudah ditemui, dan
dia tidak suka diganggu.”
“Aih, Nona, agaknya Nona belum ber- ada
di sini tiga tahun yang lalu maka tidak
mengenalku. Aku dan Gurumu su- dah
berjanji untuk sewaktu-waktu ber- temu di
sini, maka harap kauberitahukan kepada
Cui-beng Sian-li bahwa aku See- thian Coaong
datang untuk memenuhi janji dan untuk
menebak teka-tekinya.”
Tentu saja Yu Hwi yang belum per-nah
mendengar dari subonya tentang hal itu
merasa heran sekali. “Menebak tekateki....?”
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara
bisikan halus terbawa angin mema-suki
telinga, “Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke
dalam taman, aku menanti di sini!”
“Baik, Subo.” kata Yu Hwi dan dia pun
terkejut sendiri karena maklum bah-wa
suara gurunya itu dikirim melalui ilmu
mengirim suara dari jauh dan yang
mendengar bisikan itu adalah dia se-orang.
Namun suara itu sedemikian je-lasnya
sehingga seolah-olah gurunya itu berada di
sampingnya dan bicara kepada-nya!
Demikian hebat kekuatan khi-kang dari
subonya itu. Karena merasa malu bicara
seperti kepada diri sendiri atau kepada
bayangan yang tidak nam-pak, Yu Hwi
cepat berkata kepada kakek itu, “Subo
minta kepada kalian untuk menghadap
kepadanya di taman. Silakan!” Dan Yu Hwi
lalu membalikkan tubuhnya tanpa menanti
jawaban, lalu melangkah pergi.
“Hebat memang Ilmu Coan-im-jip-bit dari
Cui-beng Sian-li.” kata kakek itu dan
kembali Yu Hwi terkejut dan men-dugaduga
apakah kakek itu juga dapat
mendengar bisikan Subonya? Agaknya
tidak mungkin karena sepanjang
penge-tahuannya, ilmu itu kalau
dipergunakan hanya dapat didengar oleh
orang yang ditujunya. Dia menoleh dan
melihat ka-kek itu bersama gadis tanggung
meng-ikutinya.
Yang dimaksudkan taman oleh Cui- beng
Sian-li dan muridnya itu adalah sebuah
tempat terbuka yang memang indah sekali.
Di situ penuh dengan pohon akan tetapi
karena ketika itu musim dingin sedang
hebat-hebatnya, maka se-mua pohon
kehilangan daunnya yang ting-gal hanya
batang dan cabang berikut rantingnya yang
kini penuh dengan salju dan es yang
menggantikan tem-pat daun dan bunga.
Dan di sana-sini nampak batu-batu
terselaput es yang aneh-aneh bentuknya.
Semua itu berki-lauan dan memantulkan
cahaya yang beraneka warna sehingga
memang benar-benar merupakan taman
Choirul, maret 2008 174
yang luar biasa aneh dan indahnya. Di
tengah taman itu terdapat sebuah kupel,
yaitu bangunan tak berdinding, di mana
terdapat sebuah meja batu berikut bangkubangkunya
yang mengelilingi meja itu, juga
terbuat dari batu-batu dan jumlahnya ada
delapan buah, cocok dengan meja yang
bentuknya segi delapan itu. Dan di atas
sebuah diantara bangku-bangku itu nampak
duduk seorang wanita cantik yang bukan
lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.
“Subo, teecu sudah mengantar tamu- tamu
datang,” kata Yu Hwi yang lalu berdiri di
belakang subonya.
Wanita cantik itu memutar tubuh dan
memandang kepada See-thian Coa-ong,
lalu memandang kepada Ci Sian. Wajah
yang cantik itu nampak suram seolah-olah
dibayangi kedukaan atau kepahitan hidup.
Akan tetapi dia tersenyum ketika bertemu
pandang dengan See-thian Coa-ong.
“Duduklah, See-thian Coa-ong.” kata- nya
lembut.
“Terima kasih, Cui-beng Sian-li.” ja- wab
kakek itu yang segera duduk meng- hadapi
nyonya rumah, terhalang meja. Ci Sian
yang tidak dipersilakan duduk tidak mau
duduk dan hanya berdiri di belakang kakek
itu, seperti yang dilakukan oleh Yu Hwi.
Gadis cilik ini memperhati- kan nyonya itu
dengan kagum. Tak di- sangkanya bahwa di
tempat sunyi seperti ini, tempat yang
terpencil dari keramai- an dunia, dia dapat
bertemu dengan dua orang wanita cantik
seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali
dia tidak pernah mengira bahwa yang
menjadi musuh kakek itu, yang namanya
begitu menyeramkan, ternyata adalah
seorang wanita yang cantik jelita! Padahal
tadi-nya dia membayangkan bahwa nama
itu tentu dimiliki seorang wanita yang amat
menyeramkan.
“Engkau sungguh merupakan seorang
kakek yang keras hati, Coa-ong. Tak
kusangka bahwa kekalahanmu dahulu itu
benar-benar kautebus dengan
mengasing-kan diri sampai sekarang dalam
guha itu. Tiga tahun lamanya! Bukan main!”
“Hemm, Sian-li. Seandainya ketika itu
engkau yang kalah, apakah engkau juga
tidak akan menjalani hukuman seperti yang
kita pertaruhkan bersama?”
Wanita itu tersenyum pahit. “Aku ragu-ragu
apakah aku akan setekun eng- kau
memegang janji yang kita buat da- lam
keadaan marah itu, Coa-ong. Sudah lah,
buktinya engkau kalah dan engkau baru tiga
tahun bertapa di dalam guha itu. Masih
kurang dua tahun lagi. Kenapa engkau
sudah keluar dan mencariku?”
“Karena sekarang aku sudah mendapat
jawaban teka-tekimu!”
“Ah, benarkah? Hemm.... tidak mung-kin!”
“Coba dengarlah, Cui-beng Sian-li. Akan
tetapi apakah janji pertaruhan itu masih
berlaku?”
“Tentu saja.”
“Jadi, kalau jawabanku keliru, aku harus
melanjutkan bertapa di dalam guha itu dua
tahun lagi, dan kalau benar engkau tidak
boleh keluar dari tempat ini selama dua
tahun.”
“Ya, begitulah, karena yang lima tahun itu
telah lewat tiga tahun.”
Kakek itu tertawa. “Ha-ha, menye- nangkan
sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah
Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang
amat menarik. Nah, dengarlah. Teka-tekimu
dahulu itu merupakan perta-nyaan begini :
Apakah perbedaan pokok antara cinta
seorang pria dan cinta se-orang wanita?
Bukankah begitu pertanya-anmu?”
“Tepat sekali. Nah, kalau memang engkau
tahu jawabannya, jawablah.” Cui- beng
Sian-li Tang Cun Ciu menantang.
Choirul, maret 2008 175
“Cui-beng Sian-li, perbedaannya ada- lah
begini. Pria adalah Yang dan wanita adalah
Im. Pria adalah kasar dan kuat, wanita
adalah lembut dan lemah. Cinta seorang
pria bersifat ingin mencinta, ingin
menyenangkan, ingin memanjakan, ingin
memiliki! Sebaliknya cinta wanita bersifat
ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin
disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut
mengalahkan yang keras, yang lemah
menundukkan yang kuat. Bukankah begitu
jawabannya?”
Wajah yang cantik itu tiba-tiba men- jadi
merah, lalu menjadi pucat, kemudian tibatiba
saja dia menutupi mukanya dengan
kedua tangan dan menangis! Melihat
gurunya menangis demikian sedih-nya, Yu
Hwi terkejut dan marah. Cepat dia
melompat dan menyerang kakek itu sambil
membentak. “Kakek iblis, berani engkau
membikin susah Guruku?”
Serangan Yu Hwi tentu saja hebat bukan
main. Biarpun baru beberapa bulan dia
menjadi murid Cui-beng Sian-li dan baru
menerima sedikit petunjuk, akan tetapi oleh
karena sebelumnya memang
kepandaiannya sudah tinggi, maka begitu
dia menggerakkan Ilmu Kiam-to Sin-ciang,
terdengar suara bercuitan dan angin yang
amat tajam menyambar ke arah kakek
tinggi kurus hitam itu!
See-thian Coa-ong maklum akan ke-lihaian
dara itu, maka dia pun sudah mencelat
mundur dari bangkunya dan begitu Yu Hwi
melancarkan pukulan maut bertubi-tubi dan
kedua lengannya itu seperti berubah
menjadi pedang tajam yang menyambarnyambar,
kakek ini hanya mengelak dan
kadang-kadang saja menangkis dengan
lengannya yang hitam panjang.
“Hemm, beginikah sikap orang yang kalah
taruhan?” See-thian Coa-ong men-dengus
dan tiba-tiba terdengar suara melengking
keluar dari dada melalui kerongkongannya
dan tak lama kemudian terdengar suara
mendesis-desis dan da-tanglah ratusan
ekor ular ke tempat itu dari segenap
jurusan!
Yu Hwi merasa terkejut sekali akan tetapi
tentu saja dia tidak takut. Sebe- lum dia
turun tangan membunuh ular- ular itu,
terdengar gurunya membentak. “Yu Hwi,
jangan lancang kau. Mundur- lah.”
Yu Hwi tidak berani membangkang dan dia
menghentikan gerakannya, lalu meloncat ke
belakang gurunya. Cun Ciu sudah
menghapus air matanya dengan
saputangan sutera, kemudian berkata
ke-pada kakek itu. “Coa-ong, maafkanlah
muridku. Simpan kembali ular-ularmu yang
menjijikkan itu.”
See-thian Coa-ong tertawa dan ratus- an
ekor ular itu tiba-tiba membalik dan
merayap pergi dari situ. Sebentar saja
tempat itu menjadi bersih dan hening, tidak
terdengar suara mendesis seperti tadi dan
bau amis dari ular-ular beracun telah lenyap
pula.
“Ha-ha, aku sudah terlalu tua untuk
menggunakan kekerasan, maka terpaksa
minta bantuan ular-ular yang menjadi
sa-habatku itu untuk menakut-nakuti.” kata
kakek itu.
“Hemm, siapa takut kepada ular-ular- mu,
Coa-ong? Dan kalau engkau mela-wan
dengan ilmu silatmu, mana mungkin
muridku mampu bertahan terhadapmu?
Sudahlah, engkau datang bukan untuk
mengadu ilmu silat, melainkan untuk
me-nebak teka-teki dan ternyata engkau
menang. Jawabanmu benar, Coa-ong. Akan
tetapi, engkau seorang pria yang selalu
tidak pernah berhubungan dengan wanita,
bagaimana engkau mampu menja-wab
dengan begitu tepat?” tanya Cui-beng Sianli
sambil mengusap kedua ma-tanya yang
agak merah.
“Ha-ha, sungguh mati aku tadinya sama
sekali tidak mampu menjawab dan
jangankan harus bertapa dua tahun lagi,
biar dua puluh tahun lagi aku pasti tak- kan
Choirul, maret 2008 176
mampu menjawab kalau tidak berte-mu
dengan muridku ini. Muridku ini, Bu Ci Sian,
yang telah membantuku men-jawab tekatekimu.”
Tang Cun Ciu memandang tajam ke- pada
gadis cilik itu yang juga menatapnya
dengan pandang mata tidak kalah
tajamnya. “Hemm, Coa-ong, muridmu itu
sebenarnya masih terlalu kecil untuk dapat
menyelami perasaan wanita jatuh cinta.
Akan tetapi dia memiliki kecer-dasan
hebat.”
“Aku bukan murid See-thian Coa-ong!” tibatiba
Ci Sian berseru nyaring. Tang Cun Ciu
memandang dengan heran sekali. Dia
melihat Ci Sian berdiri tegak dengan
sepasang mata berapi dan tiba-tiba dia
seperti melihat seorang lain dalam diri gadis
cilik itu.
“Kau.... kau she Bu? Ah, tidak salah lagi,
engkau tentu anaknya!” Cui-beng Sian-li
berkata lirih dan sepasang mata-ya
terbelalak. “Engkau.... engkau tentu puteri
Bu-taihiap!” Tiba-tiba dia melon-cat ke
depan, mukanya pucat sekali. “Engkau....
serupa benar dengan Ibumu dan karena itu
engkau harus mampus!”
“Wuuuuttt.... !” Hebat bukan main tamparan
yang dilakukan oleh Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu ke arah kepala Ci Sian itu. Angin
pukulan yang dahsyat menyambar dan
agaknya nyawa gadis cilik itu takkan dapat
tertolong lagi dari ancaman maut.
“Syuuuut.... dessss!” Kedua orang sakti itu
terhuyung ke belakang dan See-thian Coaong
tersenyum pahit sambil berkata. “Cuibeng
Sian-li, apakah kita harus mu- lai
mengadu kepandaian lagi seperti tiga tahun
yang lalu? Apakah engkau hendak menodai
nama Lembah Suling Emas dengan
membunuh seorang anak-anak yang tidak
berdosa apa pun kepadamu?”
Ucapan itu membuat Cui-beng Sian- li
tersadar dan dia pun menarik napas
panjang, lengan tangannya masih tergetar
hebat oleh tangkisan kakek itu tadi,
“Ahhh.... aku telah lupa diri.... ! Ah, aku
menyesal, Coa-ong, dan sebagai
hukum-anku, aku akan menceritakan
kepadamu segala peristiwa yang menimpa
diriku dan mengapa aku bersedih
mendengar jawaban teka-tekimu dan
mengapa aku hendak membunuh Nona cilik
ini.”
Tanpa mempedulikan bahwa yang
mendengar ceritanya bukan hanya kakek itu
seorang, melainkan juga Yu Hwi dan Ci
Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu lalu
menceritakan riwayatnya yang se-harusnya
merupakan rahasia bagi seorang wanita,
akan tetapi kini dia ceritakan kepada orang
lain tanpa malu-malu, seolah-olah hendak
membuka rahasia kebusukannya sendiri!
Memang aneh-aneh watak dari orang-orang
dunia persilatan yang telah mencapai
tingkat tinggi itu!
Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik
yang sejak kecil telah memiliki ilmu
kepandaian silat yang tinggi karena dia
berguru kepada para pertapa di se-panjang
perbatasan Tibet. Bahkan akhir-nya di
dalam usia tujuh belas tahun dan
merupakan seorang gadis yang cantik dan
lihai becjumpa dengan Cu San Bu, se-orang
pendekar dan tokoh besar dari keluarga Cu
penghuni Lembah Suling Emas. Cu San Bu
seketika jatuh cinta kepada dara yang
cantik manis ini dan akhirnya mereka
menikah. Kalau Cu San Bu tergila-gila
karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya
Tang Cun Ciu tertarik sekali kepada Cu San
Bu karena kelihai-an pendekar ini yang
merupakan saudara tertua dari keluarga Cu.
Padahal, usia mereka berselisih lima belas
tahun! Ka-lau Tang Cun Ciu merupakan
seorang dara remaja berusia tujuh belas
tahun, adalah suaminya itu telah berusia
tiga puluh dua tahun! Setelah menjadi isteri
Cu San Bu, Tang Cun Ciu yang amat suka
mempelajari ilmu silat itu memper-oleh
kemajuan hebat. Suaminya yang. amat
mencinta itu mengajarkan ilmu-nya kepada
isterinya sehingga dalam waktu beberapa
tahun saja ilmu kepan-daian Tang Cun Ciu
Choirul, maret 2008 177
sudah sedemikian hebatnya sehingga tidak
berselisih jauh sekali dari para kakak
beradik Cu itu sehingga dia diterima
sebagai seorang tokoh Lembah Suling
Emas pula.
Akan tetapi, mungkin karena perbeda-an
usia yang terlalu banyak, atau karena
memang watak mereka pun berbeda, Cu
San Bu adalah seorang pendekar yang
lebih bayak menahan nafsu-nafsunya dan
lebih banyak bersamadhi, sebaliknya Tang
Cun Ciu adalah seorang wanita yang
berdarah panas, maka dalam perni-kahan
itu Tang Cun Ciu merasa kecewa dan
banyak menderita tekanan batin!
Suami itu terlalu “dingin” baginya se- hingga
seringkali dia merasa tersiksa oleh gairah
nafsunya sendiri yang tidak terpuaskan
karena suaminya hanya amat jarang mau
menggaulinya. Dan karena ketidakserasian
ini agaknya maka biarpun sudah menikah
bertahun-tahun mereka berdua tidak
mendapatkan keturunan.
Makin dewasa usia Tang Cun Ciu, makin
tersiksalah dia karena suaminya menjadi
semakin tua dan semakin dingin dalam
hubungan jasmani. Ketika dia ber-usia
sekitar dua puluh tujuh tahun dan bagaikan
bunga sedang mekar-mekarnya dan sedang
panas-panasnya gejolak be-rahinya,
suaminya yang baru berusia empat puluh
dua tahun itu sudah jarang mau
mendekatinya!
Keadaan seperti ini agaknya tidak akan
menimbulkan apa-apa dan lambat-laun
Tang Cun Ciu tentu akan terbiasa dan
dapat menyesuaikan diri dengan ke-adaan
kalau saja tidak muncul sepasang suami
isteri pendekar yang datang ber-tamu di
Lembah Suling Emas. Mereka ini adalah
sepasang pendekar yang berusia sekitar
tiga puluhan tahun. Pendekar itu dikenal
sebagai Bu-taihiap, dan isterinya seorang
wanita yang cantik dan juga memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Bu-tai-hiap sudah
mengenal Cu San Bu, kakak tertua di
antara saudara-saudara Cu itu yang
memang merupakan satu-satunya orang
yang sering kali keluar dari Lem-bah Suling
Emas dan banyak merantau.
Mereka, suami isteri itu, diterima sebagai
seorang sahabat, bahkan mereka ditahan
untuk tinggal di lembah itu se- lama mereka
belum menemukan tempat yang baik untuk
bertapa. Memang suami isteri itu datang ke
Pegunungan Himala- ya untuk bertapa dan
mempelajari ilmu yang baru saja mereka
dapatkan. Dan pada waktu itulah terjadi
godaan yang amat hebat menggerogoti hati
Tang Cun Ciu yang selalu kehausan cinta
as-mara itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan,
tubuhnya yang gagah, amat menarik
hati-nya dan mulailah terdapat sinar-sinar
cinta asmara berkilatan dari pandang mata
dan dari senyumnya terhadap sa-habat
suaminya itu! Dan Bu-taihiap biar -pun dia
merupakan seorang pendekar sakti yang
selain berilmu tinggi juga berbatin kuat,
tetap saja masih seorang manusia biasa,
seorang manusia laki-laki yang masih muda
dan akhirnya dia pun tidak kuat menghadapi
godaan sinar-sinar cinta asmara yang
dikobarkan oleh Tang Cun Ciu yang
kehausan kasih sayang dan mendambakan
belaian pria itu. Apa yang tak dapat
dihindarkan lagi pun terjadilah. Terjadilah
hubungan yang biasanya dina-makan
perjinaan antara Tang Cun Ciu dan Butaihiap!
Setelah menderita tekanan batin se-lama
bertahun-tahun di samping suaminya yang
kurang memenuhi kebutuhan jas-mani dan
perasaannya, dan kini bertemu dengan
seorang pria muda yang berdarah panas
dan tidak kalah besar gelora be-rahinya
dibandingkan dengan dirinya sen-diri, tentu
saja Tang Cun Ciu bagaikan seorang yang
telah lama kehausan ber-temu dengan
sumber air yang segar. Tak puas-puasnya
dia meneguk air menyegar-kan itu, tak
peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah
air terlarang, Lupa dia bahwa dia menjadi
isteri pria lain dan bahwa pria yang
dipeluknya penuh kobar-an api cinta
asmara yang menggelora dan panas itu
adalah suami dari seorang wanita lain!
Choirul, maret 2008 178
Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari
mereka tertangkap basah! Semua orang di
tempat itu, termasuk suami Tang Cun Ciu
dan isteri Bu-taihiap, ada-lah orang-orang
lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu
tidak mudah dikela-buhi dan akhirnya
perbuatan mereka berdua itu ketahuan!
Namun, sebagai seorang pendekar besar
yang tidak lagi dimabok berahi dan mudah
dikuasai amarah, Cu San Bu tidak
menimbulkan keributan. Bu-taihiap merasa
malu sen-diri. Kalau seandainya suami
wanita itu marah-marah dan menyerangnya,
dia tidak akan merasa demikian terpukul
dan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu
San Bu yang diam seperti orang tidak
marah itu lebih menyakitkan hati bagi Butaihiap,
karena membuat dia kelihatan
semakin rendah saja! Maka dia pun
ber-pamit dan pergi meninggalkan Lembah
Suling Emas bersama isterinya dan
se-menjak itu tidak pernah nampak lagi atau
terdengar beritanya.
Bercerita sampai di sini, Tang Cun Ciu
memejamkan kedua matanya dan diam
sampai beberapa lama. Ketika dia
membuka lagi matanya, kedua mata yang
jernih tajam itu agak basah. Dia menarik
napas panjang. Dadanya yang masih
membusung penuh itu naik turun.
“Sampai sekarang pun aku tak pernah
dapat melupakan dia! Aku mencinta
mendiang suamiku, hatiku mencinta
sua-miku yang amat baik kepadaku, akan
tetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap.”
Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi,
menjadi merah mukanya mendengar ce- rita
subonya dan mendengar pengakuan itu.
Pengakuan yang terang-terangan dan yang
menurut pendapat dan pandangan umum
merupakan pengakuan tidak tahu malu dari
seorang isteri!
Wanita itu melanjutkan ceritanya. Biarpun
pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolaholah
perbuatan isterinya yang berjina
dengan tamunya itu tidak melukai hatinya,
namun sesungguhnya dia merasa tertikam
batinnya. Dia amat mencinta isterinya, akan
tetapi cintanya tidak ter-lalu condong
kepada nafsu berahi. Dia tidak menyesal
karena merasa dirugikan, hanya merasa
menyesal mengapa isteri-nya melakukan
perbuatan yang begitu rendah dan
memalukan. Yang lebih mem-beratkan
perasaan batin pendekar ini adalah sikap
adik-adiknya. Cu San Bu adalah seorang
anak angkat dari ayah ketiga orang saudara
Cu. Biarpun dia sudah dianggap anak
sendiri dan memakai she Cu, namun tiga
orang adiknya itu tahu bahwa dia bukanlah
darah daging keluarga Cu. Biasanya
memang sikap Cu Han Bu, Cu Seng Bu dan
Cu Kang Bu kepadanya biasa saja, tetap
menganggap-nya sebagai kakak sendiri,
kakak terbesar yang selain paling lihai
ilmunya, juga dapat mereka hormati karena
sikap dan perbuatan Cu San Bu yang
gagah perkasa dan baik, yang selalu
menjunjung tinggi nama keluarga Cu. Akan
tetapi, setelah peristiwa perjinaan antara
Tang Cun Ciu dan Bu-taihiap, sikap tiga
orang pendekar itu berubah sama sekali!
Tiga orang kakak beradik Cu itu diam-diam
merasa terhina dan marah se-kali oleh
perbuatan twaso mereka. Menu-rut
pendapat mereka, dosa twaso mereka itu
terlampau besar dan biarpun twako mereka
tidak menganggapnya sebagai dosa, akan
tetapi mereka berpendapat bahwa twaso
mereka itu telah menodai nama dan
kehormatan keluarga Cu peng-huni Lembah
Suling Emas! Maka, sikap twako mereka
yang mendiamkannya saja perbuatan hina
dan rendah itu, membuat mereka diamdiam
merasa penasaran dan membenci
twako mereka!
Inilah yang membuat Cu San Bu menderita
tekanan batin dan akhirnya pendekar
ini jatuh sakit! Penyakit yang su- kar
diobati karena bersumber dari batin yang
tertekan. Akhirnya, pendekar ini meninggal
dunia dalam usia baru empat puluh tahun
lebih! Dan sebelum mati, dia sempat
meninggalkan pesan atau permin-taan
terakhir kepada tiga orang adiknya itu agar
Choirul, maret 2008 179
mereka suka memaafkan Tang Cun Ciu dan
agar wanita itu tetap di- perlakukan sebagai
twaso mereka, se-bagai keluarga mereka.
Permintaan yang amat berat bagi Cu Han
Bu dan dua orang adiknya, akan tetapi
karena meru-pakan pesan terakhir, mereka
tidak tega untuk menentang atau
menolaknya.
“Mereka bertiga menerima pesan suamiku,
dengan syarat bahwa aku harus tinggal di
luar Lembah Suling Emas, dan demikianlah,
aku memilih tempat ini, di kaki gunung dan
di sebelah bawah dari lembah itu.” Tang
Cun Ciu mengakhiri ceritanya yang amat
menarik perhatian tiga orang
pendengarnya.
Akan tetapi kakek berkulit hitam itu, yang
biarpun selama hidupnya belum per- nah
terjerat oleh perangkap-perangkap cinta
asmara namun pandangannya sudah
sedemikian waspada sehingga cerita yang
didengarnya itu tidak menggerakkan
hati-nya karena dianggapnya wajar dan
tidak aneh, lalu bertanya, nadanya
penasaran, “Hemm, ceritamu mungkin
menyedihkan, Cui-beng Sian-li, akan tetapi
apa hubungannya itu dengan teka-tekimu?”
“Tiga tahun yang lalu, aku mendapat tugas
untuk menghadapimu, dan karena dalam
ilmu silat kita seimbang dan sukar untuk
menentukan siapa kalah siapa me-nang,
maka timbul niatku untuk membu-ka
perasaan hatiku yang penasaran terhadap
adik-adik suamiku itu melalui te-ka-teki ini.
Nah, itulah sebabnya maka aku
mengajukan teka-teki kepadamu, dengan
harapan selain engkau tidak akan mampu
menebaknya, juga tiga orang adik suamiku
itu agar memikirkan pula tentang sifat-sifat
cinta pria dan wanita. Sebagai isteri
mendiang suamiku yang sungguh kucinta
karena kebaikannya, sebagai seorang
wanita, aku membutuh-kan kasih sayang
yang diperlihatkan, butuh dimanjakan, butuh
dicinta dengan mesra, dengan lembut,
butuh disenangkan dan dipuja. Akan tetapi
sikap suamiku yang dingin itu
mendatangkan perasaan kepadaku seolaholah
aku tidak dibutuh-kannya lagi, tidak
dicinta lagi. Seorang wanita, dari yang
muda sampai yang tua sekalipun, baru
percaya akan cinta kasih seorang pria kalau
pria itu memperlihatkannya dengan bukti
dalam sikapnya. Dan wanita yang dilimpahi
kemesraan baru akan percaya bahwa dia
memang di-cintai, maka anehkah kalau aku
menye-rahkan segala-galanya. Suamiku
bersikap dingin, dan sebaliknya, Bu-taihiap
bersi-kap mesra sekali kepadaku, maka
aneh-kah kalau aku menyerahkan diri
kepada-nya untuk memuaskan
kehausanku?”
Makin lama makin merah dan jengah rasa
hati Yu Hwi mendengarkan kata- kata
gurunya itu. Sebagai seorang wanita
dewasa, tentu saja dia mengerti semua
yang dibicarakan. Sedangkan Ci Sian
hanya mendengarkan dengan bengong,
biarpun dia merasa kasihan, akan tetapi dia
tidak begitu mengerti tentang urusan cintamencinta
itu.
“Akan tetapi, apa hubungannya orang she
Bu itu dengan aku?” Tiba-tiba Ci Sian
bertanya, suaranya lantang dan
mengejutkan Cui-beng Sian-li yang tidak
menyangka-nyangka akan datang
perta-nyaan dari bocah itu. Dia memandang
wajah Ci Sian dan alisnya berkerut,
pan-dangannya menjadi tajam dan tidak
senang.
“Mukamu sama benar dengan isteri Butaihiap!
Dan engkau she Bu pula, maka aku
menduga bahwa engkau tentulah puteri
mereka!”
Ci Sian adalah seorang yang cerdik. Dia
tahu bahwa dugaan itu mungkin saja benar
karena bukankah ayah bundanya juga
berada di Himalaya seperti yang
di-ceritakan oleh kakeknya, dan bahwa
ayah bundanya adalah orang-orang yang
ber-ilmu tinggi? Akan tetapi, karena tidak
ada bukti dan semua itu hanya dugaan saja,
lebih baik kalau dia tidak mengakui hal itu,
karena mengakuinya berarti ha-nya akan
Choirul, maret 2008 180
menimbulkan permusuhan dari wanita yang
lihai ini.
“Hemm, biarpun aku she Bu, akan tetapi
tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
aku adalah puteri mereka, karena itu,
jangan engkau sembarangan saja
menduga-duga dan secara sewenang-wenang
hendak membunuhku.” kata Ci Sian,
suaranya bernada teguran sehingga Tang
Cun Ciu merasa terpukul dan malu.
Untuk menutupi rasa malunya ditegur oleh
anak-anak, dia lalu berkata kepada Seethian
Coa-ong. “Eh, Coa-ong, engkau
sekarang mempunyai seorang murid yang
agaknya akan menjadi orang yang lihai,
biarpun sekarang yang lihai hanya baru
mulutnya saja! Pertandingan antara kita
sudah selesai, maka marilah kita
pertan-dingkan murid-murid kita dalam
waktu lima tahun lagi. Engkau boleh
menggem-bleng muridmu she Bu ini, dan
aku akan membimbing muridku Yu Hwi, dan
kita pertandingkan mereka....”
“Yu Hwi....?” 'Tiba-tiba Ci Sian ber-seru dan
dia kini mencurahkan perhatian-nya kepada
murid Cui-beng Sian-li itu, memandang
tajam karena baru sekarang dia tertarik
sedangkan sejak tadi perha-tiannya
dicurahkan seluruhnya kepada Cui-beng
Sian-li. Dia mulai melangkah maju
mendekati Yu Hwi yang juga
me-mandangnya penuh perhatian, diamdiam
Ci Sian harus mengakui bahwa Yu
Hwi memiliki wajah yang manis sekali,
ben-tuk tubuh yang ramping padat, kulit
yang putih kuning halus mulus. Pendeknya,
wanita itu amat cantik menarik dan
me-mang pantas sekali kalau menjadi isteri
Pendekar Suling Emas Kam Hong.
“Ada apakah dengan engkau?” Yu Hwi
membentak ketika melihat Ci Sian memandangnya
sedemikian rupa setelah tadi
mengucapkan namanya.
“Yu Hwi....? Mengapa engkau meninggalkan
Kam Hong....?” Karena tiba-tiba
timbul rasa iba kepada pendekar itu dan
teringat akan cerita Kam Hong bahwa isteri
pendekar itu yang bernama Yu Hwi telah
lari meninggalkannya, maka kini Ci Sian
mengucapkan kata-kata itu de- ngan nada
suara menegur dan mencela.
Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi
seketika berubah pucat dan matanya
terbelalak memandang Ci Sian. Sejenak dia
tidak mampu berkata-kata, kemudian
setelah dia menekan perasaan-nya yang
terguncang, dia berkata, suara-nya
terdengar seperti membentak ma-rah.
Apa.... maksudmu....?”
“Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi,
isteri yang telah meninggalkan suamimu
yang bernama Kam Hong?”
Kini wajah Yu Hwi berobah merah sekali.
“Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak
pernah menikah dengan siapa pun juga!
Pula, kau peduli apa dengan urusanku?”
“Hemm, aku tidak tahu engkau sudah
menikah atau belum. Akan tetapi agak-nya
engkau tentulah Yu Hwi yang dicari-cari
oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku
peduli karena Paman Kam Hong menderita
sengsara karena mencari-cari-mu. Kiranya
engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li.
Wah, memang cocok. Gurunya seorang
wanita yang telah mengkhianati suami,
sedangkan muridnya seorang wanita yang
telah minggat dari suaminya. Keduanya
telah menghancurkan hati dan kehidupan
pria-pria yang men-cintai mereka.”
“Keparat!”
“Jahanam bermulut lancang!”
Guru dan murid itu bergerak cepat, akan
tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat
dengan Ci Sian sudah menyambar tubuh
anak perempuan itu dan meloncat jauh dari
tempat itu.
“Cui-beng Sian-li, di antara kita su-dah tidak
terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari
sini!” teriak kakek itu tanpa menghentikan
Choirul, maret 2008 181
loncatan-loncatannya dan ternyata wanita
itu bersama murid-nya pun tidak melakukan
pengejaran.
Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sianli
memandang kepada muridnya dan
dengan pandang mata tajam dia ber-tanya.
“Yu Hwi, benarkah engkau ming-gat dari
suamimu?”
“Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukanbukan.
Yang benar, aku melarikan diri
karena hendak dijodohkan dengan seorang
pemuda yang bukan pilihanku sendiri.”
“Dan pemuda itu bernama Hong?”
Yu Hwi mengangguk, lalu dia mence-ritakan
persoalannya dengan Kam Hong. Dia
menceritakan dengan singkat akan tetapi
juga terus terang, mengingat bah-wa
gurunya tadi pun telah bercerita dengan
terus terang tanpa menyembunyi-kan
perbuatan dan perasaan hatinya sen-diri.
“Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada
seorang pendekar yang amat teecu
ka-gumi, akan tetapi pendekar itu tidak
membalas cinta teecu agaknya. Dan tan-pa
teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu
telah ditunangkan dengan seorang pemuda
lain. Setelah teecu memberitahu tentang
pertunangan itu. Maka ketika di-pertemukan
dengan tunangan itu yang juga telah teecu
kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan
juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri
sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih
lamanya, dan siapa kira, pemuda itu
ternyata ma-sih mencari-cari teecu seperti
yang dika-takan oleh bocah setan tadi.”
Hening sejenak setelah Yu Hwi
men-ceritakan riwayatnya secara singkat.
Kemudian, Cun Ciu menarik napas panjang.
“Yaah, demikianlah nasib kita kaum wa-nita.
Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan
orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk
menentukan nasib sendiri pun di-salahkan.
Disia-siakan cintanya sehingga kehausan
dan mencari hiburan pelepas dahaga
dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang
melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak
akan ada yang menya-lahkan karena hal itu
sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak
adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!”
“Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak
tahu diri!” Yu Hwi berkata. “Teecu tidak
menyangka bahwa dia masih terus mencari
teecu. Mau apa dia? Apakah hendak
memaksa teecu menjadi isterinya
berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan
oleh orang-orang tua kami itu? Teecu harus
pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa
teecu tidak suka menjadi isterinya!”
“Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah ka-lah
bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia
sendiri telah mengorbankan waktunya
sampai tiga tahun bertapa dalam guha. Dan
setelah dia dapat menebak teka-teki
sehingga aku kalah, sudah sepantas-nya
kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus
tinggal di sini dua tahun dan sama sekali
tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini
sebelum dua tahun. Dan eng-kau baru saja
menjadi muridku. Engkau harus pula belajar
menemaniku di sini sampai sedikitnya dua
tahun.”
Yu Hwi tidak berani membantah dan dia
pun lalu mengikuti subonya kembali ke
pondok kecil mungil yang dlbangun oleh
keluarga Cu di tempat itu untuk twaso
mereka. Biarpun Tang Cun Ciu tidak
diperbolehkan lagi tinggal di Lem-bah
Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku
sebagai keluarga dan setiap waktu boleh
saja mengunjungi lembah melalui jalan
rahasia terowongan yang hanya dikenal
oleh keluarga mereka.
Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun
belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li
yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian
yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula.
Marilah kita ber-alih ke bagian lain dari
daratan Tiong-kok, meninggalkan daerah
Pegunungan Himalaya dan pergi ke
sebelah timur meninggalkan daratan,
menyeberang laut untuk melihat keadaan di
Choirul, maret 2008 182
sebuah pulau kecil yang hanya beberapa
mil jauhnya dari daratan. Dengan
mempergunakan sebuah perahu layar,
kalau angin baik, dalam waktu seperempat
jam saja orang sudah akan dapat sampai ke
pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to
(Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di
pulau kecil ini terdapat sejenis ular yang
ber-warna kuning keemasan dan sangat
ber-bahaya karena gigitannya mengandung
bisa yang mematikan.
Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna
kuning emas inilah yang mem-buat para
nelayan dan pelancong tidak berani
mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu
sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau
yang berbahaya karena pulau itu ditinggali
oleh seorang wanita yang hidup sebagai
seorang ratu di atas pulau kosong itu. Di
atas pulau itu dibangun sebuah bangunan
seperti istana kecil dan karena wanita yang
hidup se-perti ratu itu selain memiliki
kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu
kepandaian silat yang hebat, maka tidak
ada orang berani lancang mendekati pulau
itu, ke-cuali kalau hendak berkunjung
dengan keperluan yang penting.
Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti
ratu, terkenal sekali dengan ju-lukannya,
yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan)
dan semua orang kang-ouw tahu belaka
bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang
wanita yang memiliki ilmu gin-kang yang
amat luar biasa, tidak pernah ada yang
mampu menandinginya. Karena ilmu ginkangnya
yang membuat tubuhnya seolaholah
dapat terbang atau menghi-lang itu,
tentu saja dia merupakan lawan yang amat
berbahaya. Bu-eng-kwi berna-ma Ouw Yan
Hui, seorang wanita yang sesungguhnya
sudah berusia empat puluh enam tahun
atau lebih. Akan tetapi ka-lau orang
bertemu dengan dia, tak mungkin mau
percaya bahwa wanita can-tik itu sudah
berusia mendekati setengah abad!
Wajahnya masih cantik manis, kulit
mukanya masih halus tanpa keriput se-dikit
pun, pinggangnya masih ramping dan
tubuhnya masih padat. Orang akan
me-naksir usianya tidak akan lebih dari tiga
puluh dua tahun saja!”
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang
janda. Karena suaminya menye-leweng,
maka dibunuhnya suaminya itu dan
semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi
seorang wanita pembenci pria, atau
setidaknya dia mempunyai kesan yang
amat buruk terhadap pria di dalam hatinya.
Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan
tidak pernah lagi mendekati pria yang amat
dibencinya. Hatinya men-jadi keras dan
kejam terhadap pria. Akan tetapi sebagai
seorang manusia yang ter-buat daripada
darah daging dan memiliki hawa nafsu,
maka tentu saja dia kadang-kadang
terserang oleh gairah nafsu. Hal ini
membuat dia mulai mendekati sesama
kelamin dan mencari pelepasan nafsu
berahinya dengan wanita lain! Dan untuk
mencari teman atau lawan dalam
kebu-tuhan ini, mudah saja baginya karena
selain cantik, dia pun amat kaya raya
sehingga mudah saja dia memilih di antara
para pelayannya yang muda-muda dan
cantik-cantik yang bertugas mene-mani dan
melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu
malam. Demikianlah, dari seorang wanita
yang memiliki gairah berahi yang normal,
karena patah hati dan benci kepada pria
yang pernah me-nyakitkan hatinya, Ouw
Yan Hui berobah menjadi seorang wanita
yang suka ber-main cinta dengan wanita
lain, atau yang kita biasa namakan wanita
lesbian.
Karena sikapnya yang benci kepada pria
inilah yang membuat para pria tidak berani
mendekatinya, biarpun dia, dalam usia
tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau
Ular Emas itu pun dijauhi orang karena
dunia kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-engkwi
Ouw Yang Hwi adalah, seorang wanita
pembenci pria yang amat berbahaya. Akan
tetapi, semenjak kurang lebih lima tahun
terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan
percakapan orang dan mulailah orangorang
kang-ouw men-dekatinya. Di situ
terdapat suatu daya tarik yang amat luar
biasa, yang ter-dapat dalam diri seorang
Choirul, maret 2008 183
dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini
menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui
sejak enam tahun yang lalu, biarpun Bueng-
kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang
wanita yang amat cantik, namun
diban-dingkan dengan muridnya ini, dia
seolah-olah merupakan sebuah bintang
yang mulai pudar karena jauhnya
dibandingkan dengan bulan purnama yang
gilang-gemi-lang!
Memang kekuasaan Tuhan telah demi-kian
bermurah hati kepada dara ini se-hingga dia
dikarunia kecantikan yang sukar dicari
bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya
gemilang, rambutnya hitam gemuk dan
panjang berombak, digelung seperti model
sanggul puteri istana, di-hias taburan
permata yang berkilauan, semerbak harum
oleh sari kembang. Se-pasang matanya
yang lebar itu amat jernih dan tajam,
seolah-olah dapat me-ngeluarkan ribuan
sinar yang menyaingi permata di atas
kepalanya, berkeredepan amat indahnya,
dihias bulu mata yang panjang lentik dan
lebat sehingga bulu mata itu membentuk
garis hitam meling-kari matanya, seperti
dilukis saja. Sepa-sang alisnya yang aseli
itu seperti lukis-an pula, demikian indah,
panjang meleng-kung dan kecil hitam,
rambut alisnya halus dan rebah teratur
dengan rapinya sehingga setiap helai bulu
alis itu seperti memiliki kemanisannya
sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping
hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai
dengan mu-lutnya yang kecil namun
dengan bibir yang penuh dan selalu
kemerahan, merah aseli karena sehat,
merah basah dan bentuknya seperti
gendewa terpentang. Dagunya meruncing
menambah manis.
Luar biasa memang dara yang cantik jelita
ini. Usianya sudah ada dua puluh enam
tahun, akan tetapi dia lebih pantas
dinamakan dara remaja berusia delapan
belas tahun! Hanya sikapnya, caranya
memandang dan caranya bicara,
mengha-dapi orang, menunjukkan
kematangannya sebagai seorang wanita
yang telah de-wasa. Demikian cantik jelita,
demikian manis, anggun dan agung seperti
seorang puteri istana! Dan memang
sesungguhnya-lah, murid dari Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui ini adalah seorang puteri
aseli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah
Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!
Di dalam cerita KISAH SEPASANG
RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI sudah
diceritakan dengan jelas tentang Puteri
Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai
pertalian cinta kasih yang amat menda-lam
dengan pendekar muda perkasa yang
berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat
atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek
Hoat karena pendekar ini adalah keturunan
dari Wan Keng In, putera kan-dung dari
Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari
Pendekar Super Sakti Ma-jikan Pulau Es.
Cinta kasih antara me-reka berdua
mengalami lika-liku yang amat rumit dan
perjodohan antara me-reka berdua
mengalami halangan-halangan yang amat
hebat sehingga sampai bebe-rapa kali
mereka berdua itu saling ter-pisah. Sudah
bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini
mengalami kehidupan yang penuh bahaya
dan sengsara demi kekasihnya, ketika dia
mencari kekasih-nya dan merantau di dunia
yang penuh kekejaman ini seorang diri saja.
Pada pertemuan antara mereka yang
terakhir kalinya, kembali hati Sang Pute-ri
ini tertusuk oleh sikap kekasihnya yang
mencurigainya, yang menuduhnya sebagai
seorang anak yang hendak mem-berontak
dan berkhianat terhadap ayah-nya sendiri,
yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang
melakukan perbuatan itu adalah seorang
wanita lain yang dipergu-nakan oleh kaum
pemberontak untuk menyamar sebagai
dirinya. Perlakuan yang diperlihatkan Tek
Hoat ini begitu menyakitkan hatinya,
sehingga dia me-ninggalkan pemuda
kekasihnya itu dan mengambil keputusan
untuk membiarkan Tek Hoat merana dan
sengsara, dan dia tidak akan mau kembali
kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat
datang mencarinya dan minta ampun
kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam
cerita JODOH RAJAWALI.
Choirul, maret 2008 184
Puteri Syanti Dewi melarikan diri ke tempat
tinggal subonya, atau gurunya, yaitu Bueng-
kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai
seorang wanita lesbian, yang selera
seksuilnya sudah berubah seperti selera
seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergilagila
melihat kecantikan Syanti Dewi dan
keindahan lekuk-lengkung tubuhnya.
Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita
seratus prosen, oleh ka-rena itu, dia tidak
sudi melakukan per-mainan cinta yang tidak
wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek
yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui
dalam hal awet muda yang bernama Maya
Dewi, seorang wanita India, hendak
mendekap dan membelainya, mengajak
bermain cinta, Syanti Dewi melarikan diri
dari pulau itu!
Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat
mencinta Syanti Dewi, maka sete-lah Syanti
Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia
berjanji bahwa dia tidak akan lagi
mengganggu muridnya itu. Hanya dengan
janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan
tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri
dari Ang Tek Hoat. Pada waktu itu, Maya
Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk
kembali ke negaranya sendiri,
meninggalkan Ilmu yang membuat Ouw
Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal
terhadap usia tua dan menjadi tetap awet
muda! Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi
tinggal ber-sama gurunya di pulau itu,
mempelajari ilmu gin-kang yang amat tinggi
dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini
Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke
dua yang memiliki gin-kang amat he-batnya,
Ouw Yan Hui amat bangga dengan
muridnya yang dikasihinya seperti anak
atau adik sendiri ini, dan mereka hidup
rukun dan saling menyayang di pulau itu
seperti seorang ratu dan se-orang puteri.
Akan tetapi, semenjak nama Syanti Dewi
dikenal, pulau itu seringkali mene-rima
kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang
terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi,
atau hartawan-hartawan yang semua ingin
mempersembahkan milik mereka demi
untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri
yang seperti bidada-ri cantiknya itu! Nama
Syanti Dewi men-jadi buah bibir setiap
orang pria dan setiap orang yang pernah
melihat se-nyumnya, tak mungkin dapat
melupakan-nya lagi, bahkan senyum manis
itu selalu membayang di depan mata, wajah
jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan
banyaklah pemuda-pemuda perkasa,
pe-muda-pemuda bangsawan, dan
hartawan-hartawan besar yang tergila-gila
kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi walaupun karena kega-galan
cintanya dengan Ang Tek Hoat berubah
menjadi agak keras hati ter-hadap pria,
namun dia bukanlah pembenci pria seperti
gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak
perkenalan dengan para pria tingkat atas
itu, bahkan me-nyambut mereka sebagai
sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan
tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap
sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan,
selalu ditolaknya dengan halus sehingga
tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan
membuat me-reka semakin tergila-gila!
Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini,
nama Syan-ti Dewi terkenal sekali di
sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh
ke pedalaman dan akhirnya nama itu
ter-dengar pula sampai ke istana kaisar!
Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi
menemui para pria itu, akan tetapi dia juga
tidak tega untuk melarang muridnya
menerima kunjungan para pria tingkat atas
itu, dan kalau Syanti Dewi dikelilingi priapria
muda yang rupawan dan seolah-olah
berebut untuk menunduk-kan hati puteri
juita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal
lalu mencurahkan semua ketidaksenangan
hatinya dengan hiburan yang biasa
dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam
pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang
biasa menjadi ke-kasihnya!
Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi
ramai dengan kunjungan perahu-perahu
besar yang mewah dan indah. Para
pemuda yang tergila-gila itu ada yang
mendatangkan ahli-ahli bermain musik,
Choirul, maret 2008 185
penari dan penyanyi-penyanyi yang
kena-maan untuk mengadakan hiburan di
tempat itu, yang tentu saja kesemuanya
ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi.
Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw
Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang
ha-diah yang berharga, yang seolah-olah
di-limpahkan tanpa mengenal hitungan oleh
para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi.
Namun sang puteri itu hanya membalas
dengan senyum manis, senyum yang
demikian gemilangnya sehingga untuk
sebuah senyum kiranya setiap orang
pemuda rela untuk bertekuk lutut!
Saking terkenalnya nama Syanti Dewi,
sampai-sampai para sastrawan tertarik
untuk mengunjungi pulau itu dan di anta-ra
mereka terdapat seorang sastrawan ahli
lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw
Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima
puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya
mendarat di Kim-coa-to, para penjaga
memandangnya penuh curiga. Biasanya,
yang melakukan pendaratan dan kunjungan
di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang
rupawan dan gagah perkasa, yang datang
membawa kesan yang nampak dari sikap
mereka yang gagah perkasa dari seorang
ahli silat, atau dari perahu mereka yang
mewah dan pakai-an mereka yang indah
dari seorang har-tawan, atau dari pengawalpengawal
dan sikap angkuh seorang
bangsawan. Akan tetapi kakek ini
berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan
sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari
seorang kakek seperti itu? Maka, seorang di
antara para penjaga yang diadakan oleh
Syantti Dewi setelah tempat itu sering
dikun-jungi orang, cepat menghampiri dan
me-negur.
“Lopek, mau apakah engkau menda-ratkan
perahumu di sini? Dilarang untuk mencari
ikan ditepi pulau ini!”
Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui
bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini
pernah menjadi seorang pria yang tampan
sekali, dan hal ini nampak ketika dia
tersenyum.
“Sahabat,seperti juga para pendatang lain,
aku ingin sekali berjumpa dengan Nona
Syanti Dewi.”
Beberapa orang penjaga sudah men-dekati
tempat itu dan mereka tertawa mendengar
kata-kata ini. Biarpun pria ini tampan, akan
tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa
hendak bertemu dengan Siocia, pikir
mereka.
“Eh, orang tua. Siocia kami tidak pernah
menerima kunjungan orang-orang tua! Yang
menjadi tamu-tamunya hanya-lah pemudapemuda
perkasa, pemuda-pemuda
bangsawan atau pemuda-pemuda
hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi
dari sini, kalau sampai Toanio majikan
pulau ini mendengar tentang
kedatangan-mu, tentu dia akan marah dan
nyawamu tidak akan tertolong lagi. Yang
dimak-sudkan oleh para penjaga dengan
toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang
me-reka sebut siocia itu merupakan
seorang yang amat mereka sayang dan
hormati karena sikapnya yang ramah-tamah
dan lemah lembut terhadap semua orang,
sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka
takuti karena memang wanita ini selalu
bersikap dingin dan galak terhadap para
pria, termasuk para penjaga itu.
Kakek itu tertawa. “Ha-ha, dunia memang
penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap
manusia dinilai dari lahirnya, bukan
batinnya. Sahabat, kalian bermak-sud baik,
maka aku berterima kasih atas nasihat
kalian. Akan tetapi, aku mem-punyai suatu
hal yang perlu kusampaikan kepada Nona
Syanti Dewi. Maukah eng-kau
menyampaikan hal ini kepadanya? Tanpa
menanti jawaban, kakek itu lalu
mengeluarkan sebuah kipas yang
permu-kaannya terbuat daripada kertas
putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat
tulis dan dengan gerakan yang cekatan
sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.
Choirul, maret 2008 186
Para penjaga memandang dan melongo
penuh kekaguman ketika melihat betapa
corat-coret itu merupakan tulisan hurufhuruf
yang amat indah dan dilihat dari jauh
merupakan sebuah petak rumput dengan
bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan
bukan hanya huruf-hurufnya yang indah,
akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun
merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
“Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka
menyampaikan kepada Siocia ka-lian.”
Seorang di antara para penjaga itu, yang
berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan
menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu
membentak, “Eh, engkau ini tua bangka
tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum
engkau berani menulis su-rat cinta kepada
Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda
saja, pakai hendak me-ngirim surat cinta
kepada Siocia!” Bentakan ini disambut
suara ketawa penjaga lainnya.
Kakek itu juga tersenyum, kemudian
dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di
atas ujung perahunya. Semua orang
memandang dan kembali mereka
terbela-lak memandang corat-coret yang
agaknya dilakukan secara sembarangan itu
ternya-ta telah membentuk wajah penjaga
ber-kumis lebat itu, mirip sekali sehingga
sekali pandang saja semua orang
menge-nal wajah Si Kumis Lebat, lengkap
de-ngan kumisnya yang pada gambar di
atas papan perahu itu bahkan nampak lebih
menyeramkan daripada aselinya.
Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia
mengangkat muka memandang kepada
penjaga berkumis yang menegurnya tadi,
sambil berkata, “Nah, sudah kucatat baikbaik
gambar wajahmu agar mudah
kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini
siapa di antara para penjaga yang bersikap
kasar terhadap seorang tamu.”
Mendengar ini, tiba-tiba wajah pen-jaga
berkumis tebal itu berobah keta-kutan.
Memang siapakah yang tidak takut
membayangkan bahwa jangan-jangan
sas-trawan sederhana ini adalah seorang
kenalan baik Toanio dan kalau betul
demikian dan kakek ini melaporkan kepada
Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat
Si Kumis Tebal itu menjura kepada
sastrawan itu sambil berkata, “Harap Tuan
sudi memaafkan kelakar kami ta-di.... dan
kalau Tuan menghendaki, biarlah saya
menyampaikan pesan Tuan kepada
Siocia....“
“Nah, itu baru seorang petugas yang baik,
seorang penjaga yang gagah perkasa
seperti harimau!” kata sastrawan itu dan
kembali dengan alat tulisnya dia men-coratcoret
ke arah lukisan wajah penja-ga itu dan
semua orang memandang ka-gum karena
kini lukisan itu berobah menjadi kepala
seekor harimau yang bagus sekali!
Penjaga berkumis lebat itu tidak be-rani
main-main lagi, cepat diterimanya kipas
yang sudah ditulisi itu dengan hor-mat
sambil berkata. “Saya akan menyam-paikan
kipas ini kepada Siocia.”
“Dan aku akan menanti balasan di di sini.”
kata sastrawan itu sambil me-ngeluarkan
sebungkus roti kering dan seguci arak,
kemudian duduklah dia di kepala perahunya
sambil makan roti, minum arak dan
bersenandung kecil, kelihatannya riang dan
gembira sekali.
Pada pagi hari itu, Syanti Dewi se-dang
duduk di dalam taman bunga ber-sama
gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui,
menghadapi sarapan pagi di dalam taman
yang indah itu, dilayani oleh para pelayan
yang cantik muda dan berpakaian bersih
rapi. Taman itu memang indah sekali,
dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang
mendatangkan berbagai macam bunga dari
daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka
duduk di bangunan kecil di tepi danau
buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas
beraneka macam dan warna, yang nampak
berenang ke sana kemari di dalam air yang
amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil
dicat indah dan nyeni menambah semarak
pemandangan di taman dan batang-batang
Choirul, maret 2008 187
pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari
tertiup angin pagi yang lembut.
“Dewi.” kata Ouw Yan Hui dengan halus.
Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya
itu, dan tak pernah dia bosan untuk
memandang wajah yang jelita itu.
Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan
kasar angkuh kepada orang lain, akan
tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap
lembut dan manis budi. “Kabar-nya hari ini
pangeran akan datang me-ngunjungi pulau
kita, benarkah?”
“Benar, Enci Hui.” Syanti Dewi biasa
menyebut gurunya itu Enci dan hubungan
mereka memang lebih mirip kakak dan adik
daripada guru dan murid. “Kemarin seorang
pengawalnya telah menyampaikan berita
itu.”
“Dewi, sahabatmu itu adalah seorang
pangeran mahkota yang kelak akan
men-jadi kaisar! Dan kulihat hubungan
antara kalian demikian akrab. Hemm,
daripada engkau dikelilingi begitu banyak
pria muda, apakah tidak lebih baik kalau
menentukan pilihanmu sekarang juga? Dan
kurasa, paling tepatlah kalau engkau
memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak
engkau menjadi permaisuri dan....“
“Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang
hal itu!” Syanti Dewi memotong dengan alis
agak berkerut, sungguhpun wajahnya masih
tetap berseri dan se-nyumnya masih
membayang di bibirnya yang merah basah
dan sudah begitu segar nampaknya di pagi
hari itu.
Kini Ouw Yan Hui yang memandang
kepada dara itu dengan alis berkerut dan
sinar matanya serius. “Dewi, marilah kita
bicara dari hati ke hati secara terbuka saja
karena yang kita akan bicarakan ini
menyangkut masa depan kehidupanmu.
Tak perlu kusebutkan lagi karena engkau
sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak
sudi berdekatan dengan pria, apala-gi
menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi.
Engkau menentang sikap hidup-ku dan
engkau mengatakan bahwa sekali waktu
engkau tentu akan menjadi isteri seorang
pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam
tahun dan selagi sekarang terbuka
kesempatan yang amat baik ini, mengapa
engkau masih hendak bertahan? Kalau
memang engkau suka hidup sebagai isteri
orang, sekaranglah saatnya dan pangeran
mahkota itulah orangnya yang patut
menjadi suamimu. Bayangkan, kelak
eng-kau menjadi permaisuri. Hemm,
bahkan aku sendiri pun yang tidak suka
kepada pria akan ikut merasa bangga
disebut seorang kakak angkat dari
permaisuri!”
“Enci, lupakah kau bahwa aku selalu
menganggap perjodohan itu hanya
mung-kin apabila terdapat cinta kasih di
situ? Apakah kaukira aku akan serendah
itu, menikah dengan seorang pria hanya
ber-dasarkan kedudukan belaka? Ingat, di
Bhutan aku adalah seorang puteri tunggal
Raja Bhutan!”
“Hemm, apa artinya kedudukanmu di
Bhutan kalau dibandingkan dengan
men-jadi permaisuri kaisar? Dewi, apa
artinya cinta kasih? Apa kaukira ada cinta
kasih dalam hati seorang pria? Huh, aku
tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai
nafsu berahi, nafsu binatang, dan selalu
hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap
wa-nita, ingin mempermainkan wanita
sam-pai akhirnya dia menjadi bosan dan
men-cari wanita baru yang lain! Kalau
engkau dapat menjadi permaisuri dari
sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar
yang men-jadi suamimu itu kelak
mengumpulkan seribu orang selir, tetap
saja engkau sudah memperoleh kedudukan
dan kekua-saan tertinggi bagi seorang
wanita, dan....“
“Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara
tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong
hanya menjadi sahabat baik-ku, kami saling
cocok dan saling suka, saling menghormat,
sama sekali tidak ada perasaan yang
kaumaksudkan itu....”
Choirul, maret 2008 188
“Hi-hi-hik, kaukira aku ini anak kecil, Dewi?
Aku melihat jelas betapa pada sinar
matanya terdapat kekaguman dan gairah
berahi....“
“Usianya baru delapan belas tahun, aku
jauh lebih tua....“
“Apa salahnya? Melihat wajahmu, engkau
lebih pantas dikatakan baru ber-usia
delapan belas tahun! Dan perbedaan usia
itu akan membuat engkau lebih mudah
mengatasinya.”
“Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan
menikah dengan siapapun juga, be-tapapun
kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali
dengan pria yang kucinta.”
“Tek Hoat itu lagi, ya? Betapa bo-dohnya
engkau....”
“Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk
hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak
muncul, aku mulai percaya bahwa dia
memang berhati palsu!”
Ouw Yan Hui tertawa lagi. “Bukan hanya
dia, semua laki-laki di dunia ber-hati palsu!
Oleh karena itu, aku lebih suka berdekatan
dengan sesama wanita yang memiliki
kelembutan, baik jasmani maupun
rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai
wanita dan semua pria sebaiknya
dibinasakan saja!”
Pada saat mereka berdua tertawa san-tai
terbebas dari percakapan tentang hal yang
mendatangkan kenangan tidak
me-nyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu,
muncullah penjaga berkumis lebat. Me-lihat
bahwa Siocia berada di dalam ta-man
bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat
dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri
berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan
memandang kepadanya.
“Harap Toanio sudi mengampuni saya yang
berani lancang masuk ke sini, kare-na saya
tidak tahu bahwa Toanio di sini.”
Syanti Dewi yang maklum akan tabiat
gurunya yang membenci kaum pria dan
mudah menjatuhkan tangan kejam
terha-dap pria yang bersalah sedikit saja,
cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu
dan bertanya dengan sikap ramah,
mendahului Ouw Yan Hui yang sudah
memandang dengan alis berkerut kepada
pria berku-mis lebat itu.
“Ada keperluan apakah engkau datang ke
sini?”
“Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang
sastrawan berusia kurang lebih lima puluh
tahun yang bermaksud ber-jumpa dengan
Siocia....”
“Siapa dia? Apa keperluannya?” tanya
Syanti Dewi.
“Usir dia pergi!” bentak Ouw Yan Hui
suaranya melengking marah sehingga
mengejutkan Si Penjaga berkumis tebal
yang masih berlutut.
“Saya.... sudah berusaha mengusirnya....
akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas
kipas ini dan minta untuk disampai-kan
kepada Siocia....“ Cepat-cepat dia
mengeluarkan kipas itu dari saku baju-nya.
“Keparat berani kau....?”
Penjaga itu terkejut bukan main ka-rena
yang nampak hanya berkelebatnya
bayangan dan tahu-tahu dia merasa
kepa-lanya seperti disambar petir dan
tubuh-nya terlempar dan bergulingan.
Ketika dia merangkak bangkit duduk,
dengan kedua tangan dia cepat memegangi
kepa-lanya untuk melihat apakah kepalanya
tidak copot dan masih menempel di
le-hernya! Ternyata tadi dalam
kemarahan-nya, Ouw Yan Hui telah
menendangnya, dan dengan sama
cepatnya Syanti Dewi telah mengambil
kipas itu dan selanjut-nya nona yang jelita
ini menyabarkan gurunya.
Choirul, maret 2008 189
“Enci, dia hanya petugas, harap am-puni
dia.” kata Syanti Dewi yang segera
membuka kipas itu dan membacanya.
Sepasang mata yang indah itu
bersinar-sinar, mulut yang manis sekali itu
ter-senyum dan kedua pipinya menjadi
merah ketika dia membaca sajak yang
ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat
indahnya itu.
Kembang indah jelita nan cantik menarik
datangnya kumbang-kumbang beterbangan
membuat banyak tangan ingin memetik
banyak pria berlumba bersaing!
Aku, sastrawan tua pengagum segala nan
indah hanya ingin menikmati dengan
pandangan mata sebelum kembang jelita
dilayukan usia! Kasihan kumbang, belum
kenyang madu tertusuk duri! Kalian
kembang, habis madu layu sendiri!
“Di mana dia sekarang?” Syanti Dewi
bertanya kepada penjaga yang masih
ber-lutut dan mandi keringat karena
ketakut-an itu. Kumisnya nampak miring
dan sama sekali tidak membayangkan
kega-lakan lagi. “Dia.... menanti.... di dalam
perahunya, Siocia.” jawabnya dengan lirih
dan matanya mengerling ketakutan ke arah
Ouw Yan Hui.
“Kaupersilakan dia menanti di ruangan
tamu, aku akan menemuinya.” kata Syan-ti
Dewi dengan halus. “Nah, pergilah!”
Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia
bangkit dan memberi hormat, ke-mudian
dengan penuh kehormatan dia menjura ke
arah Ouw Yan Hui. “Terima kasih atas
pengampunan Toanio....“ Dan pergilah dia
dengan cepat-cepat mening-galkan taman
indah dan yang baginya seperti neraka
menakutkan itu.
“Enci, dia itu hanya seorang sastra-wan tua
yang tulisannya indah syairnya bagus
sekali. Aku mau menemuinya.”
Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak
memandang kepada puteri itu, lalu
mem-buang muka dan mendengus. “Huhh!
Se-gala tua bangka menjemukan....!” Dan
dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi
dengan wajah cemberut. Syanti Dewi yang
sudah mengenal watak gurunya itu hanya
tersenyum saja. Gurunya itu me-mang tidak
suka kepada pria, akan tetapi dia tahu
bahwa wanita itu amat sayang kepadanya
dan tidak akan merintangi kehendaknya.
Maka dia pun cepat-cepat pergi
meninggalkan taman untuk mema-suki
bangunan seperti istana itu.
“Siapa namamu?” begitu bertemu dengan
sastrawan tua yang masih menan-ti di
perahu itu, penjaga berkumis mem-bentak.
Dia masih merasa marah karena telah
dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena
hal ini adalah gara-gara muncul-nya
sastrawan ini maka dia menjadi ma-rah
kepada sastrawan itu.
Sastrawan tua itu tersenyum dan
membungkuk. “Namaku Pouw Toan,
se-orang sastrawan perantau. Bagaimana,
apakah Nonamu telah menerima pesanku
dalam kipas?”
“Dengar, orang she Pouw!” kata pen-jaga
itu dengan mata merah, dan telun-juknya
menuding ke arah hidung sastra-wan itu.
“Kalau engkau tidak mencerita-kan yang
baik-baik tentang aku di depan Siocia agar
aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau
kembali tentu akan kubikin lukisan di
mukamu dengan kedua kepalan tanganku
ini!” Dia mengamangkan tinju-nya yang
besar kepada sastrawan itu.
“Gara-gara kedatanganmu aku telah kena
marah oleh Toanio!”
Sastrawan itu tersenyum, “Ah, kiranya aku
telah menyusahkanmu, sobat. Jangan
khawatir, setelah aku berhasil bertemu
dengan Siociamu, kalau pulang aku tentu
akan memberi hadiah kepadamu. Nah,
sekarang antarkan aku kepada Siociamu.”
Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan
menuju ke ruangan tamu di sam-ping istana
Choirul, maret 2008 190
yang megah itu. “Kautunggu di sini,
demikian pesan Siocia tadi.” Kata Si
Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan
seorang diri di dalam ruangan tamu yang
luas itu.
Pouw Toan memeriksa keadaan kamar
tamu yang cukup luas itu dengan hati
tertarik. Sebagai seorang sastrawan, ten-tu
saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu
yang dihias dengan amat menye-nangkan
itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding
yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan
tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian
indah di sudut ruangan, dan dia berdiri
seperti patung di depan tulisan ini, dengan
alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu
ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu
yang tertutup tirai hijau muda. Melihat
seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun
berdiri di depan tulisan itu de-ngan alis
berkerut dan agaknya tertarik sekali
sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti
Dewi tersenyum. Dia tertarik me-lihat pria
yang tidak seperti para pe-ngunjungnya
yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini
dia menerima kunjungan orang-orang muda
yang menarik dan dengan pakaian serba
indah seolah-olah bergaya dan bersaing.
Akan tetapi pria ini sudah setengah tua, dan
pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian
orang yang miskin.
“Pamankah yang ingin bertemu dengan
aku?” Syanti Dewi akhirnya menegur
ka-rena pria itu seperti terpesona oleh
tu-lisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan menengok dan sejenak dia
terbelalak memandang dara yang berdiri tak
jauh di depannya. Sudah banyak dia
mendengar nama puteri yang berada di
Kim-coa-to ini, sehingga menarik hatinya
dan membuatnya datang singgah di pulau
itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa
puteri yang dikabarkan orang seperti
bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia
berhadapan, dia terpesona dan ter-cengang
karena dia seolah-olah melihat Kwan Im
Pouwsat sendiri berdiri di de-pannya.
Kecantikan dara ini sungguh jauh
melampaui apa yang didengarnya dalam
berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa
sekali! Sepasang matanya seperti orang
dahaga bertemu dengan air jernih,
menghirup dan meneguk keindahan
de-pannya itu sepuasnya!
“Nona, yang dikabarkan sebagai bida-dari
Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu?”
Syanti Dewi mengangguk dan terse-nyum.
Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia
disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria
muda, bahkan dengan kata-kata sanjungan
yang berlebihan, akan tetapi anehnya,
ucapan yang keluar dari mulut kakek ini
membuat dia merasa senang, bangga dan
jantungnya berdebar. Mengapa? Mungkin
karena kata-kata dan sikap pria ini begitu
jujur, bukan se-perti sanjungan para muda
yang penuh dengan lagak dan jelas
membayangkan pamrih bersembunyi di
balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak
demikian.
“Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol
belaka. Mana mungkin seorang manusia
biasa seperti aku dibandingkan dengan
seorang bidadari?”
Kakek itu menarik napas panjang, masih
terpesona. “Kau keliru! Engkau malah
melebihi yang dibayangkan orang, engkau
lebih dari seorang bidadari! Kau tahu,
seorang bidadari hanya suatu gam-baran
yang tanpa cacat, sebaliknya eng-kau
adalah seorang manusia berikut ca-catcacatnya,
karena itu jauh lebih mempesona
daripada sekedar gambaran kosong
belaka!”
Heran sekali, ucapan ini jelas mengan-dung
pujian yang disertai celaan akan
kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi
malah merasa girang! Dia merasa kem-bali
menjadi manusia biasa bertemu dengan
kakek ini.
“Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa
cacat-cacatku? Engkau tentu tahu bahwa
sebagai manusia biasa, aku pun tidak
Choirul, maret 2008 191
pandai melihat cacat-cacat sendiri
sungguhpun aku pandai melihat cacat-cacat
lain orang.”
Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk.
“Hemm, selain kecantikan engkau memiliki
kebijaksanaan pula, Nona. Ca-cat-cacatmu
adalah bahwa di balik ke-cantikanmu itu
engkau mengandung ke-dukaan yang
mendalam yang kaucoba sembunyikan di
balik senyum manis dan sinar mata yang
seindah bintang. Dan selain kedukaan, juga
engkau menaruh dendam besar, hal itulah
yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi
cacat-cacat itu malah menghidupkanmu,
bukan seke-dar gambar bidadari, melainkan
seorang manusia berikut kelebihan dan
kekurang-annya. Sayang cacat-cacatmu
itulah yang menciptakan kepedihan dalam
hidupmu, Nona.”
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan
memandang tajam penuh selidik, karena
merasa tepatnya ucapan itu. “Engkau
seorang ahli peramal?”
“Ha-ha-ha!” Melihat kakek itu terta-wa,
Syanti Dewi merasa makin tertarik karena
ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun
ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar
matahari memasuki ruangan itu yang
biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui
yang selalu muram dan dingin. “Nona,
segala peramal itu hanya omong kosong
belaka. Aku dapat membaca ke-adaan
batinmu dari wajahmu, bukankah wajah
adalah cermin dari keadaan hati
seseorang?”
“Paman, siapakah engkau?”
“Namaku Pouw Toan, aku seorang
sastrawan tua yang tidak tinggal di tem-pat
tertentu, selalu merantau untuk me-nikmati
keindahan alam semesta.”
“Paman Pouw, ketika aku memasuki
ruangan ini, kulihat engkau amat
mem-perhatikan tulisan di dinding itu.
Menga-pa?” Syanti Dewi memandang
karena tu-lisan di dinding itu sebetulnya
adalah buatannya sendiri! “Apakah tulisan
itu buruk?”
Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu.
“Buruk? Tidak, tulisan wanita itu cukup
halus dan indah, akan tetapi bunyi
tulisannya itulah yang palsu dan buruk!”
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan
penasaran. Ah, aku menganggap tulisan itu
benar dan baik, mengapa kaukatakan palsu
dan buruk? Kurasa engkau bukan termasuk
orang yang hanya pandai men-cela tanpa
dapat mengemukakan alasan-nya.”
“Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!” Dia
lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu
lalu membaca dengan suara latang dan
iramanya bagus seperti ber-nyanyi.
“Cinta membutakan mata menulikan telinga
pedih perih nyeri merobek-robek hati Akan
tetapi mengapa seluruh raga dan jiwa selalu
mendambakan cinta?”
Pouw Toan lalu membalikkan tubuh-nya
menghadapi Syanti Dewi yang diam--diam
merasa terharu mendengar cara kakek itu
membacakan sajaknya, demi-kian indah
terdengarnya dan belum per-nah
selamanya dia mendengar ada orang
mampu membaca sajaknya dengan irama
sedemikian cocok, tepat dan indahnya.
Hatinya seperti merasa tersentuh dan
keharuan membuat kedua matanya terasa
panas dan basah air mata karena
men-dengar suara kakek itu hatinya terasa
seperti terobek-robek mengenangkan na-sib
dirinya dalam cinta yang gagal.
“Isi sajak ini buruk dan palsu, harus dirobah
sama sekali karena hanya akan
mendatangkan duka dan keharuan, dan
sama sekali mengandung gambaran yang
sama sekali salah tentang cinta kasih!”
kakek itu berkata-kata, nada suaranya
penuh rasa penasaran. Perasaannya ini
seperti yang dirasakan oleh seorang
pe-lukis melihat lukisannya yang buruk,
atau seorang ahli musik mendengarkan
musik yang sumbang.
Choirul, maret 2008 192
Syanti Dewi sudah dapat menguasai
perasaannya lagi yang kini menjadi
pena-saran. Kakek itu dapat membaca
sajak-nya sedemikian indah penuh
perasaan, akan tetapi mengapa malah
mencela habis-habisan? Timbul keinginan
tahunya.
“Paman Pouw, kalau begitu, cobalah
kaurobah sajak itu bagaimana baiknya.”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kaukira
aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak
berani selancang itu. Merobah-nya tanpa
ijin berarti menghina penulis-nya!”
Syanti Dewi tersenyum. “Jangan kha-watir,
Paman, aku telah memberi ijin dan akulah
penulisnya.”
“Ahh....!” Kakek itu nampak terce-ngang
akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini
makin menarik hati Syanti Dewi karena
kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak
bersifat penjilat seperti semua pemuda yang
pernah mengunjunginya.
“Di atas meja di sudut sana itu ada kotak
terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik
hati untuk membetulkan dan merobahnya,
Paman.”
Akan tetapi Pouw Toan sudah
menge-luarkan alat tulisnya sendiri dari
saku bajunya yang besar. “Seorang
pendekar tak pernah terpisah dari
pedangnya, dan seorang sastrawan tak
pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau
Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurobah
tulisan ini!” Setelah berkata demikian, kakek
itu lalu menggosok bak dan mendekati kain
yang terisi tulisan indah dari Syanti De-wi,
kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia
menggerakkan alat tulisnya di atas kain
putih itu. Mula-mula dia mencoret hurufhuruf
itu dengan coretan dari atas ke
bawah, coretan kasar namun tarikannya
mengandung tenaga yang halus sehingga
coretan itu nampak “hidup”, sama sekali
tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan
seperti menjadi bayangan yang
meng-hiasinya! Kemudian, ditempat yang
masih kosong dia menuliskan beberapa
buah huruf, dilakukan dengan cepat akan
te-tapi huruf-huruf yang tercipta di situ
sungguh amat indah dan hidup membuat
Syanti Dewi terbelalak memandang penuh
kagum. Sajak baru yang dibuat di sam-ping
sajak lama yang dihias coretan itu singkatsingkat
sekali, setiap baris hanya terdiri dari
satu huruf saja!
Api....?
Asap....!
Abu....!
Cinta....?
Kepuasan....!
Kesenangan....!
Akhirnya....?
Kecewa....!
Sengsara....!
Benci....!
Aku ada Cinta tiada!
Setelah selesai menuliskan sajak yang
terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw
Toan menyimpan kembali alat tulisnya,
sedangkan Syanti Dewi masih menatap
tulisan itu dan membacanya berkali-kali.
Hanya sebuah huruf setiap baris, namun
huruf-huruf itu demikian jelas menusuk
perasaannya, mendatangkan kesan
menda-lam dan menimbulkan pengertian
yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
“Akan tetapi, Paman Pouw. Mengapa orang
mencinta tidak boleh mengharap-kan
kepuasan dan kesenangan? Bukankah kita
mencinta karena tertarik oleh suatu
kebaikan tertentu?”
Choirul, maret 2008 193
Mereka sudah duduk kembali saling
berhadapan, menghadapi poci dan cawan
teh harum yang dihidangkan oleh pelayan
yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti
Dewi.
Pouw Toan menghirup teh harum ken-tal
itu, lalu menjawab. “Mencinta karena tertarik
oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang
hanya ingin menyenangkan diri sendiri.
Dasarnya adalah irngin menye-nangkan diri
sendiri melalui sesuatu yang menarik dan
dianggap kebaikan itu. Ke-baikan itu boleh
saja merupakan wajah tampan menarik,
atau harta berlimpah-limpah, atau
kedudukan tinggi, dan se-mua itu dianggap
menarik dan menye-nangkan....”
“Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifatsifat
baik dari orang yang dicinta,
kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau
sifat-sifat budiman....“ bantah Syanti Dewi.
“Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap
baik dan akan mendatangkan kesenangan,
kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi
kita lupa bahwa setiap orang manusia itu
kalau sudah dinilai, sudah pasti
mengandung dua sifat bertentangan, ada
baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan
dasar ketampanan, padahal ketampanan itu
dapat pudar, dapat lenyap dan dapat
berkurang menurut suasana hati yang
m,emandangnya. Kalau ketam-panannya
pudar, lalu ke mana perginya cinta? Dengan
dasar kekayaan, keduduk-an, kejantanan
atau apa saja pun sama pula, begitu yang
menjadi pendorong cinta itu pudar atau
lenyap maka cinta-nya turut lenyap. Dan
harus diingat lagi bahwa hal-hal yang
dianggap baik dan menyenangkan itu hanya
dianggap demi-kian karena belum tercapai
oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada
di tangan kita, biasanya muncul penyakit
bosan dan segala keindahan itu sudah tidak
nampak sebaik sebelum terdapat!”
Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam
kepala yang berbentuk indah itu, otaknya
sedang bekerja keras sekali.
Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang
dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat
kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek
Hoat yang tidak menyenangkan hatinya,
cintanya berobah benci! Nampak jelas
olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan
hal-hal yang dianggapnya baik dan
menyenangkan, cintanya berkobar-kobar,
akan tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat
melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk
dan tidak menyenangkan, cintanya melayu
dan muncullah kebencian. Dia membuka
mata dengan penuh kengerian di dalam
hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap
Tek Hoat? Hanya berdasarkan
menyenangkan dirinya sendiri? Dia
ber-gidik!
“Paman Pouw.... Paman.... kata-kanlah,
kalau begitu.... apa dan bagaima-na cinta
kasih itu?” Suaranya lirih seper-ti memohon,
pandang matanya sayu.
Sejenak sastrawan itu terpesona. Be-lum
pernah dia melihat kelembutan dan
kecantikan seperti ini. “Nona.... eh.... aku
memohon padamu.... bolehkah aku melukis
wajahmu....?” Dia pun berbisik.
Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi
tersenyum dan keharuannya pun
membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu
hampir sama dengan sikap para muda,
hanya perbedaannya yang teramat besar,
kalau pemu-da-pemuda itu membujuknya
untuk dila-yani atau dibalas cinta mereka,
kakek ini sebaliknya membujuk untuk
diperbolehkan melukis wajahnya!
“Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu
aku minta Paman menjawab perta-nyaanku
tadi.”
“Apa dan bagaimana cinta kasih itu? Ahh,
Nona, mana mungkin manusia biasa
macam kita dapat menggambarkan
bagai-mana adanya cinta kasih itu? Sama
dengan harus menggambarkan bagaimana
adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita,
Nona, adalah kita tahu apa sesungguh-nya
yang bukan cinta itu! Selama ada si aku
Choirul, maret 2008 194
yang ingin disenangkan melalui orang yang
kita cinta, maka mana mungkin ada cinta
kasih? Yang ada tentulah hanya
kekecewaan, kedukaan, kebencian dan
permusuhan belaka!”
Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang
cinta. Kini baru terbuka mata-nya, betapa
sesungguhnya cinta kasih merupakan hal
yang amat agung dan pelik, yang tidak
mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu
saja. Yang biasa kita pikirkan dan
bayangkan adalah cinta yang
sesungguhnya hanyalah keinginan untuk
menyenangkan diri kita dengan
meng-gunakan sampul yang kita namakan
cinta!
Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap
dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya
mengandung makna mendalam. Maka
mulailah dia dilukis. Dia diminta duduk dan
bercakap-cakap seperti biasa saja, dan
kakek itu setelah menerima sehelai kain
putih yang bersih dan kuat, lalu mulai
melukisnya, sambil omong-omong pula!
Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya
duduk santai saja seperti biasa kalau dia
bercakap-cakap.
Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi
teringat akan pengakuan kakek itu yang
tidak mempunyai tempat tinggal tertentu
dan seorang perantau yang me-nikmati
keindahan alam semesta.
“Kau tentu miskin sekali, Paman?”
Kakek itu terbelalak memandang Sang
Puteri lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha,
justeru sebaliknya, Nona. Aku merasa
bahwa aku adalah orang yang paling kaya
di dunia ini! Segala keindahan dunia ini
adalah untukku! Aku dapat menikmati alam
semesta di manapun juga, tanpa
memilikinya. Sekali orang memiliki se-suatu,
maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah
kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya
itu!”
“Eh, apa pula maksudmu, Paman?”
“Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu,
yang kita miliki itu akan kehi-langan
keindahannya karena kita telah terjangkit
penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih
dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya
menimbulkan sengketa, persaingan,
perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki,
dialah yang akan kehi-langan dan agar
jangan sampai kehilang-an itu, kalau perlu
dia menjaganya de-ngan taruhan segala
kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah
demikian?”
“Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman?”
“Ha-ha-ha, justeru karena aku tidak memiliki
apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah
untukku belaka!”
Syanti Dewi masih belum mengerti betul
akan inti dari semua kata-kata sastrawan
itu. Tiba-tiba timbul pikirannya bahwa orang
aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak
pengalamannya di dunia kang-ouw dan
mengenal banyak orang sakti.
“Paman Pouw, apakah Paman menge-nal
seorang pendekar sakti bernama Gak Bun
Beng dan isterinya yang bernama Puteri
Milana?” Dia memancing.
“Ah, tentu saja! Kami adalah sahabatsahabat
baik dan sungguh
menggembirakan kalau bicara dengan Gaktaihiap
dan keluarganya! Dia tinggal di
Puncak Tela-ga Warna yang indah di
Pegunungan Beng-san.”
“Tentu Paman mengenal pula keluarga
Majikan Pulau Es, kalau begitu?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Memang
aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan
macam aku ini mana mungkin bisa
berdekatan dengan mereka? Terlalu jauh....
terlalu tinggi, dan aku tidak mampu
membawa perahu mencapai Pulau Es.
Tentu pendekar sakti itu, Suma Han
Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah
Choirul, maret 2008 195
kudengar beritanya di dunia kang-ouw.
Bahkan putera-puteranya pun tidak
ter-dengar beritanya. Agaknya kini semua
pendekar sedang menikmati ketenangan
hidup di tempat masing-masing,
sungguh-pun belum lama ini terjadi geger di
dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang
Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar.”
Dengan singkat namun jelas sastrawan itu
lalu bercerita sekedarnya tentang pe-dang
pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti
ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa
banyak orang kang-ouw me-lakukan
pengejaran ke sana untuk mem-perebutkan
pedang pusaka keramat itu.
“Akan tetapi, kurasa pendekar-pen-dekar
sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu
tidak akan merendahkan diri
memperebutkan pedang pusaka itu.”
tambahnya.
Syanti Deewi mendengarkan dengan hati
tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang
sejak tadi berada di ujung lidahnya,
di-ajukan dengan suara yang dibikin
sete-nang mungkin, “Paman Pouw,
pernahkan Paman mendengar atau
bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw
yang berjuluk Si Jari Maut?”
Sastrawan itu mengerutkan alisnya,
kemudian menggeleng kepalanya. “Aku
belum pernah bertemu muka, akan tetapi
aku sudah banyak mendengar tentang
tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita
terakhir, pendekar muda yang ter-kenal dan
bahkan kabarnya masih anak keluarga
penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi
gila....“
“Ehh....?” Syanti Dewi hampir menje-rit dan
menutup mulut dengan tangan.
“Atau menurut kabar, keadaannya seperti
orang kehilangan ingatan, pakai-annya
seperti pengemis, rambut dan bre-woknya
tak terpelihara dan dia seringkali tertawa
dan menangis. Memang aneh se-kali tokoh
itu.... heei, kenapa....?” Sas-trawan itu
terkejut melihat Syanti Dewi tiba-tiba
menutup muka dengan kedua tangan dan
menangis tersedu-sedu!
Sejenak sastrawan itu termangu, akan
tetapi dia lalu mengangguk-angguk
mak-lum. Dihubungkannya bunyi sajak
tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang
ketika mendengar tentang pendekar muda
berju-luk Si Jari Maut itu, dan mengertilah
dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang
gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari
Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana
dia tidak mengganggu, mem-biarkan dara
itu menangis melampiaskan duka yang
agaknya sudah terlalu lama ditahantahannya
itu dan dia enak-enak saja
melanjutkan dan menyelesaikan
lu-kisannya.
Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi
setelah menangis, sungguhpun kini dia
merasa seluruh tubuhnya lemah dan
hatinya penuh dengan haru dan iba
terhadap kekasihnya yang dikabarkan
menja-di berobah ingatan itu! Dia
mengusap air matanya dan memandang
kepada sastra-wan itu dengan mata merah.
“Maafkan sikapku, Paman. Akan te-tapi aku
ingin beristirahat dan tidak dapat
menemanimu lebih lama lagi....“
“Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah
rampung dan terimalah ini sebagai
persembahan dan terima kasihku bahwa
Nona telah sudi menerimaku dan memberi
kesempatan kepadaku untuk menik-mati
kecantikanmu dan sungguh pertemu-an ini
takkan terlupakan selama hidup-ku.” Dia
menyerahkan lukisan itu kepada Syanti
Dewi.
Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia
terkejut dan kagum. Lukisan itu ti-daklah
dapat dibilang indah, dalam arti kata indah
menurut keinginannya dilukis secantik
mungkin, akan tetapi beberapa goresangoresan
itu amat kuatnya mencerminkan
segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya
lahiriah akan tetapi juga batiniah. Melihat
lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat
Choirul, maret 2008 196
dirinya sendiri dibalik cermin dalam
keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup
hiasan apa pun, wajahnya “telanjang” sama
sekali dalam lukisan itu dan nampaklah
bayangan-bayangan duka yang mendalam!
Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan
dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan
lukisan itu.
“Paman Pouw, terima kasih atas
pemberianmu. Akan tetapi, kuharap
eng-kau.... kalau kebetulan bertemu dengan
dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini
kepadanya, siapa tahu.... dapat
meno-longnya....“ Suaranya gemetar dan
makin lirih.
Tanpa disebut namanya pun kakek yang
bijaksana itu sudah tahu siapa yang
dimaksudkan, maka dia menerima lukisan
itu, digulungnya dan dia bangkit berdiri.
“Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat
berjumpa dengan dia. Nah, selamat
ting-gal, Nona dan terima kasih atas
kera-mahanmu telah sudi menyambut aku
sebagai seorang tamu.”
“Aku merasa girang sekali dapat
ber-kenalan dengan seorang seperti
engkau, Paman Pouw. Selamat jalan....
mudah-mudahan kelak kita dapat saling
bertemu lagi.”
Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan
tamu itu, tiba-tiba dia teringat akan pen-jaga
berkumis, maka dia berhenti, me-noleh
sambil tersenyum dan berkata,
“Nona, penjaga berkumis tebal itu
mene-rima pukulan gara-gara
kedatanganku, harap kau suka ingat
kepadanya.”
Syanti Dewi tersenyum dan meng-angguk.
Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru
dia tiba di luar istana, dia sudah disambut
oleh penjaga itu yang memandangnya
dengan penuh perhatian dan sinar matanya
mengandung pertanya-an.
“Siociamu tentu akan memperhatikan
nasibmu.” kata Pouw Toan dan giranglah
penjaga itu. Dengan ramah dia lalu
mengantar Pouw Toan kembali ke
pera-hunya dan tak lama kemudian perahu
yang didayung perlahan-lahan oleh
sastra-wan itu pun meninggalkan Kim-coato.
Sementara itu, Syanti Dewi memang-gil
penjaga dan memesan bahwa hari itu dia
tidak mau menerima tamu lagi.
“Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu
sudah sejak tadi menunggu!” penjaga itu
berkata. Dia yang sudah sering kali
menerima hadiah dari dua orang pemuda
itu tentu saja mencoba untuk membujuk
nona majikannya untuk mau menerima dua
orang pemuda itu. Pemuda she Ouw adalah
pemuda harta-wan yang kaya-raya,
sedangkan pemuda she Ang adalah
sahabatnya, putera seorang pembesar.
Pemuda hartawan dan bangsawan itu
datang dari seberang, dari daratan,
menggunakan sebuah perahu besar yang
mewah milik Ouw-kongcu.
“Biar siapapun juga yang datang, aku tidak
akan menemui mereka. Katakan bahwa aku
sedang tidak enak badan dan tidak dapat
menemui tamu.” Setelah ber-kata demikian,
Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci
pintu kamar dan merebahkan diri di atas
pembaringan, kedua matanya menatap
langit-langit dan membayangkan keadaan
Tek Hoat yang menyedihkan. Timbul
keinginan besar di dalam hatinya untuk
pergi sendiri, me-ninggalkan pulau dan
mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya,
mengobatinya. Akan tetapi, dia
membayangkan pengalamannya yang lalu
dan dia mengeraskan hati. Dia harus
melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus
melihat pemuda itu datang ke pulau ini,
baru dia akan mengambil ke-putusan
apakah dia menganggap baik untuk
melanjutkan hubungan cinta me-reka yang
telah putus. Dia tidak mau menderita lagi,
tidak mau bertepuk ta-ngan sebelah. Dia
hanya mendengar keadaan pemuda itu
Choirul, maret 2008 197
yang menyedihkan, akan tetapi dia belum
melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat
sekarang ter-hadap dirinya.
Dua orang pemuda yang menerima kabar
bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima
mereka karena dia tidak enak badan, tidak
menjadi marah sungguhpun mereka
kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan
mereka juga tidak mau pulang, hanya
menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi
sembuh. Bahkan mereka mengirim buahbuah
dan ma-kanan-makanan lain yang
mereka bawa dari daratan, mereka berikan
kepada Sang Puteri yang katanya sedang
sakit itu melalui para pelayan yang tentu
saja mau menyampaikan semua itu karena
menerima hadiah-hadiah!
Syanti Dewi membiarkan dirinya teng-gelam
dalam lamunan dan makin diingat, makin
beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa
amat sengsara dan tidak bahagia dalam
cintanya, namun dia pun merasa pula
betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama
ini tidak pernah mati, sungguhpun dia
mencoba dengan segala daya upaya untuk
menyatakan kepada diri sendiri bahwa
hubungan cinta mereka telah putus! Maka,
teringat akan semua itu, tak tertahankan
lagi puteri ini me-nangis seorang diri di
dalam kamarnya, menangis sesenggukan
dan menyembunyi-kan mukanya dalam
himpitan bantal yang telah menjadi basah
oleh air matanya.
Betapa menyedihkan melihat kehi-dupan
begini penuh dengan duka dan penderitaan,
kekecewaan dan penye-salan,
kesengsaraan dan hanya kadang sa-ja
diseling sedikit sekali suka yang hanya
kadang-kadang muncul seperti
berkelebat-nya kilat sejenak saja di antara
awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan
dari mana timbulnya?
Jelaslah bahwa duka pun bukan
meru-pakan hal di luar diri kita. Duka tidak
terpisah dari kita sendiri dan kita sendi-rilah
pencipta duka! Kita merasa berduka karena
iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku
merasa kecewa karena dirampas apa yang
menjadi sumber kesenangannya. Karena
merasa di jauhkan dari kesenangan yang
mendatangkan nikmat lahir maupun batin,
maka si aku merasa iba kepada dirinya
sendiri. Pikiran, tumpukan ingatan dan
kenangan, gudang dari pengalamanpengalaman
masa lalu, me-ngenangkan
semua hal-hal yang menimpa diri dan
memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran
seperti berubah menjadi tangan iblis yang
meremas-remas perasa-an hati, maka
terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang
mengenang-ngenang segala hal yang
menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada
duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu
melarikan diri pada hiburan dan sebagainya
untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini
bia-sanya hanya berhasil untuk sementara
saja, karena si duka itu masih ada. Se-kali
waktu kalau pikiran mengenang-ngenang,
akan datang lagi duka itu. Se-baliknya,
kalau kita waspada menghadapi perasaan
yang kita namakan duka itu,
mempelajarinya, tidak lari darinya
me-lainkan mengamatinya tanpa ingin
melenyapkannya, maka duka itu sendiri
akan lenyap seperti awan tertiup angin.
Jus-teru usaha-usaha dan keinginan untuk
menghilangkan duka itulah yang menjadi
kekuatan si duka untuk terus menegakkan
dirinya!
Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau
kita tidak bicara tentang suka atau
kesenangan, karena kesenangan tak
ter-pisahkan dari kesusahan, ada suka
tentu ada duka! Justeru pengejaran
kesenangan inilah yang merupakan sebab
utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal
dan me-ngejar kesenangan, berarti kita
berkenal-an dengan duka, karena duka
muncul kalau kesenangan dijauhkan dari
kita! Kesenangan mendatangkan
pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri
dengan kesenangan, maka sekali yang
menyenang-kan itu dicabut dari kita, akan
menya-kitkan dan menimbulkan duka.
Kesenang-anlah yang membius kita
sehingga kita mati-matian mengejarnya,
dan dalam pengejaran inilah timbulnya
Choirul, maret 2008 198
segala ma-cam perbuatan yang kita
namakan jahat. Dan kesenangan ini pun
merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si
aku yang mengenang dan mengingat-ingat.
Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat,
membayangkan segala pengalaman yang
mendatangkan kenikmatan, maka timbullah
keinginan untuk mengejar bayangan itu!
Kita tak pernah waspada sehingga seperti
tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar
itu, bayangan yang nampak-nya amat
nikmat dan menyenangkan itu, setelah
tercapai ternyata tidaklah se-indah atau
senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran
sudah mengejar kesenangan lain yang lebih
hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi!
Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran
setan dari pe-ngejaran kesenangan yang
tiada habisnya. Kita tidak mau melihat
bahwa di akhir sana terdapat dua
kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau
gagal, dan bosan yang membawa duka lagi
kalau berhasil, dan rasa takut kalau
kehilangan.
Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan,
minta ampun, minta bantuan dan
sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari
rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita
lupa kepada Tuhan, karena pementingan
diri yang berlebihan, me-ngejar kenikmatan
diri sendiri.
Semua ini bukanlah berarti bahwa kita
harus menjauhi atau menolak kenik-matan
hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak
menikmati hidup, berhak se-penuhnya!
Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap
kesenangan itulah yang menye-satkan! Ini
merupakan kenyataan, bukan teori atau
pendapat kosong belaka. Kita harus
waspada dan sadar akan kenyataan ini,
karena kewaspadaan dan kesadaran dalam
pengamatan diri sendiri akan
men-datangkan tindakan langsung
tersendiri yang akan melenyapkan semua
itu!
Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar
Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari
Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang
besar telah berhasil me-ngembangkan
kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal
sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak
Kaisar Kang Hsi meninggal dan
pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung
Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai
menyuram. Kaisar Yung Ceng telah
berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng,
namun dia tidak dapat mencapai keadaan
seperti ketika kekuasaan berada di tangan
Kaisar Kang Hsi.
Hal ini adalah karena banyaknya ter-jadi
pertentangan di dalam keluarga kaisar
sendiri semenjak Kaisar Kang Hsi
meninggal dunia, ditambah lagi dengan
adanya pemberontakan di tempat-tempat
yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja
peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan
Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan terjadi di mana-mana,
pemberontakan kecil-kecilan yang cukup
merongrong kewibawaan pemerintah.
Terutama sekali karena di sebelah dalam
istana sendiri terdapat pertentangan yang
digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi
yang disebut Sam-thai-houw, yaitu Ibu Suri
ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih
mempunyai pengaruh yang besar, dan
terutama sekali karena di antara pembesar
militer banyak yang membantu atau
mendukungnya.Tentu saja pembesarpembesar
itu adalah mereka yang selain
masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke
Tiga ini, juga yang pernah banyak
menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang
memperoleh ke-dudukan tinggi karena jasa
ibu suri. Kaisar sendiri tahu akan sepak
terjang Ibu suri yang kadang-kadang
bertindak sewe-nang-wenang terhadap para
pembesar yang menentangnya dan
dianggap musuh-nya. Akan tetapi Kaisar
Yung Ceng me-miliki kelemahan, yaitu tidak
berani banyak bertindak terhadap keluarga
ang-katan tua. Dia terlalu “berbakti”
terha-dap angkatan tua, hal yang
sesungguhnya hanya menunjukkan
kelemahannya.
Choirul, maret 2008 199
Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terangterangan
Sam-thaihouw yang me-rasa sakit
hati dan menaruh dendam kepada keluarga
puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari
Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es,
memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan
orang-orang kang-ouw yang pandai dan
sakti dalam usaha-nya untuk membalas
dendam kepada ke-luarga itu dan juga
kepada para pembe-sar dan tokoh-tokoh
kang-ouw yang dianggap memusuhinya.
Maka sering kali terjadi pembunuhan yang
aneh dan keji di malam hari terhadap
“musuh” Sam--thaihouw, pembunuhan yang
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang berilmu tinggi. Hal ini selain
menggegerkan kota raja, juga
menggegerkan dunia kang-ouw dan nama
Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut
dan terkenal di antara orang-orang kangouw
sebagai seorang yang amat berbahaya
dan ditakuti.
Kegawatan memuncak dan kemerosot-an
pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling
rendah ketika terjadi pencurian pedang
pusaka keramat dari gudang pusaka
keraton! Sungguh hal ini merupakan
tam-paran bagi istana. Gudang pusaka
meru-pakan tempat yang terjaga dengan
amat ketat, namun ada sebatang pedang
pu-saka yang berada di dalamnya dicuri
orang tanpa ada yang mengetahuinyal
Peristiwa ini disimpulkan oleh para
golongan yang menentang pemerintah
seba-gai bukti-bukti kelemahan, maka
semakin beranilah mereka memperlihatkan
sikap menentang!
Para pembesar mulai gelisah melihat
kelemahan pemerintah. Banyak pembesar
setia yang menasihati kaisar untuk
mengambil tindakan dan bertangan besi,
bukan hanya terhadap pemberontak, akan
tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri.
Namun, Kaisar tetap tidak berani
sembarangan bertindak terhadap
Sam-thaihouw, maka hal ini menimbulkan
kekecewaan di kalangan pembesar.
Mere-ka mulai memasang mata mencaricari
orang yang kiranya dapat mereka
harap-kan untuk dapat menolong kerajaan.
Dan orang itu bukan lain hanyalah
Pangeran Kian Liong! Pangeran ini terkenal
seba-gai seorang pemuda yang amat
bijaksa-na, pandai dalam ilmu sastra dan
sering kali pangeran ini menyamar sebagai
rak-yat biasa untuk menyelidiki kehidupan
rakyat, mendengarkan keluh-kesah
me-reka, kritik-kritik dan usul-usul mereka
untuk kemudian dia lanjutkan dengan
tin-dakan-tindakan yang tepat untuk
merubah keadaan yang memberatkan
rakyat jelata. Karena ini, mana Pangeran
Kian Liong segera terkenal sebagai seorang
pangeran muda yang budiman dan juga
kalau perlu dapat bertangan besi terhadap
pembesar-pembesar yang korup dan
menindas rak-yat.
Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran
ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak
berani sembarangan ber-tindak
terhadapnya, karena selain pange-ran ini
merupakan pangeran yang mem-punyai
harapan menggantikan kaisar, juga diamdiam
pangeran ini selalu dilindungi oleh
tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi!
Memang luar biasa sekali! Banyak tokohtokoh
besar dan partai-partai per-silatan,
tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan
berilmu, bekerja sama melakukan
penjagaan dan pengamatan siang malam
atas diri pangeran ini sehingga ke mana
pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada
tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan
menjaganya, melindunginya tanpa
diketa-hui oleh Si Pangeran itu sendiri!
Oleh karena itu, tidaklah mengheran-kan
kalau para pembesar yang setia kini
menujukan pandang mata mereka kepada
Pangeran Kian Liong dengan penuh
ha-rapan, sungguhpun pangeran itu sendiri
tidak, memperlihatkan ambisi apa-apa
kecuali sebagai seorang pangeran yang
selalu bersikap melindungi rakyat yang
tertindas.
Empat lima tahun telah lewat semen-jak
terjadi keributan di Pegunungan Hi-malaya
karena orang-orang kang-ouw
Choirul, maret 2008 200
memperebutkan Pedang Pusaka Naga
Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung
dengan kelemahan kaisar di kota raja, di
bagian barat mulai lagi timbul
keributan-keributan , yaitu di negara bagian
Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai
oleh pasukan pemerintah Ceng ketika
masih berada di bawah pimpinan
men-diang Kaisar Kang Hsi. Ada kabar
bahwa mulai berdatangan mata-mata dan
berke-lompok-kelompok pasukan kecil dari
luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan
kabarnya pasukan-pasukan Tibet
kewalah-an menghadapi gangguangangguan
kecil ini. Pasukan-pasukan itu
datang dari arah barat dan selatan, dari
arah Negara Nepal dan mungkin juga dari
India.
Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar
matahari mulai nampak di bagian yang
dingin dari dunia itu, yaitu di kaki
Pegunungan Himalaya yang berada di
bagian paling timur dan utara, nampak
seorang dara remaja menuruni lereng
de-ngan sikap yang gembira dan lenggang
seenaknya. Dara ini bertubuh ramping
padat, caranya melangkahkan kaki seperti
seekor rusa, demikian ringannya namun di
balik pakaiannya yang sederhana itu
nampak tubuh yang padat berisi dan
me-ngandung tenaga yang kuat. Wajahnya
manis sekali, wajah yang amat cerah,
secerah matahari pagi. Sepasang mata dan
mulutnya membayangkan kesegaran,
sesegar embun yang bergantung pada
pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang
nampak pada muka, leher dan tangannya
mulus halus putih, seputih salju yang masih
tersisa di puncak gunung yang nampak dari
kejauhan.
Dara cantik manis ini baru berusia kurang
lebih enam belas tahun, seorang dara
remaja yang baru menanjak dewasa,
bagaikan setangkai bunga sedang mulai
mekar. Kedua pipinya yang halus itu
kemerahan seperti buah tomat mulai
ma-sak, dan bibirnya yang menyungging
se-nyum dikulum itu nampak merah delima
dan membayangkan kesegaran tubuh yang
sehat. Biarpun pakaiannya terbuat
dari-pada kain kasar saja dan potongannya
pun sederhana dan kasar, namun tidak
mengurangi kecantikan dara itu, bahkan
kesederhanaan pakaian itu lebih
menonjol-kan kejelitaannya yang wajar dan
aseli. Dara itu sama sekali tidak memakai
per-hiasan, akan tetapi dari jauh dia
nampak seperti memakai sebuah gelang
emas yang cukup besar, sebesar jari
tangannya, gelang emas berbentuk seekor
ular yang meling-kar di pergelangan tangan
kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang
akan me-lihat bahwa “gelang emas” itu
bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar
lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan
baru orang akan tahu bahwa gelang itu
adalah seekor ular aseli, seekor ular hidup!
Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu
seekor ular hidup yang memiliki sisik indah
sekali, kuning keemasan, dengan mata,
kecil merah dan lidah yang hitam!
Melihat seorang dara remaja dengan
pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian
bulu yang melindungi tubuh dari dingin,
melakukan perjalanan seorang diri
seenaknya saja menuruni lereng
Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin
sekali itu, sungguh sudah merupakan hal
yang aneh. Apalagi melihat gelang ular
emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja,
mudah didu-ga bahwa di balik kelembutan
seorang dara remaja yang cantik manis ini
tentu terdapat kekuatan yang hebat,
memba-yangkan seorang dara perkasa
yang tidak jarang muncul di dunia kang-ouw
pada waktu itu. Dugaan ini memang tidak
ke-liru karena dara ini bukan lain adalah Bu
Ci Sian!
Seperti kita ketahui, Bu Ci Sian ada-lah
seorang dara yang sejak muda sekali telah
mengalami hal-hal yang amat he-bat, yaitu
ketika kita mula-mula melihat dia bersama
mendiang kakaknya, yang sebetulnya
adalah seorang tokoh besar selatan
bernama Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun,
melakukan perjalanan di Pegu-nungan
Himalaya dan mengalami banyak hal-hal
yang hebat.
Choirul, maret 2008 201
Akan tetapi, Bu Ci Sian yang pada pagi hari
yang cerah itu menuruni lereng bukit sama
sekali tidak dapat disamakan dengan dara
cilik yang kita kenal empat puluh tahun lalu
itu. Biarpun pada waktu itu Ci Sian telah
merupakan seorang gadis cilik yang penuh
keberanian dan memiliki dasar-dasar Ilmu
silat, akan te-tapi dibandingkan dengan
sekarang, keada-annya sudah jauh lebih
hebat. Sekarang dia merupakan seorang
dara remaja yang berilmu tinggi setelah
digembleng secara hebat dan tekun sekali
oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong
Nilagangga!
Seperti kita ketahui, dara ini terpisah dari
pendekar Suling Emas Kam Hong dan
setelah ditolong oleh See-thian Coa-ong,
akhirnya dia menjadi murid kakek sakti
perantau dari Nepal ini dan dibawa ke
sebuah puncak bukit yang sunyi di mana
dia menggembleng muridnya dengan
berbagai ilmu silat yang aneh-aneh, di
antaranya juga mengajarkan ilmu
menak-lukkan ular-ular kepada muridnya
itu. Ci Sian yang memang suka sekali akan
ilmu silat, belajar dengan tekun sekali setiap
hari, sungguhpun dia merasa amat
kese-pian di tempat sunyi itu dan hatinya
selalu terkenang kepada Kam Hong dan
kepada ayah bundanya yang sedang
di-carinya.
Setelah belajar siang malam selama empat
tahun dan merasa bahwa dia telah memiliki
ilmu yang cukup untuk dapat diandalkan
dalam mencari Kam Hong atau ayah
bundanya sendirian saja, Ci Sian lalu
menyatakan kepada gurunya bahwa dia
ingin pergi turun gunung untuk mencari
Kam Hong dan mencari ayah bundanya.
“Ci Sian, engkau baru saja belajar empat
tahun, dan sungguhpun hampir semua
ilmuku telah kuajarkan kepadamu, akan
tetapi engkau harus melatih dan
mematangkan lagi selama setahun. Aku
telah berjanji kepada Cui-beng Sian-li untuk
mempertandingkan murid kami, yaitu
engkau melawan muridnya. Maka engkau
harus menanti setahun lagi.”
“Suhu, yang berjanji adalah Suhu, dan aku
bukanlah seekor ayam aduan. Menga-pa
selalu Suhu membuat janji-janji aneh seperti
anak-anak itu? Jangan layani dia. Aku
harus turun gunung untuk mencari Paman
Kam Hong atau ayah bundaku, dan kurasa
dengan kepandaian yang kupelajari dari
Suhu ini cudah cukup untuk bekal
perjalananku mencari mereka.”
“Muridku, di dunia ini aku hanya mempunyai
engkau seorang. Kalau bukan engkau yang
menjaga namaku, habis sia-pa lagi? Kalau
setahun kemudian engkau tidak mau
menandingi murid Cui-beng Sian-li,
bukankah nama See-thian Coa-ong akan
menjadi bahan ejekan para penghuni
Lembah Suling Emas dan ke-mudian
menjadi bahan tertawaan seluruh dunia
kang-ouw?”
Ci Sian menarik napas panjang. “Ku-kira
Suhu sudah tidak butuh apa-apa, ternyata
masih membutuhkan nama be-sar! Begini
saja, Suhu. Waktu berlatih yang setahun ini
akan dapat kulakukan dalam perjalanan
mencari orang tuaku. Dan perjanjian antara
Suhu dan Cui-beng Sian-li itu hanya
perjanjian untuk mempertandingkan murid
Suhu dan muridnya, akan tetapi bukan janji
bahwa aku akan datang mencari muridnya!
Jadi, perjan-jian itu berlaku juga untuk dia,
dan muridnyalah yang harus pergi mencari
aku! Nah, kalau sewaktu-waktu dia da-tang,
Suhu katakan saja bahwa aku me-nantinantinya
dan dia boleh mencariku sampai
dapat!”
Menghadapi kebandelan Ci Sian, See-thian
Coa-ong tak berdaya, apalagi me-mang dia
amat sayang kepada muridnya itu dan
maklum betapa tersiksanya dara remaja
seperti Ci Sian untuk hidup ter-asing di
tempat seperti itu bersama dia. Anak itu
dapat bertahan hidup seperti pertapa
kesepian di tempat itu selama empat tahun
sudah merupakan hal yang amat
mengagumkan, dan dia pun tahu bahwa
Choirul, maret 2008 202
dasar ilmu kepandaian Ci Sian sudah lebih
dari cukup untuk dipakai menjaga diri, maka
akhirnya dia pun tidak menahan lebih lanjut
dan memper-bolehkan dara itu turun
gunung!
Demikianlah, pada pagi hari itu, de-ngan
wajah yang cerah dan semangat yang
bernyala-nyala, Ci Sian menuruni bukit dan
tentu saja dia merasa seolah-olah seperti
seekor burung yang baru saja terlepas dari
sangkar di mana dia tekun mempelajari ilmu
selama empat tahun dan di mana dia sering
kali me-nahan-nahan rasa rindunya akan
dunia luar! Kini dia merasa bebas! Dan
kegem-biraan mendebarkan jantungnya
kalau dia teringat akan kemungkinan
bertemu de-ngan Kam Hong! Baru
sekarang dia me-rasa betapa rindunya dia
kepada pende-kar itu! Dan dia pun harus
mencari Toat-beng Hui-to Lauw Sek, yaitu
Lauw-piauwsu untuk menanyakan di mana
dia akan dapat mencari ayah bundanya,
ka-rena dia tahu bahwa piauwsu itulah yang
telah menerima pesan terakhir dari
men-diang kong-kongnya tentang tempat
ayah bundanya. Dan kalau dia sudah tahu
tempat itu, dia akan mencari ayah
bundanya sampai dapat. Apalagi kalau dia
dapat bertemu dengan Kam Hong dan
minta bantuan pendekar itu, dia yakin pasti
akan berhasil menemukan ayah bundanya.
Dengan bayangan-bayangan ini dalam
benaknya, Ci Sian menuruni bukit dengan
hati riang dan penuh harapan.
Akan tetapi, setelah belasan hari dia
mencari-cari di sekitar tempat di mana dia
terpisah dari Kam Hong, dia tidak dapat
menemukan pendekar itu. Bahkan tempat di
mana dia dan Kam Hong ter-asing ketika
terjadi longsor itu, kini telah berubah pula
dan tiada jejak Kam Hong di situ. Dia mulai
menyusuri jalan di mana dia dan Kam Hong
melalui ke-tika mereka berdua
meninggalkan Lhagat. Akhirnya dia
mengambil keputusan untuk mencari Lauwpiauwsu
ke kota Lhagat.
Betapa kagetnya ketika dia tiba di daerah
Lhagat, dia melihat banyak orang
berbondong-bondong mengungsi dan
me-ninggalkan daerah itu. Dari para
pe-ngungsi ini tahulah Ci Sian bahwa
Lha-gat, kota yang berada di perbatasan
antara Tibet, Nepal dan India itu, yang
menjadi tempat pemberhentian para
pe-dagang dan orang-orang yang
melakukan perjalanan dari atau ke tempattempat
tersebut, kini telah diduduki oleh
pasu-kan-pasukan asing yang menyerbu
dari selatan!
Itu adalah pasukan-pasukan yang amat
kuat dari Nepal! Pasukan itu bentrok dan
bertempur dengan pasukan Tibet,
mem-perebutkan daerah Lhagat dan
akhirnya pasukan Tibet dipukul mundur dan
Lhagat pun diduduki oleh pasukan Nepal
yang memang bermaksud untuk terus
menyerbu ke utara dan timur, tentu saja
hendak menundukkan Tibet untuk terus
meng-gempur Tiongkok. Menurut cerita
para pengungsi, berkali-kali pihak tentara
Tibet kena digempur dan menderita
ke-kalahan, mundur dan dikejar musuh
me-masuki daerah Tibet.
Ketika Ci Sian mendengar betapa banyak
orang-orang Tibet dan orang dari
pedalaman telah ditawan oleh pasukan
Nepal, apalagi mendengar keterangan
bahwa Lauw-piauwsu yang dicari-carinya itu
mungkin saja ikut tertawan, dia lalu
melanjutkan perjalanan menuju ke Lha-gat!
Semua pengungsi memberi nasihat agar dia
jangan mendekati Lhagat, apa-lagi seorang
wanita muda cantik seperti dia. Namun,
tentu saja Ci Sian tidak mempedulikan
semua peringatan ini dan dengan cepat dia
melakukan perjalanan menuju ke kota yang
sudah diduduki musuh itu.
Setelah tiba dekat Lhagat, dia berte-mu
dengan serombongan pengungsi lagi yang
membawa berita terakhir dari kota Lhagat.
Dari mereka ini, dia mendengar berita yang
lebih hangat, berita terakhir tentang apa
yang terjadi di daerah itu. Kiranya, menurut
penuturan para pe-ngungsi ini yang terdiri
dari orang-orang lelaki yang nampaknya
kuat karena me-reka adalah para pemuda
Choirul, maret 2008 203
Lhagat yang tadinya ikut pula
mempertahankan kam-pung halaman
mereka dari penyerbu asing, pada waktu itu
kedudukan pasukan Nepal semakin kuat
dengan datangnya bala bantuan lagi dari
Nepal. Pasukan itu bahkan telah berhasil
menggagalkan ban-tuan pasukan Kerajaan
Ceng yang kini telah terperangkap,
terkepung di lembah sebelah timur Lhagat!
Ketika mendengar akan penyerbuan
pasukan Nepal ke da-erah Tibet, Kaisar
Kerajaan Ceng cepat mengirim pasukan
yang terdirl dari lima ribu orang, untuk
membantu pasukan Tibet yang menjadi
negara taklukan Ke-rajaan Ceng, dan untuk
mengusir pasukan Nepal itu. Akan tetapi,
sungguh di luar perhitungan Pemerintah
Ceng bahwa se-kali ini Nepal bersungguhsungguh
dalam serbuan mereka itu
sehingga belum juga pasukan itu berhasil
menyerbu untuk me-rampas kembali
Lhagat, mereka telah terkepung ketika
mereka sedang beristi-rahat di lembah
gunung. Pihak musuh yang mengepung
berjumlah tiga empat kali lebih banyak,
maka pasukan Ceng itu tidak berhasil
membobolkan kepungan dari hanya mampu
bertahan saja.
Berkali-kali pasukan Nepal yang
me-ngurung itu menyerbu ke atas hendak
menghancurkan musuh, akan tetapi
ter-nyata dalam waktu singkat, komandan
pasukan yang pandai dari barisan Ceng
telah dapat menyusun benteng pertahanan
yang kokoh kuat. Oleh karena itu, kini
pasukan Nepal hanya mengurung ketat,
hendak membiarkan pihak musuh mati
kelaparan! Sudah setengah bulan pasukan
yang terjebak itu dikepung, dan karena
pihak Nepal maklum bahwa sewaktu-wak-tu
dapat datang bala bantuan dari Ke-rajaan
Ceng, maka penjagaan di sekitar daerah itu
dilakukan dengan amat ketat.
Setiap orang yang lewat di daerah itu tentu
digeledah dan diperiksa, kalau-ka-lau ada
terselip mata-mata dari pihak musuh. Di
mana-mana terdapat tentara Nepal dan
seperti biasa yang terjadi dalam setiap
huru-hara, dalam setiap peperangan, maka
di daerah pegunungan itu pun terjadi pula
hal-hal yang menge-rikan setiap hari.
Perampokan, perkosaan, pembunuhan,
terjadi setiap saat. Manusia kehilangan
prikemanusiaannya. Yang nampak
hanyalah angkara murka dan di mana-mana
manusia dicekam rasa takut yang hebat.
Biarpun dia masih belum dewasa be-nar,
baru berusia hampir tujuh belas tahun,
namun Ci Sian adalah seorang anak yang
tergembleng oleh keadaan dan memang
pada dasarnya dia cerdik. Dia mengenal
bahaya, maka dia pun meng-ambil jalanjalan
melalui hutan-hutan. Dia sudah
mengenal daerah ini karena ketika dia
berada di Lhagat beberapa tahun yang lalu,
dia sering pergi berburu ke hutan-hutan.
Oleh karena itu, dalam penyelidikannya
untuk memasuki Lhagat dan mencari Lauwpiauwsu,
dia pun me-nyelinap-nyelinap di
antara pohon-pohon di hutan dan tidak
berani sembarangan memperlihatkan
dirinya kepada pasukan Nepal yang berjaga
di mana-mana.
Ketika dia mencoba menyelidiki ke-adaan
pasukan pemerintah Ceng yang terkurung
di lembah gunung kecil itu, dia terkejut
bukan main. Gunung kecil atau bukit di
mana pasukan itu terkurung telah dikelilingi
pasukan Nepal yang ber-sembunyi dan
yang telah mempersiapkan segala macam
jebakan dan barisan pen-dam dengan anak
panah selalu siap di tangan. Pendeknya,
kalau pasukan di lembah itu berani
mencoba untuk mem-bobolkan kurungan
itu, mereka pasti akan dihancurkan! Diamdiam
Ci Sian mencari akal bagaimana
kiranya pasukan itu akan dapat
diselamatkan. Dia teringat akan cerita
kakeknya tentang kepahlawanan, tentang
kegagahan para pendekar jaman dahulu,
tentang perbuatan-perbuatan yang
menggemparkan karena gagah perkasanya.
Ingatan-ingatan itu mendorongnya untuk
melakukan sesuatu guna menolong
pasu-kan yang terkurung, di samping
dorongan rasa bahwa sudah menjadi
tugasnya untuk menolong pasukan
bangsanya yang ter-kurung tak berdaya itu.
Choirul, maret 2008 204
Akan tetapi, ba-gaimana mungkin seorang
dara remaja seperti dia, seorang diri saja,
akan mam-pu menyelamatkan lima ribu
orang tentara yang sudah terkurung tak
berdaya itu? Apa dayanya menghadapi
puluhan ribu pasukan Nepal?
Pagi itu, Ci Sian berjalan di dalam hutan
sambil termenung. Sudah beberapa hari
lamanya dia mencari-cari akal, na-mun dia
tetap tidak dapat menemukan siasat yang
baik bagaimana dia akan dapat menolong
pasukan pemerintah yang terkurung musuh
itu. Hatinya menjadi kesal dan dia yang
makin merindukan Kam Hong karena dia
percaya bahwa kalau Kam Hong berada di
sampingnya, tentu pendekar itu akan dapat
mencari siasat untuk menolong pasukan
yang ter-kepung rapat itu.
Tiba-tiba dara itu berkelebat lenyap dan dia
sudah menyelinap ke belakang sebatang
pohon besar. Gerakannya me-mang cepat
bukan main seolah-olah dia pandai
menghilang saja. Dia mendengar suara
ringkik kuda disusul suara kaki kuda dan
suara manusia mendatangi dari depan!
Tak lama kemudian nampaklah rom-bongan
orang berkuda itu. Yang paling depan
adalah seorang gadis yang cantik, usianya
hanya tentu hanya lebih satu dua tahun
dibandingkan dengan dia. Seorang gadis
yang berbentuk tubuh ramping agak kecil,
wajahnya bulat telur dan cantik manis,
terutama dagunya yang runcing. Melihat
pakaiannya, gadis ini adalah se-orang Han,
akan tetapi dua losin tentara yang
mengawalnya itu jelas bukanlah tentara
kerajaan, melainkan tentara Ne-pal!
Ci Sian bersembunyi dan tidak berani
menampakkan diri, akan tetapi diam-diam
dia merasa heran sekali mengapa ada
seorang gadis bangsanya yang kini dikawal
oleh pasukan Nepal! Kini kuda yang
ditungganggi gadis cantik itu, yang berbulu
hitam dan bertubuh tinggi besar, seekor
kuda yang amat baik, telah tiba di dekat
pohon di belakang mana Ci Sian
bersembunyi. Kuda hitam itu tiba-tiba
meringkik mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi, mendengus-dengus
ke arah pohon besar itu! Jelas bahwa kuda
itu bukan kuda sembarangan, dan agaknya
seekor kuda yang amat terlatih, seperti
seekor anjing yang cer-dik, begitu mencium
bau seorang asing lalu memperingatkan
majikannya! Dan gadis cantik itu agaknya
pun tahu akan ulah kudanya itu, dapat
menduga bahwa di belakang pohon tentu
ada seorang asing atau ada seekor
binatang berbahaya.
“Keluarlah!” bentaknya dan begitu tangan
kirinya bergerak, sebatang piauw kecil yang
memakai ronce merah di ga-gangnya
melucur ke arah belakang ba-tang pohon
itu! Ci Sian terkejut bukan main.
Kehadirannya telah dilihat orang, maka dia
pun cepat mengelak dari an-caman pisau
dan dengan tenang dia lalu keluar dari balik
pohon itu sambil me-mandang dengan sinar
mata marah na-mun penuh ketabahan.
“Orang kejam!” dia membentak sambil
menatap wajah gadis cantik itu. “Apa
salahku maka kau datang-datang
menye-rangku dengan senjata rahasiamu?”
Gadis cantik itu tercengang keheran-an.
Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa
yang mengejutkan kudanya adalah seorang
dara remaja yang cantik jelita! Juga dua
losin pengawalnya semua me-ngeluarkan
seruan kaget dan heran. Mana mungkin ada
seorang dara seperti itu berkeliaran di
daerah ini tanpa pernah dapat nampak oleh
penjaga? Kini semua mata memandang Ci
Sian dengan penuh kecurigaan. Sudah
tersiar berita di ka-langan para tentara
Nepal bahwa Keraja-an Ceng mengirim
seorang penyelidik yang sakti dari kota raja
menuju ke tempat itu, tentu saja dalam
usaha untuk menolong pasukan kerajaan
yang terke-pung itu. Maka, setiap orang
asing di-curigai, apalagi orang-orang Han.
Biarpun Ci Sian hanya merupakan seorang
dara remaja, namun mereka semua tahu
bah-wa wanita-wanita Han, biarpun masih
muda, tak boleh dipandang ringan karena di
Choirul, maret 2008 205
antara mereka banyak yang merupakan
aeorang ahli silat yang amat lihai.
Gadis cantik itu sendiri adalah se-orang
wanita yang agaknya berkepandai-an tinggi,
hal ini terbukti dari sambitan-nya dengan
pisau kecil tadi. Kini gadis itu pun
memandang dengan penuh curiga kepada
Ci Sian, walaupun mulutnya sekarang
tersenyum dan dia menjawab, “Sa-lahmu
sendiri! Orang baik-baik tidak bersembunyisembunyi
seperti seorang pencuri, dan
kudaku ini selalu marah kalau melihat orang
yang memiliki niat buruk di dalam hatinya.
Kemudian dia menggerakkan cambuk
kudanya ke atas sehingga terdengar suara
ledakan nyaring, lalu melanjutkan. “Engkau
tentu seorang mata-mata, karena engkau
berniat buruk maka engkau merasa takut
dan bersembunyi!”
“Siapa takut? Apa yang perlu dita-kuti?” Ci
Sian mengejek. “Aku tidak takut, dan aku
bersembunyi hanya karena enggan bertemu
dengan pasukan yang kabarnya merupakan
orang-orang jahat yang suka merampok,
memperkosa, dan membunuh.”
Gadis cantik itu mengerutkan alisnya dan
memandang marah. “Siapa bilang pasukan
kami begitu jahat?”
Ci Sian tersenyum pahit. “Uhh, masih purapura
bertanya lagi? Apakah matamu buta,
apakah telingamu tuli sehingga engkau
tidak melihat atau mendengar ratap tangis
rakyat di sini? Jangan pura-pura bodoh!”
Wajah yang cantik itu berobah marah.
“Bocah bermulut lancang! Dalam setiap
peperangan tentu saja jatuh korban, itu
sudah jamak! Akan tetapi jangan mengira
bahwa kami membiarkan pasukan
melaku-kan kejahatan, apalagi perkosaan!
Soal menyita barang musuh, atau
membunuh musuh, sudah wajar.”
“Wajar kalau yang disita itu barang musuh
dan kalau yang dibunuh nyawa musuh,
sesama tentara. Akan tetapi ka-lau rakyat
yang tidak tahu apa-apa yang diganggu,
dirampok, dibunuh, wanita-wa-nita
diperkosa, lalu apa bedanya tentara-mu
dengan orang-orang biadab?”
“Bocah sombong bermulut besar!” Gadis itu
memaki dengan marah sekali. “Kau berani
mengeluarkan kata-kata se-perti itu di sini?”
“Mengapa tidak? Apa kaukira aku takut
menghadapi beberapa gelintir an-jing-anjing
pengawalmu ini?”
Para pengawal sudah marah sekali
mendengar ini dan mereka sudah gatalgatal
tangan akan tetapi mereka tidak
berani bergerak sebelum menerima
perin-tah dan agaknya mereka itu tidak
berani mendahului gadis cantik yang
mereka kawal itu.
“Hemm, agaknya engkau memiliki sedi-kit
kepandaian juga maka berani bersikap
lancang. Beranikah engkau melawanku?”
“Kau?” Ci Sian sengaja mengejek dan
memandang rendah. “Biar ada sepuluh
orang seperti engkau aku tidak akan
mundur selangkah pun!”
Diam-diam gadis itu di samplng
ke-marahannya, juga kagum menyaksikan
sikap Ci Sian yang sedemikian tabahnya.
Dia meloncat turun dari atas kudanya,
diturut oleh semua pengawalnya yang
menambatkan kuda-kuda itu pada batang
pohon lalu mereka membentuk sebuah
lingkaran panjang, mengelilinginya dan
agaknya para pasukan itu gembira dapat
menyaksikan dua orang gadis cantik yang
hendak mengadu ilmu itu. Ci Sian
meng-ikuti gerak-gerik mereka itu dengan
sikap gagah dan tenang. Kemudian, gadis
can-tik itu menghampirinya di tengahtengah
lingkaran.
“Slnggg!” Gadis cantik Itu sudah men-cabut
sebatang pedang dari pinggangnya dan
sambil melintangkan pedang di dada, dia
berkata, “Nah, kaukeluarkanlah
senja-tamu!”
Choirul, maret 2008 206
Akan tetapi Ci Sian memang tak pernah
memegang sen jata, bahkan “ge-lang” ular
hidup tadi pun telah dilepas-kannya dan
dibiarkannya merayap pergl k,etika dia
keluar dari tempat sembunyi-nya. Dia
tersenyum dan memandang ca-
.on lawan itu. “Aku tidak pernah mem-.mwa
senjata. Akan tetapi jangan dikira iku takut
kalau engkau membawa pisau dapur itu!”
Mendengar ejekan ini, tentu saja gadis itu
menjadi marah. Dan menyarungkan kembali
pedangnya, melepaskan tali ikat-an sarung
pedang dan melemparkan pe-dang dengan
sarungnya kepada seorang pengawal.
“Lihat, aku telah melepaskan pedangku, kita
sama-sama tidak bersen-jata. Nah,
kausambutlah seranganku ini” Tiba-tiba
gadis cantik itu menyerang dengan pukulan
yang amat cepat. Diam-diam Ci Sian
terkejut melihat betapa cepatnya gadis ini
bergerak dan tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang ahli gin-kang
yang berkepandaian cukup tinggi. Di
samping itu, juga sikap gadis itu yang
menyingkirkan pedangnya mem-buat dia
senang dan berkuranglah keben-ciannya.
Gadis ini betapapun juga telah
membuktikan kegagahannya dan tidak mau
menghadapi lawan bertangan kosong
dengan pedang di tangan! Maka dia pun
cepat mengelak dan membalas. Terjadilah
perkelahian yang seru antara dua orang
dara yang sama cantiknya ini, ditonton oleh
para pengawal yang merasa yakin bahwa
nona mereka akan menang karena mereka
tahu bahwa nona mereka itu memiliki
kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka sendiri!
Akan tetapi, apa yang terjadi seka-rang
membuat semua pengawal menjadi
bengong. Dara remaja itu ternyata bukan
hanya dapat mengimbangi nona mereka,
bahkan perkelahian itu terjadi amat seru
dan cepat, membuat mata mereka
berku-nang dan sukar bagi mereka untuk
meng-ikuti gerakan dua orang dara itu yang
seolah-olah menjadi dua bayangan yang
menjadi satu! Dan lebih hebat lagi, kini nona
mereka mulai terdesak dan mundur terus
sambil mengelak atau menangkis serangan
lawan yang bertubi-tubi datang-nya itu!
“Serbuuuu....!” Melihat nona mereka
terdesak, kepala pasukan segera memberi
aba-aba dan dua puluh empat orang
pengawal itu sudah bergerak memperke-tat
kepungan dan hendak mengeroyok Ci Sian.
Tangan mereka sudah meraba gagang
senjata karena mereka itu merasa ragu
sendiri apakah mereka harus
mengeluar-kan senjata kalau hanya
mengeroyok se-orang dara remaja saja!
Di lain pihak, ketika melihat betapa para
pengawal itu bergerak maju, Ci Sian lalu
mempercepat gerakannya, tu-buhnya
mencelat ke samping dan dari samping
tangannya menampar ke arah pundak
lawannya. Gerakannya itu demikian aneh
dan cepatnya sehingga biarpun lawannya
dengan cepat pula mengelak, tetap saja
pundaknya kena diserempet oleh telapak
tangan Ci Sian.
“Plakk!” Tubuh wanita cantik itu
ter-pelanting dan dia tentu terbanting roboh
kalau saja dia tidak cepat menggulingkan
tubuhnya ke atas tanah.
Ci Sian mesnnggosok-gosok kedua tela-pak
tangannya, lalu dari tenggorokannya keluar
suara melengking tinggi yang membuat
para pengawal itu tersentak kaget dan tidak
ada yang bergerak sa-king heran dan
kagetnya karena tiba-tiba saja ada getaran
aneh pada telinga mereka, getaran yang
seperti menembus jantung! Sejenak
keadaan menjadi sunyi sekali dan
mendadak terdengar suara hiruk-pikuk
ketika kuda-kuda mereka yang ditambat
pada batang pohon-pohon itu meringkik dan
meronta-ronta, kemudian memberon-tak
dan terlepas dari ikatan lalu melarikan diri
dengan panik! Semua pengawal terkejut
dan bingung, akan tetapi segera terdengar
suara mendesis-desis dan dari empat
penjuru datanglah ratusan ekor ular menuju
ke arah Ci Sian! Kiranya ular-ular inilah
Choirul, maret 2008 207
yang tadi membuat se-mua kuda lari
ketakutan.
Kini ular-ular itu kini telah berkum-pul,
ratusan ekor banyaknya, besar kecil dengan
bermacam-macam warna, di se-keliling kaki
Ci Sian, bahkan seekor ular emas yang
kecil kini merayap naik mala-lui kaki Ci Sian
dan terus ke atas, Ci Sian memegangnya
dan memakai ular emas itu di lengan
tangan kirinya seperti gelang. Ular itu
melingkar di situ, persis sebuah gelang
emas yang berkilauan! Setelah itu, Ci Sian
menggerakkan bibir-nya, dan terdengarlah
suara melengking lain dan kini ular-ular itu
bergerak me-nyerang ke arah para
pengawal! Gegerlah para pengawal itu
diserang oleh ratusan ekor, ular yang
sebagian besar adalah ular-ular beracun!
Wanita cantik tadi kini sudah bangkit dan
dia pun menjadi terke-jut dan jijik bukan
main, akan tetapi aneh sekali, tidak ada ular
yang merayap ke arahnya. Semua ular
merayap ke dua puluh empat orang
pengawal itu.
Terjadilah pemandangan yang lucu dan
juga mengerikan. Para pengawal itu
keta-kutan, dan mereka berusaha untuk
meng-halau ular-ular itu dengan golok
mereka, akan tetapi karena banyaknya ularular
itu, mereka menjadi ngeri dan bingung.
Memang ada beberapa ekor yang mati kena
bacokan, akan tetapi hampir semua
pengawal telah kena digigit, bahkan ada
seorang pengawal gendut yang roboh
karena tubuhnya dililit oleh seekor ular
berwarna hitam!
Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan
muncullah seorang wanita cantik yang
dikawal oleh sedikitnya seratus orang
perajurit! Wanita itu usianya ten-tu sudah
ada tiga puluh lima tahun, wa-jahnya cantik,
hidungnya mancung dan bentuk tubuhnya
masih padat dan ram-ping. Dari pakaiannya
saja mudah dike-tahui bahwa dia adalah
seorang panglima wanita, dengan pakaian
panglima yang dilindungi oleh lapisan baja
di sana-si-ni, dengan wajah cantik yang
bengis dan sepasang mata yang tajam
penuh se-mangat! Wajah wanita ini pun
membukti-kan bahwa dia adalah seorang
wanita ber-bangsa Nepal, namun
rambutnya disang-gul ke atas seperti model
sanggul puteri-puteri bangsa Mancu!
Rombongan ini datang berkuda dan kini
dengan gerakan yang amat cekatan wanita
itu meloncat turun dari atas kudanya dan
dengan alis berkerut dia memandang ke
arah dua puluh empat orang pengawal yang
masih repot menghadapi amukan ular-ular
itu, kemudian dia menoleh dan memandang
kepada gadis cantik yang masih berdiri
dalam keadaan kaget dan ngeri, kemudian
menoleh ke arah Ci Sian dan sepasang
matanya seperti mengeluarkan sinar
ber-api.
Wanita itu lalu mengeluarkan sesuatu dari
saku bajunya dan nampaklah sinar
bercahaya keluar dari batu hijau yang
dipegangnya itu. Kemudian, dengan
ta-ngan kirinya dia menyebar bubuk putih
ke arah ular-ular itu dan.... ular-ular yang
tadinya mengamuk itu seketika diam tak
bergerak liar lagi, hanya meng-geliat-geliat
seperti lumpuh! Wanita itu lalu memandang
kepada Ci Sian, kemudi-an mengangkat
tangannya sambil mem-bentak, “Bunuh
siluman ular ini!”
Para perajurit yang seratus orang
banyaknya itu sudah mengeluarkan busur
dan anak panah, siap untuk menghujankan
anak panah kepada Ci Sian.
“Tahan, Ibu....!” Tiba-tiba gadis can-tik itu
berseru dan dia pun meloncat ke dekat Ci
Sian sehingga tentu saja para perajurit tidak
berani melepaskan anak panah, takut kalau
mengenai puteri pang-lima mereka itu.
“Siok Lan, siluman ular ini telah
mengganggumu dan merobohkan para
pe-ngawal, apalagi yang kaulakukan ini?”
“Tidak, Ibu. Akulah yang mula-mula
membuat dia terpaksa melawan. Kami
berjumpa di sini dan aku menantangnya
berkelahi. Aku hampir kalah dan para
pengawalku, tanpa kuperintah, maju
Choirul, maret 2008 208
hen-dak mengeroyok, maka dia lalu
memang-gil ular-ularnya. Bukan salahnya,
Ibu, maka harap kau suka ampunkan dia.”
Panglima wanita yang gagah perkasa itu
mengerutkan alisnya, kelihatan mera-gu
sejenak, akan tetapi setelah lama beradu
pandang mata dengan puterinya, agaknya
karena sayangnya kepada puterinya, dia
mengalah, “Hemm, baiklah, akan tetapi
kalau dia kelak memperlihatkan sikap tidak
semestinya, aku akan mem-bunuhnya!”
Gadis yang bernama Siok Lan itu ke-lihatan
girang sekali. Dia memegang tangan Ci
Sian sambil tersenyum dan berbisik, “Lekas
kauhaturkan terima kasih kepada Ibuku.”
dan dia mengguncang tangan Ci Sian.
Melihat sikap gadis be-kas lawannya ini
demikian baik, dan karena melihat
terbukanya kesempatan baginya untuk
menyelidiki keadaan pasu-kan Nepal dan
mencari Lauw-piauwsu, maka Ci Sian yang
sebetulnya tidak me-ngenal takut itu lalu
mengangguk ke arah panglima itu.
“Terima kasih, Bibi.”
Akan tetapi panglima wanita itu ber-sikap
tidak peduli.
“Siapa namamu?” Siok Lan berbisik.
“Namaku Ci Sian.” jawab Ci Sian tanpa
menyebutkan nama keturunannya karena
dia tidak ingin membuka atau
memperkenalkan nama orang tuanya yang
dirahasiakan.
“Ci Sian, lekas kauusir ular-ularmu itu.” Siok
Lan berkata, nadanya penuh permintaan.
Ci Sian memandang ke arah ular-ular itu.
Dia tahu bahwa wanita perkasa itu tadi telah
menyebar garam yang membuat ularularnya
menjadi jinak dan lumpuh, juga
amat menderlta. Maka dia lalu
mengeluarkan saputangannya, dan
beberapa kali dia mengebut ke arah ularular
itu dengan pengerahan sin-kang.
Bu-buk putih yang mengenai tubuh ular dan
yang tersebar di sekeliling ular itu ter-kena
kebutan saputangannya lalu beter-bangan
ke mana-mana. Melihat ini, pang-lima
wanita itu nampak terkejut sekali, akan
tetapi dia hanya mengerutkan alis dan tidak
berkata apa-apa, sungguhpun dia tahu
bahwa dara penaluk ular itu sungguhsungguh
amat lihai Ilmu kepan-daiannya.
Ular-ular itu tidak menderita lagi setelah
semua bubuk putih diter-bangkan bersih
dari tempat itu, dan be-gitu Ci Sian
mengeluarkan suara meleng-king halus,
ular-ular itu lalu bergerak pergi dari tempat
itu, meninggalkan be-berapa ekor ular yang
telah mati dalam pertempuran tadi, seperti
sekumpulan pasukan pulang dari medan
perang meninggalkan mayat kawan-kawan
mereka!
“Terima kasih, Ci Sian, kau baik sekali.
Sekarang kauobatilah pengawalpengawalku
yang luka oleh gigitan ular-ular
berbisa itu.” kata pula Siok Lan. Ci Sian
memandang ke arah dua puluh empat
orang pengawal yang mengerang-erang
kesakitan itu dan dia pun meng-angguk, lalu
menghampiri.
“Tidak perlu, aku bisa mengobati mereka!”
Tiba-tiba wanita perkasa itu berkata, nada
suaranya tidak senang. “Siok Lan, apa sih
sukarnya menolong mereka?
Kaupergunakan batu bintang hijau ini untuk
menyedot racun dari tubuh mereka!” kata
Sang Ibu dan ta-ngannya bergerak. Batu
berkilauan itu melayang ke arah Siok Lan
yang me-nyambut dan menerimanyya
dengan cekatan sekali, menggunakan
tangan kanannya. Dia menoleh kepada Ci
Sian sambil terse-nyum.
“Adik Ci Sian, kaulihatlah betapa lihainya
ibuku!” Dan dia pun menghampiri para
pengawal itu, menempelkan sebentar batu
hijau itu pada luka dan sungguh
menakjubkan sekali, dalam waktu
bebera-pa detik saja semua racun telah
disedot oleh batu bintang hijau itu dan
mereka semua tertolong, hanya menderita
luka kecil bekas gigitan yang tentu saja
Choirul, maret 2008 209
tidak ada artinya lagi karena racunnya telah
lenyap.
Tentu saja Ci Sian memandang de-ngan
kagum dan diam-diam dia juga heran atas
kelihaian wanita yang menjadi ibu Siok Lan
itu. Ketika mengembalikan batu hijau itu
kepada ibunya, Siok Lan ber-kata, suaranya
mengandung kemanjaan, “Ibu, aku suka
bersahabat dengan Adik Ci Sian yang lihai
ini, aku akan mengajaknya menjadi tamu di
tempat tinggal kita. Boleh bukan?”
Panglima itu mengerutkan alisnya, lalu
mengerling ke arah Ci Sian sambil berkata
singkat. “Sesukamulah, akan te-tapi jangan
suruh dia main-main dengan ular lagi, aku
tidak akan mau mengam-puninya lain kali!”
Setelah berkata demt-kian, dengan cekatan
sekali walaupun dia berpakaian perang,
wanita itu meloncat ke atas punggung
kudanya dan memberi tanda kepada
pasukannya untuk pergi dari situ.
Siok Lan tersenyum memandang kepa-da
Ci Sian. “Ibuku hebat, bukan?”
Ci Sian mengangguk, bukan hanya untuk
menyenangkan hati sahabat baru-nya ini,
melainkan sesungguhnya dia pun
menganggap wanita tadi hebat! Dan dia
merasa suka kepada Siok Lan, karena dia
melihat hal-hal yang baik pada diri gadis ini.
Pertama, Siok Lan tidak mau melawannya
yang bertangan kosong dengan senjata, hal
ini sudah membuktikan kega-gahannya, dan
ke dua, Siok Lan malah mintakan ampun
baginya kepada ibunya, yang tentu saja
bermaksud menyelamat-kannya dari
bahaya maut, sungguh pun dia sendiri tadi
sama sekali tidak takut menghadapi
ancaman hujan anak panah. Dan hal itu
saja sudah membuat Siok Lan patut
menjadi sahabatnya, di sam-ping
keuntungan baginya untuk memasuki
Lhagat dan mencari Lauw-piauwsu.
Setelah menyuruh para pengawalnya
mengumpulkan kembali kuda yang tadi
melarikan diri karena takut ular, Siok Lan
lalu mengajak Ci Sian berkuda me-nuju ke
Lhagat. Dia memberi seekor kuda kepada
Ci Sian dan mengajak dara itu mendahului
para pengawal menuju ke Lhagat, karena
pengawal-pengawalnya selain masih luka
dan kaget juga terpak-sa mereka
boncengan karena tidak semua kuda dapat
mereka kumpulkan kembali. Hal ini saja
sudah menimbulkan rasa suka dalam hati
Ci Sian. Sudah jelas bahwa Siok Lan
merupakan bekas lawan yang tidak mampu
menandinginya, dan kalau dia
menghendaki, tentu dengan mudah dia
dapat mencelakakan puteri panglima itu,
apalagi kalau melakukan perjalanan berdua.
Akan tetapi Siok Lan mengajak dia
melakukan perjalanan bersama, berdua
saja, hal ini menunjukkan betapa Siok Lan
sudah percaya sepenuh-nya kepadanya!
Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota
Lhagat tentu saja Ci Sian dapat memasuki
kota itu dengan mudah, bahkan ketika dia
dan Siok Lan lewat berkuda, para penjaga
cepat memberi hormat yang tentu saja
ditujukan kepada puteri pang-lima itu.
Siok Lan membawa sahabat barunya itu ke
dalam gedung besar yang tadinya menjadi
tempat tinggal kepala daerah Lhagat. Kini,
setelah pasukan Nepal menguasai Lhagat,
kota itu menjadi se-macam benteng dan
gedung itu dipakai oleh panglima bala
tentara Nepal yang melakukan penyerbuan
ke daerah Tibet, yaitu panglima wanita yang
kebetulan bertemu dengan Ci Sian itu, ialah
ibu dari gadis cantik bersama Siok Lan.
Setelah tinggal di dalam gedung di kota
Lhagat itu sebagai tamu dan saha-bat Siok
Lan, kemudian mereka berdua bercakapcakap
panjang lebar, barulah Ci Sian
mengerti mengapa Siok Lan suka
kepadanya dan bersahabat dengannya.
Kiranya Siok Lan adalah seorang gadis
peranakan, ibunya seorang puteri Nepal
sedangkan ayahnya seorang berbangsa
Han yang menurut Siok Lan adalah seorang
pendekar besar yang tak pernah dilihatnya
dan juga Ibunya tidak pernah menye-but
siapa nama pendekar itu.
Choirul, maret 2008 210
“Aku hanya diberi nama bangsamu di
samping nama Nepal, yaitu Siok Lan, dan
aku sendiri tidak tahu siapa nama she
(nama keturunan) Ayah kandungku itu,”
kata gadis itu dengan nada kesal. “Ibu amat
keras hati dan tidak pernah mau bercerita
tentang Ayah kandungku. Bahkan ketika
Ayah tiriku masih hidup, dia pun tidak
pernah mau bercerita tentang Ayahku yang
sebenarnya.”
“Ayah tirimu....?” Ci Sian bertanya, heran
dan juga tertarik.
Siok Lan memegang tangan Ci Sian dan
menarik napas panjang. “Ibu mela-rang aku
bercerita tentang ini, dan aku pun tidak,
pernah bicara kepada orang lain tentang
riwayat kami ini, akan tetapi aku suka
kepadamu dan kau kuanggap adik sendiri,
Ci Sian. Dengarlah Ibuku adalah seorang
wanita perkasa, akan tetapi bukan
bangsawan, melainkan puteri seorang
pendeta yang sejak kecil mempelajari ilmuilmu
silat. Ibu menikah dengan seorang
pangeran Nepal, dan karena ibu pandai
ilmu perang, maka dia lalu menduduki
pangkat dalam kemiliter-an. Ketika aku
terlahir dan sudah agak besar, aku hanya
tahu bahwa Ibu adalah isteri pangeran
Nepal. Akan tetapi aku sejak kecil memakai
pakaian anak bangsa Han. Kemudian Ibu
mengatakan bahwa pangeran yang menjadi
suaminya itu adalah Ayah tiriku, sedangkan
Ayah kan-dungku adalah seorang pendekar
Han. Hanya itulah! Ibu tidak mengatakan
siapa pendekar itu dan apakah dia masih
hidup....”
Siok Lan tampak berduka, kemudian
melanjutkan. “Karena wajahku adalah wajah
wanita Han, juga kulitku, maka aku merasa
terasing dan tidak mempu-nyai teman. Aku
tekun belajar ilmu silat dari Ibu, akan tetapi
aku tidak pernah hidup bahagia di kalangan
Istana Nepal. Ada bisik-bisik bahwa aku
adalah anak haram, bahwa aku adalah
berdarah bang-sa lain dan sebagainya.
Maka, ketika Ibu memimpin tentara
menyerbu Tibet, aku ikut! Dan aku pun ikut
bertempur! Dan di sini aku bertemu dengan
engkau, betapa menyenangkan hati!”
Ci Sian yang kini mengerti mengapa gadis
itu suka bersahabat dengan dia, yang
dianggap merupakan orang sebangsa, dan
pula juga sama-sama suka ilmu silat,
bahkan puteri panglima itu agaknya ka-gum
akan ilmu silatnya yang lebih tinggi, lalu
bertanya sambil lalu, “Akan tetapi mengapa
tentara Nepal menyerbu ke sini?” dan
dengan hati-hati ditambahnya, “Dan
mengapa pula pasukan Kerajaan Ceng
kabarnya dikurung di lembah?”
Sepasang mata itu nampak bercahaya
penuh semangat, seperti mata ibunya yang
menjadi pangllma itu. “Tentu saja! Sejak
dahulu Tibet memiliki hubungan batin yang
erat dengan Nepal, dan boleh dibilang Tibet
merupakan daerah yang tunduk kepada
Nepal. Akan tetapi se-menjak Tibet diduduki
dan ditaklukkan oleh Kerajaan Ceng di
timur, sikap Tibet tidak bersahabat, bahkan
sering memu-suhi Nepal. Kedudukan Nepal
agak kacau oleh seorang koksu yang
ternyata seorang jahat yang hendak
memberontak, maka selama itu kami diam
saja. Kini, setelah kami dapat menghimpun
kekuatan, di bawah pimpinan Ibuku kami
menyerbu untuk menghajar orang-orang
Tibet. Eh, tahu-tahu pasukan Kerajaan
Mancu di negerimu itu mencampuri, tentu
saja kami tidak tinggal diam.”
Mendengar ini, Ci Sian yang tidak ingin
mencampuri urusan perang, juga yang tidak
tahu apa-apa tentang politik, diam saja.
Bahkan dia berpura-pura me-naruh simpati
karena dia ingin memper-oleh kepercayaan
agar dia mendapat ke-sempatan menyelidiki
dan mencari Lauw-piauwsu, satu-satunya
orang yang agak-nya dapat menunjukkan di
mana adanya ayah kandungnya.
Kota Lhagat memang sudah mulai ramai
dan biasa kembali setelah kini pe-rang tidak
lagi terjadi di daerah itu. Pasukan Tibet
telah didesak mundur te-rus sampai jauh
masuk ke daerah Tibet sendiri, sedangkan
pasukan yang tidak berapa kuat itu masih
Choirul, maret 2008 211
menanti-nanti bantuan dari timur, dari
Kerajaan Ceng. Sementara itu, pasukan
Ceng yang diku-rung di lembah bukit juga
tidak mampu menyerbu keluar, maka
keadaan untuk sementara dapat dikatakan
tenang, sung-guhpun sewaktu-waktu
diharapkan akan meledak pertempuran
besar lagi, baik dari pasukan yang
terkurung itu kalau menyerbu keluar
kepungan maupun kalau datang bala
bantuan dari Kerajaan Ceng. Sementara itu,
panglima wanita itu telah mendatangkan
bala bantuan pula dari Nepal untuk
sewaktu-waktu mengadakan pukulan
terakhir, menyerbu sampai ke ibu kota
Tibet.
Karena keadaan menjadi tenang kem-bali,
kota Lhagat mulai ramai, para pe-dagang
mulai berani berdagang, para pemburu
mulai lagi bekerja dan para pe-tani mulai
lagi berladang. Juga ternyata kini oleh Ci
Sian betapa sebenarnya Siok Lan tidak
membohong, bahwa Ibu gadis itu amat
keras terhadap pasukan-pasukannya dan
setiap kali terdapat gangguan pasukan yang
menyeleweng dan melaku-kan kejahatan,
terutama perkosaan, tentu akan dihukum
berat. Namun, tentu saja kadang-kadang
sering kali terjadi pelang-garanpelanggaran.
Maklum dalam keada-an
perang di mana hawa napsu merajale-la
menguasai hati semua manusia.
Ketika dia ditanya oleh Siok Lan, Ci Sian
juga hanya mengatakan bahwa namanya Ci
Sian bahwa dia pun tidak per-nah melihat
ayah bundanya dan bahwa dia tadinya ikut
dengan kakeknya dan kakeknya itu tewas
ketika mereka meng-adakan perantauan di
daerah Himalaya. Diceritakannya bahwa dia
bertemu dengan Yeti dan kemudian dia
berguru kepada seorang pertapa aneh yang
berjuluk See--thian Coa-ong.
Mendengar disebutnya nama ini, Siok Lan
berseru girang, “Ah, sudah kuduga bahwa
engkau tentu murid pertapa aneh itu! Tentu
Ibu pun sudah menduganya, maka dia mau
mengampunimu!”
“Eh, kau mengenal Guruku?”
“Siapa tidak pernah mendengar nama Seethian
Coa-ong? Dia itu orang Nepal, akan
tetapi kata Ibu, sejak muda dia merantau
dan bertapa di daerah Himala-ya. Ilmu
kepandaiannya hebat sekali, kata Ibu, dan
agaknya, Ibu mengingat dialah maka Ibu
bersikap lunak terhadap-mu, Ci Sian. Kalau
tidak demikian, kira-nya engkau tentu telah
dibunuhnya. Ibu keras sekali terhadap
musuh. Ceritakan kepadaku tentang orang
aneh itu, Adikku, kabarnya dia itu.... eh,
kawin dengan ular?”
Ci Sian tertawa. “Mana ada manusia kawin
dengan ular, Enci Lian? Suhu itu manusia
biasa, hanya dia suka bertapa dan
mempelajari ilmu, dan.... kesukaannya yang
lain adalah mengadu ilmu, ilmu apa saja!
Memang dia ahli menjinakkan ular, akan
tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia kawin
dengan ular!”
“Soal ilmu perularan ini di Nepal tidak asing
lagi, Adik Sian. Akan tetapi aku sendiri
selalu takut, ngeri dan jijik terhadap ular.
Bukankah binatang itu jahat dan berbahaya
sekali?”
“Tidak lebih jahat dan berbahaya daripada
manusia, Enci Lian.”
“Mengapa kau berkata demikian?”
“Ular tidak pernah pura-pura. Sebagai
sahabat dia setia dan sebagai musuh dia
jujur dan tidak curang seperti manusia.”
Mereka lalu bicara tentang ilmu silat dan
dengan sejujurnya karena dia pun mulai
merasa suka kepada Siok Lan, Ci Sian
memberi petunjuk dalam hal ilmu silat
kepada teman barunya ini sehingga
hubungan mereka semakin akrab.
Setelah tinggal selama beberapa hari di
Lhagat, Ci Sian mendengar berita yang
amat menggelisahkan semua orang,
terutama sekali golongan atas, para
pim-pinan pasukan Nepal, yaitu bahwa ada
Choirul, maret 2008 212
seorang tokoh besar, seorang jenderal yang
berilmu tinggi dari Kerajaan Ceng hendak
datang melakukan penyelidikan ke Lhagat
dengan tugas untuk menolong dan
membebaskan pasukan Ceng yang
terke-pung di lembah itu. Bahkan Siok Lan
membuka rahasia siasat ibunya yang
menjadi panglima bahwa pengepungan
pasukan itu memang sengaja dilakukan
untuk memancing datangnya tokoh-tokoh
Kerajaan Ceng untuk kemudian ditangkap
dan dijadikan sandera untuk memaksa
Kerajaan Ceng menarik mundur semua
pasukannya dan tidak melakukan “campur
tangan” terhadap gerakan Nepal untuk
menyerbu dan menguasai Tibet.
Ci Sian mulai dipercaya oleh Siok Lan,
bahkan panglima wanita yang ber-nama
Puteri Nandini, ibu Siok Lan itu juga tidak
begitu memperhatikan Ci Sian yang
dianggapnya hanya seorang dara kang-ouw
yang baru turun dari perguruannya, apalagi
ketika dia mendengar dari puteri-nya bahwa
Ci Sian adalah murid See-thian Coa-ong
seperti yang memang te-lah diduganya
semula ketika dia melihat dara itu pandai
menguasai ular-ular.
Begitu sukanya Siok Lan kepada saha-bat
barunya ini, dan begitu percayanya
sehingga tidak jarang Ci Sian diajak oleh
puteri panglima itu melakukan perondaan
disekitar Lhagat untuk meneliti keadaan
dalam tugasnya membantu pekerjaan
ibunya. Pada suatu senja, dua orang dara
remaja itu melakukan perondaan dan
seperti biasa kalau melakukan perodaan
seperti itu, mereka menggunakan ilmu
kepandaian mereka, berloncatan ke atas
genteng-ganteng rumah untuk melihat
kalau-kalau ada penjahat beraksi, atau
untuk mendengar-dengarkan kalau-kalau
mereka akan dapat menangkap rahasia
apakah Jenderal Ceng atau tokoh pandai
pihak musuh sudah ada yang
menyelun-dup ke dalam kota Lhagat.
Selagi dia menggunakan gin-kang de-ngan
cepat berkelebat di atas genteng-genteng
rumah, tiba-tiba Ci Sian berhen-ti karena
telinganya menangkap rintihan atau keluhan
wanita yang sedang keta-kutan, di
antaranya tangis seorang bayi! Melihat Ci
Sian berhenti lalu mendekati sahabatnya
yang berdiri di atas genteng dan kemudian
dia mengikuti Ci Sian yang meloncat ke
atas genteng rumah di sebelah kiri, lalu
keduanya berjongkok di atas sebuah kamar
rumah darimana terdengar keluhan dan
tangis bayi itu.
“Kalau engkau tetap keras kepala dan
menolak, bayimu ini akan kukirim ke neraka
lebih dulu!” terdengar suara bentak-an
tertahan, agaknya orang yang mem-bentak
itu pun tidak ingin membuat ga-duh.
“Jangan.... ohh, Jangan bunuh Anak. ku....“
terdengar suara seorang wanita sambil
terisak ketakutan.
Ci Sian cepat membuka genteng dan
mereka berdua mengintai ke dalam. Apa
yang mereka lihat di sebelah dalam kamar
itu membuat keduanya terbelalak dengan
muka berubah merah dan pandang mata
penuh kemarahan! Seorang laki-laki tinggi
besar bermuka bengis, pakaiannya
menunjukkan bahwa dia seorang perwira
rendahan dari pasukan Nepal, sedang
mencengkeram baju seorang anak kecil
berusia kurang dari setahun, meng-angkat
anak itu dengan tangan kirinya ke atas
sedangkan tangan kanannya yang
memegang sebatang golok besar itu
di-ancamkan ke leher anak itu yang seolaholah
hendak disembelihnya! Anak itu
meronta-ronta lemah dan menangis.
Se-orang wanita muda, paling banyak dua
puluh dua tahun usianya, berwajah manis
dan bertubuh montok karena masih
menyusui, berlutut dengan air mata
bercu-curan dan kedua tangan
menyembah-nyembah minta diampuni.
“Engkau masih menolak kehendakku?”
bentak laki-laki itu bengis.
“Aku mau.... ah, aku mau.... lepaskan
Anakku....“ Wanita itu menangis sambil
Choirul, maret 2008 213
dengan tangan gemetar mulai
menanggal-kan bajunya.
Melihat ini, perwira rendahan itu ter-tawa,
melemparkan anak itu ke atas
pembaringan, menancapkan goloknya di
atas meja dan dengan buas dia menubruk
wanita itu lalu memeluk dan menciuminya
penuh nafsu. Wanita itu, demi kese-lamatan
anaknya, hanya merintih dan menangis,
tidak berani menolak atau melawan lagi.
Tentu saja Ci Sian dan Siok Lan ma-rah
bukan main. Akan tetapi sebelum dua orang
dara ini mampu melakukan sesuatu, tibatiba
jendela kamar itu jebol dan dari luar
melayang sesosok tubuh yang gerakannya
ringan sekali. Tahu--tahu di situ telah berdiri
seorang pria berpakaian perajurit Nepal
akan tetapi wajah orang ini tidak dapat
nampak jelas dari atas genteng. Perwira
yang sedang menciumi wanita itu dan
tangannya mu-lai merobeki pakaian
korbannya, terkejut dan kelihatan marah.
Akan tetapi, sebe-lum dia mampu
mengeluarkan suara, tangan kiri perajurit itu
bergerak dan terdengar suara benda pecah
ketika tangan itu menampar dan mengenai
ke-pala perwira itu! Tubuh perwira itu
terpelanting dan tewas seketika! Wanita itu
terbelalak ketakutan, lalu menghamplri
anaknya yang masih menangis, mendekap
anaknya sambil menangis sesenggukan.
Perajurit yang tubuhnya tidak seberapa
besar itu mengeluarkan sekantung uang
dan menaruh kantung itu ke atas meja.
Terdengar suaranya lembut, suara dalam
bahasa daerah yang tidak kaku. “Jangan
takut, aku akan menyingkirkan mayat.
Sebaiknya engkau bawa pindah anakmu
dari Lhagat, dan uang ini dapat
kaupergunakan untuk biaya.” Setelah
berkata demikian, perajurit itu memon-dong
tubuh yang sudah tewas itu, ke-mudian
meloncat dengan gerakan yang amat
tangkas keluar kamar melalui jen-dela.
Akan tetapi sebelum ia melompat itu, dia
menengadah ke atas, seolah-olah dapat
memandang dua orang dara yang berada di
atas genteng! Wajahnya tidak dapat
nampak jelas, akan tetapi Ci Sian terkejut
sekali melihat sepasang mata yang
mencorong seperti mata naga,
mengingatkan dia akan mata dari pende-kar
sakti Suling Emas atau Kam Hong!
“Lekas.... kita kejar dia! Dia mencu-rigakan
sekali, aku mau tahu siapa perajurit itu!”
Bisik Siok Lan dan kedua orang dara ini
cepat melayang turun dari genteng dan
ketika mereka melihat tubuh perajurit yang
memanggul mayat itu ber-lari cepat, mereka
segera mengejarnya.
Akan tetapi, betapa kaget hati mere-ka
ketika melihat bahwa perajurit itu dapat
berlari cepat sekali! Mereka ber-dua sudah
mengerahkan seluruh gin-kang mereka,
namun tetap saja dalam waktu singkat
perajurit itu telah lenyap, seolah-olah dapat
terbang atau pandai menghi-lang! Tentu
saja kedua orang dara ini menjadi
penasaran. Mereka adalah dua orang dara
yang memiliki kepandaian silat tinggi,
sedangkan yang dikejar hanya seorang
perajurit biasa, yang ma-lah sedang
memanggul tubuh perwira yang tewas itu,
namun ternyata mereka tidak mampu
mengejarnya! Dengan pena-saran sekali
Siok Lan mengajak Ci Sian mencari-cari,
namun hasilnya nihil. Pera-jurit yang
memanggul mayat itu lenyap. Bahkan
setelah Siok Lan memerintahkan pasukan
untuk membantunya, tetap saja tidak dapat
menemukan perajurit itu.
Akhirnya mereka merasa putus harap-an
dan duduk beristirahat dengan hati
mengandung penuh penasaran. “Dia itu
pasti seorang mata-mata.” kata Siok Lan.
“Tidak mungkin ada seorang perajurit biasa
yang memiliki ilmu kepandaian seperti itu!”
“Memang dia lihai sekali.” Ci Sian
membenarkan. “Cara dia dengan sekali
tampar membunuh perwira itu dan ketika
dia melarikan diri. Betapapun, kita harus
mengaguminya, karena dia telah meno-long
wanita yang sengsara itu.”
Choirul, maret 2008 214
Siok Lan mengerutkan alisnya. “Dia
lancang! Dia telah membunuh seorang
perwira pasukan kami dan dia tidak
ber-hak!”
“Akan tetapi, Enci Lan, engkau tidak adil!
Bukankah perwira itu cabul dan jahat
sekali? Andaikata orang itu tidak
membunuhnya, aku sendiri tentu turun
tangan membunuhnya!” Ci Sian yang
ber-watak jujur itu berkata terus terang.
“Memang aku sendiri pun sudah ingin turun
tangan. Akan tetapi, engkau harus ingat
bahwa penjahat itu adalah seorang perwira,
maka dia tunduk kepada hukum dan
disiplin.
“Mengapa harus orang lain yang
meng-hukumnya, apalagi kalau orang lain
itu agaknya adalah mata-mata musuh?”
“Betapapun juga, sekarang terbukti lagi
bahwa orang-orangmu jahat-jahat, Enci
Lan. Perwira itu sungguh berhati binatang,
bahkan seperti iblis jahatnya, patut sekali
dia dibunuh sampai sepuluh kali!”
Siok Lan menarik napas panjang. “Aahh,
begitulah perang. Menurut ilmu perang yang
kupelajari dari Ibuku, me-mang perang
selalu mendatangkan akibat-akibat seperti
itu! Pasukan yang berada dalam perang,
selalu terancam nyawanya, penuh dengan
dendam dan rasa takut, penuh dengan
kebencian terhadap musuh. Hal ini baik
sekali untuk semangat pasu-kan. Pula,
mereka itu jauh dari keluarga, jauh dari
isteri sehingga rata-rata men-jadi lemah
kalau melihat wanita. Nah, semua itu
mendorong timbulnya perbuat-an-perbuatan
seperti yang kita lihat, Adik Sian.”
“Jadi, menurut anggapanmu, perbuatan itu
tidak salah dan sudah sepatutnya? Apakah
engkau tidak membayangkan bagaikana
seandainya engkau yang men-jadi wanita
itu, Enci yang baik?” Biarpun nada suaranya
halus, namun penuh ejekan dan
kemarahan.
Siok Lan tersenyum dan menyen-tuh lengan
sahabatnya. “Simpan kemarah-anmu, Adik
Ci Sian. Aku tadi sudah bilang bahwa aku
sendiri akan membu-nuhnya kalau tidak
didahului oleh mata-mata itu! Aku hanya
menceritakan ke-adaan yang sebenarnya,
bukan melindunginya atau membelanya.
Oleh karena itu, Ibu mengeluarkan
peraturan keras dan disiplin. Akan tetapi,
sudah tentu saja kadang-kadang terjadi
pelanggaran oleh orang-orang yang lemah
batinnya dan dan hal ini adalah lumrah.
Kurasa di seluruh dunia pun terjadi hal-hal
yang sama di waktu terjadi perang. Akan
te-tapi, kalau jangan ada satu dua orang
tentara yang dikuasai nafsu itu melakukan
pelanggaran lalu engkau memberi cap
bahwa semua pasukan Nepal seperti itu!
Buktinya, aku sendiri adalah puteri
pang-lima pasukan Nepal yang berkuasa di
sini, akan tetapi aku menentang keras
perbuatan jahat itu.”
Kini mengertilah Ci Sian dan dia pun
mengangguk-angguk. Diam-diam dia
me-rasa kagum karena biarpun usia Siok
Lan masih muda, paling banyak setahun
lebih tua daripadanya, namun sudah
memiliki pengetahuan yang luas.
“Sekarang, apa yang hendak kaulaku-kan,
Enci Lan?”
“Aku akan melaporkan kepada Ibu. Perajurit
itu amat mencurigakan dan melihat
kelihaiannya, tentu dia seorang tokoh besar
Kerajaan Ceng, atau.... siapa tahu, dia
malah jenderal yang diberitakan akan
datang ke sini itu....” Lalu dia menghela
napas panjang dan berkata, “sa-yang.... kita
tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.”
“Ah, kurasa tidak mungkin dia se-orang
tokoh besar, apalagi jenderal. Biarpun aku
juga tidak dapat melihat wajahnya dengan
jelas, namun gerak-geriknya menunjukkan
bahwa dia adalah seorang pria yang masih
muda, atau setidaknya, belum tua benar.”
Siok Lan mengangguk. “Apa anehnya
seorang jenderal perkasa dan tokoh besar
Choirul, maret 2008 215
yang masih muda? Ibuku sendiri seorang
wanita, dan belum tua benar, namun dia
telah dipercaya untuk memimpin pasukan
yang menyerbu ke sini dan menjadi
pang-lima.”
Tiba-tiba datang seorang perwira me-lapor
bahwa ada seorang perajurit yang
mencurigakan kelihatan di luar kota
Lha-gat. Mendengar ini, Siok Lan dan Ci
Sian lupa akan kelelahan tubuh mereka
yang semalam suntuk tidak tidur itu dan
cepat mereka lalu pergi ke tempat yang
ditunjukkan itu.
Ketika mereka mengintai, memang benar
ada seorang perajurit yang berjalan
perlahan sambil menundukkan kepala.
Karena mereka melihat dari jauh, dari
belakang, maka mereka pun tidak tahu
apakah benar perajurit itu yang mereka lihat
semalam. Akan tetapi, menurut laporan
penyelidik, perajurit itu baru saja mengubur
mayat di lereng bukit itu, maka tidak salah
lagi tentulah perajurit itu yang telah
membunuh perwira dan yang mereka kejarkejar.
“Mari kejar dia!” Siok Lan berseru dan Ci
Sian sudah melompat keluar dari balik
pohon dan mengerahkan gin-kang untuk
mengejar. Karena memang kepan-daian Ci
Sian lebih tinggi setingkat, maka dia yang
lebih dulu lari dan Siok Lan mengejar di
belakangnya. Tiba-tiba perajurit itu
menoleh. Sejenak saja, dan kembali Ci Sian
melihat sinar mata mencorong, maka dia
pun tidak ragu-ragu lagi. Itulah orang yang
mereka cari-cari. Mereka berdua mengejar
terus, akan tetapi kini perajurit itu pun
melari-kan diri, sedemikian cepat larinya
se-hingga sebentar saja dua orang dara
perkasa itu telah kehilangan jejaknya!
“Keparat! Dia menghilang lagi!” Siok Lan
memaki sambil mengepal tinju ke-tika
mereka berdua tiba di luar sebuah hutan
dan tidak tahu ke mana lenyapnya perajurit
yang mereka kejar itu. “Mari kita mencari
terus!”
Ci Sian juga merasa penasaran. Tentu saja
dia tidak mempunyai keinginan se-perti Siok
Lan yaitu menangkap atau menyerang
perajurit itu. Akan tetapi dia ingin sekali
bertemu dan melihat wajah perajurit itu dan
mengetahui apakah benar dia itu adalah
mata-mata Kerajaan Ceng, terutama
apakah benar dugaan Siok Lan bahwa dia
itu adalah seorang tokoh besar atau
jenderal yang didesas-desuskan itu. Maka
mereka lalu melaku-kan pengejaran dan
Siok Lan yang sejak kecil diajar ilmu perang
dan sudah ber-pengalaman itu dapat
mengikuti jejak orang itu dengan melihat
daun-daun ke-ring yang berserakan atau
jejak-jejak yang halus di atas tanah.
Menjelang tengah hari, tibalah mereka di
tepi sungai. Siok Lan yang menjadi
pemburu jejak itu berlari di depan
se-dangkan Ci Sian mengikuti dari
belakang. Di tepi sungai itu nampak sebuah
perahu dan seorang pengail ikan sedang
duduk di ujung perahu memegang joran
pancing. Mereka cepat berlari menghampiri
dan melihat bahwa pengail itu adalah
seorang pemuda remaja yang sedang tekun
me-mancing. Wajah pemuda itu sebetulnya
tampan, akan tetapi ketika menoleh
ke-pada mereka, nampak betapa sepasang
matanya itu juling dan mulutnya agak
menyerong, ujung kiri ke bawah dan ujung
kanan ke atas. Cacat pada mata dan mulut
ini tentu saja membuat wajah-nya yang
berkulit putih itu dan berbentuk tampan itu
menjadi buruk dan menggeli-kan.
“Heeii, apakah engkau melihat se-orang
perajurit lewat di sini?” Siok Lan bertanya
dengan napas agak terengah-engah karena
dia tadi berlari-lari.
Pemuda itu memandang dengan mata
julingnya, lalu menjawab bersungut-su-ngut.
“Kalian ini mengganggu saja! Ikan-ikan
pada lari mendengar kalian membikin
bising. Sejak pagi aku tidak melihat seorang
pun kecuali kalian dan sungguh sialan ikanikan
yang sudah mulai mendekati umpan
kini beterbangan pergi lagi!”
Choirul, maret 2008 216
“Kalau ikan-ikan dapat terbang, kepa-lamu
pun dapat kubikin terbang!” Siok Lan yang
merasa kecewa dan gemas itu me-ngomel,
tangan kanannya menghantam ujung batu
di tepi sungai itu. “Krakkk!” Ujung batu itu
pecah berantakan ter-kena tamparan
tangannya yang berkulit halus itu. Pengail
itu melongo dan muka-nya menjadi semakin
buruk, apalagi kini tangan kirinya mengusap
dahi dan ter-nyata tangannya itu kotor
sehingga mu-kanya menjadi corengmoreng.
“Am.... ampunkan.... saya....” katanya
gemetar dan joran pancing di tangannya itu
kini menggigil seperti kalau umpan-nya
disambar ikan.
“Nah, jangan main-main sekarang. Katakan
apakah engkau tidak melihat seorang lakilaki
lewat di sini? Seorang yang berpakaian
perajurit?”
“Ti.... tidak.... tidak ada.... tidak ada orang
lain....”
“Berani sumpah!”
“Saya berani sumpah.... tidak ada orang lain
di sini.... kecuali saya sendiri, Nona....”
Dengan hati mengkal Siok Lan lalu
melanjutkan pengejarannya, menyusuri tepi
sungai itu. Dia tidak melihat betapa Ci Sian
tersenyum geli dan sekali lagi Ci Sian
menoleh ke arah pengail itu yang
melanjutkan pekerjaannya dengan tekun.
Setelah lewat tengah hari dan sama sekali
tidak menemukan jejak perajurit itu, dengan
hati kecewa dan penasaran sekali Siok Lan
lalu mengajak Ci Sian pergi dari situ dan
ketika mereka lewat di tepi sungai yang tadi,
perahu Si Pe-ngail itu sudah tidak nampak
lagi. Agak-nya Si Pengail merasa jemu
karena tidak berhasil dan pindak ke tempat
lain.
Siok Lan mengajak Ci Sian menemui ibunya
dan melaporkan semua peristiwa tentang
perajurit aneh yang membunuh perwira itu.
Panglima Nandini marah sekali. Cepat dia
memanggil pembantu-nya dan
memerintahkan agar memperkeras tindakan
terhadap anak buah yang mela-kukan
kejahatan, dan juga agar lebih memperketat
penjagaan dan menambah penyelidik untuk
menangkap mata-mata yang menyamar
sebagai perajurit itu dan untuk menangkap
setiap orang mata-mata yang berani
menyusup ke Lhagat.
Ci Sian diam-diam merasa kagum sekali
kepada mata-mata yang menyamar sebagai
perajurit itu dan dia mengambil keputusan
untuk ikut menyelidiki, bukan sekali-kali
untuk melaporkan atau mence-lakakan
mata-mata itu, melainkan untuk belajar
kenal karena dia tahu bahwa mata-mata itu
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Dan dia pun sudah dapat mendengar
bahwa Lauw-piauwsu kini mendekam di
penjara sebagai seorang tawanan penting
karena ternyata Lauw-piauwsu ikut pula
menentang pe-nyerbuan pasukan Nepal
dan malah me-mimpin orang-orang untuk
melakukan perlawanan ketika pasukan
Nepal menyer-bu Lhagat. Oleh karena
itulah maka dia dianggap musuh dan kini
ditahan dalam penjara yang dijaga ketat
sehingga sukar-lah bagi Ci Sian untuk dapat
menolongnya. Mengharapkan pertolongan
dari Siok Lan dia belum berani, karena
melihat betapa Lauw-piauwsu dianggap
musuh maka jangan-jangan dia sendiri
malah akan dicurigai. Maka dia menanti
saat baik untuk dapat menyelamatkan
piauwsu itu.
Beberapa hari telah lewat tanpa ada
peristiwa penting dan mata-mata yang
menyamar sebagai perajurit itu agaknya
telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Karena tidak terjadi peristiwa penting, maka
keadaan di Lhagat kembali menjadi tenang
dan orang-orang berani melanjut-kan
pekerjaan sehari-hari dengan tente-ram.
Siok Lan dan Ci Sian setiap hari masih saja
meronda, namun tidak pernah memergoki
sesuatu yang mencurigakan. Pada suatu
pagi, Siok Lan menyatakan kepada Ci Sian
bahwa dia akan pergi menyelidiki
Choirul, maret 2008 217
serombongan pemburu yang kabarnya
sedang melakukan perburuan di sebelah
bukit yang penuh dengan hutan-hutan lebat
di mana banyak terdapat binatang-binatang
buruan. Mendengar ini, Ci Sian menjadi
gembira. Dia membutuh-kan hiburan dan
pergantian keadaan, dan memang dia
sendiri pun suka berburu.
Siok Lan yang sudah dipesan oleh ibunya
agar berhati-hati, telah memper-siapkan
sepasukan pengawal. Akan tetapi dia ingin
bebas bersama Ci Sian, maka dia hanya
memerintahkan para pengawal untuk
menyusul ke bukit itu, sedangkan dia sendiri
bersama Ci Sian telah mendahului naik
kuda dan membalapkan kuda mereka
keluar dari Lhagat menuju ke bukit itu,
sebuah bukit yang tidak jauh letaknya dari
bukit di mana terdapat lembah tempat
pasukan musuh dikurung.
Siok Lan adalah seorang gadis yang sejak
kecil digembleng oleh ibunya sen-diri,
dengan ilmu silat dan ilmu perang sehingga
dia memiliki keberanian yang tidak kalah
oleh laki-laki yang gagah perkasa. Apalagi
kini ada Ci Sian di sampingnya, yang dia
tahu memiliki ilmu kepandaian yang lebih
tinggi daripadanya dan boleh diandalkan,
maka tentu saja dia menjadi semakin
berani. Dengan memba-lapkan kuda, dua
orang dara itu tiba di kaki bukit dan
memandang ke atas. Bukit itu memang
penuh dengan hutan dan terkenal sebagai
bukit yang dihuni oleh banyak binatang
buas, menjadi tempat yang baik sekali bagi
para pemburu, di samping, tentu saja, juga
amat berbahaya karena di situ masih
banyak terdapat harimau-harimau yang
besar dan ganas.
“Mari, Adik Sian!” Siok Lan berkata dengan
gembira dan dia sudah membedal kudanya
naik ke bukit memasuki hutan lebat. Ci Sian
juga menjadi gembira sekali dan dengan
cepat dia mengikuti sahabatnya itu.
Ternyata hutan itu selain lebat sekali, juga
jalannya kecil melalui jurang-jurang yang
curam. Namun, karena Siok Lan adalah
seorang ahli menunggang kuda, maka dia
tidak takut dan memba-lapkan kudanya
menyusup di antara po-hon-pohon,
melompati semak belukar dan berlari cepat
di tepi jurang yang me-ngerikan.
“Heii, Enci Lan, hati-hatilah! Bebe-rapa kali
Ci Sian memperingatkan saha-batnya itu
yang dianggap bersikap lengah di
tempatnya berbahaya seperti itu. Namun
Siok Lan hanya menjawab dengan suara
ketawa panjang dan terpaksa Ci Sian juga
membedal kudanya untuk mengikuti karena
dia tidak mau kalau sampai terpisah dari
sahabatnya itu di tempat yang asing ini.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang
disusul auman menggetarkan jantung dan
dari balik semak-semak belukar ke-luarlah
seekor harimau yang besar. Kuda yang
ditunggangi Siok Lan terkejut dan
ketakutan, meringkik keras dan
mengang-kat kedua kaki depan ke atas lalu
meronta dan membedal ke depan!
“Enci Lian, lompatlah....!” Ci Sian berseru
kaget dan cepat mengejar dengan
membalapkan kudanya, tidak
mempeduli-kan harimau yang masih
menggeram dahsyat itu. Namun Siok Lan
tidak mau melompat turun, berusaha
menguasai kudanya yang kabur dan panik
penuh rasa takut itu.
Seekor kuda yang sudah ketakutan amatlah
berbahaya kalau ditunggangi. Kuda yang
panik itu berlari dengan ka-cau dan tidak
melihat lagi rintangan di depannya.
Memang sebaiknya kalau dapat melompat
turun dari atas punggung se-ekor kuda yang
lari ketakutan seperti itu. Akan tetapi Siok
Lan adalah seorang dara yang keras hati.
Sejak kecil dia sudah mahir menunggang
kuda, maka ki-ni pun dia tidak mau
mengalah dan dia merasa sanggup untuk
menguasai kembali kudanya yang kabur
ketakutan itu. De-ngan menarik kendali
kuda dia hendak mengekang dan memaksa
kudanya untuk berhenti. Kuda itu meringkik
dan berdiri di atas kedua kaki belakang,
mendengus dan meringkik marah karena
rasa nyeri pada mulutnya, kemudian begitu
Choirul, maret 2008 218
kendali itu mengendur, dan meloncat ke
depan dan tentu saja tubuhnya melayang
turun karena di depannya adalah jurang!
“Enci Lan....!” Ci Sian menjerit ketika
melihat betapa kuda itu bersama Siok Lan
terjatuh ke dalam jurang!
Akan tetapi pada saat itu, dari tepi jurang
sebelah kiri menyambar sinar hitam kecil
dari seuntai tali yang melun-cur dengan
amat cepatnya ke bawah, ke arah tubuh
Siok Lan yang melayang di atas punggung
kudanya dan disusul teriak-an seorang lakilaki
yang nyaring. “Cepat tangkap tali ini!”
Tali itu ternyata merupakan laso yang
meluncur cepat sekali dan tahu-tahu sudah
melaso tubuh Siok Lan dari atas. Kalau
dara itu tidak cepat menangkap tali yang
menjiratnya, tentu lehernya akan terjirat dan
sentakan itu tentu membahayakan
nyawanya. Untung baginya, dia mendengar
teriakan itu dan cepat dia melepaskan
kendali kuda dan menangkap tali yang
menjirat tubuhnya, maka ketika luncuran
tubuhnya tertahan oleh lasso itu, lehernya
tidak terjerat dan dia dapat menahan
dengan kekuatan kedua tangannya! Kini
tubuhnya tergan-tung pada tali lasso itu.
Ci Sian sudah melompat turun dan berlari
menghampiri pemuda yang meme-gang
ujung tali di mana Siok Lan ber-gantung di
bawah sana. Tanpa diminta, tanpa
mengeluarkan kata-kata, dia pun membantu
pemuda itu menarik tali per-lahan-lahan dan
akhirnya tubuh Siok Lan dapat ditarik keluar
dari dalam jurang, sementara kudanya terus
meluncur turun dan terdengar suara
gedebukan mengeri-kan ketika akhirnya
tubuh kuda itu menimpa dasar jurang tentu
saja hancur dan tewas!
Siok Lan agak menggigil ketika dia dapat
ditarik ke tepi jurang. Sejenak dia
memandang ke dasar jurang, kemudian
menoleh kepada pemuda itu. Dia
ter-cengang karena pemuda itu ternyata
adalah seorang pemuda tampan dan
gagah, biarpun pakaiannya biasa dan kasar
saja dan sikapnya amat sederhana.
Seorang pemuda dusun atau seorang
pe-muda pemburu.
“Terima kasih, engkau telah
menye-lamatkan nyawaku.” kata Siok Lan
ke-pada pemuda itu yang kelihatan tersipu
malu.
“Ah, hanya kebetulan saja aku dapat
menyelamatkanmu, Nona. Aku girang
bahwa engkau demikian cekatan dapat
menangkap tali lassoku.” kata pemuda itu
sederhana.
“Kepandaianmu hebat sekali!” kata Ci Sian
memuji.
Pemuda itu memandang kepada Ci Sian,
kemudian menunduk dan meman-dang tali
lasso di tangannya, lalu men-jawab dengan
sikap wajar, “Tali lasso ini? Ah, Nona, aku
adalah seorang pembu-ru dan akhir-akhir ini
banyak pedagang yang membutuhkan
binatang-binatang hidup, maka kami para
pemburu hanya mempelajari ilmu melempar
lasso untuk dapat menangkap binatang
hutan hidup-hidup. Baru saja aku sedang
mengintai dan membayangi seekor kijang
untuk kutangkap dengan lasso ini ketika aku
melihat Nona ini terjatuh dengan kuda-nya
ke dalam jurang.”
“Jadi engkau adalah seorang di antara para
pemburu yang sedang memburu binatang di
bukit ini?” Siok Lan bertanya sambil
memandang tajam.
“Benar, Nona. Kami berkemah di puncak
bukit. Aku she Liong bernama Cin.... dan
sungguh amat mengherankan bertemu
dengan dua orang dara remaja di tempat
seperti ini. Tidak tahu siapa-kah Ji-wi dan
hendak ke mana....?”
“Enci ini adalah puteri panglima pa-sukan
Nepal....”
Siok Lan cepat memandang kepada Ci Sian
penuh teguran, akan tetapi Ci Sian sudah
terlanjur bicara sehingga dia tidak dapat
Choirul, maret 2008 219
mencegah lagi sahabatnya itu
memperkenalkan dirinya. Sementara itu,
pemuda pemburu itu nampak terkejut dan
cepat-cepat dia menjura dengan hormat.
“Ah, harap Nona sudi memaafkan, karena
tidak mengerti....“
“Sudahlah, engkau telah menyelamat-kan
aku dan aku berterima kasih kepada-mu.
Sekarang antarkan kami ke perke-mahan
para pemburu, aku ingin melihat keadaan
mereka.” kata Siok Lan.
Mereka bertiga lalu menyusup-nyusup di
antara pohon-pohon menuju
keper-kemahan itu. Kuda tunggangan Ci
Sian dituntun oleh pemburu muda itu.
Akhirnya tibalah mereka di perkemahan
para pem-buru. Ternyata di situ berkumpul
tujuh belas orang pemburu yang semua
terdiri dari laki-laki yang kasar dan kuat.
Akan tetapi begitu mendengar dari Liong
Cin bahwa Siok Lan adalah puteri panglima
pasukan Nepal, para pemburu itu ber-sikap
hormat. Melihat keadaan mereka yang
betul-betul memburu binatang, de-ngan
hasil-hasil buruan, mati atau hidup,
dikumpulkan di perkemahan mereka. Siok
Lan percaya dan tidak menaruh curiga.
Setelah menerima hidangan mereka yang
berupa panggang daging-daging binatang
buruan, Siok Lan dan Ci Sian berpamit.
Mereka diantar oleh Liong Cin dan se-ekor
kuda diberikan oleh mereka kepada Siok
Lan. Ketika hendak berpisah, Siok Lan
melepaskan seuntai kalung dari le-hernya,
sebuah kalung dengan hiasan bunga teratai
emas dihias permata, dan menyerahkan
kalung itu kepada Liong Cin.
“Sebagai tanda terima kasihku atas budi
pertolonganmu, terimalah kalungku ini.”
katanya singkat.
Liong Cin menerimanya dan Siok Lan lalu
membedal kudanya meninggal-kan pemuda
itu, diikuti oleh Ci Sian, dan dipandang oleh
Liong Cin yang masih berdiri bengong
dengan kalung itu di tangannya.
“Eh, Enci Lan, dia itu gagah dan tampan,
ya?” kata Ci Sian ketika dia berhasil
menjajarkan kudanya di samping
“Apa? Siapa?” Siok Lan nampak ter-kejut
karena agaknya dia sedang mela-mun.
“Aih, siapa kauberi hadiah menggoda.
“Hushh! Aku memberi hadiah karena dia
telah menyelamatkan nyawaku! Itu
merupakan suatu kenyataan dan bukankah
sudah sepatutnya kalau aku memberi
hadiah kepadanya? Jangan kau mengira
yang bukan-bukan!”
“Ihh, siapa yang mengira bukan-bu-kan?
Aku pun hanya mengatakan yang
sebenarnya. Bukankah dia memang
tam-pan dan dia gagah karena sudah
meno-longmu? Kaukira aku menyangka
Enci Lan?”
Siok Lan cemberut dan membalapkan
kudanya. Ci sian mengejar sambil tertawa.
“Enci Lan, jangan marah dong! hanya mau
bilang bahwa dia tentu se-nang sekali
memiliki kalung yang biasa kaupakai di
lehermu.”
Siok Lan menahan kudanya, lalu menoleh,
memandang kepada sahabatnya itu. “Eh,
apa maksudmu?”
Ci Sian tertawa. “Maksudku engkau tahu
sendiri, hi-hik!”
“Eh, anak nakal! Engkau genit, ya? Kucubit
bibirmu....!” Siok Lan meraih dengan
tangannya untuk mencubit, Ci Sian
mengelak dan melarikan kudanya, dikejar
oleh Siok Lan. Dua orang dara itu
berkejaran sambil bersendau-gurau,
tertawa-tawa dan akhirnya mereka
me-masuki kota Lhagat dengan selamat.
Siok Lan memberi laporan kepada ibunya
ten-tang para pemburu yang dikatakannya
adalah pemburu-pemburu tulen dan orang
baik-baik. Para pengawal yang terpaksa
balik kembali ketika mereka bertemu
Choirul, maret 2008 220
dengan dua orang dara yang berkejaran itu,
tidak melihat apa-apa. Atas pesan Siok Lan,
Ci Sian juga tidak mau bicara tentang
pemburu muda yang telah me-nyelamatkan
sahabatnya itu kepada orang lain, Siok Lan
sendiri hanya secara sing-kat menceritakan
kepada ibunya bahwa kudanya kaget
melihat harimau dan membawanya terjun
ke jurang, akan tetapi seorang di antara
para pemburu itu telah menyelamatkannya
dengan menggunakan tali lasso.
Mendengar ini, Puteri Nandini terkejut juga,
akan tetapi akhirnya dia menganggukangguk
dengan alis berkerut.
“Lain kali engkau harus hati-hati. Dan
bagaimanapun juga, kita harus menyuruh
penyelidik mengamat-amati para pemburu
itu. Seorang pemburu mampu menolong
dengan lasso seperti itu, cukup aneh dan
mencurigakan.
“Ah, Ibu terlalu curiga kepada semua orang
pandai. Kalau memang dia itu ber-niat
buruk dan kalau dia itu mata-mata musuh,
tentu dia sudah mengenalku dan mana
mungkin mata-mata musuh mau
menyelamatkan puteri panglima
musuh-nya?” Ucapan ini dapat diterima oleh
panglima wanita itu, maka kecurigaannya
terhadap para pembantu pemburu itu pun
banyak berkurang.
Sunyi sekali malam itu, namun para
penjaga berjaga-jaga penuh kewaspadaan
di sekeliling bukit yang terkurung itu. Baru
kemarin pagi, ketika matahari baru timbul,
ada penjaga-penjaga di bagian barat bukit
itu melihat adanya bayangan-bayangan
orang berkelebat dan seperti beterbangan
saja cepatnya naik ke bukit. Mereka tidak
tahu bagaimana ada orang-orang mampu
menyusup melalui penjaga-an mereka.
Ataukah bayangan sosok tubuh itu bukan
bayangan manusia? Para penjaga sudah
menghujankan anak panah ke arah
bayangan-bayangan itu, akan tetapi tak ada
yang berhasil. Anak-anak panah itu seperti
mengenai bayangan-bayangan saja! Oleh
karena itu, malam ini juga diadakan
penjagaan ketat setelah terjadinya peristiwa
itu.
Pasukan yang bertugas menjaga de-ngan
anak panah di tangan telah siap dan setiap
beberapa jam sekali pasukan ini diganti
agar mereka tidak sampai kelelahan dan
kurang waspada. Menjelang tengah malam,
dari atas bukit nampak ada cahaya berkedip
dan cahaya ini lalu meluncur turun ke bukit.
Melihat ini, pa-ra penjaga sudah siap
menyambut karena tidak mungkin ada
cahaya turun tanpa dibawa orang. Setelah
agak dekat, dari jauh para penjaga dapat
melihat bahwa cahaya itu adalah sebatang
obor yang bernyala. Hal ini menimbulkan
keyakinan dalam hati mereka bahwa
memang ada orang yang berlari turun
membawa obor itu.
“Siap....!” bisik komandan pasukan panah.
Para penjaga itu sudah mencabut anak
panah dan menyiapkan anak panah pada
busur masing-masing.
Kini dari cahaya obor itu dapat nam-pak
bahwa yang melarikan obor memang benar
seorang manusia yang bergerak ringan dan
cepat sekali. “Berhenti!” Tiba-tiba komandan
jaga membentak.
Akan tetapi, pembawa obor itu malah
melemparkan obornya ke arah para
pen-jaga. Tentu saja keadaan menjadi
geger.
“Serang!” Komandan memberi aba-aba dan
puluhan batang anak panah meluncur ke
arah tempat di mana orang tadi nam-pak.
Setelah melemparkan obornya, tentu saja
keadaan di mana orang itu berdiri menjadi
gelap dan tidak nampak lagi orang itu.
Kiranya orang itu, yang memi-liki gerakan
amat gesitnya, telah menyeli-nap ke dalam
kegelapan malam, menjauhi penerangan
yang ada di tempat penjaga-an, dan dapat
menyusup pergi selagi para penjaga
menjadi panik.
Akan tetapi karena bayangan itu te-lah
lenyap, para penjaga tidak dapat berbuat
Choirul, maret 2008 221
lain kecuali melakukan penjagaan semakin
ketat agar jangan ada lagi orang dari atas
bukit yang terkurung itu dapat meloloskan
diri. Sementara itu, bayangan tadi dengan
sangat cepat telah berlari seperti terbang
saja di antara pohon-pohon dan menuju ke
kota Lhagat!
Dan malam itu terjadi geger di ge-dung
yang menjadi tempat tinggal Sang
Panglima, yaitu Puteri Nandini! Tanpa
dilihat oleh seorang pun penjaga yang
menjaga gedung itu dengan ketat, seso-sok
bayangan manusia menyelinap dan
memasuki kamar kerja Sang Panglima
wanita itu, dan setelah menggeledah
sepuasnya, baru dia meloncat keluar sambil
membawa beberapa buah benda yang amat
penting. Kebetulan sekali pada saat itu,
Puteri Nandini melakukan ronda dan
telinganya yang amat tajam itu dapat
menangkap suara tidak wajar ini. Dengan
gesit, seperti seekor burung walet saja,
panglima ini memakai pakaian biasa
ka-rena dia hanya meronda di gedung
tem-pat tinggalnya sendiri, meloncat ke atas
genteng. Sungguh kebetulan sekali, pada
saat itu, maling yang memasuki kamar
kerjanya itu baru saja melayang naik.
“Berhenti!” bentak Puteri Nandini. Akan
tetapi bayangan itu hendak melon-cat pergi
dan sekali menggerakkan ta-ngan,
panglima ini sudah menyerang bayangan itu
dengan lemparan senjata ra-hasianya yang
amat berbahaya, yaitu segenggam jarum
yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
batang. Jarum-jarum halus itu menyambar
seperti anak-anak panah kecil, lembut
sekali sehingga tidak nampak, hanya
sinarnya saja berkelebat, dan seluruh tubuh
maling itu telah dijadikan sasaran, dari mata
sampai ke lutut kaki! Akan tetapi, betapa
kaget hati Sang Panglima ketika dengan
amat mudahnya, bayangan itu meloncat ke
samping dan dengan kebutan lengan baju,
jarum-jarumnya runtuh semua ke atas
genteng!
“Mata-mata busuk, menyerahlah eng-kau
atau mati!” bentak Puteri Nandini dan kini
dia menyerang dengan tubrukan seperti
seekor harimau betina. Tubuhnya meloncat
ke depan, kedua lengannya ter-bentang dan
kedua tangannya sudah ber-gerak, yang
kanan mencengkeram ke arah leher, yang
kiri menusuk dengan to-tokan ke arah
lambung. Sungguh serangan ini hebat
bukan main dan amat berbahaya!
Akan tetapi, orang itu sungguh lihai bukan
main. Biarpun menghadapi serangan yang
amat berbahaya, dia bersikap te-nang saja,
tangan kirinya masih meme-gang bendabenda
yang diambilnya dari dalam kamar
itu, yaitu gulungan kertas dan beberapa
buah buku.
“Plak! Plak.” Dua kali tangannya
me-nangkis dan akibatnya tubuh panglima
itu terpental! Tentu saja Puteri Nandini
terkejut. Keadaan di atas genteng demikian
gelapnya sehingga dia tidak dapat melihat
wajah orang itu, hanya dapat menduga
bahwa lawannya ini adalah se-orang pria
yang perawakannya sedang dan tegap,
akan tetapi dia tidak dapat mengatakan
apakah pria ini tua ataukah muda. Pada
saat dia terhuyung oleh tangkisan yang
amat kuat itu, dari ba-wah melayang naik
beberapa orang per-wira pengawal yang
berkepandaian cukup tangguh, di antara
mereka ada yang membawa obor. Melihat
ini, orang itu melompat jauh ke depan dan
sekali lon-cat saja dia telah turun ke atas
tanah, jauh di samping gedung itu. Bukan
main kagetnya hati Sang Panglima
menyaksi-kan kehebatan gin-kang dari
orang itu. Maka dia pun cepat meloncat
turun sam-bil berteriak. “Cepat kejar!”
Sambil mengejar, Puteri Nandini men-cabut
pedangnya. Dia merasa menyesal mengapa
tadi memandang rendah lawan-nya. Kalau
dari tadi dia mencabut pe-dang, tentu
setidaknya dia dapat men-desak dan
mengurung, tidak memberi kesempatan
kepada maling itu untuk dapat meloloskan
diri.
Dan memang gin-kang orang itu hebat
sekali.. Biarpun Sang Puteri dan para
Choirul, maret 2008 222
perwira pengawal mengejar mati-matian,
tetap saja mereka tertinggal jauh dan
sebentar saja orang itu sudah lenyap ditelan
kegelapan malam. Dan betapapun para
penjaga melakukan penjagaan ketat pada
pintu-pintu gerbang dan para peng-awal
sudah melakukan pencarian di seluruh kota
Lhagat, semua itu sia-sia belaka. Bayangan
yang memasuki gedung panglima itu lenyap
dan bersama dia, lenyap pula beberapa
buah benda yang penting dari dalam kamar
kerja Puteri Nandini. Benda-benda itu
adalah sebuah peta dari kota Lhagat dan
sekelilingnya, termasuk peta yang amat
jelas dan ter-perinci dari bukit di mana
terdapat lem-bah yang menjadi tempat
pasukan Ceng yang terkepung. Ada pula
buku-buku, catatan Sang Panglima tentang
penyerbu-annya dan rencana-rencana
penyerbuan ke Tibet selanjutnya. Dengan
lenyapnya semua itu, tentu saja Puteri
Nandini menjadi marah bukan main dan dia
ter-paksa akan diharuskan merobah semua
rencana penyerbuannya!
Setelah terjadi peristiwa itu, desas-desus
tentang jenderal sakti dari pihak musuh
menjadi semakin santer. Betapa pun Sang
Panglima mencoba untuk mera-hasiakan
kehilangan benda-benda yang amat penting
itu, namun berita bahwa ada seorang matamata
musuh menyerbu gedung dan lalu
dapat lolos, padahal Sang Panglima sendiri
yang mengejarnya, membuat geger semua
orang dan meng-getarkan hati para perwira
Nepal. Desas-desus ini bukan hanya
membikin gentar hati orang-orang Nepal,
akan tetapi juga membesarkan hati orangorang
Tibet dan penduduk Lhagat yang
mengharapkan terusirnya pasukan Nepal
dari situ. Me-reka yang telah dirugikan,
dirampok, dibunuh sanak keluarganya, atau
diperko-sa isteri dan anaknya, diam-diam
meng-harapkan pasukan Tibet atau
pasukan Ceng dapat menghancurkan pihak
musuh yang mereka benci itu.
Bahkan di antara para penghuni tetap kota
Lhagat itu terdapat pula orang--orang jahat
yang dahulunya menjadi jagoan-jagoan di
situ dan yang hidupnya dari memeras
kanan kiri mengandalkan keberanian dan
kelihaian mereka, dan setelah Lhagat
diduduki pasukan Nepal mereka itu
kehilangan pengaruh dan sumber
penghasilan. Mereka ini pun me-naruh
dendam kepada tentara asing itu, dan kini
mereka pun mulai nampak berani karena
mereka percaya bahwa jen-deral sakti dari
Kerajaan Ceng itu agak-nya muncul! Orangorang
seperti ini ber-anggapan bahwa
munculnya jenderal sakti itu seolah-olah
hendak membantu dan melindungi mereka!
Betapa banyaknya kita melihat di se-kitar
kita keadaan seperti ini. Dengan jelas kita
melihat, semenjak dahulu se-perti yang kita
baca dalam catatan seja-rah, sampai
sekarang ini pun, orang-orang yang
sesungguhnya melakukan per-buatanperbuatan
sesat setiap saat hari-nya,
memeras, menipu, mengandalkan
kekuasaan dan kedudukan, mengandalkan
harta kekayaan, mengandalkan kepintar-an,
melakukan penindasan sewenang--wenang.
Yang berkedudukan tinggi mene-kan yang
lebih rendah, yang lebih rendah menekan
yang rendah lagi, dan selanjutnya. Hukum
rimba berlaku di mana-ma-na. Siapa kuasa
dia menang dan dia be-nar! Namun
anehnya, kita semua masing-masing
merasa bahwa kita benar! Kita saling
memperebutkan pahala dan jasa! Kita
masing-masing merasa bahwa kita-lah
orang terbaik, orang paling berguna, paling
patriot dan sebagainya. Beginilah akibat
dan hasilnya kalau kita tidak be-lajar
mengenal diri sendiri. Segala sesua-tu
mengenai diri kita, yang kita ingat hanyalah
segi-segi baiknya saja, sebalik-nya segala
sesuatu mengenai diri orang lain hanya kita
ingat segi-segi buruknya belaka. Kalau saja
kita masing-masing belajar mengenal diri
sendiri, mengamati diri sendiri dan tidak
membiarkan mata kita menilai orang-orang
lain, tentu akan nampak jelas betapa buruk
dan kotornya kita ini masing-masing. Dan
hanya kewaspadaan dan kesadaran dalam
pengamatan terhadap diri sendiri setiap
saat inilah yang mungkin sekali dapat
mengadakan perubahan dalam diri kita
masing-masing. Dan kalau kita sendiri
Choirul, maret 2008 223
sudah berubah, -barulah dapat diharapkan
masyarakat, bangsa, dunia akan berubah
keadaan ke-hidupannya, tidak seperti
sekarang ini di mana kebencian, iri hati,
dendam, per-musuhan dan perang
merajalela. Karena sesungguhnya keadaan
dunia tidak dapat dipisahkan dari keadaan
alam batin kita masing-masing. Kitalah yang
membuat dunia seperti keadaannya pada
saat ini, kita masing-masinglah yang
bertanggung jawab untuk itu, oleh karena
itu, harus terdapat perobahan pada diri kita,
pada batin kita masing-masing.
Seorang di antara mereka yang biasa
mempergunakan keberanian dan
kepandai-an untuk memeras orang lain
adalah seorang jagoan yang bernama Su
Khi. Mungkin karena dia ini masih
peranakan Mancu, dan pada waktu itu
bangsa Man-cu dianggap sebagai bangsa
besar karena berhasil menguasai seluruh
Tiongkok, maka dia merasa angkuh dan
lebih tinggi daripada orang lain. Hal ini
ditambah lagi dengan kepandaian silatnya
yang membuat dia dijuluki Toa-to Hui-houw,
(Harimau Terbang Bergolok Besar), maka
membuat Su Khi menjadi besar kepala dan
menganggap bahwa di dunia ini tidak ada
yang lebih gagah daripada dia. Keti-ka
pasukan Nepal menyerbu dan me-nguasai
Lhagat, Su Khi yang selain jahat sewenangwenang
juga amat cerdik ini, hanya
bersembunyi, tidak ikut melawan. Dia tahu
bahwa tiada gunanya melawan pasukan
yang besar sekali jumlahnya! Maka dia pun
selamat dan tidak dimusuhi oleh pasukan
Nepal! Akan tetapi diam-diam tentu saja dia
amat benci kepada pasukan Nepal yang
dianggap amat me-rugikannya, membuat
dia tidak berani berkutik dan kehilangan
nama besar dan sumber hasilnya.
Kini, semenjak munculnya penyerbuan
gedung panglima dan santernya desasdesus
tentang jenderal sakti, bahkan
di-kabarkan orang bahwa jenderal itu telah
siap untuk merebut Lhagat, Su Khi mulai
beraksi. Mulailah dia keluar mengganggu
penduduk, minta apa saja yang
dikehendakinya dengan ancaman, seperti
dulu sebelum pasukan Nepal datang. Akan
tetapi Su Khi tidak tahu bahwa
perbuat-annya itu menimbulkan keluhan
penduduk yang kemudian terdengar oleh Ci
Sian! Gadis ini menjadi marah sekali,
apalagi ketika dia mendengar bahwa Su Khi
bu-kan hanya ditakuti karena kepandaian
dan kekejamannya, akan tetapi juga
ka-rena Su Khi pandai menyogok para
pen-jaga keamanan dan membagikan
barang rampasannya kepada para penjaga
sehing-ga dia seperti terlidung oleh para
penja-ga Nepal.
Pagi hari itu, ketika seperti biasa Toa-to
Hui-houw Su Khi sedang menja-lankan
aksinya, menggoda seorang dara remaja
anak seorang pemilik warung nasi dan
minta dilayani untuk sarapan dengan
memilih makanan yang paling enak, tibatiba
Ci Sian muncul di depan warung itu
sambil membentak, “Si Keparat yang
bernama Su Khi itu di mana? Hayo ke-luar!”
Su Khi terkejut mendengar bentakan ini,
dan terheran-heran ketika melihat bahwa
yang menegurnya hanyalah seorang dara
remaja yang cantik sekali. Dia belum
pernah bertemu dengan Ci Sian dan tidak
tahu siapa adanya dara ini. Maka tentu saja
dia marah sekali dimaki keparat oleh
seorang dara remaja seperti itu di depan
banyak orang. Dia, seorang “pa-triot” yang
terlindung pula oleh para penjaga Nepal,
kini dihina seorang gadis, malah seorang
yang masih amat muda, seperti kanakkanak.
Cepat dia keluar dari warung itu
setelah melepaskan le-ngan perawan cilik
yang tadi dia pegang, kemudian sambil
menyambar golok besar-nya yang selalu
dibawanya, dia berjalan keluar dengan
sikap mengancam dan golok besarnya
diamang-amangkan untuk menakut-nakuti
anak perempuan itu. Namun Ci Sian
memandang kepadanya dengan sinar mata
marah dan bibir ter-senyum mengejek.
“Engkaulah yang telah berani berlan-cang
mulut memaki Toa-to Hui-houw Su Khi
tadi?” Dia membentak setelah ber-hadapan
dengan Ci Sian, memandang dara itu dari
Choirul, maret 2008 224
atas sampai ke bawah dan diam-diam dia
terpesona oleh kecantikan dara itu.
“Benar!” jawab Ci Sian. “Apakah eng-kau
yang bernama Su Khi itu?”
“Betul, akulah Toa-to Hui-houw Su Khi!” Dia
membolak-balik goloknya sehingga nampak
sinar berkilauan ketika cahaya matahari
pagi menimpa permukaan golok.
“Tukang pukul jahanam yang suka
menghina penduduk dan memeras orangorang
lemah dengan mengandalkan golok
penyembelih babi itu? Kaukah itu?”
Wajah Su Khi menjadi merah sekali,
matanya melotot dan alisnya yang tebal
bergerak-gerak, hidungnya mendengusdengus
penuh kemarahan. “Kau.... kau....
bocah bosan hidup! Berani engkau
me-makiku? Hemm.... akan kubunuh kau....!
Tidak, akan kutelanjangi engkau di depan
umum, kemudian engkau harus melayani
aku sampai engkau bertobat!”
Berkata demikian, dia menubruk maju,
tangan kirinya yang besar itu
menceng-keram ke arah dada Ci Sian,
maksudnya untuk merenggut baju itu agar
terlepas. Akan tetapi, dengan setengah
langkah ke belakang, Ci Sian sudah dapat
mengelak-nya dan sekali tangan kiri dara itu
menyambar ke depan, terdengar suara
“plokkk!” dan tubuh besar itu terpelan-ting
roboh! Semua orang yang menyaksi-kan
peristiwa ini terkejut dan bengong, akan
tetapi mereka semua lalu terse-nyum girang
melihat betapa dara jelita itu dengan mudah
mampu menghajar jagoan sombong ini.
Su Khi terbelalak dan merangkak ba-ngun,
meraba pipi kanannya yang menjadi
bengkak terkena tamparan tadi. Dia tadi
merasa seperti disambar petir, maka
terkejutlah dia, dan dia pun tahu bahwa dia
berhadapan dengan seorang dara yang
memiliki kepandaian silat tinggi! Pantas saja
dara itu berani memakinya, kiranya
mengandalkan ilmu silat pikirnya.
“Perempuan setan! Berani engkau melawan
aku, ya? Benar-benar engkau bosan hidup,
dan sekarang, aku tidak akan mau
mengampunimu lagi!” Berkata demikian, Su
Khi lalu menggerakkan goloknya dan kini
dia menubruk dan membacok dengan
goloknya, serangan yang dimaksudkan
membunuh dara itu dengan satu kali bacok!
Hemm, manusia ini memang kejam luar
biasa, pikir Ci Sian. Dia maklum bahwa tadi
pun orang itu sungguh-sung-guh hendak
menelanjanginya, dan tentu akan
melaksanakan ancamannya kalau mampu.
Kini pun menyerang dengan niat
membunuh. Manusia seperti ini memang
tidak layak dibiarkan hidup, hanya akan
membahayakan kehidupan orang lain saja.
Maka begitu melihat lawan membacok, dia
cepat menghindar dan dia pun mak-lum
bahwa orang ini seperti gentong kosong,
hanya nyaring suaranya saja, karena
sesungguhnya hanya mengandalkan ilmu
silat kasar dan tenaga besar belaka. Maka,
biarpun golok itu setelah luput membacok
terus menyambar-nyambar dengan
ganasnya, dengan mudahnya Ci Sian dapat
mengelak ke kanan kiri, kadang-kadang
melompat tinggi menghin-darkan golok
yang membabat kaki, sam-bil tersenyumsenyum.
Sementara itu, banyak penduduk
ber-datangan ke tempat itu dan melihat
per-kelahian yang mereka anggap
mengerikan itu, karena mereka merasa
ngeri memba-yangkan betapa golok besar
tajam itu akan membabat tubuh dara remaja
itu. Sekali sambar saja pinggang ramping
itu tentu akan putus!
“Perempuan setan, bocah hina,
mam-puslah!” Su Khi membacok lagi dan
ke-tika Ci Sian mengelak, dia melanjutkan
dengan babatan pada paha dara itu, Ci Sian
melompat tinggi ke atas, kaki kiri-nya
bergerak menendang dengan kecepat-an
yang sukar dapat diikuti pandang mata
lawan.
Choirul, maret 2008 225
“Plokk!” Dagu yang kuat itu bertemu ujung
sepatu. Kepala Su Khi seperti ter-lempar ke
belakang dan tubuhnya ter-jengkang.
“Brukkk!” Dia terbanting roboh dan di antara
para penonton ada yang tertawa, akan
tetapi cepat-cepat ditu-tupinya mulutnya
dengan tangan. Su Khi bangkit dan
mukanya sebentar pucat se-bentar merah,
dari ujung bibirnya meng-alir darah karena
bibirnya pecah tergigit sendiri ketika
dagunya tertendang tadi, napasnya
terengah-engah dan hidungnya
mendengus-dengus seperti seekor kerbau
gila.
“Kau.... kau.... siapa kau mengapa kau
memusuhi aku?” dia akhirnya bertanya
karena dia tahu bahwa anak perempuan itu
sungguh bukan orang sembarangan.
Ci Sian tersenyum. “Orang macam engkau
tidak patut mengenal aku, ketahui-lah
bahwa kalau engkau berjuluk Harimau
Terbang, aku adalah seorang ahli
pem-bunuh harimau busuk yang
mengganggu ketenteraman penduduk di
sini.”
Pada saat itu, karena terjadi keribut-an, dari
jauh datang sekelompok penjaga yang
terdiri dari belasan orang. Melihat ini,
bangkit kembali keberanian Su Khi karena
dia merasa yakin akan mendapat bantuan
dari para penjaga yang sudah biasa
disogoknya itu, maka dia lalu membentak,
dengan suara nyaring karena memang
dimaksudkan agar terdengar oleh para
penjaga yang berlarian mendatangi itu.
“Siluman betina! Engkau tentu mata-mata
jahat!” Dan dia pun lalu menyerang kembali
dengan ganas. Marahlah hati Ci Sian. Tadi
dia bermaksud memberi hajar-an saja, akan
tetapi melihat lagak orang ini yang agaknya
mengandalkan para penjaga itu, dia makin
menjadi muak dan begitu golok berkelebat,
dia mengelak dan tangannya menyusup
masuk melalui bawah sinar golok.
“Kekk!” Tubuh tinggi besar itu ter-bungkuk
dan roboh menelungkup, golok-nya terlepas
dari tangannya. Ci Sian menginjakkan kaki
kanannya di atas punggung bawah tengkuk
Su Khi dan jagoan itu tidak dapat berkutik
lagi! Dia merasa seolah-olah punggungnya
tertindih benda yang beratnya ratusan kati,
mem-buat dia sukar dapat bernapas dan dia
hanya mengeluh terengah-engah seperti
babi terhimpit. Pada saat itu, belasan orang
penjaga sudah datang dekat dan mereka
telah mencabut golok masing-masing,
dengan sikap mengancam mere-ka
mendekati Ci Sian.
“Kalian mau apa?” bentak Ci Sian menatap
para penjaga itu dengan marah.
“Kau mata-mata....?” Para penjaga
membentak, “Lepaskan dia, dia adalah
sahabat kami!”
“Huh, siapa tidak mendengar bahwa kalian
sudah makan sogokan dari jahanam ini?” Ci
Sian balas membentak.
Kepala pasukan lalu membentak ma-rah.
“Serang! Tangkap dia!”
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
nyaring, “Tahan!” dan di situ telah mun-cul
Siok Lan yang menatap para penjaga
dengan muka merah dan mata marah.
Wanita cantik ini berdiri dengan sikap
tenang dan menyilangkan kedua lengan di
atas dadanya, lalu berkata dengan lantang,
“Siapa yang hendak menyerang dan
menangkap sahabatku ini?”
Para penjaga terkejut ketika melihat
munculnya Siok Lan. Kepala penjaga itu
dengan golok di tangan menunjuk kepada
Ci Sian, “Maaf, tapi dia.... dia itu.... telah
menganiaya Su Khi....“
“Hemm, kalian menjadi kaki tangan
penjahat ini, ya?” bentak Siok Lan dan
wanita ini menyambung sambil berteriak
nyaring. “Hayo berlutut, kalian
manusia-manusia busuk!”
Empat belas orang penjaga itu terke-jut
bukan main. Cepat-cepat mereka
Choirul, maret 2008 226
menjatuhkan diri berlutut. Siok Lan
mengangkat tangan kanan ke atas dan
muncullah beberapa orang pengawal.
“Mereka ini telah biasa makan suap dari
penjahat, maka sudah sepatutnya diberi
hukuman. Cambuk mereka masing-masing
sepuluh kali dan komandan mereka lima
belas kali!”
Tentu saja empat belas orang penjaga itu
menjadi ketakutan, akan tetapi mere-ka
tidak berani membangkang. Lima orang
pengawal lalu membuka baju me-reka dan
tak lama kemudian terdengarlah bunyi
cambuk meledak-ledak ketika lima orang
pengawal itu menjatuhkan hukuman itu, di
tempat terbuka dan terlihat oleh semua
orang. Darah mengalir dari kulit-kulit
punggung yang pecah-pecah dan terdengar
rintihan-rintihan kesakitan. Setelah
hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata
kepada Ci Sian.
“Adik Sian, kaulepaskan jahanam itu.”
Ci Sian melepaskan injakan kakinya dan Su
Khi merangkak bangun dengan mulut
merah karena dia tadi sampai muntah
darah.
“Sekarang kuserahkan jahanam itu kepada
kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati
kalian terhadap dia. Awas, sekali lagi kalian
makan suapan, aku akan minta kepada Ibu
agar kalian dihukum penggal kepala!” kata
Siok Lan.
Empat belas penjaga itu menghatur-kan
terima kasih, kemudian seperti seri-galaserigala
kelaparan mereka lalu me-nangkap
Su Khi.
“Tidak.... tidak.... jangan.... ampunkan
aku....!” Orang itu berteriak-teriak dan
meronta-ronta, namun empat belas orang
yang telah menerima hukuman yang amat
nyeri itu kini menimpakan semua dendam
mereka kepada Su Khi. Tak lama
ke-mudian, di luar kota, Su Khi ditelanjangi
dan dicambuki oleh empat belas orang itu
sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan dia
tewas dalam keadaan mengeri-kan!
Semenjak terjadi peristiwa itu, nama Ci Sian
dikenal. Baru sekarang mereka tahu bahwa
gadis bangsa Han itu menjadi sahabat baik
dari puteri panglima dan bahwa dara cantik
itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
amat hebat! Akan tetapi, para pendekar
merasa bersyukur juga bahwa dara itu
ternyata berani membela penduduk, bahkan
puteri panglima itu pun telah
memperlihatkan ke-adilan di depan rakyat.
Menurut pendapat Siok Lan dan ibu-nya, Su
Khi malah dianggap sebagai kaki tangan
mata-mata yang sengaja menim-bulkan
kekeruhan di Lhagat! Memang, semenjak
terjadinya pencurian di dalam kamar kerja
panglima oleh seorang ma-ling yang
berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan
setiap hari para pengawal menangkapi
orang-orang yang dicurigai sehingga
penjara menjadi penuh menam-pung orangorang
tangkapan baru ini.
Puteri Nandini sebagai panglima yang
paling merasa terpukul dengan adanya
pencurian benda-benda penting dari ka-mar
kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap
kali ada orang tangkapan baru, dia sendiri
datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia
dapat menemukan maling yang telah
memasuki kamar kerjanya itu.
Ketika pada suatu pagi ada laporan bahwa
tertangkap pula seorang pemuda yang amat
mencurigakan karena malam-malam
pemuda itu berkeliaran di dekat bukit
tempat tentara musuh terkurung, cepat
panglima itu berpakaian, naik kuda dan
datang sendiri ke tempat penangkap-an itu.
Begitu panglima itu tiba di tem-pat
penjagaan, para penjaga mendorong
seorang pemuda yang kedua kakinya
di-belenggu, demikian pula kedua
lengannya. Seorang pemuda yang tampan
dan ber-pakaian sederhana, berwajah
terang dan sama sekali tidak menunjukkan
wajah seorang jahat. Akan tetapi justeru
wajah demikian ini yang menimbulkan
Choirul, maret 2008 227
kecuriga-an, karena bukankah yang dikirim
oleh pihak musuh adalah orang-orang
pandai dan mungkin saja orang-orang yang
me-miliki kedudukan tinggi?
Dari atas kudanya, panglima wanita itu
mengamati pemuda tawanan itu de-ngan
penuh perhatian. Pemuda seperti ini
memang pantas menjadi seorang utusan,
karena biarpun nampaknya seorang yang
lemah, namun sinar matanya berkilat
membayangkan kekuatan dan kecerdasan.
Komandan jaga maju memberi hormat
kepada panglima wanita itu lalu
mela-porkan bahwa pemuda itu pagi-pagi
se-kali tadi ditangkap ketika sedang
menyu-sup-nyusup seorang diri di dekat
perke-mahan para penjaga yang sedang
ber-tugas mengurung bukit di mana pihak
musuh terjebak itu.
“Alasannya adalah mencari jejak bina-tang
buruan dan setelah kami menggele-dahnya,
kami tidak menemukan senjata pada
dirinya, melainkan kalung ini.” Ko-mandan
jaga menutup laporannya sambil
menyerahkan seuntai kalung kepada
pang-limanya.
Puteri Nandini menerima kalung itu dan
menyembunyikan kagetnya ketika dia
mengenal kalung itu. Sebuah kalung
de-ngan hiasan berbentuk sebatang bunga
teratai emas terhias permata. Tentu saja dia
mengenalnya karena kalungnya itu adalah
kalungnya sendiri di waktu muda dan yang
sudah diberikannya kepada pu-terinya, Siok
Lan! Diam-diam dia terkejut dan marah, dan
hampir saja dia berteriak membentak
pemuda itu untuk bertanya dari mana
pemuda itu memperoleh kalung puterinya.
Akan tetapi dia masih sempat menahan diri
dan tidak mau membuka rahasia puterinya
sehingga kalau terdengar oleh para penjaga
bahwa kalung puterinya berada pada
pemuda ini, tentu akan menimbulkan
prasangka yang buruk.
“Kau seorang pemburu?” panglima itu
bertanya tanpa turun dari atas punggung
kudanya.
Pemuda itu mengangguk. “Benar, Liciangkun.
Saya adalah seorang di antara
para pemburu di bukit sebelah sana itu.”
“Kenapa kau berkeliaran di sini?”
“Semalam kawan-kawan saya menge-pung
seekor harimau yang amat buas dan yang
sudah lama kami coba untuk
menangkapnya. Akan tetapi harimau itu
dapat lolos dan saya mengikuti jejaknya
sampai ke sini, tahu-tahu saya
ditang-kap....”
“Hemm, mengikuti jejak harimau de-ngan
pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan
seperti pakaian pemburu!”
“Maaf, karena semalam saya memang
sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah
memburu pada siang harinya. Akan tetapi
mendengar suara ribut-ribut para kawan,
saya terbangun dan ikut mengejar hari-mau
yang lolos....”
Panglima wanita itu lalu memerintah-kan
untuk menahan pemuda itu di dalam kamar
tahanan di tempat penjagaan itu. “Aku
hendak memeriksanya sendiri,” katanya dan
dia pun meloncat turun dari atas kudanya,
mengikuti para penjaga yang mendorong
pemuda itu tawanan itu memasuki rumah
penjagaan. Setelah menyuruh semua
penjaga pergi, Puteri Nandini memandang
kepada pemuda yang disuruh duduk di
depannya itu dengan sinar mata penuh
selidik. Kemudian dia mengeluarkan kalung
dari saku bajunya dan memperlihatkannya
kepada pemuda itu.
“Darimana engkau memperoleh kalung itu?”
tanyanya halus, akan tetapi pan-dang
matanya seperti hendak menembus dada
menjenguk isi hati.
Pemuda itu nampak tenang-tenang saja,
hanya agak kemalu-maluan mendengar
pertanyaan ini. “Dari.... dari se-orang
dara....” jawabnya.
Choirul, maret 2008 228
“Hemm, mengapa dia memberikan kalung
ini kepadamu?”
Pemuda itu kelihatan semakin malu.
“Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Liciangkun.
Ketika itu.... saya melihat
se-orang gadis menunggang kuda dan
kudanya itu terkejut karena bertemu
harimau, harimau keparat yang kami kejarkejar
itulah! Dan kudanya terpeleset ke
dalam jurang. Kebetulan saya berada di
dekat situ dan saya memang sudah siap
dengan lasso untuk menangkap harimau,
maka saya berhasil mencegah dia terbawa
ja-tuh ke dalam jurang dengan lasso
saya....“
Puteri Nandini tidak terkejut karena
memang dia tadi sudah menduga
demi-kian. Oleh karena dia menduga bahwa
pemuda ini adalah penyelamat puterinya
itulah maka dia tadi memerintahkan
pen-jaga membawa pemuda itu ke sini
untuk diajak bicara. Akan tetapi sekarang
pun dia tidak memperlihatkan perasaan
apa-apa pada wajahnya yang nampak
bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi
sebelum memasuki tempat ini dia sudah
diam-diam menyuruh pengawalnya untuk
cepat-cepat memanggil Siok Lan ke tem-pat
ini.
Puteri Nandini menyuruh pemuda itu
menceritakan riwayatnya dan mengapa
jauh-jauh ke tempat ini untuk berburu.
Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa
dia dan rombongannya adalah pemburupemburu
yang selain memiliki pekerjaan
memburu dan hidup dari hasil buruan, juga
suka dengan pekerjaan ini.
“Kami sudah banyak menjelajahi daerahdaerah
yang terkenal memiliki binatangbinatang
aneh dan buas. Kami sebetulnya
tiba di sini karena tertarik oleh berita
tentang binatang atau mahluk aneh yang
dinamakan Yeti atau dikabar-kan sebagai
manusia salju di daerah Himalaya. Akan
tetapi ternyata kami tidak berhasil
menjumpai mahluk itu maka kami memburu
harimau dan lain-lain bi-natang buas di bukit
itu.” Demikian an-tara lain pemuda itu
bercerita. Dia mengaku she Liong bernama
Cin dan sebagai seorang pemburu yang
banyak bertualang ke tempat-tempat jauh,
dia menguasai bahasa Tibet, bahkan sedikit
dia dapat berbahasa Nepal.
Selagi mereka bicara, terdengar suara
derap kaki dua ekor kuda di luar rumah
penjagaan itu dan tak lama kemudian
masuklah dua orang dara ke dalam ruangan
itu. Mereka ini bukan lain ada-lah Siok Lan
dan Ci Sian. Siok Lan da-tang dengan cepat
setelah menerima panggilan ibunya dan dia
mengajak Ci Sian, apalagi ketika
mendengar dari pe-ngawal itu bahwa para
penjaga menangkap seorang pemuda yang
mengaku se-bagai seorang pemburu dan
kini sedang diperiksa oleh panglima.
Begitu mereka masuk dan melihat Liong
Cin, Siok Lan segera berkata ke-pada Ci
Sian, “Benar, dia!” Lalu dia menghampiri
ibunya. “Ah, Ibu, mereka salah tangkap! Dia
ini adalah pemburu yang pernah
meyelamatkan aku dulu!”
Puteri Nandini mengangguk. “Aku sudah
menduganya, hanya menanti
keda-tanganmu untuk kepastiannya.” lalu
Sang Puteri ini memandang kepada
pemuda itu, tersenyum dan berkata. “Orang
mu-da, kaumaafkan kesalahan para
penjaga kami. Akan tetapi engkau juga
bersalah mengapa mengejar buruan sampai
dekat dengan perkemahan kami. Harap
beritahu kawan-kawanmu agar jangan
mendekati tempat ini.”
Liong Cin menggeleng kepalanya de-ngan
sedih. “Tidak mungkin mereka bera-ni
mendekat ke sini, Li-ciangkun. Setelah
mendengar atau melihat saya ditangkap,
saya berani memastikan bahwa mereka
tentu sudah lari ketakutan dan tidak akan
kembali lagi ke tempat ini.”
Panglima itu mengerutkan alisnya dan
memandang tajam. “Kalau begitu engkau
ditinggalkan oleh teman-temanmu?”
Choirul, maret 2008 229
Liong Cin mengangguk. “Selama ini kami
memang sudah khawatir melihat betapa
tempat buruan kami dekat dengan medan
perang dan sudah sering kali kami beruding
untuk pergi saja. Akan tetapi harimau itu....”
Sudahlah, orang muda. Aku menyesal
bahwa engkau terpaksa ditinggalkan
te-man-temanmu. Sekarang engkau boleh
bebas. Engkau adalah seorang yang
me-miliki kepandaian tinggi, harap kau suka
melepaskan belenggu tangan dan kakimu
sendiri.” Panglima itu mencoba.
Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala
dan mukanya menjadi merah. “Harap Liciangkun
tidak main-main. Mana mungkin
saya dapat melepaskan diri dari belenggu
yang sekuat ini?”
“Tapi engkau telah mampu menyela-matkan
puteriku.”
“Itu lain lagi, Li-ciangkun. Saya me-mang
mempelajari ilmu mempergunakan tali
lasso, akan tetapi untuk mematah-kan
belenggu-belenggu ini.... sungguh saya
tidak sanggup melakukannya.”
Panglima itu tersenyum. Senyumnya hanya
sebentar saja, seperti kilatan ca-haya di hari
mendung. Lalu dihampirinya pemuda itu
dan dengan kedua tangannya panglima
wanita itu mematah-matahkan belenggu
kaki tangan itu sedemikian mu-dahnya,
seperti mematahkan ranting-ran-ting kecil
saja! Pemuda itu terbelalak penuh kaget
dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga
panglima wanita ini. Dan memang itulah
yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar
pemuda ini terkejut dan jerih sehingga tidak
akan berani melakukan hal-hal yang dapat
merugikan pasukan Nepal. Biarpun dia
percaya kepada pemuda ini, akan tetapi
pemuda ini adalah bangsa Han, maka
sudah tentu saja sedikit banyak dia ma-sih
bersikap hati-hati dan curiga.
Siok Lan menghampiri pemuda itu dan
berkata dengan suara me-nyesal. “Harap
kau suka memaafkan, Liong Cin. Karena
ingin berhati-hati, para pasukan penjaga
telah salah tang-kap, engkau yang menjadi
penolongku malah disangka mata-mata
musuh.”
Liong Cin juga tersenyum dan menjura.
“Tidak mengapa, Nona. Ini malah
merupa-kan penambahan pengalamanku,
hanya sayang.... sahabat-sahabatku telah
pergi meninggalkan aku di sini....
“Kalau begitu, mari ikut bersama kami ke
Lhagat.” Siok Lan mengajak dan sebelum
pemuda itu menjawab, dara ini sudah
berpaling kepada ibunya. “Ibu, harap Ibu
perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama
kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas
budinya dan untuk minta maaf kepadanya
atas perlakuan kita yang tidak semestinya
terhadap seorang peno-long.”
Siok Lan memang pandai bicara dan ibunya
tidak dapat menolak, tidak enak untuk
menolak setelah puterinya menge-luarkan
kata-kata seperti itu. Biarpun, di dalam
hatinya dia tidak setuju karena hal itu
memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau
pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh,
namun mana mungkin dia menolak dengan
adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah
menyelamatkan puteri-nya, kemudian
malah ditangkap karena disangka matamata?
Menolaknya sama dengan
menampar muka sendiri!
Siok Lan sudah meneriaki pengawal minta
seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama
kemudian, Siok Lan, Ci Sian, dan Liong Cin
sudah membalapkan kuda mereka menuju
ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci Sian
tidak pernah bicara kepada Liong Cin, akan
tetapi diam-diam dia amat memperhatikan
pemuda itu dan dia pun melihat betapa
terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan.
Dara ini ke-lihatan amat gembira sekali,
sikapnya menjadi semakin lincah dan
jenaka!
Mulai saat itu, Liong Cin diterima sebagai
seorang tamu terhormat, atau juga seorang
sahabat baik dari Siok Lan, dan diberi
Choirul, maret 2008 230
sebuah kamar tersendiri di dalam gedung
tempat tinggal panglima itu. Puteri Nandini
sendiri yang mengu-sulkan hal ini, pada
lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap
pemuda yang pernah menyelamatkan
nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam
hatinya dia menghendaki agar pemuda itu
tinggal di gedung karena dengan demikian
akan lebih mudah baginya untuk
mengawasi gerak-geriknya. Juga dia
melihat betapa agaknya puterinya tertarik
kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa
pemuda itu, biarpun harus diakuinya bahwa
pemuda itu tampan dan gagah, hanya
seorang pemburu biasa saja, maka sudah
tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin
mengamat-amati hubungan antara
puteri-nya dan pemuda itu.
Mula-mula Liong Cin menolak halus dan
menyatakan bahwa dia tidak ingin
mengganggu keluarga panglima itu, akan
tetapi Siok Lan cepat mendesaknya.
“Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari
pelaporan para penyelidik bahwa benar
seperti dugaanmu, semua kawanmu,
rom-bongan pemburu yang tadinya
berkemah di bukit itu telah melarikan diri
semua, entah ke mana. Oleh karena itu,
tidak baik kalau engkau pergi mencari
mereka, dalam keadaan gawat dan dalam
ancam-an perang ini. Sebaiknya engkau
beristi-rahat dulu di sini bersama kami,
kelak kalau keadaan sudah aman barulah
eng-kau pergi mencari kawan-kawanmu.
Se-tidaknya, berilah kesempatan kepadaku
untuk menyatakan terima kasih. dan
membalas budimu.”
Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin
tidak dapat membantah dan demi-kianlah,
mulai hari itu dia tinggal di ge-dung
panglima dan diperlakukan sebagai seorang
tamu terhormat dan memperoleh
kebebasan. Dia bergaul dengan akrab
sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci
Sian juga sering menemani mereka
bercakap-cakap, akan tetapi agaknya di
antara dua orang muda ini, keduanya
merupakan tamu dan sahabat Siok Lan,
terdapat sesuatu yang membuat mereka
agak renggang. Ada celah di antara
ke-duanya, dan kadang-kadang mereka
saling pandang dengan sinar mata
membayang-kan kecurigaan dan keraguan.
Memang sesungguhnyalah, Ci Sian
menaruh rasa curiga kepada pemuda itu,
rasa curiga yang sama sekali bukan tan-pa
alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia
selalu mengamati gerak-geriknya dan
biarpun dia melakukan hal ini secara diamdiam,
agaknya terasa juga oleh Liong Cin
sehingga pemuda ini pun mera-sa tidak
enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak
Liong Cin berada di gedung itu, setiap
malam Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak
karena pikirannya selalu membayangkan
pemuda itu dengan penuh curiga, dan
sering kali dia bahkan diam-diam keluar dari
dalam kamarnya untuk bersembunyi dan
melakukan pengintaian!
Dan beberapa hari kemudian, pada suatu
malam kecurigaannya ini memper-oleh
bukti. Dia melihat bayangan berke-lebat
cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin
yang bergerak cepat melakukan
penyelidikan di dalam gedung dan keluar
dari gedung itu menuju ke taman bunga
dengan sikap yang mencurigakan sekali.
Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan
main. Biarpun Ci Sian sudah mem-bayangi
dengan amat hati-hati, menge-rahkan ginkangnya
sehingga tubuhnya bergerak cepat
dan ringan tanpa menim-bulkan suara
berisik, agaknya pemuda itu telah tahu
bahwa ada orang yang memba-yanginya
dan tiba-tiba pemuda itu ber-henti dan
menoleh ke belakang, tahu-tahu telah
berhadapan dengan Ci Sian yang
bersembunyi di balik pohon dan semaksemak!
Keduanya terkejut ketika saling
ber-hadapan itu. Sejenak mereka hanya
saling pandang dengan alis berkerut tanpa
dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci
Sian tersenyum berkata. “Terkejut? Aku
tahu siapa engkau, Liong Cin!”
Choirul, maret 2008 231
Pemuda itu memandang dengan sinar mata
penuh selidik. “Apa maksudmu? Tentu saja
engkau mengenalku. Aku se-dang jalanjalan
dan kau mengejutkan aku, Nona....“
“Hemm, tak perlu engkau berpura-pura
sebagai pemburu yang tolol! Engkau-lah Si
Pengail yang kami tanya tentang perajurit
itu, dan engkau pula perajurit yang
membunuh perwira yang hendak
memperkosa wanita itu, engkau matamata....“
Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah
menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari
tangan kirinya sudah menempel di ubunubun
kepala dara itu, ancaman maut
mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu
bergerak, dara itu pasti akan tewas
seketika! Ci Sian sendiri terkejut bukan
main karena biarpun dia sudah waspada,
ternyata dia sama sekali tidak mampu
mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu
dia sudah “ditodong” seperti itu, sama sekali
tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum,
sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga
berbalik pemuda itulah yang terheranheran.
Dan apa yang keluar dari mulut Ci
Sian membuat dia semakin heran dan
sedemikian kaget sehingga pegangannya
pada pundak dara itu terlepas.
“Jenderal, engkau salah tangkap!”
Wajah pemuda itu berobah pucat, matanya
terbelalak dan dia bertanya dengan suara
tegas, “Siapa engkau?”
Ci Sian tersenyum. “Aku? Aku ber-nama Ci
Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti
yang kauketahui.”
“Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu
engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian,
jangan main-main, katakan siapa engkau,
jangan sampai aku kesalahan tangan.”
Ucapan itu mengandung kesung-guhan
yang membuat bulu tengkuk Ci Sian
meremang. Tahulah dia bahwa kalau dia
main-main dan salah bicara, tentu bagi
orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk
turun tangan membunuhnya karena dia
tentu dianggap berbahaya telah mengetahui
rahasia orang itu.
“Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku
ke sini juga hendak mencari sese-orang
yang ditahan, seorang piauwsu ber-nama
Lauw Sek. Harap kau jangan curiga aku.”
Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia
menarik napas panjang. “Kata-kan,
bagaimana engkau dapat mengetahui
keadaanku?”
“Dari sinar matamu.” jawab Ci Sian.
“Engkau boleh menyamar, merobah ben-tuk
muka dan berganti pakaian, berganti suara,
akan tetapi engkau tak mungkin
menyembunyikan sinar matamu.”
“Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar
mataku?”
“Sinar matamu mencorong seperti sinar
mata seseorang yang tak pernah dapat
kulupakan. Sinar matamu persis seperti
sinar mata Pendekar Suling Emas.”
“Pendekar Suling Emas? Siapa itu?”
“Dia she Kam, bernama Hong.”
Pemuda itu menggeleng kepala. “Aku tidak
mengenalnya. Ternyata pandang matamu
tajam betul, Ci Sian. Sekarang katakan,
bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku
seorang jenderal....?”
Ci Sian tersenyum. “Hanya orang tolol saja
yang tidak dapat menduga. Begitu mudah
seperti dua tambah dua sama dengan
empat. Desas-desusnya sudah santer
dikabarkan orang bahwa akan ada seorang
jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang
datang menyelidik ke sini untuk
membebaskan pasukan yang terke-pung.
Kini, melihat keadaanmu, melihat
kelihaianmu, siapa lagl engkau kalau buka
Si Jenderal yang didesas-desuskan orang
itu?”
Choirul, maret 2008 232
“Engkau luar biasal” pemuda itu ber-seru
dan berbisik. “Mari kau ikut aku. Tidak
leluasa bicara di sini!” Setelah berkata
demikian, tubuhnya melesat dengan cepat
sekali dari taman itu. Ci Sian terpaksa harus
mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk
mengejar, akan tetapi betapa pun dia
mengerahkan tenaga, tetap saja dia
tertinggal jauh dan ka-dang-kadang pemuda
itu terpaksa harus menunggunya dan
akhirnya mereka tiba di sebuah tanah
kuburan di pinggir kota yang amat sunyi.
Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian
bergidik. Biarpun ia seorang dara perkasa
yang dapat dibilang tidak takut menghadapi
lawan yang bagaimanapun juga, akan tetapi
pada malam hari gelap itu berada di dalam
tanah kuburan, benar-benar meru-pakan
pengalaman yang belum pernah
dihadapinya.
Malam itu bulan sepotong menyinari
permukaan tanah kuburan, menambah
seramnya pemandangan. Gundukangundukan
tanah itu seolah-olah dalam
cuaca remang-remang merupakan tubuhtubuh
manusia raksasa yang telentang,
dengan perut besar dan seperti bergerak
dan bernapas. Hembusan angin pada daundaun
pohon yang tumbuh di tanah kubur-an
itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam
keadaan mati pun manusia masih tidak
dapat melepaskan kebiasaannya yang lama
yaitu mengoceh dan membica-rakan
keadaan orang-orang lain, terutama tentang
kesalahan-kesalahan orang lain. Ci Sian
merasa seolah-olah dialah yang kini
menjadi bahan pergunjingan dalam
bisik-an-bisikan itu dan dia menggigil.
“Nah, kau mau bicara apa?” katanya dan
suaranya agak gemetar menahan rasa
ngeri.
Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan
yang pucat, membuat wajahnya yang
tampan nampak pucat juga. “Kau takut dan
seram juga? Ah, tempat ini merupakan
tempat paling aman bagi kami....“
“Kau dan anak buahmu?”
Pemuda itu mengangguk. “Engkau
me-mang luar blasa dan aku kagum
padamu, Nona Ci Sian, atau.... namamu itu
juga nama palsu?
“Namaku tidak palsu, perlu apa aku harus
memakai narna palsu seperti eng-kau,
Jenderal?”
“Hemm, engkau sudah menduga
sede-mikian jauh sehingga tahu akan nama
yang kupakai?”
“Engkau seorang yang amat penting dan
ternama tentu saja, maka akan bo-dohlah
kalau engkau menggunakan nama sendiri
selagi melakukan tugas mata-mata.”
“Kau memang cerdik luar biasa dan aku
percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku
memang utusan kaisar untuk meno-long
pasukan kami yang terkurung. Dan di sana
aku memang menjadi jenderal. Biarpun
nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak
banyak selisihnya dengan namaku yang
tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin
Liong, Kao Cin Liong.”
Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak
bertemu orang pandai, akan tetapi belum
pernah dia mendengar nama ini. Kalau dia
tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan
terkejut setengah mati. Pemuda ini
sesungguhnya bukan orang biasa,
melain-kan keturunan suami isteri pendekar
yang pernah menggegerkan kolong langit
de-ngan ilmu kepandaian mereka yang
amat tinggi. Para pembaca cerita
SEPASANG RAJAWALI dan JODOH
SEPASANG RAJAWALI tentu dapat
mengingat atau menduga siapa adanya
pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini
adalah cucu Jenderal Kao Liang yang
sangat terkenal, seorang jen-deral yang
gagah perkasa dan yang mem-biarkan
dirirnya tewas terbakar demi setianya
terhadap kerajaan dan demi men-jaga
nama baik keluarga Kao (baca KISAH
JODOH SEPASANG RAJAWALI). Ayah
dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si
Choirul, maret 2008 233
Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao
Kok Cu, seorang pendekar yang memiliki
kepan-daian luar blasa dan terkenal
sebagai se-orang pendekar sakti yang
ditakuti lawan disegani kawan. Ibunya yang
bernama Wan Ceng atau Candra Dewi
adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan
Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu
kepandaian yang hebat. Suami isteri ini
tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan
merupakan tokoh-tokoh besar dalam du-nia
persilatan yang disegani.
Agaknya darah kakeknya mengalir dalam
dari Cin Liong karena semenjak kecil, selain
suka akan ilmu silat dan sastra, anak ini
juga tertarik sekali akan sejarah para
pahlawan. Apalagi riwayat kakeknya seperti
yang dia dengar dari ayahnya amat menarik
hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita
untuk menjadi seperti kakeknya, menjadl
seorang pahla-wan dan panglima di
kerajaan! Melihat bakat dan semangat
puteranya, setelah puteranya itu
memperoleh pendidikan Ilmu silat yang
cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan
persetujuan isterinya lalu membawa Kao
Cin Liong ke kota raja dan dengan
perantaraan adik-nya, yaitu Kao Kok Han
yang telah men-jadi seorang perwira tinggi,
Cin Liong lalu memasuki ketentaraan.
Karena ke-pandaian silatnya memang hebat
sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya,
apa-lagi mengingat bahwa pemuda itu
adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang
yang gagah perkasa, maka dalam waktu
pen-dek saja pemuda perkasa ini telah
mem-peroleh kedudukan tinggi. Apalagi
ketika beberapa kali dia berhasil memimpin
pasukan menindas pemberontakanpemberontakan
di sepanjang pantai Po-hai
dan di utara, bahkan melakukan
pembersihan terhadap para bajak laut, dia
berjasa besar dan dalam usia yang masih
amat muda dia sudah berpangkat jenderal!
Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti
mendiang kakeknya yang amat
dikaguminya. Dan dalam melaksanakan
tugasnya, pemuda ini memang hebat dan
tegas, persis seperti kakeknya dahulu.
Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa
pasukan Nepal mengganggu perba-tasan
Tibet dan memukul mundur pa-sukan Tibet
yang melakukan penjagaan di tapal batas,
bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu
memerintahkan untuk menggempur
pasukan Tibet yang telah menjadi daerah
taklukan itu. Lima ribu orang pasukan
dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima
yang amat gagah perkasa karena panglima
ini bukan lain adalah Kao Kok Han. Akan
tetapi, karena kelihaian panglima Nepal,
pasukan ini ter-jebak dan terkurung di
lembah bukit sehingga tidak mampu lagi
untuk mem-bobolkan kepungan.
Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan
hendak mengirim pasukan lebih be-sar.
Akan tetapi Jenderal Muda Kao Cin Liong
lalu menghadap Kaisar dan kepada
panglima besar dia pun minta ijin untuk
diperkenankan melakukan penyelidikan ke
barat karena dia merasa yakin bahwa
dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan
dapat menyelamatkan pasukan yang
terkepung itu! Tentu saja dalam hal ini, Cin
Liong bukan hanya ingin menyelamatkan
pasukan itu, melainkan juga un-tuk
menyelamatkan pamannya, yaitu Kao Kok
Han pemimpin pasukan yang terke-pung itu.
Dia telah ditangisli oleh keluar-ga
pamannya itu untuk menyelamatkan
pamannya dan anak buahnya.
Demikianlah, karena ingin melakukan
penyelidikan secara bebas terhadap
ke-dudukan panglima wanita yang lihai itu,
maka Cin Liong dengan jalan
menye-lamatkan Siok Lan dan membiarkan
diri-nya ditangkap akhirnya dapat diterima
sebagai sahabat puteri panglima itu dan
memperoleh kebebasan di Lhagat sehingga
dia dengan mudah dapat melakukan
penye-lidikan, apalagi karena dia disuruh
tinggal di gedung panglima!
Mendengarkan penuturan panglima muda
itu, diam-diam Ci Sian menjadi kagum
bukan main. Pemuda ini sungguh berani
dan juga amat cerdik. Kalau saja dia sendiri
tidak mengenal sinar mata mencorong itu,
Choirul, maret 2008 234
agaknya dia pun tidak nanti akan menduga
bahwa pemuda itu adalah jenderal sakti
yang datang utuk menolong pasukan yang
terkepung itu!
“Dan mengapa engkau begini percaya
kepadaku, Ciangkun!” .
“Ah, Nona, harap engkau jangan
me-nyebutku dengan sebutan ciangkun.
Ingat, aku masih menyamar sebagai Liong
Cin di sini, maka jangan kau merobah
sebut-anmu agar tidak menimbulkan
kecuriga-an. Engkau tentu mau membantu
kami, bukan?”
Ci Sian tersenyum. Orang ini begitu percaya
kepada diri sendiri! “Baiklah, Liong Cin....
aih betapa janggalnya me-nyebut nama
palsu orang! Aku ingin se-kali tahu
mengapa engkau begini percaya kepadaku
sehingga engkau telah membong-kar
rahasiamu kepadaku? Bukankah hal ini
berbahaya sekali? Kalau aku
mem-bocorkan rahasiamu, bukan saja
usahamu akan gagal, pasukan yang
terkepung tidak akan dapat diselamatkan,
dan engkau sen-diri tentu akan tertimpa
bencana.”
Cin Liong menggeleng kepala. “Aku yakin
bahwa engkau tidak akan melaku-kan hal
itu.
“Bagaimana engkau dapat yakin?” Ci Sian
mendesak. “Kita baru saja bertemu dan
berkenalan, engkau tidak mengenalku, tidak
mengenal watakku.”
“Nona, di dalam ilmu perang terdapat Ilmu
mengenal watak orang dari wajah-nya, dari
sikap dan gerak-geriknya. Engkau
berkepandaian silat tinggi dan wajahmu
membayangkan kegagahan, bah-wa
engkau tidak mungkin berbuat hal-hal yang
rendah dan jahat. Pula, aku dapat melihat
dari sinar matanya bahwa panglima wanita
itu menaruh curiga ke-padamu, sungguhpun
Nona Siok Lan percaya penuh kepadamu.
Dari semua itu saja aku sudah tahu bahwa
engkau bukanlah musuh dan dapat menjadi
sekutuku.”
“Hemm, terus terang saja, aku tidak mau
terlibat dalam perang dan permu-suhan.
Apalagi harus memusuhi Siok Lan yang
begitu baik. Aku hanya ingin men-cari
Lauw-piauwsu.”
“Aku berjanji akan mencari piauwsu itu dan
membawanya kepadamu asal engkau mau
membantuku, Nona.”
“Membantu bagaimana?”
“Menutupi rahasiamu.”
“Ah, kalau hanya begitu, tentu saja aku
tidak keberatan.”
Tiba-tiba jenderal muda itu meme-gang
lengan Ci Sian dan menariknya
ber-sembunyi ke balik sebuah batu besar di
tanah kuburan itu. Ci Sian hampir men-jerit
ngeri ketika dia mendapat kenyata-an
bahwa dia telah ditarik dan mende-kam di
atas gundukan tanah kuburan! Akan tetapi
melihat kesungguhan pemuda itu, dia pun
memandang ke depan. Ter-nyata ada
bayangan orang yang berjalan seenaknya
ke arah mereka dan bayangan itu
mengomel panjang pendek, kemudian
setelah dekat, bayangan itu berkata, “Huh,
tahu malu, berkencan di tanah kuburan!
Berjanji simpan-simpan rahasia lagi!
Persekutuan busuk, ha-ha.... sungguh
persekutuan busuk!”
Tentu saja Ci Sian terkejut bukan main.
Akan tetapi Cin Liong sudah melon-cat
keluar dan tanpa banyak cakap dia sudah
menyerang dengan totokan ke arah pundak
orang itu.
“Desss....!” Keduanya terdorong ke
belakang dan tentu saja Cin Liong ter-kejut
bukan main karena ternyata orang itu
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat,
atau setidaknya dapat mengimbangi
tenaganya sendiri sehingga ketika orang itu
menangkis, dia sampai terpental ke
Choirul, maret 2008 235
belakang. Sebaliknya orang itu yang juga
terpental, lalu tertawa, membalikkan
tubuhnya dan melarikan diri dari tanah
kuburan yang sunyi itu. Cin Liong yang
merasa terkejut dan curiga, cepat
mela-kukan pengejaran. Melihat itu, Ci Sian
juga mengejar sekuatnya karena dua orang
yang berkejaran itu ternyata dapat berlari
secepat angin!
Bayangan yang dikejar oleh Cin Liong itu
berlari terus dan melompat dinding kota
tanpa mempedulikan para penjaga yang
banyak berkeliaran di tempat itu. Tentu saja
Cin Liong tidak mau mele-paskannya
karena orang yang lihai itu amat
mencurigakan, dan dia terus mengejar.
Demikian pula Ci Sian melakukan
pengejaran. Melihat berturut-turut ada tiga
bayangan orang berkelebatan melon-cati
pagar tembok, para penjaga menjadi geger
dan mencoba untuk melakukan
pe-ngejaran, namun mereka tertinggal jauh
dan komandan jaga yang merasa khawatir
cepat memberi laporan ke dalam.
Sementara itu, bayangan yang dikejar--
kejar itu seperti hendak mempermainkan
Cin Liong dan Ci Sian yang terus
melakukan pengejaran. Kadang-kadang dia
tersusul dekat dan terdengar suaranya
tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba
dia melesat jauh sekali dan meninggalkan
para pengejarnya. Setelah tiba di sebuah
bukit, bayangan itu mendaki naik, akan
tetapi ketika tiba di lereng bukit, tiba-tiba dia
memutar dan turun kembali, kini bahkan lari
ke arah kota Lhagat!
“Gila dia!” Cin Liong memaki dalam hatinya
dan terus mengejar. Karena bu-lan
sepotong sudah turun ke barat, maka
malam yang menjadi gelap itu menyulit-kan
dia untuk dapat menyusul orang itu,
sedangkan Ci Sian sudah mandi keringat
karena lelah. Mereka berkejaran sampai
setengah malam, dipermainkan oleh
ba-yangan itu dan akhirnya, ketika malam
terganti pagi dan cuaca tidak gelap lagi,
orang itu berhenti berlari, bahkan kini
berhenti di tengah jalan menanti para
pengejarnya sambil bertolak pinggang dan
tertawa-tawa. Akan tetapi wajahnya yang
penuh ditumbuhi jenggot itu juga mengkilap
basah oleh peluh, tanda bahwa main
berlari-larian itu membuatnya lelah juga!
Cin Liong sudah berhadapan dengan orang
itu ketika Ci Sian datang ter-engah-engah
dan kedua kakinya terasa lelah dan lemas.
Mereka berdua menatap orang yang
mempermainkan mereka itu dan diam-diam.
Ci Sian terkejut. Untuk ketiga kalinya dia
bertemu dengan orang yang matanya
mencorong. Pertama adalah mata Kam
Hong, ke dua mata Kao Cin Liong dan ke
tiga adalah mata orang ini! Dan begitu
melihat wajah yang me-nyeramkan itu, dan
melihat bibir yang tersenyum menyeringai di
balik jenggot dan kumis yang awut-awutan,
tiba-tiba Ci Sian teringat. Dia pernah
bertemu dengan orang ini! Akan tetapi dia
telah lupa lagi di mana.
“Siapakah engkau?” Dengan suara penuh
wibawa. Cin Liong bertanya sambil menatap
tajam. Orang itu berusia tiga puluh tahun
lebih, hampir empat puluh tahun agaknya,
tubuhnya sedang dan tegap, akan tetapi
pakaiannya seperti pakaian pengemis,
rambutnya, jenggot dan kumisnya tak
terpelihara, awut-awutan, padahal dalam
keadaan seperti itupun masih nampak
bahwa orang ini memiliki wajah yang gagah
dan tampan, terutama sekali sepasang
matanya yang tajam dan memancarkan
cahaya aneh, akan tetapi kadang-kadang
sinar mata itu menjadi suram dan seperti
lampu hampir padam diliputi kedukaan.
Mendengar pertanyaan itu, orang
ber-pakaian jembel ini tertawa dan ketika
dia tertawa, nampak deretan giginya yang
kuat dan putih, sungguh berbeda dengan
keadaan rambut dan pakaiannya. “Ha-haha,
siapa aku, siapa engkau? Sia-pa
jenderal yang menjadi mata-mata? Siapa
yang masih muda menjadi seorang perwira
tinggi, mengejar kedudukan? Ha-ha-ha!”
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.
Begitu berjumpa dia dimaki orang, orang
Choirul, maret 2008 236
jembel dam gila lagi, dimaki se-bagai
pengejar kedudukan! “Siapa engkau? Kalau
engkau tidiak mau mengaku, jangan
katakan aku kejam kalau terpaksa aku akan
menyerangmu!” bentaknya mengancam.
“Kau? Menyerang aku? Ha-ha, anak kecil
berhati besar. Hayo sekarang maju-lah,
seranglah, siapa takut padamu? Ha ha!”
Ditantang seperti ini, tentu saja Cin Liong
menjadi marah. Akan tetapi dia dapat
menguasai hatinya, karena maklum bahwa
kemarahan bukanlah cara untuk mengatasi
keadaan. Dia menatap tajam, kemudian
berkata, “Aku akan menyerang-mu karena
engkau mungkin membahayakan usahaku.”
“Ha-ha, anak kecil, kau majulah!”
Cin Liong lalu mengeluarkan bentakan
nyaring dan dia sudah menyerang dengan
pukulan cepat dan kuat sekali ke arah
lawan. Orang jembel itu tertawa dan cepat
dia mengelak. Gerakannya aneh dan cepat
sekali, juga ketika dia memba-las dengan
tamparan tangan kirinya, gerakannya
memang hebat. Cin Liong terkejut dan
maklum bahwa dia berha-dapan dengan
lawan tangguh. Dia men-duga bahwa
agaknya orang ini yang me-nyamar seperti
orang gila tentu utusan dari panglima
musuh! Maka dia pun lalu menangkis dan
menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan
tenaganya sehingga dari kedua tangannya
menyambar hawa yang mengeluarkan
suara bercuitan. Lawannya berseru kagum
dan juga ber-gerak cepat, jari-jari tangannya
terbuka dan ketika tangannya bergerak, jari
ta-ngannya meluncur seperti pedang dan
mengeluarkan suara bercuitan pula!
Setelah saling serang dan saling me-gelak
sampai beberapa belas kali, tiba-tiba
mereka harus mengadu lengan dan mereka
saling mengerahkan tenaga. “Dukkk!” Untuk
ke sekian kalinya dua lengan yang sama
kuatnya bertemu dan keduanya terpental ke
belakang!
“Ha-ha-ha, heh-heh-heh, kau hebat juga....!”
Pengemis aneh itu tertawa lagi dan kini
wajahnya berseri, nampak gem-bira dan
dalam keadaan seperti itu dia tidak
kelihatan tua benar sehingga usianya tentu
tidak lebih banyak dari empat puluh tahun.
Dan melihat wajah yang tertawa, mata yang
berseri-seri itu, tiba-tiba Ci Sian teringat di
mana dia pernah bertemu dengan jembel
ini. Dahulu, di waktu dia melakukan
perjalanan dengan rombongan Lauwpiauwsu!
Pengemis yang mencengkeram
golok sampai rompal di dalam guha itu!
“Benar dialah itu!” tiba-tiba dia ber-seru dan
dua orang yang sedang berhadap-an itu
menengok dengan heran dan ka-get. Ci
Sian menghampiri pengemis itu dan
menudingkan telunjuknya ke arah muka
pengemis itu.
“Benar dia! Inilah jembel yang me-nolak roti
dan mencengkeram golok anak buah Lauwpiauwsu
itu!”
Jembel itu tertawa dan kini dia me-nubruk
lagi kepada Cin Liong yang cepat mengelak
dan berseru, “Ci Sian, kau mundurlah!”
Karena dia tahu betapa li-hainya jembel itu
dan amatlah berbahaya bagi Ci Sian kalau
sampal diserang oleh orang itu. Akan tetapi
dia terlalu meman-dang rendah Ci Sian.
Setelah menjadi murid See-thian Coa-ong,
dara ini telah memiliki kepandaian yang
tinggi, maka tentu saja tidak menjadi gentar
dan kini dia malah ikut maju dan
menyerang, begitu tangan kanannya
bergerak, seekor ular belang kuning hitam
telah menyam-bar ke arah leher jembel itu.
“Ular! Ular....!” teriak Si Jembel dan dia
mencoba untuk mencengkeram ular itu
dengan tangannya. Namun ular itu dapat
mengelak dan dengan pergelangan
tangannya, Ci Sian membuat ular itu
membalik dan menggigit ke arah lengan Si
Jembel. Akan tetapi jembel itu me-mang
lihai sekali dan dia dapat mengelak sambil
meloncat ke kanan dan kini kedua
tangannya menyambar-nyambar, dengan
jari-jari tangan terbuka menotok dan
Choirul, maret 2008 237
menampar ke arah Cin Liong dan Ci Sian
secara hebat sekali.
Kembali Cin Liong terkejut. Pertama dia
kagum menyaksikan kehebatan Ci Sian,
kedua kalinya dia terkejut karena benarbenar
jembel itu amat lihai. Beta-papun
juga, dia masih mengkhawatirkan
keselamatan Ci Sian, dan dia pun merasa
malu kalau harus mengeroyok seorang
jembel sinting, padahal dia adalah se-orang
jenderal muda yang terkenal me-miliki
kepandaian tinggi. Ayah bundanya tentu
akan marah kalau mendengar bah-wa dia
mengeroyok seorang jembel sin-ting.
“Ci Sian, aku belum kalah, biarkan aku
menghadapinya. Tidak perlu kita
mengeroyok!” katanya.
“Ha-ha-ha, he-heh! Keroyokan juga boleh!
Kautambah lagi dengan barisan matamatamu,
orang muda, heh-heh!”
Tadinya Ci Sian, tidak mau menurut
perintah Cin Liong, akan tetapi mendengar
ucapan jembel itu, dia merasa malu sendiri.
Seorang jembel cacat pikir-annya, orang
sinting begini mana pantas dikeroyok dua?
Maka dia pun meloncat mundur dan hanya
menonton dan diam-diam dia menjadi
kagum. Dia harus mengakui bahwa pemuda
itu hebat sekali ilmu silatnya, akan tetapi
jembel itu pun Cin lihai dan aneh gerakangerakan-
nya. Tiba-tiba jembel itu
merebahkan diri ke atas tanah dan dengan
menolak tanah menggunakan kedua
tangan, kaki-nya meluncur dengan
serangan aneh ke arah tubuh lawan.
Hebatnya, dari kedua kakinya itu
menyambar hawa pukulan yang dahsyat
bukan main! Cin Liong me-ngelak, akan
tetapi masih terhuyung, dan saat itu
dipergunakan oleh lawannya untuk
berjungkir balik dan kedua tangan-nya
dengan jari tangan terbuka sudah
menghujankan tamparan bertubi-tubi.
Melihat ini, Cin Liong yang agak ter-desak
mudur itu tiba-tiba mengeluarkan lengking
nyaring dan dia merobah ilmu silatnya,
kedua lengannya kadang-kadang
membentuk cakar naga dan tubuhnya
menggeliat-geliat seperti seekor naga.
Itulah Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu
Silat Tangan Kosong Naga Sakti) dan
begitu dia mainkan ilmu ini, Si Jem-bel itu
berseru kaget dan terdesak hebat. Begitu
Jembel itu mundur, Cin Liong terus
mendesak dan biarpun jembel itu masih
berusaha mempertahankan diri, namun
serangan-serangan Cin Liong ter-lampau
hebat membuat dia kewalahan dan tiba-tiba
dia meloncat jauh ke bela-kang.
“Aih, putera Ceng Ceng sungguh ku-rang
ajar sekali, berani melawan orang tua!”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Cin Liong
berhenti bergerak dan memandang dengan
mata terbelalak kepada jembel itu. Dan
anehnya, jembel itu yang tadi-nya tertawatawa,
kini mulai menangis! “Ceng Ceng....
Ceng Ceng.... kau memiliki putera yang
lihai.... kau bahagia.... sungguh membuat
aku mengiri padamu.... hu-hu-huuhh....!”
Jembel itu menangis sesenggukan seperti
anak kecil. Cin Liong dan Ci Sian
memandang dengan penuh keheranan dan
juga mulai merasa kasihan kepada orang
lihai yang sinting itu.
Akan tetapi kalau Ci Sian hanya ter-heranheran,
sebaliknya Cin Liong terke-jut sekali
mendengar ucapan dalam tangis Si Jembel
itu. Wajahnya yang tampan itu berobah dan
dia memandang dengan mata terbelalak,
kemudian melangkah maju dan bertanya
dengan suara meragu. “Apakah Paman....
eh.... Si Jari Maut....?”
Mendengar pertanyaan ini, jembel sinting itu
menghentikan tangisnya, mengangkat muka
memandang Cin Liong dan seketika
tangisnya terganti senyum ramah “Eh,
engkau.... engkau sudah me-ngenalku....?”
Cin Liong merasa terharu bukan main.
Kiranya jembel sinting itu adalah pen-dekar
yang terkenal itu, saudara seayah lain ibu
dengan ibunya sendiri, jadi masih terhitung
pamannya sendiri! Jembel sinting ini adalah
Choirul, maret 2008 238
Wan Tek Hoat, saudara seayah lain Ibu dari
ibunya yang bernama Wan Ceng dan
menurut penuturan ibunya Wan Tek Hoat
adalah seorang pendekar besar yang
tampan dan gagah, dan bah-kan telah
diambil mantu oleh Raja Bhu-tan, juga
diangkat menjadi seorang panglima di
Kerajaan Bhutan! Akan tetapi mengapa kini
pendekar itu menjadi se-perti ini, seorang
jembel yang sinting?
“Maafkan saya, Paman Wan Tek Hoat....
karena saya tidak mengenal Pa-man, maka
saya telah bertindak kurang ajar. Akan
tetapi Paman.... ah, mengapa keadaan
Paman menjadi seperti ini....?” Cin Liong
berkata sambil menjura dengan sikap
hormat, hal yang membuat Ci Sian menjadi
bengong terheran-heran.
Orang seperti jembel yang sinting itu
memang Wan Tek Hoat. Karena himpitan
kecewa dan duka karena asmara gagal,
pendekar ini akhirnya menjadi seperti orang
sinting, suka tertawa dan mena-ngis, dan
hidup tidak mempedulikan apa pun, bahkan
tidak peduli akan keadaan dirinya yang
sepertl jembel itu! Kadang-kadang, kalau
dia lagi sendirian di tem-pat sunyi,
teringatlah dia akan semua kebahagiaan
yang dinikmatinya, ketika dia berada di
samping kekasihnya. Puteri Syanti Dewi,
teringatlah dia akan cinta kasih puteri itu
kepadanya yang teramat besar, lalu teringat
pula dia akan semua penyelewengannya,
akan semua perbuat-annya yang menyakiti
hati Sang Puteri, maka timbullah
penyesalan yang amat hebat, yang
menghentak-hentak di hati-nya, yang
menghimpit hatinya dan men-datangkan
kedukaan dan kekecewaan ser-ta
penyesalan yang hampir tidak kuat
ditahannya dan yang membuat dia
bebera-pa kali hampir mengambil
keputusan nekat untuk membunuh diri saja!
Hidup ini rasanya seperti dalam neraka
baginya! Bertahun-tahun dia menderita,
rasa rindu yang menggerogoti kalbu,
penyesalan diri yang amat mendalam,
kemudian rasa khawatir bahwa kekasihnya
itu mungkin kini telah melupakannya,
bahkan mungkin sekali kini telah menjadi
isteri orang. Semua ini membuat keadaan
batin pen-dekar ini makin lama makin lemah
dan tertekan.
Sepintas lalu kita akan merasa kasih-an
kepada pendekar ini. Namun kita lupa
bahwa betapa kita sendiri pun hampir setiap
hari menghadapi hal-hal yang sama atau
tidak jauh selisihnya dengan keadaan Tek
Hoat. Hidup di dunia ini begini penuh
kesengsaraan, begini penuh konflik dan
duka nestapa, hanya kadang-kadang, saja
kita dapat menikmati kebahagiaan selintas
seperti cahaya kilat diantara awan mendung
yang memenuhi angkasa kehidupan. Kalau
kita mau membuka mata melihat kenyataan,
di seluruh dunia ini penuh dengan konflik,
kebencian, den-dam, permusuhan yang tak
kunjung habis, bahkan yang kadang-kadang
meletus da-lam perang yang menewaskan
ratusan ribu orang manusia! Bunuhmembunuh,
dendam-mendendam yang
terjadi di da-lam dunia kita ini, dalam jaman
modern dan “maju” ini, ternyata jauh lebih
hebat dan mengerikan daripada yang terjadi
dalam cerita silat mana pun!
Di dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita
semakin menjauhi Ketuhanan dan
Perikemanusiaan! Ketuhanan dan
Perike-manusiaan hanya menjadi hiasan
bibir bela-ka bagi kita, hanya kita dengangde-
ngungkan sebagai slogan-slogan
kosong! Kenyataan pahit ini harus kita
hadapi dengan mata dan telinga terbuka,
dan untuk menyelidiki kebenarannya, kita
harus membuka mata mengamati diri kita
sendiri masing-masing! Benarkah kita ini
ber Tuhan? Benarkah kita ini
berperi-kemanusiaan? Tak perlulah untuk
menilai orang lain apakah dia atau mereka
itu ber-Tuhan atau berperikemanusiaan,
ka-rena penilaian kepada orang lain itulah
yang membuat kita menjadi palsu, yang
membuat kita mempergunakan pengertian
ber-Tuhan dan berperikemanusiaan itu
untuk menyalahkan dan menyerang orang
lain! Akan tetapi marilah kita mengamati diri
kita sendiri masing-masing!
Choirul, maret 2008 239
Kita semua mengaku beriman, kita semua
mengaku ber-Tuhan, akan tetapi mari kita
singkirkan semua pengakuan yang tidak
ada arti dan gunanya ini, melainkan kita
mengamati batin sendiri apakah
benar-benar kita ber-Tuhan! Kalau kita
benar-benar ber-Tuhan, sudah tentu setiap
saat kita waspada, setiap saat kita sadar
bahwa Tuhan mengamati semua
perbuat-an kita, mendengarkan semua
suara hati dan mulut kita! Sebaliknya, kalau
kita ber-Tuhan hanya di mulut belaka, maka
terjadilah seperti yang sekarang ini ter-jadi
di dunia, di antara kita semua, yaitu bahwa
dalam keadaan menderita saja kita ingat
kepada Tuhan, sedangkan wak-tu
selebihnya kita lupakan begitu saja, lupakan
dengan sengaja karena kita haus akan
kesenangan dan Tuhan kita anggap
sebagai penghalang kesenangan! Dapatkah
kita hidup ber-Tuhan bukan dengan katakata
kosong, pengakuan mulut, melainkan
dengan sepenuhnya, secara mendalam,
mendarah daging dan nampak dalam setiap
gerakan, ya, bahkan setiap tarikan napas
kita? Dapatkah? Yang menjawab hanya
bukti pada diri kita sendiri, karena semua
jawaban teori hanya kosong melompong
tanpa arti. Penghayatan dalam kehidupan
setiap saatlah yang menentu-kan
segalanya.
Kita selalu ingin disebut sebagai orang yang
berperikemanusiaan! Betapa menggelikan
dan juga menyedihkan! Se-olah-olah
perikemanusiaan hanya sema-cam cap
atau semacam hiasan belaka! Pernahkah
kita meneliti mengamati diri sendiri lahir
batin apakah kita ini berpe-rikemanusiaan
ataukah tidak! Adakah api “kasih” bernyala
dalam batin kita? Tidak ada! Api itu padam
sudah! Yang ada hanya abu dan asapnya
saja yang membutakan mata. Yang ada
hanyalah penge-jaran uang, kedudukan,
dan pengejaran kesenangan jelas
meniadakan cinta kasih! Pengejaran
kesenangan memupuk dan membesarkan
si aku yang ingin senang, dan makin besar
adanya si aku, makin jauhlah sinar cinta
kasih dari batin.
Dan semua itu, yang nampak demi-kian
gemilang dan menyilaukan, yang nampak
demikian menyenangkan, sesungguhnya
hanyalah lorong lebar menuju kepada
kesengsaraan hidup. Memang, kita boleh
tersenyum mengejek dengan sinis, boleh
saja. Kita semua seperti dalam ke-adaan
buta selagi mengejar-ngejar kese-nangan
yang kita namakan dengan isti-lah-istilah
muluk seperti kemajuan dan sebagainya.
Kapankah kita akan sadar bahwa hidup
tanpa cinta kasih tidak mungkin mem-buat
kita hidup ber-Tuhan dan
berperike-manusiaan? Ber-Tuhan berarti
hidup penuh sinar cinta kasih!
Berperikemanu-siaan berarti penuh cinta
kasih! Dunia penuh konflik, penuh
kebencian, penuh pertentangan dan
permusuhan, penuh pemberontakan dan
peperangan, namun kita masih selalu bicara
tentang damai tentang perikemanusiaan
dan sebagainya! Sama dengan
membicarakan tentang bu-nga dan buah
selagi pohonnya sakit dan rontok.
Mendengar pertanyaan Cin Liong, Wan Tek
Hoat sejenak bengong, lalu dia men-jawab
dengan heran, “Aku mengapa? Keadaanku
mengapa?”
Cin Liong tidak berani menyinggung lagi
keadaan pamannya itu. Dia tahu bahwa
orang sakti seperti pamannya ini kadangkadang
memang memiliki watak yang aneh,
dan siapa tahu bahwa pakaian jembel itu,
sikap sinting itu, adalah se-suatu yang
disengaja karena memang banyak orangorang
sakti di dunia kang-ouw yang
bersikap aneh-aneh.
“Paman, setelah Paman mengetahui tugas
saya berada di sini, mengingat beratnya
tugas itu dan betapa pasukan kita
terkepung dan terancam bahaya, saya
mohon bantuan dan petunjuk Paman,”
Pemuda yang cerdik ini merobah bahan
percakapan dan langsung saja dia
mengeluarkan isi hatinya.
Choirul, maret 2008 240
“Kao Cin Liong, begitu namamu, bu-kan?
Sudah lama aku mengamati gerak-gerikmu
dan engkau memang hebat seka-li. Apa lagi
yang dapat kubantu? Kulihat banyak orang
pandai telah membantumu, bahkan Nona
muda ini pun merupakan seorang pembantu
yang hebat.”
Cin Liong lalu mengajak mereka ber-tiga
untuk duduk di bawah sebatang pohon di
tempat sunyi itu dan dia lalu mence-ritakan
apa yang telah dilakukannya se-bagai
siasat untuk menyelamatkan pasu-kannya
yang terkepung musuh. Kiranya jenderal
muda ini memang amat cerdik dan lihai
sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi
dia telah berhasil menyusup ke atas bukit di
mana pasukan itu diku-rung dan selama
beberapa hari dia mem-pelajari keadaan
bukit itu bersama pa-mannya, yaitu
Panglima Kao Kok Han. Ketika dia melihat
anak sungai yang mengalir menuruni
lembah, dia lalu men-cari sumbernya dan
begitu bertemu de-ngan sumber air, dia lalu
memerintahkan pasukan utuk membuat
bendungan besar untuk menampung air
sebanyak-banyaknya di tempat yang tinggi.
Pasukan menggali waduk besar dan
membendung air dari sumber itu. Melihat
besarnya air yang keluar dari sumber, Cin
Liong sudah memperhitungkan berapa lama
dia harus menampung air itu untuk dapat
dipakai melaksanakan siasatnya. Kemudian
diam-diam dia lalu mengatur pasukan Tibet,
dipilihnya pasukan-pasukan yang gagah
berani dan kuat, kemudian sebagian besar
dari pasukan itu diselundupkannya ke
Lhagat dan sekitarnya, ada pula yang
bersama dia menyamar sebagai pemburupemburu,
sebagai pedagang-pedagang
atau pencari-pencari ikan.
“Kita masih harus menunggu tiga hari lagi,
Paman. Tiga hari lagi air waduk itu akan
cukup banyak untuk dipergunakan.
Sementara itu, aku harus tetap berada di
Lhagat untuk memimpin pasukan gerilya
kalau saatnya tiba. Akan tetapi, ternyata
panglima wanita itu lihai sekali dan ka-lau
aku tidak hati-hati, tentu dia dapat
mengetahui rahasiaku.”
Wan Tek Hoat mengangguk-angguk. Dalam
menghadapi percakapan serius itu,
“gilanya” tidak kumat dan dia dapat
mempergunakan pikirannya dengan baik.
“Jangan khawatir, aku mendapatkan jalan
untuk membantumu agar engkau tidak
dicurigai lagi.” Ketika Cin Liong
menanyakan “jalan” itu, Tek Hoat tidak mau
menerangkan, melainkan menyuruh dua
orang muda itu cepat kembali ke Lhagat.
Akan tetapi tiba-tiba mereka men-dengar
suara orang dan Tek Hoat sudah menerjang
Cin Liong dengan pukulan-pukulan dahsyat
sambil berbisik. “Cepat lawan aku!”
Cin Liong adalah seorang pemuda yang
amat cerdik. Biarpun terkejut, dia sudah
dapat mengetahui siasat pamannya itu,
maka dia pun cepat menangkis dan balas
menyerang. Ci Sian juga seorang dara yang
cerdik, akan tetapi sejenak dia bengong
karena tidak tahu mengapa jem-bel sinting
yang ternyata masih paman dari jenderal
muda itu, tiba-tiba malah menyerang
pemuda itu. Akan tetapi ke-tika dia
mendengar derap kaki banyak kuda,
mengertilah dia dan dia pun segera
membantu Cin Liong menyerang jembel
sinting itu!
Terkejutlah tiga orang yang sedang
bertempur ini ketika melihat bahwa
pa-sukan yang datang itu adalah pasukan
Nepal yang dipimpin sendiri oleh pang-lima
wanita, Puteri Nandini yang dite-mani oleh
Siok Lam “Kalian harus ro-boh....“ bisik Wan
Tek Hoat dengan cepat dan lirih, hanya
terdengar oleh dua orang muda itu, dan dia
pun cepat melakukan serangan dahsyat
kepada dua orang muda itu. Cin Liong dan
Ci Sian menangkis, akan tetapi mereka
berteriak kaget dan terlempar, terpelanting
dan roboh. Me-lihat ini, Puteri Nandini dan
Siok Lan membalapkan kuda mereka dan
berlon-catan sambil mencabut senjata dan
me-nyerang Wan Tek Hoat. Akan tetapi
jem-bel sinting ini mengelak dari sambaran
pedang panglima wanita itu, kemudian
dengan jari tangan terbuka dia
Choirul, maret 2008 241
menghan-tam pedang di tangan Siok Lan
dari samping. Dara ini menjerit kaget karena
pedangnya menjadi patah-patah ketika
bertemu dengan jari-jari tangan itu! Pu-teri
Nandini juga terkejut dan cepat dia
menerjang sambil memberi aba-aba agar
pasukannya bergerak.
Wan Tek Hoat tertawa bergelak melihat
pasukan maju hendak mengeroyok-nya itu.
Dia melempar tubuh ke belakang dan
bergulingan di atas tanah, terus me-lompat
jauh sambil tertawa terus. Puteri Nandini
mencoba untuk mengejar, namun jembel
sinting itu telah lenyap di balik pohon-pohon
dan dia hanya dapat meme-rintahkan para
pembantunya untuk mela-kukan pengejaran
dan pencarian. Semen-tara itu, Siok Lan
sudah cepat lari menghampiri Ci Sian dan
Cin Liong.
Akan tetapi pertama-tama dara ini ber-lutut
di dekat pemuda itu dan bertanya dengan
nada suara khawatir, “Kau terluka....?”
Cin Liong bangkit dan mengeluh lirih.
Pangkal lengan kirinya terluka, baju di
bagian itu robek berikut kulit dan sedikit
dagingnya. Hanya luka kecil saja. Juga Ci
Sian menderita luka kecil pada pun-daknya,
berdarah sedikit.
“Tidak berapa parah, Nona. Penjahat itu
lihai luar biasa.... kami berdua tidak mampu
menangkapnya....”
“Hemm, kurasa dia itulah mata-mata yang
pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan!
Tentu dia itulah yang dikabarkan orang
jenderal dari kota raja Ceng itu!” Ci Sian
menyambung dengan bersungut-sungut.
Panglima wanita itu cepat memeriksa luka
mereka dan mengobatinya, kemudian
mengajak mereka bicara. Dia menanya-kan
bagaimana keduanya dapat berada di
tempat ini dan bertanding dengan jembel
yang lihai itu.
Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu,
menceritakan betapa malam tadi mereka
berdua melihat bayangan berkelebat di
gedung. Karena tidak ingin menggegerkan
gedung dan pula karena percaya kepada
diri sendiri bahwa mereka berdua akan
mampu menangkap penjahat itu, kedua-nya
lalu mengejar. Akan tetapi ternyata penjahat
itu lihai dan mempermainkan mereka,
melarikan diri keluar dari kota sampai ke
tempat ini, bahkan berlari-larian dan
berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu
menanti mereka dan terjadi perkelahian
yang merugikan mereka ber-dua.
Cin Liong menarik napas panjang
mengakhiri ceritanya. “Li-ciangkun, harap
suka berhati-hati. Mata-mata itu sungguh
amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama
sekali tidak mampu berbuat apa-apa
terhadapnya dan kalau dia menghendaki,
agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu
kami melawannya tadi. Masih untung
bahwa kami hanya menderita luka yang
tidak parah.”
“Biarpun dia lihai seperti setan, kalau lain
kali bertemu dengan dia, aku akan
menantangnya untuk berkelahi sampai
seribu jurus!” Ci Sian berseru dan keli-hatan
amat penasaran.
“Akan tetapi, bagaimana bisa begitu
kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja
yang melihat mata-mata itu pada saat yang
sama?” Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan
dari sikap dan suaranya jelas dapat
ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!
“Enci Lan, Engkau menyangka apa?” Ci
Sian membentak dengan wajar, sesuai
dengan wataknya yang memang keras dan
sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin
Liong dari pengamatan dua pasang mata
yang memandang tajam dari Siok Lan dan
ibunya. “Seperti biasa, malam itu karena
gerah aku keluar dari kamar dan aku
memang selalu waspada untuk
mem-bantumu mengamat-amati gedung
kalau--kalau ada tamu tak diundang
menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat
bayangan penjahat itu, dibayangi oleh Liong
Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa
Choirul, maret 2008 242
dia mengejar orang di depan, maka aku pun
ikut mengejar. Kami membantumu untuk
mengejar mata-mata dan kini engkau
hendak mencurigai kami?”
“Memang benar demikian, Nona Siok Lan.
Malam itu mendengar orang di luar jendela
kamarku. Aku mengintai dari jendela dan
melihat bayangan orang itu longak-longok
seperti maling. Aku se-ngaja tidak menegur,
melainkan diam-diam aku membayanginya,
maka ketika dia lari keluar dari gedung dan
aku mengejarnya. Nona Ci Sian melihat
kami dan ikut mengejar.”
“Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau
sudah tidak kaupercaya lagi, Enci Lan!”
Siok Lan memegang lengan Ci Slan. “Maaf,
Adik Sian. Bukan kami tidak per-caya
kepadamu atau kepada Saudara Liong Cin,
melainkan.... eh, kami harus hati-hati dalam
keadaan seperti ini....”
“Sudahlah, kami sungguh berterima kasih
kepada kalian berdua, sungguhpun amat
sayang bahwa mata-mata itu dapat
me-loloskan diri.”
“Lain kali, kalau kalian melihat hal-hal yang
mencurigakan, harap suka berte-riak
memberitahu agar kami semua dapat
serentak bergerak menangkapnya.” Puteri
Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap
panglima ini dan puterinya, mereka berdua
agaknya sudah tidak curiga lagi dan tentu
saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin Liong
merasa lega.
Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu,
ada sesuatu perasaan amat tidak enak
dalam hati Ci Sian. Semenjak pe-ristiwa itu,
kalau kini dia melihat Cin Liong bersama
Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan atau
bercakap-cakap, me-lihat betapa mesranya
sikap Siok Lan, kepada pemuda itu, diamdiam
dia me-rasa tidak senang! Kadangkadang
dia melawan perasaannya sendiri
ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana
mungkin? Perasaan ini timbul ketika dia
merasa be-tapa Siok Lan cemburu
terhadapnya. Dia amat sayang kepada Siok
Lan dan me-rasa bahwa di samping semua
keadaan mereka yang berlawanan, namun
terdapat perasaan suka dan sayang antara
mereka, perasaan suka antara dua orang
sahabat yang cocok. Akan tetapi setelah
kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh
cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini
me-rasa tidak senang atau setidaknya ada
perasaan tidak nyaman dalam hatinya.
Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli
dan selalu dia menekankan di dalam
hatinya bahwa sikap manis Cin Liong
kepada Siok Lan itu merupakan “alasan”
dari jenderal muda itu untuk menjauhkan
kecurigaan dan untuk me-nyembunyikan
diri, tentu saja.
Tiga hari semenjak terjadinya, peris-tiwa itu.
Pagi hari itu Siok Lan mende-kati Cin Liong
dan mengajak pemuda ini berjalan-jalan ke
atas sebuah bukit kecil di tepi kota Lhagat.
Mereka melakukan perjalanan seenaknya,
berjalan berdam-pingan dan Siok Lan yang
beberapa kali menengok dan memandang
wajah pemuda itu bertanya, “Liong-ko
(Kakak Liong), mengapa kau kelihatan
termenung saja sejak tadi?”
Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya
tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan
hanya terkejut karena teguran yang
membuktikan ketajaman mata dara ini, akan
tetapi juga terkejut mendengar sebutan
Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini
menyebutnya koko, biasanya ha-nya
menyebut namanya saja, terutama kalau
berada di depan ibu dara ini atau di depan
Ci Sian.
“Ah, tidak apa-apa, Nona.”
Mereka berjalan terus melalui tempat
penjagaan dan tidak mempedullkan
pan-dangan para perajurit Nepal yang
me-nyeringai. Mereka berdua asyik
bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan
rahasia lagi betapa akrabnya hubungan
antara puteri panglima itu dengan pemuda
“pemburu” itu.
Choirul, maret 2008 243
Mereka kini tiba di puncak bukit kecil itu dan
mereka duduk berdampingan di atas rumput
hijau, memandang ke arah utara di mana
nampak bukit yang dikepung tentara Nepal,
bukit di mana terdapat lembah di mana
tentara Ceng sedang dikepung, sudah
hampir sebulan mereka dikepung tak
berdaya di tempat itu! Melihat bukit ini, tak
terasa lagi jantung Cin Liong berdebar
keras sekali, penuh ketegangan. Malam
nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya
dengan ma-tang. Dia telah menghubungi
semua pem-bantunya dan semua pembantu
itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan
semua perintah dan siasatnya sampai ke
bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri
perlu berada di Lhagat, selain untuk
mengamati gerakan panglima musuh, juga
untuk membantu lancarnya penyerbuan ke
Lha-gat setelah pasukannya berhasil lolos
darl kepungan malam nanti. Dan dia yakin
pasukannya akan berhasil. Semua telah
diperhitungkannya masak-masak. Dia dapat
membayangkan apa yang akan terjadi kalau
bendungan di atas itu dibobol dan air yang
dipergunakan sebagai pasukan pelopor
untuk menghantam dan menjebol kepungan
musuh. Dan pada saat yang sama,
pasukan-pasukan Tibet yang sudah
dipersiapkannya akan bergerak pula
menghantam dari arah lain untuk
meng-alihkan perhatian lawan. Dan pada
saat air menipis, pasukan yang terkepung
akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar
dari lembah melalui jalan yang telah dibikin
rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan
kekuatan disatukan dengan pasukanpasukan
Tibet, pasukannya akan
menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia
juga mengharapkan bantuan orang-orang
pandai yang telah diam-diam
dise-lundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!
“Liong-koko....”
Cin Liong terkejut dan sadar dari
la-munannya, dengan enggan dia menarik
kembali pandang matanya yang sejak tadi
ditujukan ke arah bukit itu dan dia me-noleh
kepada dara yang duduk di sampingnya.
Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli
itu menatapnya dengan sayu, sepasang
mata yang nampaknya seperti setengah
terpejam, seperti mata yang mengantuk,
akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang
mata di balik bulu-bulu mata yang lentik itu.
Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan
yang manis dan aneh seperti biasa terdapat
pada kecan-tikan dara-dara yang berdarah
campuran. Siok Lan adalah seorang dara
berdarah peranakan Han dan Nepal dan
agaknya dara ini menerima kurnia yang luar
biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi
segi-segi baiknya saja dari ayah bundanya
yang berbeda bangsa itu. Kulitnya putih
kuning halus seperti kulit wanita bangsa
ayahnya, demikian pada kehitaman dan
kelebatan rambutnya, ramping dan
se-mampainya bentuk tubuhnya. Dan dia
memiliki sepasang mata yang lebar dan
indah dengan bulu mata lentik, hidung yang
agak mancung dan dagu meruncing seperti
kemanisan wajah Ibunya.
Cin Liong adalah seorang pemuda yang
sejak kecil mengejar ilmu kepandai-an dan
belum pernah dia melibatkan diri dengan
hubungan antara pria dan wanita.
Hubungannya dengan Siok Lan hanya
me-rupakan hubungan yang berdasarkan
siasat perangnya belaka, maka selama ini
dia menganggap dara ini sebagai puteri dari
panglima pasukan musuhnya, sungguhpun
secara pribadi dia mengagumi dara ini, juga
Ibunya yang dianggapnya seorang
panglima yang pandai dan dara ini me-miliki
watak yang amat baik. Kini, dalam keadaan
santai, duduk berdua di tempat sunyi itu,
mendengar suara Siok Lan me-manggilnya,
kemudian setelah menoleh bertemu
pandang mata yang demikian indah dan
penuh getaran perasaan memandangnya,
jantung Cin Liong terasa berdebar aneh.
Baru sekarang selama dia hidup dia
merasakan suatu getaran aneh dalam
hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah
baru sekarang dilihatnya, baru se-karang
dia menemukan keindahan dan kecantikan
luar biasa pada mata dan bi-bir itu!
Sejenak dua pasang mata itu bertemu
pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu
Choirul, maret 2008 244
yang membuat mereka terpesona dan
se-olah-olah pandang mata saling melekat
tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi
akhirnya Cin Liong dapat menguasai
de-baran jantungnya dan kedua pipinya
men-jadi merah ketika dia bertanya lirih.
“Ada apakah, Nona?”
Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi
dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan
dia menjadi malu sekali, cepat dia
menunduk dan mukanya men-jadi lebih
merah daripada muka pemuda itu. “Liongko,
sejak tadi kulihat engkau melamun saja,
seperti orang yang berduka, atau seperti
orang yang khawatir. Ada apakah?”
Cin Liong tersenyum. “Tidak apa-apa,
Nona.”
Dara itu mengangkat muka meman-dang
dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi
seperti tadi, melainkan bersinar tajam
penuh selidik. “Sejak kita datang ke tempat
ini, engkau duduk melamun dan
memandang ke arah bukit di sana itu,
Liong-ko. Aku dapat merasakan
ba-gaimana kedukaan dan kekhawatiran
menekan hatimu melihat pasukan kerajaan
itu terkepung di sana sudah sebulan....”
“Ah, tidak....!” Cin Liong cepat mem-bantah
dan diam-diam dia terkejut sekali. Apakah
dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau
begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat
turun tangan. Terbongkarnya rahasianya
akan berbahaya sekali, dapat
menggagalkan siasatnya yang akan
dilaksanakan malam nanti.
Akan tetapi dara itu nampak tenang saja,
bahkan tersenyum pahit. “Aku me-ngerti,
Liong-ko. Engkau adalah seorang bangsa
Han, dan tentu saja tidak senang melihat
pasukan bangsamu terkepung dan
menghadapi kehancuran....”
Karena masih meragu, Cin Liong be-lum
turun tangan, dan dia memancing, “Engkau
tahu bahwa aku hanyalah seorang pemburu
Nona, aku tidak men-campuri urusan
perang....”
“Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku
pun dapat menduga betapa hatimu duka
dan khawatir oleh akibat perang yang
mengancam pasukan bangsamu. Aku
sendiri pun benci perang! Aneh
kedengar-annya. Ibu seorang panglima
perang, tapi aku benci perang. Dan tahukah
engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci
perang!”
“Ehh....?” Cin Liong benar-benar ter-kejut
mendengar ini, dan dia menatap wajah
cantik itu dengan heran.
Siok Lan mengangguk lalu menunduk,
merenung. “Ya, Ibuku benci perang. Ibuku
adalah seorang puteri Nepal, sejak kecil
mempelajari kesenian dan kesusastraan.
Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu silat
dan perang. Biarpun begitu, dia selalu
mencela perang!”
“Akan tetapi mengapa dia menjadi
panglima?”
“Karena.... patah hati.... gagal dalam
asmara.”
“Ahhh....!”
Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin
Liong, kemudian dia menggeser du-duknya
sehingga berhadapan dengan pe-muda itu.
Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia
berkata, “Dengarlah, Liong-ko, aku akan
menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan
tetapi harap semua ini dirahasiakan.” Cin
Liong hanya mengang-guk-angguk dan
merasa heran mengapa dara ini demikian
percaya kepadanya.
“Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri
seorang pendeta yang sejak kecil
mempelajari seni, sastra, silat dan ilmu
perang. Kemudian Ibuku menikah dengan
seorang pangeran Nepal, seorang
pange-ran tua yang menjadi Ayah tiriku.”
Choirul, maret 2008 245
“Ayah tirimu....?”
“Ya, aku.... Ayah kandungku adalah
seorang pria berbangsa Han, seperti
eng-kau, Liong-ko.”
“Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat
keadaanmu.”
“Karena Ibu lebih perkasa dan pandai
daripada Ayah tiriku, maka Ibu lalu
di-angkat menjadi perwira tinggi dalam
ke-tentaraan. Ibu menerima pengangkatan
itu untuk menghibur hatinya, karena....
karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta
suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu
terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia.
Semenjak itu Ibu menjadi pang-lima dan
biarpun dia membenci perang, terpaksa dia
melakukan tugas kewajiban-nya sebaik
mungkin.”
“Dan.... Ayah kadungmu?”
Dara itu menggeleng kepala. “Ibu
me-rahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu
siapa she Ayahku itu. Aku tidak tahu di
mana dia, masih hidup ataukah sudah mati.
Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci
Ayah kandungku sehingga setiap kali aku
bertanya, dia marah-marah dan bahkan
pernah menamparku karena ber-tanya itu.
Agaknya.... agaknya dia akan sanggup
membunuhku kalau aku bertanya terus.”
Dan sampai di sini, Siok Lan dara yang
biasanya lincah gembira itu kelihat-an
berduka, bahkan ada air mata menitik turun
dara kedua matanya.
Diam-diam Cin Liong merasa kasihan
sekali, akan tetapi dia diam saja, masih
terheran-heran mendengar cerita yang luar
biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai
dan perkasa itu, ternyata menyimpan
rahasia kehidupan yang amat menyedihkan!
Siok Lan mengusap air matanya, berhenti
menangis, kemudian menarik napas
panjang berulang-ulang.
“Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara
kita tidak terjadi di tempat ini, di waktu
perang seperti ini. Ah, betapa akan
senangnya duduk bercakap-cakap
denganmu di tempat ini kalau tidak ada
perang di situ, kalau keadaan tenteram dan
damai. Akan tetapi.... betapapun juga....
karena adanya perang inilah, maka dia
dapat saling bertemu.”
Cin Liong diam saja, tidak tahu harus
mengatakan apa dan dia pun tidak tahu
mengapa dara itu mengeluarkan ucapan
seperti itu.
“Liong-ko, di mana adanya Ayah
Bun-damu?”
Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin
Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang
dia menjawab, “Mereka tinggal jauh di
utara, Nona.”
“Liong-ko, harap kau jangan menyebut
Nona padaku, Panggil saja namaku!”
“Akan tetapi, Nona....”
“Apakah engkau tidak mau menganggap
aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?”
bertanya demikian, dara itu mengangkat
muka dan menatap wajah Cin Liong
de-ngan sepasang mata yang tajam berseri.
Akhirnya Cin Liong menunduk dan
meng-angguk.
“Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau
sungguh baik sekali.”
“Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik
sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan
nyawa padamu....”
“Cukuplah itu, harap jangan sebut-sebut lagi
soal itu. Engkau dan Ibumu telah
menerimaku di sini dengan baik sekali, aku
malah yang harus malu....“ Cin Liong
teringat betapa kehadirannya itu adalah
sebagai mata-mata padahal dara ini
demikian baik kepadanya. Nam-pak makin
Choirul, maret 2008 246
jelaslah olehnya betapa keji dan kejamnya
perang!
“Akan tetapi, peristiwa itu takkan terlupakan
olehku selama hhdup, Liong-ko. Dan....
kalung itu.... apakah masih kau simpan?”
Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih, ke
lehernya dan gerakan ini saja membuat
Siok Lan merasa girang sekali dan dia yakin
bahwa kalung itu masih dipakai oleh
pemuda ini, maka ia melanjutkan katakatanya.
“Terima kasih kalau masih
kausimpan. Liong-ko, ketahui-lah aku.... aku
memberi kalung itu.... dengan sepenuh
hati.... kalung itu pemberian Ibu dan....
mewakili diriku....” Tiba-tiba dia menunduk
dan mukanya menjadi merah sekali.
Cin Liong juga dapat merasakan
ke-janggalan kata-kata ini dan makna
men-dalam yang dikandungnya, maka dia
pun tiba-tiba merasa jengah dan malu.
Sejenak mereka berdua yang duduk
berhadapan itu tidak mengeluarkan katakata,
kedua-nya lebih banyak menunduk
dan kalau kebetulan saling pandang, lalu
tersenyum canggung! Hati Cin Liong
tergetar dan tertarik. Dara ini memang
memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan
tetapi selama ini, biarpun bergaul dengan
akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini
karena seluruh perhatiannya tercurah
kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan
daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali
memandang wajah dan menikmati
kejeli-taannya, ingin sekali bersikap dan
ber-bicara manis, ingin sekali menyentuh
dan merangkul mesra. Akan tetapi Cin
Liong masih ingat akan kedudukan dan
tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya
dan akhir-nya dia bangkit berdiri. Siok Lan
juga ikut bangkit dan memandang heran.
“Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita
pulang. Ibumu tentu akan mencari-mu, dan
tidak baik bagimu kalau ber-lama-lama kita
duduk berdua saja di tempat ini.”
Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar
matanya mengandung kekerasan. “Liongko,
mengapa tidak baik bagiku? Aku tidak
peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu
tidak akan melarang kalau aku berdua di
sini bersamamu.”
Cin Liong tersenyum. Dalam marah-nya,
dara itu bahkan nampak semakin cantik!
“Syukurlah kalau begitu, Lan-moi. Akan
tetapi, akulah yang merasa tidak enak,
karena aku adalah seorang tamu yang
diterima dengan ramah dan baik, dan aku
hanya seorang pemburu miskin biasa,
sedangkan kau.... kau puteri panglima....“
“Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata
seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya
anak seorang pendeta sederhana yang
miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku
bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah
kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah
Bunda yang jelas dan terhormat, engkau
lebih terhormat dari-pada aku.”
Kemball Cin Liong tersenyum. Banyak segisegi
baik pada diri dara ini, pikir-nya.
“Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan
tetapi sudah lama kita di sini, mari kita
kembali.” Tanpa disengaja, tangan-nya
menyentuh tangan dara itu. Perbuat-an
tidak disengaja oleh Cin Liong ini berakibat
besar karena dara itu merasa tangannya
dipegang dan dia cepat meme-gang tangan
pemuda itu dan jari-jari tangan mereka
saling pegang, kemudian sambil
bergandeng tangan mereka me-nuruni bukit
itu. Dua orang muda remaja yang selama
hidupnya baru pertama kali ini mendekati
lawan jenisnya, merasa betapa ada
getaran-getaran halus pada jari tangan
mereka, getaran yang timbul dari hati
mereka yang berdebar-debar tidak karuan,
getaran mesra yang men-jalar ke seluruh
tubuh, yang membuat mereka kadangkadang
saling pandang, saling senyum
tanpa kata-kata. Namun apa artinya lagi
kata-kata dalam keadaan seperti itu?
Pandang mata dan senyum ini sudah cukup
mengeluarkan seluruh apa yang terkandung
dalam perasaan masing-masing, yang
belum tentu dapat dilukis-kan dengan katakata
yang betapa indah sekalipun.
Choirul, maret 2008 247
Tiba-tiba Cin Liong melepaskan ta-ngannya
yang saling bergandengan dengan gadis itu
dan Siok Lan juga cepat-cepat agak
menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia
melihat munculnya Ci Sian di tikungan
depan.
“Eh, Enci Lan, kucari engkau ke manamana
tidak tahunya berada di sini. Hemm,
maaf ya, aku mengganggu, ya?” kata dara
ini sambil tersenyum meng-goda,
sungguhpun ada perasaan tidak enak di
dalam hatinya, perasaan tidak enak yang
dia sendiri tidak tahu mengapa.
“Ah, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa
mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap
dengan.... eh, Liong-ko....” Akan tetapi dia
berhenti karena teringat bah-wa baru
sekarang di depan Ci Sian dia menyebut
pemuda itu dengan sebutan koko. Mukanya
menjadi merah sekali dan melihat ini, Ci
Sian tersenyum walaupun hatinya terasa
semakin tidak enak. Me-reka bertiga lalu
kembali ke gedung di mana Puteri Nandini
sudah menunggu karena memang panglima
inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi
mencari Siok Lan dan memanggilnya
pulang kare-na dia perlu untuk bicara.
Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan
langsung memasuki kamar ibunya dan di
situ dia melihat bahwa ibunya sedang
berunding dengan para panglima pembantu
ibunya, dan sikap mereka me-nunjukkan
bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.
“Ibu, ada apakah?” tanyanya.
“Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan.
Menurut para penyelidik, ada sesua-tu yang
aneh sedang direncanakan oleh fihak
musuh, entah apa. Ada pergerakan dari
pasukan-pasukan Tibet yang telah kita
kalahkan. Kita tidak percaya bahwa
pasukan tibet akan berani bergerak
me-nyerang Lhagat tanpa suatu rencana
ter-tentu. Agaknya mereka merahasiakan
rencana itu dan keadaan pasukan musuh
yang terkepung juga nampak tenangte-
nang saja. Ketenangan inilah yang
mem-buat hatiku tidak enak. Maka, siapa
pun harus kita curigai. Engkau bertugas
selain menjaga keamanan gedung ini, juga
untuk memata-matai dua orang tamu kita
itu.”
“Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liongkoko?”
Mendengar puterinya menyebut koko
kepada pemuda itu. Puteri Nandini
me-mandangnya dengan sepasang mata
penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini
me-lihat betapa ada warna kemerahan pada
kedua pipi puterinya.
“Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing
bagi kita. Biarpun sampai kini tidak ada
gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang
menjadikan kecurigaan kita, namun kita
harus tetap waspada. Dan karena mereka
adalah teman-temanmu, maka sebaiknya
engkau yang menyelidiki dan membayangi
keadaan mereka agar tidak terlalu
mencolok.”
Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di
situ hadir banyak pembantu ibunya, maka
dia cepat mengangguk dan menjawab,
“Baiklah, Ibu.”
Mereka lalu berunding dan Sang Pang-lima
Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk
memperketat penjagaan dan bahkan
memutuskan bahwa kalau sampai dua hari
lagi pasukan yang terkepung tidak
menyerah dan tidak ada tanda-tanda
kedatangan orang-orang penting dari kota
raja, maka lembah itu akan digempur dan
pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk
menyerah!
Malam itu tidak ada bulan nampak di langit.
Hanya ada bintang-bintang gemer-lapan di
langit hitam, seperti ratna mutu manikam di
atas kain beludru hitam, berkilauan
cemerlang, berkedip-kedip seperti ada
selaksa bidadari bermain mata kepada
manusia di atas bumi. Bima sakti nampak
nyata, dibentuk oleh ke-lompok bintangChoirul,
maret 2008 248
bintang yang berderet memanjang putih,
sehingga nampaknya seperti awan putih
cemerlang, membentuk bayang-bayang
hitam yang tetap dan dalam.
Pada malam hari yang indah dan ke-lihatan
penuh ketenteraman itu, dengan angin
malam lembut bersilir, orang-orang di
Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan
oleh sinar yang berluncuran dari bawah.
Sinar-sinar yang seperti kembang api
meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau,
kuning dan merah. Mula-mula war-na
merah yang lebih dulu meluncur dari
lembah bukit di mana pasukan Ceng
ter-kepung, lalu disusul oleh luncuran
warna-warna lain dari bukit-bukit dan
bahkan dari dalam kota Lhagat! Selagi
orang-orang menonton kembang api itu
dengan heran, kagum hati bertanya-tanya
siapa yang meluncurkan ke atas dan apa
artinya itu, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh dari atas puncak bukit di mana
pasukan musuh terkepung, suara ledakan
keras di-susul gemuruhnya air membanjir!
Itulah permulaan dari gerakan yang
dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han
bersama pasukannya yang terkepung,
se-suai dengan siasat yang telah diatur oleh
Panglima Kao Cin Liong! Mula-mula sa-ling
diluncurkan anak-anak panah api ke atas
oleh para pasukan yang terkepung, yang
disambut oleh pasukan-pasukan Ti-bet,
kemudian disambut pula oleh para
anggauta gerilya yang telah menyelundup
ke dalam kota Lhagat. Kemudian,
Pangli-ma Kao Kok Han, yaitu paman dari
Cin Liong, memimpin anak buahnya
membo-bolkan bendungan air yang telah
merupa-kan danau kecil di puncak karena
mereka membendung air yang keluar dari
sumber sehingga terkumpul amat
banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu
saja mem-buat air yang amat banyak itu
memban-jir ke bawah dengan derasnya,
dan lang-sung menyerbu ke arah pasukan
Nepal yang mengepung di bagian barat
lembah bukit itu!
Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat
bukit ini menjadi kaget, panik dan kacaubalau
diserang oleh banjir yang datang dari
puncak bukit itu. Mereka ti-dak tahu apa
yang terjadi maka ada air yang tiba-tiba
menyerbu mereka dari atas, menyeret
perkemahan mereka, membunuh banyak
orang dan menyeret orang-orang itu,
menghempaskan mereka ke-pada batubatu
dan pohon-pohon. Mereka masih
belum menyangka bahwa ini adalah
perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi
semakin hebat ketika tiba-tiba terdengar
sorak-sorai dan hujan anak panah datang
lari sebelah luar kepungan yang
merobohkan lebih banyak orang lagi karena
me-reka tidak sempat berlindung dan masih
panik oleh serangan air bah dari atas bukit.
Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan
dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba
menyerbu turun, mengikuti air yang makin
menipis. Pasukan Nepal yang mengepung
segera memusatkan ke-kuatan di tempat
itu, akan tetapi karena mereka sudah kena
gempuran air dan pa-sukan Tibet yang
menghujankan anak pa-nah tadi, mereka
mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw
memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw
yang besar, dan me-reka sudah terlalu
panik sehingga mereka melakukan
perlawanan dengan hati takut.
Makin banyaklah pasukan-pasukan Ti-bet
muncul dari berbagai jurusan, meng-hadang
bagian pasukan Nepal yang tadi-nya
mengepung dari arah lain dan kini
berdatangan ke tempat itu untuk
mem-bantu kawan-kawan mereka.
Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini
memotong-mo-tong pasukan itu dan
terjadilah pertem-puran di sana-sini
membuat pasukan Ne-pal yang mengepung
itu terpecah-pecah dan kacau-balau.
Mereka mencoba untuk mempertahankan
diri, namun akhirnya, menjelang fajar
mereka semua terpaksa harus mundur dan
memasuki kota Lhagat setelah mereka
kehilangan lebih dari se-paruh jumlah
pasukan yang sebagian te-was atau roboh
oleh air bah, sebagian pula oleh hujan anak
Choirul, maret 2008 249
panah dan yang terbesar karena
pertempuran yang berat sebelah itu karena
kalau fihak Nepal ber-tempur dengan hati
panik dan ketakutan, adalah fihak tentara
Ceng-tiauw yang ingin bebas dari kepungan
dan tentara Tibet yang ingin mengusir
musuh itu bertempur dengan penuh
semangat!
Panglima wanita Nandini dengan pa-kaian
perang ternoda banyak darah mu-suh yang
dirobohkannya dalam pertempur-an tengah
malam itu, dan muka serta leher basah oleh
peluh terpaksa memim-pin sisa pasukan itu
memasuki Lhagat. Siok Lan yang bertugas
menjaga kota itu menyambut bersama para
pengawalnya dan terkejut melihat keadaan
ibunya. Tanpa banyak tanya pun dia tahu
bahwa pasukan Ibunya kalah dan kini sisa
pasu-kan itu mundur memasuki Lhagat.
Akan tetapi, baru saja pasukan yang sudah
patah semangat itu memasuki kota Lha-gat,
nampak kebakaran terjadi di semua penjuru
kota itu! Orang-orang berteriak-teriak
kebakaran dan keadaan menjadi semakin
panik ketika dengan marah se-kali Panglima
Nandini memerintahkan para pembantunya
untuk memeriksa kebakaran-kebakaran itu
dan memadamkannya.
“Di mana Ci Sian? Di mana Liong Cin?”
Panglima itu membentak dengan muka
agak pucat kepada Siok Lan.
Siok Lan memandang ibunya, wajahnya
juga menjadi pucat dan dia berkata de-ngan
hati tegang. “Tadi mereka memban-tuku
melakukan perondaan, bahkan aku
memberi tugas kepada mereka untuk
menjaga di sekitar penjara agar jangan
sampai tawanan memberontak dan
mem-bobol penjara dalam keadaan seperti
ini, Ibu.”
Panglima itu mengangguk-angguk, akan
tetapi tetap saja alisnya berkerut karena dia
merasa ragu-ragu. Dia telah memperoleh
pukulan hebat dan sama se-kali tidak
disangkanya bahwa musuh demi-kian lihai
menjalankan siasatnya sehingga dia benarbenar
tidak dapat menyangka sama sekali
bahwa pasukan yang terke-pung itu akan
mampu meloloskan diri. Tentu ada
pengaturnya semua siasat itu, dan
pengaturnya tentulah jenderal sakti yang
dikabarkan orang datang dari kota raja dan
yang kabarnya amat lihai itu. Kini baru dia
tahu bahwa berita itu tidak berlebih-lebihan,
bahwa di fihak musuh terdapat seorang ahli
siasat perang yang hebat.
“Celaka, Li-ciangkun....!” Tiba-tiba se-orang
penjaga dengan tubuh luka-luka parah
datang berlari dan langsung roboh di depan
kaki panglima itu.
Biarpun orang itu sudah terluka parah, akan
tetapi melihat orang itu dalam ke-adaan
ketakutan seperti itu, Panglima Nandini
membentak, “Pengecut! Bangun dan
ceritakan apa yang terjadi!” Suara panglima
ini penuh kemarahan.
“Penjara.... bobol dan semua tawanan....
lolos.... kami tak dapat menahan
me-reka....“
“Ahh! Bagaimana terjadinya? Siapa yang
berkhianat?”
“Mereka.... mereka.... seorang pemuda dan
gadis.... tamu Li-ciangkun....”
“Keparat!” Panglima itu membentak marah
dan sekali meloncat dia telah berada di atas
kudanya lalu melarikan kudanya itu ke arah
penjara, diikuti oleh Siok Lan yang
wajahnya menjadi pucat sekali dan ada dua
butir air mata me-loncat turun ke atas
pipinya. Hampir dia tidak percaya, Liong Cin
seorang peng-khianat? Seorang mata-mata
musuh yang meloloskan para tawanan
bersama Ci Sian? Dan Ci Sian....? Ah, dia
hampir tidak dapat mempercayai hal ini.
Akan tetapi para tawanan memang te-lah
lolos keluar dan terjadilah pertempur-an di
mana-mana antara para tawanan dan para
penjaga, juga di antara para tawanan itu
terdapat beberapa orang yang lihai
berbangsa Tibet dan Han, dan mereka ini
bukanlah tawanan yang lolos, melainkan
Choirul, maret 2008 250
tenaga-tenaga baru yang entah muncul
darimana! Puteri Nandini dengan marah lalu
mengamuk dan merobohkan empat orang
tawanan yang tidak dapat menahan
sambaran pedangnya. Akan te-tapi pada
saat itu terdengar tambur tanda bahaya dari
menara dan ternyata pasukan musuh telah
mulai menyerang pintu-pintu gerbang kota
Lhagat! Hal ini tentu saja mengejutkan
Nandini dan dia terpaksa meninggalkan
tempat itu untuk pergi ke menara.
Penyerbuan musuh dari luar lebih penting
daripada pemberontak-an para tawanan itu.
Siok Lan juga mengikuti ibunya karena
bagaimanapun juga, dalam keadaan yang
genting dan gawat itu dia harus selalu
mendekati ibunya untuk membantu ibunya.
Dan memang pasukan Ceng-tiauw yang
dibantu oleh banyak sekali pasukan Tibet
telah mulai menyerbu benteng tembok
Lhagat dari pelbagai jurusan! Serbuan itu
dimulai pagi sekali ketika cuaca masih
gelap. Tentu saja pasukan-pasukan Nepal
menjadi semakin panik karena mereka baru
saja mengalami keka-lahan dan gempuran
hebat. Dalam keada-an lelah lahir batin
mereka kini terpaksa dikerahkan unituk
mempertahankan kota itu dari kepungan
musuh. Celakanya, dari sebelah dalam juga
terjadi serbuan-serbu-an, pembakaranpembakaran,
yang amat menggelisahkan
para pasukan itu. Teruta-ma sekali Puteri
Nandini yang menerima laporan bertubi-tubi
tentang adanya ser-buan-serbuan pada
gedung-gedung pemerintah, pembakaranpembakaran,
bahkan gedung tempat
tinggalnya tidak terkecuali mengalami
penyerbuan dan para pengawal gedung itu
tewas semua. Mendengar laporan-laporan
ini, maklumlah Sang Puteri yang menjadi
panglima ini bahwa kota Lhagat ternyata
penuh dengan mata-mata yang kini dibantu
oleh para tawanan yang lolos untuk
mengacaukan kota. Kalau kekacauan di
sebelah dalam ini tidak segera dibasmi,
tentu akan membahaya-kan pertahanan
kota dari serbuan musuh di luar. Oleh
karena itu, sambil meng-ajak puterinya dia
lalu turun dari me-nara, menyerahkan
pengaturan penjagaan pintu-pintu gerbang
kepada komandannya dan dia bersama
puterinya lalu menuju ke tempat-tempat
terjadinya penyerbuan para pengacau itu.
Akan tetapi para pengacau itu ber-gerak
secara bergerilya. Kalau fihak pen-jaga
terlampau kuat mereka menghilang,
menyelinap di antara rumah-rumah
pen-duduk dan membakar atau mengacau
di bagian lain, dan tujuan mereka agaknya
selain untuk mengacaukan penjagaan juga
untuk mendekati pintu-pintu gerbang karena
mereka bertugas untuk membobol-kan pintu
itu dari sebelah dalam.
Dirongrong seperti ini dari dalam, para
penjaga Nepal menjadi semakin panik dan
lelah sekali dan akhirnya, pin-tu gerbang
sebelah selatan bobol dan dengan suara
hiruk-pikuk pasukan Kerajaan Ceng-tiauw
bersama pasukan Tibet me-nyerbu masuk
bagaikan air bah terlepas dari bendungan
yang pecah. Keadaan dalam kota Lhagat
menjadi semakin ka-cau dan bersama
dengan terbitnya mata-hari, pasukan Ceng
dan Tibet yang terbagi-bagi menjadi
beberapa pasukan itu menyerbu dari semua
pintu gerbang yang akhirnya dapat
dibobolkan. Terjadilah per-tempuranpertempuran
di dalam kota itu dengan
hebatnya. Bala tentara Nepal ke-hilangan
kepercayaan diri, dan para pe-mimpin
mereka tidak dapat lagi mem-beri komando
secara langsung karena pertempuran telah
pecah di mana-mana memenuhi kota itu.
Penduduk yang me-mang banyak
bersimpati kepada Tibet, kini keluar dan
membantu fihak Tibet untuk menggempur
pasukan Nepal yang mereka benci! Dan di
dalam pasukan mata-mata yang
menyelinap di dalam kota dan tadi telah
melakukan pemba-karan-pembakaran
terdapat banyak orang-orang pandai yang
mengamuk bagaikan harimau-harimau
buas, membuat pasukan Nepal menjadi
makin gelisah.
Di antara pertempuran-pertempuran yang
pecah di mana-mana secara kacau-balau
itu, pertempuran-pertempuran jarak dekat
yang amat seru, nampak Panglima Nandini
Choirul, maret 2008 251
dan Siok Lan mengamuk bahu membahu.
Dengan pedang di tangan, ibu dan
puterinya ini mengamuk, bukan lagi
mempertahankan kota atau demi pasukan
Nepal, melainkan untuk mempertahankan
diri yang dikepung dan dikeroyok!
Sementara itu, yang membongkar pen-jara
adalah Cin Liong sendiri dibantu oleh Ci
Sian. Dara itu ikut membongkar penjara
karena dia hendak mencari Lauw-piauwsu
yang dia tahu berada di antara mereka yang
menjadi tawanan. Setelah penjara bongkar
dan semua tawanan me-nyerbu keluar, Ci
Sian seorang diri me-masuki penjara dan
bertanya-tanya ke-pada para tawanan yang
lolos itu di mana adanya Lauw-piauwsu.
Para tawan-an itu yang menjadi gembira
sekali mem-beri tahu bahwa Lauw-piauwsu
dalam keadaan sakit payah dan mendengar
ini Ci Sian segera berlari-lari menuju ke
kamar tahanan orang tua itu. Akhirnya dia
melihat laki-laki tua itu rebah di atas lantai
beralaskan rumput kering dalam keadaan
mengenaskan sekali. Biar-pun selama
bertahun-tahun Ci Sian tidak bertemu
dengan orang ini dan keadaan Lauwpiauwsu
amat menyedihkan, namun Ci Sian
segera mengenalnya dan cepat dia berlutut
di atas lantai dekat tubuh yang kurus kering
itu. Tubuh itu kurus sekali, dengan muka
pucat dan mata sayu, napasnya tinggal
satu-satu dan tubuhnya amat panas.
Kiranya kakek itu diserang demam hebat.
Sungguh menye-dihkan sekali keadaan
Toat-beng Hui-to Lauw Sek yang dulunya
adalah se-orang kakek yang demikian
gagahnya itu!
“Paman Lauw....” Ci Sian memanggil
dengan hati terharu melihat keadaan orang
ini.
Lauw Sek membuka matanya yang tadinya
dia pejamkan seolah-olah dalam keadaan
mata terbuka sayu tadi dia ti-dak melihat
gadis itu memasuki kamar-nya setelah
mematahkan rantai yang me-ngunci daun
pintu.
Sejenak mata yang sudah kelihatan tak
bersemangat itu memandang akan tetapi
agaknya dia tidak ingat lagi ke-pada Ci
Sian. “Siapa.... siapa engkau....?”
“Paman Lauw, lupakah engkau kepadaku?
Aku Ci Sian....”
“Ci.... Sian....?”
“Aku Ci Sian atau.... Siauw Goat, cucu dari
Kakek Kun, lupakah kau, Pa-man?”
“Ahhh....” Sejenak mata itu bersinar dan
agaknya dia teringat. “Engkau.... ah,
Nona.... aku.... aku.... amat payah....”
“Paman, tolong kauberitahukan aku
menurut penuturan Kakek Kun dahulu itu,
siapakah adanya Ayah kandungku, Ibu
kandungku, dan di mana aku dapat
men-cari mereka?”
“Ahhh.... aku.... aku tidak kuat lagi
membawamu ke sana....”
“Aku akan mencari sendiri, Paman. Harap
kaukatakan saja di mana mereka dan siapa
mereka itu.
Lauw Sek terengah-engah, agaknya
pertemuannya dengan gadis yang sama
sekali tak disangka-sangkanya ini, gadis
yang disangkanya sudah tewas,
menda-tangkan ketegangan yang
menambah be-rat penyakitnya.
“Paman.... Paman.... tolonglah, kuatkan
dirimu, beritahu aku....“ Ci Sian meme-gang
pundak orang itu. Mata yang sudah
terpejam itu terbuka lagi.
“Ayahmu.... Bu-taihiap.... petualang besar....
Ibu.... Ibumu.... telah meninggal.... kau
disia-siakan dan ditinggal.... dia sudah
mempunyai isteri lain lagi.... dia.... dia di....
Kakek itu terkulai lemas dan Ci Sian cepat
meletakkan telapak tangannya pada dada
orang tua itu untuk menyalur-kan tenaga
sin-kang dan membantu per-edaran
darahnya. Mata itu dibuka lagi, nampaknya
Choirul, maret 2008 252
terkejut dan heran menyaksikan kelihaian
dara itu.
“Di mana dia, Paman? Di mana Ayah?”
“Di puncak.... Merak Emas.... di Kong-maa
La.... Kakekmu.... dia.... Kiu-bwe Sin eng Bu
Thai Kun.... Ayahmu.... Ayahmu....” Kakek
itu mengeluh, terkulai dan Ci Sian menarik
kembali tangannya. Kakek itu telah
mengakhiri hidupnya, tanpa sempat
memberitahukan nama ayahnya. Dia hanya
tahu bahwa ayahnya disebut Bu-taihiap,
dan hal ini amat mendatangkan rasa nyeri
di dalam dadanya. Teringatlah dia akan
sikap dan ucapan Cui-beng Sian-li Tang
Cun Ciu yang pernah berhubungan dengan
seorang pendekar yang disebut Bu-taihiap!
Dan juga menurut penuturan mendiang
Lauw Sek, ayahnya seorang petualang
besar, dan Ibunya sudah mening-gal dunia
pula. Bahkan dia telah diting-galkan oleh
ayahnya itu, disia-siakan! Ci Sian mengepal
tinjunya. Teringat dia akan pesan kakeknya
bahwa dia harus bertemu dengan ayahnya
yang bertanggung jawab kepadanya.
Sekarang, ternyata ayahnya adalah
seorang laki-laki yang tidak bertanggung
jawab, seorang petu-alang besar, agaknya
gila perempuan karena buktinya, bersama
isterinya, entah isteri yang mana, entah ibu
kandungnya atau bukan, pernah datang
menemui Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu
yang cantik dan ayah kandungnya itu
berjina dengan Tang Cun Ciu. Betapa
memalukan dan rendah! Ayahnya seperti
itu! Apa pula perlunya dia mencari ayahnya
jauh-jauh?
Dia lalu meninggalkan jenazah itu se-telah
menggerakkan bibir mengucapkan terima
kasih kepada mendiang Lauw-piauwsu,
kemudian berlari keluar dari penjara. Di
mana-mana terjadi pertempur-an dan
malam telah terganti pagi, cuaca sudah
tidak gelap lagi matahari telah terbit
disambut aliran darah dan teriakan-teriakan
kematian, mayat berserak-serakan dan di
antara suara beradunya senjata terdengar
pekik-pekik kemenangan dan jerit-jerit
kesakitan.
Melihat keadaan ini, tahulah Ci Sian bala
tentara Ceng sudah berhasil me-nyerbu dan
memasuki kota Lhagat, di-bantu oleh
pasukan-pasukan Tibet. Maka diam-diam
dia merasa kagum bukan main kepada Cin
Liong, karena dia tahu bahwa pemuda
itulah yang mengatur segala-galanya. Dia
lalu, teringat kepada Siok Lan dan
mengkhawatirkan keselamatan sahabat
baiknya itu. Maka dia lalu men-cari-cari,
tidak mempedulikan pertempur-an yang
terjadi di sekelilingnya.
Akhirnya dia dapat menemukan ibu dan
anak itu yang sedang mengamuk,
di-keroyok oleh kurang lebah dua puluh
orang tentara dan perwira yang rata-rata
memiliki kepandaian silat tangguh. Puteri
Nandini yang masih berpakaian perang itu
telah kelihatan lelah sekali, bahkan
pundaknya telah luka berdarah, sedangkan
Siok Lan sudah terpincang-pincang karena
kaki kirinya terluka, na-mun dua orang
wanita itu dengan gagah-nya, agaknya
mengambil keputusan tidak akan sudi
menyerah selama masih mampu melawan
dan akan melawan sampai titik darah
terakhir. Melihat ini, hati Ci Sian menjadi
tidak tega. Dia telah mengenal Siok Lan
yang amat baik kepadanya, dan tahu akan
kegagahan dara itu, maka melihat sahabat
itu dikeroyok, mana mung-kin dia
mendiamkannya saja?
“Lan-cici, jangan khawatir, aku
mem-bantumu!” bentaknya dan dia pun
melon-cat ke dalam kalangan pertempuran
dan begitu dia maju menubruk, dia telah
ber-hasil menampar dari samping yang
me-ngenai leher seorang pengeroyok.
Orang itu berteriak kaget dan jatuh
terpelan-ting tak dapat bangkit kembali,
pedang-nya telah pindah ke tangan Ci Sian!
“Sian-moi....!” Siok Lan berteriak gi-rang
bukan main, bukan girang karena dibantu
semata, melainkan girang dan lega melihat
bahwa gadis yang oleh ibunya disangka
memberontak dan mem-bantu musuh,
berkhianat itu, ternyata tidak demikian dan
Choirul, maret 2008 253
kini dibuktikannya dengan membantu dia
dan Ibunya! Juga Puteri Nandini terkejut,
akan tetapi diam-diam girang juga bahwa
ternyata dara yang menjadi sahabat
puterinya itu bukanlah pengkhianat,
melainkan seorang saha-bat sejati. Maka
dia pun cepat memutar pedangnya dan
merobohkan seorang pe-ngeroyok pula.
Akan tetapi kini kepungan makin ketat
dengan datangnya pasukan baru dan
jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh
orang! Tentu saja tiga orang wa-nita itu,
betapapun lihai mereka, mulai terdesak dan
kepungan semakin sempit sehingga
gerakan-gerakan mereka semakin tidak
leluasa.
“Adik Sian, cepat panggil ular-ular-mu!” Siok
Lan berseru, melihat keadaan mereka
terancam.
“Ah, mana mungkin, Enci Lan? Kota penuh
orang yang bertempur, ular-ular itu tidak
berani muncul!” jawab Ci Sian sambil
memutar pedang rampasannya tadi, kini
tidak lagi dapat menyerang lawan,
melainkan hanya membela diri dan
menangkis semua sanjata para
pe-ngeroyok yang datang menyambar
bagai-kan hujan demikian pula Siok Lan
dan ibunya hanya mampu menangkis.
Mereka bertiga kini saling membelakangi,
mem-bentuk segi tiga dan menahan
serbuan senjata-senjata para pengeroyok
dari luar. Namun keadaan mereka sungguh
sudah amat terdesak dan mudah
diba-yangkan bahwa tak lama lagi akhirnya
mereka tentu akan roboh juga.
Pada saat yang amat berbahaya bagi
keselamatan tiga orang wanita itu, tiba-tiba
terdengar bentakan halus, namun nyaring
dan penuh wibawa. “Tahan semua senjata!
Hentikan pengeroyokan!”
Luar biasa sekali bentakan ini, karena
selain dapat menembus semua suara
ke-gaduhan, juga semua pengeroyok itu
se-ketika berhenti, mundur dan berdiri
de-ngan amat hormat, memberi jalan
kepada seorang pemuda yang
mengeluarkan pe-rintah yang amat ditaati
itu. Panglima Nandini dan Siok Lan
memandang kepada orang itu dan mereka
terbelalak, karena mereka mengenal
pemuda yang berpakaian jenderal amat
indah dan mentereng ini.
“Liong-ko....!” Siok Lan berseru kaget sekali
karena jenderal muda yang gagah itu bukan
lain adalah Liong Cin.
“Hemm, kiranya Liong Cin adalah jenderal
sakti yang dikabarkan orang itu?” Puteri
Nandini juga berkata dengan kaget dan
penasaran.
Akan tetapi Cin Liong yang begitu masuk
memandang kepada Ci Sian, ber-kata
kepada dara itu dengan alis ber-kerut, “Ci
Sian, engkau membantu me-reka?”
Ditanya dengan suara penuh teguran itu, Ci
Sian menegakkan kepalanya, se-pasang
matanya bersinar malah dan dia menjawab
gagah, “Tentu saja! Aku di-terima dengan
baik di sini, Enci Siok Lan adalah
sahabatku, melihat dia dan Ibunya
terancam bahaya, tentu saja aku membantu
dan membela mereka. Aku bukan seorang
yang tak kenal budi!”
Mendengar jawaban ini, Cin Liong menahan
senyumnya dan dia memandang kepada
Siok Lan yang masih terbelalak. Ketika dara
ini melihat betapa sahabat-nya itu agaknya
sama sekali tidak heran melihat keadaan
Liong Cin yang muncul sebagai jenderal,
dia lalu berkata, “Dia.... dia.... jenderal
musuh....?”
“Ya, Enci Lan, jangan kaget. Dialah jenderal
yang dikabarkan orang itu, jenderal muda
sakti yang datang menyelun-dup dan kalian
malah menerimanya se-bagai tamu dan
sahabat! Dan namanya bukanlah Liong Cin,
melainkan Kao Cin Liong!” jawab Ci Sian
yang tahu bahwa keadaan panglima muda
itu tidak perlu lagi disembunyikan sekarang.
Choirul, maret 2008 254
Mendengar bahwa nama yang dikenal-nya
itu hanya nama palsu, atau nama aseli yang
dibalikkan saja, Siok Lan me-mandang
kepada panglima muda itu de-ngan heran,
akan tetapi ibunya, Puteri Nandini menjadi
terkejut bukan main. “She Kao?” Panglima
wanita itu berseru. “Apa hubungannya
dengan Jenderal Kao Liang?”
Cin Liong mengangguk kepada puteri
peranakan Nepal yang gagah itu.
“Men-diang Jennderal Kao Liang adalah
Ka-kekku.”
“Hemm.... Puteri Nandini mengang-gukangguk,
tidak penasaran lagi bahwa dia
telah dikalahkan oleh jenderal muda ini
karena nama Jenderal Kao Liang telah
sangat terkenal dan tentu saja cucunya ini
pun mewarisi kepandaian yang hebat dari
jenderal besar itu. “Jadi kalau tidak salah,
Ciangkun adalah pu-tera pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir?”
Kembali Cin Liong mengangguk tanpa
menjawab karena dia memang tidak ingin
memamerkan keadaan keluarganya.
“Setelah kami kalah, apa yang hendak
kaulakukan dengan kami?” kini Puteri
Nandini bertanya, dalam suaranya
me-ngandung tantangan.
“Li-ciangkun, dan.... Nona Siok Lan, tepat
seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi,
kami bukanlah orang-orang yang tidak
mengenal budi. Oleh karena itu, sebagai
pembalasan budi, silakan kalian pergi
dengan aman.
“Apa? Engkau berani membebaskan kami?”
Puteri Nandini berteriak kaget dan juga
heran. Dia adalah seorang pang-lima
musuh yang telah kalah, dan kini
dibebaskan begitu saja oleh panglima ini!
“Li-ciangkun hanya seorang petugas, bukan
biang keladi peperangan ini. Sila-kan!”
“Mari, Anakku!” kata Nandini sambil menarik
tangan Siok Lan. Dara ini masih menoleh
dan memandang kepada Cin Liong,
mukanya pucat dan sepasang matanya
basah.
“Selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita
dapat saling bertemu kembali dan maafkan
semua kesalahanku,” kata Cin Liong sambil
menjura ke arah Siok Lan yang terisak dan
menutupi mukanya.
“Ci Sian, engkau sahabat baik kami, apakah
engkau tidak mau pergi bersama kami?”
Puteri Nandini mengajak Ci Sian akan tetapi
dara ini menggeleng kepala dengan sikap
yang keras. Kembali ada rasa tidak enak di
hatinya menyaksikan sikap Cin Liong dan
Siok Lan.
“Tidak, Bibi, aku mau pergi sendiri, aku
mempunyai urusan pribadi!” katanya dan
tanpa banyak cakap lagi, bahkan tanpa
menoleh kepada Cin Liong, dia lalu
meloncat dan pergi dari tempat itu.
“Adik Sian....!” Terdengar panggilan Siok
Lan dengan suara mengandung isak.
Ci Sian berhenti, menoleh dan ber-kata
kepada sahabatnya itu, “Sampai jumpa,
Enci Lan!” Dan dia pun melanjut-kan larinya
tanpa mempedulikan lagi.
“Mari, Siok Lan!” Puteri Nandini me-narik
tangan puterinya, akan tetapi Siok Lan
masih menoleh dan memandang ke-pada
Cin Liong. Akhirnya, dengan me-nahan
isak, dia pun mengikuti ibunya lari pergi dari
tempat itu, diikuti dan di-kawal oleh pasukan
pengawal atas perin-tah Cin Liong agar ibu
dan anak itu tidak diganggu dan dibiarkan
lolos dari kota Lhagat di mana masih terjadi
per-tempuran-pertempuran dengan sisa
pa-sukan Nepal yang masih melakukan
per-lawanan. Sebagian besar pasukan
Nepal sudah roboh atau melarikan diri.
Setelah Panglima Nandini dan puteri-nya
pergi lolos dari Lhagat, pertempuran pun tak
lama kemudian berhenti karena pasukan
Nepal sudah kehilangan semangat dan
keberanian. Sebagian dari mereka
Choirul, maret 2008 255
melarikan diri atau membuang senjata dan
menaluk. Para talukan ini oleh Cin Liong
diserahkan kepada para pimpinan pasukan
Tibet untuk dijadikan tawanan, kemudian
Cin Liong yang menduduki gedung bekas
tempat tinggal Puteri Nan-dini
mengumpulkan para pembantunya.
Diantara mereka itu terdapat pula Wan Tek
Hoat yang berjasa besar ketika membantu
pasukan membobolkan kepungan karena
pendekar sinting ini yang menga-muk
sehingga membuat pasukan kocar-kacir.
“Paman, saya telah menerima perin-tah
untuk melanjutkan gerakan ini ke Nepal,
untuk menghajar pemerlntah Ne-pal yang
telah berani menyerang dan memasuki
wilayah Tibet. Saya sedang minta bantuan
pasukan dari kerajaan untuk memperkuat
barisan. Harap Paman sudi membantu
kami.”
Akan tetapi Tek Hoat menggeleng kepala.
“Aku tidak mau lewat Bhutan, aku tidak mau
perang, aku tidak bisa ikut.”
Cin Liong hanya menarik napas pan-jang.
Dia merasa kasihan sekali kepada
pamannya yang gagah perkasa ini dan
melihat keadaannya seperti jembel sin-ting
ini dia merasa kasihan sekali.
“Kalau begitu sebaiknya Paman
me-ngunjungi orang tua saya, Ibu tentu
akan senang sekali bertemu dengan
Paman.”
Cin Liong lalu memberl bekal, kuda,
pakaian dan uang secukupnya. Akan te-tapi
Tek Hoat tertawa bergelak melihat
pemberian ini.
“Jenderal muda, kaukira aku masih
membutuhkan semua itu? Bukan itu yang
kubutuhkan, sama sekali bukan....” Dia
masih tertawa ketika dia berlari pergi
meninggalkan Cin Liong yang menjadi
bengong. Jenderal muda ini lalu
meng-geleng kepala dan menarik napas
panjang berkali-kali. Dia sudah banyak
bertemu orang-orang pandai di dunia kangouw
yang memang wataknya aneh-aneh,
dan pamannya itu mempunyai watak yang
lebih aneh lagi.
“Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!”
Nandini membentak dengan marah. Di
sepanjang perjalanan puterinya hanya
menangis saja, menangis demikian
sedihnya. Semenjak kecil, puterinya itu
adalah seorang anak yang tabah dan tidak
cengeng, bahkan belum pernah dia melihat
Siok Lan menangis seperti sekarang ini,
menangis demikian sedihnya! Dikiranya
bahwa anaknya itu menangis karena
ke-kalahannya yang dideritanya.
“Di dalam perang, kalah menang ada-lah
hal yang lumrah, seperti juga dalam
pertempuran dunia persilatan. Harus kita
akui bahwa fihak musuh mempunyai
se-orang ahli yang amat lihai dan siasatnya
itu sama sekali tidak pernah kusangka dan
kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa
harus ditangisi? Biasanya eng-kau bukanlah
seorang anak cengeng!”
Siok Lan tidak menjawab akan tetapi
tangisnya semakin sedih.
“Semula memang aku sudah menduga
bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal
akan mampu mengalahkan bala tentara
Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat.
Semua adalah kesalahan koksu jahat itu
yang membikin Nepal bermusuhan dengan
Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini
membuat aku tidak ada muka untuk
kem-bali ke Nepal....! Ah, kita hanya hidup
berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apaapa
di Nepal, maka jangan kau ter-lalu
menyusahkan kekalahan ini.”
“Bukan.... bukan itu, Ibu,” kata Siok Lan
yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di
tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan
kembali air matanya jatuh berderai.
Nandini terkejut dan memandang pe-nuh
selidik. “Kalau bukan karena keka-lahan itu,
habis mengapa kau menangis dan begini
berduka?”
Choirul, maret 2008 256
“Ibu.... dia jenderal musuh.... hu-huhuuuuhhh....“
dan kini Siok Lan menangis
sesenggukan dan menubruk kaki ibunya,
berlutut sambil menangis.
Nandini terkejut dan sejenak dia
ter-menung, menunduk dan memandang
ke-pala anaknya yang menangis di depan
kakinya. Lalu dia mengangkat bangun
anaknya itu setengah paksa, merangkul dan
membawanya duduk kembali di atas batu,
membiarkan anaknya itu menangis di atas
dadanya. Puteri itu memejamkan matanya
dan terbayanglah semua penga-lamannya
di waktu dahulu, di waktu dia masih muda,
masih sebaya dengan puterinya ini.
Nandini adalah puteri seorang pendeta
bangsa Nepal yang hidup di atas puncak
sebuah bukit yang sunyi. Ayahnya adalah
seorang pertapa yang sakti dan oleh
ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu
ketangkasan dan ilmu silat. Pada suatu hari,
ketika Nandini sedang memburu bi-natang
dalam sebuah hutan, dia melihat perampokperampok
sedang merampok seorang
Pangeran Nepal, Nandini meng-gunakan
kepandaiannya menolong pange-ran itu,
dan Sang Pangeran amat ber-terima kasih
dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu
melamar Nandini dari tangan ayahnya.
Sang pendeta tentu saja merasa terhormat
dan menerima lamaran itu dengan girang.
Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka
karena dia tidak suka kepada pangeran itu.
Biarpun kedudukannya tinggi, sebagai
seorang pa-nageran yang tentu saja
terhormat, mulia dan kaya raya, namun
pangeran itu sudah berusia kurang lebih
empat puluh tahun, berwajah kasar buruk
dan kabarnya telah memiliki selir belasan
orang banyaknya! Biar pun dia akan diambil
sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya
tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang
wanita, tentu saja dia tidak berani menolak
ke-hendak ayahnya dan demikianlah, dia
menjadi tunangan pangeran tua itu! Dan
pada suatu hari, beberapa bulan sebelum
dia menikah, bertemulah dia dengan
pen-dekar itu di dalam hutan! Seorang
pen-dekar bangsa Han yang masih muda,
tampan, sakti sekali, dan di samping itu,
pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah
hati Nandini! Apalagi kalau dia
membandingkan pendekar muda ini dengan
calon suaminya, membuat Nandini
kehi-langan kesadarannya dan dia
menyerah-kan dirinya kepada pendekar itu
yang memang merayunya. Terjadilah
hubungan di antara mereka di dalam hutan,
hubung-an mesra yang kini terbayang oleh
se-pasang mata yang dipejamkan itu.
Akan tetapi hubungan antara mereka itu
akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah
dan menyerang pendekar itu, akan tetapi
ayahnya sama sekali bukan tanding-an
pendekar itu dan ayahnya malah te-was
dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh
tangan Si Pendekar, melainkan tewas
karena serangan jantung, karena
kemarahannya yang meluap-luap.
Kemudian terjadilah hal yang amat
menyakitkan hatinya. Pendekar itu lalu
meninggalkannya! Meninggalkannya begitu
saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil
dari pada pencurahan kasih dan nafsu
berahi antara mereka selama ham-pir satu
bulan di dalam hutan!
Namun, pangeran tua itu ternyata amat
mencintainya dan bahkan mau me-maafkan
semua hubungannya dengan Si Pendekar.
Pangeran itu tetap saja me-ngawininya, dan
tidak mau menjamahnya sampai dia
melahirkan seorang anak pe-rempuan, yaitu
Siok Lan! Melihat kebaik-an pangeran itu,
sungguhpun sebagian dari penyebabnya
adalah karena pangeran itu ingin menutupi
aib yang akan men-cemarkan namanya
sendiri, akhirnya Nan-dini menerima nasib
dan mau melayani pangeran itu sebagai
suaminya. Kemudian, berkat ilmu
kepandaiannya, suaminya memberi jalan
kepada Nandini sehingga dia dapat
bertugas di dalam ketentaraan dengan
pangkat lumayan. Dan ketika pa-ngeran itu
meninggal dunia karena pe-nyakit, Nandini
terus menanjak dalam kedudukannya
Choirul, maret 2008 257
sampai akhirnya dia men-dapat kedudukan
tinggi sebagai seorang panglima perang!
Dan akhirnya kedudukannya itu ber-akhir
dengan kekalahan yang amat me-malukan!
Dia tidak berani kembali lagi ke Nepal.
Kemudian, mendengar tangis pu-terinya,
teringatlah dia akan semua
pe-ngalamannya itu, terbayanglah wajah
tampan pendekar itu!
“Siok Lan, apa yang terjadi antara engkau
dan Jenderal muda itu?” Akhirnya dia
bertanya, setengah mengkhawatirkan
bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu
terulang lagi pada puterinya!
Siok Lan memandang ibunya dan me-lihat
sinar mata ibunya tajam penuh se-lidik, dia
pun membalas dengan pandang mata
bersih dan tenang. “Tidak ada ter-jadi apaapa
kalau itu yang kaumaksud-kan, Ibu.
Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh
cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka
bahwa dia seorang pemburu muda biasa,
bukan seorang jenderal besar.... huhuuuhh,
apalagi jenderal mu-suh....”
Nandini mengelus rambut kepala pu-terinya.
“Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa
antara engkau dan dia.... dia memang
seorang pemuda yang patut mendapat
cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal
musuh! Mana mungkin dia mau menikah
atau berjodoh dengan seorang seperti
engkau....”
“Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!”
Hemm.... dia seorang ahli siasat pe-rang!
Siapa tahu bahwa cintanya kepada-mu
itupun hanya merupakan siasatnya
belaka....“
“Ibu....! Jangan begitu kejam.... ah, tidak
mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan
kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar
cintanya itu hanya siasat, aku.... aku
akan....”
“Kau mau apa?”
“Aku akan membunuhnya!”
Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu
ingin membunuh pendekar tampan itu, akan
tetapi dia tahu bahwa biarpun dia belajar
sampai sepuluh tahun lagi, tak mungkin dia
dapat menandingi pen-dekar itu. Dan
puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi
mana mungkin dapat menandingi putera
Naga Sakti Gurun Pa-sir dan cucu
mendiang Jenderal Kao Liang?
“Kau takkan menang Anakku.”
“Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya
bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku
yang mati!”
“Hemm, itu tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat,
engkau adalah puteri panglima musuh,
selain perbuatanmu menyusul jenderal
musuh itu amat memalukan, juga begitu
muncul engkau tentu akan dianggap,
musuh dan dikeroyok para anak buah
pasukan....“
“Aku tidak takut!” kata Siok Lan yang
nampak penasaran mengingat betapa cinta
pemuda itu mungkin hanya siasat perang
saja! “Lebih baik aku mati dikeroyok
daripada tidak ada harapan ber-jodoh
dengan dia!”
Siok Lan sudah nekat. Memang benar
bahwa pemuda itu dan dia masing-masing
belum pernah menyatakan cinta dengan
kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia
merasa benar ketika mereka saling
pan-dang, saling senyum dan saling
bergan-deng tangan. Dia dapat merasakan
cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui
seri senyum, melalui getaran dalam
sentuhan jari-jari tangan antara mereka.
“Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku
sebagai ibumu dapat memaklumi
perasaanmu dan aku setuju sepenuhnya
andaikata engkau dapat berjodoh dengan
Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu
Jenderal Kao Liang, ini saja sudah
Choirul, maret 2008 258
merupakan suatu jaminan. Apalagi diingat
bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir,
itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat
betapa lihainya dia mengatur siasat perang,
dan aku yakin bahwa ilmu silatnya pun amat
tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya
anak seorang Panglima Nepal yang telah
kalah....“
“Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan
bahwa aku juga seorang anak kandung dari
pendekar yang sakti?”
“Ayahmu....?” Wajah wanita yang ma-sih
cantik itu berubah merah, kemudian
menjadi pucat kembali. Dia memejamkan
matanya dan terbayanglah dia ketika dia
belum berangkat memimpin pasukan,
pernah ada seorang pengembara datang
membawa surat dari pendekar bekas
kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan.
Surat itu seperti juga watak orangnya,
penuh rayuan dan ternyata pendekar itu
sudah mendengar bahwa dia telah men-jadi
seorang janda dan pendekar itu me-rayunya
dalam surat, menyatakan rindu-nya,
menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup
seorang diri, kesepian dan menang-gung
rindu, dan membujuknya agar suka datang
ke tempatnya, menikmati hidup bersama!
Surat itu telah dirobek-robek-nya dan dia
berangkat memimpin pasukan menyerbu ke
Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya
merengek, teringatlah dia akan isi surat.
“Hemm, memang hanya ada satu ja-lan.
Dan Ayah kandungmu itu, yang se-lama
hidupnya belum pernah menderita jerih
payah merawat dan mendidikmu, sekarang
dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus
membuktikan bahwa dia seorang ayah yang
patut dan yang sudah sepantasnya kalau
menjodohkan puteri-nya! Mari kita pergi
kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan
urusan jodoh ini kepadanya!”
Siok Lan merasa girang sekali dan
kedukaannya segera terhapus dari
wajah-nya dan pada wajah yang cantik itu
ter-bayang penuh harapan ketika dia pun
lari mengikuti ibunya.
***
Puncak Merak Emas merupakan satu di
antara puncak-puncak Gunung Kongmaa
La yang menjulang tinggi di atas awanawan.
Kongmaa La merupakan gunung
yang nomor tiga tingginya dari deretan
Pegunungan Himalaya, memiliki banyak
puncak yang sedemikian tingginya
sehing-ga hampir selalu tertutup es dan
salju. Akan tetapi, puncak Merak Emas
hanya pada musim salju saja tertutup es
dan pada musim-musim lain, terutama di
musim semi dan musim panas, puncak
Merak Emas amat indahnya dan subur
dengan tumbuh-tumbuhan dan pohonpo-
hon besar. Mungkin karena banyaknya
terdapat merak dengan bermacam-macam
warna, maka puncak itu dinamakan pun-cak
Merak Emas, sungguhpun jarang se-kali
ada manusia yang dapat bertemu dengan
seekor merak yang bulunya ke-emasan.
Karena tanahnya yang subur dan
ke-adaannya yang lebih enak ditinggali,
tidak seperti puncak-puncak lainnya di
Pegunungan Himalaya, maka di kaki dan
lereng gunung ini terdapat kelompokkelompok
dusun yang penghuninya bekerja
sebagai petani atau pemburu binatang
hutan. Akan tetapi di puncaknya sendiri
hanya terdapat sebuah pondok kayu yang
sederhana namun kokoh kuat dan setiap
hari orang dapat mendengar suara seorang
pria membaca sajak dengan suara yang
lantang dan merdu dari dalam pon-dok itu.
Di belakang pondok itu terdapat kebun yang
cukup luas, penuh dengan tanaman sayursayuran
seperti kobis, sawi, wortel, lobak
dan sebagainya lagi, di samping beberapa
petak sawah yang ditanami padi gandum.
Semua penghuni dusun di sekitar pun-cak
itu tahu bahwa pondok itu dihuni oleh
seorang pria yang hidup menyendiri di situ,
di tempat sunyi itu. Seorang pria yang
berpakaian seperti petani biasa, usianya
sudah empat puluh tahun lebih namun
masih nampak gagah dan muda, tampan
dan periang. Tubuhnya kokoh kuat biarpun
Choirul, maret 2008 259
gerak-geriknya halus seperti seorang
sastrawan, wajahnya yang gagah dan
tampan itu selalu berseri kemerahan,
sepasang matanya bersinar-sinar dan
jenggot serta kumisnya terpelihara rapi
selalu. Biarpun pakaiannya sederhana,
pakaian petani namun selalu nampak bersih
dan rapi, sungguh amat berbeda dengan
para petani yang biasanya selalu berlepotan
lumpur.
Melihat betapa dia hidup dalam ke-adaan
tenang dan tenteram, nampaknya amat
berbahagia, orang akan menganggap dia
seorang petani biasa yang berbahagia,
tidak butuh apa-apa lagi, hidup sehat dan
penuh damai. Akan tetapi kalau malam tiba,
dan orang melihat dia duduk di senjakala
menikmati matahari tenggelam sambil
melamun, kadang-kadang minum arak
sendirian dan membaca sajak-sajak yang
indah dengan suara lantang, maka, melihat
wajahnya yang menjadi berduka,
mendengar bunyi rangkaian sajak yang
bernada sedih, maka orang akan tahu
bahwa sebenarnya ada kedukaan besar
tersembunyi di balik kehidupan yang
nampak bahagia itu. Dan kalau sudah
begitu, maka akan jelaslah bahwa dia
bukanlah seorang petani biasa, baik di-lihat
dari caranya membaca sajak, dan gerakgeriknya.
Bahkan, di waktu keada-an sunyi
sekali dan dia merasa yakin ti-dak ada mata
lain memandang, tubuhnya akan
berkelebatan seperti kilat ketika dia berlatih
ilmu silat yang amat hebat sehingga
gerakan tangan kakinya mem-buat daundaun
pohon rontok dan tanah di sekeliling
tempat dia berlatih itu tergetar seperti ada
gempa bumi!
Akan tetapi ada kalanya, agaknya untuk
melarikan diri dari kesepian, orang itu
nampak bercakap-cakap dengan orangorang
dusun yang tinggal di lereng. Dia
sengaja turun dari puncak membawa arak
buatannya sendiri, mendatangi para
penghuni dusun yang diajaknya minum arak
sambil bercakap-cakap, tentang tanaman
atau tentang alam atau juga tentang filsafat
kehidupan sederhana menurut pandangan
para penghuni dusun. Ada kalanya pula dia
nampak berada di sebuah kuil yang juga
berada menyendiri di sebuah lembah di
lereng gunung, se-buah kuil yang dihuni
oleh seorang ni-kouw. Keadaan nikouw ini
puri aneh, sama anehnya dengan petani
yang suka ber-sajak itu, karena nikouw ini
tinggal se-orang diri dalam kesunyian pula.
Nikouw ini masih muda, kurang lebih tiga
puluh lima tahun usianya, berwajah bersih
dan cantik, namun jarang dia
memperlihatkan wajahnya yang selalu
disembunyikan di balik kerudung putih.
Nikouw ini amat ramah dan manis budi
terhadap para penghuni dusun, seringkali
berkeliling untuk memberi petunjuk dan
pengobatan, dan seringkali menerima
orang-orang bersembahyang memohon
berkah dari para dewa. Biarpun tidak
pernah bertanya dan tidak pernah melihat
buktinya, namun semua penduduk dusun
dapat merasakan bahwa baik si petani di
puncak, maupun nikouw di kuil sunyi itu
tentulah bukan orang-orang sembarangan.
Nikouw itu mendiami kuil lama yang
dibersihkannya dan diperbaikinya sendiri,
juga hidup dari bertanam sayur di belakang
kuil. Tak se-orang pun dapat mengatakan
kapan dua orang ini muncul di tempat itu,
akan tetapi seingat para kaum tua di dusundusun,
kemunculan mereka juga dalam
waktu yang sama.
Ada kalanya pula petani itu duduk seorang
diri di waktu pagi sekali atau di waktu senja
menikmati matahari ,timbul atau matahari
tenggelam, sambil meniup suling
bambunya. Dia pandai bermain suling,
suara tiupan sulingnya mengalun halus dan
lembut sekali, mendatangkan hikmat ke
mana pun suara itu dapat terdengar.
Melihat para petani itu membaca sajak dan
meniup suling, dapat diduga bahwa dia
tentu seorang ahli sastra, di samping ahli
silat.
Pada senja hari itu, kembali dia me-niup
sulingnya sambil duduk menghadap ke
barat, menikmati keindahan angkasa yang
seperti terbakar oleh warna merah, kuning
dan biru dari sinar matahari senja. Ketika
Choirul, maret 2008 260
suara sulingnya melambat dan melirih
kemudian hilang ditelan kehening-an, petani
itu tersenyum dan biarpun dia menunduk,
namun matanya mengerling ke kanan dan
dia melihat berkelebatnya ba-yangan orang
di bawah puncak. Dia ber-sikap tidak peduli,
bahkan lalu bangkit berdiri dan melangkah
lambat-lambat memasuki pintu pondoknya.
Bayangan yang berkelebatan cepat itu
adalah Ci Sian. Dara ini, seperti kita ketahui
telah meninggalkan Lhagat, ke-mudian dia
melakukan perjalanan menuju ke
Pegunungan Kongmaa La, mencari tempat
tinggal ayahnya seperti yang di-ketahuinya
dari penuturan mendiang Lauw Sek. Sore
tadi, atau lewat tengahari, dia tiba di kuil
sunyi dan melihat seorang nikouw muda
dan cantik sedang men-cangkul di kebun
sayur belakang kuil.
Sejenak Ci Sian merasa terheran me-lihat
seorang nikouw yang muda dan cantik
sendirian saja di kuil tua yang sunyi, apalagi
melihat nikouw itu melaku-kan pekerjaan
berat mencangkul kebun. Akan tetapi
nikouw itu tiba-tiba berhenti mencangkul,
menoleh dan memandang kepadanya
dengan sinar mata penuh se-lidik, kemudian
terdengar suaranya ber-tanya, suaranya
mengandung teguran halus namun tajam.
“Siapakah engkau dan mengapa me-lihat
orang yang sedang bekerja?”
Ci Sian adalah seorang dara yang berwatak
keras dan melihat sikap nikouw itu,
terutama mendengar nada suara
per-tanyaannya, dia sudah merasa tidak
se-nang. Akan tetapi karena dia datang
untuk bertanya, maka dia masih bersabar
dan dia cepat menghampiri.
“Nikouw yang baik, saya ingin ber-tanya
apakah di tempat ini ada seorang pertapa
she Bu?”
Sungguh mengherakan sekali, mende-ngar
pertanyaannya itu, jelas nampak betapa
nikouw itu menjadi marah. Muka-nya yang
putih halus, itu menjadi keme-rahan,
sepasang mata yang bening itu kini berapiapi.
“Mau apa engkau mencari orang she Bu?”
“Eh, apa hubungannya hal itu dengan-mu?”
Ci Sian bertanya kembali, kini dia mulai
marah. “Beri tahu saja di mana aku dapat
bertemu dengan pertapa she Bu itu!”
Sepasang mata yang bening dari ni-kouw
itu makin tajam dan penuh selidik. “Hemm,
engkau ini perempuan masih begini muda
juga sudah tergila-gila ke-padanya?”
Mendengar ini, Ci Sian terkejut dan marah
bukan main. Mukanya berubah merah
seketika dan dia membentak. ”Eng-kau
nikouw yang seharusnya hidup suci dan
bersih, kiranya mulutmu begini kotor! Hayo
beri tahu di mana adanya orang she Bu itu!”
“Huh, kau tidak mau memberi tahu
keperluanmu, aku pun tidak sudi memberi
tahu. Kaucari serndiri saja!” Setelah
ber-kata demikian, nikouw itu mengambil
kembali cangkulnya dan mulai lagi
men-cangkul, mengayun cangkulnya kuatkuat
dan mencangkul tanah tanpa
mempeduli-kan lagi kepada Ci Sian.
Ci Sian sudah mengepal tinju untuk
memberi hajaran kepada nikouw yang
di-anggapnya tidak sopan dan menuduhnya
yang bukan-bukan itu, akan tetapi dia
terbelalak melihat betapa batu-batu yang
terkena hantaman cangkul itu terbelah
seperti tanah lempung saja! Maklumlah dia
bahwa nikouw ini adalah orang yang
memiliki kepandaian tinggi, maka dia pun
tidak berani bertindak lancang dan
cero-boh. Dia hendak mencari ayahnya,
dan tempat ini merupakan tempat sunyi di
mana dia tahu banyak terdapat pertapapertapa
yang sakti, maka tidak baik kalau
dia mencari keributan dengan sembarang
orang. Maka setelah memandang sekali
lagi, dia lalu membalikkan tubuh-nya dan
berlari pergi meninggalkan kebun dan
nikouw yang aneh itu.
Choirul, maret 2008 261
Setelah meninggalkan nikouw itu, Ci Sian
melanjutkan penyelidikannya dan se-telah
dia bertanya-tanya kepada para penghuni
dusun di sekitar pegunungan itu, akhirnya
dia mendengar tentang seorang petani
aneh yang berada di puncak Me-rak Emas,
tinggal seorang diri dalam pondok dan biar
tidak ada seorang pun di antara mereka
yang tahu she dari petani itu, tidak ada pula
yang mengenal seorang pertapa she Bu,
namun hatinya tertarik untuk menyelidiki
petani itu.
Dan pada senja hari itu dia mendaki ke arah
puncak. Dari jauh dia telah mendengar
suara suling yang amat merdu itu dan diamdiam
dia sudah merasa semakin tertarik
dan terheran karena bagaimana mungkin
seorang petani dapat memainkan lagu-lagu
klasik itu? Dia mengenal bebe-rapa buah
lagu kuno yang tentu hanya dikenal oleh
pemain-pemain musik yang pandai, bukan
oleh seorang petani biasa saja. Maka dia
pun mempercepat gerakannya mendaki
puncak dan setelah melihat pondok itu, dia
mempergunakan suara suling untuk
menyembunyikan bunyi ge-rakannya dan
cepat dia meloncat naik ke atas wuwungan
rumah, lalu bersembunyi di balik wuwungan
sambil menanti da-tangnya malam untuk
mengintai ke dalam.
Petani itu kini duduk di dalam pondok,
minum arak seorang diri dan setelah
ruangan dalam pondok itu gelap, dia
menyalakan lampu minyak sehingga
ruang-an itu nampak remang-remang
namun cukup terang bagi Ci Sian yang
mengintai dari atas genteng. Dia melihat
dengan jelas kini wajah seorang laki-lakl
yang tampan dan gagah, wajah yang
terpelihara baik-baik dan tidak pantas
dengan pakai-annya yang amat sederhana
itu. Perabot rumah itupun amat sederhana
pula, dan pondok itupun hanya memiliki
sebuah ruangan saja, di mana terdapat
sebuah meja bundar dengan enam buah
bangku, semua terbuat daripada kayu
sederhana, dan di sudut ruangan itu
terdapat sebuah dipan dari kayu yang
besar. Pria itu duduk di sebuah di antara
bangku-bangku itu, menghadap ke arah
pintu. Dua buah daun jendela berada di
kanan kirinya, sudah tertutup dan kini pria
itu agaknya sudah merasa cukup minum
arak. Dia meletakkan cawan araknya di atas
meja, mengusap bibir dengan saputangan
dan jari-jari tangannya membereskan
jenggot dan kumisnya yang terpelihara baikbaik
itu dan dia lalu mengambil suling yang
menggeletak di atas meja.
Tak lama kemudian, terdengarlah lagi
alunan suara suling yang amat merdu,
terutama sekali terdengar dengan amat
jelasnya oleh Ci Sian yang mengintai di atas
genteng. Dia tidak berani turun
memperlihatkan diri karena dia masih belum
yakin apakah benar orang ini yang
dicarinya. Jantungnya berdebar penuh
ketegangan kalau membayangkan bahwa
ada kemungkinan, inilah orangnya, inilah
ayah kandungnya! Akan tetapi dia masih
ragu-ragu karena dia tidak mempunyai
sesuatu yang dapat membuktikan bahwa
dugaan-nya tidak keliru. Bagaimana dia
bisa yakin bahwa orang ini benar-benar
ayah-nya?
Selagi dia merasa bingung, tidak tahu apa
yang harus dilakukannya, tiba-tiba matanya
yang tajam dapat menangkap
berkelebatnya bayangan dua orang di dekat
pondok itu. Dia terkejut dan ter-heran,
hatinya merasa semakin tegang karena dia
menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu,
atau kalau sampai orang di bawah itu
menerima tamu dan ber-cakap-cakap,
mungkin saja hal itu akan menjadi jawaban
keraguannya apakah benar orang ini ayah
kandungnya ataukah bukan.
Ketika Ci Sian melihat betapa dua
bayangan yang berkelebat dengan gerakan
ringan dan cepat itu kini mendekati pon-dok
dengan hati-hati lalu mengintai ke dalam
melalui jendela di sebelah utara, hatinya
semakin tegang dan dia memper-hatikan.
Bukan main kaget dan herannya ketika dia
merasa mengenal bentuk tubuh dua orang
itu. Dua orang wanita! Dan Ci Sian hampir
berani memastikan bahwa mereka itu
Choirul, maret 2008 262
adaaah Siok Lan dan ibunya! Semakin
yakin hatinya ketika dia melihat wanita yang
sekarang memberi tanda de-ngan menaruh
jari di depan bibir kepada wanita kedua,
tanda bahwa mereka tidak boleh membuat
suara gaduh. Karena me-rasa amat tertarik,
Ci Sian lalu mengintai lagi ke dalam dan
melihat betapa pria itu masih saja enakenak
meniup sulingnya, kini dengan suara
semakin merdu dan romantis, juga
mengandung suara-suara keluhan duka.
Memang tidak keliru dugaan Ci Sian. Dua
sosok bayangan wanita itu adalah Puteri
Nandini dan anaknya, Siok Lan. Seperti kita
ketahui, ibu dan anak ini telah
meninggalkan Lhagat dan Puteri Nandini
tidak mau kembali ke Ne-pal setelah
kekalahan pasukannya, melainkan
mengajak anaknya untuk pergi mencari
ayah kandung Siok Lan untuk diajak
be-runding tentang niat Siok Lan berjodoh
dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong.
Ketika dia mendengar bahwa di puncak itu
terdapat seorang petani setengah tua hidup
menyendiri, dia tidak merasa ragu-ragu lagi
dan mengajak puterinya untuk melakukan
penyelidikan.
“Hati-hati, jangan kau sembarangan ikut
campur kalau terjadi keributan di rumah itu.
Urusan antara aku dan siapa pun di sana,
jangan kau mencampurinya.”
Siok Lan mengangguk, sungguhpun dia
merasa heran dan tidak mengerti. Betapa
pun juga, hatinya tegang sekali
memba-yangkan betapa dia akan bertemu
dengan ayah kandungnya yang selamanya
tidak pernah dilihatnya itu.
Dengan jantung berdebar dan tangan
terkepal membentuk tinju, perasaahnya
tidak karuan, Puteri Nandini mendekati
jendela dengan puterinya. Mendengar
tiupan suling yang merdu sekali itu, hatinya
tergetar dan dia memejamkan kedua
matanya, wajahnya menjadi merah dan
terbayanglah semua pengalamannya di
masa lampau, pengalamanan penuh
ke-mesraan. Dia lalu mengintai melalui
jen-dela itu dan begitu dia melihat petani itu
yang duduk meniup suling dengan wajah
mengandung duka, diam-diam dia
mengeluh dan tubuhnya gemetar, penuh
kerinduan yang selama belasan tahun
ditahan-tahannya akan tetapi di samping
keindahan itu juga terdapat perasaan duka
dan penyesalan yang amat pahit. Setelah
memejamkan mata sejenak, wa-nita ini
mengintai lagi dan pada saat itu, tiupan
suling yang mengalun itu berbunyi panjang
dan semakin bernada penuh duka, makin
lama makin lambat dan lirih se-hingga
akhirnya berhenti sama sekali. Pria itu
mengeluh, lalu melepaskan suling itu ke
atas meja, lalu memejamkan mata,
menggunakan kedua tangannya untuk
me-nutupi mukanya dan terdengar
keluhannya panjang pendek. Tidak dapat
ditangkap jelas apa yang dikeluhkannya,
akan tetapi bekas panglima wanita Nepal itu
dengan sangat jelas dapat menangkap
namanya disebut-sebut. dalam keluhan itu,
keluhan yang menyatakan rindu terhadap
Nandini!
“Nandini.... kekasihku.... mengapa kau tidak
kasihan kepadaku.... aku rindu pada-mu,
kenapa kau tidak mau menemaniku di
sini....?” Demikianlah kata-kata di an-tara
keluhan yang dapat tertangkap oleh telinga
Nandini. Tentu saja wanita ini menjadi
terharu sekali dan tubuhnya terasa panas
dingin mendengar suara yang amat
dikenalnya dan yang pernah amat
dicintanya itu! Suara yang dahulu selalu
merayunya dengan kata-kata indah, dan
betapapun besar perasaan marah, sakit hati
dan penyesalannya mengingat betapa dia
ditinggalkan begitu saja oleh pria ini, akan
tetapi begitu melihat wajahnya, melihat
bentuk tubuhnya, mendengar suara tiupan
sulingnya, mendengar suara keluhannya,
semua kekerasan hatinya mencair dan kini
dia mengintai dengan dua mata basah air
mata!
Terbayanglah semua pengalamannya yang
mesra bersama pria ini! Suasana romantis
penuh kemesraan ketika dia dan pria ini
memadu kasih, belasan tahun yang lalu di
Choirul, maret 2008 263
waktu mereka berdua masih sama-sama
muda. Teringat dia betapa ilmu silatnya
menjadi selihai sekarang karena dia
menerima petunjuk oleh pria ini. Berlatih
silat, bermain cinta, di an-tara pohon-pohon
dan bunga-bunga di tempat terbuka. Betapa
hidup penuh de-ngan kenikmatan dan
kebahagiaan di waktu itu. Teringat akan
semua ini, Nan-dini ingin sekali membobol
daun jendela itu, ingin sekali menghampiri,
mendekati, menghibur pria itu. Cintanya
yang dahulu timbul kembali karena memang
tidak pernah padam sama sekali. Bahkan,
pe-nyerahan dirinya sebagai isteri pangeran
tua itu menambah rindu dan cintanya
kepada pria ini. Akan tetapi dia teringat
akan Siok Lan yang berada di situ, maka
ditahan-tahannya perasaannya, hanya
hatinya yang merintih menyebut nama pria
yang pernah menjadi kekasihnya ini.
“Nandini.... ah, Nandini, tidak terasa-kah
hatimu betapa aku menderita rin-du.
”Omitohud....! Dasar mata keranjang,
hidung belang, jahanam ceriwis keparat!”
dari luar jendela yang berlawanan, yaitu di
sebelah selatan, terdengar suara nya-ring
yang menyumpah ini.
Mendengar ini, pria itu menoleh ke arah
jendela sebelah selatan, tanpa bang-kit
berdiri, melainkan tersenyum. Dan begitu
dia tersenyum, wajahnya nampak semakin
menarik, tampan dan kelihatan jauh lebih
muda daripada usianya yang sebenarnya.
Memang pria ini amat tam-pan, di waktu
mudanya dahulu sudah tentu amat tampan
dan banyak menjatuh kan hati kaum wanita,
sedangkan sekarang pun masih nampak
tampan menarik.
“Aihh, Bi-moi yang manis, mengapa engkau
main sembunyi-sembunyi dan me-ngintai?
Kalau memang kau merasa rindu padaku
dan ingin bicara dan bercanda, masuklah,
sayang!” Sungguh ucapan ini mengandung
rayuan maut bagi seorang setengah tua
seperti dia dan terdengar amat
menggairahkan dan juga amat me-narik
hati.
“Omitohud, dasar gila wanita!” terde-ngar
suara dari luar jendela itu dan tiba-tiba
jendela itu jebol didorong dari luar dan
melayanglah sesosok tubuh ke dalam
kamar itu. Melihat siapa yang masuk ini, Ci
Sian terkejut sekali. Tadi dia sudah
bengong terlongong ketika dia mengenal
bahwa dua orang wanita itu adalah Siok
Lan dan ibunya. Selagi dia kebingungan
dan terheran-heran belum tahu benar siapa
pria itu dan mengapa Siok Lan dan Ibunya
berada di situ mengintai seperti dia, maka
ketika mendengar suara wanita dari luar
jendela selatan itu dia pun amat kaget.
Karena dia sejak tadi meng-intai, maka dia
tidak melihat munculnya wanita ini di
belakang jendela selatan dan tahu-tahu dia
mendengar suaranya. Kini, melihat siapa
yang muncul di dalam kamar dengan
gerakan yang demiklan ringan dan cekatan,
Ci Sian hampir ber-seru kaget. Wanita yang
masuk ini bukan lain adalah nikouw muda
cantik yang dijumpainya siang tadi! Makin
bingung dan heranlah dia, akan tetapi
dengan penuh perhatian dia terus mengintai
dari atas genteng. Nikouw muda itu kini
berhadap-an dengan pria itu, wajahnya
yang putih halus itu merah sekali, tanda
bahwa dia sudah amat marah dan suaranya
nyaring ketika dia berkata sambil
menudingkan telunjuk kirinya yang berkuku
runcing terpelihara itu ke arah hidung pria
itu.
“Dasar kerbau hidung belang kau! Katanya
hendak bertapa di sini menjauh-kan diri dari
semua wanita, siapa tahu diam-diam
engkau merindukan wanita lain! Keparat,
sungguh tak tahu malu engkau!”
“Eh.... ehhh.... sabarlah, sayang. Engkau
sendiri yang mengambil keputusan untuk
menjadi nikouw sehingga aku terpaksa
kekeringan dan kesepian di sini, mem-buat
aku teringat kepada bekas-bekas kekasih
lama yang kurindukan. Mengapa kau
marah? Marilah, sayang, mari kau
mendekat, aihh, tak tahukah engkau
be-tapa selama ini aku amat rindu
kepada-mu, dan betapa setelah engkau
Choirul, maret 2008 264
berpa-kaian nikouw dan kepalamu gundul
eng-kau menjadi semakin cantik saja?”
“Phuhh, siapa sudi rayuanmu? Dan
kepalaku sudah tidak gundul lagi!” Ber-kata
demikian, nikouw itu membuka pe-nutup
kepalanya dan memang benar, kepala
gundul itu sudah ditumbuhi ram-but,
walaupun baru setengah jari panjangnya.
“Aduh engkau semakin manis. Ke sini-lah,
mari minum arak bersamaku, Cui Bi
kekasihku yang denok!”
“Brakkkkk!” Tiba-tiba daun jendela sebelah
utara pecah berantakan disusul
melayangnya tubuh Nandini! Wanita ini
sudah tidak dapat menahan kemarahannya
lagi melihat betapa pria itu merayu ni-kouw
itu sedemikian rupa. Hatinya penuh dengan
cemburu yang membuat dadanya hampir
meledak sehingga dia tidak ingat apa-apa
lagi lalu menghantam jendela itu dan
meloncat masuk.
“Nandini....!” Pria itu berseru, nampaknya
kaget akan tetapi mulutnya terse-nyum
penuh daya pikat. “Engkau baru datang,
bidadariku dari Nepal?”
“Laki-laki kejam, mata keranjang dan
rendah budi! Jadi untuk nikouw inilah
engkau meninggalkan aku?” bentak
Nan-dini sambil menudingkan telunjuknya.
“Bu Seng Kin! Jadi engkau telah
mem-punyai gendak orang Nepal ini?”
bentak nikouw itu dan dua orang wanita itu
se-jenak saling pandang penuh kebencian
dan cemburu, akan tetapi kemarahan
me-reka itu kini tertumpah kepada pria yang
disebut Bu Seng Kin itu dan mereka berdua
kini menubruk maju dan menye-rang pria
dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan
maut yang amat cepat dan ganas!
“Wah, beginikah kalian memperlihat-kan
rasa rindu kalian? Heh-heh, mana bisa
kalian menyerangku dengan ilmu-ilmu
pukulan yang kuajarkan sendiri ke-pada
kalian? Ha-ha, tidak kena! Wah, hampir
saja, Nandini! Nah, meleset, Cui Bi!”
Biarpun diserang dengan ganas oleh dua
orang wanita itu, namun dengan amat
mudahnya pria itu menggerakkan langkahlangkah
kaki sedemikian rupa se-hingga
semua serangan itu mengenai tempat
kosong belaka!
“Wah, mana bisa kita bicara baik-baik kalau
kalian marah-marah begini? Sabarlah,
tenanglah....!” pria itu mem-bujuk, akan
tetapi bagaikan dua ekor singa betina yang
marah-marah, dua orang wanita itu terus
menyerang se-makin hebat. Akhirnya, entah
bagaimana Siok Lan yang mengintai dari
jendela dan Ci Sian, yang mengintai dari
genteng itu tidak tahu benar, tiba-tiba saja
dua orang wanita yang marah-marah itu
telah kena dirangkul pinggang mereka di
kanan kiri dan pria itu sambil tersenyumsenyum
menarik mereka dan mengajak
mereka duduk di atas bangku, di kanan
kirinya! Akan tetapi Ci Sian segera dapat
men-duga bahwa tentu pria yang amat lihai
itu telah berhasil menotok jalan darah dua
orang wanita itu sehingga menjadi lemas
dan tidak dapat melawan lagi. Du-gaannya
memang benar karena biarpun mereka
tidak melawan ketika dirangkul dan
didudukkan ke atas bangku, keduanya
memaki-maki kalang-kabut!
“Bu-taihiap, kalau engkau sampai
mengganggu dan menghinaku, aku
ber-sumpah akan memusuhimu sampai titik
darah terakhir!” Nandini berkata akan tetapi
tidak mampu melepaskan dirinya yang
dipaksa duduk di samping pria itu dan
pinggangnya yang masih ramping itu
dirangkul!
“Bu Seng Kin, aku bersumpah akan
membunuh diri kalau engkau berani
mengganggu diriku!” nikouw itu juga berkata
tanpa mampu melepaskan dirinya yang juga
dirangkul pinggangnya.
“Ha-ha-ha, manisku, sayangku, kalian
adalah isteri-isteriku, kalian adalah jan-tung
hatiku, aku sayang dan cinta kepada kalian,
mana mungkin aku akan meng-ganggu dan
Choirul, maret 2008 265
menghina kalian? Akan tetapi kalian juga
jangan mengecewakan hatiku lagi, dan
suka temani aku makan.” Sambil tersenyum
girang, petani yang bernama Bu Seng Kin
itu lalu melepaskan rangkulannya dan
mengeluarkan makanan dari sudut
belakang ruangan yang merupakan dapur.
Tidak banyak macamnya makanan itu,
hanya beberapa macam sayur seder-hana,
nasi dan daging kering. Akan te-tapi dengan
lagak sedang pesta besar, Bu Seng Kin lalu
mengatur semua itu di atas meja. Dua
orang wanita itu hanya memandang saja,
kadang-kadang saling lirik dan saling
menyelidiki keadaan ma-sing-masing.
“Ha-ha, mari kita makan, manis. Nan-dini
sayangku, kau makanlah, sawi putih ini
dahulu menjadi kesukaanmu, bukan?” Dan
dia lalu mengambil sepotong sayur dari
mangkok dengan sumpitnya dan membawa
makanan itu ke mulut Nandini. Karena
maklum bahwa dia tidak berdaya, juga
karena terharu akan sikap yang manis dan
menyayang dari pria itu, Nan-dini tidak
dapat menolak, membuka mulut dan makan
sayur itu.
“Dan kesukaanmu dahulu adalah da-ging
dendeng asin ini, bukan, Cui Bi?” Dia
mengambil sepotong kecil daging dengan
sumpitnya dan mendekatkannya ke mulut
Cui Bi yang kecil mungil itu.
“Gila! Kau tahu sebagai nikouw aku tidak
makan daging!” Cui Bi berkata.
“Ah, engkau menjadi nikouw karena
terpaksa dalam kemarahanmu, bukan
se-wajarnya. Sekarang setelah berkumpul
kembali dengan aku, tidak perlu kau
berpantang daging lagi. Hayolah, jangan
pura-pura, manisku.” Dan nikouw itu
ter-paksa menerima pula daging itu dan
me-makannya.
Demikianlah, dengan sikap gembira sekali
Bu Seng Kin lalu makan minum,
menyuapkan makanan secara bergantian
kepada dua orang wanita di kedua sisinya
itu, juga memberi mereka minum arak.
Karena pandainya dia bicara dan merayu,
dua orang wanita itu agaknya perlahanlahan
lenyap kemarahan mereka, bahkan
mereka kadang-kadang sudah mau
ter-senyum oleh cerita lucu, walaupun
se-nyum yang ditahan-tahan.
“Hayo ceritakan pengalamanmu se-menjak
berpisah dariku, Bu-taihiap, ce-ritakan
semua tanpa ada yang kausembu-nyikan
tentang wanita-wanita yang kauambil
sebagai penggantiku, baru aku mau
melanjutkan makan minum bersamamu.”
tiba-tiba Nandini berkata sambil melirik ke
arah nikouw yang berada di samping kiri
pendekar itu.
“Benar! Aku pun harus mendengar semua
petualanganmu sebelum bertemu dengan
aku yang agaknya merupakan se-orang di
antara banyak wanita yang kau-rayu dan
menjadi jatuh!” kata pula ni-kouw itu. “Kalau
tidak, aku pun tidak sudi duduk bersamamu
lagi.
Bu Seng Kin tersenyum lebar dan
berdongak ke atas, mengejutkan hati Ci
Sian karena dara ini merasa seolah-olah
pendekar itu memandang kepadanya yang
sedang mengintai. Akan tetapi pendekar itu
menunduk kembali dan dia pun
men-curahkan perhatiannya. Biarpun dia
merasa muak menyaksikan adegan romanro-
manan itu, akan tetapi dia pun ingin
mendengar cerita orang yang diduganya
adalah pria yang dicarinya, yaitu ayah
kandungnya. Hatinya sudah seperti
di-sayat-sayat karena kecewa melihat
ting-kah pria di bawah itu yang jelas
merupakan seorang pria tukang merayu
wanita, sedang pria yang hidung belang
yang pandai sekali menjatuhkan hati wanita.
“Ha-ha-ha, baiklah, baiklah, akan
kuceritakan. Aihh, biarpun sudah lewat
belasan tahun, hampir dua puluh tahun,
engkau masih nampak cantik jelita saja,
Nandini, betapa masih kuingat benar ketika
aku terpaksa meninggalkanmu, kasihku.”
Choirul, maret 2008 266
“Bohong! Dan jangan sebut aku
keka-sihmu, kalau engkau benar cinta
padaku tidak mungkin engkau
meninggalkan aku!” kata Nandini dengan
marah karena hati-nya masih panas kalau
teringat betapa dalam keadaan
mengandung dia telah di-tinggal pergi oleh
kekasihnya ini.
“Aihh, jangan kau berkata begitu. Aku pergi
meninggalkanmu dengan hati yang
berdarah, luka parah oleh kedukaan. Ah,
ya, Cui Bi belum tahu akan riwayat kami,
biarlah kuceritakan secara sing-kat.”
Pendekar itu lalu bercerita, didengar-kan
oleh Siok Lan dan Ci Sian yang masih
mengintai.
“Biarpun terus terang saja, Nandini bukan
merupakan wanita pertama yang pernah
menjadi kekasihku, akan tetapi baru kuakui
bahwa dialah wanita pertama yang benarbenar
membuat aku tergila-gila dan dengan
Nandinilah untuk per-tama kali aku benarbenar
menaruh cinta.”
“Huh, siapa percaya?” kata, Nandini, akan
tetapi sepasang matanya berseri penuh
kegembiraan mendengar ini, dan nikouw di
sebelah itu memandang iri!
“Sungguh mati! Akan tetapi, seperti
kauketahui, Ayah Nandini marah-marah
melihat hubungan antara puterinya dan aku
karena Nandini telah ditunangkan kepada
seorang pangeran. Ayah Nandini bahkan
menyerangku dan berusaha mem-bunuhku,
akan tetapi dia sudah tua dan sampai
meninggal karena serangan jantungnya
sendiri. Aku merasa menyesal sekali,
apalagi ketika aku mendengar bahwa kalau
Nandini tidak berpisah dari-ku, maka
pangeran itu akan menangkap dan
membunuh seluruh keluarganya. Ten-tu
saja aku tidak menghendaki hal itu terjadi,
maka aku lalu pergi meninggal-kan Nandini,
dengan hati hancur berda-rah, hanya demi
menjaga keselamatan keluargamu,
Nandini.”
“Hemm, benarkah itu?” Nandini ber-tanya,
nampaknya terharu.
“Aku berani bersumpah tujuh turun-an....“
“Turunanmu jangan dibawa-bawa da-lam
hukum akibat petualanganmu!” Nan-dini
memotong.
“Teruskan ceritamu.” kata Gu Cui Bi, nikouw
itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.
“Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja
aku bertemu dengan banyak wanita cantik,
di antaranya adalah puteri kepala suku
Biauw yang manis, ada pula pen-dekarpendekar
wanita petualang kang-ouw, ada
pula puteri-puteri datuk kaum sesat, akan
tetapi semua itu hanya me-rupakan
selingan-selingan saja dan tidak-lah
sungguh-sungguh seperti yang terjadi
antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang
lebih setahun semenjak meninggalkan
Nepal dan bertualang dengan belasan
orang wanita secara selewat saja, aku
bertemu dengan seorang pen-dekar wanita
yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling
mencinta lalu kami menikah.”
Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara
saking kagetnya, akan tetapi dia cepatcepat
menutup mulutnya dan me-ngerahkan
tenaga untuk menekan batinnya yang
terguncang ketika dia mendengar nama
Ibunya disebut-sebut itu! Sim Loan Ci
adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang
pernah didengarnya dari kakeknya bahwa
Ibunya she Sim dan ayahnya se-orang
pendekar besar yang tentu saja she Bu,
sama dengan she kakaknya. Dia lalu
mendengarkan lagi dengan penuh
perhatian.
“Dialah isteriku pertama yang sah,
walaupun wanita seperti Nandini ini juga
kuanggap isteriku sendiri, dan juga eng-kau,
Cui Bi.”
“Tak perlu merayu, lanjutkan cerita-mu.”
desak dua orang wanita itu. “Setelah
menikah setahun lamanya, kami
Choirul, maret 2008 267
mempunyai seorang anak perem-puan.
Akan tetapi, berbareng dengan
kebahagiaan ini, datanglah malapetaka.
Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri
datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan
karena memang kuanggap hanya hubungan
selewat dan merupakan hiburan belaka,
mendatangkan akibat panjang! Aku di-caricari
oleh para datuk kaum sesat, bahkan di
antaranya terdapat Im-kan Ngo-ok yang
mencari-cariku, karena se-orang puteri
mereka telah membunuh diri setelah
kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok
mencariku untuk membunuhku!”
“Huh, sudah sepatutnya engkau di-bunuh!”
kata Nandini.
“Dasar mata keranjang!” Nikouw itu
menyambung.
“Biar kulanjutkan ceritaku.” kata pen-dekar
itu setelah menarik napas panjang.
“Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci
amat buruk. Hal ini menggelisahkan hati-ku,
karena dalam keadaan seperti itu,
mempunyai seorang bayi dan seorang isteri
yang tidak sehat, tentu saja amat
berbahaya menghadapi ancaman musuhmusuh
seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu.
Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku
dan Anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah
seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu
Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang
tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu, aku
agak takut-takut menghadap Ayah, karena
aku pernah di-usir oleh Ayah ketika di waktu
muda aku bermain-main dengan seorang
gadis dusun tempat kami.”
“Dasar hidung belang ceriwis!” Nandi-ni
kembali mencela.
“Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil
sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah
sendiri!” Gu Cui Bi menyam-bung.
“Wah, kalian ini terus menerus men-celaku.”
Bu Seng Kin terkekeh. “Ayahku tidaklah
segalak kalian. Dia memaafkan aku dan
menerima kedatanganku dengan baik.
Kemudian malah Ayah menganjur-kan agar
meninggalkan anak kami bersama Ayah,
kemudian aku bersama isteriku pergi
menjauhkan diri agar Im-kan Ngo--ok tidak
mencelakai anak kami. Bebe-rapa kali kami
tersusul oleh mereka dan aku melakukan
perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku
tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya
kami berdua tidak akan takut menghadapi
mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang
sakit, dan aku harus melindunginya, maka
terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku
dan terus dikejar-kejar oleh Im-kan Ngo-ok.
Akan tetapi akhirnya aku berhasil
mele-paskan diri dari mereka, bersembunyi
di Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah
is-teriku meninggal dunia....”
Pendekar itu diam dan di atas gen-teng, Ci
Sian menangis. Air matanya berlinanglinang
dan dia menahan isaknya. Jelaslah
kini bahwa pria di bawah itu, pria yang mata
keranjang itu, adalah ayah kandungnya,
dan ibunya benar-benar telah meninggal
dunia.
“Semenjak itu, kembali aku berkeliar-an....”
“Dan main perempuan....!” Nandini
mencela.
“Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak
boleh berjodoh lama-lama dengan wanita
yang kucinta. Aku pindah dari pe-lukan satu
ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya
merupakan selingan hidup dan aku tidak
pernah bersungguh-sungguh. Paling lama
sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan
seorang wanita dan aku sudah pergi lagi....”
“Mencari yang lain! Phuihh!” Nandini
mencela.
“Sampai engkau berjumpa denganku.” tibatiba
nikouw itu berkata, suaranya
mengandung kebanggaan.
Pendekar itu menarik napas panjang. “Ya,
sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi.
Sekarang biar Nandini mendengar cerita
tentang kita. Setelah aku mulai bosan
Choirul, maret 2008 268
merantau, bosan bertualang, pada suatu
malam bertemulah aku dengan seorang
nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di
sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan
muda dan.... aku jatuh cinta.”
“Pada seorang nikouw? Dan engkau
merayunya pula?” Nandini bertanya,
alis-nya berkerut.
“Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita,
bukan? Dia masuk menjadi ni-kouw karena.
patah hati, akan dikawinkan dengan
seorang kakek kaya, dia tidak sudi dan
melarikan diri setelah dipaksa men-jadi
isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia
masuk menjadi nikouw dan ber-temu
dengan aku.”
“Engkau mahluk berdosa, Bu Seng Kin!
Engkau merayu pinni dan menyeret pinni ke
dalam jalan sesat!” Tiba-tiba nikouw itu
berkata dan suaranya mengan-dung isak
penyesalan. Bu Seng Kin cepat merangkul
pundaknya.
“Aih, Cui Bi, hal itu telah lama ber-lalu,
bukan? Kita sama-sama mencinta, dan
kemudian engkau melarikan diri dari kuil
bersamaku, memelihara rambut lagi dan
menjadi wanita biasa, kita hidup se-bagai
suami isteri yang penuh kebaha-giaan.”
“Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah
Si Petualang besar, bahkan eng-kaulah Si
Perayu yang pernah membuat Bibiku
tergila-gila dan diceraikan oleh Paman
sehingga akhirnya Bibiku mati karena
nelangsa. Kiranya engkaulah pe-tualang
yang telah menghancurkan hati banyak
sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan
aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk
minta ampun atas dosaku, juga untuk
mintakan ampun atas dosanya. Dan engkau
sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk
menebus dosa!”
Bu Seng Kin tersenyum lebar. “Sudah
kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu
betapa bertahun-tahun aku menahan diri,
aku hidup kesepian penuh kerinduan,
terutama rindu sekali kepada orang-orang
yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi,
maka sekarang, bertepatan dengan
ke-datangan Nandini, kita berkumpul di sini
bertiga. Marilah kita hidup bersama,
menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak
lama lagi ini, menikmati kebaha-giaan hidup
kita bertiga di hari tua ber-sama. Aku cinta
kalian....!” Dia lalu merangkul keduanya.
“Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpah-lah
bahwa engkau tidak akan mengganggu dan
menghinaku!” Nandini berseru.
“Orang she Bu, jangan engkau mengo-tori
diriku; telah dua tahun aku menyuci-kan
diri!” Nikouw itu pun berkata.
“Aku bersumpah takkan mengganggu dan
menghina kalian berdua, aku cinta pada
kalian, tidak mungkin aku mau
menyusahkan kalian.” kata pendekar itu dan
tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan....
mencium mulut wanita itu dengan penuh
kemesraan. Nandini terkejut sekali, tak
mampu bergerak, bahkan tubuhnya
menggigil dan naik sedu sedan dari
dada-nya, setelah pria itu melepaskan
ciuman-nya, dia memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat sekali.
“Kau.... kau.... manusia busuk.... kau
melanggar sumpahmu....!”
“Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini
yang manis? Aku bersumpah tidak akan
mengganggu dan menghina kalian. Engkau
adalah isteriku yang ku-cinta, kalau seorang
suami mencium isterinya, apakah itu
mengganggu atau menghina namanya?
“Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan
suamiku!”
“Mungkin menurut umum, akan tetapi
bukankah kita sudah menjadi suami is-teri,
bukankah engkau pertama kali
me-nyerahkan diri kepadaku, dan bukankah
kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya
orang yang saling mencinta berciuman?”
Choirul, maret 2008 269
“Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung
belang.... tak tahu malu!” Cui Bi memakimaki
dengan marah, akan tetapi tiba-tiba
dia harus menghentikan maki-makinya
karena mulutnya sudah dicium pula oleh
pria itu, dengan sama mesra-nya seperti
ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu
gelagapan tak mampu bersuara, dan hanya
memejamkan mata dan tanpa disadarinya,
kedua lengannya merangkul leher pendekar
itu!
“Kau memang tak tahu malu!” Nandi-ni
membentak penuh cemburu dan
ta-ngannya bergerak menampar, akan
tetapi tamparan yang sama sekali tidak
ber-tenaga.
Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya
dengan kata-kata manis. “Maafkanlah aku,
Nandini dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak
kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya
ingin menikmati kehidupan di dunia ini
bersama kalian orang-orang yang kucinta
sepenuh jiwa ragaku.” Pendekar itu bahkan
berlutut di depan mereka, memohon-mohon
dan akhirnya kembali dia merangkul mereka
dan sekali ini, ketika dia mencium me-reka,
dua orang wanita itu hanya dapat
memejamkan mata dengan muka berobah
merah sekali. Mereka lupa segala!
Ter-nyata pria ini masih hebat
kemampuan-nya untuk merayu dan
menundukkan wa-nita-wanita, dan terutama
sekali karena memang dua orang wanita itu
tak pernah mampu melupakannya dan
masih mencintanya.
Ci Sian yang melihat tontonan ini,
disamping merasa heran dan juga malu,
terutama sekali dia merasa berduka,
teringat akan ibu kandungnya yang telah
meninggal dunia, maka dia menghapus air
matanya dan mengambil keputusan untuk
pergi saja lagi dari situ. Untuk apa
me-nemui seorang ayah kandung seperti
itu? Seorang petualang asmara yang
memalu-kan. Seorang laki-laki hidung
belang, mata keranjang yang gila
perempuan!
“Brukkkk....!” Tiba-tiba saja pintu depan dari
pondok itu runtuh ke dalam, tertendang
orang dari luar dan muncullah seorang
wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang
wanita yang selain cantik juga berpakaian
mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci
Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi
meninggalkan tempat itu, melainkan
mengintai penuh perhatian dengan hati
tertarik dan amat tegang karena dia
mengenal wanita itu yang bukan lain adalah
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita
tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari
gurunya See-thian Coa-ong itu! Teringatlah
dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini
pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah
seperti isteri Bu-taihiap, dan bah-wa berjina
dengan Bu-taihiap ketika pendekar itu
bersama isterinya berkun-jung ke Lembah
Suling Emas! Mengerti-lah dia sekarang!
Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang
bersama pendekar itu ke Lembah Suling
Emas adalah ibu kandungnya!
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah
marah sekali melihat bekas ke-kasihnya itu
berkasih-kasihan dengan dua orang wanita,
kini sudah melangkah masuk dan seketika
dia menuding ke arah muka pria itu.
“Sungguh sampai sekarang engkau masih
mata keranjang dan gila perempuan! Dan
engkau mudah melupakan yang lama
berganti yang baru Laki-laki tak punya
jantung!”
“Eh-eh.... lihat siapa yang datang ini!
Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun
Ciu, kekasihku yang manis. Mari, mari
sayang, mari duduk bersama Kakanda....”
“Keparat, engkau sudah main gila dengan
wanita asing ini dan dengan se-orang
nikouw malah, tak tahu malu! Dan engkau
masih berani bersikap manis kepa-daku!
Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu
Seng Kin!”
Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini
dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan
sigapnya dari atas bangku mereka dan
berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan
Choirul, maret 2008 270
pandang mata dan sikap marah! Diam-diam
Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali.
Bukankah dua orang wanita itu seperti
tertotok dan kehilangan tenaga, akan tetapi
mengapa kinl tiba-tiba saja mampu
bergerak selincah itu? Hal ini tidaklah aneh
dan merupakan sebab pula mengapa Bu
Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri
dalam merayu dua orang wanita itu. Dia
hanya menotok dua orang wanita itu untuk
membuat mereka kehilangan tenaga
sementara saja, sebentar saja. Akan tetapi,
melihat dua orang itu tidak pulih-pulih
tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu
sengaja berpura-pura masih belum bebas
dari totokan, tentu hanya dengan maksud
agar mereka berdua dapat “mendekatinya”
tanpa harus merasa malu, karena berada
dalam keadaan “tertotok”. Mengetahui
rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin
berani melanjutkan rayuannya, mak-lum
bahwa dua orang wanita itu ternya-ta
menyambut rayuannya dan ternyata bahkan
mengharapkan rayuannya. Kini, melihat
betapa ada seorang wanita lain
mengancam kekasih mereka, dua orang
wanita itu tanpa mereka sadari sudah
meloncat dan hendak menghadapi wanita
itu.
Cun Ciu adalah seorang wanita yang
berwatak keras dan juga memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Dia masih marah
sekali oleh cemburu ketika tadi melihat
bekas kekasihnya itu bermesraan dengan
dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama
sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka
sambil berseru nyaring dia sudah
menerjang maju, mengirim pukulan ke arah
Bu Seng Kin.
“Ah, jangan marah dong, sayang!” Bu Seng
Kin cepat mengelak dan menangkis karena
dia tahu betul bahwa wanita ini sama sekali
tidak boleh dipandang ringan, merupakan
seorang di antara tokoh-tokoh Lembah
Suling Emas yang merupakan keluarga
sakti.
“Dukkk!!” Dua buah lengan bertemu dan
akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja
tidak mengerahkan seluruh tenaga itu,
maupun Cun Ciu terdorong mundur ke
belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum
dan terkejut karena dari per-temuan lengan
itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini
telah memperoleh ke-majuan hebat
semenjak berpisah darinya belasan tahun
yang lalu!
“Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!”
dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah
menyerangnya lagi kalang ka-but. Dan
memang wanita ini memiliki ilmu
kepandaian hebat, maka terjadilah
pertandingan yang amat hebat dan
mem-bingungkan Bu Seng Kin.
“Ah, mengapa kau marah-marah, Ciu-moi?
Apakah kau datang menemui aku yang
rindu kepadamu ini hanya untuk menyerang
dan hendak membunuhku?”
“Tutup mulut dan jaga serangan ini!” bentak
Cun Ciu yang menyerang terus. Tingkat
kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi
dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar
Cun Ciu sendiri pun takkan mampu
mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia
tidak mau bersungguh-sungguh melawan
wanita cantik ini, maka dia kelihatan
terdesak hebat. Melihat ini, Nandini
membentak, “Darimana datang-nya
perempuan liar?” Dan dia pun maju
membantu kekasihnya.
“Pinni juga tidak mungkin diam saja melihat
perempuan ganas hendak mem-bunuh
orang!” Dan Gu Cui Bi juga sudah meloncat
ke depan dan mengeroyok. Dua orang
wanita ini tentu saja bukan wanita
sembarangan, melainkan wanita-wanita
lihai yang sudah memiliki tingkat tinggi,
maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan
terdesak juga. Melihat ini, Bu Seng Kin
khawatir kalau-kaiau dua orang ke-kasihnya
itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka dia
lalu membentak keras, “Ta-han....!”
Tang Cun Ciu yang memang sudah
terdesak itu lalu melompat ke belakang dan
Choirul, maret 2008 271
memandang dengan mata marah. “Mau apa
kau menghentikan pertempur-an?”
bentaknya. Nandini dan Gu Cui Bi
memandang dengan kagum karena mereka
berdua tahu bahwa wanita yang baru
datang ini memiliki kepandaian yang lebih
tinggi daripada tingkat kepandaian mereka
sendiri.
“Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara
kita dahulu, tidak maukah engkau bicara
baik-baik daripada menyerang dan marahmarah
seperti itu?”
“Siapa tidak marah? Aku jauh-jauh
meninggalkan lembah, hanya karena tidak
betah lagi di sana dan aku rela
mening-galkan keluarga di sana untuk
mencarimu dan apa yang kudapatkan?
Bukan engkau hidup bersama isterimu,
melainkan de-ngan dua orang wanita
asing....“
“Ah, engkau salah paham, manis.
Ke-tahuilah, dia ini bernama Nandini dari
Nepal dan dia merupakan isteriku yang
pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini
adalah isteriku yang terakhir.”
“Hemm.... begitukah....?” Tang Cun Ciu
memandang ragu. “Dan di mana isterimu
yang dahulu bersamamu mengunjungi
lembah?”
“Dia sudah meninggal dunia. Mari,
kaududuklah, Cun Ciu dan kita bicara baikbaik.
Sungguh mati, aku akan sedih sekali
kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta
padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu
akan hal ini.”
Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai
menjadi dingin, kemarahannya me-reda dan
dia pun duduk menghadapi meja bersama
pendekar itu dan dua orang wanita
saingannya.
“Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami
berdua, sekarang muncul seorang lagi!” Gu
Cui Bi menegur.
“Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu,
ketika aku datang ke Lembah Suling Emas,
aku dan dia.... eh, kami saling jatuh cinta.
Dan sampai sekarang.... ah, aku masih
cinta kepadanya.... apalagi setelah dia
menyusulku ke sini, rela me-ninggalkan
suaminya....”-
“Suamiku sudah lama meninggal dunia!”
kata Cun Ciu. “Belum ada setahun
semenjak engkau pergi, suamiku
mening-gal dan aku tinggal menjanda
sampai se-karang. Kutunggu-tunggu
beritamu akan tetapi engkau tak kunjung
datang atau memberi kabar, sungguh
engkau kejam sekali!”
“Ah, siapa tahu bahwa engkau sudah
menjadi janda, kekasihku? Kalau aku
tahu.... hemm, mungkinkah aku
membiar-kan engkau kesepian sendiri?”
kata Bu Seng Kin sambil memegang tangan
yang halus itu di atas meja. Cun Ciu cepat
menarik tangannya karena dia merasa
malu, melihat tangannya dipegang-pegang
di depan dua orang wanita lain.
“Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanitawanita
yang kucinta sepenuh hati-ku.
Engkau tinggallah bersamaku di sini, kita
hidup bersama, berempat, sampai akhir
hayat....“
“Hemm, dan esok atau lusa bermun-culan
lagi wanita-wanita lain bekas ke-kasihmu
yang tak dapat dihitung banyak-nya!”
Nandini menegur ketus.
“Aih, Nandini manis. Aku memang belum
menceritakan tentang Cun Ciu karena
mengira dia masih menjadi isteri orang. Tak
baik menceritakan isteri orang, bukan?
Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia
memang bekas ke-kasihku, kami saling
mencinta....”
“Kalau ada wanita lain lagi yang muncul,
bagaimana?” tanya Cun Ciu.
“Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini
saja, tidak ada yang lain!” kata Bu Seng Kin.
Choirul, maret 2008 272
“Laki-laki macam engkau ini mana bisa
dipercaya?” kata Gu Cui Bi.
“Sungguh mati....”
“Begini saja,” kata Cun Ciu, “aku memang
meninggalkan lembah untuk tinggal
bersama dia. Dan mengingat bahwa kalian
berdua sudah datang lebih dulu, aku pun
mau menerima hidup di sini bersama kalian,
asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada
datang wanita lain, kita bertiga maju
membunuh wanita itu! Dan kalau perlu,
membunuh juga dia ini!”
“Cun Ciu benar, memang dia seorang
belum tentu dapat mengalahkan aku, akan
tetapi kalau kalian bertiga maju bersama,
mana aku bisa menang?” kata Bu Seng Kin
sambil tertawa. “Nah, is-teri-isteriku yang
terkasih, mari kita rayakan pertemuan ini
dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh
rindu ke-padamu!” Dan tanpa malu-malu dia
me-rangkul wanita ini dan menciuminya, di
depan Nandini dan Cui Bi yang
meman-dang sambil tersenyum masam
tentunya! Cun Ciu meronta lemah akan
tetapi seperti dua orang wanita terdahulu,
dia pun tidak mampu melawan rayuan maut
dari pria itu dan akhirnya mereka ber-empat
duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan
sambil makan minum mereka menceritakan
riwayat dan pengalaman masing-masing.
Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian
merasa semakin penasaran dan muak
melihat semua yang terjadi itu, adalah Siok
Lan yang merasa khawatir ketika melihat
ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi
karena dia sudah menerima pesan ibunya
agar tidak ikut campur, maka dia hanya
menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia
merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah
kandungnya yang demikian mata keranjang
dan tukang merayu wa-nita. Hatinya sendiri
penasaran, akan tetapi melihat betapa
ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu
bahkan dengan dua orang madunya, dia
pun tidak dapat berkata apa-apa. Akan
tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi
dan melon-catlah dia dari luar jendela,
memasuki pondok itu. Semua orang,
kecuali Nandini dan Bu Seng Kin,
memandang dengan kaget. Kiranya Bu
Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela
itu ada orang yang mengintai, bahkan dia
sudah tahu sejak tadi bahwa di atas
genteng juga ada yang mengintai, akan
tetapi dia pura-pura tidak tahu dan
memandang rendah. Kini, melihat bahwa
yang mengintai dari balik jendela adalah
seorang dara yang cantik, wajah pendekar
ini berseri gembira.
“Ah, seorang dara cantik seperti bi-dadari!
Apakah kedatanganmu juga men-cari aku,
Anak manis?”
“Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan
hendak merayu anak sendiri?” Nandi-ni
marah.
“Eh, anak sendiri?”
“Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau
betapa ketika kita hidup bersama selama
sebulan itu mengakibatkan aku
mengandung? Dan lupakah engkau bahwa
ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu,
engkau meninggalkan dua nama un-tuk
seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan, yaitu kalau-kalau
kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya
Bu Siok Lan, nama yang telah kau
ting-galkan itu.”
“Ahhh....!” Bu Seng Kin memandang
dengan mata terbelalak kepada Siok Lan.
“Anakku.... anakku....!”
“Siok Lan, inilah macamnya ayah
kandungmu!” kata Nandini kepada
puteri-nya.
Biarpun hatinya kurang senang dan
meragu, namun Siok Lan lalu melangkah
maju dan berlutut di depan kaki pria itu
sambil menyebut, “Ayah....”
“Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu
yang berkelakar tadi.” kata Bu Seng Kin dan
Choirul, maret 2008 273
mendengar kesungguhan dalam suara pria
itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu
juga. Agaknya sikap ayahnya yang mudah
merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuatbuat!
Beginikah sesungguhnya watak dasar
dari pria ini? Dia masih meragu.
“Bu-taihiap,” kata Nandini yang tidak bisa
mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada
pria yang menjadi ayah kandung puterinya
itu, “sesungguhnya, kedatangan-ku
bersama anakmu Siok Lan ini adalah untuk
keperluan anak kita itu.”
“Tentu saja,” jawab Bu Seng Kin. “Dia
berhak untuk bertemu dengan Ayah-nya.
Kau duduklah, Siok Lan.” kata Bu Seng Kin
sambil menarik bangun puteri-nya. Dara
itupun lalu duduk di atas se-buah bangku, di
dekat ibunya.
“Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa
seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru
saja mengalami kekalahan dalam
memimpin pasukanku, kalah me-lawan
pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa
aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini.
Nah, di dalam peristiwa itu, terjadi hal yang
menimpa anak kita, yang membuat aku
bingung sekali dan terpaksa kami datang
untuk minta ban-tuanmu.”
“Tentu saja aku siap membantu anak-ku.
Urusan apakah itu?”
Nandini lalu dengan singkat mencerita kan
betapa ketika dia masih memimpin pasukan
menduduki Lhagat, di situ mun-cul seorang
jenderal muda yang menye-linap dan
menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya
telah berhasil mengalahkannya dalam
perang. “Ketika Jenderal muda itu
menyamar dan menyusup ke Lha-gat, dia
menjadi seorang pemburu muda dan
dengan pandainya dia berhasil men-jadi
tamu kami karena dia pernah
me-nyelamatkan nyawa Siok Lan.
Kemudian.... mereka berdua, Jenderal
Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta....“
“Bagus sekali! Anakku pantas menjadi isteri
Jenderal Muda!” pendekar itu ber-kata
sambil tertawa girang.
“Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!”
“Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena
Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah
menjadi musuhmu?”
“Bukan begitu. Kekalahan itu mem-buat aku
enggan pulang ke Nepal dan memang....
kami hendak mencarimu. Akan tetapi,
engkau tidak tahu siapa Jenderal itu.”
“Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih
artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku,
bahkan andaikata dia Pangeran pun tidak
akan terlalu tinggi!”
“Engkau tidak tahu siapa dia. Jen-deral
Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia
adalah putera dari Si Naga Sakti Gurun
Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!”
“Ahhh....!” Yang mengeluarkan suara itu
adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga
Tang Cun Ciu karena mereka ter-kejut
bukan main mendengar nama-nama yang
amat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu
itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal,
termangu-mangu. Kemudian dia
memandang kepada puterinya dengan
penuh perhatian. Dipandang seperti itu,
Siok Lan menundukkan mukanya.
Pen-dekar itu menggeleng kepala dan
menarik napas panjang berkali-kali.
“Naga Sakti Gurun Pasir.... bukan main....!”
“Apakah kau hendak mengatakan bah-wa
dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih
berani memandang rendah?” Nan-dini
bertanya dan yang ditanya seperti orang
kahabisan akal karena terkejutnya.
“Ahhh, siapa kira akan terjadi peris-tiwa
aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah
Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun
Pasir?” '
Choirul, maret 2008 274
“Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir.
Maka, dapat kaubayangkan be-tapa kaget
dan bingungku ketika anak kita
memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang
wanita Nepal, mana mungkin
membicarakan hal ini dengan keturunan
Jenderal Kao Liang? Akan tetapi,
meng-ingat bahwa orang tua jenderal itu
ada-lah pendekar yang amat kenamaan,
maka sebaiknya engkau yang menemuinya,
Bu-taihiap, sebagai sesama pendekar
kiranya akan lebih mudah membicarakan
urusan jodoh itu.”
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan
tetapi alisnya masih berkerut. “Akan tetapi
aku tidak berani bertindak ce-roboh. Siok
Lan anakku, benarkah engkau dan putera
Naga Sakti Gurun Pasir itu saling
mencinta?”
Ditanya seperti itu, tentu saja jan-tung dara
itu berdebar dan mukanya ber-ubah merah
sekali. Akan tetapi dia ada-lah keturunan
orang gagah yang sejak kecil
mengutamakan kegagahan, maka dia
membuang rasa malu itu dan memandang
wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan
menjawab, “Aku tidak tahu bahwa dia
adalah seorang jenderal muda, lebih tidak
tahu lagi bahwa dia putera seorang
pen-dekar sakti dan cucu seorang jenderal
terkemuka. Ketika itu, aku hanya
mengenalnya sebagai seorang pemburu
muda,.... Ayah.”
“Tidak peduli tentang itu, yang pen-ting,
apakah benar bahwa kalian saling
mencinta?”
“Aku.... aku cinta padanya.... Ayah.”
“Dan dia? Apakah dia juga cinta pa-damu?”
“Kukira begitulah.”
“Eh, bagaimana ini? Cinta orang tidak anak
baik. Apakah engkau tidak yakin benar
bahwa dia cinta padamu?”
“Aku yakin.”
“Lalu mengapa engkau mengira-ira saja?
Apakah dia sudah menyatakan cin-tanya
kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?”
Dara itu menggeleng. “Habis bagaimana?”
“Ayah, perlukah kujelaskan hal ini?
Seorang wanita akan dapat mengetahui
apakah pria itu mencintanya ataukah tidak,
melalui sinar matanya, melalui senyumnya,
melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya
aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah.”
“Hemm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku.
Sekali aku, Ayahmu ini, meng-ajukan
perjodohan, haruslah diterima oleh fihak
sana, karena kalau tidak, hal itu dapat
menimbulkan kesan yang menghina,
kecuali kalau fihak sana mengemukakan
dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera
mereka tidak cinta atau jika dia sudah
bertunangan dengan orang lain. Oleh
karena itu, sebelum aku menemui Naga
Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku
belum pernah kuimpikan, aku harus yakin
dulu bahwa fihak sana akan mene-rima.”
“Jadi engkau mau mengurus perjodoh-an
anak kita?” tanya Nandini dengan gi-rang.
“Tentu saja, itu sudah menjadi
ke-wajibanku. Sejak Siok Lan kecil, aku
tidak pernah memperlihatkan kasih sa-yang
sebagai seorang ayah, maka seka-rang aku
berkesempatan membuktikan sayangku
kepada anak.'“
“Lalu apa yang akan kaulakukan?”
“Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita
semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga.
Kalau memang kalian bertiga sudah
bertekad untuk hidup bersamaku, suka
duka ditanggung berempat, mari kalian ikut
bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok
Lan bertemu dengan jen-deral muda itu dan
memperoleh ketegas-an bahwa dia
memang mencinta anak kita dan bahwa
jenderal muda itu belum terikat jodoh
Choirul, maret 2008 275
dengan orang lain. Setelah ada ketentuan
ini, barulah aku akan pergi menghadap
pendekar sakti itu.”
“Baik, Ayah, aku setuju.” kata Siok Lan yang
maklum akan maksud ayahnya itu.
“Hemm, belum mau turun jugakah kamu
yang berada di atas sejak senja tadi?” tibatiba
orang she Bu itu berseru sambil
memandang ke atas.
Ci Sian mendengar semua urusan yang
dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa
semakin berduka. Sambil menahan isak dia
hendak meloncat turun, maka ketika tibatiba
dia mendengar suara pria yang
sesungguhnya adalah ayah kandung-nya
sendiri itu, dia seperti didorong saja dan
cepat dia melayang turun dari atas genteng.
“Ada orang! Dan kau sudah sejak tadi,
mengapa dia tidak saja?” Tang Cun Ciu
berteriak dan wanita ini sudah berkelebat
keluar melalui jendela untuk melakukan
pengejaran.
Khawatir kalau kekasihnya yang ber-hati
keras dan berwatak ganas itu akan
melakukan sesuatu yang lancang, Bu Seng
Kin mengejar dan dua orang wanita lain
bersama Siok Lain juga melakukan
penge-jaran.
Keadaan di luar malam itu ternyata cukup
terang karena bulan tersenyum di atas,
seolah-olah mentertawakan ulah manusiamanusia
di dunia ini. Tidak ada segumpal
pun awan menghalangi senyum-nya
sehingga keadaan cukup terang.
Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari
meninggalkan puncak itu, dikejar oleh
mereka semua.
Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang
yang tinggi ilmunya, maka seben-tar saja Ci
Sian tersusul, apalagi karena memang dara
ini tidak ingin berlumba lari. Dia terpaksa
menghentikan larinya dan berdiri tegak
menanti orang-orang yang mengejarnya itu.
Diam-diam dia lalu mengerahkan tenaga
dan ilmunya, terdengar suara melengking
tinggi dari mulutnya yang menggetarkan
seluruh keadaan sekeliling tempat itu.
Mendengar suara ini, Bu Seng Kin
mengeluarkan seruan heran, demikian pula
Tang Cun Ciu karena mereka berdua
mengenal khi-kang yang tinggi dan aneh.
Dan ketika mereka semua tiba di depan
dara yang berdiri tegak itu, me-reka
terbelalak kaget melihat betapa banyak ular
berdatangan dari segenap penjuru dan kini
mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri,
seolah-olah me-rupakan pasukan pengawal
yang melin-dungi dara itu. Sedikitnya ada
seratus ekor ular besar kecil berada di situ
dan dari jauh masih nampak beberapa ekor
ular bergerak datang. Agaknya semua ular
yang berada di puncak dan sekitar-nya
telah memenuhi panggilan dara pawang
ular itu!
Tang Cun Ciu merasa seperti me-ngenal
dara itu, akan tetapi begitu me-lihat Ci Sian,
Nandini dan Siok Lan ber-seru heran.
“Ci Sian....!” Nandini berseru.
“Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau
di sini dan mengapa engkau me-lakukan
pengintaian? Singkirkan ular-ular-mu itu,
Sian-moi, kita bukanlah musuh!”
Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian
berkata, “Pergilah kalian semua, aku tidak
butuh dengan kalian semua. Per-gi....!”
“Omitohud, bocah siluman ini ber-bahaya!”
kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat
begitu banyak ular yang seakan-akan
melindungl dara itu.
“Hemm, tidak semudah itu, Nona!” Bu Seng
Kin membentak. Dia tidak ingin
mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia
tahu bahwa nona muda inilah orang
pertama yang mendatangi pondoknya dan
sejak tadi mengintai.
“Dia ini yang siang tadi berkeliaran
menanyakan tempat tinggalmu!” Gu Cui Bi
Choirul, maret 2008 276
berseru dan Bu Seng Kin merasa ma-kin
curiga, lalu dia bergerak maju hen-dak
menangkap dara itu. Akan tetapi Ci Sian
mengeluarkan suara melengking nyaring
dan ular-ularnya bergerak menyerang
semua orang itu!
Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi
wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak
mudah menjadi korban ular dan mereka pun
mengelak dan menendang atau menginjak
ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk,
menyerang orang yang berani
mendekatinya dan karena yang berani
menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan
Bu Seng Kin, maka dia mener-jang dua
orang ini dengan kemarahan meluap-luap!
Dara ini mengeluarkan se-luruh Ilmunya
yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong.
Akan tetapi dia ber-hadapan dengan Cuibeng
Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap
yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu
saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya
pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja
Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam
waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu
akan roboh.
Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian
yang melihat ini merasa begitu marah dan
berduka sehingga dia menjerit dan tidak
dapat mengelak ketika tangan Cui-beng
Sian-li menampar ke arah le-hernya.
Melihat serangan dahsyat yang
mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng
Kin cepat menyentuh lengan ke-kasihnya itu
sehingga menyeleweng dan hanya
mengenai pundak Ci Sian, namun cukup
membuat Ci Sian roboh terguling dalam
keadaan pingsan karena selain ter-kena
tamparan itu, juga dara ini mende-rita
tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di
pondok itu.
Tang Cun Ciu memiliki watak yang amat
keras. Melihat betapa tamparannya
disentuh oleh kekasihnya sehingga
me-nyeleweng dan hanya mengenai
pundak, hatinya tidak puas sekali. “Budak
siluman ini harus dibunuh!” Dan dia pun
sudah mengirim pukulan lagi ke arah tubuh
yang sudah tidak bergerak itu.
“Cun Ciu, jangan....!” Bu Seng Kin
mencegah dan dia pun bergerak maju
mengulur tangan untuk mendahului wa-nita
itu, menyelamatkan nyawa dara itu.
“Dukkkk!” Tiba-tiba ada sesosok ba-yangan
berkelebat, sebuah lengan me-nangkis
tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus.
Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga
berilmu tinggi itu terkejut bukan main karena
tangkisan lengan itu membuat mereka
terdorong ke belakang sampai terhuyung!
Ketika mereka me-mandang ke depan,
sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali
bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh
dara muda yang tadi menggeletak pingsan
itu pun telah lenyap!
“Eh, ke mana dia....?” Bu Seng Kin berseru
kaget.
“Aku hanya melihat bayangan berkele-bat.”
kata Gu Cui Bi, nikouw itu.
Nandini dan Siok Lan juga melihat
berkelebatnya bayangan hitam dan me-reka
pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian
yang tadi terpukul roboh.
“Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki
kepandaian luar biasa hebat-nya!” seru Bu
Seng Kin dengan ada suara penuh kagum
dan juga khawatir. “Mudah-mudahan saja
dia tidak salah paham, bukan maksud kita
untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran,
siapakah dara itu, dan mengapa ia datang
ke sini?”
“Ayah, dia bernama Ci Sian dan....”
“Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis
murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar,
gadis yang.... ah, sekarang aku mengerti
mengapa dia datang ke sini. Apakah
engkau tidak melihat wajahnya, Kin-koko?”
Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini
menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan
yang mesra.
Choirul, maret 2008 277
“Tidak, aku tidak begitu memperhati-kan
wajahnya.”
“Dia serupa benar dengan mendiang Sim
Loan Ci, isterimu....!”
“Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci
Sian, aihh, kenapa aku bisa me-lupakan
dia?” Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini
sudah lenyap. Tiga orang kekasihnya hanya
mengangkat pundak, maklum bahwa
pendekar itu agaknya hendak melakukan
pengejaran terhadap puterinya yang lenyap
dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke
dalam pondok.
Tak lama kemudian Bu Seng Kin
me-masuki pondok dengan wajah muram.
Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali.
“Dia lenyap tak berbekas. Orang yang
membawanya sungguh memiliki
kepandai-an yang amat luar biasa sekali.
Mungkin-kah gurunya, See-thian Coa-ong
yang membawanya pergi?”
“Tidak mungkin. Aku pernah bertan-ding
melawan kakek itu dan biarpun terus terang
saja aku tidak mampu mengalahkan dia,
akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat
mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan
tadi, bukan main kuatnya, jauh lebih kuat
daripada tenaga Raja Ular itu.” kata Tang
Cun Ciu.
Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas
bangku sambil menarik napas panjang,
nampaknya dia menyesal bukan main. “Dan
dia sudah sejak tadi mengin-tai di atas,
kudiamkan saja. Ah, dia telah mendengar
semuanya, tahu akan kematian ibunya,
tentu dia merasa ber-duka, kecewa dan
menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari
tadi kusuruh dia turun?”
“Hemm, sesal kemudian tiada guna-nya?
Semua adalah salahmu sendiri. Ka-rena itu,
Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah
ampun atas semua dosa-dosamu. Semua
yang terjadi adalah kare-na kesalahanmu
sendiri, maka sekarang engkau memetik
buah dari pohon yang kautanam sendiri.
Omitohud....!” Nikouw Gu Cui Bi berkata
dengan nada menegur. Pendekar itu hanya
menarik napas pan-jang. Kemudian Gu Cui
Bi, nikouw itu, menggandeng tangan
Nandini dan berkata, “Marilah Nandini Cici,
engkau dan pu-terimu sebaiknya ikut
bersamaku, berma-lam di kuilku yang cukup
luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu
sempit.”
Nandini mengangguk dan bersama Siok
Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju ke
pintu bersama nikouw itu. Setibanya di
pintu, nikouw itu berhenti dan menengok,
memandang ke arah Bu Seng Kin yang
nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu
yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu
berkata kepada pende-kar itu, “Bu Seng
Kin, kalau malam nan-ti engkau tidak
datang ke kuil menengok Cici Nandini,
berarti engkau seorang laki-laki yang selain
tidak punya budi juga tidak adil sama sekali
dan tidak pantas mempunyai tiga orang
isteri.” Setelah berkata demikian, dia lalu
pergi bersama Nandini dan Siok Lan.
“Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan
datang menengokmu, Cui Bi.”
“Bukan aku, melainkan Cici Nandini!” teriak
nikouw itu dari luar akan tetapi yang
terdengar hanya suara tawa pen-dekar itu
disusul padamnya lampu di dalam pondok
itu!
“Sialan, laki-laki mata keranjang!” Cui Bi
Nikouw Itu mengomel dan melanjutkan
perjalanannya bersama Nandini dan
puterinya. Dua orang ini segera dapat akur
karena mereka berdua maklum bahwa di
antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin,
kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan
mereka berdua masing-masing bukan-lah
tandingan wanita tokoh Lembah Su-ling
Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera
saling mendekati karena kalau mereka maju
berdua, kiranya mereka akan mampu
menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana
rindu hati mereka ter-hadap Bu Seng Kin,
kalau harus ber-malam bersama-sama di
Choirul, maret 2008 278
pondok yang kecil itu, tentu saja mereka
merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok
Lan.
Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi
bingung dan mengeluh sendiri karena dia
tahu bahwa bagaimanapun juga, malam itu
harus mengunjungi kuil di mana dia tidak
tahu bagaimana dia harus melayani tiga
orang wanita yang seperti tiga ekor harimau
betina yang kelaparan itu!
***
Ci Sian merasa terapung-apung di angkasa
gelap. Dia melihat seorang pria, ayah
kandungnya, bersama seorang wa-nita
yang tidak begitu jelas air mukanya,
berjalan bersama seorang wanita, yang
tidak begitu jelas air mukanya, berjalan di
sebelah depan, seperti melayang-la-yang,
Ibunya, pikirnya. Itulah Ibunya yang berjalan
bersama ayahnya. Akan tetapi tiba-tiba
ayahnya melihat ke depan dan berlari
meninggalkan Ibunya, mengejar banyak
sekali wanita-wanita yang tertawa-tawa
genit. Ibunya lalu terhuyung dan terjatuh,
melayang turun dari angkasa! Dia terkejut
sekali, berusaha hendak lari mengejar
sambil menjerit, “Ibu.... Ibu....!” Akan tetapi
dia pun tergelincir dan jatuh tergelincir.
“Ibu....!”
Sebuah tangan yang halus menjamah
dahinya yang berkeringat dan agak panas.
“Ibu....“ Ci Sian mengeluh lirih dan tangan
yang halus itu mengusap rambut di atas
dahinya, dia merasa nyaman dan tidak
begitu pening lagi, lalu tertidur kembali,
sekali ini tanpa mimpi. Tak jauh dari situ
nampak api unggun ber-nyala memberi
cahaya yang cukup terang dan ternyata
bahwa dara itu rebah di dalam sebuah guha
yang besar, bertilam-kan rumput kering dan
berselimut jubah panjang. Seorang pria
duduk bersila di dekatnya dan setelah dara
itu tidur pu-las, pria itu memejamkan mata
sambil terus bersila sampai pagi.
Pada keesokan harinya, ketika sinar
matahari kemerahan telah mulai mema-suki
guha itu dari samping, Ci Sian mengeluh
panjang lalu membuka mata-nya. Dia
mengejap-ngejapkan matanya karena silau
oleh sinar merah yang me-nerobos masuk
dan menimpa lantai dekat kepalanya, lalu
dia terbelalak keheranan ketika melihat
bahwa dia berada di se-buah guha yang
diketahuinya karena melihat langit-langit
batu itu. Kemudian dia menoleh dan melihat
seorang pria duduk bersila di sebelahnya,
seorang pria yang berwajah tampan dan
ramah, yang memandang kepadanya
sambil tersenyum.
“Ahhh.... ahhh.... aku.... aku masih mimpi....“
Ci Sian mengejap-ngejapkan dan
menggosok-gosok kedua matanya.
“Tidak, Ci Sian, engkau tidak mimpi.” kata
pria itu dengan halus.
Ci Sian terbelalak, lalu bangkit duduk,
memandang kepada pria itu. “Engkau....
engkau Paman Kam Hong....!”
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu
menambahi kayu bakar sehingga api
unggun membesar karena hawa pagi itu
amat dinginnya walaupun sinar matahari
telah memasuki guha. Pria itu tentu saja
dikenalnya baik-baik. Wajah itu tak per-nah
meninggalkan lubuk hatinya dan ter-nyata
pendekar itu tidak berobah sama sekali
setelah berpisah hampir lima tahun dengan
dia! Masih seperti dulu, tampan pendiam,
dan tenang, begitu tenangnya!
“Tapi.... tapi.... mengapa aku di sini?
Bukankah aku dikeroyok....”
“Engkau terlalu menuruti nafsu amarah dan
engkau pingsan, maka kubawa lari ke
tempat ini, Ci Sian.”
Setelah merasa yakin bahwa dia tidak
mimpi, tiba-tiba saja Ci Sian menutupi
mukanya. Tidak terdengar isak-nya, hanya
pundaknya terguncang dan di antara celahcelah
jari kedua tangannya mengalir air
Choirul, maret 2008 279
mata. Dia menangis! Akan tetapi dasar
hatinya keras, dia menahan tangisnya
sehingga tidak mengeluarkan bunyi.
“Kalau engkau merasa berduka, ke-cewa
dan penasaran, menangislah, Ci Sian,
menangislah, tidak ada yang
men-dengarmu di sini.” kata Kam Hong
yang memandang dengan penuh iba.
Ci Sian menggeleng kepala dengan kedua
tangan masih menutupi mukanya. “Aku
tidak mau menangis! Aku tidak mau
menangis! Mereka.... mereka telah
membunuh semua ular itu....!” Dan kem-bali
dia menunduk dan air matanya me-netesnetes.
“Karena itu, lain kali janganlah
sem-barangan minta bantuan ular-ular
untuk menghadapi lawan, Ci Sian. Apa sih
ke-kuatan ular-ular itu kalau menghadapi
orang pandai? Hanya bisa menakut-nakuti
anak kecil saja dan sayang membuang
nyawa ular-ular yang tidak bersalah apaapa.”
Mendengar suara yang nadanya mene-gur
ini, Ci Sian menurunkan kedua tangannya
dan muka yang masih basah air mata itu
dihadapkan kepada pendekar itu, sepasang
mata yang masih merah basah itu
memandang tajam. “Kau salah-kan aku....?”
Kam Hong mengangguk. Sejenak Ci Sian
memandang dengan penuh penasaran,
akan tetapi akhirnya dia menangis, kini
mewek dan bersuara! “Kau.... kau marah
memarahiku.... hu-huuh, ahh.... Ibuku telah
mati.... Ayahku.... Ayahku.... aku benci
Ayahku! Aku benci manusia itu, aku benci!
Hu-huuh, aku tidak punya siapa-siapa lagi
di dunia ini....”
“Hemm, masih ada aku, Ci Sian.”
“Kau.... kau malah memarahiku.... huhuuhh!”
Diam-diam Kam Hong merasa geli akan
tetapi juga terharu sekali. Orang-orang yang
sedang dikuasai perasaannya, baik itu
perasaan terlalu girang, terlalu marah, atau
terlalu duka, suka bersikap seperti kanakkanak.
Dara ini sekarang sudah dewasa,
akan tetapi pada saat itu dikuasai oleh
himpitan batin yang hebat. Perasaan
kecewa, penasaran, marah dan duka
menindihnya sehingga dia tidak mampu
menguasai dirinya lagi dan bersi-kap seperti
kanak-kanak, sungguh patut dikasihani.
Maka dia pun lalu mendekati dan mengelus
rambut kepala dara itu seperti sikap
seorang paman menghibur seorang
keponakannya yang masih nakal.
“Sudahlah, tenanglah, aku tidak marah
padamu, Ci Sian, sama sekali tidak....”
Mendengar ucapan itu, dan merasa betapa
tangan yang mengelus kepalanya itu amat
lembut dan penuh perasaan sayang, Ci
Sian menjerit lalu menyem-bunyikan
mukanya pada dada pendekar itu, lalu
menangislah dia sejadi-jadinya. Kam Hong
membiarkan saja karena hal itu amat baik
bagi Ci Sian. Kekuatan yang mendorong
perasaan marah atau duka amatlah kuatnya
dan kalau tidak disalurkan keluar melalui
tangis, akan terpendam di dalam dan selain
dapat meledak menjadi pelampiasan marah
yang berbahaya, juga amat berbahaya bagi
kesehatan dara itu sendiri.
Setelah menangis sesenggukan tanpa
mengekangnya, akhirnya Ci Sian merasa
dadanya lapang sekali. Dia teringat beta-pa
dia menangis di atas dada Kam Hong dan
membuat baju pendekar itu menjadi basah,
maka cepat-cepat dia menjauhkan dirinya
dan memandang kepada baju yang basah
itu.
“Maaf, Paman.... aku telah membasahi
bajumu.”
Kam Hong melihat bajunya dan ter-senyum
sabar. “Baju basah bisa dijemur, Ci Sian.
Yang penting, engkau tidak menyimpan
perasaan dalam batin lagi. Nah, mari kita
bicara sekarang.”
Choirul, maret 2008 280
Ci Sian mengerutkan alisnya dan me-narik
napas panjang. Terasa hawa yang
disedotnya itu memenuhi paru-paru sam-pai
ke pusar, dan terasa dadanya nyaman
sekali. Mengertilah dia kini mengapa
pendekar itu membiarkan dia menangis
sepuasnya di dadanya tadi, dan dia
mera-sa berterima kasih sekali.
“Aku sedih sekali mengingat nasib Ibuku,
Paman. Aku tidak tahu mengapa Ibu dapat
menjadi lemah begitu, padahal menurut
penuturan Ayah.... ah, orang itu, Ibu adalah
seorang pendekar wanita. Aku belum tahu
jelas mengapa sampai me-ninggal dunia
begitu mudah, hanya kare-na sakit-sakitan.
Tubuh seorang pendekar wanita mana
mungkin sakit-sakitan be-gitu?”
“Aku tahu, Ci Sian.”
“Eh? Bagaimana kau tahu?”
“Kebetulan saja. Setelah membawamu ke
sini, aku berjaga-jaga dan melihat Ayahmu
itu....“
“Jangan sebut dia Ayahku lagi! Aku benci
mempunyai Ayah macam dia!”
“Membenci bukanlah sikap bijaksana dalam
hidup.”
“Lanjutkan ceritamu, Paman, apa yang
kaulihat dan dengar?”
“Ayahmu itu agaknya mencari-carimu,
namun tanpa hasil dan diam-diam aku lalu
membayanginya karena aku ingin
memperoleh keyakinan apakah benar kita
tidak dikejar orang. Dan aku
memba-yanginya sampai ke pondoknya di
mana dia bicara dengan.... eh, wanitawanita
yang menjadi isterinya itu dan dia
men-ceritakan bahwa Ibumu yang bernama
Sim Loan Ci itu menjadi lemah dan sa-kitsakitan
semenjak dia dan Ayahmu
bertanding melawan gerombolan siluman di
Sin-kiang yang terkenal dengan nama Heki-
mo (Iblis Baju Hitam).”
“Siapakah itu Hek-i-mo?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan
mereka, akan tetapi sudah ku-dengar nama
mereka. Hek-i-mo adalah perkumpulan,
atau lebih tepat dinamakan gerombolan
yang merajalela di daerah Sin-kiang, selain
berpengaruh dan mem-punyai hubungan
dekat dengan penguasa, juga gerombolan
itu lihai bukan main, dipimpin oleh datukdatuk
kaum sesat dan memiliki pasukan
yang kuat.”
“Jadi ibu berpenyakitan setelah ber-tanding
melawan mereka?”
“Begitulah menurut penuturan Ayahmu
kepada seorang di antara isterinya, ka-rena
dalam pertempuran antara orang tuamu
melawan gerombolan itu, men-diang Ibumu
menderita pukulan beracun dan pada waktu
itu Ibumu sedang me-ngandung. Hanya
itulah yang kudengar dari percakapan
mereka dan aku lalu pergi karena merasa
tidak enak men-dengarkan pembicaraan
suami Isteri.”
“Kalau begitu, aku akan mencari Hek-i-mo
dan akan membasminya untuk
membalaskan kematian Ibu!”
“Hemm, jangan kira hal itu mudah saja, Ci
Sian. Sepanjang pendengaranku, Hek-i-mo
merupakan gerombolan yang amat
berbahaya dan sudah banyak pende-karpendekar
berilmu tinggi yang gagal dan
bahkan menemui kematian ketika
berhadapan dengan mereka. Bahkan Ayah
Ibumu yang demikian lihai pun agaknya
gagal.”
“Aku tidak. takut gagal, aku tidak takut
mati!”
Kam Hong menahan senyumnya. Dara ini
masih seperti dulu, pemberani dan keras
hati sehingga amat mengkhawatir-kan
karena sikap seperti itu banyak
mengakibatkan malapetaka kepada diri
sendiri.
Choirul, maret 2008 281
“Biarpun engkau berusaha, kalau sudah
pasti bahwa engkau akan gagal, apa
arti-nya? Engkau harus memperdalam ilmu
kepandaianmu, dan untuk itu, aku mau
membantumu, Ci Sian. Ingat, aku masih
ada hutang padamu.”
“Hutang? Hutang apa?”
“Hutang ilmu. Lupakah kau akan ilmu yang
kita bersama temukan pada tubuh jenazah
kakek kuno itu? Aku masih harus
mengajarkannya kepadamu karena engkau
pun berhak mempelajarinya, dan kita
berdualah yang menemukannya.”
Ci Sian mengerti bahwa apa yang
di-katakan oleh pendekar ini memang
benar. Biarpun tadinya dia merasa bahwa
ilmu kepandaian yang dipelajarinya dari
See-thian Coa-ong cukup tinggi, namun
ter-nyata bahwa ilmunya itu masih jauh
daripada cukup jika dia berhadapan dengan
orang-orang pandai, juga ular-ularnya itu
tidak ada artinya kalau dia bertemu dengan
lawan tangguh. Dan dia percaya bahwa
pendekar ini memang memiliki ilmu yang
tinggi sekali, kalau tidak demikian, mana
mungkin dapat melarikan dia dari tangan
ayahnya dan isteri-isteri ayahnya yang
demikian lihainya?
“Baiklah, Paman, aku akan belajar darimu.”
“Nah, sekarang ceritakan apa yang telah
terjadi denganmu semenjak kita saling
berpisah. Ke manakah engkau per-gi ketika
kita berdua terdampar di lem-bah tanpa
jalan keluar itu? Kuingat ke-tika bukit itu
longsor dan kita terasing di lembah salju?”
“Aku sedang mencari burung dan aku lalu
terpeleset jatuh ke dalam jurang.”
“Hemm, sudah kuduga begitu. Akan tetapi
bagaimana engkau dapat hidup setelah
terjatuh ke dalam jurang yang sedemikian
dalamnya?”
“Aku ditolong oleh seorang kakek yang
berama See-thian Coa-ong, Paman” Dara
itu lalu menceritakan pengalaman-nya
sampai dia diambil murid oleh kakek Raja
Ular itu.
“Bagus sekali, engkau beruntung, se-lain
dapat diselamatkan dari ancaman bahaya
maut, masih menemukan seorang guru
yang pandai. Pantas saja engkau pandai
bermain-main dengan ular.”
“Paman, hal itu belum berapa penting. Yang
kuanggap paling menarik dan pen-ting
adalah ketika aku diajak oleh guruku itu
untuk menemui musuhnya di Lembah
Suling Emas, yaitu di luar lembah di mana
tinggal musuh Guruku. Di situ aku bertemu
degan seseorang yang tentu akan membuat
Paman terkejut sekali, dan tak mungkin
Paman dapat men-duganya siapa.”
Di dalam hatinya, Kam Hong tertarik sekali,
akan tetapi dia tetap nampak tenang dan
tersenyum, seperti seorang dewasa
mendengarkan penuturan seorang anak
kecil saja. “Siapakah dia yang
kau-maksudkan itu?”
“Musuh Guruku itu adalah Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu, seorang di anta-ra.... eh,
isteri Ayah, wanita yang paling, galak dan
paling lihai yang hampir mem-bunuhku
malam tadi. Dia adalah seorang tokoh
Lembah Suling Emas dan ilmunya tinggi
sekali.”
“Hemm, sungguh aneh sekali ada lem-bah
yang bernama Lembah Suling Emas.”
“Aku pun tadinya merasa heran, Pa-man.
Menurut Guruku, Lembah Suling Emas itu
adalah lembah tempat keluarga yang amat
sakti, yaitu keluarga Suling Emas.”
“Hemmm....!” Kam Hong mengelus dagunya
dan alisnya berkerut. Apa pula ini?
“Aku pun merasa penasaran, Paman.
Bukankah Paman satu-satunya Pendekar
Suling Emas dan Paman memiliki sebuah
suling dari emas, juga Paman malah
memiliki ilmu-ilmu peninggalan Pendekar
Choirul, maret 2008 282
Suling Emas, akan tetapi di Pegunungan
Himalaya ada lembah yang yang bernama
lembah Suling Emas dan menjadi tempat
tinggal keluarga Suling Emas! Akan te-tapi
Guruku tidak dapat bercerita lebih jelas.
Akan tetapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu
itu memang lihai sekali sehing-ga Suhuku
sendiri hanya dapat mengim-bangi dalam
ilmu silat tanpa dapat mengalahkannya.
Dan yang luar biasa adalah muridnya,
Paman.”
“Murid wanita itu? Bagaimana hebat-nya?”
“Dia itu bukan lain adalah Yu Hwi!”
Sekali ini benar-benar Kam Hong terkejut
bukan main dan dia menatap wajah dara itu
dengan mata terbelalak. Akan tetapi hanya
sekejap saja karena dia sudah bersikap
biasa kembali, tenang dan agak dingin.
“Sungguh-sungguhkah engkau, Ci Sian?”
“Mengapa tidak, Paman? Aku malah sudah
menegurnya, mengingatkan dia akan
namamu, dan.... ah, sungguh aku tidak
mengerti akan sikap isterimu itu, Paman.
Mengapa dia begitu.... eh, agak-nya begitu
membencimu dan tidak peduli kepadamu?
Aku sudah menegurnya, mengingatkan dia
tentang engkau, akan tetapi dia malah
marah-marah. Dan tahukah engkau apa
yang terjadi? Guru-nya, Si Cui-beng Sian-li
itu, mengadakan perjanjian dengan suhuku,
See-thian Coa-ong, untuk mengadukan
murid-murid me-reka, yaitu Yu Hwi itu dan
aku, setelah belajar lima tahun lamanya.
Coba pikir, bukankah perjanjian itu gila?”
Kam Hong menarik napas panjang. “Yu Hwi
adalah calon isteriku, ikatan jodoh antara
kami telah disahkan oleh orang-orang tua
yang menjadi wali kami. Dia belum menjadi
isteriku, akan tetapi menurut keputusan
wali-wali kami, kami harus saling berjodoh.
Di manakah dia, Ci Sian? Aku harus
menemuinya.”
“Hemm, Paman Kam Hong. Kalau dia tidak
mau, apakah akan dipaksa menjadi
isterimu?”
“Justeru aku harus menemuinya untuk
membicarakan urusan kami itu. Selain itu,
aku pun ingin sekali berkenalan de-ngan
keluarga yang tinggal di Lembah Suling
Emas itu, Ci Sian.”
“Baik, aku akan mengantarmu ke sana,
Paman. Akan tetapi dengarkan lanjutan
ceritaku.” Ci Sian lalu mence-ritakan
tentang semua pengalamannya, betapa dia
setelah belajar empat tahun dari See-thian
Coa-ong lalu meninggalkan pertapaan
gurunya itu dan hendak men-cari Kam Hong
atau Lauw-piauwsu untuk menanyakan di
mana adanya orang tua-nya seperti yang
diceritakan oleh kakek-nya kepada piauwsu
itu. Kemudian beta-pa dia terlibat dalam
perang di Lhagat, tentang Jenderal Kao Cin
Liong, tentang Siok Lan, panglima wanita
Nandini dan lain-lain sampai kemudian
perang ber-akhir dengan kekalahan di fihak
tentara Nepal dan dia mendengar tentang
tempat tinggal ayahnya dari Lauw-piauwsu
yang tewas karena luka-lukanya.
“Begitulah, aku bertemu dengan Ayah-ku,
akan tetapi dalam keadaan yang sama
sekali tidak menyenangkan hatiku dan aku
tidak sudi bertemu dengan dia! Sekarang,
kauceritakan pengalamanmu semenjak kita
berpisah, Paman.”
“Mari kita berangkat, Ci Sian. Di dalam
perjalanan nanti akan kuceritakan semua itu
kepadamu.”
Mereka melakukan perjalanan lagi, seperti
lima tahun yang lalu. Hanya bedanya, kini
Ci Sian bukan lagi anak-anak, bukan lagi
anak perempuan tiga belas tahun,
melainkan seorang dara remaja yang sudah
berusia tujuh belas tahun, seorang dara
remaja yang amat cantik dengan tubuh
yang padat meranum, seperti setangkai
bunga yang sedang mulai mekar! Diamdiam
Kam Hong harus mengakui bahwa dia
kagum sekali kepada dara ini, kagum akan
kecantikan-nya yang sukar dicari keduanya
itu, dan diam-diam dia merasa amat
bergembira dapat bertemu kembali dengan
Choirul, maret 2008 283
Ci Sian dan dapat melakukan perjalanan
bersama kembali. Lenyaplah segala rasa
kesunyian dan nelangsa sebagai akibat
perpisahan dengan Yu Hwi semenjak dia
bertemu dengan dara ini kurang lebih lima
tahun yang lalu. Sebaliknya, setelah kini
ber-jumpa dengan Kam Hong hati Ci Sian
merasa begitu ringan dan gembira. Se-mua
kekecewaan dan rasa penasaran, semua
rasa duka yang tertimbun sejak
kekecewaannya menyaksikan hubungan
antara Siok Lan dan Cin Liong sampai
kepada kenyataan yang amat pahit dari
keadaan ayah kandungnya, kini lenyap tak
berbekas dan wajahnya yang jelita itu
berseri-seri! Dia lupa sama sekali kepada
bayangan Cin Liong yang tadinya amat
dikaguminya itu, dan dia merasa amat
bergembira, gembira dan puas se-olah-olah
dia memperoleh kembali se-suatu yang
hilang dari lubuk hatinya.
Seperti juga dulu, mereka melakukan
perjalanan melalui gunung-gunung yang
tinggi, lembah-lembah yang dingin dan
puncak-pucak bukit yang tertutup es.
Seperti juga dulu, Kam Hong yang ber-sikap
pendiam dan tenang, bahkan agak dingin
itu, seperti gunung es menghadapi api
karena sikap Ci Sian sebaliknya dari-pada
dia. Dara ini, panas dan penuh se-mangat,
penuh gairah hidup dan selalu jenaka,
kocak dan gembira, agak kena-kal-nakalan
sehingga mulai mencairlah gunung es
dalam hati Kam Hong itu!
Sambil melakukan perjalanan seenak-nya,
berceritalah Kam Hong tentang
pengalamannya semenjak dia berpisah dari
Ci Sian. Akan tetapi tidak banyak yang
dapat diceritakan. Seperti kita ke-tahui,
ketika Ci Sian tergelincir ke da-lam jurang
yang mengelilingi “pulau sal-ju” terpisah dari
tempat-tempat lain itu, Kam Hong merasa
amat gelisah, khawa-tir sekali dan berduka.
Dia mengira bah-wa tentu dara itu telah
tewas tergelincir ke dalam jurang. Akan
tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu.
Biarpun dia sudah berusaha keras untuk
mencari jalan turun, namun dia
mendapatkan kenyataan yang makin
mendukakan hatinya bahwa tidak
mungkinlah menuruni tempat itu dan siapa
yang tergelincir ke bawah yang tak nampak
dasarnya saking dalamnya itu, agaknya
tidak mungkin dapat di-harapkan akan
selamat. Pendekar itu selama beberapa hari
termenung di tepi jurang, penuh kedukaan
dan hampir dia menangis kalau teringat
betapa gadis cilik itu kini telah mati!
Batinnya yang sudah tertekan selama
bertahun-tahun dengan lenyapnya Yu Hwi,
kini bertam-bah berat dengan dugaan
bahwa Ci Sian telah mati tergelincir ke
dalam jurang. Sampai hampir sepekan dia
merenungi keadaan yang menyedihkan itu,
akan tetapi akhirnya dia sadar bahwa
mem-biarkan diri tenggelam ke dalam
keduka-an merupakan hal yang tidak baik
sama sekali, maka dia lalu menyibukkan diri
dengan latihan ilmu yang baru saja dia
peroleh dan pelajari dari catatan di tu-buh
jenazah tua. Dan ilmu itu memang hebat
bukan main, merupakan ilmu yang amat
tinggi, sakti dan penuh rahasia. Ilmu meniup
suling berdasarkan sin-kang yang luar biasa
tingginya itu dipelajari-nya dengan amat
susah payah, kemudi-an dia melatih pula
ilmu pedang Kim-siauw-kiamsut yang
dilakukan dengan suling.
Selama setahun lebih Kam Hong ter-asing
di tempat itu, tidak memperoleh
kesempatan untuk keluar dari tempat itu.
Kemudian, setelah pergantian musim,
puncak bukit di atas longsor dan jutaan ton
es batu tanah dan salju menutup ju-rang
sehingga tempat itu kembali tertutup dan
dia dapat keluar dari penga-singan itu!
Maka dipilihnyalah tempat yang amat baik
untuk melatih ilmu, di lereng sebuah puncak
yang subur, tidak seperti di tempat
pengasingan itu yang hanya terdiri dari batu
es dan salju yang amat dinginnya. Di
tempat ini, Kam Hong melanjutkan
latihannya setelah beberapa hari dia
mencari-cari di sekitar tempat pengasingan
itu dan tidak ber-hasil menemukan Ci Sian,
bahkan tulang kerangkanya pun tak dapat
ditemukannya. Dia menduga bahwa tentu
gadis cilik itu telah tertimbun es dan tidak
mungkin ditemukan lagi kerangkanya.
Choirul, maret 2008 284
Selama tiga tahun Kam Hong
mem-perdalam ilmunya sampai dia berhasil
menguasai ilmu-ilmu itu, walaupun untuk
bersuling tanpa suling dia masih belum
sanggup melakukannya. Akan tetapi, kini
dia dapat menyuling tanpa menutup
lu-bang-lubang sulingnya dan dapat
menyanyikan lagu apapun juga melalui
suling-nya tanpa memainkan jarinya.
Bahkan dia dapat mainkan ilmu pedang
Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling
Emas) se-demikian rupa sehingga
sulingnya menge-luarkan suara berlagu
merdu!
Kemudian dia meninggalkan tempat
pertapaannya untuk melanjutkan usahanya
mencari Yu Hwi, dan dalam perjalanan
inilah dia mendengar tentang perang yang
terjadi di Lhagat, dan tentang pasukan
pemerintah yang terkepung di lembah oleh
pasukan-pasukan Nepal. Kedatangannya
tepat sekali, karena pada waktu itu,
pasukan Kerajaan Ceng, diban-tu oleh
pasukan Tibet dan orang-orang kang-ouw
yang lihai, sedang mulai de-ngan gerakan
mereka. Melihat betapa pasukan yang
terkurung itu mulai mem-buka bendungan
sehingga air dari puncak membanjir, disusul
gerakan pasukan yang terkepung itu untuk
membobolkan ke-pungan, Kam Hong
segera turun tangan pula membantu, diamdiam
dia menga-muk, dan mengacaukan
pasukan Nepal yang mengepung, seperti
yang juga telah dilakukan oleh Si Jari Maut
Wan Tek Hoat! Akan tetapi karena mereka
berdua itu bergerak di kanan kiri air bah,
jadi terpisah, maka mereka tidak saling
jum-pa. Setelah melihat betapa pasukan
pe-merintah Ceng berhasil merebut Lhagat,
Kam Hong tidak mencampuri perang tadi
dan dia menyingkir tanpa memperlihatkan
diri.
Akan tetapi dia melihat panglima, wanita
Nepal bersama seorang dara me-lakukan
perjalanan tergesa-gesa dan diam-diam dia
membayangi mereka dari jauh sampai ke
Pegunungan Kongmaa La. “Demikianlah,
tanpa tersangka-sangka olehku, aku dapat
bertemu denganmu, Ci Sian.” Pendekar itu
mengakhiri ceritanya. “Mula-mula aku
memang pangling, apa-lagi ketika melihat
seorang dara me-manggil ular-ular itu. Aku
hanya ingin menolongnya karena dikeroyok
oleh orang-orang yang sedemikian lihainya,
dan baru aku mengenalmu setelah aku
membawamu ke dalam guha itu.”
“Dan aku merasa seperti dalam mimpi
begitu membuka mata dan melihatmu,
Paman. Akan tetapi sekarang, setelah aku
yakin bahwa kita telah berkumpul kembali,
aku merasa seolah-olah perpi-sahanku
denganmu selama hampir lima tahun itu
hanya mimpi belaka!”
Kam Hong tersenyum karena ucapan itu
sama benar rasanya seperti yang berada
dalam hatinya. Dia seolah-olah tak pernah
berpisah dari Ci Sian, seolah-olah semua
yang dialaminya sendiri tanpa Ci Sian
selama ini hanya sebuah mimpi saja!
***
Gadis itu bersilat dengan cepatnya.
Gerakannya amat gesit, pukulanpukulan-
nya mendatangkan angin bersuitan
dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu
bergoyang-goyang, bahkan ada yang
ron-tok tertiup angin pukulan kedua tangan
dan kakinya yang berloncatan ke sana sini
seperti seekor burung yang sedang
berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah
dan indah sekali dan lapangan rumput itu
amat bersih kehijauan segar, hening tidak
nampak seorang pun manu-sia lain di situ.
Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini
bukan lain adalah Yu Hwi. Usia-nya sudah
dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia
nampak masih muda, agaknya hanya dua
puluh dua atau dua puluh tiga tahun.
Pakaiannya yang serba merah muda itu
membuat dia nampak lebih muda dari pada
usia yang sebenarnya. Dan memang gadis
ini lihai bukan main. Apalagi sekarang
setelah dia menjadi murid tersayang daari
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti,
tentu saja ke-pandaiannya meningkat
Choirul, maret 2008 285
dengan amat pesatnya. Dahulu pun, dia
telah merupa-kan seorang pendekar wanita
yang amat lihai, yang terkenal dengan
julukan Ang Siocia karena pakaiannya
selalu kemerah-an. Dari gurunya yang
pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja
Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang
tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to
Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok)
amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia
mampu memutuskan benda-benda keras
seperti disabet dengan pedang atau golok
saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini,
dia pun terkenal pandai melakukan
penyamarannya, dan pandai pula dalam
ilmu mencuri atau mencopet, ke-pandaian
khas dari Hek-sim Touw-ong! .
Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH
SEPASANG RAJAWALI, hati gadis ini
merasa kecewa bukan main. Sebagai
seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta.
Dia jatuh hati kepada seorang pendekar
sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau
Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super
Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi
cintanya bertepuk tangan sebelah,
pendekar yang dicintanya itu ter-nyata
mencinta dara lain sehingga hati gadis ini
menjadi hancur dan patah-pa-tah.
Kemudian, Yu Hwi mendengar tentang
rahasia dirinya, bahwa dia adalah cucu dari
Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa
semenjak kecil dia diculik oleh gurunya Si
Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan
hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya
ketika dia mendengar bah-wa dia sejak kecil
telah ditunangkan dengan seorang anak
laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong
atau Kam Hong, pemuda yang sudah
dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa
disengaja pernah membuka rahasia
penyamarannya sebagai seorang pemuda
(baca cerita JODOH SEPASANG
RAJAWALI). Maka, karena malu terhadap
Kam Hong, juga karena berduka mengingat
bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada
Siluman Kecil, Yu Hwi lalu melarikan diri,
meninggalkan kakeknya, dan mengambil
keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah
gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan
dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain,
apalagi yang bukan pilihannya sendiri,
sungguhpun harus diakuinya bahwa
tunangannya itu adalah seorang pemuda
yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu
dan tidak mau kembali lagi.
Dan di dalam perjalanannya itulah dia
bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun
Ciu dan diambil sebagai murid. Ha-tinya
girang sekali, apalagi ketika dia
diperkenalkan dengan keluarga sakti yang
menjadi penghuni Lembah Suling Emas.
Hatinya kagum bukan main, terutama sekali
kepada seorang di antara para to-koh
lembah itu, yang masih terhitung susioknya
(paman seperguruannya), yaitu yang
bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi
besar dan gagah itu. Dia merasa kagum
bukan main terhadap keluarga yang amat
sakti itu, terutama para paman gurunya
yang menurut subonya bahkan lebih lihai
daripada subonya sendiri yang sudah amat
dikaguminya itu!
Selama beberapa hari ini, subonya nampak
murung saja, akan tetapi hatinya girang
karena subonya mengatakan bahwa
pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu
yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan
dia akan harus berhadapan de-ngan murid
See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji
dua orang yang bermusuh-an secara aneh
itu, untuk menentukan siapa yang lebih
unggul. Dahulu, dalam pertempuran matimatian,
antara Cui-beng Sian-li Tang Cun
Ciu dan See-thian Coa-ong, tidak ada yang
kalah atau me-nang, kepandaian mereka
seimbang. Maka kini, murid-murid mereka
yang akan menentukan siapa yang lebih
unggul di antara mereka.
Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena
dia akan bertanding mewakili subonya,
melainkan karena dia telah bebas dan
setelah melakukan pertandingan itu, dia
boleh turun gunung atau pergi dari tempat
itu, melanjutkan perjalanan atau
perantauannya. Dan dia sudah merasa
rindu untuk kembali ke timur, ke dunia
Choirul, maret 2008 286
ramai. Akan tetapi, harus diakui bahwa ada
sesuatu yang membuat dia merasa berat
meninggalkan Lembah Suling Emas, dan
selama berbulan ini wajah yang ga-gah dari
susioknya sering muncul di alam mimpi,
menggerakkan gairah dalam hati-nya yang
sudah lebih dari dewasa, bah-kan yang
sudah agak lambat itu, meng-ingat usianya
sudah dua puluh delapan tahun!
Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari
yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan
tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan
dia merasa girang karena dia dapat
bergerak dengan lancar sekali dan merasa
yakin bahwa dalam mewakili subonya, dia
tentu akan dapat mengalah-ka anak
perempuan murid See-thian Coa-ong yang
bicara lancang tentang Kam Hong itu!
Setelah dia berhenti bersilat dan
menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba
terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut
bukan main. Kalau ada orang mampu
datang ke tempat itu tanpa dike-tahuinya,
tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan
main. Akan tetapi ketika dia menoleh
dengan kaget dan me-lihat siapa yang
bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan
kedua pipinya be-robah kemerahan.
“Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru
ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk,
harap Susiok jangan mentertawa-kan.”
katanya dengan sikap agak genit,
tersenyum manis dan mengerling tajam.
Pria yang tinggi besar dan berusia sekitar
tiga puluh lima tahun itu, terse-nyum dan
meloncat turun dari atas sebuah batu besar
di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis
itu dengan pandang mata penuh kagum.
“Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak
mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi
lincah dan hebat, dan amat manis sekali,
sungguhpun aku melihat adanya beberapa
kelemahan yang agaknya tidak nampak
oleh Subomu.”
“Ah, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok
sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap
Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku
harus menghadapi murid See-thian Coaong
mewakili Subo untuk mengadu
kepandaian seperti janji mereka lima tahun
yang lalu.
Pria itu menarik napas panjang.
“Ahhh Toaso, Subomu itu, selalu menuruti
hati panas sehingga suka berjanji untuk
mengadu ilmu. Mempelajari Ilmu silat bukan
untuk diadu seperti ayam jago atau
jangkerik.”
Yu Hwi tersenyum. “Betapa pun, janji tetap
janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar
janjinya? Sam-susiok, berlaku-lah baik
untuk memberi petunjuk agar aku dapat
memperbaiki kekurangan atau kesalahan
itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah
dalam pertandingan itu, bu-kan?”
“Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke
sebelas dan dua belas, juga jurus ke
sembilan belas dan ke dua puluh, engkau
terlalu menekankan kepada penyerangan,
terlalu bernafsu sehingga engkau
melalaikan pertahananmu sehingga pada
bagian-bagian itu pertahananmu amat
lemah dan mudah sekali dimasuki lawan.”
“Ah, begitukah, Susiok? Akan tetapi
menurut Subo, permainanku sudah
sem-purna.” kata Yu Hwi dengan kaget.
“Mari kita coba. Kauseranglah aku dengan
jurus ke sebelas itu.”
Karena maklum betapa lihainya su-sioknya
yang ganteng dan gagah ini, yang menurut
subonya memiliki tingkat kepan-daian lebih
tinggi dari subonya, dan karena dia akan
memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi
menjadi girang dan tanpa ragu-ragu dia lalu
mengerahkan tenaga-nya dan menyerang
sambil berseru, “Awas Susiok!”
Jurus ke sebelas ini disebut Lam-hong
Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi),
Choirul, maret 2008 287
dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang
disambung dengan langkah kaki kanan ke
depan kemudian kaki kiri me-nyambar dari
samping dengan jalan me-mutar. Amat
cepat dan tidak tersangka lawan, berbahaya
sekali.
“Pinggang kananmu terbuka!” kata Kang Bu
dan dengan memutar tubuh, setelah
mengelak dan menepuk kaki yang
menendang, tahu-tahu tangannya sudah
mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu
Hwi. Tentu, saja tidak dia lanjutkan, hanya
jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu,
menimbulkan rasa geli.
“Seharusnya tangan kananmu merapat ke
pinggang, seperti ini!” Dengan jelas Kang
Bu lalu memberi contoh dan me-megang
tangan kanan Yu Hwi, merapat-kan di
pinggang.
“Mengertikah engkau? Setiap serangan
sudah tentu membuka sebagian dari tu-buh
kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh
lawan yang tangguh untuk mencari titik
kelemahan kita, oleh karena itu di samping
penyerangan, kita harus menge-nal titik
kelemahan sendiri sewaktu me-nyerang dan
sedapat mungkin melindungi kelemahan itu.
Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu
sampai beberapa kali dan Kang Bu
mengangguk-angguk puas. “Nah, sekarang
coba serang aku dengan jurus ke dua
be-las.” katanya pula.
“Baik, nah, awas Susiok! Haittt....!” Jurus ke
dua belas ini memang seharus-nya
dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus
ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah
Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat
daripada tadi karena tiba-tiba dara itu
merendahkan tubuhnya dengan menekuk
kedua lututnya dan kedua tangannya
mendorong dari bawah ke atas dengan
kekuatan hebat karena didasari tenaga sinkang
yang amat kuat sehingga angin
pukulannya menyambar dahsyat. Namun
tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas,
berjungkir balik dan kedua tangannya dari
atas melakukan dua pu-kulan, yang kiri
menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan
yang kanan menceng-keram ke arah ubunubun!
“Aihhh....!” Yu Hwi terkejut sekali dan cepat
dia membuang tubuh ke bela-kang dan
bergulingan, mukanya berobah pucat.
Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil
tersenyum. “Bagus sekali cara engkau
menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak
perlu karena apa kaukira aku hendak
mencelakakan engkau dengan sungguhsungguh?”
“Aku.... aku kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi
dan dia pun tersenyum malu-malu ketika
Kang Bu membantunya member-sihkan
pakaiannya yang terkena tanah ketika dia
bergulingan tadi.
“Nah, engkau lihat betapa berbahaya-nya
kalau engkau mencurahkan seluruh tenaga
dan perhatianmu untuk jurus ke dua belas
itu. Memang jurus ini merupa-kan jurus
berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau
lawanmu memiliki gin-kang yang tinggi dan
melihat keterbukaan bagian kepalamu,
engkau sebaliknya akan terancam bahaya.
Oleh karena itu, pada saat memukul,
perhatikan gerakan musuh, kalau dia
membalikkan keadaan dengan meloncat
dan mengancam kepalamu, kau tinggal
melanjutkan pukulan itu ke atas,
mendahuluinya, dan menghantamnya dari
bawah. Mengertikah engkau?”
“Baik, aku mengerti dan terima kasih, Samsusiok.
Memang engkau benar sekali,
Susiok.”
“Sekarang jurus ke sembilan belas dan dua
puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus
yan$ bergandengan, yaitu See-hong-coanin
(Angin Barat Menerjang Awan) yang
disambung dengan Pak-hong-sang-thian
(Angin Utara Naik Langit) merupa-kan dua
jurus terampuh darl Ilmu Silat Pat-hong Sinkun
(Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu.
Choirul, maret 2008 288
Coba kauserang aku dengan dua jurus
yang bersambungan itu.”
“Baik, Susiok.”
Yu Hwi lalu menyerang, gerakannya cepat
bukan main, kedua tangan bergan-tian
melakukan pukulan sambil meloncat,
kemudian dengan kedua kaki ditekuk dua
tangannya menyambar ke depan ke arah
leher dan pusar lawan.
“Lihat dadamu terbuka!” terdengar
susioknya itu berkata dan kedua tangan-nya
telah terpentang oleh tangkisan dan tangan
susioknya yag besar dan kuat itu sudah
mencengkeram ke arah dadanya, hampir
saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi
Kang Bu sudah cepat mena-rik kembali
tangannya. Kemudian Yu Hwi melanjutkan
gerakannya, tubuhnya melon-caat ke atas
dan kedua kakinya menye-rang dengan
totokan dari atas ke arah pundak dan ubunubun
kepala lawan. Ge-rakannya memang
cepat bukan main sehingga dalam
pertandingan yang sungguh-sungguh, fihak
lawan akan terancam bahaya.
“Bagian belakangmu kosong!” teriak pula
Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki
sehingga dua tendangan itu luput dan tahutahu
tubuhnya telah berada di sebelah
belakang Yu Hwi dan sekali tangannya
menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!
“Ihhh....!” Yu Hwi terkejut dan mela-yang
turun dengan muka merah, meman-dang ke
arah kakinya yang hanya tinggal berkaus
saja sedangkan sepatu kaki kiri-nya telah
berada di tangan susioknya.
“Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa
bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau
tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke
sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan
jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di
bagian belakang tubuhmu ketika engkau
meloncat.” Yu Hwi tidak dapat berkata-kata,
mukanya merah sekali dan jantungnya
berdebar-debar, ketika dia melihat betapa
paman gurunya itu berjongkok dan
memasangkan sepatu kirinya. Lebih
berdebar lagi rasa jan-tungnya ketika dia
melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh
kuat dari pende-kar yang lihai itu gemetar
tidak karuan ketika membantunya memakai
kembali sepatunya!
Mereka lalu duduk berhadapan di atas
rumput hijau, bercakap-cakap dengan
mesranya. Seperti biasa, dalam pertemu-an
dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi
petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat
kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan
juga mesra, jelas sekali nam-pak betapa
pria muda itu “ada hati” terhadap murid
keponakan yang manis itu! Dan diam-diam
Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia
amat tertarik kepa-da pemuda ini, seorang
pria yang jantan, matang, pendiam, jujur
dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya
terbuka dan Ilmu kepandaiannya amat luar
biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan
dengan Pendekar Siluman Kecil sekalipun!
Tanpa mereka sadari, dari tempat yang
agak jauh, sepasang mata yang bening
memandang ke arah mereka, dan kemudian
sepasang mata itu nampak tidak senang,
kemudian lenyap. Tiba-tiba Yu Hwi berkata,
suaranya halus dan lembut, agak
mengandung kemanjaan seorang wanita
yang yakin bahwa dirinya dicinta.
“Sam-Susiok....”
“Eh, mengapa? Mengapa tidak
kaulan-jutkan bicaramu?” Kang Bu bertanya
sambil memandang heran, melihat betapa
dara itu memanggilnya kemudian
me-nunduk, dan kelihatannya seperti raguragu
dan bimbang.
“Aku hendak bertanya sesuatu, akan tetapi
takut Susiok marah.”
Kang Bu tertawa, ketawanya bebas lepas.
“Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi.
Pernahkah aku marah kepada-mu? Dan
pula, kenapa aku harus marah?”
Choirul, maret 2008 289
Yu Hwi mengingat-ingat dan memang
belum pernah susioknya ini marah.
Semen-jak dia diperkenalkan kepada para
peng-hui Lembah Suling Emas, dia merasa
amat takut kepada toa-susioknya, yaitu Cu
Han Bu, yang sikapnya pendiam, se-rius
dan kelihatan galak. Juga dia tidak pernah
bicara dengan ji-susioknya, yaitu Cu Seng
Bu yang juga pendiam. Hanya kepada samsusiok
ini saja dia merasa suka dan cocok,
dan susioknya ini selain amat ramah dan
baik, juga usianya tidak banyak selisihnya
dengan dia. Susioknya ini paling banyak
berusia tiga puluh em-pat tahun. Apalagi
semenjak diperkenal-kan, dari sinar mata
sam-susioknya ini dia tahu bahwa pendekar
gagah ini ter-tarik dan sayang kepadanya.
Naluri kewanitaannya amat tajam dan tentu
saja dia dapat menangkap hal ini.
“Tapi aku khawatir kalau-kalau engkau
marah mendengar pertanyaanku ini, Samsusiok.”
“Ha-ha, kalau aku marah, biarlah engkau
hitung-hitung mengalami satu kali mendapat
marah dariku!” Pendekar itu lalu
memandang dengan matanya yang lebar
dan mencorong. “Yu Hwi, katakan-lah, apa
yang akan kautanyakan kepa-daku?”
“Sam-susiok.... aku ingin sekali tahu lebih
banyak tentang keluargamu, keluar-ga
Suling Emas yang amat sakti itu. Kulihat
Toa-susiok sudah menduda, pada-hal dia
belum tua benar, dan Pek In semenjak kecil
tidak beribu. Kenapa Toa-susiok tidak
pernah menikah lagi, Susiok? Dan juga Jisusiok
tidak pernah meni-kah....”
“Ah, engkau tidak tahu, Yu Hwi. Twako
kematian isterinya yang sangat dicintainya
dan dia tidak berani menikah lagi, tidak
melihat adanya wanita yang dapat
menggantikan isterinya, apalagi setelah
melihat betapa mendiang Twako Cu San Bu
suami Subomu itu menderita karena ulah
isterinya. Maka dia tidak percaya lagi
kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi
selamanya. Adapun Ji-ko Cu Seng Bu,
dia.... dia itu mempunyai penyakit sejak
kecil, penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan kalau dia me-nikah, maka
penyakit itu akan memba-hayakan
nyawanya. Selain itu, dia meli-hat
kehidupan yang sengsara dari men-diang
Twako Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga
dia merasa ngeri untuk menikah.”
“Akan tetapi, keluarga Cu belum memiliki
keturunan seorang laki-laki “
Cu Kang Bu menghela napas panjang.
“Memang hal itu kadang-kadang
meng-gelisahkan kami. Akan tetapi
semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami
terhibur.
Anak itu baik sekali, dan memiliki bakat
yang amat besar. Dia telah dipilih oleh
mendiang Toapek, dan ternyata dia dapat
mewarisi ilmu kami dengan baik. Biarlah dia
yang menjadi murid dan juga ketu-runan
kami, siapa tahu dia kelak akan dapat
menjadi suami Pek In seperti yang telah
direncanakan dan diharapkan oleh Twako
Han Bu....“
“Ah, apakah di antara Sumoi dan Sute itu
ada pertalian cinta....?”
Yang ditanya menggeleng kepada. “Mereka
itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan
tetapi hubungan di anta-ra mereka cukup
baik. Kau tahu, murid kami Hong Bu itu
memang hebat sekali. Dia bahkan sudah
berhasil, atau hampir berhasil melatih ilmu
yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek,
ilmu yang amat sukar dan mujijat itu....“
“Koai-liong Kiam-sut?”
Yang ditanya mengangguk dan sejenak
mereka diam.
“Sam-susiok “
“Ya....?”
“Bagaimana dengan kau sendiri?”
“Aku mengapa?”
Choirul, maret 2008 290
“Maksudku.... eh, apakah engkau juga
seperti Ji-susiok yang merasa ngeri
menghadapi pernikahan dan menganggap
tidak ada wanita yang patut menjadi.... eh,
jodohmu?”
Pertanyaan itu membuat wajah pen-dekar
tinggi besar itu menjadi merah. “Aku.... eh,
aku tidak pernah.... aku be-lum memikirkan
soal jodoh....“ jawabnya gagap. Pendekar
sakti yang menghadapi ancaman maut
apapun juga akan bersikap tenang ini,
menghadapi pertanyaan ten-tang jodoh itu
menjadi gugup. Sungguh hebat!
“Ah, Sam-susiok, kenapa?”
“Aku.... eh, kurasa belum waktunya bagiku
untuk memikirkan jodoh.
“Belum waktunya? Menurut dugaanku,
Sam-susiok tentu sudah berusia tidak
kurang dari tiga puluh tiga tahun
se-karang....”
“Sudah tiga puluh lima.”
“Nah, kenapa masih belum waktunya?
Apakah engkau tidak hendak menikah kalau
sudah berusia setengah abad?”
“Ha, bukan begitu, Yu Hwi, akan tetapi....
selama ini memang belum ada seorang
gadis yang cocok untukku.... dan
sekarang.... setelah ada yang cocok,
hemm.... aku mungkin sudah terlalu tua
untuknya.”
Yu Hwi adalah seorang dara yang sudah
matang, maka tentu saja dia dapat
menduga ke mana tujuan percakapan itu
dan siapa yang dikatakannya tidak cocok
itu. Dengan sikap tidak tahu dan manja dia
bertanya. “Siapakah dara itu, Susiok?
Mengapa mengatakan terlalu tua! Aihh,
coba dengar ini kakek-kakek yang berusia
seabad mengeluh....“ Dia menggoda.
Kang Bu tidak pandai bicara, akan tetapi
sekali ini dia bercakap-cakap sam-pai
sedemikian banyaknya dengan Yu Hwi,
sungguh membuat dia sendiri merasa
terheran. Mendengar godaan itu dia
ter-senyum, akan tetapi segera memandang
tajam kepada Yu Hwi dan memegang
tangan dara itu.
Sekali ini Yu Hwi terkejut, tidak dibuat-buat
karena tak disangka-sang-kanya bahwa
pemuda itu akan memegang tangannya dan
dia merasa betapa jari-jari tangan yang
amat kuat itu meng-genggam tangannya
dan ada terasa ge-taran olehnya, getaran
hangat dan mesra yang membuat
jantungnya berdebar tidak karuan.
“Yu Hwi, katakanlah, engkau pun seorang
dara yang usianya sudah cukup dewasa,
kenapa sampai sekarang engkau belum
juga menikah?”
“Aku.... aku sudah ditunangkan dengan
orang, Susiok!”
“Ah....!” Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali
tangannya seolah-olah dia telah memegang
bara api, wajahnya pucat dan matanya
terbelalak memandang kepada wajah dara
itu. “Maafkan aku.... ah, ma-fkan aku....“
katanya gagap. “Sungguh aku lancang....
nah, habislah harapan Cu Kang Bu!”
“Susiok, aku.... aku ditunangkan di luar
kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan
karena itulah aku pergi minggat dari rumah
Kakekku, tidak mau kembali lagi ke sana.
Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan
orang bukan pilihanku sendiri.
“Aku telah membebaskan diri, yang
me-nyatakan pertunangan itu adalah orangorang
tua, sedangkan aku tidak merasa
terikat jodoh dengan siapapun juga!”
Kata-kata yang tegas ini seolah-olah
mengembalikan darah ke muka Kang Bu.
Dia memandang dengan sinar mata
men-corong, kemudian dia memegang lagi
tangan Yu Hwi, harapannya pulih kem-bali.
“Benarkah itu, Yu Hwi?”
Choirul, maret 2008 291
“Aku bersumpah bahwa apa yang
ku-katakan itu setulusnya dari hatiku,
Su-siok.”
“Kalau begitu biarlah aku berterus terang.
Aku.... aku telah menemukan wanita yang
cocok dengan hatiku itu, Yu Hwi, dan wanita
itu adalah engkau. Aku cinta padamu!”
Bukan main bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia
balas memegang tangan pemuda itu dan
memandang dengan wajah berseri, dan
senyum malu-malu. Dari pandangan
matanya saja, sudah jelas terlukislah bahwa
dia menerima cinta kasih pemuda itu dan
bahwa pemuda itu tidak bertepuk tangan
sebelah.
“Yu Hwiii....!” Tiba-tiba terdengar suara
panggilan, subonya. Yu Hwi ter-kejut dan
melepaskan tangannya.
“Sam-susiok, Subo memanggilku. Sam-pai
jumpa nanti.... ah, aku bahagia sekali,
Susiok!” Dan dara itu lalu meloncat dan
berlari-lari meninggalkan Kang Bu menu-ju
ke pondok subonya, diikuti pandangan
Kang Bu yang tersenyum dengan hati
penuh kebahagiaan.
Ketika ia duduk berhadapan dengan
subonya, Yu Hwi dapat menduga bahwa
tentu telah terjadi sesuatu karena sikap
subonya tidak seperti biasa. Subonya
kelihatan berwajah muram, bahkan seper-ti
orang marah ketika memandang wa-jahnya.
“Yu Hwi, engkau jangan main-main dengan
keluarga Lembah Suling Emas.” begitu dia
berhadapan dengan Subonya, dia
mendengar kata-kata yang aneh-aneh dan
mengejutkan ini.
“Subo, apa maksud Subo dengan kata-kata
itu?” tanyanya sambil memandang wajah
gurunya dengan heran dan penuh selidik.
Sepasang mata subonya yang biasanya jeli
dan cemerlang itu kini nampak agak muram
dan terbayang ke-marahan.
“Engkau saling mencinta dengan Kang Bu,
bukan?”
Yu Hwi tidak merasa terkejut karena dia
tahu bahwa subonya adalah seorang yang
berkepandaian tinggi, maka tentu sudah
dapat menduga tentang hubungan-nya
yang mesra dengan Kang Bu. Maka dia
tidak mau banyak menyangkal, me-lainkan
mengangguk.
“Hemm, apakah engkau akan meng-ulangi
pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh
cinta, kemudian menjadi isteri Kang Bu,
berarti menjadi keluarga Lem-bah Suling
Emas dan hidup terkurung di situ, seperti
seekor burung dalam sang-kar, tidak boleh
keluar, tidak boleh berhubungan dengan
dunia luar sampai eng-kau tua dan mati di
situ!”
“Eh, Subo! Apa artinya ini? Teecu tidak
mengerti....”
“Tidak ingatkah engkau kepada apa yang
kualami di lembah itu? Aku men-jadi isteri
mendiang Cu San Bu, kakak tertua mereka,
dan aku hidup seperti boneka di dalam
lembah itu, tidak per-nah keluar, dan tidak
diperbolehkan ber-hubungan dengan dunia
luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan?
Maka ketika da-tang tamu yang menarik
dan amat ra-mah, aku mudah tertarik, salah
siapa? Dan kau ingat lagi Ibunya Pek In!
Mana mungkin dia dapat tahan hidup
seperti burung dalam sangkar? Keluarga Cu
itu adalah keluarga iblis! Mereka mau hidup
enak sendiri, mau merahasiakan tempat
mereka dan segala sesuatu yang
berhu-bungan dengan keluarga mereka.
Mereka menganggap keluarga mereka
sebagai keluarga langit, tidak boleh dikotori
dengan hubungan bersama manusia lain di
luar lembah. Dan engkau mau membiar-kan
dirimu tersesat ke dalam neraka itu?”
“Ahhh....!” Yu Hwi benar-benar ter-kejut
bukan main mendengar ini.
“Aku sebagai Gurumu, aku sayang
kepadamu, maka kuperingatkan engkau
Choirul, maret 2008 292
tentang hal ini, karena aku akan pergi
meninggalkan tempat ini.”
“Subo mau pergi....?”
“Benar, sekarang juga. Karena itulah kau
kupanggil, bukan hanya untuk
mem-peringatkanmu tentang hal tadi, akan
tetapi juga untuk memberi tahu bahwa hari
ini kita saling berpisah. Engkau harus tidak
mengecewakan aku. Kauwa-kililah aku,
temui See-thian Coa-ong dan kaukalahkan
muridnya agar hatiku puas.”
“Baik, Subo. Akan tetapi, Subo sendiri....
hendak pergi ke manakah?”
Wanita itu menoleh dan memandang keluar
pondok, ke arah puncak yang jauh.
“Entahlah, aku hendak pergi menurutkan
kata hatiku. Aku sudah tidak tinggal dalam
Lembah Suling Emas, maka aku bebas
pergi ke manapun juga. Dan aku mungkin
tidak akan kembali lagi ke tem-pat ini untuk
selamanya.”
“Tapi.... tapi ke mana Subo pergi? Agar
teecu dapat tahu dan dapat menyu-sul
kelak.”
“Mau apa kau menyusulku? Engkau
kembalilah ke tempat asalmu, ke dunia
ramai di timur. Aku akan merantau di
pegunungan ini, Pegunungan Himalaya
yang maha luas....”
“Subo akan pergi mencari Bu-taihiap?”
Tiba-tlba wanita itu bergerak dan tahu-tahu
lengan tangan Yu Hwi sudah
dicengkeramnya, “Bagaimana kau tahu?”
Yu Hwi tidak kaget dan juga tidak takut,
melainkan tersenyum. “Subo demi-kian
dekat dengan teecu, sudah seperti Ibu
sendiri atau kakak sendiri. Subo per-nah
bercerita tentang Bu-taihiap, dan teecu tahu
bahwa Subo masih mencinta-nya. Maka
begitu Subo mengatakan hen-dak merantau
ke Pegunungan Himalaya, siapa lagi yang
Subo cari kecuali Bu-taihiap?”
Wanita itu mengangguk lesu, “Engkau
memang cerdik sekali, muridku. Akan
tetapi.... aku berhak menikmati hidupku,
berhak meraih cintaku....“
“Demikian pula teecu, Subo.”
“Aku tahu, akan tetapi engkau akan
sengsara kalau menjadi keluarga di
Lem-bah Suling Emas.... tapi kau cerdik,
eng-kau lebih cerdik daripada aku, semoga
saja kau berhasil mengatasi hal itu. Nah,
kau berangkatlah mencari See-thian Coaong,
muridku, aku pun akan pergi seka-rang
juga.”
Dua orang wanita itu sejenak saling
berpandangan, kemudian mereka saling
rangkul untuk beberapa lamanya. “Hati-
-hatilah engkau, muridku.” kata Cui-beng
Sian-li Tang Cun Ciu lirih dan mereka lalu
saling melepaskan rangkulan dan
berpisahlah mereka.
“Akan tetapi janji itu masih kurang beberapa
hari lagi, Subo.” Yu Hwi ber-kata ketika
mereka akan berpisah.
“Memang, kurang sebulan lagi. Nah, aku
pergi dulu, selamat tinggal, Yu Hwi.”
“Selamat jalan, Subo, harap Subo jaga baikbaik
diri Subo.” kata dara itu de-ngan hati
terharu. Memang, subonya ber-hak
menikmati hidupnya, berhak meraih
cintanya. Akan tetapi, pria yang dicinta oleh
subonya itu sudah beristeri! Diam-diam dia
merasa kasihan sekali kepada wanita yang
menjadi gurunya itu.
Setelah tiba waktunya, kurang lebih sebulan
kemudian, berangkatlah Yu Hwi mencari
See-thian Coa-ong di tempat pertapaan
kakek itu. Dia berangkat dengan hati besar
karena selain dia per-caya kepada diri
sendiri dan merasa yakin akan dapat
mengalahkan murid Raja Ular itu, juga dia
merasa tenang karena dia tahu bahwa
diam-diam ke-kasihnya atau juga paman
gurunya, Cu Kang Bu, diam-diam
Choirul, maret 2008 293
membayanginya dari jauh seperti yang telah
dijanjikan oleh pendekar sakti itu. Kang Bu
tidak mau datang berterang membantu Yu
Hwi karena hal ini amat merendahkan nama
keluarga Lembah Suling Emas yang
ter-kenal, maka dia hendak melindungi
ke-kasihnya secara diam-diam saja.
Akan tetapi betapa kecewa hati Yu Hwi
ketika dia tiba di tempat pertapaan kakek
itu, seperti yang diberitahukan subonya, dia
hanya mendapatkan kakek itu seorang saja!
See-thian Coa-ong bangkit berdiri,
menyambut kedatangannya dan kakek ini
berkata ramah,
“Jadi engkau adalah murid Cui-beng Sian-li,
Nona? Memang hari ini adalah hari
perjanjian antara Gurumu dan aku untuk
saling menguji kepandaian murid masingmasing,
untuk menentukan siapa di antara
kami yang lebih becus mengajar murid.
Akan tetapi sayang, muridku itu telah pergi
setahun yang lalu. Ah, dia masih kanakkanak,
tidak dapat bertahan menanti
sampai lima tahun, Nona, dan dia telah
pergi....” Kakek itu menarik napas panjang.
“Oleh karena itu, biarlah aku tua bangka
yang tiada gunanya ini sekarang mengaku
kalah kepada Subomu, Cui-beng Sian-li
karena aku tidak dapat memenuhi janji.”
Yu Hwi mengerutkan alisnya, hatinya
kecewa dan dia merasa penasaran sekali.
Dia tahu bahwa gurunya memang suka
kepadanya dan suka pula mengajarkan
ilmu-ilmu silat kepadanya, akan tetapi di
samping itu, gurunya mengajarnya selama
lima tahun juga dengan maksud agar dia
dapat mengalahkan murid kakek ini. Dan
sekarang, harapan dari subonya itu
dikesampingkan begitu saja, dengan
sedemikian mudahnya seolah-olah janji itu
hanya main-main belaka. Bagaimana dia
akan menjawab kalau subonya kelak
bertemu dengan dia dan bertanya tentang
pertandingan itu? Lalu apa buktinya
ter-hadap subonya yang telah dengan
susah payah melatihnya selama lima tahun
itu?
“See-thian Coa-ong, mana mungkin engkau
membatalkan janji selama lima tahun
dengan demikian mudahnya? Kalau
memang muridmu itu takut menghadapi
aku, mengapa engkau membuat janji li-ma
tahun yang lalu? Kalau begitu, biarlah
engkau saja mewakili muridmu dan aku
mewakili Guruku! Pertandingan lima ta-hun
yang lalu kita lanjutkan sekarang.
“Ah, jangan begitu, Nona. Mana mungkin
aku yang tua bangka ini mela-wan engkau
yang masih muda? Lawanmu adalah
muridku, dan karena muridku kini tidak
ada....“
“Maka engkau yang menjadi wakilnya, Seethian
Coa-ong. Majulah!” Yu Hwi
menantang.
Kakek itu menggeleng kepala. “Aku sudah
tua....”
“Kalau begitu kau berlututlah meng-hadap
ke barat dan mengaku kepada Subo bahwa
engkau kalah olehnya!” kata Yu Hwi.
Kakek itu tersenyum. “Eh, mana mungkin
ini? Aku mengaku kalah cara mengajar
murid, bukan kalah bertanding.”
“Kalau begitu sambutlah ini. Haiittt....!” Yu
Hwi mengeluarkan suara me-lengking
sebelum menyerang, kemudian dia
menerjang maju mengirim serangan kepada
kakek itu!
“Ehh....!” See-thian Coa-ong cepat
mengelak sehingga serangan pertama itu
luput akan tetapi Yu Hwi sudah
mener-jangnya lagi kalang-kabut sehingga
kakek itu harus cepat mengelak dan
menangkis karena serangan-serangan yang
dilakukan oleh gadis itu sama sekali tidak
boleh dipandang ringan. Kepandaian Yu
Hwi pada waktu itu telah mencapai tingkat
tinggi sekali sehingga tidak sembarang
orang akan mampu bertahan terhadap
Choirul, maret 2008 294
serangan-serangan yang dilakukan untuk
memaksakan kemenangan ini. Akan te-tapi
See-thian Coa-ong adalah seorang pertapa
sakti yang tingkat kepandaiannya seimbang
dengan tingkat Cui-beng Sian-li, maka tentu
saja dia mampu melin-dungi dirinya dari
serangkaian serangan yang dilakukan oleh
Yu Hwi. Akan tetapi karena kakek ini sama
sekali tidak per-nah membalas seranganserangan
itu, dan hanya bertahan saja,
maka sudah tentu dia segera terdesak
hebat dan berloncat-an mundur sambil
beberapa kali menang-kis.
Pada saat itu, nampak sesosok tubuh
ramping berlari-lari mendatangi dari jauh
menuju ke tempat itu dan setelah dekat,
terdengar suara orang yang datang ini
berseru keras. “Siapa berani menghina
Suhu?”
Yang datang itu bukan lain adalah Ci Sian!
Seperti kita ketahui, Ci Sian dito-long oleh
Pendekar Suling Emas Kam Hong,
kemudian ketika mereka saling
menceritakan pengalaman, Ci Sian
ber-cerita kepada pendekar itu tentang diri
Yu Hwi, calon isteri yang dicari-cari oleh
pendekar itu. Mendengar ini, Kam Hong
menjadi girang sekali dan dia min-ta kepada
Ci Sian untuk mengantarkan dia menemui
Yu Hwi di kaki Bukit Lem-bah Suling Emas.
Selain ingin bertemu dengan Yu Hwi, juga
Kam Hong tertarik sekali mendengar
tentang lembah yang bernama Lembah
Suling Emas itu dan ingin menyelidikinya.
Di sepanjang perjalanan, mulailah Kam
Hong memberi petunjuk-petunjuk kepada Ci
Sian dalam ilmu silat, teruta-ma sekali untuk
memberi dasar kepada dara ini agar dapat
menerima ilmu-ilmu yang mereka dapatkan
bersama dari catatan di tubuh kakek kuno!
Bahkan Kam Hong mulai melatih Ci Sian
cara memainkan suling, dan untuk
memudahkan latihan, Kam Hong
membuatkan sebuah suling bambu gading
untuk dara itu.
Karena tempat pertapaan See-thian Coaong
berada di antara perjalanan me-nuju ke
Lembah Suling Emas, maka Ci Sian
mengajak Kam Hong untuk singgah di
tempat pertapaan kakek itu karena dia
hendak menjenguknya. Ketika dari jauh dia
melihat suhunya sedang diserang oleh
seorang wanita, dan suhunya itu hanya
mengelak dan menangkis tanpa membalas,
Ci Sian terkejut dan marah sekali, maka
berlarilah dia secepatnya ke tempat itu
meninggalkan Kam Hong sambil berteriakteriak
marah.
Mendengar teriakan itu, Yu Hwi me-loncat
ke belakang dan See-thian Coa-ong
berseru girang sekali, “Ci Sian....!”
Sementara itu, Ci Sian sudah mengenal Yu
Hwi dan dia berkata, “Hemm, kiranya
engkau yang menyerang Suhu? Suhu,
mengapa dia menyerang Suhu?”
“Ci Sian, lupakah kau? Hari ini ada-lah hari
perjanjian antara Gurumu dan Gurunya.
Syukur engkau datang....”
“Ah, kiranya begitu? Bagus, aku sudah
datang. Engkau Yu Hwi murid Ciu-beng
Sian-li, bukan? Hayo, akulah lawanmu,
jangan menghina orang tua!”
Yu Hwi tersenyum mengejek, meman-dang
kepada dara yang cantik itu, cantik dan
muda, kelihatan masih hijau maka tentu
saja dia tidak gentar. “Bagus, me-mang
engkau yang kucari untuk menen-tukan
guru siapa yang lebih pandai. Aku
menyerang Gurumu sebagai penggantimu,
gara-gara engkau ketakutan dan melari-kan
diri setahun yang lalu!”
“Apa? Aku melarikan diri? Aihhh, engkaulah
manusia yang paling sombong di dunia ini,
yang paling tak tahu diri, kejam dan
angkuh!” Ci Sian teringat betapa wanita ini
telah meninggalkan Kam Hong dan menyianyiakan
kesetiaan Kam Hong, membuat
pendekar itu se-lama bertahun-tahun
menderita.
Yu Hwi terbelalak, tidak mengerti mengapa
dara remaja itu agaknya amat marah dan
Choirul, maret 2008 295
benci kepadanya! “Hemm, tidak perlu
banyak mulut, kalau memang ada
kepandaian, kau majulah!” tantang-nya.
“Baik, baik! Aku akan melawanmu sampai
selaksa jurus!” bentak Ci Sian dan dua
orang wanita yang sama-sama cantik manis
itu sudah saling terjang, entah siapa yang
lebih dulu menyerang karena keduanya
sudah sama-sama me-nyerang! Tentu saja
mereka berdua juga terkejut dan kini
mereka keduanya me-ngelak. Terjadilah kini
pertempuran yang amat seru dan hebat,
jauh bedanya dengan tadi ketika Yu Hwi
menyerang See-thian Coa-ong karena
kakek itu sama sekali tidak membalas. Kini
kedua orang muda itu saling serang dengan
dahsyatnya! See-thian Coa-ong sudah
duduk ber-sila dengan wajah berseri dan
mata ber-sinar-sinar. Kakek ini memang
mempu-nyai semacam penyakit, yaitu suka
sekali nonton orang bertanding silat dan
suka pula bertanding sendiri mengadu
kepan-daian, bukan bertanding didasari
marah atau benci, melainkan semata-mata
suka bersilat dan bertanding silat, seperti
ber-tanding olah raga, lupa bahwa
bertanding silat sama sekali tidak dapat
disamakan dengan pertandingan olah raga
atau catur umpamanya karena dalam Ilmu
silat ter-dapat ancaman-ancaman maut
yang me-ngerikan. Sedikit pun tidak ada
sikap berat sebelah atau ingin membantu
murid-nya dalam hati Coa-ong,
sungguhpun, seperti seorang botoh adu
jago, dia ingin melihat muridnya menang.
Baginya, kalah menang, luka atau mati
sekalipun dalam adu ilmu silat, bukan apaapa
dan bukan hal yang dapat dibuat
sesalan!
”Pertandingan silat itu sungguh hebat bukan
main. Setelah menerima petunjuk-petunjuk
dari kekasihnya, yaitu Cu Kang Bu, Ilmu
kepandaian Yu Hwi meningkat hebat. Dia
bersilat dengan ilmu silat yang dipelajarinya
dari subonya, yang memang sengaja
dilatihnya dengan tekun untuk menghadapi
murid See-thian Coa-ong, yaitu Ilmu Silat
Pat-hong-sin-kun. Di samping mainkan ilmu
silat yang ba-nyak ragamnya, yang
kedudukan kakinya mengatur kedudukan
Pat-kwa ini, Yu Hwi juga mempergunakan
tenaga sin-kang un-tuk melancarkan
pukulan dari Ilmu Kiam-to Sin-Ciang
sehingga kedua tangannya itu seolah-olah
berubah menjadi pedang dan golok!
Hebatnya ilmu ini bukan kepalang!
Akan tetapi lawannya, Ci Sian, biar pun
masih muda, akan tetapi memang sudah
memiliki ilmu kepandaian yang hebat pula.
Tidak percuma See-thian Coa-ong
menggemblengnya selama empat tahun
dan menurunkan Ilmu Sin-coa Thian-teciang
(Ilmu Silat Bumi Langit Ular Sakti)
yang hebat. Ilmu ini adalah ciptaan Seethian
Coa-ong sendiri, di-gabung dari Ilmu
Silat Thian-te-kun dengan gerakan-gerakan
binatang ular yang lincah! Karena dia
sendiri merupakan seorang pawang ular
yang sudah dijuluki Raja Ular, tentu saja dia
menge-nal baik gerakan-gerakan ular dan
dia mengambil bagian-bagian yang amat
lin-cah dari gerakan-gerakan ular yang
bertarung dan menciptakan gerakangerakan
ini menjadi ilmu silat digabungkan
de-ngan Ilmu Silat Thian-te-kun.
Maka kini setelah Ci Sian mainkan Ilmu
Silat Sin-coa Thian-te ciang, gerakangerakannya
amat aneh, lincah dan tidak
menduga-duga sehingga Yu Hwi sendiri
sampai menjadi kaget dan kagum. Akan
tetapi, andaikata dara remaja ini tidak
menerima petunjuk-petunjuk dari Kam
Hong, tentu dia akan kalah meng-hadapi
ilmu silat Yu Hwi yang lebih matang.
Baiknya, latihan-latihan yang diberikan Kam
Hong baru-baru ini telah membangkitkan
sin-kang yang luar biasa dalam diri Ci Sian
sehingga dia mampu mengimbangi
pukulan-pukulan Kiam-to Sin-ciang dari
lawan yang amat berbaha-ya itu. Maka
terkejut dan kagumlah Yu Hwi ketika
sambaran angin pukulan Kiam-to Sin-ciang
darinya dapat terpen-tal kembali oleh hawa
yang keluar dari kedua tangan dara remaja
itu ketika menangkisnya.
Bukan main serunya pertandingan antara
dua orang gadis itu, sehingga Kam Hong
Choirul, maret 2008 296
sendiri yang nonton dari jauh merasa
kagum. Tak disangkanya bahwa Yu Hwi,
tunangannya yang bertahun-tahun tak
pernah di jumpainya itu, kini telah menjadi
seorang wanita yang matang dan semakin
cantik bahkan telah memiliki kepandaian
yang tinggi. Akan tetapi dia juga kagum
melihat Ci Sian, kagum dan bangga bahwa
dara remaja itu ternyata mampu
menghadapi Yu Hwi yang demikian lihainya!
Dia me-lihat bakat yang amat baik pada diri
Ci Sian dan mengambil keputusan untuk
me-nurunkan Ilmu-ilmu yang mereka dapat
dari tubuh jenazah kuno itu, karena Ci Sian
juga berjasa dalam menemukan ra-hasia
ilmu-ilmu itu.
Juga See-thian Coa-ong kegirangan bukan
main menyaksikan pertandingan se-ru itu.
Dia menggerak-gerakkan kedua
ta-ngannya, seperti seorang anak kecil yang
nonton adu jago atau adu jangkerik dan
tidak dapat menahan emosinya, ikut
menjotos jika melihat muridnya menye-rang
dan ikut mengelak kalau melihat ada
pukulan menyambar ke arah murid-nya.
Sungguh menggelikan dan lucu sekali
tingkah kakek yang gila tontonan adu silat
ini!
Hanya seorang yang menonton
pertan-dingan itu dengan alis berkerut dan
hati gelisah. Orang ini bukan lain adalah Cu
Kang Bu! Dia adalah seorang pendekar
sakti dan tentu saja dengan mudah dia
dapat mengikuti jalannya pertandingan dan
maklum bahwa kekasihnya tidak kalah oleh
lawannya. Akan tetapi dia melihat pula
bahwa tidak mudahlah bagi kekasihnya
untuk mengalahkan lawan, karena dara
remaja itu memang lihai sekali, terutama
memiliki dasar gin-kang dan sin-kang yang
aneh dan kuat. Sebagai seorang yang
sedang jatuh cinta dan tergila-gila, tentu
saja dia merasa amat khawatir kalau-kalau
kekasihnya itu terlu-ka. Membayangkan Yu
Hwi terluka menda-tangkan rasa ngeri
dalam hatinya, maka diam-diam dia lalu
mengerahkan khi--kangnya dan bibirnya
bergerak-gerak sedikit. Biarpun tidak ada
suara yang keluar, namun nampaklah
perobahan pada pertempuran itu!
Yu Hwi terkejut ketika tiba-tiba dia
mendengarkan bisikan-bisikan di dekat
te-linganya. Dia tidak tahu suara siapa itu,
karena hanya terdengar lirih berbisik-bisik
seperti suara angin bermain pada daundaun
pohon, namun jelas sekali tertangkap
olehnya dan ketika dia men-dengar bahwa
bisikan-bisikan itu merupa-kan petunjukpetunjuk
untuk gerakan-gerakannya
selanjutnya, giranglah hatinya karena dia
dapat menduga bahwa siapa lagi kalau
bukan Kang Bu yang memberi petunjuk
kepadanya? Maka dia lalu ber-gerak
mengikuti petunjuk ini dan dalam beberapa
jurus saja dia telah berhasil menampar
pundak Ci Sian sehingga dara remaja ini
terpelanting. Memang tidak tepat benar
kenanya, akan tetapi se-tidaknya dia telah
mampu mengenai tubuh lawan, maka dia
mendesak lagi dengan penuh semangat
sambil mentaati bisikan-bisikan yang
memberi petunjuk itu!
Melihat ini, See-thian Coa-ong terke-jut dan
mengeluh, akan tetapi tiba-tiba dia merasa
girang ketika dalam keadaan terdesak dan
terhuyung, tiba-tiba saja kaki Ci Sian
bergerak sedemikian rupa dan ujung
sepatunya dapat mencium betis lawan,
membuat Yu Hwi juga terhuyung! Kiranya
dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba Ci
Sian mendengar suara bi-sikan yang amat
jelas, memberi petunjuk kepadanya dan dia
pun tahu bahwa suara itu tentu suara Kam
Hong, karena siapa-kah yang demikian
saktinya untuk mem-beri petunjuk
kepadanya? Suhunya tidak mungkin mau
melakukan hal itu karena suhunya itu
memang luar biasa “sportip-nya”, tidak mau
berlaku curang. Dan memang dugaannya
itu benar. Kam Hong amat khawatir
menyaksikan keadaannya, apalagi ketika
pendekar ini melihat se-orang pria muda
yang berdiri jauh di belakang Yu Hwi dan
dia cepat meng-heningkan cipta. Dia dapat
merasakan getaran-getaran kuat datang
dari pria itu, maka dia terkejut bukan main
kare-na maklumlah dia bahwa pria itu amat
Choirul, maret 2008 297
lihai dan sedang mengirimkan suara dari
jauh untuk membantu Yu Hwi! Maka, dia
pun cepat mengerahkan khi-kang untuk
membantu Ci Sian sehingga tanpa di-dugaduga
oleh Yu Hwi, Ci Sian yang kena
ditampar pundaknya itu mampu membalas
dan dapat menendang betis lawan.
Kini terjadi pertandingan yang sema-kin
hebat. Gerakan-gerakan mereka men-jadi
semakin aneh, akan tetapi setiap serangan
amat hebat dan ganas, menyim-pang dari
gerakan semula, akan tetapi hebatnya,
masing-masing lawan dapat saja
menghindarkan diri dan membalas pula
dengan serangan yang tidak kalah aneh
dan dahsyatnya! Kini See-thian Coa-ong
berhenti menggerak-gerakkan kedua
tangannya dan matanya terbelalak
memandang ke arah pertempuran itu.
Mulutnya ternganga karena dia melihat hal
yang luar biasa sekali, yang hampir tak
dapat dipercayanya. Dia seperti me-lihat
betapa dua orang wanita itu bero-bah
menjadi dua orang lain karena ki-ni
pertandingan itu berlangsung dengan
hebatnya, dengan gerakan-gerakan yang
amat aneh. Muridnya itu sama sekali tidak
lagi menggerakkan ilmu Sin-coa Thian-teciang
lagi! Dan gerakan lawan muridnya itu
pun amat anehnya!
Yu Hwi dan Ci Sian kini hanya ber-gerak
menurutkan petunjuk bisikan-bisik-an itu
saja, dan ternyata dengan menurut
petunjuk-petunjuk itu, mereka masingmasing
dapat selalu menghindarkan diri dari
serangan lawan yang amat dahsyat, maka
mereka lalu menurut secara membuta,
maklum bahwa mereka masing-masing
dituntun oleh petunjuk-petunjuk yang
dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat
jauh lebih tinggi daripada me-reka!
Cu Kang Bu merasa terkejut bukan main
menyaksikan kelihaian dara remaja itu.
Akan tetapi dia segera melihat Kam Hong
berdiri jauh di belakang Ci Sian dan
maklumlah dia bahwa ada orang pandai
yang melakukan hal yang sama dengan dia,
yaitu membantu dara remaja itu dengan
melalui Ilmu Coa-im-jip-bit (Mengirim Suara
Dari Jauh). Dia merasa penasaran dan
makin memperhebat petunjuknya, akan
tetapi betapa kagetnya ketika melihat
bahwa dara remaja itu selalu dapat
menghindarkan diri, bahkan membalas
dengan serangan-serangan yang tidak
kalah dahsyatnya! Juga Kam Hong menjadi
kagum dan maklum bahwa orang yang
membantu Yu Hwi itu benar-benar sakti dan
luar biasa sekali!
Tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring
sekali, menggetarkan seluruh tempat itu
dan membuat dua orang wa-nita yang
sedang bertanding itu terkejut dan meloncat
mundur. Tiba-tiba saja di situ sudah berdiri
Cu Han Bu yang tadi mengeluarkan
teriakan nyaring, sikapnya tenang, akan
tetapi suaranya mengandung penuh wibawa
ketika dia berkata. “Hen-tikan semua
pertandingan bodoh ini!”
Semua orang memandang kepada
pen-dekar ini, seorang pria berusia empat
puluh lima tahun, berpakaian sederhana,
bertubuh tegap dan sedang, rambutnya
sudah banyak putihnya dan rambut itu
digelung ke atas, tidak dikuncir seperti pada
umumnya di jaman itu. Inilah Cu Han Bu
yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar
Emas), tokoh pertama dari Lembah Suling
Emas, dan biarpun pakaian dan sikapnya
sederhana, namun sungguh dia berwibawa
sekali sehingga Kam Hong yang juga sudah
menghampiri tempat itu memandang
kagum. Dua orang itu, Cu Han Bu dan Cu
Kang Bu, benar-benar merupakan dua
orang pria yang hebat, dengan sinar mata
yang mencorong membayangkan tenaga
dalam yang amat hebat.
Sementara itu, See-thian Coa-ong juga
terkejut melihat munculnya dua orang lakilaki
gagah lain, yaitu Cu Kang Bu dan Kam
Hong. Cepat dia bangkit berdiri dan
menghampiri Cu Han Bu, memandang
penuh perhatian lalu menjura dengan
hormat.
Choirul, maret 2008 298
“Harap maafkan, kalau mataku yang sudah
lamur ini tidak salah lihat, apakah saya
berhadapan denga Kim-siauw San-kok-cu
(Majikan Lembah Gunung Suling Emas)
yang berjuluk dan bernama Kim-kong-sian
Cu Han Bu?”
Cu Han Bu memandang kepada kakek itu
dengan sikap dingin akan tetapi cu-kup
hormat. Dan membalas penghormatan
kakek itu dan berkata, suaranya cukup
ramah. “Harap See-thian Coa-ong tidak
terlalu sungkan. Saya memang Cu Han Bu
dan dia itu adik saya Cu Kang Bu.” Dia
menuding ke arah adiknya agaknya yang
ting-gi besar dan gagah perkasa itu.
“Aihh, Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga
Selaksa Kati)? Sungguh merupakan
peng-hormatan besar bagiku dapat
berjumpa dengan tokoh-tokoh besar
Lembah Suling Emas!” kata See-thian Coaong
dan Kang Bu membalas penghormatan
orang dengan sikap bersahaja. Mendengar
semua ini, Kam Hong menjadi semakin
kagum. Dua orang itu memang hebat,
pikirnya dan semakin tertariklah dia
mendengar bahwa mereka berdua itu
adalah majikan-majikan atau tokoh-tokoh
Lembah Suling Emas.
“Coa-ong, kami sudah mendengar akan
persaingan seperti kanak-kanak antara
engkau dan Toaso kami.”
“Wah, wah.... Cui-beng Sian-li me-mang
hebat dan bersemangat sekali, telah
membuat perlumbaan yang
menggembirakan, sayang dia tidak hadir....
kata kakek itu tersenyum.
“Dia sudah pergi dan tidak berada di daerah
lembah lagi, Coa-ong. Oleh kare-na itu,
habislah sudah semua perjanjian dan
perlumbaanmu dengan dia. Kami harap
agar engkau suka menghentikan
persaingan bodoh itu. Engkau dan Toaso
telah melakukan permainan berbahaya,
sehingga murid-murid diadu, bahkan
eng-kau telah minta bantuan orang pandai.
Perbuatanmu itu dapat membuahkan
permusuhan-permusuhan!” kata Cu Han Bu
dengan suara menegur dan dia menoleh
dan memandang ke arah Kam Hong yang
sejak tadi memandang kepada mereka dan
kepada Yu Hwi yang kini berdiri dekat sekali
dengan Kang Bu.
“Minta bantuan orang pandai? Ah, aku tidak
minta bantuan siapapun juga....!” See-thian
Coa-ong berseru dan kini dia pun
memandang kepada Kam Hong yang berdiri
dekat Ci Sian dengan heran. Me-lihat
betapa Ci Sian nampaknya akrab dengan
pemuda berpakaian sastrawan itu, dia
menegur, “Ci Sian, muridku, siapakah,
temanmu itu?”
Kini Kam Hong melangkah maju dan
dengan penuh hormat dia menjura kepa-da
See-thian Coa-ong dan kepada dua orang
pendekar sakti itu. Suaranya halus dan
tenang ketika dia berkata. “Harap Sam-wi
tidak salah mengerti. Sesungguh-ya saya
tidak hendak mencampuri urusan
Locianpwe ini, dan kedatangan saya di sini
adalah untuk urusan pribadi. Maafkan
saya!” Dia lalu melangkah maju dan ber-diri
menghadapi Yu Hwi, memandang dengan
tajam sampai beberapa lama. Yu Hwi
melangkah mudur dan tanpa disenga-ja
tangannya menyentuh tangan Kang Bu
yang menggenggam tangan itu.
“Moi-moi, kuharap dengan hormat dan
sangat agar engkau suka ikut bersama-ku.”
Kam Hong berkata dengan singkat saja
karena dia tidak ingin banyak bicara dengan
Yu Hwi di depan begitu banyak orang asing.
Wajah Yu Hwi sebentar pucat seben-tar
merah memandang kepada Kam Hong,
kemudian dia menoleh kepada Kang Bu,
memegang tangan yang besar itu makin
kuat dan dia memandang lagi kepada Kam
Hong, lalu berkata suaranya lirih namun
tegas, “Aku tidak mau pergi bersamamu!”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Tidak
mungkin dia bicara banyak di depan banyak
orang yang semua memandang kepadanya
dan kepada Yu Hwi itu, kare-na yang akan
Choirul, maret 2008 299
dibicarakan adalah urusan pribadi. Dia
merasa heran mengapa Yu Hwi tidak mau
mengerti akan hal ini dan mengapa gadis itu
masih bersikap begitu keras kepala seperti
seorang anak kecil saja.
“Dinda Yu Hwi, bertahun-tahun aku
mencarimu dan setelah kita bertemu,
mengapa kau bersikap begini? Aku hanya
ingin bicara denganmu, dan orang-orang
tua di rumah menanti-nanti.”
“Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau
bicara lagi tentang urusan kita!” Yu Hwi
berkata di dalam suaranya terkan-dung
isak.
“Hwi-moi....” Kam Hong hendak mem-bujuk.
Betapapun juga, baik perjodohan itu
dilanjutkan atau dibatalkan, mereka harus
dibicarakan dengan baik-baik di depan para
orang tua yang menjodohkan mereka.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dan
nyaring, besar dan kasar akan tetapi
mengandung keterbukaan. “Memaksa
se-seorang yang tidak mau apalagi kalau
yang dipaksa itu seorang wanita,
merupa-kan perbuatan rendah dan
pengecut!”
Kam Hong yang tadinya memandang
kepada Yu Hwi, perlahan-lahan
mengalih-kan pandangannya dan kini dia
meman-dang kepada wajah yang gagah
perkasa itu. Sejenak dua pasang mata yang
men-corong seperti mata naga-naga sakti
itu saling pandang, seolah-olah dua orang
pendekar sakti ini sudah saling serang
melalui sinar mata mereka dan keduanya
tidak ada yang mau tunduk, keduanya
memiliki kekuatan pandang mata yang luar
biasa. Kam Hong tersenyum tenang dan
suaranya juga halus ketika dia ber-kata,
“Mencampuri urusan pribadi orang lain
merupakan perbuatan yang lebih rendah
lagi selain tidak sopan sama se-kali.”
Kembali suasana hening menegangkan
setelah terdengar kata-kata yang sama
menusuknya ini. Kang Bu nampak ter-kejut
dan dia memandang kepada keka-sihnya
yang berdiri di dekatnya, lalu bertanya lirih,
“Yu Hwi, diakah orang-nya....?” Pertanyaan
Yang hanya dime-ngerti oleh mereka
berdua dan Yu Hwi mengangguk. Melihat
kenyataan, wajah Kang Bu menjadl merah
sekali dan tahulah dia bahwa dia yang
berada di fihak salah. Pria yang tampan dan
lembut berpakaian sastrawan ini kiranya
adalah tunangan Yu Hwi! Tentu saja, dia,
se-bagai orang luar, sama sekali tidak
ber-hak mencampuri pembicaraan atau
urusan antara dua orang tunangan! Kang
Bu adalah seorang gagah, maka kini dia
merasa terpukul dan tidak berani bicara
lagi, hanya memandang kepada Kam Hong
dengan sinar mata tak senang dan
mengepal tinjunya yang besar, tidak tahu
harus berkata apa atau bertindak apa!
Sejak tadi, Ci Sian memperhatikan
kesemuanya itu. Diam-diam dia merasa
kasihan sekali kepada Kam Hong dan
menyesalkan sikap Yu Hwi yang demikian
keras kepala. Apa sih hebatnya perempuan
ini sehingga berani bersikap demikian
angkuh terhadap Kam Hong? Menurut
penilaiannya, Yu Hwi belum pantas menjadi
calon isteri Kam Hong, sama sekali belum
pantas! Lalu dia melihat sikap Kang Bu,
melihat betapa Kang Bu dan Yu Hwi saling
berpegang tangan dan mengertilah dara ini.
Hatinya terasa panas sekali dan tiba-tiba
dia terkekeh.
Suara ketawa yang halus nyaring ini tentu
saja seperti halilintar memecah kesunyian
yang menegangkan itu sehingga semua
orang memandang kepadanya. Ci Sian
berjebi, bibirnya yang kecil mungil dan
merah itu meruncing dan dia me-mandang
kepada Yu Hwi dan Kang Bu, lalu berkata
dengan suara mengejek se-kali. “Laki-laki
yang merebut calon isteri orang dan
perempuan yang sudah ber-tunangan
masih bergandeng tangan de-ngan laki-laki
lain, sungguh merupakan pasangan yang
setimpal sekali!”
Bukan main hebatnya ejekan ini yang
ditujukan kepada Kang Bu dan Yu Hwi.
Choirul, maret 2008 300
Wajah Yu Hwi sampai menjadi pucat dan
wajah Kang Bu menjadi merah bukan main
dan tangan mereka yang saling
bergan-dengan itu tiba-tiba terlepas.
“Ci Sian....!” Kam Hong menegur karena dia
merasa betapa ejekan itu melampaui batas,
terlalu kasar dan me-nusuk perasaan
walaupun dia mengerti bahwa dara itu
melakukan ejekan karena kasihan
kepadanya dan marah kepada Yu Hwi dan
pria gagah perkasa itu.
“See-thian Coa-ong....” terdengar suara
Kang Bu dalam dan berat, meng-getar dan
membuat jantung yang men-dengarnya ikut
tergetar, “Kalau engkau tidak mampu
menghajar mulut muridmu, biarlah aku yang
akan menghajarnya. Dia menghina orang
keterlaluan!” Dan tiba--tiba saja tangannya
bergerak ke depan, dan dia sudah
menampar ke arah Ci Sian! Betapa pun Ci
Sian memiliki, ge-rakan cepat, namun dia
sama sekali ti-dak mampu mengelak lagi
dan hanya terbelalak. Pada saat itu, Seethian
Coa-ong meloncat dan menangkis.
“Desss....!” Tubuh kakek itu terban-ting
keras ke atas tanah sampai ber-gulingan!
“Hemm, engkau malah melindungi
mu-ridmu yang kurang ajar itu?” kata pula
Kang Bu dan kembali dia hendak
menye-rang Ci Sian, kini bahkan meloncat
ke depan.
Akan tetapi tahu-tahu di depannya sudah
berdiri Kam Hong. Kang Bu senga-ja tidak
mempedulikan orang ini dan tangan kirinya
menampar ke arah Ci Sian yang lari
berlindung ke belakang Kam Hong. Kam
Hong berkata, “Sabar-lah, Sobat!” Dan dia
pun menangkis.
“Dukkk!” Dua lengan beradu dan aki-batnya
keduanya bergetar, akan tetapi tubuh Kam
Hong sama sekali tidak ter-guncang dan dia
memandang dengan sinar mata dingin.
“Hemm, tadi pun engkau sudah
meng-ajakku main-main, apakah artinya ini?
Dara remaja itu tidak salah karena apa yang
dikatakan itu adalah kenyataan be-laka.
Apakah benar-benar engkau hendak
mencampuri urusan antara dua orang yang
sejak kecil sudah dijodohkan untuk menjadi
calon suami isteri?” kata Kam Hong sambil
memandang tajam.
Kang Bu merasa serba salah. Akan tetapi
dia adalah seorang yang jujur, tidak mau
berpura-pura karena sopan santun, dan dia
suka bertindak atau me-ngucapkan apa
yang terkandung di dalam hatinya. “Engkau
tentu yang bernama Kam Hong, tunangan
Yu Hwi, bukan? Nah, terus terang saja, aku
sudah men-dengar tentang engkau dan
ketahuilah bahwa Yu Hwi tidak suka
menjadi tunanganmu, dan kami berdua
saling mencinta. Aku akan melindunginya,
kalau perlu mempertaruhkan nyawaku
untuk itu!”
“Hemm, caramu kasar sekali, sobat!” Kam
Hong mencela.
“Tidak peduli, aku sudah bicara terus
terang! Kalau engkau hendak memaksa dia,
nah, biarlah kita memperebutkan dia melalui
kepalan atau ujung senjata. Kita adalah lakilaki,
tidak perlu kiranya ba-nyak bicara!”
Setelah berkata demikian, Kang Bu
memasang kuda-kuda dan siap untuk
berkelahi. Tubuh Cu Kang Bu me-mang
tinggi besar dan kokoh kuat, dan kini dia
berdiri dengan tubuh tegak, ke-dua kaki
dipentang lebar, kedua tangan tergantung di
kanan kiri tubuhnya, agak ditekuk sikunya
dan nampak jari-jari ta-ngannya menggetar,
tanda bahwa tenaga sin-kang dari dalam
pusarnya telah meng-alir ke seluruh tuhuh,
siap untuk diper-gunakan menghadapi
lawan! Wajahnya membayangkan
kemarahan dan kejujuran, kasar namun
terbuka sesuai dengan wataknya.
Sebaliknya, Kam Hong sejak kecil telah
terdidik dengan budi pekerti dan sopan
santun, juga dia telah mendalami kitab-kitab
Su-si Ngo-keng, juga pelajar-an-pelajaran
Choirul, maret 2008 301
tentang kebatinan dan ke-susastraan. Maka
sikap Cu Kang Bu itu terasa amat kasar dan
tidak sopan. bagi-nya, sungguhpun sebagai
seorang yang berjiwa pendekar dia amat
menghargai kejujuran orang itu.
Melihat betapa kekasihnya itu telah
memasang kuda-kuda dan menantang Kam
Hong berkelahi, hati Yu Hwi merasa
khawatir juga. Memang dia tidak mau
dijodohkan dengan Kam Hong, akan tetapi
hal ini bukan karena dia membenci Kam
Hong, melainkan karena kekecewaannya.
Dahulu dia tergila-gila kepada Si-luman
Kecil yang dalam hal ilmu kepan-daian jauh
lebih tinggi daripada tingkat Siauw Hong
atau Kam Hong, maka ke-nyataan bahwa
dia dijodohkan dengan pemuda ini
sedangkan dia jatuh cinta kepada Siluman
Kecil amat mengecewa-kan hatinya.
Andaikata dia dulu tidak jatuh cinta lebih
dulu kepada Siluman Kecil yang
dikaguminya, belum tentu dia akan menolak
perjodohan yang ditentukan oleh orangorang
tua itu. Dan kini, dia telah melakukan
pilihan hatinya lagi, yaitu kepada Cu Kang
Bu, pria yang di-anggapnya amat gagah
perkasa. Maka melihat betapa Kang Bu
menantang Kam Hong, dia merasa khawatir
dan dia tidak menghendaki Kang Bu
bertempur me-lawan Kam Hong, yang
bagaimanapun juga tidak mempunyai
kesalahan apa-apa kepadanya. Wajarlah
kalau Kam Hong yang ditunangkan dengan
dia kini datang mencarinya dan
mengajaknya pulang.
“Sam-susiok....!” Dia berteriak sambil
mendekati Kang Bu dan menyentuh
le-ngannya. “Jangan berkelahi....!”
Mendengar ini, Kam Hong menjadi
terheran-heran. “Hemm, Susioknya, ya?”
katanya dengan suara dingin karena
di-anggapnya amat aneh dan janggal kalau
kini tunangannya itu jatuh cinta dengan
susioknya sendiri. Bagi dia yang telah
memiliki dasar pelajaran tata susila,
se-orang susiok (paman guru) tiada
bedanya dengan seorang paman sendiri,
maka tidaklah pantas kalau terjadi
hubungan cinta antara seorang keponakan
dan se-orang pamannya sendiri.
Mendengar kata-kata yang nadanya
mencela atau mengejek itu, Cu Kang Bu
memandang kepada tunangan kekasihnya
dengan sinar mata mencorong dan dia pun
berkata dengan suara lantang. “Benar, dia
adalah murid Toaso-ku! Dia adalah murid
keponakanku, akan tetapi kami saling
mencinta dan kami hendak meni-kah. Hayo,
kalau engkau memang seorang jantan,
hadapi aku sebagai laki-laki se-jati!”
Kam Hong tersenyum. “Hemm, lagak-nya
seperti seorang jagoan tukang pukul di
pasar saja, padahal, kalau aku tidak keliru
mendengar tadi, engkau adalah se-orang
tokoh besar dari Lembah Suling Emas yang
berjuluk Ban-kin-sian. Tidak tahu apa
hubungannya lembah tempat tinggalmu itu
dengan Suling Emas! Kalau tokohnya
hanya seorang laki-laki yang sekasar
engkau, aku menyangsikan apakah suling
yang kalian pakai sebagai nama itu benarbenar
terbuat daripada emas, ataukah
hanya tembaga yang diselaput emas?”
Ucapan Kam Hong ini selaln hendak
menyelidiki tentang Lembah Suling Emas,
juga sebagai ejekan karena hatinya mulai
panas melihat orang menantangnya tanpa
ada perkaranya, hanya karena orang ini
mengaku cinta kepada Yu Hwi.
“Engkau laki-laki cerewet seperti neneknenek!
Hayo maju kalau engkau berani?”
Cu Kang Bu yang tidak pandai bicara itu
semakin marah. Akan tetapi pada saat itu,
Cu Han Bu sudah melang-kah maju dan
menjura ke arah Kam Hong. Gerakan kedua
tangannya memberi hormat itu
mendatangkan suara bersuit nyaring
sehingga diam-diam Kam Hong terkejut
sekali dan dia sudah siap men-jaga diri
dengan mengangkat kedua ta-ngannya pula
ke depan dada. Akan tetapi sambaran angin
itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan dan hal
ini membuat Kam Hong kagum bukan main.
Hanya orang yang sudah amat kuat sinkangnya
saja mampu menguasai gerakan
Choirul, maret 2008 302
angin tenaga yang keluar dari gerakan
tangan semacam itu, maka dia mulai
memperhatikan orang ini. Seorang pria
yang usianya empat puluh lima tahun
kurang lebih, berpakaian sederhana sekali
seperti se-orang petani, bertubuh sedang
dan tegap, rambutnya tidak dikuncir seperti
kebiasa-an orang-orang pada waktu itu
melainkan digelung ke atas dan di kanan
kiri ke-palanya sudah terdapat banyak
uban, akan tetapi sepasang matanya yang
ber-sinar lembut itu mengandung wibawa
yang dingin dan kadang-kadang
menco-rong seperti mata harimau.
“Perkenankan saya Cu Han Bu minta-kan
maaf terhadap sikap adik saya Cu Kang Bu.
Maklumlah, orang yang sedang jatuh cinta
kadang-kadang berkurang ke-sadarannya
dan mudah marah kalau orang yang
dicintanya terancam atau tersing-gung.
Akan tetapi, Saudara tadi menyinggungnyinggung
tentang Lembah Suling Emas.
Ketahuilah bahwa kami keluarga lembah,
sejak turun-temurun adalah orang-orang
yang menjunjung tinggi keluarga Suling
Emas yang menjadi nenek moyang kami,
maka Saudara yang telah berani
meremehkan keluarga Suling Emas,
agaknya memiliki kepandaian yang ber-arti.
Maka, biarlah sekarang adikku Cu Kang Bu
mencoba kepandaianmu, bukan untuk
membela kekasih, melainkan untuk
membela nama Lembah Suling Emas.
Tentu saja kalau Saudara berani
menyam-butnya."
Tadinya Kam Hong sudah hendak minta
maaf dan tidak melayani tantang-an itu,
akan tetapi tak disangkanya sikap sopan
dan hormat dari orang itu ditutup dengan
ucapan yang kembali mengobar-kan
kemarahannya. Kalimat “tentu saja kalau
Saudara berani menyambutnya” merupakan
tantangan yang tak dapat ditawar-tawar
lagi! Maka tersenyumlah dia, sehyum yang
pahit.
“Jadi kalian adalah keturunan Suling Emas?
Hemm, agaknya keluarga kalian terlalu
memandang tinggi kepandaian sendiri,
maka mudah saja menantang semua orang.
Baiklah, kalau urusannya untuk
mempertahankan nama dan menan-tang
pibu, aku menerimanya, asal bukan untuk
memperebutkan wanita!” Sambil berkata
demikian, dia mengerling ke arah Yu Hwi
yang menjadi merah mukanya dan gadis ini
pun lalu melangkah mundur, membiarkan
kekasihnya menghadapi tunangannya yang
sah itu.
Dua orang pendekar itu sudah saling
berhadapan. Kang Bu tetap memasang
kuda-kuda seperti tadi, sedangkan Kam
Hong berdiri biasa saja, namun seluruh urat
syaraf di tubuhnya sudah menegang dan
bergetar. Tiba-tiba Ci Sian melang-kah maju
dan berkata dengan suara lan-tang, “Nanti
dulu, Paman Kam Hong!”
Suasana yang amat tegang itu men-jadi
kendur kembali dan semua mata ditujukan
kepada dara lincah itu yang telah berani
menghentikan dua orang sakti yang hendak
mengadu ilmu. “Paman, kita harus berhatihati
menghadapi me-reka ini! Orang-orang
yang telah berani menggunakan nama
orang lain sebagai nenek moyangnya tentu
merupakan orang-orang yang tidak boleh
dipercaya! Paman hanya seorang diri saja
sedangkan me-reka ini begini banyak.
Jangan, jangan Paman akan dikeroyok
nanti, maka se-baiknya diadakan perjanjian
lebih dulu. He, orang Lembah Suling Emas!
Bagai-mana kalau kalian bersumpah dulu
bahwa kalian tidak akan mengeroyok
Paman Kam Hong?”
Mendengar ucapan ini, See-thian Coa-ong
berseru, “Aihh, Ci Sian..... apakah engkau
mau mati? Engkau tidak mengenal siapa
Kim-siauw-kok-san-cu dan keluarga nya!
Mereka adalah pendekar-pendekar sakti
yang tak pernah terkalahkan, yang gagah
perkasa dan yang tidak pernah mencampuri
urusan dunia, nama mereka bersih laksana
air gunung!”
Tiba-tiba terdengar suara, “Han-ko, apakah
yang telah terjadi?” Dan belum juga gema
suara itu lenyap, orangnya sudah nampak
Choirul, maret 2008 303
di situ seolah-olah dia pandai menghilang
saja! Inilah Cu Seng Bu, orang kedua dari
keluarga Lembah Suling Emas dan tokoh ini
memang memiliki kelebihan diantara
saudara-saudaranya dalam hal gin-kang.
Gerakannya amat cepat sehingga tadipun
suaranya telah datang dan masih bergema
ketika tubuh-nya tahu-tahu telah berada di
situ tanpa nampak bayangan!
Melihat ini, See-thian Coa-ong yang tadi
kata-katanya terputus, kini melanjut-kan
kata-kata yang ditujukan sebagai teguran
kepada muridnya itu, “Ah, ah.... kini
lengkaplah sudah dan mataku yang
memang hari ini untung besar, Ci Sian,
lihatlah baik-baik dan kenalilah orang-orang
sakti di masa ini. Pemilik Lembah Suling
Emas yang pertama itu adalah pendekar Cu
Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa
Sinar Emas), dan yang kedua dan baru
datang ini adalah Cu Seng Bu yang berjuluk
Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan),
kemudian yang ketiga dan tinggi besar itu
adalah pendekar Cu Kang Bu yang berjuluk
Ban-kin-sian (De-wa Bertenaga Selaksa
Kati). Mereka ada-lah tiga saudara sakti
majikan-majikan Lembah Suling Emas,
maka jangan kau bicara sembarangan,
mana mungkin akan terjadi pengeroyokan?”
“Ah, Suhu hanya terkesan oleh juluk-anjulukan!
Biarpun julukannya dewa, apa
dikira dewa tidak ada yang jahat? Bukti-nya
tadi susiok yang berpacaran dengan murid
keponakannya sendiri hendak
mem-bunuhku!”
“Ci Sian, sudahlah. Aku percaya bah-wa
mereka tidak terlalu pengecut untuk
mengeroyokku. Pula, siapa yang takut
di-keroyok?”
“Bagus!” Ci Sian bertepuk tangan me-muji.
“Itu baru suara seorang gagah se-jati! Hayo,
kalian penghuni-penghuni Lembah Suling
Emas, kalian keroyoklah Paman Kam Hong
kalau kalian memang tebal muka!”
“Bocah bermulut kotor!” Tiba-tiba Yu Hwi
membentak dan melotot kepada Ci Sian.
“Daripada banyak mulut, mari kita lanjutkan
pertempuran tadi sampai se-orang diantara
kita mampus dan tidak dapat mengoceh
lagi!”
“Yu Hwi, kau mundurlah dan jangan layani
anak-anak. Sobat Kam Hong, be-nar seperti
yang dikatakan oleh Han-ko tadi, mari kita
saling menguji kepan-daian untuk menebus
kelancanganmu merendahkan keluarga
kami tadi,” kata Cu Kang Bu sambil
mendorong kekasih-nya mundur dengan
halus. Suaranya kini tenang dan sabar dan
hal ini dianggap berbahaya oleh Kam Hong,
maka dia pun tidak berani memandang
rendah.
“Silakan, aku sudah siap sejak tadi.”
“Kang-te (Adik Kang), hati-hatilah, lawanmu
ini bukan orang lemah,” kata Cu Seng Bu
kepada adiknya.
“Aku mengerti, Seng-ko,” jawab adik-nya.
Dua orang pendekar itu segera saling
mendekati dan semua orang memandang
dengan penuh perhatian dan hati tegang,
karena betapapun tenang sikap mereka
berdua, semua maklum bahwa di balik pibu
ini terdapat semacam “perebutan” atas diri
Yu Hwi! Yu Hwi sendiri me-rasakan hal ini
dan wajahnya menjadi merah sekali,
jantungnya berdebar.... girang dan bangga!
Dia merasa bagaikan seorang puteri yang
diperebutkan oleh dua orang pahlawan
perkasa seperti yang terjadi dalam
dongeng! Memang naluri kewanitaan selalu
mendorong perasaan hati wanita untuk
condong ke arah ingin dicinta, ingin
dikagumi, ingin dimanja, ingin diperhatikan
dan tentu saja ke-semuanya itu memuncak
apabila dirinya diperebutkan! Dan dia tidak
merasa kha-watir karena dia maklum benar
akan kelihaian kekasihnya, Cu Kang Bu.
Dia sendiri sudah merasakan betapa
saktinya pemuda ini sehingga dia sendiri,
yang sejak kecil telah menerima latihan
ilmu-ilmu silat tinggi seperti tidak mampu
apa-apa berhadapan dengan Cu Kang Bu.
Dan apakah kepandaian Kam Hong?
Choirul, maret 2008 304
Dahulu, ketika dia mengenalnya sebagai
Siauw Hong, kepandaian pemuda itu tidak
banyak selisihnya dengan kepandaiannya
sebelum dia menjadi murid Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu, bahkan mungkin dia masih
unggul sedikit. Andaikata se-karang
kepandaian pemuda itu sudah meningkat
maju sekalipun, rasanya tidak mungkinlah
kalau akan mampu menandingi ilmu
kepandaian Cu Kang Bu yang dia anggap
tidak akan kalah oleh Pendekar Siluman
Kecil sekalipun!
Kam Hong mengerti bahwa lawannya ini
merupakan seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, merupakan lawan
ter-pandai yang pernah dijumpai dan
me-rupakan orang pertama yang baik sekali
untuk dipakai menguji ilmu-ilmu yang baru
saja dipelajarinya secara tekun sekali dari
catatan di tubuh jenazah kakek kuno,
selama lima tahun di tempat sunyi itu.
“Majulah!” katanya tenang sambil
menghadapi dan menatap wajah lawan.
“Tidak, aku mewakili keluarga Lem-bah
Suling Emas sebagai fihak tuan ru-mah,
engkau mulailah, sobat.” jawab Kang Bu.
Kam Hong tersenyum. Kalau dia tidak ingat
lagi tentang urusan Yu Hwi, tentu dia akan
merasa kagum dan suka kepada keluarga
yang sikapnya gagah ini. “Nah, sambutlah
seranganku!” katanya lalu tu-buhnya sudah
bergerak ke depan. Dia mulai dengan
tamparan tangan kirinya yang dilakukan
dengan kecepatan luar biasa sehingga
tahu-tahu tangan pendekar ini sudah
menyambar ke arah leher la-wan.
Sebelum dia mempelajari ilmu-ilmu yang
mujijat dari catatan di tubuh jena-zah kuno,
sebetulnya Kam Hong sudah memiliki
kepandaian yang luar biasa. Seperti
diketahui, di waktu dia masih remaja telah
digembleng oleh seorang tokoh besar dunia
persilatan, yaitu Sai-cu Kai-ong yang
menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi Khong-sim
Sin-ciang sebagai ilmu warisan dari Khongsim
Kai-pang kepadanya, di samping Ilmu
Sai-cu Ho-k-ang yang dilakukan dengan
pengerahan khi-kang pada suara sehingga
dapat me-ngeluarkan suara gerengan singa
yang melumpuhkan lawan yang kurang kuat
sin-kangnya. Kemudian dia digembleng
oleh Sin-siauw Seng-jin, yaitu kakek
ke-turunan pelayan keluarga Suling Emas
yang menjadi pemegang pusaka ilmu-ilmu
Suling Emas, dan kakek ini dengan penuh
kesungguhan menurunkan semua ilmu-ilmu
itu kepada Kam Hong sebagai keturunan
terakhir keluarga Kam, yaitu keluarga Suling
Emas. Dari mendiang Sin-siauw Seng-jin ini
Kam Hong mewa-risi ilmu-ilmu yang luar
biasa hebatnya, yaitu Hong-in Bun-hoat,
Pat-sian Kiam-hong-hoat, Kim-kong Sin-in,
dan Lo-hai San-hoat. Dengan ilmu-ilmu silat
yang amat tinggi itu saja sebetulnya dia
telah merupakan seorang tokoh yang akan
sukar dicari tandingannya, apalagi setelah
dia menemukan rahasia peninggalan
jenazah kuno pembuat suling emas itu!
Kim-siauw Kiam-sut merupakan ilmu
pedang yang memang khusus diciptakan
oleh pembuat suling itu untuk dimainkan
dengan suling emas buatannya sehingga
merupakan ilmu pedang yang luar biasa
dahsyatnya, se-dangkan ilmu meniup suling
yang diajarkan melalui catatan rahasia di
tubuhnya itu pun merupakan ilmu tinggi
yang memper-kuat khi-kang hebat pula.
Cu Kang Bu adalah seorang pemuda yang
sejak kecil tekun mempelajari ilmu-ilmu
warisan keluarganya, ilmu-ilmu silat kuno
simpanan yang jarang dilihat di du-nia
persilatan. Dalam keluarganya, antara
kakak beradik yang tiga orang itu, kira-nya
Cu Han Bu yang lebih tinggi seting-kat
kepandaiannya, akan tetapi mereka
memiliki keistimewaan masing-masing dan
Cu Kang Bu terkenal dengan kekuatan
tubuhnya yang hebat sehingga dia dijuluki
Ban-kin-sian atau Dewa Bertenaga
Selak-sa Kati, sesuai dengan tubuhnya
yang tinggi besar. Biarpun dia merupakan
seorang pemuda perkasa yang kasar dan
jujur, namun dia bukanlah orang bodoh dan
dia tidak memandang rendah lawan karena
dia dapat menduga bahwa bekas tunangan
kekasihnya ini bukan seorang yang lemah.
Choirul, maret 2008 305
Maka begitu melihat tamunya sudah mulai
menyerang dengan tamparan ta-ngan kiri
yang menyambar cepat ke-arah lehernya,
dia pun sengaja menge-rahkan tenaganya
yang besar pada lengan kanan dan
menangkis sambil membuat gerakan
memutar. Maksudnya adalah untuk
mengadu tenaga, dan kekuatan yang
ditimbulkan oleh lengan yang diputar itu
amat dahsyat, dapat mematah-kan tulang
lengan lawan yang ditangkis-nya.
Pendeknya dia mengandalkan kekuatannya
untuk mengadu tenaga dan mengalahkan
lawan dalam segebrakan saja atau
setidaknya dia akan dapat mengukur
sampai di mana kekuatan Kam Hong.
Melihat tangkisan kasar ini, Kam Hong
tersenyum dan tahulah dia apa yang
dikehendaki oleh lawan. Dengan tenang dia
melanjutkan tamparannya tanpa
mempedulikan tangkisan itu.
“Plakk!”
Tangkisan itu keras dan kuat bukan main.
Lengan kanan Cu Kang Bu yang menangkis
itu seolah-olah berobah menjadi tongkat
baja yang keras dan kuat, yang bukan
hanya akan dapat mematahkan tulang,
bahkan senjata besi pun kiranya akan dapat
dibikin patah atau meleng-kung. Akan
tetapi, ketika lengan itu bertemu dengan
lengan Kam Hong, wajah Cu Kang Bu
berobah, matanya terbelalak karena dia
merasa betapa lengannya yang keras
bertemu dengan benda yang lunak -dan
lentur sehingga lengannya itu mem-balik
seolah-olah sepotong besi memukul karet
saja! Mengertilah dia dengan kaget bukan
main bahwa lawannya telah me-miliki
tenaga sin-kang yang amat tinggi
tingkatnya, yang mampu mempergunakan
tenaga lemas sedemikian rupa sehingga, di
balik kelunakan itu terdapat kekuatan dan
keuletan yang amat ampuh sehingga dia
tidak mungkin lagi dapat mengandal-kan
kekuatan tenaga besar.
“Bagus!” pujinya dan dia pun kini
mem-balas dengan pukulan-pukulan
dahsyat yang datangnya beruntun dan
setiap pukulan mengandung hawa pukulan
dahsyat, juga kedua tangan yang memukul
itu berobah-robah, kadang-kadang terkepal,
kadang-kadang terbuka jari-jari tangannya,
se-dangkan dari kedua tangan itu
menyam-bar hawa pukulan yang kadangkadang
keras, kadang-kadang lemas,
terasa ha-wa yang kadang-kadang panas
dan ka-dang-kadang dingin!
“Hemmm....!” Kam Hong berseru ka-get dan
juga kagum. Dia memang sudah
menyangka akan kelihaian lawan, akan
-tetapi apa yang diperlihatkan lawan da-lam
serangkaian serangan ini benar-benar
merupakan ilmu yang amat tinggi dan
berbahaya. Maka dia pun lalu cepat
menyambutnya dengan mainkan ilmu silat
tangan kosong Khong-sim Sin-ciang. Ilmu
silat warisan dari Khong-sim Kai-pang ini
mengandalkan kepada kekosongan untuk
melawan yang berisi, atau mengandalkan
keluwesan menghadapi kekasaran,
meng-andalkan kelembutan menghadapi
kekeras-an. Karena lawannya menyerang
dengan kekerasan, maka yang paling tepat
bagi-nya untuk menghadapi serbuan itu
adalah Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang
itulah. Dan memang sesungguhnya, semua
serbuan itu seolah-olah tenggelam tak
berbekas, semua serangan dapat dielakkan
atau di-tangkis dengan mudah sehingga
dalam serangkaian serangan yang tidak
kurang dari dua puluh jurus banyaknya, Cu
Kang Bu sama sekali tidak berhasil
mengenai tubuh lawannya.
Tiba-tiba Cu Kang Bu berseru nyaring dan
seruan itu melengking seperti suara suling!
Kam Hong terkejut bukan main. Itulah suara
lengkingan yang didasari khi-kang yang
mirip dengan yang dipelajarinya, hanya
tingkatnya masih belum begitu tinggi,
namun sudah tentu akan dapat
menggetarkan perasaan orang yang
ku-rang kuat sin-kangnya jika diserang oleh
suara ini. Kang Bu melengking dan terus
menubruk, kini gerakan-gerakannya seper-ti
Choirul, maret 2008 306
seekor harimau, kedua lengannya juga
ditekuk di bagian siku, pergelangan ta-ngan
dan buku-buku jari, persis menyeru-pai
cakar harimau. Itulah semacam Houw-kun
(Ilmu Silat Harimau) yang hebat, karena
kalau Ilmu Silat Harimau itu biasanya
mengandalkan tenaga otot dan jari-jari
terlatih saja, kini didasari tenaga sin-kang
yang amat kuat sehing-ga sebelum
“cakaran” datang lebih dulu telah ada hawa
pukulan yang me-nyerang lawan dan
hawanya amat panas sehingga dari kedua
tangan yang memben-tuk cakar harimau itu
mengepul uap putih!
Kam Hong maklum akan lihainya Ilmu Silat
Harimau yang aneh dan lain daripa-da yang
lain itu, sementara itu suara melengkinglengking
masih kadang-kadang terdengar
dari kerongkongan lawan yang mengiringi
setiap tubrukan atau cakaran tangan.
Melihat gerakan Cu Kang Bu, lawan yang
kurang kuat sin-kangnya ten-tu akan
melihat seolah-olah pemuda tinggi besar itu
telah benar-benar bero-bah menjadi seekor
harimau yang amat kuat dan ganas! Kam
Hong lalu menge-rahkan tenaga dalam
pusarnya dan ketika dia menggunakan khikang
melalui tenggorokan, terdengarlah
gerengan singa yang menggetarkan tanah
di sekeliling tempat itu! Itulah Sai-cu Hokang,
ilmu yang dipelajarinya dari Sai-cu
Kai-ong, akan tetapi karena tenaga khi-kang
di dalam diri Kam Hong sudah jauh maju
setelah dia mempelajari ilmu meniup suling
dari ilmu rahasia jenazah kuno, maka
kekuatannya sudah sedemikian hebatnya
sehingga kalau kalau Sai-cu Kai-ong sendiri
mendengarnya dia tentu akan merasa
terkejut dan heran. Hebatnya ilmu ini adalah
hawa suara itu dapat dipusat-kan dan
diarahkan kepada yang hendak diserang
saja, sehingga kalau lain orang di situ
hanya merasakan getaran hebat saja,
tidaklah demikian dengan Cu Kang Bu. Dia
terhuyung dan mukanya agak pucat karena
suara gerengan itu seolah-olah memasuki
tubuhnya dan menyerang jantungnya, dan
selagi dia terhuyung itu Kam Hong sudah
maju dan melakukan tamparan-tamparan
dengan Ilmu Khong-sim Sin-ciang yang
lembut namun amat berbahaya itu.
Cu Kang Bu mengeluarkan seruan kaget
dan dia cepat melindungi dirinya dengan
putaran kedua tangan, akan teta-pi tetap
saja dia didesak dan dihimpit oleh lawan.
Bukan main heran dan ka-getnya rasa hati
pendekar tinggi besar ini. Dia memang tidak
memandang ren-dah lawan dan dapat ,
menduga bahwa lawannya lihai, akan tetapi
sama sekali tidak pernah diduganya akan
sedahsyat ini! Maka sambil mengeluarkan
bentakan nyaring karena dirinya sudah
terdesak dan terancam bahaya, tiba-tiba
tangan-nya meraba ke pinggang dan
nampaklah sinar hitam berkelebat disusul
suara ledakan yang mengeluarkan asap
putih dan tahu-tahu tangan kanan pendekar
ini telah memegang sebatang cambuk baja
yang tadinya menjadi ikat pinggangnya.
Cambuk baja lemas ini berwarna hitam dan
kini meledak-ledak di udara. Akan tetapi, Cu
Kang Bu sama sekali tidak menyerang
lawan, hanya membunyikan cambuknya di
udara tanpa berkata-kata, sikapnya
menantang dan penuh rasa penasaran
bahwa dia telah dikalahkan oleh bekas
tunangan kekasihnya itu dalam adu silat
tangan kosong. Di tempatnya dari pinggiran,
Yu Hwi memandang dengan mata
terbelalak keheran-heranan melihat betapa
“Siauw Hong” yang dulu merupa-kan
kacung dari Pendekar Siluman Kecil itu
ternyata kini mampu menandingi seorang
pendekar sakti seperti Cu Kang Bu yang
menjadi kekasihnya.
Sementara itu, biarpun dia agak pe-ning
oleh lengkingan-lengkingan dan ge-rengangerengan
yang menggetarkan tadi ditambah
mengikuti gerakan mereka yang amat
cepat, namun Ci Sian dapat men-duga
bahwa fihak Kam Hong tentu me-nang
karena kalau tidak, tidak nanti fihak lawan
mengeluarkan senjata. Me-lihat cambuk
hitam itu meledak-ledak mengeluarkan
asap, hatinya gentar bukan main, akan
tetapi sambil tertawa dia berkata, “Paman
Kam Hong, lawanmu telah kalah dan kini
Choirul, maret 2008 307
mengandalkan cam-buk kerbau! Hati-hati,
jangan kena dicu-rangi olehnya!”
Tentu saja ucapan Ci Sian ini mem-bikin
panas perut Cu Kang Bu dan sau-darasaudaranya,
akan tetapi tetap saja Cu Kang
Bu tidak mau menyerang lawan yang masih
bertangan kosong. Katanya dengan suara
parau karena menahan ke-marahan. “Sobat
Kam Hong, ilmu silatmu dengan tangan
korong hebat sungguh, akan tetapi marilah
kita main-main de-ngan senjata sebentar
kauhadapi cambukku ini!”
Diam-diam Kam Hong juga kagum. Sukar
atau jaranglah mencari orang ga-gah
seperti Cu Kang Bu ini. Ilmu silat-nya jelas
amat lihai dan tinggi, dan se-lain tidak
sombong, juga sama sekali tidak curang
dan tidak mau memperguna-kan senjata
menyerang dia yang masih bertangan
kosong. Betapapun juga, pria ini agaknya
tidak akan mengecewakan kalau menjadi
suami Yu Hwi dan pilihan Yu Hwi kiranya
tidaklah keliru! Akan tetapi, batinnya terasa
panas juga kalau mengingat betapa Yu Hwi
adalah tu-nangannya, calon isterinya yang
hendak direbut oleh pemuda tinggi besar
ini!
“Hemm, kau masih penasaran? Hendak
mengadu senjata? Baiklah, akan tetapi aku
bukan tukang bunuh atau tukang siksa
maka tidak membawa senjata mengerikan.
Aku hanya membawa sebuah alat pengusir
panasnya badan dan batin ini!” Tangan
kirinya bergerak dan seperti main sulap
saja, tah-tahu tangan itu telah memegang
sehelai kipas yang di-kembangkan dan
dipakai mengipasi leher-nya seolah-olah dia
merasa gerah sekali. Akan tetapi, biarpun
kipasnya digerak-gerakkan, tiga pasang
mata dari kakak beradik penghuni Lembah
Suling Emas itu yang memiliki penglihatan
terlatih dan tajam sekali dapat membaca
huruf yang tertulis di permukaan kipas yang
digoyang-goyangkan itu. Tentu saja untuk
dapat melakukan hal ini orang harus
memiliki kepandaian yang sudah amat
tinggi sehingga mata mereka sedemikian
tajamnya dapat mengikuti gerakan kipas
yang bagi mata biasa tentu membuat hurufhuruf
itu kabur dan tak terbaca. Diam-diam
mereka bertiga memandang dan membaca
huruf-huruf itu. Kipas itu permukaannya
putih bersih dan huruf-huruf indah itu
berwarna hitam, maka jelas sekali bagi
mereka.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa
meluap Hanya yang lembut dapat
menerobos yang kasar Yang merasa cukup
adalah yang sesungguhnya kaya raya!
“Hemm, khong-sim (hati kosong) Sobat
Kam Hong masih mempunyai hu-bungan
apakah dengan yang terhormat Sai-cu Kai
Ketua Khong-sim Kai-pang?” tiba-tiba
terdengar Cu Han Bu bertanya dengan
suara halus. Kam Hong terkejut dan diamdiam
kagum akan ke-luasan pengetahuan
orang itu.
“Beliau pernah menjadi Guruku.” jawabnya
jujur dan sederhana.
“Dia pernah menjadi seorang yang disebut
Pangeran Pengemis!” Tiba-tiba Yu Hwi
berkata dan di dalam suaranya
mengandung cemooh. Kini mulai
menger-tilah Kam Hong mengapa dara itu
tidak setuju menjadi jodohnya. Kiranya latar
belakang kehidupannya yang dahulu,
pertemuan mereka yang pertama di mana
dia menjadi pengemis dan menjadi
semacam pelayan dari Siluman Kecil, yang
membuat gadis ini memandang rendah
kepadanya! Dia tersenyum.
“Benar sekali.... aku hanya seorang
pengemis dan sekarang pun bukan
ma-jikan yang kaya raya!”
Akan tetapi melihat betapa pemuda itu
menyindir kekasihnya, Cu Kang Bu sudah
menjadi marah lagi. “Kam Hong, kalau kipas
itu merupakan senjatamu, beranikah
engkau menghadapi cambuk bajaku
dengan kipas itu?”
Choirul, maret 2008 308
“Mengapa tidak berani? Aku hanya
melayanimu, sobat!” kata Kam Hong sambil
tersenyum.
“Hajarlah dia, Paman Kam Hong! Dia belum
mengenal kipas mautmu!” Ci Sian berkata
lagi, sungguhpun di dalam hatinya dia
merasa kecut sekali melihat senjata pihak
lawan yang berupa cambuk hitam panjang
terbuat dari baja itu se-dangkan “senjata”
Kam Hong hanya sebuah kipas yang lebth
tepat untuk meng-usir kegerahan saja.
Namun, kini telah se-makin tebal
kepercayaannya kepada Kam Hong, maka
dia mengusir kekhawatiran-nya dan diamdiam
dia mendekati See-thian Coa-ong,
gurunya.
“Suhu.... bagaimana pendapat Suhu....?
Apakah Paman Kam Hong akan dapat
menang?” bisiknya. Sungguh lucu dara ini.
Dia berbisik seolah-olah tidak akan dapat
terdengar oleh orang-orang yang berilmu
tinggi dia bicara hanya sambil berbisik-bisik,
semua orang termasuk juga Yu Hwi, dapat
menangkap bisikan-nya itu, akan tetapi
mereka terlalu tegang memandang ke arah
dua orang pendekar yang sudah siap untuk
bertan-ding lagi itu dan tidak mempedulikan
ulah Ci Sian.
“Apa....?” Kakek hitam botak itu ber-kata
lalu menarik napas panjang. “Aahhhh, aku
seperti baru sadar dari mimpi! Sungguh
mati, selama hidupku baru ini menyaksikan
pertandingan seper-ti ini! Sungguh
beruntung mata ini, dapat menyaksikan
pertandingan tingkat atas yang demikian
hebatnya. Ternyata Pe-gunungan Himalaya
yang tinggi masih ada yang melebihi
tingginya....“ kakek itu menarik napas
panjang lagi.
“Suhu, bagaimana? Apakah Paman Kam
Hong dapat menang?” kembali Ci Sian
bertanya sambil mengguncang lengan
gurunya yang seperti orang terpesona
memandang ke arah dua orang pendekar
itu.
“Siapakah aku ini yang dapat menen-tukan
kalah menangnya pertandingan antara dua
ekor naga? Kita lihat saja, Ci Sian, kita lihat
saja....“ katanya tanpa mengalihkan
pandangannya.
Ci Sian menjadi semakin gelisah dan diamdiam
dia lalu duduk bersila dan
mengerahkan kekuatan batinnya untuk
memanggil ular-ular sebanyak mungkin ke
tempat itu untuk dapat membantu Kam
Hong! Akan tetapi tiba-tiba dia merasa
betapa pencurahan kekuatannya itu
membuyar dan terdengar suara See-thian
Coa-ong, “Anak bodoh kau, pembelamu itu
takkan kalah!”
Ci Sian lalu teringat betapa dia per-nah
memanggil ular-ular ketika mengha-dapi
isteri-isteri ayah kandungnya, dan akibatnya
malah ular-ularnya yang tewas dan dia
dimarahi oleh Kam Hong! Maka dia tidak
jadi melanjutkan usahanya itu dan kini dia
memandang ke arah perke-lahian yang
sudah mulai berlangsung.
“Tar-tar-tarrrr....!” Cambuk hitam itu
melayang-layang ke udara kemudian tu-run
meluncur dan melecut sampai tiga kali ke
arah kepala Kam Hong, namun dengan
tenang pendekar ini mengelak dua kali dan
sambaran yang ketiga kalinya dia kebut
dengan kipasnya. Aneh sekali ujung
cambuk baja itu begitu kena di-kebut, lalu
menyimpang atau melecut ke samping,
menyeleweng seperti sehelal rambut ditiup
saja! Dan ujung cambuk itu luput mengenai
kepala Kam Hong, menyambar ke bawah
dan mengeluarkan ledakan nyaring,
mengenai sebuah batu sebesar kepala
orang yang pecah beran-takan menjadi
beberapa potong! Melihat ini, Ci Sian
merasa betapa bulu tengkuk-nya meremang
dan dingin. Batu saja terkena lecutan
menjadi pecah berantak-an, apalagi kepala
manusia!
Akan tetapi Kam Hong tetap bersikap
tenang, seolah-olah melihat batu pecah
berantakan terkena ujung cambuk itu hanya
merupakan permainan anak-anak baginya.
Choirul, maret 2008 309
Dan kini dia tidak membiarkan dirinya
menjadi bulan-bulanan cambuk, melainkan
kedua kakinya bergerak dengan langkahlangkah
indah dan tahu-tahu dia sudah
menyusup dekat melalui gulungan sinar
hitam dari cambuk itu dan meng-gunakan
ujung kipas untuk membalas serangan
lawan dengan totokan-totokan ke arah jalan
darah dari ubun-ubun sam-pai ke lutut
lawan! Gerakan kipasnya cepat dan tak
terduga-duga datangnya, karena dia telah
mainkan ilmu silat kipas Lo-hai-san-hoat
(Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang
merupakan satu di antara ilmu silat warisan
nenek moyangnya yaitu Pendekar Suling
Emas!
Memang satu-satunya jalan untuk melawan
musuh yang menggunakan senjata panjang
hanya dengan cara melakukan perkelahian
jarak dekat, apalagi kalau dia sendiri hanya
bersenjata sebuah kipas yang amat pendek.
Kam Hong juga me-lakukan siasat ini, dia
menggunakan langkah-langkah Pat-kwapouw
dari Ilmu Silat Pat-sian-kun-hoat dan
dengan langkah-langkah ini dia dapat selalu
mendekati lawan sehingga dapat
menyerang dengan kipasnya. Akan tetapi
Cu Kang Bu adalah seorang tokoh yang
sudah mahir sekali menggunakan senjata
yang diandalkannya itu, maka biarpun
senjatanya me-rupakan senjata untuk
menyerang dari jarak jauh, ujung cambuk
bajanya itu dapat membalik dan menyerang
dari arah belakang, kanan, kiri atau atas
bawah! Hebat bukan main gerakan
cambuknya dan ujung cambuk itu seolaholah
hidup menurut segala gerakan
pergelangan ta-ngannya.
Bukan main serunya perkelahian itu. Kipas
di tangan kiri Kam Hong berobah-robah,
sebentar terbuka untuk mengebut ujung
cambuk lawan, kadang-kadang tertutup
untuk menyerang dengan totokan-totokan
yang amat berbahaya. Sukar di-katakan
siapa di antara mereka yang mendesak dan
siapa yang terdesak ka-rena mereka
seolah-olah saling menukar serangan yang
selalu dapat dipecahkan dan dilumpuhkan
oleh lawan. Kurang lebih seratus jurus telah
lewat dan per-kelahian itu diikuti oleh
semua orang sambil menahan napas
karena memang amat menegangkan hati.
Kam Hong sendiri merasa kagum.
Semenjak tadi, dia hanya mempergunakan
ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya dari Saicu
Kai-ong dan dari Sin-siauw Seng-jin,
yang telah dikuasainya dengan ma-tang
sehingga akan sukarlah mencari lawan
yang mampu menandinginya dengan ilmuilmu
itu. Akan tetapi, dengan ilmu-ilmu itu
dia hanya dapat berimbang saja dengan
lawannya ini. Diam-diam dia merasa
penasaran juga dan dikumpulkannya-lah
tenaga khi-kang yang diperolehnya ketika
dia mempelajari ilmu pusaka yang tercatat
di tubuh jenazah kuno. Dan tiba-tiba saja
suara pernapasannya ter-dengar mencicit
nyaring, makin lama makin tinggi sehingga
tidak tertangkap oleh telinga, namun bagi
Cu Kang Bu, dia merasakan getaran yang
luar biasa hebatnya dari tubuh lawannya!
Dia ter-kejut sekali dan berusaha untuk
meloncat mundur sambil menggerakkan
pecut baja-nya. Akan tetapi, kini Kam Hong
men-desak ke depan, kipasnya terbuka dan
kini begitu kipasnya mengebut, ada angin
dingin menyambar ke arah muka lawan dan
Cu Kang Bu hampir tidak kuat membuka
matanya yang tersambar angin dingin.
Begitu matanya berkejap, maka ujung kipas
itu telah meluncur dan me-lakukan totokantotokan,
membuat Kang Bu kaget setengah
mati dan terhuyung ke belakang sambil
memutar cambuk dan tangan kiri
melindungi tubuhnya. Akan tetapi lawannya
mendesak dan akhirnya, maklumlah bahwa
mempertahankan diri sama dengan mencari
mati, Kang Bu meloncat jauh ke belakang
lalu turun dan merangkap kedua tangan
depan dada.
“Aku Cu Kang Bu mengaku kalah!”
Kam Hong membuka kipas depan dada dan
dia merasa semakin kagum dan suka
kepada bekas lawannya itu, seorang yang
kasar jujur namun juga tidak keras kepala
dan mampu menghadapi kekalahan sendiri
secara jantan. Seorang yang be-nar-benar
Choirul, maret 2008 310
patut, bahkan terlalu baik mungkin, untuk
menjadi jodoh Yu Hwi!
“Saudara Cu Kang Bu, kepandaianmu
sungguh hebat, aku kagum sekali!” kata-nya
membalas penghormatan orang.
Akan tetapi dengan muka pucat Cu Han Bu
melangkah maju. Pendekar ini diam-diam
merasa penasaran bukan main melihat
kekalahan adiknya. Hampir dia tidak dapat
percaya bahwa adiknya de-ngan cambuk
bajanya dapat dikalahkan lawan yang
hanya memegang setangkai kipas!
Sungguh kekalahan yang menghan-curkan
keharuman nama besar keluarga Lembah
Suling Emas, apalagi di situ ada orangorang
lain yang menyaksikan seper-ti Seethian
Coa-ong dan terutama sekali dara
murid Coa-ong yang pandai bicara itu, yang
tentu akan menyiarkan berita kekalahan
keluarga Lembah Suling Emas ke seluruh
dunia kang-ouw! Mukanya menjadi pucat
karena marah dan penasaran.
“Saudara Kam Hong, harap jangan
membikin kami penasaran dan jangan
bertindak kepalang-tanggung. Kaukalahkan
aku sebagai orang pertama dari Lembah
Suling Emas, agar kami yakin benar bahwa
di luar lembah ada orang yang lebih pandai
daripada kami!” Setelah berkata demikian
sambil membungkuk dan memberi hormat,
Cu Han Bu me-lolos sebuah sabuk emas
dari pinggang-nya. Sikap orang ini
sedemikian sungguh-sungguh sehingga
Kam Hong mak-lum bahwa jalan satusatunya
baginya adalah memenuhi
tantangan orang per-tama dari Lembah
Suling Emas ini. Pula, diam-diam dia pun
merasa penasaran bahwa dialah yang
benar-benar keturunan keluarga Suling
Emas dan mereka ini hanya kebetulan saja
memakai nama Lembah Suling Emas.
Kalau dia dapat menangkan orang pertama
dari keluarga lembah yang aneh ini, tentu
dia berhak untuk minta dengan hormat
kepada me-reka agar nama Suling Emas
tidak me-reka pakai lagi.
Kam Hong maklum bahwa sebagai orang
pertama dari keluarga itu, tentu pria yang
berpakaian sederhana dan ber-sikap halus
dan dingin ini tentulah memi-liki tingkat
kepandaian yang hebat dan lebih tinggi
daripada tingkat Kang Bu. Padahal, Kang
Bu saja sudah demikian lihainya. Maka dia
pun tidak boleh main-main lagi dan dia tentu
akan harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk mencapai
kemenangan. Maka, sambil tetap membuka
kipasnya dengan tangan kiri, tangan
kanannya lalu meraih ke pinggang dan
begitu bergerak, nampak sinar emas
berkilauan dan tangan kanan itu telah
memegang sebatang suling emas yang
tadinya tersembunyi di balik jubah-nya!
Kalau tadi ketika Cu Han Bu mengeluarkan
dan melolos sabuk emas dari pinggangnya
nampak sinar keemasan yang menyilaukan
mata, kini suling emas di tangan kanan Kam
Hong itu mengeluar-kan cahaya yang amat
gemilang, apalagi karena gerakannya ketika
mengeluarkan amat cepat sehingga selain
mengeluarkan cahaya yang amat kemilau,
juga ter-dengar suara mendengung seolaholah
suling itu ditiup!
“Silakan!” katanya dengan suara te-nang.
Akan tetapi, Cu Han Bu dan dua orang
adiknya berdiri seperti kena pe-sona, mata
mereka terbelalak menatap suling emas di
tangan Kam Hong dan muka mereka
menjadi pucat sekali.
“Suling Emas....!” Tiba-tiba mereka bertiga
berseru dengan suara hampir ber-bareng
dan ketiganya sudah melangkah maju
menghadapi Kam Hong. Tentu saja Kam
Hong bersiap siaga dan alisnya ber-kerut,
karena sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa orang-orang gagah itu
akan maju bertiga! Benarkah apa yang
dikhawatirkan oleh Ci Sian tadi bahwa
orang-orang ini dapat bertindak curang dan
hendak mengeroyoknya? Dengan sinar
mata mencorong dia memandang mereka
dan siap untuk menghadapi mereka
de-ngan suling dan kipasnya.
Choirul, maret 2008 311
Akan tetapi Han Bu malah menyim-pan
kembali sabuk emasnya dan dengan muka
masih pucat dia berkata dengan suara
gemetar, “Sobat Kam Hong.... dari mana
engkau memperoleh suling itu....?”
Kam Hong memandang kepada suling di
tangannya, lalu kepada mereka bertiga dan
menjawab tenang, “Suling ini telah ada
pada keluargaku semenjak ratusan tahun
yang lalu, semenjak jaman Keraja-an Sung
tujuh delapan ratus tahun yang lalu....“
“Ahhh....! Keluarga Pendekar Suling
Emas....?”
Kam Hong memandang tajam penuh
selidik. Dia maklum bahwa keluarganya itu
mempunyai banyak musuh di samping
sahabat, oleh karena itu banyak pula orang
kang-ouw yang berlumba untuk
mendapatkan pusaka-pusaka dari nenek
moyangnya dan dia terpaksa sampai
di-sembunyikan di waktu kecil sebagai
tu-runan terakhir dari keluarga itu, demi-kian
Sin-siauw Seng-jin bercerita kepada-nya.
Dia tidak tahu apakah tiga orang kakak
beradik yang amat lihai ini meru-pakan
golongan sahabat ataukah musuh. Akan
tetapi dia tidak takut menghadapi mereka,
baik sebagai sahabat maupun musuh.
“Benar, aku adalah keturunan terakhir dari
keluarga Suling Emas! Hemm, kalian
kelihatan heran, padahal aku sendiri juga
merasa amat heran mengapa, di tempat ini
ada,keluarga Lembah Suling Emas!”
Pada saat itu, terdengar suara suling yang
amat merdu, akan tetapi juga amat nyaring
melengking dan di dalam suara itu
terkandung kekuatan yang menggetarkan
pada pendengarnya. Itu bukanlah suara
suling sembarangan, melainkan suara yang
diciptakan dengan tiupan yang didasari khikang
kuat! Semua orang menoleh ke arah
datangnya suara suling itu dan tak lama
kemudian nampaklah searang pemuda
tampan sekali berjalan perlahan--lahan
menuju ke tempat itu sambil meniup
sebatang suling. Suling itu berkilau-an dan
dari jauh saja sudah nampak bahwa suling
itu terbuat daripada emas.
Kam Hong memandang dengan heran dan
penuh perhatian. Suling yang ditiup oleh
pemuda itu lebih kecil daripada sulingnya,
akan tetapi modelnya serupa benar! Dan
pemuda yang meniupnya itu juga amat
menarik. Wajahnya amat tam-pan, terlalu
tampan malah dan usianya masih tampak
amat muda dan caranya meniup suling
menunjukkan bahwa pemu-da itu bukan
orang sembarangan dan telah memiliki khikang
yang lumayan kuatnya.
Setelah pemuda tampan itu tiba de-kat,
terdengar Cu Han Bu menegur de-ngan
suara halus, di balik suara teguran itu
terkandung kasih sayang mendalam.
“Pek In, hentikan tiupan sulingmu yang
bodoh itu!”
Dengan gerakan cepat Kam Hong telah
menyimpan kembaii sulingnya di balik jubah
lebarnya dan dia memandang kepada
pemuda itu dengan penuh perha-tian.
Pemuda itu menghentikan tiupan sulingnya,
memainkan suling emas itu di antara jari-jari
tangan yang kecil me-runcing, diputarputarnya
di antara jari--jari tangannya
dengan gerakan yang gagah sekali, akan
tetapi mulutnya cem-berut dan dia
memandang kepada Cu Han Bu dengan
sikap manja.
“Ayah, mengapa tidak boleh bermain
suling? Mengunjungi Suheng tidak boleh,
bermain suling sendiri mengusir sunyi juga
tidak boleh, aihh, betapa menjemukan hidup
ini....!” Akan tetapi dia segera menghentikan
kata-katanya karena pada saat itu dia baru
melihat bahwa ayahnya dan para
pamannya sedang berhadapan dengan
seorang pria berpakaian sastrawan yang
memegang sebatang kipas dan di situ
terdapat pula seorang dara jelita, seorang
kakek botak kurus dan juga di situ terdapat
Yu Hwi, murid Cui-beng Sian-li yang dia
Choirul, maret 2008 312
tahu berpacaran dengan pamannya dan
yang diam-diam tidak disukainya itu.
Akan tetapi Cu Han Bu tidak
mem-pedulikan puterinya, dan dia sudah
men-jura kepada Kam Hong. “Maafkan
gang-guan puteriku tadi.”
Kam Hong kini mengerti mengapa pemuda
itu luar biasa tampan dan halus-nya, kiranya
seorang dara! “Kulihat pu-terimu juga
mempunyai sebatang suling yang mirip
dengan sulingku.”
Itulah Saudara Kam Hong! Di an-tara
keluarga kita ada sesuatu yang perlu kita
bicarakan. Sudah lama kami mendengar
tentang keluarga pendekar Su-ling Emas,
dan kami pernah mencoba mencarinya
namun tidak berhasil. Maka, mendengar
bahwa engkau adalah keturun-an terakhir
dari Pendekar Suling Emas dan melihat
bahwa memang engkau yang memiliki
suling emas pusaka itu, kami terkejut bukan
main. Juga girang, karena yang kami caricari
ternyata kini malah datang menjenguk
kami. Oleh karena itu, kami persilakan
kepadamu untuk berkunjung ke lembah
kami di mana kita akan bicara lebih
mendalam tentang suling emas agar semua
rahasia dapat kita ke-tahui.”
“Paman Kam Hong, hati-hatilah, ja-ngan
kena dibujuk mereka. Siapa tahu mereka
hendak menjebakmu!” Ci Sian berseru.
“Nona, harap jangan bicara semba-rangan!”
Cu Seng Bu yang sejak tadi diam saja kini
berseru keras. “Kami bukanlah sebangsa
pengecut yang suka bermain curang dan
suka menjebak orang! Gurumu See-thian
Coa-ong, berada di sini dan engkau juga.
Kalian berdua dapat menjadi saksi kalau
kami bermain curang dan tentu dunia kangouw
akan mengutuk kami!”
“Ci Sian, tenanglah. Aku percaya kepada
mereka, dan pula, siapakah yang takut akan
jebakan dan kecurangan. Aku akan pergi
mengunjungi mereka.” kata Kam Hong
dengan sikap tenang dan ter-senyum.
“Aku ikut!” Ci Sian, berkata nyaring.
“Ci Sian, jangan kau lancang....!” See-thian
Coa-ong menegur muridnya dengan suara
khawatir. Dia menganggap murid-nya terlalu
lancang bersikap seberani itu terhadap
keluarga Lembah Suling Emas yang
demikian lihainya, akan tetapi diam-diam
dia pun merasa amat bangga dan girang
bahwa muridnya itu mengenal baik bahkan
kelihatan akrab dengan pen-dekar yang
memiliki suling emas dan yang
kepandaiannya juga amat luar biasa
tingginya itu. Apalagi ketika dia juga
mendengar bahwa pria sakti itu adalah
keturunan terakhir dari Pendekar Suling
Emas, hati kakek ini sudah menjadi
gem-bira bukan main. Dia merasa
beruntung sekali pada hari itu dapat
menyaksikan pertandingan hebat dan
bertemu dengan orang-orang yang amat
hebat, yaitu penghuni Lembah Suling Emas
dan bah-kan dengan keturunan Pendekar
Suling Emas.
“Tidak, Suhu! Paman Kam Hong orangnya
terlalu baik hati, terlalu me-ngalah, maka
perlu aku harus menemaninya untuk
menjadi saksi apakah benar-benar mereka
ini tidak hendak menjebak-nya. Kulihat
mereka tidak berniat baik, mungkin hendak
merampas senjata keramat dari Paman
Kam Hong. Biar aku ikut untuk menjadi
saksi di dalam lem-bah, dan Suhu tinggal
menanti di sini, sebagai saksi di luar
lembah. Kalau Paman Kam Hong dan teecu
tidak keluar lagi dari lembah, berarti kami
berdua masuk perangkap dan dicelakai
mereka, dan Suhu boleh siarkan kepada
seluruh dunia bahwa para penghuni lembah
ini adalah orang-orang yang curang dan
jahat.”
“Heiii! Darimana datangnya perem-puan liar
yang membuka mulut seenaknya
memburuk-burukkan keluarga Lembah
Suling Emas?” Tiba-tiba Pek In berseru
marah dan memandang kepada Ci Sian
dengan mata berapi-api. “Kami adalah
keluarga baik-baik, tidak seperti engkau ini
Choirul, maret 2008 313
perempuan siluman yang menggunakan
kata-kata buruk untuk memaki orang!”
Ci Sian bersungut-sungut dan meman-dang
kepada Cu Pek In, kemudian ter-senyum
mengejek. “Memang keluarga Lembah
Suling Emas tidak bisa diperca-ya. Ada
Isteri yang menyeleweng dengan pendekar
yang menjadi tamunya! Ada perempuan
yang sudah bertunangan me-larikan diri dan
ditampung di lembah! Ada hubungan gelap
antara paman guru dan murid
keponakannya sendiri. Dan se-karang
muncul lagi seorang.... banci! Phuh,
sungguh tidak layak dipercaya!”
Wajah Pek In yang putih halus itu seketika
berobah merah. Baru sekarang ini selama
hidupnya ada orang berani memakinya
seperti itu. Dia dinamakan banci! Kalau saja
dia memakai pakaian wanita seperti
umumnya, kiranya makian ini tidak akan
mendatangkan kemarahan di hatinya. Akan
tetapi karena memang sejak kecil dia
mengenakan pakaian pria, yang mulanya
dilakukan oleh ayah bunda-nya yang
menginginkan anak laki-laki sehingga dia
menjadi terbiasa dan lebih suka
mengenakan pakaian pria setelah dia
remaja dan dewasa, maka makian itu
sungguh menyentuh dan menyinggung
perasaan dan membuat dia marah bukan
main!
“Aku bukan banci! Kau perempuan
siluman!” Dan dara ini sudah mencabut pula
sulingnya yang tadi ditancapkan di ikat
pinggang dan dia sudah meloncat dan
menyerang Ci Sian.
“Huh, siapa takut padamu?” Ci Sian
mengelak dan balas menyerang.
“Tahan!” Cu Han Bu berseru keras. “Pek In,
kau mundurlah. Mereka ini ada-lah tamutamu
kita, bukan musuh.”
“Tapi mulutnya busuk, Ayah. Dia
me-makiku!”
“Dan kau pun memakiku. Siapa memaki aku
perempuan liar dan perempuan si-luman?
Huh, tak tahu diri!” Ci Sian juga berteriak.
“Ci Sian, harap kau bersabar dan mari kita
mengunjungi mereka dan bi-cara dengan
baik-baik.” kata Kam Hong kepada Ci Sian.
Seketika lenyaplah kemarahan Ci Sian. Dia
tadi sudah merasa khawatir kalau-kalau
tidak akan diperbolehkan mengunjungi
lembah menemani Kam Hong, akan tetapi
kini Kam Hong meng-ajaknya! Kegirangan
hatinya mengusir se-mua kemarahan.
“Aku boleh pergi menemanimu, Pa-man?
Baiklah, mari kita pergi dan aku tidak akan
banyak cakap lagi.”
“Sobat Kam Hong, silakan!” kata Cu Han
Bu. Kam Hong mengangguk dan balas
memberi hormat, lalu melangkah bersama
pihak tuan rumah meninggalkan tempat itu,
diikuti pandang mata See-thian Coa-ong
yang kelihatan tegang dan girang bukan
main. Dia merasa gembira dan bangga
sekali menjadi satu-satunya orang yang
menyaksikan pertemuan anta-ra orangorang
sakti yang hebat itu, apalagi karena
kini Ci Sian, muridnya, menemani pendekar
keturunan Pendekar Suling Emas
memasuki lembah itu bersa-ma keluarga
Lembah Suling Emas! Be-tapa hebatnya
peristiwa ini dan tentu akan
menggemparkan dunia kang-ouw kalau dia
menceritakan di luar.
Melihat Ci Sian berjalan di samping Kam
Hong, Yu Hwi dan juga Pek In memandang
kepada dara itu dengan sinar mata tidak
senang. Apalagi Pek In yang sedang
jengkel itu. Seperti diketahui, kurang lebih
empat lima tahun yang lalu, Sim Hong Bu
diterima di lembah itu sebagai murid
keluarga Cu, atau sebagai ahli waris dari
Ouwyang Kwan yang berobah menjadi Yeti,
mewarisi pedang Koai-liong-po-kiam dan
Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang hanya boleh
dipelajari oleh pemuda itu. Semenjak itu,
Sim Hong Bu digembleng oleh tiga orang
saudara Cu itu secara bergantian sehingga
Choirul, maret 2008 314
dia memperoleh kemajuan yang amat
pesat, apalagi karena memang pada
dasarnya Hong Bu mempunyai bakat yang
amat baik sekali. Dan di antara pemuda itu
dan Pek In pun terjalin hubungan
persahabatan yang amat akrab. Melihat ini,
dan melihat betapa baiknya bakat dalam diri
Sim Hong Bu dan melihat pula bah-wa
pemuda itu memiliki dasar watak yang
gagah perkasa, jujur dan bernyali besar,
diam-diam tiga orang saudara Cu itu
merasa kagum. Apalagi melihat hu-bungan
yang akrab antara pemuda itu dan puteri
tunggalnya, diam-diam timbul dalam hati Cu
Han Bu untuk menjodoh-kan puterinya
dengan murid itu.
Dalam waktu hampir empat tahun, berkat
ketekunan dan kesungguhan hati tiga orang
saudara Cu itu, Sim Hong Bu telah
menguasai ilmu-ilmu silat tinggi dan sudah
memiliki dasar yang cukup kuat untuk mulai
dengan pelajaran ilmu peninggalan
Ouwyang Kwan! Pada waktu itu, tingkat
kepandaian Sim Hong Bu bahkan jauh
melampaui tingkat kepandai-an Pek In
karena memang selain Hong Bu memiliki
dasar atau bakat yang lebih besar, juga tiga
orang she Cu itu men-curahkan seluruh
perhatian dan harapan mereka kepada
pemuda ini untuk kelak mengangkat tinggi
nama Lembah Suling Emas! Setelah
memiliki dasar yang cukup kuat, ketiga
orang gurunya itu lalu menyuruh Hong Bu
untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang
ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan dalam
kulit Yeti-nya, dan untuk keperluan ini, Hong
Bu tidak boleh diganggu siapapun juga
karena hanya dia seorang yang
diperbolehkan mempelajari ilmu-ilmu itu.
Maka, dia diharuskan oleh guru-gurunya
untuk belajar sendiri di dalam guha di mana
terdapat mayat suami isteri Kam Lok dan
Loan Si yang tewas oleh pedang Koai-liongkiam
itu! Di tempat sunyi inilah dia harus
mempe-lajari catatan ilmu-ilmu peninggalan
Ouwyang Kwan, terutama Ilmu Pedang
Koai-liong Kiam-sut. Hanya beberapa pekan
sekali ketiga orang gurunya datang
menjenguknya dan melihat muridnya
ber-latih.
Sementara itu, Cu Pek In memang diamdiam
cinta kepada suhengnya itu, kepada
Sim Hong Bu dan walaupun dia tidak
pernah menyatakannya dengan kata-kata,
namun dalam hubungan me-reka yang
akrab itu nampak jelas bahwa dara ini
memang jatuh cinta. Maka, da-pat
dibayangkan betapa dara itu merasa
kesepian setelah pemuda yang dicintanya
itu “bertapa” di luar lembah dan tak pernah
dapat dijumpainya. Bahkan ketika dia minta
kepada ayahnya untuk men-jenguk
suhengnya, ayahnya melarangnya dan
mengatakan bahwa Sim Hong Bu tidak
boleh diganggu untuk waktu se-dikitnya
satu tahun! Inilah yang membuat dara itu
menjadi kesepian dan gelisah, juga jengkel
sehingga kejengkelannya itu nampak ketika
dia bertemu dengan Ci Sian.
Ketika mereka tiba di tepi jurang lebar yang
dijadikan tempat penyebe-rangan ke
lembah, Cu Kang Bu menge-luarkan pekik
melengking nyaring untuk memberi tanda
kepada para penjaga di seberang sana
untuk menarik tambang yang kalau tidak
akan dipergunakan lalu diturunkan sehingga
lenyap di dalam kabut tebal yang memenuhi
jurang. Tak lama kemudian, nampaklah
tambang itu dari bawah, makin lama makin
naik dan akhirnya menegang, merupakan
jembatan yang aneh dan mengerikan.
“Maaf, hanya inilah jembatan yang akan
membawa kita ke Lembah Gunung Suling
Emas!” kata Cu Kang Bu kepada Kam
Hong. “Harap saja Saudara Kam Hong dan
Nona tidak merasa sungkan untuk
menyeberang dengan menggunakan
tambang ini.”
Di dalam hatinya, Ci Sian merasa ngeri.
Kalau hanya berjalan di atas tam-bang,
tentu saja bukan hal sukar baginya. Disuruh
lari pun dia sanggup. Akan tetapi, kalau
tambang itu menyeberang di atas jurang
yang tak nampak dasarnya seperti itu,
penuh kabut, tak dapat diukur betapa
dalamnya, tentu saja hatinya te-rasa ngeri
Choirul, maret 2008 315
bukan main dan dia merasa mulutnya
kering!
“Tidak mengapa, jembatan ini cukup baik.”
kata Kam Hong dengan tenang. Mendengar
ucapan ini, Ci Sian lalu me-narik napas
panjang dan menenteramkan jantungnya
yang berdebar penuh kete-gangan dan
kengerian itu.
“Cukup baik.... cukup baik....” katanya dan
dia tidak berani bicara banyak-ba-nyak,
takut kalau-kalau suaranya ter-dengar
menggigil! Akan tetapi tetap saja dia
khawatir. Bagaimana kalau dia dan Kam
Hong menyeberang tambang itu dan tiba di
tengah-tengah lalu pihak tuan rumah
membikin putus tambang itu? Ngeri dan
membayangkan peristiwa ini,
membayangkan dia dan Kam Hong
me-luncur turun ke bawah jurang! Teringat
dia akan pengalamannya ketika terjatuh ke
dalam jurang dan nyaris nyawanya
melayang kalau saja tidak ada See-thian
Coa-ong yang menyelamatkannya. Dara itu
merasa jantungnya berdebar, tengkuk-nya
dingin dan rasa takut mencekam hatinya.
Rasa takut memang selalu menguasai
kehidupan manusia dari masa kanak-kanak
sampai sudah tua sekalipun. Dari-manakah
timbulnya rasa takut ini? Mengapakah hidup
ini penuh dengan rasa takut atau khawatir,
cemas dan tidak menentu sehingga
kebanyakan dari kita lalu hendak melarikan
diri dari rasa ta-kut ini, mencari
perlindungan, mencari keamanan, mencari
hiburan agar rasa takut atau khawatir
terlupa? Takut akan setan, takut tidak lulus
ujian sekolah, takut kehilangan pekerjaan,
takut kehilang-an orang-orang yang dicinta,
takut men-derita, takut sengsara, takut
sakit, takut mati dan selanjutnya. Mengapa
kita se-lalu dikelilingi oleh rasa takut ini?
Da-patkah kita hidup bebas dari rasa takut
yang seolah-olah menjadi bayangan kita
ini? Dapatkan kita menghentikan sumber
dari mana timbul rasa takut yang terusmenerus
ini? Mengalahkan, rasa takut satu
demi satu tidaklah mungkin, karena selama
sumber itu masih terus menciptakan rasa
takut, maka tidak akan ada habisnya
selama kita hidup dan kita akan harus
bergulat mengatasi rasa takut itu satu demi
satu. Akan tetapi kalau sumbernya sudah
diketahui sehingga sum-ber itu tidak lagi
menciptakan rasa ta-kut, maka kita tidak
perlu lagi menga-lahkan rasa takut satu
demi satu.
Apakah rasa takut itu dan bagaimana
timbulnya? Rasa takut adalah bayangan
pikiran akan sesuatu yang mungkin akan
mendatangkan kesusahan kepada kita atau
akan sesuatu yang mungkin akan
meram-pas kesenangan kita. Rasa takut
adalah bayangan pikiran akan sesuatu yang
be-lum ada atau belum terjadi. Jadi, rasa
takut atau khawatir, gelisah, cemas dan
sebagainya adalah permainan dari pikiran
sendiri. Pikiran selalu mengenang masa
lalu, memisah-misahkan
pengalaman-pengalaman masa lalu antara
yang me-nyenangkan dan yang
menyusahkan. Ke-mudian pikiran selalu
berusaha untuk mengejar kesenangan,
untuk mengulang semua kesenangan yang
pernah dialami-nya, dan berusaha untuk
menolak segala kesusahan yang pernah
dialaminya. Dan apabila pikiran melihat
masa depan, membayangkan bahwa dia
akan ditimpa hal yang tidak menyenangkan,
lalu timbul rasa takut! Hal ini dapat kita lihat
kalau kita mau membuka mata memandang
diri sendiri, kalau sewaktu timbul, rasa takut
kita mau menghadapi rasa takut itu TANPA
MELARIKAN DIRI, menyelidiki dan
mempelajarinya. Jadi, jelaslah bahwa
pikiran itu sendiri yang menjadi pencipta
rasa takut. Tanpa adanya pikiran yang
membayang-bayangkan hal yang belum
terjadi, takkan ada rasa takut itu.
Mungkin ada yang bertanya, apakah kita
lalu harus acuh sehingga kita men-jadi
lengah terhadap sesuatu yang meng-ancam
di masa depan? Tanpa memba-yangkan
hal-hal yang belum terjadi, mana mungkin
kita dapat bersiap-siap menjaga diri dan
menghindarkan benca-na? Pertanyaanpertanyaan
seperti itu timbul dari rasa takut
itu sendiri!
Choirul, maret 2008 316
Sama sekali bukan menjadi tidak acuh.
Bahkan kita selalu waspada, bukan
waspada yang timbul dari rasa takut, bukan
waspada terhadap sesuatu yang
mengancam, melainkan waspada setiap
sa-at akan diri sendiri lahir batin dan akan
keadaan sekeliling. Sebaliknya, rasa takut
yang mencekam hati akan membuat kita
melakukan hal-hal yang menyeleweng,
membuat kita mungkin saja menjadi
pengecut saking takutnya, dan tidak ja-rang
membuat kita menjadi kejam karena dalam
usaha melenyapkan hal yang
men-datangkan rasa takut itu dapat terjadi
perbuatan-perbuatan kejam! Banyak sekali
orang-orang yang melakukan hal-hal ke-jam
terhadap manusia lain sebenarnya didorong
oleh rasa takut yang mence-kam hatinya!
Dia selalu merasa terancam dan oleh
karena itu, untuk menghalau semacam itu
dia tidak segan-segan men-dahului dan
melenyapkan orang lain yang dianggap
menjadi sumber atau penyebab rasa
takutnya. Atau karena rasa takut, maka kita
lalu melarikan diri mencari hiburan dan dari
sinilah timbulnya segala pelarian kepada
ilmu klenik dan ramalan-ramalan.
Sebaliknya, kalau kita menghadapi rasa
takut itu sebagaimana adanya, bukan ingin
mengendalikan atau mengalah-kannya,
melainkan menghadapinya dan
mengamatinya di waktu rasa takut tim-bul,
mempelajarinya, akan nampak jelas bahwa
rasa takut itu hanyalah permainan pikiran
yang ingin mengulang kesenangan dan
ingin menjauhi kesusahan belaka! Dan
tanpa permainan pikiran yang me-ngenangngenang
masa lalu dan memba-yangbayangkan
masa depan, yang ada
hanyalah kewaspadaan dan kesadaran
setiap saat terhadap segala sesuatu yang
terjadi! Dan di dalam kewaspadaan ini,
perhatian sepenuhnya ini, tidak ada rasa
takut, yang ada hanyalah tindakan yang
timbul dari kecerdasan dan kewajaran. Jadi,
setiap saat timbul rasa takut, kha-watir dan
sebagainya, kita mengamati-nya,
menyelidikinya, mempelajarinya. Cobalah!
“Sebagai pihak tuan rumah, silakan
Saudara menyeberang lebih dulu.” kata
Kam Hong dengan nada suara halus
ke-pada Cu Han Bu dan hati Ci Sian lega
bukan main. Kiranya Kam Hong juga cerdik,
pikirnya.
Cu Han Bu memandang dan terse-nyum.
“Agaknya sobat Kam Hong masih curiga?”
tanyanya akan tetapi dia pun lalu meloncat
ke atas tali itu.
“Bukan curiga hanya berhati-hati.” jawab
Kam Hong tersenyum pula dan dia pun lalu
meloncat ke atas tali di bela-kang Cu Han
Bu. Ci Sian juga melangkah ke depan dan
menginjak tali itu, melang-kah hati-hati di
belakang Kam Hong dan dia melihat bahwa
di belakangnya me-langkah pula pihak tuan
rumah. Hatinya lega karena kalau tali putus,
mereka semua yang akan jatuh, bukan
hanya dia dan Kam Hong!
Lihatlah betapa besar si Aku mengua-sai
batin manusia! Setiap kali tertimpa
malapetaka atau tercekam rasa takut,
manusia akan merasa terhibur kalau
melihat ada orang lain juga tertimpa hal
yang sama! Seolah-olah melihat orang lain
tertimpa malapetaka, apalagi kalau lebih
besar daripada malapetaka yang menimpa
dirinya, hal itu menjadi hiburan yang amat
manjur! Tangis karena menye-dihi
malapetaka yang menimpa diri bisa saja
berobah tawa ketika melihat orang lain
mengalami hal yang sama atau lebih parah!
Sebaliknya, si Aku ini selalu tidak rela kalau
dalam menerima keuntungan lalu ada orang
lain yang juga menerima keuntungan yang
sama, apalagi yang lebih besar. Iri hati
timbullah! Ah, kalau saja kita mau
mengamati diri setiap saat, akan nampaklah
segala kekotoran, kemunafikan, kepalsuan,
kebencian, iri hati, dalam diri sendiri, dalam
si Aku ini! Sayang, kita hanya suka
mengamati orang lain, mencela orang lain,
tidak pernah mau mengamati diri sendiri,
atau kalau mau pun kita hanya mau melihat
kebaikan-kebaikan diri sendiri belaka dan
itu bukanlah pengamatan namanya!
Choirul, maret 2008 317
Mereka semua dapat menyeberang dengan
selamat sampai di seberang dan setelah
semua orang melompat ke tepi jurang di
daerah lembah, tali itu lalu dikendurkan lagi
sehingga menghilang tertutup kabut.
“Mari silakan, sobat!” Cu Han Bu
mempersilakan ketika mereka tiba di depan
sebuah gedung yang cukup megah di
tengah-tengah lembah. Dengan tenang
Kam Hong bersama Ci Sian mengikuti tuan
rumah memasuki gedung itu dan mereka
lalu dipersilakan untuk duduk di ruangan
dalam yang luas dan di sinilah dua orang
tamu ini dijamu oleh pihak tuan rumah.
Mereka semua mengelilingi sebuah meja
panjang. Kam Hong dan Ci Sian duduk
bersanding di tempat kehor-matan,
kemudian berturut-turut duduk Cu Han Bu,
Cu Seng Bu, Cu Kang Bu, lalu Yu Hwi dan
Pek In sendiri duduk di dekat ayahnya.
Mereka duduk makan minum sambil
bercakap-cakap atau lebih tepat, yang
bercakap-cakap adalah Kam Hong dan Cu
Han Bu berdua saja, karena yang lain
hanya diam mendengarkan. Ci Sian melihat
betapa kadang-kadang Yu Hwi mengerling
ke arah Kam Hong dan dia menangkap
pandang mata penuh ka-gum dari wanita itu
kepada bekas tu-nangannya. Hati Ci Sian
merasa puas. Hemm, perempuan tolol,
pikirnya, me-nolak Kam Hong dan memilih
pria tinggi besar itu sama dengan menolak
batu intan dan memilih batu karang! Tentu
saja dia tidak tahu bahwa sebetul-nya
tidaklah demikian. Yu Hwi sudah jatuh cinta
kepada Kang Bu dan tentu saja baginya
tidak ada pria yang lebih hebat daripada
kekasihnya itu. Dia me-mandang kagum
kepada Kam Hong ada-lah karena
kekaguman yang sungguh-sungguh,
mengingat bahwa dahulu bekas
tunangannya ini hanya setingkat dia
ke-pandaiannya, bahkan lebih rendah
mungkin. Akan tetapi, sekarang ternyata
bukan hanya mampu menandingi Kang Bu,
bah-kan kini berani memasuki Kim-siauw
San-kok dengan sikap demikian
tenang-nya. Betapa bedanya dibandingkan
dengan Siauw Hong dahulu!
Setelah mereka selesai makan minum dan
semua mangkok piring telah dibersih-kan
dari meja, Cu Han Bu lalu berkata kepada
Kam Hong, “Nah, sekarang kami harap
sudilah kiranya engkau mencerita-kan
tentang nenek moyangmu, keluarga
Pendekar Suling Emas, sobat Kam Hong.”
Kam Hong tersenyum. “Saudara Cu, bukan
aku yang sengaja datang, melain-kan
karena kalian yang mengundangku, oleh
karena itu, sudah sepatutnya kalau engkau
lebih dulu menceritakan keadaan
keluargamu dan mengapa ada hubungan di
antara keluarga kita seperti yang
kau-katakan. Apa pula sebabnya tempat ini
memakai nama Suling Emas, dan
bagai-mana puterimu dapat memiliki
sebatang suling emas yang serupa dengan
sulingku, sungguhpun lebih kecil.”
Cu Han Bu juga tersenyum, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar
berkilat, “Hemm, rahasia keluarga kami
tidak boleh diceritakan begitu saja kepada
siapapun juga.”
“Demikian pun keadaan keluarga ne-nek
moyangku bukan untuk diceritakan kepada
pihak lain.”
“Betapapun juga, kita berdua mem-punyai
hubungan melalui suling emas, oleh karena
itu terpaksa kita harus sa-ling menceritakan
keadaan kita. Dan karena tidak ada jalan
untuk menentukan siapa yang harus
bercerita lebih dulu, mari kita tentukan
dengan menguji ke-pandai masing-masing,
sobat Kam Hong. Adikku telah kalah
olehmu, maka aku ingin sekali untuk
mengukur sendiri ke-hebatanmu, dan
biarlah ini dijadikan penentu siapa yang
lebih dulu mencerita-kan keadaannya.”
“Hemm, aku tidak ingin bertanding, akan
tetapi kalau pihak tuan rumah meminta, aku
sebagai tamu tidak berani menolak.”
“Bagus, sikapmu amat mengagumkan
hatiku, sobat!” kata Cu Han Bu yang tadinya
khawatir kalau-kalau tamunya akan
Choirul, maret 2008 318
menolak. Ketika dia melihat adik-nya kalah,
hatinya sudah dipenuhi rasa penasaran dan
ingin sekali dia maju un-tuk menandingi
pemuda itu. Akan tetapi oleh sikap dan
kata-kata Ci Sian, pula karena baru saja
adiknya kalah, apa pula ditonton oleh Seethian
Coa-ong, dia merasa sungkan juga
untuk langsung me-nantang Kam Hong.
Juga melihat ada-nya senjata suling emas
itu amat me-ngejutkan hatinya maka dia
tidak berani lancang menantang di tempat
itu, di luar lembah. Kini mereka berada di
dalam lembah dan dia memperoleh
kesempatan untuk menantang Kam Hong
dengan cara yang lebih “lunak” dalam
suasana persa-habatan, sebagai seorang
tuan rumah menghidangkan sesuatu
kepada tamunya yang terpaksa harus
diterimanya. Dalam pertandingan
“persahabatan” ini, kalau sampai kalah,
tidaklah begitu menjatuh-kan nama, tidak
seperti dalam pi-bu yang sengaja diadakan
untuk menentukan siapa kalah siapa
menang, siapa lebih pandai. Kini meja itu
disingkirkan dan semua orang duduk di atas
kursi yang ditarik ke pinggir dekat dinding
sehingga ruangan itu menjadi sebuah
tempat terbuka yang cukup luas.
Cu Han Bu sudah mengeluarkan sabuk
emasnya dan sambil tersenyum dia
me-langkah maju ke tengah ruangan yang
luas itu. “Silakan, sobat Kam Hong!”
katanya. Kam Hong juga melangkah maju
dan tanpa sungkan lagi dia pun mencabut
suling emasnya. Melihat lawan hanya
memegang sebatang senjata, dia pun tidak
mengeluarkan kipasnya, sungguhpun
dibantu oleh kipasnya, dia akan menjadi
semakin lihai.
Kemudian Cu Han Bu berkata lagi, “Saling
uji kepandaian ini selain untuk menentukan
siapa yang harus lebih dahu-lu
menceritakan keadaan keluarganya, juga
biarlah untuk menentukan siapa yang
berhak memakai nama Suling Emas.”
Kam Hong mengerutkan alisnya,
me-mandang dengan mata mencorong
tajam lalu berkata dengan suara lambat
namun mengandung tekanan kuat,
”Saudara Cu Han Bu, apa maksudmu
dengan kata-kata itu?”
“Sobat, engkau memakai julukan Pen-dekar
Suling Emas, atau setidaknya mengaku
sebagai keturunan keluarga Pendekar
Suling Emas, sedangkan kami mengaku
sebagai keluarga penghuni Lem-bah Suling
Emas dari mana datangnya suling emas
yang asli. Oleh karena itu, biarlah kita
mengeluarkan ilmu warisan keluarga kita
masing-masing untuk me-nentukan siapa
yang aseli dan siapa yang kalah berarti
tidak boleh lagi memper-gunakan julukan
Suling Emas, baik bagi namanya maupun
bagi tempat tinggalnya. Jelaskah?”
Suling Emas mengangguk-angguk. Ten-tu
saja di dalam hatinya dia tidak setuju
dengan taruhan gila ini, akan tetapi dia pun
terpaksa tidak dapat menolak karena
seorang pendekar amat memegang
kehor-matan dan nama “Kalau demikian
ke-hendakmu, baiklah.” jawabnya.
“Bagus, sikapmu memang amat
me-ngagumkan. Nah, kausambutlah, sobat
Kam Hong”
Cu Han Bu sudah mulai menyerang dan
begitu menyerang, dia sudah
menge-luarkan seluruh kepandaian dan
menge-rahkan semua tenaganya. Sabuk
emas yang lemas itu tiba-tiba menjadi kaku
seperti sebatang pedang dan ketika Cu Han
Bu bergerak menyerang, hampir Kam Hong
berseru kaget karena dia mengenal bahwa
gerakan itu mirip sekali dengan Ilmu
Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang telah
dipelajarinya dari catatan jenazah kuno!
Memang gerakan itu tidak serupa benar,
perkembangan selanjutnya bahkan
berbeda, akan tetapi gerakan dasar dan
permulaannya tak dapat diragukan lagi
adalah Kim-siauw Kiam-sut! Dan bukan
main hebat dan dahsyatnya, tenaganya
amat besar dan sabuk itu mengeluarkan
suara berdesing kemudian mengaungngaung
dan mengeluarkan suara seperti
suling ditiup, sungguhpun tidak melengking
Choirul, maret 2008 319
terlalu tinggi! Lenyaplah tubuh Cu Han Bu,
terbungkus sinar keemasan yang
bergulung-gulung!
Kam Hong maklum bahwa dia tidak boleh
main-main, maka dia pun lalu
menggerakkan sulingnya dengan gerakan
panjang dari kanan ke kiri lalu memutar
seluruh tubuhnya, dan mulailah dia
main-kan Kim-siauw Kiam-sut seperti yang
dipelajarinya selama hampir lima tahun ini!
Dan begitu dia bergerak dan tubuh-nya pun
lenyap dibungkus sinar keemasan yang
lebih gemilang lagi, Han Bu tak dapat
menahan seruan kagetnya. Apalagi ketika
mereka berdua sudah saling me-nyerang
dengan hebatnya, keheranan Han Bu makin
meningkat. Ternyata pemuda lawannya itu
mampu memainkan ilmu silat keturunan
keluarganya dengan demi-kian hebat dan
lengkap, dengan perkem-banganperkembangan
aneh yang belum pernah
dilihat atau didengarnya!
Sementara itu, para penonton, yaitu tiga
orang gadis yang tingkat kepandai-annya
belum setinggi Cu Han Bu dan dua orang
adiknya, segera menjadi agak pe-ning dan
tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian
itu dengan pandang mata mereka. Mereka
melihat betapa dua orang itu bergerak
terlalu aneh dan ter-lalu cepat sehingga
tubuh mereka ter-bungkus dua sinar yang
sama-sama ke-emasan dan gilanggemilang,
sedangkan suara mendengungdengung
dari sabuk emas di tangan Han Bu
itu kini ditam-bah lagi dengan suara suling
melengking-lengking aneh sehingga
terdengar amat luar biasa. Suling di tangan
Kam Hong itu seolah-olah tidak sedang
digerakkan seperti sebatang senjata
melainkan se-dang ditiup dengan lagu yang
aneh me-lengking-lengking, kadang-kadang
tinggi kadang-kadang rendah dan
mendatangkan kepeningan kepada yang
mendengarnya.
Memang hebat luar biasa perkelahian
antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi
Kam Hong, semenjak dia meninggalkan
gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga
Suling Emas, yaitu Sin-siauw Seng-jin, Cu
Han Bu ini merupakan lawan yang paling
lihai sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi
pihak tuan rumah, Kam Hong merupakan
lawan paling lihai yang pernah
dijumpai-nya! Setiap serangan mereka
disertai sin-kang yang amat kuat, dan setiap
jurus serangan dibalas dengan jurus
serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu
silat me-reka sama, dan biarpun yang
seorang mempergunakan senjata sabuk
emas dan yang lain menggunakan suling
emas, namun mereka menggunakan
senjata-sen-jata itu seperti orang
memegang seba-tang pedang dan ilmu silat
yang mereka mainkan juga ilmu silat
pedang! Akan tetapi perkembangan
gerakan itu yang berbeda dan diam-diam
Cu Han Bu harus mengakui bahwa ilmu
silat lawan ini benar-benar luar biasa,
merupakan ilmu silat pusaka keluarganya
akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga
dalam hal sin-kang, dia merasa tidak
mampu me-nandingi kekuatan pemuda
sastrawan ini.
Akan tetapi, keluarga Cu ini sudah
terlampau lama, mungkin sudah beberapa
keturunan, merasa bahwa mereka adalah
keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang
memiliki kepandaian tinggi turun-temurun,
maka mereka tidak biasa de-ngan
kekalahan. Hal itu membuat mereka dalam
mengasingkan diri selalu meman-dang
rendah orang lain sungguh pun diam-diam
keluarga ini amat memperhatikan dan
mempelajari orang-orang kang-ouw yang
terkenal, bukan hanya mengenal bentukbentuk
mereka, julukan dan ke-istimewaan
mereka, akan tetapi juga mempelajari
keistimewaan mereka itu dan tiga orang
saudara itu selalu men-cari kelemahan
mereka. Akan tetapi mereka belum pernah
mendengar tentang Kam Hong ini dan
begitu pemuda wang tidak terkenal di dunia
kang-ouw ini maju, mereka harus kalah!
Tentu saja Cu Han Bu tidak dapat menelan
ini, dan dengan penasaran memuncak dia
pun melakukan perlawanan mati-matian
dalam pertandingan itu.
Choirul, maret 2008 320
Setelah lewat hampir dua ratus jurus,
tahulah Kam Hong bahwa kalau
pertan-dingan ini dilanjutkan, akhirnya tentu
seorang di antara mereka akan roboh
dengan luka parah, kalau tidak tewas. Dan
dia tidak ingin sampai menewaskan tuan
rumah, apalagi karena memang tidak
terdapat permusuhan apa pun di antara
mereka. Di dalam ilmu yang di-pelajarinya
dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat
jurus yang dinamakan Tiang-khing-toan-san
(Bianglala Memecah-kan Bukit) dan jurus ini
khusus untuk mematahkan senjata lawan
yang bagai-manapun ampuhnya. Akan
tetapi untuk ini dia harus mengerahkan
seluruh tenaga khi-kang yang dihimpunnya
dari latihan meniup suling. Kalau tidak
berhasil, ber-arti dia akan menghamburkan
banyak sekali tenaga dalam. Akan tetapi
melihat bahwa itu merupakan jalan satusatunya
untuk mengakhiri pertandingan ini
tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu
mulai memainkan jurus ini.
Cu Han Bu terkejut sekali ketika tiba-tiba
gulungan sinar emas dari lawan itu berobah
memanjang dan melengkung, dan
terdengarlah suara melengking tinggi sekali
sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga,
namun yang mengandung getaran yang
luar biasa, membuat jan-tungnya terasa
perih dan kedua ka-kinya menggigil! Semua
orang yang berada di situ agaknya
terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan
Cu Kang Bu cepat duduk bersila
menghimpun te-naga untuk melawan
getaran itu, sedang-kan Cu Pek In, Yu Hwi,
dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan
kedua telapak tangan untuk menutup
telinganya rapat-rapat karena mereka
merasa telinga mereka seperti ditusuktusuk!
Kam Hong maklum akan hal ini,
maka begitu tena-ganya sudah terhimpun,
dia meluncurkan sulingnya ke atas, seolaholah
hendak menyerang kepala lawan. Cu
Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya
untuk melindungi kepala dan pada saat itu,
dengan gerakan melengkung seperti
bianglala, suling emas di tangan Kam Hong
melayang dan menghantam ke arah sabuk
emas itu.
“Cringggg....! Trakkkk!!”
“Aiihhhh....!” Cu Han Bu meloncat jauh ke
belakang, berdiri dengan muka pucat
memandang ke arah sabuk emasnya yang
telah patah menjadi dua, yang tinggal di
tangannya hanya sepotong pendek
sedangkan patahannya berada di atas
tanah, di bawah kaki lawan.
Cu Han Bu boleh jadi adalah seorang yang
berhati keras dan tidak pernah mau kalah
oleh orang lain, akan tetapi dia memiliki
kegagahan dan tahu bahwa da-lam
pertandingan ini, betapapun sukar
dipercaya, dia telah kalah oleh Kam Hong!
Mukanya yang pucat itu menjadi merah
sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk
emas itu ke atas lantai dan de-ngan sikap
terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam
Hong sambil berkata, “Aku Cun Han Bu
harus mengakui bahwa da-lam hal ilmu
silat, engkau lebih unggul daripada aku,
sobat Kam Hong, sungguh-pun aku sama
sekali tidak mengerti bagaimana engkau
dapat mainkan ilmu pusaka keturunan
keluarga kami. Akan tetapi biarlah hal itu
nanti kita bicara-kan. Dalam ilmu silat aku
kalah, akan tetapi sesuai dengan nama
Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak,
biarlah sekarang kita memperlihatkan siapa
di antara kita yang lebih tepat memakai
nama itu dengan cara meniup suling.
Engkau yang membawa-bawa pusaka
su-ling emas dan keluargamu memakai
ju-lukan Suling Emas tentu pandai sekali
meniup suling. Maukah engkau melayani-ku
mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?”
Karena tantangan ini pun mengenai nama
keluarganya, maka tentu saja Kam Hong
tidak menolak, apalagi karena me-mang dia
ingin melihat sampai di mana kepandaian
keluarga yang mengaku se-bagai keluarga
Suling Emas dan yang ternyata mampu
pula memainkan ilmu yang mirip dengan
Kim-siauw Kiam-sut itu. “Baik, aku sebagai
tamu hanya me-layani kehendak tuan
rumah.”
Choirul, maret 2008 321
Cu Han Bu lalu minta suling emas yang
dibawa oleh Pek In, kemudian dia
mempersilakan Kam Hong duduk
sedang-kan dia sendiri lalu duduk bersila di
atas lantai. Melihat tuan rumah duduk
bersila menghadapinya, hanya dalam jarak
ku-rang lebih empat meter mereka duduk
bersila saling berhadapan. Sejenak, kedua
orang yang sama-sama memegang suling
emas yang bentuknya serupa benar itu,
hanya suling di tangan Kam Hong agak
lebih besar, saling pandang dengan penuh
perhatian. Cu Han Bu menggunakan ujung
baju lengan kirinya untuk mengusap
ke-ringat di dahi dan lehernya.
Pertandingan selama dua ratus jurus yang
mempergu-nakan banyak tenaga itu tadi
membuat dia merasa lelah sekali dan
tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi
sebalik-nya, Kam Hong hanya berkeringat
sedikit saja.
“Saudara Kam Hong, aku kagum se-kali
kepadamu,” akhirnya Cu Han Bu berkata,
ucapan yang sejujurnya sungguh-pun
kekagumannya itu bercampur dengan rasa
penasaran. “Kalau ternyata engkau juga
mampu mengalahkan aku dalam hal
meniup suling, biarlah aku mengaku ka-lah.
Engkau bersiaplah menerima per-mainan
sulingku.” Cu Han Bu lalu meno-leh kepada
puterinya dan berkata kepa-danya, “Pek In,
bagikan pelindung telinga kepada Nona
tamu dan Yu Hwi.”
“Baik, Ayah.” jawab Cu Pek In dan dia
mengeluarkan benda-benda kecil
penyumbat telinga berwarna putih terbuat
dari karet lalu memberikan sepa-sang
kepada Yu Hwi kemudian dia meng-hampiri
Ci Sian dan diberinya pula sepa-sang
kepada dara ini. Akan tetapi Ci Sian
tersenyum mengejek dan menggeleng
kepalanya.
“Aku tidak perlu memakai pelindung
telinga.” katanya.
Tentu saja wajah Pek In menjadi merah
oleh penolakan ini dan dia sudah menjadi
marah, akan tetapi ketika dia memandang
kepada ayahnya, Cu Han Bu menggeleng
sedikit kepalanya sehingga dia mundur lagi,
duduk di tempat semula dan dia pun lalu
mengenakan sepasang penyumbat telinga.
“Nona, kau harus memakai pelindung
telinga, kalau tidak akan berbahaya bagi
keselamatanmu.” tiba-tiba Cu Seng Bu
berkata karena tokoh ini merasa tidak enak
kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut
mengadu ilmu kena celaka.
Ci Sian masih tersenyum ketika dia
menggeleng kepala. “Mengapa celaka?
Andaikata perlu melindungi telinga,
bukankah aku masih mempunyai kedua
tangan untuk menyumbat kedua
telinga-ku?”
Cu Seng Bu tidak bicara lagi dan bersama
Cu Kang Bu, dia pun menyum-bat kedua
telinganya dengan pelindung telinga karena
dia maklum bahwa kakak-nya akan
mengeluarkan ilmu meniup suling yang
mujijat, yang suaranya dapat merobohkan
lawan, bahkan dapat membunuhnya!
Sementara itu, Kam Hong terkejut bukan
main ketika melihat Ci Sian me-nolak
pemberian pelindung telinga itu. Dia makin
menghargai pihak tuan rumah yang ternyata
demikian baik hati untuk menawarkan
pelindung telinga kepada Ci Sian, akan
tetapi celakanya, dara yang keras hati itu
menolak dan dia tahu bahwa hal ini berarti
bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya
maut karena suara tiupan suling yang
dilakukan oleh orang yang amat kuat
tenaga khi-kang-nya dapat merusak telinga
atau bahkan membunuhnya. Akan tetapi
karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia
pun tentu saja tidak mau memaksa gadis itu
menarik kembali penolakannya karena hal
itu sampai mati pun kiranya tidak akan
dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati.
Maka dia pun lalu mengambil keputusan
untuk melindungi Ci Sian dari bahaya
ancaman suara suling Cu Han Bu.
Kini Cu Han Bu sudah mulai menem-pelkan
ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia
Choirul, maret 2008 322
meniup suling emas itu. Mula-mula
terdengar suara suling yang merdu naik
turun, akan tetapi kemudian suara suling itu
terus menaik dan mulai-lah Ci Sian merasa
tersiksa karena kedua telinganya seperti
dikilik-kilik rasanya. Suara suling itu makin
meninggi saja dan rasa yang mula-mula
hanya geli itu makin nyeri dan telinganya
seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian
tadi-nya hendak mempertahankan, akan
tetapi akhirnya dia tidak kuat lagi dan dia
menggunakan kedua tangan untuk
menu-tupi lubang telinganya!
Akan tetapi betapa kaget rasa hati Ci Sian
bahwa suara itu masih saja terus mengiang
di dalam telinganya, makin lama makin
hebat sehingga kini terasa seperti
telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya
mulai menggigil dan matanya terbelalak
memandang ke arah Kam Hong seolah-olah
hendak minta tolong.
Pada saat itu, Kam Hong sudah
men-dekatkan suling di bibirnya dan meniup
sulingnya sambil menutup semua lubang
suling. Dia tahu bahwa kalau dia
meng-gunakan sulingnya untuk balas
menye-rang, dia akan dapat membuat
lawan celaka, akan tetapi juga Ci Sian akan
ikut celaka, maka kini dia meniup su-lingnya
dengan lembut sekali. Terdengar suara
lembut dari sulingnya, suara yang
bergelombang halus akan tetapi dapat
menggulung suara melengking lirih yang
mengandung getaran berbahaya dari suara
suling Cu Han Bu dan Ci Sian merasa
betapa perlahan-lahan kenyerian di
te-linganya lenyap, dan dia berani
membuka kedua tangannya dan kini yang
terdengar olehnya hanya suara suling
lembut yang amat merdu dan
mendatangkan rasa nik-mat! Makin lama,
makin lembut suara suling Kam Hong dan
akhirnya Ci Sian tidak dapat menahan lagi,
tubuhnya ter-guling dan dia tertidur pulas di
atas lantai!
Suara suling dari suling emas yang ditiup
Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini
setelah dia meilhat Ci Sian tidur pulas, dia
menambah kekuatan tiupannya dan suara
suling itu menggetar halus, biarpun kedua
telinga orang-orang yang berada di situ
telah ditutup pe-nyumbat telinga dari karet,
namun ge-taran itu masih terus menyerang
melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis
sehingga akhirnya, berturut-turut Cu Pek In
dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!
Melihat ini, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu
terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk
bersila di atas lantai dan menge-rahkan
tenaga sin-kang mereka untuk melawan
serangan suara suling dari su-ling Kam
Hong. Sementara itu, Cu Han Bu juga
memperhebat suara sulingnya untuk
menyerang lawan. Namun semua serangan
suara sulingnya itu tenggelam di dalam
kelembutan itu seperti bara api yang
berkobar dijatuhkan ke dalam ku-bangan air
dingin saja. Sedangkan alunan suara suling
dari Kam Hong terus ber-getar menyerang
ketiga orang kakak beradik Cu itu yang kini
makin hebat melakukan perlawanan dan
mengerahkan sin-kang mereka. Dari ubunubun
kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu
sampai mengepul uap putih dan muka
mereka menjadi merah sekali karena
keduanya telah mengerahkan sin-kang
sekuatnya untuk menahan rasa kantuk
hebat yang menyerang mereka. Syaraf
mereka seperti diayun atau dibelai oleh
suara itu, suara yang mengandung
kekuatan mujijat dan yang membuat seluruh
tubuh terasa lemas dan satu-satunya hal
yang mereka inginkan saat itu hanyalah
tidur, lain tidak!
Memang hebat sekali kekuatan yang
terkandung dalam suara suling yang di-tiup
secara istimewa oleh Kam Hong itu. Suara
itu selain dapat menembus pe-lindung
telinga, juga langsung menyerang dan
merangsang syaraf-syaraf di kepala
menembus kulit kepala yang perasa se-perti
di pelipis dan bagian lain, teruta-ma sekali
merangsang syaraf di pusat pendengaran.
Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang
merupakan orang-orang yang memiliki
kesaktian dan memiliki tenaga sin-kang
yang sudah mencapai tingkat tinggi dan
Choirul, maret 2008 323
amat kuat itu. Mereka telah mengerahkan
sin-kang untuk melawan pengaruh suara
itu. Akan tetapi lambat laun wajah mereka
yang merah menjadi semakin pucat, uap
putih yang mengepul di kepala mereka
semakin menipis dan akhirnya keduanya
tertidur pulas dalam keadaan masih duduk
bersila!
Kini tinggal Cu Han Bu seorang yang masih
terus melawan sambil meniup su-lingnya.
Cu Han Bu juga merasa betapa tenaga
suara sulingnya itu kini sama se-kali tidak
dapat menembus suara suling lawan yang
seolah-olah merupakan ben-teng yang amat
kuatnya, dan dia pun bahkan mulai merasa
betapa gelombang yang hebat menggulung
dirinya, mem-buainya dengan nikmat sekali.
Diam-diam dia terkejut, maklum bahwa
suara suling Kam Hong benar-benar
memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Dia
ber-usaha melawan terus, kadang-kadang
meniup sulingnya amat tinggi, kadangkadang
amat rendah, namun semua
usahanya itu gagal karena semua
perla-wanannya itu membalik dan bahkan
agaknya menambah kedahsyatan
gelombang getaran dari suara suling Kam
Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri, Cu
Han Bu juga jatuh pulas dalam ke-adaan
bersila dan sulingnya masih berada dalam
genggaman dan masih menempel di
bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia
seolah-olah telah berobah menjadi patung
orang menyuling!
Setelah melihat lawannya tertidur, barulah
Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya.
Wajahnya agak pucat dan se-luruh
tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun
telah mengerahkan banyak te-naga tadi dan
baru setelah dia menge-luarkan semua
tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci
Sian dan sekaligus mem-buat tidur semua
orang, termasuk lawan-nya yang kuat itu.
Dia menyimpan su-lingnya lalu
menggunakan saputangan untuk menyusuti
peluhnya.
Setelah kini suara suling terhenti dan
getaran suara yang amat kuat itu lenyap,
berturut-turut terjagalah mereka semua
yang tertidur pulas itu. Pertama-tama
adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya
yang terjaga.
“Ahhhh....!” Cu Han Bu mengeluh dan
terbelalak, lalu teringat akan segala yang
telah terjadi, maka dia pun meloncat
bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke
arah Kam Hong yang juga telah bangkit
dengan tenang.
“Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar
biasa sekali dan aku Cu Han Bu benarbenar
mengakui keunggulanmu, baik dalam
hal ilmu silat maupun dalam hal ilmu
meniup suling. Engkau memang ber-hak
memakai julukan Suling Emas!”
Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak
ragu-ragu lagi untuk memberi hor-mat
kepada pendekar yang jelas memiliki tingkat
kepandaian di atas mereka itu.
Kam Hong cepat-cepat membalas
penghormatan mereka dan dia pun
ber-kata, “Harap Sam-wi tidak
merendahkan diri karena terus terang saja,
baru seka-ranglah saya menemukan
keluarga yang memiliki kepandaian sehebat
yang di-miliki Sam-wi. Saya percaya bahwa
tentu ada hubungannya antara Sam-wi
dengan Suling Emas.”
Pada saat itu, tiga orang dara juga telah
terjaga dan mereka mula-mula merasa
bingung dan terheran-heran, akan tetapi
setelah teringat dan melihat be-tapa sikap
tiga orang she Cu itu amat menghormat
Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam
Hong telah menangkan per-tandingan aneh
itu. Yu Hwi memandang dengan mata
terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia
telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu,
kekasihnya. Sedangkan Ci Sian lari
menghampiri Kam Hong.
“Paman, engkau telah menang?”
Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa
menjawab. Tentu saja Ci Sian me-rasa
Choirul, maret 2008 324
penasaran dan dia lalu menoleh ke-arah Cu
Han Bu, dan bertanya dengan lantang,
“Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau
bersikap jantan mengakui bahwa Paman
Kam Hong telah memper-oleh kemenangan
dalam pertandingan ini?”
Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu
sudah berkali-kali membikin sakit perasaan,
akan tetapi dia tidak dapat mengelak lagi.
“Benar, Saudara Kam Hong telah
mengalahkan kami.”
“Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar
Suling Emas yang sejati!”
“Sssst, Ci Sian, menyombongkan diri di atas
kemenangan adalah perbuatan yang
bodoh.” Kam Hong mencela dan Ci Sian
mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan
tidak banyak cakap lagi. Dia seringkali
ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur,
dia merasa tidak senang, apalagi kini
ditegur di depan banyak orang, di depan Yu
Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan
tetapi tidak be-rani karena dia tahu bahwa
kalau dia marah terhadap Kam Hong di
depan banyak orang, hal itu akan
merendahkan nama Kam Hong yang baru
saja keluar sebagai pemenang. Maka dia
pun lalu duduk diam saja di dekat Kam
Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak
meruncing.
“Saudara Cu, kiranya sudah sepatut-nya
kalau sekarang Sam-wi menceritakan
kepadaku tentang keluarga Cu yang ting-gal
di Lembah Suling Emas ini....“ Kam Hong
berkata kepada Cu Han Bu karena memang
dia ingin sekali mendengar ri-wayat
keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu
apa hubungan mereka dengan Suling
Emas. “Setelah itu, baru saya akan
menceritakan tentang keluarga Pendekar
Suling Emas.”
Cu Han Bu mengangguk, lalu dia
memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian.
“Riwayat keluarga kami adalah rahasia
kami, tidak boleh didengar oleh orang lain.
Engkaulah orang pertama yang akan
mendengarnya, Saudara Kam Hong, Yu
Hwi, biarpun engkau seorang luar, namun
mengingat akan hubunganmu dengan
Kang-te, berarti engkau merupakan calon
keluarga juga, maka engkau boleh
men-dengarnya. Hanya Nona ini....“ Dia
me-mandang Ci Sian dengan ragu-ragu.
“Dia adalah keponakanku dan juga boleh
dianggap adik seperguruanku, maka kalau
aku boleh mendengar, dia pun ber-hak
mendengar pula.” Kam Hong berkata cepatcepat
karena dia tahu bahwa kalau sampai
dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian
tentu akan marah dan entah apa yang akan
dilakukan kalau dia marah. Dalam tempat
seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci
Sian berpisah dari sam-pingnya, karena hal
itu akan amat membahayakan
keselamatannya.
Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa
tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran
Kam Hong tadi. Dia tersenyum dan
memandang kepada pihak tuan rumah
dengan sinar mata menantang!
Cu Han Bu menarik napas panjang. “Kalau
begitu baiklah, karena dia Saudara Kam
Hong yang menanggung. Nah,
dengarkanlah cerita singkat dari keadaan
keluarga kami, terutama yang
bersang-kutan dengan Suling Emas.”
Mulailah pendekar yang menyembunyikan
diri di lembah itu bercerita tentang
keluarga-nya.
Menurut cerita turun-temurun dalam
keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya
mendengar bahwa seorang di antara
ne-nek moyang mereka pada seribu tahun
lebih yang lalu adalah seorang pangeran
bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri
dari kota raja karena berselisih dengan
kaisar. Cu Keng Ong ini meng-asingkan diri
ke lembah Kongmaa La di Pegunungan
Himalaya itu bersama keluarganya dan
hidup sebagai pertapa dan petani di tempat
ini. Cu Keng Ong ada-lah seorang pangeran
yang berilmu ting-gi, selain pandai ilmu silat
juga ahli dalam hal kerajinan tangan,
Choirul, maret 2008 325
terutama mengukir dan membuat bendabenda
dari pada emas. Ketika berada
dalam penga-singan ini, Cu Keng Ong
bahkan mem-perdalam ilmu-ilmunya dari
para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya
dia men-jadi seorang manusia yang amat
lihai, akan tetapi yang selalu
menyembunyikan diri dan hidup tenteram
dalam lembah itu.
Karena kehidupan di lembah itu sama sekali
tidak memerlukan emas, maka Cu Keng
Ong lalu mengumpulkan semua emas yang
mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia
melebur emas itu dan dibuatlah sebatang
suling emas yang amat baik, bukan saja
indah bentuknya akan tetapi terutama sekali
dengan ukur-an-ukuran sempurna sehingga
akan me-ngeluarkan bunyi yang amat indah
kalau dimainkan. Karena Cu Keng Ong
sering-kali bertiup suling di lembah itu,
dengan suling emasnya, dan suara
sulingnya ter-dengar sampai jauh ke luar
lembah, maka mulailah lembah itu diberi
nama Lembah Suling Emas!
“Demikianlah asal-usul nama lembah ini
menurut dongeng keluarga kami.” Cu Han
Bu melanjutkan. “Akan tetapi sa-yang,
menurut dongeng keluarga turun-temurun
itu, tidak ada lanjutan tentang nenek
moyang kami yang bernama Cu Keng Ong
itu dan suling emas itu pun tidak ada pada
keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah
suling emas ini yang dibuat oleh seorang
nenek moyang kami kemudian yang
bernama Cu Hak dan yang juga ahli dalam
pembuatan benda-benda dari emas dan
baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya
hanya membuat suling ini disesuaikan
dengan cerita keluarga itu tentang bentuk
suling emas aseli buatan Cu Keng Ong.
Dan di samping suling ini, juga keluarga
kami mewarisi ilmu silat yang menjadi
pasangan dari suling ini, yaitu ilmu silat
yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang
telah kumainkan dengan sabuk emas
karena saya lebih biasa berlatih dengan
sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata
Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu
dengan suling emasnya, bahkan lebih
sempurna daripada saya!” Han Bu menarik
napas panjang.
Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan
saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini
setelah mendengar riwayat keluarga Cu,
dapat menduga bahwa kakek kuno yang
jenazahnya mereka temukan itu tak salah
lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan
tetapi mereka diam saja dan mendengarkan
terus.
Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek
moyang yang bernama Cu Keng Ong itu
menurut berita keluarganya telah lenyap,
dan ada berita bahwa kakek itu
mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu
mengandung rahasia ilmu keluarga me-reka
yang paling tinggi. Sejak turun-temurun,
keluarga Cu berusaha mencari jenazah
kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa
hasil. Juga suling emas buatan Pangeran
Cu Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu.
Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan
turun-temurun sampai tiga orang kakak
beradik Cu ini.
“Karena merasa khawatir bahwa su-ling
pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali,
kami pernah melakukan penyeli-dikan. Dan
kami mendengar bahwa suling itu terjatuh
ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa
ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk
mendapatkan keturunannya, namun usaha
kami sia-sia saja, seolah-olah keluarga
Suling Emas itu sudah musnah dan
bersama namanya ter-bawa lenyap pula,
agaknya Saudara Kam Hong telah
mempelajari ilmu-ilmu ke-luarga kami
dengan lebih sempurna dari-pada yang
kami warisi sendiri!” Ucapan terakhir itu
keluar dengan nada penuh rasa penasaran.
Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat
mengerti mengapa pihak tuan ru-mah
merasa penasaran dan diam-diam dia pun
merasa kasihan. Kini mengertilah dia
mengapa keluarga Cu ingin sekali
mengalahkan dia dan merasa amat
pena-saran ketika tidak berhasil, karena itu
berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang
Choirul, maret 2008 326
dengan mempergunakan senjata pusaka
dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri!
Biarpun dia tahu bahwa hal itu bukan
kesalahannya, namun dia merasa sedikit
bahwa dia seolah-olah menjadi pencuri
pusaka dan ilmu keluarga Cu.
“Nah, demikianlah riwayat keluarga kami
yang berhubungan dengan suling emas,
Saudara Kam. Sekarang harap Saudara
ceritakan tentang keluarga Sau-dara yang
mempergunakan nama Suling Emas, agar
kami mengerti bagaimana duduk
perkaranya.” kata Han Bu. Kam Hong
menghela napas. Dia harus menceritakan
semuanya agar mereka ini tidak merasa
penasaran dan menganggap bahwa
keluarganya adalah pencuri-pencuri pusaka
dan ilmu! Setelah memandang ke arah
wajah tiga orang kakak beradik she Cu
yang duduk dihadapannya itu,
Kam Hong lalu berkata, “Julukan Suling
Emas dipakai oleh nenek moyangku yang
ber-nama Kam Bu Song dan beliau pulalah
yang pertama-tama memiliki suling emas ini
yang menurut cerita keluarga kami
diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di
Pulau Pek-coa-tho (Pulau Ular Putih).
Kemudian suling emas ini secara turuntemurun
dimiliki oleh keluarga Kam dan
memang pada akhir-akhir be-berapa
keturunan ini sampai kepada saya, keluarga
kami menyembunyikan diri. Demikianlah
riwayat suling emas ini dan dapat
kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki
dari warisan nenek moyang yang sudah
tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek
besar Kam Bu Song itu pun menerima dari
pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan
sekarang tentang ilmu yang baru saja
kupergunakan untuk menghadapi Saudara
Cu Han Bu.”
Tiga orang kakak beradik itu
men-dengarkan dengan penuh perhatian.
Mere-ka dapat percaya keterangan itu dan
mereka menduga bahwa tentu suling yang
hilang itu akhirnya, entah secara
bagai-mana tak ada seorang pun
mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan
Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar
Suling Emas. Dengan demikian, keluarga
pen-dekar itu memang berhak memilikinya.
Kini mereka ingin sekali mendengar
bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu
Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup
yang merupakan ilmu pusaka keluarga
mereka dengan demikian baik-nya, lebih
baik daripada yang mereka miliki.
“Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu
pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi
kenal, yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai
ketika menghadapi Saudara Cu Kang Bu
tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut
yang saya mainkan dengan suling ketika
menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga
ilmu meniup suling baru saja saya pelajari
selama kurang lebih empat tahun baru-baru
ini, yaitu kupelajari dari catatan terdapat
pada jenazah kuno yang kami temukan....“
“Ahhhh....!” Tiga orang gagah itu bangkit
berdiri dan muka mereka pucat, mata
mereka terbelalak karena kaget.
“Jadi engkau malah yang telah
me-nemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong
leluhur kami itu....?” Cu Kang Bu ber-tanya
dengan suara yang mirip bentakan.
Kam Hong mengangguk tenang. “Mun-kin
saja jenazah itu jenazah Cu Keng Ong
seperti yang kalian ceritakan tadi. Saya
tidak tahu benar, hanya saya tahu dari
catatan di tubuhnya bahwa dia ada-lah
pembuat suling emas dan siapa yang dapat
menemukan jenazahnya dianggap berjodoh
untuk mewarisi ilmunya....“
“Celaka....!” Cu Seng Bu berseru nyaring
dan penuh dengan penyesalan, dan dia
sudah meloncat ke depan. Akan tetapi Cu
Han Bu cepat memegang le-ngannya dan
memandang adiknya dengan sinar mata
tajam penuh teguran.
“Seng-te, bukan demikian sifat ke-luarga
kita! Kita harus dapat mengenda-likan diri
dan tidak memalukan leluhur kita!”
Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada
Choirul, maret 2008 327
Kam Hong sambil berkata, “Sung-guh aneh
sekali mengapa suling pusaka dan ilmu
pusaka keluarga kami dapat terjatuh
semuanya kepadamu, Saudara Kam Hong.
Maukah kau menceritakan tentang jenazah
leluhur kami itu?”
“Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci
Sian diserang gunung salju long-sor
sehingga kami hampir saja tewas. Di antara
gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami
menemukan jenazah kuno itu dan setelah
kami selidiki, jenazah me-ngandung tulisantulisan
yang mewariskan ilmu-ilmu itu
kepada kami. Karena kami dianggap
sebagai jodoh yang berhak mewarisi Ilmu,
dan karena di situ tidak disebut-sebut
tentang keluarga di sini, maka tentu saja
saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya
tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi
diingat bahwa suling emas buatan kakek itu
juga telah men-jadi milik keluarga sejak
ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu
selama hampir lima tahun, dan sekarang
saya ketahui siapa guru saya yang ternyata
bernama Cu Keng Ong dan menjadi le-luhur
penghuni lembah ini....“
“Dan kaupergunakan pusaka dan ilmu itu
untuk mengalahkan kami!” Cu Kang Bu
berteriak lalu menutupi muka dengan kedua
tangan. Pendekar tinggi besar yang gagah
perkasa ini menangis tanpa ber-suara! Yu
Hwi yang duduk di sampingnya lalu
memegang tangannya dari kedua ta-ngan
mereka saling genggam. Melihat ini, diamdiam
Kam Hong merasa terharu juga dan
dia merasa terheran-heran mengapa
sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi,
seringkali dia amat merindukan dara itu,
seringkali membayangkan wa-jahnya yang
manis dan membayangkan kemesraan
bersama calon isterinya itu! Akan tetapi
sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi,
melihat Yu Hwi berme-sraan dengan pria
lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit,
walaupun pada per-tama kalinya dia
merasa penasaran dan marah. Apakah
yang menyebabkan ke-dinginan terhadap
Yu Hwi itu, dan per-bedaan yang amat jauh
antara dahulu ketika dia masih merindukan
Yu Hwi dan sekarang?
Tiba-tiba dia merasa ada tangan halus
menyentuh lengannya. Dia menoleh dan
memandang wajah Ci Sian yang jelita dan
pada saat dua pasang mata mereka saling
bertemu sinar pandangan, Kam Hong
melihat kenyataan yang amat mengejutkan
hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah
lama lenyap dari lubuk hatinya, terganti
sepenuhnya oleh ba-yangan Ci Sian! Dia
telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak
lama, semenjak Ci Sian masih merupakan
seorang dara tanggung empat tahun yang
lalu! Dan kini, Ci Sian telah menjadi seorang
dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun!
Kenyataan yang nampak jelas olehnya itu
membuat jantungnya berdebar tegang.
“Paman, mari kita pergi dari sini....” Ci Sian
berkata halus dan ucapannya itu
membuyarkan dunia mimpi aneh dan Kam
Hong yang tadi seperti terpesona oleh
kenyataan itu.
“Baik, mari kita pergi....“ kata Kam Hong
yang memegang tangan Ci Sian dan
bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong
me-mandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata,
“Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu
sendiri, seyogianya kalau engkau pulang
dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong
Tek akan keputusan yang kauambil agar
pertalian jodoh antara kita itu dapat
dibatalkan atau diputuskan secara resmi.”
Yu Hwi membalas pandang mata Kam
Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya
yang masih menunduk, kemu-dian dia
berkata dengan suara lembut kepada Kam
Hong, tidak berani lagi me-mandang rendah
bekas tunangan itu yang ternyata telah
menjadi seorang yang me-miliki kesaktian
hebat. “Baiklah, sekali waktu aku akan
mengunjungi Kong-kong.”
Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu
menarik tangan Ci Sian diajak ke-luar dari
gedung itu. Tidak ada seorang pun yang
bergerak menghalangi, dan dengan
Choirul, maret 2008 328
langkah-langkah tenang mereka keluar dari
dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka
tiba di pintu gerbang depan, nampak
bayangan tiga orang ber-kelebat dan
ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu
telah berdiri di depan mereka, wajah
mereka pucat.
“Hemm, apa lagi yang kalian kehen-daki?”
Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap
untuk menghadapi mereka kalau saja
mereka hendak menggunakan kekerasan.
Cu Han Bu melangkah maju dan men-jura
sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami
hanya hendak bertanya di mana
kautemukan jenazah nenek moyang kami
itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk
menanyakan di mana adanya jenazah
leluhur kami.”
“Tentu saja, akan tetapi sayang sekali,
jenazah kuno itu telah kubakar....“
“Dibakar....?” terdengar Seng Bu dan Kang
Bu berteriak.
“Benar, sesuai dengan tulisan pesanan
terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu
telah kubakar menjadi abu dan kukubur di
tempat itu.”
“Ahhhh....!” Tiga orang itu saling pandang
dengan muka putus asa. Tadinya mereka
mempunyai harapan untuk me-nemukan
jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari
ilmu pusaka keluarga me-reka, akan tetapi
harapannya itu han-cur sama sekali
mendengar betapa jena-zah itu telah
dibakar oleh Kam Hong.
Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu
Han Bu mengepal tinjunya, lalu berkata
dengan suara mengandung geram
keke-cewaan dan kemarahan. “Nenek
moyang kami Cu Keng Ong itu telah
mewariskan suling emas dan ilmu
pusakanya kepa-damu. Baiklah, mulai
sekarang kami tidak akan memakai lagi
nama Lembah Gunung Suling Emas,
melainkan kami ganti menjadi Lembah
Gunung Naga Siluman! Dan kautunggulah,
Kam Hong, biarpun engkau telah mewarisi
ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga
kami, akan tetapi kami masih mempunyai
ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh
Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba
saatnya bahwa Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu
akan dikalahkan oleh ilmu keluar-ga kami,
yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang
Naga Siluman)!”
Kam Hong menarik napas panjang dan
menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan
dengan siapapun juga. Perkenankanlah
kami pergi dari sini.”
Cu Han Bu dapat mengatasi
keke-cewaannya. Melihat sikap tamunya
yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi
hati oleh kemenangannya itu, dia pun
menarik napas panjang dan balas men-jura,
“Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami
yang kecewa karena nasib telah
mempermainkan kami yang kehilangan
benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari
kuantar kalian sampai ke jembatan
tam-bang.” Setelah berkata demikian, Cu
Han Bu seorang diri saja lalu menemani
Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi
jurang yang amat curam itu. Ketika mereka
tiba di tepi jurang, Cu Han Bu meman-dang
ke arah para penjaga jembatan itu dan
bertanya dengan tegas.
“Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?”
Para penjaga nampak ketakutan
men-dengar pertanyaan itu. Seorang di
antara mereka, kepala jaga, lalu memberi
hor-mat dan menjawab, “Harap ampunkan
kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu)
me-maksa kami untuk memasang tambang
dan dia telah menyeberang. Kami tidak
berani menolak permintaannya.”
Dalam keadaan biasa, tentu Cu Han Bu
akan menjadi marah dan melakukan
mengejaran kepada puterinya. Akan te-tapi
saat itu hatinya sedang kesal dan murung,
maka dia pun tidak peduli lalu memberi
tanda agar jembatan tambang itu diangkat
Choirul, maret 2008 329
dan membiarkan dua orang tamunya
menyeberang.
“Silakan, Saudara Kam Hong.” Cu Han Bu
mempersilakan ketika jembatan tam-bang
itu sudah diangkat dan membentang lurus
menyeberang jurang.
Melihat tambang itu dan membayang-kan
betapa dia dan Kam Hong berdua harus
menyeberang meninggalkan tuan rumah
yang berada dalam keadaan ma-rah,
kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian
tentu saja merasa ngeri sekali. “Nanti dulu,
Paman Kam Hong” katanya menahan
lengan pendekar itu yang sudah siap
menyeberang. “Berbeda dengan ke-tika kita
datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai
orang-orang yang dimusuhi dan tidak
disukai, dan kalau ketika da-tang kita
menyeberang bersama mereka, kini kita
harus menyeberang berdua saja.
Bagaimana kalau selagi tiba di tengahtengah
jembatan, tambang ini lalu dibikin
putus olehnya?”
Kam Hong terkejut sekali mendengar
kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi
tiba-tiba Cu Han Bu sudah me-ngeluarkan
teriakan nyaring dan pendekar itu
mengangkat tangan kanan ke atas. Kam
Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian,
akan tetapi pria yang kini ma-tanya melotot
dan mukanya menjadi merah itu
menurunkan tangan kanannya dan
mencengkeram jari kelingking tangan
kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang
patah dan darah mengucur ketika jari
kelingking tangan kirinya sendiri itu telah
remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian
terbelalak memandang dengan muka pucat.
“Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali
terlalu menghina kami!” Cu Han Bu
ber-kata, matanya masih melotot dan
napas-nya agak terengah menahan marah.
“Kalau tidak melihat muka Saudara Kam
Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan
tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali,
aku takkan dapat mengampuni-mu lagi!”
Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat
sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari
kelingking yang hancur dan masih
meneteskan darah segar itu. Akan tetapi
pada saat itu, Kam Hong sudah menarik
tangannya dan mengajaknya meloncat ke
atas tambang dan dengan cepat berlari ke
seberang. Setelah mere-ka dengan selamat
meloncat ke daratan di seberang, tambang
itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di
dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian
setelah mereka selamat sampai ke darat.
“Ci Sian, mengapa engkau begitu lan-cang
mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu
seperti itu? Lain kali engkau harus berhatihati
kalau bicara, jangan menurutkan hati
dan pergunakan kebijak-sanaan.”
Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah
Kam Hong karena suara teguran itu benar
benar dirasakan amat pedas dan menusuk,
dan tiba-tiba dia menangis. Bukan
menangis manja, melainkan me-nangis
sedih sekali. Dia sudah tidak punya siapasiapa
lagi, ayahnya yang diharapkannya itu
ternyata mengecewa-kan hatinya dan dia
tidak mungkin hidup di samping ayahnya
yang telah mempunyai isteri begitu banyak.
Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang
dianggapnya sebagai pelindung dan orang
terdekat, dan sekarang.... Kam Hong
agaknya ma-rah-marah dan tidak senang
kepadanya. Karena sedih, maka dia
menangis.
Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong
menggeleng-geleng kepala, lalu
meng-hampiri dan memegang pundaknya.
“Su-dahlah, kenapa kau malah menangis?”
Akan tetapi Ci Sian menarik pundak-nya
dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara
isaknya dia berkata. “Dia orang jahat.... huhuuh,
dia mengancam untuk membunuhku,
kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya
membikin susah padamu saja....”
Kam Hong menyambar lengan dara itu dan
menariknya dekat, “Kau marah oleh
teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku
Choirul, maret 2008 330
menegur demi kebaikanmu! Dan se-lama
ada aku di sampingmu, takkan ada seorang
pun yang boleh mengganggumu! Akan
tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu
akan datang saatnya berpisah, dan karena
itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita
temukan itu dengan tekun agar kelak
engkau akan mampu menjaga diri sendiri
kalau terancam oleh lawan yang lihai.”
Ci Sian mengangkat muka memandang
wajah itu. “Kau.... kau tidak marah
ke-padaku, Paman?”
Terpaksa Kam Hong tersenyum dan
menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku
menegur agar engkau sadar bahwa hal itu
berbahaya bagimu sendiri.”
Ci Sian merangkul pundak dan
me-nyembunyikan mukanya di dada Kam
Hong. “Paman.....aku tidak punya siapasiapa
lagi kecuali engkau, maka jangan-lah
kau marah padaku....”
Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya
merasa amat terharu, kemudian berdebar
aneh ketika menyadari betapa dia
mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini
cepat-cepat dia dengan halus melepaskan
dekapannya dan mendorong tubuh dara itu
menjauh sambil berkata, “Sudahlah, mari
kita mulai berlatih. Eng-kau telah mulai maju
dalam latihan gin-kang menurut ilmu
penghimpunan khi-kang dari tiupan suling,
maka mari kita lanjutkan latihan gin-kang
itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan
itu dan pergunakan semua tenagamu.”
“Baik, Paman, mari kita berlumba!” Ci Sian
sudah melupakan kesedihannya. Air
matanya masih belum kering, kedua pipinya
masih basah, akan tetapi bibirnya yang
manis itu telah tersenyum lagi ketika dia
mulai meloncat dan lari ke depan dengan
cepat seperti seekor kijang betina muda
yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan
dia pun mengejar, maka berlarianlah dua
orang itu menuju ke puncak bukit di depan.
Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian,
Kam Hong seolah-olah mendengar suara
nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya
sendiri, yang membuat dia me-rasa
demikian senang. Dia sendiri merasa heran
sekali dan dia masih dalam keada-an
meraba-raba dan menduga-duga apa-kah
ini yang dinamakan cinta asmara?
Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian?
Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di
dalam hatinya dan dia belum berani
menentukannya. Dahulu, sebelum dia
bertemu dengan Ci Sian, dia selalu
menganggap bahwa dia mencinta calon
isterinya, Yu Hwi, sungguhpun antara dia
dan Yu Hwi belum pernah terjadi
per-hubungan yang akrab, bahkan ketika
Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu,
Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga
membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju
dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak
cinta kepadanya. Akan tetapi, karena
adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu
mengenangkan Yu Hwi, ke-nangan yang
luar biasa karena dia mula-mula mengenal
Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama
Kang Swi Hwa (baca cerita JODOH
SEPASANG RAJAWALI), dan dialah yang
membuka rahasia Kang Swi Hwa itu
sebagai seorang gadis ketika dia hendak
mengobati “pemuda” itu dan melihat bahwa
pemuda itu mempunyai dada seorang dara!
Kenangan inilah yang mengingatkan dia
akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih
lagi sebagai se-orang calon isterinya,
kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini
pula agaknya yang membuat dia merasa
selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula
yang mem-buat dia mengira bahwa dia
mencinta Yu Hwi.
Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan
Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci
Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga
belas tahunan, ada sesuatu di dalam
hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini,
setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian
sebagai seorang dara yang sudah dewasa,
dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya
merupakan bayangan mati dan kini terganti
oleh seorang dara yang benar-benar hidup
Choirul, maret 2008 331
dan yang membutuhkan perlindungannya!
Apalagi se-telah dia berjumpa sendiri
dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap
calon isteri-nya itu, bayangan lama tentang
Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan
dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak
berani memikirkan bahwa dia tertarik
kepada Ci Sian karena dia selalu ingat
bahwa dia adalah seorang pria yang su-dah
mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah
ditentukan sehingga haram baginya untuk
menoleh kepada wanita lain, kini dia
merasa seolah-olah dia telah terbebas dari
belenggu ikatan itu. Dia telah be-bas, sama
bebasnya dengan Ci Sian. Ini-lah agaknya
yang mendatangkan rasa senang sekali di
saat dia lari di samping Ci Sian itu.
Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara
ini? Dara yang me-manggilnya paman, yang
memang se-patutnya menjadi
keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci
Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun,
sedangkan dia sendiri sudah berusia dua
puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia
jatuh cinta kepada dara remaja ini?
Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini
segera lenyap seperti awan tipis terhembus
angin. Dia merasa gembira, bahkan dia
ingin berloncatan dan bermain-main seperti
kembali menjadi anak-anak, atau
setidaknya kembali menjadi semuda Ci
Sian.
Cinta asmara memang sesuatu
pe-ngalaman hidup yang amat luar biasa
bagi setiap orang manusia. Segala macam
perasaan tercakup di dalamnya. Ada
dorongan-dorongan yang timbul dari dalam,
bukan dari pikiran, yaitu membuat kita
merasa amat mesra, ingin se-lalu
berdekatan, ingin selalu meman-dang, ingin
selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu
mendengar suaranya. Ada sesuatu yang
sukar diselidiki, yang tim-bul di luar
kesadaran kita, sesuatu yang amat
mengharukan, yang mendorong hati kita
untuk condong bersatu dengan dia, takkan
terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih
daripada sekedar kegembiraan, sekedar
dorongan berahi belaka.
Akan tetapi, kalau kita tidak berhati-hati,
pikiran yang selalu ingin mengejar
kesenangan pribadi, baik kesenangan
jas-mani atau rohani, pikiran dapat
menim-bulkan bayangan-bayangan
kenikmatan nafsu yang menjurus kepada
nafsu berahi dan sekali nafsu menguasai
batin, men-jadi yang terpenting, maka akan
cemar-lah yang dinamakan cinta itu. Berahi
adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani,
daya tarik antara pria dan wanita, yang
alamiah karena dari daya inilah lahirnya
keinginan untuk bersatu dan dari sinilah
pula datangnya rahasia perkembangbiakan
manusia, anak beranak. Daya tarik ini
merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada
unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan
gaib, dan hal itu tercakup pula da-lam cinta.
Akan tetapi, begitu nafsu berahi dipupuk
oleh pikiran dengan dasar mencari
kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah
segala-galanya dan cinta men-jadi sesuatu
yang mungkin saja menim-bulkan segala
macam kerusakan, kekeras-an, konfllk dan
kesengsaraan. Cinta yang sudah
dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu berahi
itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu
keinginan menyenangkan dirl sendiri
belaka, akan menimbulkan cem-buru, ingin
menguasai, bahkan dapat berbalik menjadi
benci kalau keinginan menyenangkan
dirinya sendiri itu ter-halang.
Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu
keinginan menyenangkan diri sen-diri itu
tidak mencampuri, tidak me-ngotori, yang
tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat
indah, cinta yang sinar-nya memenuhi
seluruh jagat dan menem-bus ke lubuk hati
setiap orang manusia, yang getarannya
menghidupkan segala sesuatu yang
nampak maupun yang tidak nampak. Kalau
sudah ada sinar dan ge-taran cinta itu,
maka tidak ada lagi per-soalan, segala
sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan
berahi pun menjadi sesuatu yang indah dan
suci, cinta asmara antara seorang pria dan
seorang wanita pun menjadi sesuatu yang
indah dalam sinar cinta kasih.
Choirul, maret 2008 332
Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan
Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi
hatinya, mendatangkan perasa-an yang
amat luar biasa, kebahagiaan yang tidak
terpisah dari alam, dari se-gala-galanya
yang nampak, batinnya be-gitu penuh
dengan kebebasan dan ke-heningan, yang
ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lainlain
tidak ada lagi! Kiranya setiap orang
pernah merasakan hal ini, namun sayang,
hanya sekilas saja karena batin sudah
diserbu lagi oleh keinginan-keinginan
memuaskan diri dengan kesenangankesenangan.
Bahkan rasa bahagia itu pun
lalu berubah men-jadi kesenangan yang
dikejar-kejar! Sa-yang!
Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba
Ci Sian yang agak terengah-engah karena
memang tenaganya belum kuat benar dan
dia tadi telah mengerah-kan terlalu banyak
tenaga, berhenti ber-lari dan menuding ke
depan. Keringat halus memenuhi leher dan
dahinya. Kam Hong ikut memandang ke
depan dan nampaklah olehnya seorang
pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu
pemuda itu berhenti dan muncul dua orang
ka-kek. Agaknya terjadi percekcokan dan
pemuda itu berkelahi dengan dua orang
kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu
singkat, pemuda itu kena ditawan, agak-nya
pingsan lalu dipanggul oleh seorang di
antara dua kakek itu dan dibawa per-gi.
“Dia itu Cu Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci
Sian, kautunggu saja di sini, aku harus
mengejar mereka dan meno-long Nona Cu!”
setelah berkata demikian, sekali berkelebat
saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari
situ, mengejar ke depan, turun dari puncak
bukit itu.
Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang
ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu
Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling
Emas atau yang kini di-robah namanya
menjadi Lembah Naga Siluman, merasa
tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak
bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu
mengerahkan te-naganya ikut lari mengejar
turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata
dua orang kakek itu sudah tidak nampak
lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong
sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi
bingung, akan tetapi dia masih terus
mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di
mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu
nampak.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh
basah oleh keringat akhirnya Ci Sian
terpaksa berhenti di lereng bukit itu karena
dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana
larinya dua orang kakek yang menawan Cu
Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan
Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga
tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan.
Dia merasa bingung dan khawatir.
Membayangkan bahwa dia akan terpisah
selama-nya dari Kam Hong, ingin rasanya
dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak
memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi
dia menahan diri. Dia merasa malu kalau
harus berteriak-teriak memanggil, apalagi
baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia
tidak akan sembarangan lagi membuka
mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang
pendekar yang memiliki kesak-tian hebat,
apa sukarnya bagi pendekar itu untuk
mencari dan menemukannya? Dia harus
bersikap tenang, seperti Kam Hong.
Bukankah dia juga diakui sebagai adik
seperguruan? Masa adik seperguruan
Pendekar Suling Emas yang perkasa itu
harus menjadi seorang gadis cengeng dan
penakut?
Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan
baginya, pulih kemball semangat dan
keberaniannya dan mulailah dia ber-jalan
menuruni bukit itu dengan hati--hati sambil
memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi.
Hari telah makin me-nua, matahari mulai
kebarat, dan biarpun dia mulai merasa
khawatir lagi, namun diberani-beranikan
hatinya dan dia melangkah terus. Dia
mendaki bukit penuh salju di depan karena
dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.
Ketika dia tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba
dia berhenti melangkah dan me-masang
telinga dengan penuh perhatian. Ada suara
Choirul, maret 2008 333
berdengung-dengung atau meng-aungaung
dari arah kiri. Tadinya dia mengira
bahwa itu suara suling dari Kam Hong, akan
tetapi ternyata bukan, suara suling tidak
seperti itu, mengaung dan kadang-kadang
berdesing tajam itu lebih mirip suara
gerakan pedang yang luar biasa sekali,
akan tetapi dia pun mera-gu karena mana
mungkin gerakan pedang biasa berdengung
seperti itu, seperti berirama dan
menyanyikan lagu aneh!
Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa
itu pasti bukan suara angin bertiup me-lalui
lubang atau mempermainkan pohon karena
di bukit itu semua pohon gundul tertutup
salju. Satu-satunya kemungkinan adalah
bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh
manusia, dan siapa pun adanya manusia
itu, harus dia temui untuk ditanya kalaukalau
tadi melihat Kam Hong. Dan siapa
pun dia, lebih baik ber-temu manusia lain
daripada berkeliar-an seorang diri saja di
tempat yang lengang itu.
Dengan hati tabah dia lalu melanjut-kan
langkahnya, kini dengan langkah lebar
menuju ke kiri, melalui bagian yang banyak
batunya dan akhirnya dia tiba di depan
sebuah batu besar sekali dan berhenti,
memandang dengan bengong dan mau
tidak mau bulu tengkuknya meremang
karena kini jelas olehnya bah-wa suara
mengaung-aung itu keluar dari dalam batu
besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan
tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari
dalam batu besar. Dia menempelkan
telinganya pada batu itu dan suara itu makin
jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu
pasti suara gerakan pedang yang memang
amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana
mungkin pedang digerakkan orang di dalam
sebuah batu yang amat besar, sebesar
pondok?
Mulailah dia membayangkan siluman atau
iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi,
selama hidupnya, biarpun dia se-ringkali
mendengar dongeng tentang setan dan
iblis, dia belum pernah bertemu de-ngan
iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu
dan mengetuk-ngetuk batu besar itu
beberapa kali. Dan tiba-tiba suara
meng-aung-aung itu pun berhenti! Suasana
men-jadi sunyi sekali setelah suara itu
berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak
bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya
meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang
diri saja di tempat yang lengang itu. Dan
meng-hilangnya suara itu membuat dia
merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka
dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar
dan kini disusul teriakannya, “Haiii! Adakah
orang di dalam batu ini?”
Karena ketegangan hatinya takut ditinggalkan
orang, Ci Sian sampai tidak
sadar betapa lucunya pertanyaan yang
dikeluarkannya itu. Biasanya, kalau orang
bertanya, tentu bertanya apakah ada orang
di dalam rumah, tapi kini dia ber-tanya
apakah ada orang di dalam batu! Mana
mungkin ada orang di dalam batu?
“Haiii! Siapakah yang berada di dalam
batu?” kembali dia berteriak dan me-mukulmukulkan
batu yang dipegangnya itu pada
batu besar.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam batu!
Suara itu terdengar aneh, seperti mulut
tersumbat, akan tetapi cukup da-pat
didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?”
Bukan main girangnya hatinya. Tentu Kam
Hong itu! Siapa lagi yang menye-butnya
sumoi kalau bukan Kam Hong? Biarpun
biasanya Kam Hong menyebut-nya Ci Sian,
akan tetapi bukankah pen-dekar itu sudah
mengakui dia sebagai sumoinya? Dan kalau
suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh
karena pendekar itu berada di dalam batu!
Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di
dunia ini mana ada manusia lain kecuali
Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian
untuk masuk ke dalam batu besar?
“Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan
nyaring. Karena Kam Hong me-nyebutnya
sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya
suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi
(adik seperguruan), lalu dia menjawabnya
Choirul, maret 2008 334
dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau
diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang
menyebut suheng daripada menyebut
paman kepada Kam Hong.
“Mau apa engkau datang menyusulku,
Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara
aneh karena tentu saja tidak le-luasa
keluarnya dari dalam batu itu.
“Mau apa menyusulmu?” Ci Sian mu-lai
terheran dan mendongkol! Jangan-jangan
Kam Hong telah menjadi miring otaknya,
kalau tidak masa menyembunyi-kan diri di
dalam batu besar seperti itu dan masih
bertanya lagi kepadanya mengapa dia
datang menyusul? “Bukalah aku mau
bicara!” katanya dengan nyaring karena
tidak enak kalau berbantahan dari luar dan
dalam batu!
“Tunggu sebentar....!”
Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat
membayangkan bagaimana Kam Hong
akan keluar dari dalam batu itu. Janganjangan
batu itu akan meledak dari dalam.
Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana
masuknya? Dia menya-barkan diri karena
kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan
dapat menjawab semua keheranannya.
Tiba-tiba batu besar itu bergerak ke kanan!
Dalam keheranannya, Ci Sian hendak
menegur, akan tetapi dia mena-han diri
ketika melihat betapa di balik itu kelihatan
lubang hitam yang makin lama makin
melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu
berhenti dan dari dalam guha yang
tersembunyi di balik batu besar itu
muncullah seorang pemuda yang langsung
meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda
itu pun terkejut ketika mereka saling
pandang. Kemudian wajah mereka nampak
berseri ketika mereka saling mengenal.
“Engkau....?”
“Engkau....?” Pemuda itu pun berseru
hampir berbareng. “Bukankah engkau
eh...., Siauw Goat dan kita pernah
ber-jumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya
penuh keraguan karena ketika dia ber-temu
dengan dara ini, belumlah sebesar ini,
masih merupakan seorang gadis cilik,
bukan seorang dara remaja yang cantik
jelita seperti ini.
“Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pe-muda
pemburu itu, bukan?” Ci Sian men-jawab.
“Kau tadi kusangka Sumoi....”
“Dan engkau kusangka Suheng....”
Keduanya diam dan segera keduanya
tertawa karena baru terasa oleh mereka
betapa pertemuan itu membuat mereka
terkejut, heran dan juga girang sehingga
mereka mengeluarkan kata-kata yang
hampir berbareng dan bersamaan artinya,
sehingga tidak terjadi tanya jawab
se-bagaimana mestinya dan percakapan itu
menjadi kacau!
“Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita
masih belum dewasa, masih kecil. Akan
tetapi engkau dapat mengenalku dengan
seketika, apakah aku masih sama saja
dengan ketika masih kecil dahulu?”
Hong Bu yang sejak tadi memandang
dengan bengong seperti orang penuh
pe-sona, penuh kagum, mendengar
pertanya-an yang jujur itu, lalu menjawab
sejujur-nya pula. “Memang tidak ada
bedanya dalam pandang matamu yang
tajam, senyummu yang khas, akan tetapi
engkau.... engkau sekarang, hemmm,
cantik jelita sekali, Siauw Goat!”
Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah,
bukan merah karena marah me-lainkan
karena malu, dan untuk menyem-bunyikan
rasa malu ini dia cepat ber-kata, “Jangan
sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak
kecil lagi maka nama-ku bukanlah Bulan
Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian.
Hong Bu, siapakah adanya Sumoimu yang
kau sebut-sebut tadi?”
Choirul, maret 2008 335
Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah
sekali... tapi mengapa dulu nama-mu Siauw
Goat....?”
Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu
tidak menjawab pernyataannya bahkan
bertanya tentang namanya, Ci Sian
cem-berut, akan tetapi menjawab juga.
“Siauw Goat hanya nama julukan yang
diberikan orang kepadaku di waktu aku
masih kecil saja, namaku yang sebenarnya
adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu
sama sekali tidaklah indah....“
“Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus
sekali, Siauw.... eh, Ci Sian!”
“Sudahlah, sekarang jawab pertanya-anku,
siapakah Sumoimu itu?”
“Sumoiku? Ah, Sumoiku bernama Cu Pek
In....“
Hong Bu terhenti karena melihat betapa
dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah
dara yang jelita itu berobah, alisnya
berkerut dan pandang matanya tak senang.
Kemudian, semakin terkejut-lah hati Hong
Bu ketika dia melihat dara itu mengepal
tinjunya dan melangkah maju mendekatinya
dengan sikap meng-ancam.
“Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga
Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid
keluarga siluman itu? Nah, suatu
kesempatan bagiku untuk membasmi
muridnya lebih dulu sebelum membasmi
guru-gurunya!” Setelah berkata demikian,
dengan cepat sekali Ci Sian lalu mener-jang
ke depan dan menyerang dada Hong Bu!
“Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?” Hong Bu
terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke
kanan kiri ketika dara itu menyerangnya
secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan
yang mengandung tenaga yang cukup
dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tidak bicara
lagi melainkan menyerang semakin ganas.
Harus diketahui bahwa pada waktu itu,
tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah
mengalami perubahan yang amat hebat.
Selama hampir lima tahun dia telah
digembleng oleh tiga orang kakak ber-adik
Cu yang melatihnya dengan tekun dan
keras, sesuai dengan pesan mendiang
Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan
karena Hong Bu memang seorang anak
kecil yang amat berbakat, ditambah lagi
semangatnya yang besar, maka dalam
waktu empat tahun saja dia telah
me-nguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi
keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam
hal penghimpunan tenaga sin-kang dan
kematangan ilmu silat, dia telah jauh
melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah
mendekati tingkat Cu Kang Bu ataupun Cu
Seng Bu. Kini, dia mulai disuruh oleh gurugurunya
untuk mengasingkan diri di dalam
guha di mana dia pernah diajak oleh Yeti,
dan disuruh mematangkan ilmu-ilmunya
yang telah dipelajarinya selama ini dan juga
untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu
yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan
terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liongkiam
itu.
Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian,
kalau dia mau melawan, tentu tidak sukar
baginya untuk merobohkan dara ini yang
belum benar-benar mene-rima pelajaran
Ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim
Hong Bu sama sekali tidak tidak mau
melawan. Begitu ber-jumpa dengan Ci Sian,
terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya.
Dia terpesona dan kagum, tertarik sekali
kepada dara yang pernah dijumpainya lima
tahun yang lalu itu, dan kini menghadapi
serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia
hanya merasa terkejut dan terheran-heran
saja. Sedikit pun dia tidak bermaksud untuk
melawan, hanya mengelak terus dan
ka-dang-kadang saja menangkis tanpa
meng-gunakan terlalu banyak tenaga
karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci
Sian.
Akan tetapi, hal itu malah menambah
kemarahan dan rasa penasaran di dalam
hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya
selalu mengelak dan menangkis tanpa
membalas sedikit pun, sedangkan dia
Choirul, maret 2008 336
sudah mengeluarkan semua kepandai-an
untuk menyerang dan semua tidak ada
hasilnya sama sekali membuat dia
penasaran dan hampir menangis.
“Balaslah! Hayo balaslah, kau penge-cut,
murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali
sambil terus menyerang.
Hong Bu yang merasa terkejut dan
terheran-heran itu mengerti bahwa
sikap-nya yang tidak melawan itu agaknya
malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak
mengerti akan watak yang diang-gapnya
aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun
merasa kasihan ketika mendengar betapa
di dalam suara dara itu terkan-dung isak
tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi
ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat
ketika mengelak.
“Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke
belakang dan terpelanting.
Begitu melihat pukulannya mengenai
sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi
juga berbareng merasa kaget bu-kan main.
Akan tetapi hatinya lega me-lihat Hong Bu
tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu
untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat
Hong Bu bangkit kembali dengan wajah
memperlihatkan rasa penasaran dan juga
kedukaan itu.
“Ci Sian, harap kau bersabar.... meng-apa
engkau marah-marah dan benci ke-padaku,
menyerang tanpa alasan?” Hong Bu
bertanya sambil mengebut-ngebutkan
bajunya yang kotor oleh debu ketika dia
terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang
sengaja diterimanya dengan dada tadi
sama sekali tidak melukainya dan tidak
terasa nyeri karena dia sudah melindungi
dadanya dengan sin-kang yang lemas
sehingga dara itu pun tidak sampai terluka
tangannya.
Ci Sian memandang ke arah dada kiri
pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi
mengerahkan tenaganya dan pukul-annya
tadi keras sekali, cukup keras untuk
membunuh orang!
“Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang
kupukul?”
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja
Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup
cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya
itu dan juga dia merasa amat girang.
Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara
kejam, buktinya begitu dia kena terpukul,
gadis itu bertanya dengan nada suara
penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat
meringis dan mengusap-usap dadanya
yang tadi terpukul.
“Bukan main nyerinya.... pukulanmu kuat
dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak
mengapalah, biarlah sebagai hukum-anku
kalau aku memang bersalah. Akan tetapi,
bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan
kalau ada salah, apakah kesa-lahanku itu
maka engkau menjadi begitu marah dan
memukulku?”
Setelah dia berhasil memukul dada Hong
Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan
kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa
kasihan kepada pemuda itu. Bagaimanapun
juga, pemuda itu sama sekali tidak
mempunyai kesalahan apa pun terhadap
dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau
mengakui hal ini dan de-ngan muka tetap
cemberut, biarpun sua-ranya tidak sekeras
tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu gurumu,
bukan? Benar, keluarga penghuni Kimsiauw
San-kok (Lembah Gunung Suling
Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak
berhak memakai lagi nama julukan Su-ling
Emas. Mereka itu telah kalah oleh
Suhengku dan sudah berjanji takkan lagi
memakai nama Suling Emas.”
“Eh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku
tidak mengerti apa yang kau-katakan itu,
juga aku sama sekali tidak tahu mengapa
engkau memusuhi keluarga Cu sehingga
engkau marah-marah kepada aku yang
menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk
dan bicara dengan tenang.”
Choirul, maret 2008 337
Mereka lalu duduk di depan batu besar
yang menutupi guha itu. Ci Sian sudah tidak
marah lagi sungguhpun ada rasa kecewa
dalam hatinya bahwa pemu-da yang
menyenangkan ini ternyata ada-lah murid
dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya,
dia membenci keluarga Cu, karena
bukankah keluarga itu hendak
membunuhnya, bahkan pada menjelang
perpisahan, Cu Han Bu masih juga
mengeluarkan ancamannya?
“Nah, sekarang ceritakanlah kepada-nya
apa artinya semua ini, Ci Sian?”
“Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba
saja menjadi murid mereka.” kata Ci Sian.
Hong Bu tersenyum lalu menarik na-pas
panjang. Dara ini sungguh amat memikat
hatinya, dan biarpun dara ini sedang berada
dalam keadaan marah, namun tidak
mengurangi daya tariknya yang amat kuat.
Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan
dara itu kepadanya
secara tiba-tiba bukannya tidak ada
alas-annya yang kuat, oleh karena itu
biarpun belum mendengarkan alasan itu
pun dia sudah dengan rela memaafkan
gadis itu!
“Aku menjadi murid mereka secara
kebetulan saja.” dia mulai menceritakan
keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan
tentang mendiang Ouwyang Kwan yang
menjadi Yeti. “Secara kebetulan aku
ter-bawa oleh rombongan orang-orang
kang--ouw menjadi tamu di Lembah
Suling.... eh, di lembah keluarga Cu itu dan
karena ternyata bahwa pedang Koai-liongkiam
berada di tanganku, maka aku
ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu
dan ilmunya, dan karena pedang itu
ber-asal dari keluarga Cu, maka dengan
sen-dirinya aku menjadi murid mereka.
Se-lama hampir lima tahun aku belajar ilmu
dari mereka, yaitu ketiga orang Suhuku she
Cu itu. Nah, demikianlah pengalam-anku
mengapa aku menjadi murid me-reka, Ci
Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa
engkau membenci mereka....?”
“Kalau engkau murid mereka, menga-pa
engkau sekarang berada di sini se-hingga
engkau tidak tahu apa yang ter-jadi di
lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.
“Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak
pernah keluar dari dalam guha di balik batu
ini, Ci Sian. Karena sudah tiba saatnya
bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang
diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau
mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai
sekarang pun aku belum keluar dari dalam
guha itu.”
“Dan kausangka.... aku.... Sumoimu....
hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”
“Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu
Pek In?”
“Tentu saja, aku sudah bertemu de-ngan
banci itu!”
“Banci?” Sepasang mata Hong Bu
ter-belalak heran.
“Ya, banci. Seorang dara yang selalu
mengenakan pakaian pria, apalagi kalau
bukan banci namanya?”
Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian
memandang marah. “Kenapa kau
ter-tawa?”
“Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci.
Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena
dahulu, mendiang ibunya ingin sekali
mempunyai seorang anak laki-laki. Maka
dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang
suka sekali berpakaian pria.
Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah
tidak ada, diam-diam Ci Sian merasa
berkurang bencinya kepada dara yang
senasib dengan dia itu.
Choirul, maret 2008 338
“Apakah yang telah terjadi di lembah dan
mengapa engkau dapat datang ke tempat
ini, Ci Sian?”
“Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng,
dia adalah Pendekar Suling Emas tulen
Kam Hong, datang....”
“Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dulu
pernah menolong kita itu? Yang
mem-pergunakan suling emas dan kipas?”
“Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian
bangga. “Karena Suheng merasa
penasaran dengan julukan Lembah Su-ling
Emas yang menyamai julukannya, maka
kami datang ke lembah dan di sana, untuk
menentukan siapa yang lebih berhak
memakai nama Suling Emas, Suheng
mengalahkan tiga orang she Cu itu....”
“Ahh....!” Hong Bu terkejut, di dalam hatinya
hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga
orang gurunya dapat dikalahkan orang.
“Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam.
“Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa
menurut penuturan para suhu, memang
pusaka suling emas itu buatan nenek
moyang keluarga Cu, seperti juga pedang
Koai-liong-kiam. Oleh karena itu-lah maka
lembah itu dinamakan Lembah Gunung
Suling Emas.”
“Andaikata benar begitu, suling itu telah
ratusan tahun menjadi milik ke-luarga
Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu
Kim-siauw Kiam-sut juga oleh pencipta
suling itu diwariskan kepada kami, maka
Suhenglah yang berhak me-nyebut diri
Suling Emas yang aseli.
“Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam
adu ilmu itu juga ada yang ter-luka atau
tewas?” tanya Hong Bu dengan hati
khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang
telah terjadi dan diam-diam dia
mengkhawatirkan keselamatan keluarga
Cu.
“Hemm, kalau Suheng tidak memberi
ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk
membasmi mereka yang sombong itu?
Suheng hanya mengalahkan mereka dan
memenangkan hak memakai nama Suling
Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“
“Kalau begitu, mana Suhengmu itu? Dan
mengapa engkau datang sendirian di sini?
Jadi kaukira tadi aku Suhengmu itukah?”
“Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka
kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong.
Semua adalah gara-gara Si Banci.... eh, Cu
Pek In itulah.”
“Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang
terjadi?”
“Aku dan Suheng sedang meninggalkan
lembah, setelah menyeberangi tambang.
Ketika kami tiba di puncak bukit, kami
melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan
dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia
diserang dan ditawan oleh dua orang
kakek....”
“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bu-kan
main mendengar penuturuan ini.
“Melihat itu, Suheng lalu lari melaku-kan
pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci
Sian dengan suara tak senang. “Maka aku
lalu mengejar pula, akan te-tapi tentu saja
Suheng lenyap karena cepatnya
gerakannya.”
“Ah! Ke mana perginya kakek yang
menculik Sumoi itu? Aku harus
meno-longnya!”
“Hemm, kalau aku tahu, apa kaukira aku
berada di sini? Aku pun sedang mencaricari
Suheng yang melakukan pengejaran.
“Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk
membantu Suhengmu menghadapi dua
orang kakek itu dan menolong Su-moi.”
“Ke mana kau hendak mencarinya? Pula,
kaupikir Suheng membutuhkan
Choirul, maret 2008 339
ban-tuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti
Suheng akan datang membawa Sumoimu
itu dalam keadaan selamat.”
“Benarkah? Benarkah Suhengmu akan
dapat menyelamatkannya? Apakah tidak
perlu kucari mereka dan kubantu
Suheng-mu?”
“Hemm, bantuanmu itu hanya akan
membikin Suheng repot saja dan
mem-bantunya berarti menghinanya.
Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti
akan dapat mencari aku di sini”
Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan
tetapi kemudian menurut apa yang
diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia
mencari, ke mana dia harus mencari kalau
tidak tahu ke arah mana sumoinya dilarikan
dua orang kakek itu, dan juga, bukankah
pendekar Kam Hong yang sakti itu telah
melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia
pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang
seorang diri itu?
“Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam
guha, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan
hawa akan sangat dingin ma-lam ini di luar
sini. Di dalam lebih hangat dan kita bisa
menanti di dalam.”
“Akan tetapi bagaimana kalau Suheng
datang mencariku di sini?'“
“Hemm, bukankah Suhengmu sedang
menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tem-pat
ini walaupun dia belum pernah me-masuki
guha ini. Dan andaikata sumoi langsung
kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita
dapat menyusul ke lembah dan tentu kita
akan mendengar segalanya dan engkau
akan dapat bertemu dengan Su-hengmu.”
Karena tidak ada lain jalan dan me-mang
cuaca mulai menjadi gelap dan hawa
menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti
Hong Bu memasuki guha itu dan dia melihat
dengan penuh takjub betapa pemuda itu
mendorong batu besar itu dengan tangan
kirinya saja untuk menutup lubang guha itu!
Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi
ketika me-nangkisnya, dia tidak merasakan
kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!
Akan tetapi dia tidak sempat lagi
memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu
menyalakan api penerangan, dia men-jadi
takjub bukan main menyaksikan ke-indahan
guha itu yang seolah-olah me-rupakan
sebuah dunia lain dengan din-ding-dinding
es yang kemilau dan runcing bergantungan
dari langit. Akan tetapi, untuk tidak
membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak
mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di
mana terdapat mayat-mayat yang tidak
rusak karena terbung-kus oleh es. Mereka
hanya duduk di ruangan depan yang luas
dan Ci Sian menerima dengan girang ketika
Hong Bu menghidangkan roti kering dan air
jernih untuk makan malam. Mereka makan
mi-num sambil mengobrol dan diam-diam
Hong Bu harus mengakui bahwa dia
ter-tarik sekali kepada Ci Sian, dan dia
merasa khawatir karena menduga bahwa
dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala
gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara
itu menggerakkan cuping hi-dung tanpa
disadarinya, lesung pipit di tepi mulut
sebelah kiri, cara dara itu memandang
dengan kepala agak dimiring-kan, cara dara
itu mengusap anak ram-but yang berjuntai
di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik
dara itu begitu me-narik dan
mempesonakan hatinya, mem-buatnya
tergila-gila!
Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka
kepada Hong Bu karena semenjak
pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu
bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda
yang berwatak mulia, gagah perkasa dan
juga jujur.
Oleh karena itu, ketika malam telah larut
dan dia telah mengantuk, dia tidak raguragu
sama sekali ketika Hong Bu
mempersilakan dia mengaso dan tidur di
atas setumpuk daun kering di sudut
ruangan depan guha itu. Dia tidak me-rasa
takut dan khawatir sama sekali dan
sebentar saja, dara yang sudah lelah ini
tertidur pulas. Hong Bu berjaga tak jauh di
Choirul, maret 2008 340
situ sambil menjaga api unggun agar tidak
sampai padam untuk memberi hawa hangat
kepada dara yang sedang tidur pulas.
Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh
yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu
menghela napas panjang. Melihat betapa
hawa amat dingin dan biar-pun di situ tidak
sedingin di luar, apalagi sudah ada api
unggun yang bernyala, akan tetapi tetap
saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia
lalu masuk ke dalam, mengambil baju
mantelnya dan menyelimuti Ci Sian,
kemudian duduk kembali dekat api unggun.
Sementara itu, Kam Hong yang me-lakukan
pengejaran terpaksa harus me-ngerahkan
tenaganya karena dua orang kakek yang
menawan Pek In itu juga lihai sekali dan
dapat melarikan diri dengan kecepatan luar
biasa dan selain itu memang jarak di antara
mereka cu-kup jauh. Baiknya, dua orang
kakek itu sama sekali tidak mengira bahwa
kini mereka telah dikejar orang. Karena
ini-lah agaknya maka Kam Hong akhirnya
dapat juga menyusul dua orang kakek itu.
Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam
Kam Hong terkejut. Dia be-lum pernah
jumpa dengan dua orang kakek itu, akan
tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia
dapat menyangka bahwa dua orang kakek
yang menawan Pek In itu tentulah dua
orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau
dia tidak salah, kakek yang berpakaian
seperti tosu yang tingginya luar biasa itu,
sedikitnya dua setengah meter, tentulah
Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan
kakek yang ber-kepala gundul berpakaian
hwesio, ber-tubuh gendut pendek sekali,
hanya se-tengahnya Ngo-ok itu tentulah Suok
Siauw siang-cu atau orang ke empat Imkan
Ngo-ok! Kam Hong telah mendengar
tentang mereka satu demi satu, akan tetapi
belum pernah bertemu dengan mereka.
Kini, melihat betapa tubuh Pek In tak
bergerak dipanggul di pundak ka-kek tinggi
kurus itu, dia mempercepat larinya.
Akan tetapi, ternyata dua orang ka-kek itu
lihai bukan main karena tiba-tiba mereka
menengok dan melihat beta-pa ada orang
mengejar mereka dengan amat cepatnya
mereka pun segera mem-percepat lari
mereka! Kam Hong terus mengejar dan
ternyata dua orang itu melarikan diri ke
sebuah kuil tua yang berada di kaki bukit,
agaknya kuil kosong yang sudah
ditinggalkan penghuni ber-tahun-tahun yang
lalu karena kuil itu tidak terawat. Mereka
berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu
depan yang tidak berdaun pintu lagi dan
keadaan amat sunyi di situ ketika Kam
Hong tiba di pekarangan depan kuil yang
tidak terawat, yang dipenuhi dengan
tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di
tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini,
akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin
daripada di puncak bukit yang tertiup salju.
Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki
kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah
datuk-datuk kaum sesat yang
berkedudukan tinggi sekali, maka
menghadapi mereka tidak boleh
disama-kan dengan menghadapi penjahatpenjahat
biasa. Sejenak dia meneliti
keadaan dan setelah dia merasa yakin
bahwa dari tempat dia berdiri itu dia akan
dapat melihat apabila ada orang keluar dari
dalam kuil itu baik melalui jurusan
ma-napun juga, dia lalu berdiri tegak
dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua
le-ngan bersilang di depan dada, kemudian
dia berseru dengan suara tenang dan
nyaring.
“Yang berada di dalam kuil, bukanlah Imkan
Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong
ingin bicara!”
Hening sejenak sampai gema suara Kam
Hong itu menghilang. Kemudian terdengar
teriakan dari dalam kuil. “Mana keluarga
Cu? Apakah orang yang datang ini utusan
keluarga Lembah Gunung Suling Emas?”
Suara yang ber-teriak itu terdengar
menggetar penuh dengan tenaga khi-kang
yang amat kuat dan tahulah Kam Hong
bahwa orang yang berteriak itu sengaja
memamerkan ke-pandaian untuk
menakutinya.
Choirul, maret 2008 341
“Aku bukan utusan siapa pun, aku datang
atas namaku sendiri karena me-lihat
seorang gadis kalian tawan!” kata Kam
Hong terus terang.
“Huh, apamukah Nona ini maka eng-kau
lancang mencampuri?” terdengar suara
orang membentak marah dari dari dalam
kuil itu.
“Bukan keluarga bukan teman bukan apaapa,
akan tetapi melihat seorang gadis
ditawan dengan paksa apakah ka-lian
mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan
Ngo-ok, sudah lama aku men-dengar nama
besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa,
apakah sekarang aku ha-rus melihat
kenyataan bahwa kalian hanyalah penculikpenculik
gadis yang pengecut saja dan tidak
berani mengha-dapi aku sebagai laki-laki?”
“Sombong....!” Tiba-tiba sesosok ba-yangan
seperti bola menggelundung dari pintu kuil
dan tahu-tahu seorang pendek gendut
seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan
dan menghantam ke arah dada Kam Hong
setelah tadi menggelundung seperti seekor
binatang trenggiling turun dari lereng.
Hantaman itu dahsyat bukan main sampai
angin pukulan terasa me-nyambar oleh
Kam Hong. Melihat se-rangan maut ini,
Kam Hong maklum betapa lihai dan
kejamnya orang ini, maka dia pun
mengerahkan tenaga pada lengan kirinya
dan menangkis.
“Dukkk! Bresss!” Tubuh yang pendek
gendut itu terguling dan kembali tubuh itu
bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun
dengan mata terbelalak meman-dang ke
arah pemuda yang mampu me-nangkis
serangannya sehebat itu.
Dugaan Kam Hong memang tepat karena
pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat
orang lain dan dengan penuh perhatian
Kam Hong memandang ke arah mereka,
dan dia kini bertemu dengan lima orang
yang gambarannya telah lama dia dengar
sebagai Im-kan Ngo-ok. Orang pertama
adalah seorang kakek yang wajahnya mirip
seekor gorila, gerak-geriknya halus dan
biarpun wajahnya mengerikan seperti gorila,
namun mulut-nya selalu membayangkan
senyum ramah! Inilah Toa-ok Su Lo Ti,
orang pertama dari Im-kan Ngo-ok. Orang
ke dua merupakan seorang nenek yang
mukanya tertutup topeng tengkorak.
Tubuhnya kecil ramping seperti tubuh
wanita muda. Sepasang mata di balik
tengkorak itu mencorong seperti mata
setan, agak ke-merahan mengerikan. Inilah
Ji-ok Kui- bin Nio-nio orang ke dua dari
Lima Ja-hat Dari Akhirat ini. Orang ke tiga
me-rupakan seorang kakek raksasa yang
ber-kepala botak, memakai mantel merah
dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh
wibawa dan pandang matanya bengis.
Inilah Sam-ok Ban Hwa Sengjin, orang ke
tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw
siang-cu yang tadi telah menyerang Kam
Hong, seorang hwesio pendek gendut yang
mukanya nampak gembira. Sedang-kan
orang ke lima, yang kini memanggul tubuh
Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toatbeng
Sian-su yang jangkung seperti gila.
Kakek ke lima ini muka-nya selalu nampak
sedih dan matanya sipit hampir selalu
terpejam.
Setelah yakin benar bahwa mereka ini
adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu
menjura dan berkata. “Kiranya benar bahwa
aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok
yang tersohor. Mengingat akan besarnya
nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan
bersikap sesuai dengan ke-dudukan dan
suka membebaskan gadis ini, dan aku
bersedia untuk minta maaf atas
gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin
menanam bibit permusuhan, apalagi
de-ngan lima orang datuk kaum sesat ini.
Bukan dia merasa takut, akan tetapi dia
merasa segan untuk mencari permusuhan
yang berarti akan mendatangkan
gang-guan terus-menerus dalam
kehidupannya.
Lima orang itu pun mengamati Kam Hong
dengan penuh perhatian dan me-reka pun
merasa heran mengapa mereka belum
mengenal pemuda ini, padahal, melihat
Choirul, maret 2008 342
betapa pemuda ini tadi menang-kis
serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa
pemuda ini bukan orang semba-rangan!
“Siapakah engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti,
seperti biasa suaranya amat halus dan
ramah.
“Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap
Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.”
“Hemmm, engkau sudah mengenal kami,
akan tetapi masih berani mencam-puri
urusan kami? Apakah kau bosan hidup? Eh,
bocah she Kam, kalau kami tidak mau
membebaskan gadis ini, habis engkau mau
apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa
penasaran bertanya sambil men-dekati Kam
Hong.
“Kalau Ngo-wi memaksa, apa boleh buat,
aku akan memberanikan diri untuk
menyelamatkan gadis ini dengan
meng-gunakan kekerasan.” kata Kam Hong.
“Apa? Engkau menantang kami? Nah,
mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah
menerjang dan gerakannya cepat bukan
main karena memang demikian watak para
datuk sesat ini, selalu tidak segan-segan
menggunakan kecurangan demi untuk
mencapai kemenangan.
Agaknya dari pertemuan tenaga per-tama
kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda
sastrawan itu bukan merupakan lawan yang
lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia
telah mempergunakan ilmunya yang paling
diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk.
Angin pukulan dahsyat menyambar disertai
bau yang amis sekali, menyambar ke arah
perut Kam Hong!
Namun pemuda ini sudah siap sejak tadi,
maka pukulan itu pun sudah di-hadapinya
dengan tenang. Cepat dia mengelak ke kiri
dan mengambil keputus-an untuk tidak
memperpanjang waktu per-kelahian. Yang
terpenting bukanlah perke-lahian itu,
melainkan bagaimana dia ha-rus
menyelamatkan Pek In yang masih berada
dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat
merampas Pek In, dia dapat melarikan dara
itu dan dia percaya bah-wa dia akan dapat
melarikan diri dengan selamat
mengandalkan gin-kangnya yang kini sudah
meningkat dengan hebat sekali sejak dia
mempelajari ilmu dengan menghimpun khikang
melalui Ilmu ber-tiup suling. Maka,
sekali mengelak ke kiri, dia sudah
menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak
jauh dari situ, tangan kiri mencengkeram ke
arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan
tangan kanannya berusaha untuk
merampas tubuh Cu Pek In. Serangannya
ini dilakukan dengan kecepatan kilat
sehingga me-ngejutkan Ngo-ok. Akan
tetapi, sayang sekali bahwa justeru Ngo-ok
ini merupa-kan orang yang paling tinggi ginkangnya
di antara para saudaranya, maka
biarpun serangan itu amat hebat dan
mengejut-kan, Si Jangkung itu masih
mampu mele-sat ke samping sehingga
cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu
meleset dan saat itu Su-ok sudah datang
lagi me-nubruk dan menghantamnya.
Terpaksa Kam Hong menangkis dan
melayani Su-ok yang merupakan seorang
lawan yang tidak boleh dipandang ringan.
Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada
sambaran angin dari belakangnya. Cepat
dia mem-balik dan menangkis sambil balas
me-mukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang
mengeroyoknya! Ketika Kam Hong me-lirik,
ternyata bahwa Si Jangkung itu telah
melepaskan Pek In ke atas tanah, akan
tetapi dara itu berada dalam ke-adaan
tertotok sehingga tidak mampu bergerak
dan di sana masih ada tiga orang dari Imkan
Ngo-ok yang menjaga-nya! Diam-diam
Kam Hong merasa ke-cewa sekali. Kalau
begini caranya, akan lebih sukar untuk
merampas Pek In dan agaknya jalan satusatunya
baginya ada-lah bahwa dia harus
mengalahkan mereka lebih dulu!
“Baiklah kalau kalian menghendaki
kekerasan!” bentaknya dan segera
tubuh-nya bergerak dengan aneh dan
cepat. Sedemikian, cepat gerakannya
sehingga para pengeroyoknya itu tidak
merasa mengeroyok satu orang lagi,
Choirul, maret 2008 343
bahkan me-reka berhadapan dengan lebih
dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong
menge-rahkan tenaga khi-kang sehingga
setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok
dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung,
tanda bahwa mereka berdua itu kalah kuat!
Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok
mengeluarkan gerengan seperti seekor
serigala dan tubuhnya sudah berjungkir
balik dan dia sudah menyerang Kam Hong
dengan kedua kakinya yang panjang dan
berada di atas, dibantu oleh kedua tangan
dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit
dan lebih cepat dibandingkan kalau dia
berdiri dengan kedua kaki di bawah!
Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim
pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat
dahsyat itu.
Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar
menghadapi mereka. Dengan Khong-sim
Sin-ciang, dibantu oleh tenaga khi-kang
dahsyat yang disalurkan kepada seluruh
tubuh, terutama kepada kedua lengannya,
dia masih dapat mendesak kedua orang
lawan itu, bahkan dia telah berhasil
menampar masing-masing satu kali
ke-pada dua orang pengeroyoknya dan
biar-pun tamparan itu tidak mengenai
dengan telak, namun cukup membuat
mereka menjadi agak jerih dan selanjutnya
terus didesaknya dua orang lawan itu
dengan hebat. Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan
Sam-ok terbelalak memandang penuh
kagum. Kalau saja yang dikeroyok oleh Suok
dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kangouw
sakti yang sudah mereka kenal maka
tentu saja mereka tidak akan me-rasa
penasaran dan heran melihat betapa
mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini
sama sekali belum mereka kenal.
Bagaimana mungkin kini pemuda yang
agaknya baru muncul di dunia kang-ouw ini
telah dapat memiliki ilmu kepandaian
sedemikian lihainya?
“Tahan....!” Tiba-tiba Sam-ok melon-cat ke
depan dan menahan pukulan Kam Hong
yang mendesak Su-ok yang sudah
bergulingan itu.
“Dukk!” Sam-ok tergeser mundur oleh
tangkisan itu dan diam-diam dia makin
terkejut. Ketika dia menangkis untuk
menyelamatkan Su-ok dan juga untuk
menghentikan perkelahian itu tadi, dia
menggunakan tenaga sepenuhnya, akan
tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu
ternyata membuat dia terdorong dan kudakudanya
tergeser! Bukan main he-batnya
kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.
Karena pihak lawan minta dihentikan
perkelahian dan ingin bicara, Kam Hong
tidak melanjutkan serangan dan dia pun
berdiri tegak dan memandang dengan sikap
tenang, namun dengan penuh
ke-waspadaan karena dia sudah
mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang
tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat
yang paling curang dan paling jahat.
“Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak
ingin bermusuhan dengan engkau yang
tidak kami kenal. Biarpun engkau memiliki
sedikit kepandaian, akan tetapi jangan
harap engkau akan dapat menen-tang kami.
Jangan kau mencampuri urusan kami yang
tidak kauketahui sama sekali.
“Hemm, apa artinya aku bersusah payah
mempelajari ilmu kalau aku harus
mendiamkan saja melihat seorang dara
diculik orang?” Jawab Kam Hong dengan
suara dingin.
“Ahhh, kau salah paham, sobat muda.” kata
Sam-ok. dengan nada suara meng-ejek.
“Kami tidak bermaksud mengganggu anak
perempuan ini. Kami hanya me-nahannya
untuk memaksa ayahnya datang menemui
kami....“
“Hemm.... sungguh cara yang curang untuk
bertemu dengan penghuni Lembah Gunung
Suling Emas. Kalau ada kepen-tingan,
mengapa tidak langsung saja me-nemui
keluarga Cu di sana?” Kam Hong mencela.
“Mengapa harus menawan pu-terinya?”
Choirul, maret 2008 344
Lima orang itu saling lirik. “Aha, jadi engkau
mengenal mereka, ya? Engkau sahabat
mereka dan hendak membela mereka?”
“Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya
membela orang yang terancam bahaya,
dalam hal ini adalah Nona inilah.
Bebaskan dia dan aku tidak akan
men-campuri urusanmu dengan keluarga
Cu di sana.”
“Engkau tidak tahu persoalannya, orang
muda. Kami ingin keluarga itu menukar
puteri mereka dengan pedang pusaka yang
kami kehendaki....”
“Hemm, Koai-liong-pokiam yang
di-perebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah
mendengar tentang ribut-ribut pedang
pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan
pencuri dari istana kaisar. “Aku pun tidak
peduli tentang pedang itu, akan tetapi
rebutlah dengan cara yang jantan, bukan
dengan menawan seorang gadis remaja.”
“Bocah sombong, engkau sungguh bosan
hidup!” Sam-ok sudah tak da-pat menahan
kesabarannya lagi dan dia sudah
menerjang dengan dahsyatnya. Kam Hong
cepat mengelak dan balas menyerang,
akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok
sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok
oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama
sekali Sam-ok yang lebih lihai daripada Suok
dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot
juga. Ilmu kepandaian tiga orang
pengeroyoknya itu telah ber-ada di tingkat
yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat
mereka aneh-aneh dan berbahaya sekali,
maka Kam Hong menggerakkan tangan
kirinya dan nampak sinar putih ketika dia
mencabut kipasnya dan dia pun mulai
melayani mereka dengan kipasnya. Dengan
ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan) yang diwarisi dari
peninggalan nenek moyang-nya, dia
melawan mereka, dibantu oleh tangan
kanannya yang melancarkan tam-parantamparan
dan totokan-totokan dah-syat, dia
berhasil menahan mereka ber-tiga. Tentu
saja Sam-ok merasa penasaran sekali
melihat betapa mereka bertiga sama sekali
tidak mampu mendesak la-wan, bahkan dia
sendiri pun harus ber-hati-hati karena
gerakan kipas itu benar-benar amat
dahsyatnya. Semua serangan kandas oleh
tangkisan-tangkisan gagang kipas yang
sambil menangkis juga langsung menotok
jalan darah di pergelangan tangan atau sikt,
dan angin yang me-nyambar dari kipas
yang dikembangkan kadang-kadang
membuat dia bingung sehingga dua kali dia
hampir tertotok oleh gagang kipas. Harus
diakuinya bah-wa tanpa bantuan dua orang
saudaranya, seorang diri saja dia akan
sukar sekali dapat bertahan melawan
pendekar muda yang belum dikenalnya itu!
Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi
juga geram mendengar betapa Ji-ok
memuji-muji pemuda itu.
“Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus!
Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Sute
dan Ngo-te masih tidak mampu
mengalahkan dia? Sungguh memalukan
sekali!”
“Ji-ci, daripada banyak cerewet, lebih baik
lekas bantu kami agar urusan kita dapat
segera diselesaikan!” kata Sam-ok dengan
marah karena ejekan itu.
“Hi-hik! Kalau aku sekali turun ta-ngan,
tentu bocah ganteng ini akan ke-hilangan
kepala. Sungguh sayang!”
“Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat
kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok
karena dia merasa yakin bahwa biarpun Jiok
sendiri agaknya akan mengalami
kesulitan untuk mengalahkan bocah ini.
Kepandaiannya sendiri tidaklah lebih
rendah dibandingkan dengan Ji-ok,
sungguhpun sampai sekaran dia belum
mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang)
dari nenek itu yang benar-benar luar biasa
hebatnya, namun pada umumnya
kepandaiannya setingkat dibandingkan
dengan Ji-ok.
Choirul, maret 2008 345
“Hi-hik, kaulihat sajalah!” kata Ji- ok dan dia
pun menerjang ke depan.
“Singggg.... cuiiiiitttt....“
“Ehhh....!” Kam Hong terkejut sekali dan
cepat meloncat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari sinar kilat ketika
telunjuk tangan nenek itu menyambar dan
mengeluarkan hawa dingin berkilat yang
amat dahsyatnya.
“Hi-hi-hik, kau kaget, bocah ganteng? Nah,
lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu
akan mempertimbangkan.” kata Ji-ok.
Akan tetapi Kam Hong sudah menjadi
marah sekali. Tak disangkanya bahwa
nama besar Im-kan Ngo-ok yang tersohor
sebagai datuk-datuk kaum sesat yang
berkedudukan tinggi itu ternyata
sekelompok orang yang berjiwa pengecut
dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu
untuk melakukan pengeroyokan untuk
mencapai kemenangan.
“Siapa takut padamu?” bentaknya dan di
lain saat, empat orang pengeroyoknya itu
menjadi silau dan terkejut melihat
berkelebatnya sinar kuning emas yang
cemerlang. Ketika mereka melihat be-tapa
kini pemuda yang mereka dikeroyok itu
memegang sebatang suling emas yang
berkilauan, mereka terkejut bukan main.
“Suling Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru
keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!”
Empat orang itu pun sudah menge-nal
suling emas yang pernah mereka dengar
seperti dongeng itu, maka mereka serentak
menerjang ke depan untuk me-nyerang dan
berusaha merampas benda pusaka itu.
Akan tetapi, Kam Hong sudah main-kan
ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan
sulingnya di udara, membentuk huruf Thian
(Langit). Empat kali suling-nya membuat
gerakan mencoret ke kanan dari kiri dua kali
untuk menangkis se-rangan Ngo-ok dan
Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke
kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang
dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Suok
terjungkal lalu bergulingan. Ternyata
dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus
dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang
merupakan gerakan silat yang berdasarkan
mencorat-coret atau “menulis” huruf di
udara menggunakan suling, sekaligus telah
menangkis serangan empat orang sakti
bahkan telah melukai pundak Su-ok dan
juga membuat tangan Ji-ok te-rasa nyeri
bukan main! Empat orang itu terkejut dan
sejenak mereka merasa gentar.
“Hayo serang dia!” Toa-ok memberi
komando, akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara lengking panjang bersama sinar
emas bergulung-gulung, dan itulah sinar
suling emas yang digerakkan oleh Kam
Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut
yang baru saja dia pelajari sambil
mengerahkan seluruh tenaga khi-kangnya
sehingga suling yang dimainkan itu
mengeluarkan suara melengking tinggi dan
semakin lama semakin tinggi sekali.
Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak
ke sana-ke sini, akan tetapi mereka
terserang oleh suara melengking-lengking
itu, makin tinggi suaranya ma-kin menusuk
telinga dan seolah-olah hen-dak menembus
jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan
sengaja mengerah-kan sin-kang untuk
melindungi diri dari ancaman suara khi-kang
suling itu dan bersiap untuk mengepung,
tibi-tiba saja Kam Hong meloncat ke arah
Pek In yang masih rebah di atas tanah,
menyambar tubuh dara itu, memanggulnya
dengan lengan kiri setelah menyimpan
kipasnya, kemudian meloncat jauh dan
terus ber-loncatan sambil mengerahkan ginkangnya.
Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun,
akan tetapi mereka segera menjadi marah
sekali dan langsung saja mereka
berloncatan melakukan pengejaran sambil
memaki-maki karena merasa dipermainkan
oleh pemuda itu.
Biarpun pada waktu itu Kam Hong telah
memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang
hebat berkat tenaga khi-kang yang
Choirul, maret 2008 346
terhimpun di dalam tubuhnya, namun para
pengejarnya itu adalah da-tuk-datuk kaum
sesat yang menduduki tingkat satu dan
mereka, terutama sekali Ngo-ok, memiliki
gin-kang yang amat hebat. Apalagi Kam
Hong harus memon-dong tubuh Cu Pek In
dan senja mulai tiba, maka setelah berlari
cukup lama, tetap saja lima orang itu masih
terus mengejarnya. Kam Hong berpikir
bahwa kalau dia tidak lari ke bagian yang
ditumbuhi pohon-pohon yang pada itu
sebagian besar gundul, sukar baginya untuk
membebaskan diri karena di daerah
pegunungan salju itu dari jarak yang jauh
pun dia masih akan nampak dan dapat
terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan
diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan
ditumbuhi pohon-pohon. Semen-tara itu,
malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai
gelap sehingga hal ini pun menyukarkan
Kam Hong untuk dapat ber-lari cepat
karena kegelapan akan me-mungkinkan dia
salah langkah dan terge-lincir ke dalam
jurang. Maka dengan hati-hati dia
memasuki daerah yang tidak gundul itu.
Batang-batang pohon dan batu-batu dapat
menyembunyikan dirinya dari penglihatan
musuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika
dia melihat bah-wa lima orang itu masih
terus mengejarnya. Dia teringat, bahwa
biarpun dia tidak kelihatan, akan tetapi lima
orang itu dapat mengikutinya dari jejak
kakinya di atas tanah yang tertutup salju.
Dan pula dara ini bagi mereka amat penting
untuk di jadikan sandera, guna ditukar
dengan pedang pusaka, maka tentu lima
orang itu tidak mau mengalah dan akan
terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong
pun tidak pernah berhenti, meng-harapkan
bahwa setelah cuaca gelap benar, lima
orang itu akan kehilangan jejak kakinya.
Harapannya itu memang tidak sia--sia.
Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan
Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran
mereka. Akan tetapi mereka sama sekali
bukan berarti mundur dan menghentikan
usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita
berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan
mengikuti jejak kakinya.”
Dan Kam Hong pun terpaksa
meng-hentikan langkahnya karena cuaca
amat gelapnya dan amat berbahaya untuk
melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan
Pek In dan setelah meraba tengkuk, ke-dua
pundak dan punggung dara itu, dia
menotoknya dan membebaskannya dari
totokan. Dara itu mengeluh lirih, memi-jitmijit
kaki tangannya yang terasa lemas.
“Kiranya engkau malah yang telah
menolongku....“ katanya lirih.
“Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus
membebaskanmu dari mereka yang jahat.”
“Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia
busuk tak tahu malu. Mereka pernah
berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan
sekarang malah hendak me-nawanku
sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka
pasti takkan diberi ampun. Eh, di mana
dia?”
“Siapa?”
“Anak perempuan itu, eh, Ci Sian....”
“Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit.
Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan
dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan
waktu lama untuk membebas-kanmu,
bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari
sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi
akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri
tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini
gelap dan aku tidak mengenal jalan....”
“Aku mengenal tempat ini, akan te-tapi
malam gelap begini tidak mungkin kita
melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi
kita dapat pergi dari sini.... dan tempat
Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa
ke sana dan minta ban-tuannya.”
“Suhengmu? Bertapa?”
“Ya, dan dia tentu akan dapat meng-halau
Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai
dibandingkan Ayah.”
Choirul, maret 2008 347
Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi
diam-diam dia kagum sekali dan teringat
akan pesan Cu Han Bu ketika mereka
hendak saling berpisah. Tokoh keturunan
kakek pencipta suling emas itu mengatakan
bahwa keluarga mereka masih mempunyai
Ilmu pusaka yaitu Koali-liong Kiam-sut yang
mereka harap-kan kelak akan dapat
mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang
diwarisinya. Keluar-ga itu memang hebat,
maka tidaklah aneh andaikata benar
ucapan Pek In bahwa dara ini masih
memiliki seorang suheng yang sedang
bertapa dan bahwa suheng ini memiliki
kepandaian tidak kalah lihai dibandingkan
dengan kepandaian ayahnya.
Malam itu mereka terpaksa berdiam di
tempat itu. “Kau tidurlah Nona. Biar aku
menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tidak
dapat menyalakan api unggun untuk
membantu menghangatkan tubuh karena
kalau kita lakukan Itu tentu me-reka akan
melihat dan akan datang.
Pek In merasa lelah dan baru saja
mengalami ketegangan dan kini merasa
lega, segera merebahkan diri miring dah tak
lama kemudian dia tidur pulas dengan
tubuh meringkuk kedinginan. Melihat ini,
hanya melihat dengan remang-remang saja
karena yang membantu pandangan mata
hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam
Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar
dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh
dara itu. Dia sama sekali tidak dapat
menduga bahwa pada saat yang sama, di
dalam sebuah gua, seorang pemuda lain
sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula!
Sebetulnya, baik Ci Sian maupun Pek In
sudah memiliki kepandaian dan tenaga sinkang
yang cukup kuat untuk melawan
dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan
tidur tentu saja mereka tidak dapat
mengerahkan sin-kang dan hawa dingin
membuat mereka dalam keadaan tidak
sadar itu meringkuk seper-ti anak kecil
kedinginan. Adapun Kam Hong yang
berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan
hawa dingin itu dengan penyaluran sinkangnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali
Pek In sudah terbangun dan dia cepat
merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika
melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu.
Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih
duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca
masih gelap remang-remang tertutup kabut.
“Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang
peka sekali pendengarannya itu menoleh.
“Terima kasih untuk jubahmu ini, kata Pek
In sambil mengembalikan baju itu kepada
Kam Hong yang menerimanya. “Kita harus
berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”
“Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke
depan.”
“Aku tahu jalannya, marilah.”
Keduanya lalu bangkit dan berjalan
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Biarpun Pek In sebagai penunjuk jalan
berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong
tak pernah mengurangi kewaspadaan,
diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In
terperosok ke dalam jurang atau
meng-alami halangan lain.
Matahari pagi telah mengusir kabut gelap
ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu
dan tiba di kaki sebuah bu-kit. “Tak jauh lagi
dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng
bertapa.” kata Pek In dengan nada suara
girang.
“Lihat, mereka sudah mengejar!” Ti-ba-tiba
Kam Hong berkata. Mari kita cepat lari!”
Pek In menengok dan benar saja, lima
sosok bayangan sedang menuruni lereng
dari mana mereka berdua datang tadi dan
gerakan mereka amat cepat.
“Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam
Hong.
“Tidak, jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In
berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong
Choirul, maret 2008 348
menjadi merah sekali ketika dia bertemu
pandang dengan dara itu. Dari pandang
mata itu dia melihat ke-marahan!
“Ahh, aku hanya bermaksud agar kita dapat
melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada
maksud lain.” katanya menghela napas.
Sejenak mereka berpandangan, ke-mudian
Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku....
biarlah aku lari sendiri saja.”
“Terserah.”
Mereka lalu lari mendaki bukit itu. Akan
tetapi, Kam Hong maklum bahwa
betapapun lihainya nona ini, namun da-lam
hal berlari cepat, dia masih kalah jauh
dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka
kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu
akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok.
Dugaannya benar karena kini terdengar
bentakan-bentakan dari belakang, tanda
bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar
semakin dekat.
“Nona, mereka telah datang dekat.” kata
Kam Hong, tidak berani menawar-kan lagi
untuk memondong nona itu, sungguhpun
dia ingin sekali untuk diper-bolehkan
memondongnya, karena dengan jalan itu
dia masih sanggup untuk me-larikan diri dari
jangkauan lima orang itu. Akan tetapi Pek In
berkata, sambil menunjuk ke depan.
“Tempat Suheng sudah dekat!”
“Kalau begitu, cepat kau lari ke sana dan
berlindung, biar aku menghalangi mereka
mengejarmu, Nona.” kata Kam Hong dan
dia sudah berdiri tegak membalikkan diri,
menanti datangnya lima orang itu dengan
kipas di tangan kiri dan suling emas di
tangan kanan. Sikapnya amat gagah
sehingga sejenak Pek In memandang
penuh kagum, kemudian dia pun segera lari
menuju ke lereng bukit di mana dia tahu
terdapat guha tempat suhengnya “bertapa”
dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koailiong
Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki
guha itu karena dilarang oleh ayahnya,
akan tetapi dia sudah tahu tempatnya maka
kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke
situ.
Sementara itu, Kam Hong yang ber-diri
tegak itu, menghadang datangnya Im-kan
Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan
mereka. “Im-kan Ngo-ok, kalau kalian
berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa
kalian adalah tokoh-tokoh besar dunia
kang-ouw!” bentak Kam Hong dengan suara
tegas dan penuh wibawa.
“Bocah lancang she Kam, lebih baik
serahkan suling itu kepada kami!” bentak
Sam-ok sambil memandang ke arah suling
emas di tangan Kam Hong seperti se-orang
anak kecil melihat sebuah mainan yang
amat menarik hatinya. Tentu saja Im-kan
Ngo-ok sudah pernah mendengar tentang
keluarga Suling Emas yang meninggalkan
pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mujijat
dan kini melihat pemuda ini, perhatian
mereka bercabang, seba-gian masing
menginginkan Koai-liong Pokiam akan
tetapi sebagian lagi meng-nginkan suling
emas pusaka itu!
“Hemm, kalian ini orang-orang tua yang
terlalu jauh tersesat.” kata Kam Hong dan
dia pun segera menggerakkan suling dan
kipas untuk menerjang mere-ka. Kini dia
menerjang lebih dulu karena dia sedang
berusaha untuk men-cegah mereka
mengejar Pek In yang sudah melanjutkan
larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri
lebih dulu karena kalau dara itu sudah
terbebas dari an-caman lima orang ini, dia
pun akan mudah meninggalkan mereka.
Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan
Ngo-ok agaknya sudah mempersiap-kan
diri. Dan memang semalam mereka telah
berunding bagaimana sebaiknya ka-lau
mereka berhadapan lagi dengan pe-muda
yang amat lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok,
Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah
mengeroyoknya dan merasakan
kelihaian-nya yang luar biasa, dan kini
mereka semua maju, dipimpin oleh Toa-ok
me-ngeluarkan suara geraman aneh,
Choirul, maret 2008 349
mereka berlima sudah berlompatan
mengurung Kam Hong. Mula-mula Ngo-ok
mengeluarkan gerengan serigala dan
tubuhnya sudah berjungkir balik,
berloncatan di atas kedua tangan dan
kadang-kadang menggunakan kepalanya
dengan gerakan yang gesit dan terlatih. Suok
sudah me-rendahkan tubuhnya yang
sudah pendek sekali itu sehingga dia
nampak seperti seekor katak yang siap
hendak menerkam dan meloncat, perutnya
menggembung mengumpulkan tenaga
pukulan Katak Buduk. Adapun Sam-ok Ban
Hwa Sengjin, yang biarpun termasuk orang
ke tiga dari mereka namun memiliki
kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok
dan memiliki pengalaman yang paling luas,
di antara para saudaranya, juga sudah
memasang kuda-kuda kemudian tubuhnya
mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan
seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh
angin lembut! Inilah pembukaan dari
Ilmunya yang paling dia andalkan, yaitu
Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit
Bumi). Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak
tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang
hebat, yaitu pukulan-pukulan dengan Ilmu
Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua
telunjuk tangan berobah berkilauan itu. Dan
orang pertama dari mereka, Toa--ok, juga
sudah siap dengan kedua tangan panjang
tergantung di kanan kiri, kelihat-annya
seperti tidak memasang kuda-kuda, akan
tetapi kakek seperti gorila ini
se-sungguhnya amat berbahaya.
Melihat mereka berlima sudah siap dan
mulai bergerak mengelilinginya da-lam
kepungan, Kam Hong menerjang ke arah
Toa-ok sebagai orang pertama yang
disangkanya tentu paling lihai, sulingnya
berobah menjadi sinar kuning emas yang
lebar, panjang dan terang, yang
menge-luarkan suara melengking merdu.
Suara itu menyambar ke arah telinga
sedang-kan ujung suling menotok ke arah
jalan darah di bawah telinga itu.
“Huhhh....!” Toa-ok mendengus dan lengan
kirinya yang panjang itu menyam-bar,
lengannya menangkis suling sedang-kan
tangannya dilanjutkan mencengkeram ke
arah leher lawan. Namun Kam Hong sudah
mengelak dan menggerakkan su-lingnya ke
atas, siap melanjutkan serangannya dan
kipasnya dibuka dan diputar ke kiri untuk
menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok
sekaligus. Kemudian, dengan
mengeluarkan suara berdengung aneh,
sulingnya membuat corat-coretan di uda-ra
secara aneh karena tubuhnya juga terbawa
oleh gerakan suling dan ternyata dia
menulis di udara, mencorat-coretkan huruf
Tiong yang membuat sulingnya bergerak
melingkar membentuk segi empat dan
sekaligus setiap gerakan menyerang
seorang lawan sehingga empat orang lawan
di sekeliling itu disambar sinar suling
semua, kecuali Toa-ok yang menerima
serangan langsung sebagai penutup huruf
Tiong itu, serangan me-ngerikan karena
suling itu menyambar dari atas ke bawah
seperti petir me-nyambar.
“Ohhhh....!” Toa-ok menahan dengan kedua
lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang
menahan suling itu dengan Kiam-ci.
“Dessas.... takkkk!”
Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting.
Mereka tidak terluka hebat, akan tetapi
tetap saja mereka terpelanting dan
me-ngalami kekagetan hebat karena
serangan suling tadi seolah-olah mereka
rasakan seperti serangan petir sungguhsungguh.
Mereka menjadi marah dan
mulailah me-reka menghujankan serangan
bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi
satu na-mun saling berganti dan saling
membantu sehingga serangan itu terus
menerus dan sambung-menyambung.
Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok
yang agaknya menggabungkan ilmu
mereka itu, Kam Hong tidak berani berlaku
lengah atau sembrono, maka dia pun
mengeluarkan teriakan melengking nyaring
dan tiba-tiba gerakan sulingnya berobah.
Dia telah menyimpan kipasnya dan kini dia
sepenuhnya mengandalkan sulingnya
dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang
luar biasa hebatnya. Nampaklah gelombang
Choirul, maret 2008 350
sinar dan suara, sinar kuning emas yang
memenuhi tempat itu dan gelombang suara
yang tinggi rendah, amat aneh dan
menggetarkan jantung siapa yang
men-dengarnya.
Sementara itu, dengan lari secepat-nya,
akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah
guha yang dijadikan tempat ber-latih Sim
Hong Bu, suhengnya. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget dan herannya
ketika dia melihat suheng-nya itu duduk di
luar guha yang tertutup batu besar itu,
duduk di atas sebongkah batu dan di
depannya duduk pula seorang gadis cantik
yang segera dikenalnya ka-rena gadis itu
bukan lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa
girang dan lega hatinya mengalahkan
keheranannya maka begitu Hong Bu
bangkit berdiri dan memandang kepadanya
dengan mata terbelalak dan berseru,
“Sumoi....!” dia lalu menghampiri dan
segera merangkul pundak suhengnya itu
dan menangis!
“Eh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah
terjadi?” tanya Sim Hong Bu de-ngan kaget
bukan main. Dia tadi sudah merasa
terheran-heran melihat Pek In berlari-lari
mendatangi di pagi hari itu dan kini
keheranannya bertambah dan dia terkejut
melihat sumoinya menangis, hal yang amat
jarang terjadi karena sumoi-nya adalah
seorang dara perkasa yang gagah dan
bahkan agaknya pantang me-nangis atau
setidaknya juga tidak se-cengeng wanita
biasa.
“Suheng.... aku.... aku baru saja ter-lepas
dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah
menangkapku.... aku.... aku tertolong
oleh....“
“Di mana mereka?” Hong Bu sudah
memotong kata-kata itu. Pada saat itu
terdengarlah bunyi lengking suling itu.
“Penolongku sedang menghadapi
me-reka.... kaubantulah dia, Suheng....”
kata Pek In dan mendengar suling itu, Ci
Sian sudah melompat bangun,
“Itu.... itu suling Paman.... eh.... Su-hengku
Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah
suara suling itu.
Sementara itu, tahulah Hong Bu bah-wa
sumoinya telah tertolong oleh suheng dari
Ci Sian seperti yang diceritakan oleh dara
itu, maka dia pun cepat lari memasuki guha,
mengambil pedangnya menutup kembali
batu depan guha dan menarik tangan
sumoinya, “Mari kita bantu dia!” Mereka pun
berlari-lari me-nuju ke arah suara itu ke
mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.
Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat
itu, mereka melihat Ci Sian su-dah berada
di situ dan mendengar dara ini
mengeluarkan suara keras, memaki-maki
dan mengejek lima orang pengero-yok itu.
“Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka
sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana
muka kalian yang perot kempot itu, hah?
Lima tua bangka mengeroyok seorang
pemuda, sungguh tak tahu malu. Itukah
namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut
curang, tak berharga! Malu! Malu!
Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan
tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang
dara yang penuh semangat dan gairah,
jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya
luar biasa. Akan tetapi dia pun amat kagum
menyaksikan sinar kuning emas bergulunggulung
seperti gelombang dahsyat itu, dan
karena memang sejak pertemuan pertama
kali dia sudah amat kagum kepada Kam
Hong, maka kini diam-diam dia merasa
semakin kagum dan suka kepada pendekar
sakti itu. Akan tetapi dia pun terkejut karena
maklum bahwa lima orang pengeroyok itu
pun bukan orang sembarangan dan
meru-pakan orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi bukan main. Oleh ka-rena
itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu
meloncat ke depan, menghunus
pe-dangnya dan berseru. “Kam-taihiap, biar
aku membantumu!”
Choirul, maret 2008 351
Kam Hong sudah melihat munculnya Ci
Sian dan hatinya merasa girang, akan tetapi
juga mulai khawatir. Tadi dia me-lindungi
Pek In dan setelah nona itu dapat
menyelamatkan diri, eh, kini mun-cul Ci
Sian yang tentu saja harus dilin-dunginya!
Kemudian muncul pula Pek In dan seorang
pemuda yang kelihatannya gagah perkasa
sekali. Ketika dia melihat pemuda itu
mencabut pedang dan melon-cat ke dalam
pertandingan, dia merasa kaget dan kagum
bukan main, juga seka-rang dia mulai ingat
bahwa dia agaknya, pernah bartermu
dengan pemuda perkasa ini. Namun dia
tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat
karena dia sudah dibikin kagum bukan main
menyaksikan gerakan pedang dari pemuda
itu. Gerakan pedang yang mengimbangi
gelombang sinar sulingnya, dan pedang itu
bahkan mengeluarkan pula suara
mengaung-ngaung yang menandingi
lengking suara sulingnya! Sebatang pedang
yang ampuh dan Ilmu pedang yang luar
biasa.
“Ah, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas
kedua-duanya diserahkan kepada kita, haha!”
Sam-ok tertawa akan tetapi suara
ketawanya ini sebetulnya hanya untuk
menyembunyikan rasa khawatirnya
menyaksikan permainan pedang sehebat itu
yang membantu gelombang sinar suling
yang sukar dilawan itu.
Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu
beralasan. Hebat bukan main permainan
suling dan pedang itu, bergulung-gulung
seperti dua ekor naga bermain-main di
angkasa, bergelombang seperti badai
mengamuk sehingga tempat itu penuh
dengan sinar pedang yang kebiruan dan
sinar suling yang keemasan! Indah bukan
main sehingga baik Pek In maupun Ci Sian
sampai memandang bengong ter-longong.
Indah dan juga menggetarkan sampai debu
salju bertebaran dan semua itu ditambah
lagi dengan suara meleng-king dari suling
dan suara mengaung dari pedang, seolaholah
ada dua suara saling sahut atau saling
mengiringi dalam perpaduan suara yang
aneh sekali.
Lima orang Im-kan Ngo-ok itu ber-usaha
untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini
keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan
Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan
mereka berlima itulah yang terkurung dan
terdesak oleh sinar pedang dan suling yang
datang dari se-mua jurusan, seolah-olah
mereka itu dike-royok oleh belasan orang
lawan! Selama mereka hidup, baru
sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal
seperti ini, bertemu dengan dua orang
muda yang tak terkenal, akan tetapi telah
memiliki ke-pandaian yang luar biasa
dahsyatnya dan masing-masing memegang
pusaka-pusaka yang telah di jadikan
perebutan oleh dunia kang-ouw. Suling
Emas dan Pedang Naga Siluman muncul
bersama! Bukan main!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susulmenyusul
dan mula-mula tubuh Ngo-ok
yang berjungkir balik itu roboh terguling
disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan
keduanya memegangi pundak dan paha
yang berdarah terkena sambaran pedang!
Kemudian disusul Toa-ok terjengkang
terkena totokan ujung suling yang mengenai
pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena
hantaman suling pada pung-gungnya yang
membuat nenek ini tergu-ling. Pada saat
yang berikutnya, hanya berselisih beberapa
detik saja, sinar pe-dang dan sinar suling
menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah
ternganga ketika sinar biru menyambar ke
arah lehernya!
“Tak perlu membunuh!” terdengar Kam
Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling
kena tertotok ujung suling yang mengenai
tengkuknya, disusul suara “cringgg!” nyaring
sekali disertai mun-cratnya bunga api ketika
suling itu lang-sung menangkis pedang
yang nyaris membabat leher Sam-ok. Baik
Kam Hong maupun Hong Bu meloncat ke
belakang dengan tangan tergetar dan cepat
me-reka memeriksa senjata masing-masing
dan merasa lega bahwa senjata mereka
tidak rusak.
Choirul, maret 2008 352
Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka
parah dan mereka sudah bangkit kembali,
sejenak memandang kepada dua orang
muda itu bergantian, kemudian mereka lalu
melompat dan pergi mening-galkan tempat
itu tanpa sepatah kata pun kata keluar dari
mulut mereka.
“Tak usah dikejar, musuh yang sudah
mengaku kalah dan melarikan diri.” kata
pula Kam Hong melihat Hong Bu hendak
mengejar mereka.
Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan
menghadapi Kam Hong, sinar mata-nya
penuh kagum dan ia lalu menjura.
“Sungguh beruntung dapat bertemu
de-ngan Kam-taihiap lagi di tempat ini,
terutama dapat menikmati Ilmu Taihiap
yang sungguh mengagumkan sekali.”
Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini
dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang
menjadi suheng dari Pek In dan kalau
pemuda ini dengan pedang yang
diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka
itu bukanlah omong kosong be-laka,
“Engkau pun memiliki kepandaian. yang
amat mengagumkan hatiku, orang muda....”
“Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita
pernah saling bertemu beberapa tahun
yang lalu....”
“Hong Bu pernah menolongku ketika Su-bi
Mo-li muncul dahulu, Paman.... eh,
Suheng....!” kata Ci Sian dan mendengar
sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong
tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara
ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong
Bu bahwa dia adalah suhengnya, maka kini
menyebutnya suheng. Dan memang
sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu
sumoinya, mengingat bahwa me-reka
berdualah yang berhak menjadi mu-rid
kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu.
Mereka berdua sajalah yang berhak
menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu
itu dan menjadi murid jena-zah kuno yang
bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu,
maka sudah sepatut-nyalah kalau mereka
berdua saling menyebut suheng dan sumoi.
Untuk meng-hilangkan keraguan Ci Sian
dan juga untuk memberi muka kepada dara
itu, dia pun lalu menjawab.
“Ya, aku teringat akan hal itu, Su-moi.
Memang Sim Hong Bu ini seorang yang
gagah, dahulu menolongmu dan se-karang
pun menolongku pula.”
“Ah, Kam-taihiap harap jangan
me-rendahkan diri, sesungguhnya bukan
aku yang menolong Taihiap, melainkan
Tai-hiaplah yang menolong Sumoiku....”
“Eh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal
seperti ini, perlu lagikah engkau menyebutnyebut
Taihiap kepada Suheng? Rasanya
tidak enak benar.” Ci Sian mencela.
Kam Hong tertawa. “Benar apa yang
dikatakan Sumoi. Hong Bu, mulai sekarang,
jangan menyebut Taihiap, sebut saja
Toako, cukuplah.”
“Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah
tentu akan merasa gelisah sekali karena
sejak kemarin aku belum pulang.
Kauantarlah aku pulang agar Ayah dan para
Paman percaya apa yahg telah terjadi.” kata
Pek In dan dia pun lalu memegang tangan
Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk
pergi.
“Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh
Kam-tai.... Kam-twako, sepatut-nya kita
menghaturkan terima kasih.”
“Aku.... aku....!” Pek In memandang bingung
dan membuang muka.
Kam Hong maklum akan apa yang
dirasakan oleh dara itu, maka dia pun
tertawa. “Sudahlah, di antara kita, perlu-kah
bersikap sungkan dan pakai segala macam
terima kasih segala?”
“Suheng, marilah!” Pek In kembali menarik
tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang
kepada Ci Sian dengan pan-dang mata
penuh kasih sayang dan ke-mesraan, juga
Choirul, maret 2008 353
penuh dengan perasaan kecewa dan duka
karena mereka harus berpisah itu.
“Ci Sian.... kapankah kita dapat saling
bertemu kembali?” Suara pemuda remaja
itu terdengar gemetar penuh perasaan,
penuh harapan. Sinar matanya dan
suaranya ini tidak terlepas dari perhatian
Kam Hong yang berpandangan tajam dan
tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu
agaknya jatuh hati kepada Ci Sian! Juga
Pek In adalah seorang wanita dan
biasa-nya, seorang wanita amat peka
terhadap sikap pria dan seorang wanita
akan mudah sekali mengetahui apabila
melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In
juga dapat melihat sinar mata penuh kasih
dan suara yang menggetar mesra penuh
harapan itu. Pada saat yang sama itu,
timbullah rasa cemburu yang amat
me-nyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In
dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut
sendiri dan cepat dia memejamkan mata
dan menarik napas panjang untuk mengusir
pikiran yang dianggapnya tidak be-nar itu.
Mengapa dia merasa cemburu kalau ada
seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci
Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?
Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya
merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda
yang selain amat baik, gagah perkasa,
ternyata juga memiliki ilmu kepandaian
yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu
dia pun akan bersikap biasa dan ramah
saja. terhadap pemuda itu. Akan tetapi
melihat betapa sikap Pek In amat mesra
dan manja, melihat betapa dara itu
kelihatan tidak senang ketika Hong Bu
bicara dengannya, timbul perasaan panas
di hati dara ini. Maka dia pun ter-senyum
manis sekali kepada Hong Bu dan berkata.
“Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak
akan dapat saling bertemu kembali!
Selamat berpisah Hong Bu.”
Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi
karena sikap Ci Sian sengaja dibuat
menjadi amat mesra, maka tentu saja katakata
itu bisa diartikan lain, yaitu memang
dara ini mengharapkan dengan sangat akan
pertemuan kembali antara mereka, bahkan
memakai kata “jodoh” segala! Pek In
menjadi semakin cemberut, menarik tangan
suhengnya dan berkata, “Marilah Suheng!” ,
Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong
Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali
dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri
sambil memandang dengan tersenyum
manis.
“Dia memang seorang pemuda yang hebat!”
Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian
terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah
lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini
dia terkejut mendengar kata-kata Kam
Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya,
melainkan karena suaranya. Suaranya amat
berbeda, dan ketika dia menoleh dan
memandang, dia merasa lebih berat lagi
karena pada wajah yang tampan itu tampak
bayangan kemarahan!
“Paman.... eh, Suheng.... bolehkan aku
mulai sekarang menyebutmu Suheng saja?
Bukankah engkau telah menganggapku
sebagai Sumoi karena kita sama-sama
menjadi murid jenazah kuno.... eh, siapa
namanya...., Cu Keng Ong itu?”
Baru saja hatinya penuh dengan cem-buru,
akan tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang
cerah dan mendengar ucapan-nya,
lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong
tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu saja
boleh, bahkan engkau seha-rusnya
menyebut aku Suheng, Sumoi.”
Ci Sian juga sudah merasa lega me-lihat
Kam Hong tersenyum, “Eh, Suheng, engkau
tadi kenapa sih?”
“Kenapa bagaimana?”
“Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku
berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru
saja, sedang dilanda kemarah-an besar.
Kenapa sih?”
Kam Hong merasa betapa wajahnya
menjadi panas, maka cepat-cepat dia
Choirul, maret 2008 354
mengerahkan sin-kang untuk menahan agar
wajahnya tidak berubah merah. Dia
tersenyum lagi dan cepat mencari alasan
untuk sikapnya tadi, “Ah, aku hanya tidak
setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menariknarik
Hong Bu seperti itu....”
“Memang gadis banci itu amat
men-jemukan! Dia kelihatan begitu manja
dan mesra kepada Hong Bu, seolah--
olah....”
“Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu,
apakah engkau tidak dapat menduganya?”
Kam Hong berkata dengan cepat dan
agaknya kata-kata ini merupa-kan berita
menyenangkan yang harus di-sampaikan
secepatnya kepada Ci Sian. Dara itu
memandang kepada Kam Hong dengan alis
berkerut, agaknya berita itu tidak
menyenangkan hatinya.
“Hemm, bagaimana engkau bisa tahu,
Suheng?” tanyanya, tidak rela
memba-yangkan bahwa di antara pemuda
seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih
dengan gadis seperti Cu Pek In.
“Ahh, sudah nampak dengan jelas se-kali,
bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat
sikapnya, ketika memandang kepa-da Hong
Bu, ketika bicara, dan cara dia
menggandeng tangan pemuda itu....”
“Huh dasar banci tak tahu malu! Akan
tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta
padanya, Suheng.”
Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya.
Memang demiklanlah kenyataan yang
dilihatnya. Hong Bu agaknya tidak
men-cinta Pek In, sebaliknya dia khawatir
kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci
Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara
tentang ini. “Entah, Sumoi. Akan tetapi,
harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu
kepandaian yang hebat sekali....”
“Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah
mendengar suara pedangnya yang
meng-aung-aung ketika aku lewat di sini,
suara itu keluar menembus batu besar yang
menutup guha ini. Dan dia mendorong batu
besar ini dengan satu tangan saja.
Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja
membiarkan dirinya kena pukul olehku
kemarin....”
“Engkau memukulnya?”
Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya
dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In
sedangkan dia sendiri menyangka Kam
Hong yang berada di balik batu. “Kami
memang saling mengenal begitu bertemu
muka, Suheng. Akan tetapi ke-tika dia
mengaku bahwa dia adalah mu-rid keluarga
Cu, aku segera menganggap-nya musuh
dan menyerangnya. Dia tidak pernah
melawan, akhirnya aku dapat memukul
dadanya sampai dia terpelan-ting, dan lalu
kami berbaik. Sekarang aku tahu bahwa dia
agaknya kemarin sengaja membiarkan
dirinya terpukul. Su-heng, dia adalah murid
keluarga Cu itu! Dialah yang mewarisi
pedang pusaka itu, juga ilmu pedang
pusaka....”
“Benar, sekali kuduga akan hal itu ketika
aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona
Cu. Dan melihat cara dia bermain pedang,
aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah
ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han 8u.
Hemm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu
memang hebat dan agaknya memang dapat
merupakan lawan tangguh sekali dari Kimsiauw
Kiam-sut kita, Sumoi.”
“Tidak mungkin!”
“Apa maksudmu, Sumoi”
“Tidak mungkin Hong Bu mau memu-suhi
kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti
keluarga Cu.”
Kam Hong menarik napas panjang lagi.
Kenapa hatinya merasa tidak enak
mendenger dara ini memuji diri Hong Bu?
Padahal, dia sendiri pun harus meng-akui
kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah
Choirul, maret 2008 355
seorang pemuda yang gagah per-kasa dan
baik.
“Mungkin saja dia sendiri tidak, akan tetapi
bagaimana kalau masih ada anggauta atau
murid keluarga Cu yang lain, yang memiliki
ilmu pedang itu dan kelak berusaha
mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita!”
“Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita
tidak harus kalah!”
“Bagas sekali semangat itu, Sumoi. Akan
tetapi untuk membuktikan hal itu, ada
syaratnya, yaitu bahwa kita harus
mempelajarl ilmu kita sebaik mungkin
sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau
tekunlah berlatih, Sumoi.” “Baik, Suheng.”
“Dan aku pun akan kembali ke timur,
bagaimana.... bagaimana dengan engkau,
Sumoi?”
“Ke timur....?” Ci Sian terkejut kare-na tak
pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan
mendengar kata-kata ini. “Ke-napa
Suheng?”
“Aih, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku
datang ke tempat ini sebetulnya adalah
untuk mencari Yu Hwi, seperti pernah
kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah
kutemukan dia dan engkau men-dengar
sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi
kakeknya agar urusan per-talian antara dia
dan aku dapat diputus-kan secara resmi
dan terhormat.”
“Ke manahah engkau hendak pergi,
Suheng?”
“Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana
selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang
pernah membimbingku sebagai guru, yaitu
Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sinsiauw
Sengjin, kakek tua yang seperti
kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya
orang seperti keluargaku, sung-guh pun
antara kami tidak ada hubungan darah. Dia
adalah keturunan dari orang yang pernah
menjadi pembantu nenek moyangku, dan
dia pulalah yang dengan setia menyimpan
dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek
moyangku untuk kemudian di-turunkan
kepadaku. Aku berhutang budi banyak
sekali kepada dua orang kakek itu. Dan
karena Kakek Sin-siauw Seng-jin kini
tinggal pula di Tai-hang-san, tidak
berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong,
maka mudah bagiku untuk pergi
mengunjungi mereka berdua.”
“Selain mereka, engkau tidak mempu-nyai
keluarga lainnya?”
Kam Hong menggeleng kepala. “Aku tidak
mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku
hendak pergi meninggalkan daerah yang
dingjn bersalju ini, ke timur di mana dunia
penuh dengan sinar mata-hari. Maukah....
kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan
aku akan senang sekali kalau engkau
bersamaku, Sumoi. Ataukah.... engkau ingin
mengunjungi orang tuamu.... aku boleh
mengantarmu....”
“Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan
Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng,
karena hanya engkau seoranglah yang
kupunyai di dunia ini.”
Wajah yang tampan dan biasanya te-nang
itu nampak gembira sekali, sepa-sang
matanya bersinar-sinar dan bibirnya
tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan
berlatih silat di sepanjang jalan. Mari kita
pergi!”
Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi
suheng dan sumoi secara kebe-tulan saja,
yang mempunyai nasib yang sama, yaitu
tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini
yang boleh mereka tumpangi, kini
melakukan perjalanan menuju ke timur,
meninggalkan barisan Pegunungan
Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang
Tek Hoat yang hidup secara amat
menyedihkan, seperti seorang jembel yang
sama sekali tidak mengurus diri, selalu
hidup seperti keadaan seorang
Choirul, maret 2008 356
gelandangan, juga sikapnya
membayang-kan otak yang tidak waras atau
yang oleh umum mungkin dianggap seperti
orang yang gila.
Kehidupan manusia memang kadangkadang
nampak menyedihkan sekali
kare-na perubahan-perubahan yang terjadi
me-nimpa diri seorang manusia seolah-olah
membuat manusia yang tadinya berada di
puncak tertinggi kini berada di tempat yang
paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini
pernah menjadi calon man-tu Raja Bhutan,
di samping kedudukan panglima muda yang
dipegangnya, menja-di calon suami seorang
puteri cantik jeli-ta seperti Syanti Dewi yang
dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya
ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya.
Dan di-bandingkan dengan sekarang ini,
sungguh orang takkan mau percaya bahwa
jembel yang seperti orang gila itu adalah Si
Jari Maut Ang Tek Hoat itu!
Orang akan melontarkan kesalahan kepada
nasib. Namun, benarkah nasib yang
mempermainkan kehidupan manusia?
Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya
sebutan yang dipakai orang untuk
menya-takan keadaan seseorang dalam
kehidup-annya. Dan kita tidak pernah mau
mem-buka mata mempelajari suatu
persoalan dengan penuh kewaspadaan,
apalagi kita tidak mau menjenguk ke
dalamnya untuk melihat bahwa segala
sesuatu itu bersumber kepada diri kita
sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri
merupakan hal yang tidak menyenangkan,
juga mengeri-kan, maka kebanyakan dari
kita lebih suka menutup mata dan
melontarkan sebab-sebabnya kepada
nasib!
Biarpun kelihatannya seperti orang gila,
namun pria yang memiliki ilmu ke-pandaian
tinggi ini tidak pernah menye-salkan nasib.
Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan,
kejahatan-kejahatan yang pernah
dilakukannya di masa muda (baca cerita
KISAH SEPASANG RAJAWALI dan
JODOH RAJAWALI). Hal ini dapat
dibuktikan beta-pa seringkali dia termenung
dan menge-luh panjang pendek, bahkan
kadang-ka-dang terdengar kata-katanya
seperti bicara kepada diri sendiri dan hal ini
yang membuat orang-orang menyangka dia
gila. “Ijinkanlah aku bertemu dengan dia
sekali lagi untuk minta ampun dan
mem-buktikan bahwa aku telah bertobat....!”
Kata-katanya itu sebenarnya sama de-ngan
doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia
dapat dipertemukan sekali lagi dengan
kekasihnya, dengan Syanti Dewi agar dia
memperoleh kesempatan untuk meminta
ampun atas semua kesalahannya kepada
dara itu. Baru sekarang ia sadar benar
betapa dia telah banyak menyebab-kan
penderitaan hidup atas diri dara yang amat
dicintainya itu! Baru dia sadar betapa
sebenarnya puteri itu amat men-cintainya,
mencintainya dengan murni, tidak seperti
dia yang cintanya penuh dengan
pementingan diri pribadi sehingga penuh
dengan cemburu yang gila.
Hanya karena mencari Syanti Dewi maka
Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang
kang-ouw menuju ke Pegu-nungan
Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki
dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di
Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa
bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di
Himalaya, sampai-sampai dia terbawa oleh
orang kang-ouw me-ngunjungi Lembah
Gunung Suling Emas, kemudian bahkan
terlibat dalam pertem-puran membantu
Jenderal Muda Kao Cin Liong,
keponakannya sendiri, menghadapi
pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja dia
tidak mau menerima penawaran jenderal
muda yang masih keponakannya sendiri itu
untuk membantu terus, dan dia pun
langsung meninggalkan Lhagat dan karena
merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat
menemukan Syanti Dewi di Pegunungan
Himalaya maka dia melakukan perjalanan
kembali ke timur.
Biarpun dia sudah menjadi seorang yang
berpakaian jembel dan hidupnya merana,
tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang
jauh lebih mendekati kehidupan seorang
Choirul, maret 2008 357
manusia utama dibandingkan dahulu ketika
dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya.
Kini dia merupakan orang yang sudah
bertaubat benar-benar, tidak pernah mau
melakukan hal-hal yang bu-ruk, bahkan
menghadapi siapapun juga, dia tidak
mempunyai sedikit pun perasa-an benci
atau ingin mengganggu. Namun, hal ini
bukan berarti bahwa dia bersikap masa
bodoh dan tidak peduli, karena setiap
menghadapi hal-hal yang tidak patut,
melihat kejahatan berlangsung di depan
mata, sudah pasti dia turun tangan
membela atau melindungi pihak lemah dan
menentang mereka yang bertindak
sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah
sudah Si Jari Maut yang dulu mudah
membunuh orang, karena kini dia cukup
menggunakan kepandaiannya
mengalahkan orang dan membuat orang itu
takut un-tuk melanjutkan kejahatannya saja.
Pa-ling hebat dia hanya merobohkan lawan
dan melukainya, luka yang tidak berba-haya
bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si
Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek
Hoat sekarang, biarpun menjadi jembel
miskin namun sepak ter-jangnya seperti
seorang pendekar tulen!
Beberapa bukan kemudian setelah dia
meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia
sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota
yang cukup besar di ujung utara Propinsi
Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wuouw,
yaitu sebuah telaga besar sekali di
Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota
Hang-kouw karena dia mendengar bahwa
telaga yang amat besar itu indah sekali
pemandangannya. Seperti biasa, ketika dia
memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung
mencari tempat penginapan, bukan hotel
atau losmen, melainkan dia mencari rumahrumah
kosong, atau kuil kosong. Akan
tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang
itu merupakan kota yang ramai dan teratur
sehingga dia tidak dapat menemukan
sebuah pun rumah atau kuil kosong!
Akhirnya, karena hari sudah hampir malam,
dia terpaksa memilih tempat bermalam di
bawah se-buah jembatan besar di tepi kota.
Dia membersihkan tempat itu yang penuh
batu-batu dan semak berduri, menumpuk
rumput kering lalu dia pun merebahkan diri
di bawah jembatan sambil melamun. Asyik
juga rebah di situ, melihat betapa jembatan
itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda
atau kereta lewat, dan dari situ dia pun
dapat mendengarkan orang-orang
bercakap-cakap di atas jembatan itu tanpa
yang bicara tahu bahwa di ba-wah jembatan
ada orang mendengarkan percakapan
mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan
orang dan kadang-kadang Tek Hoat
tersenyum sendiri kalau mendengar
percakapan yang lucu-lucu baginya. Da-lam
keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari
segala hal yang kita lihat atau dengar, baru
kita dapat merasakan betapa lucunya dan
juga menyedihkan adanya kehidupan
manusia ini. Percek-cokan suami isteri akan
terdengar lucu, karena sebelum mereka
menjadi suami isteri, atau di waktu mereka
masih pengantin baru, tentu suami isteri itu
sendiri tak pernah membayangkan bahwa
akan ada saat percek-cokan diantara
me-reka, di mana kemarahan bahkan
keben-cian meracuni hati. Kata-kata
seseorang yang semanis madu terhadap
orang lain tentu akan terdengar lucu karena
kita akan melihat betapa kemanisan itu
hanya merupakan kedok belaka,
merupakan suatu jembatan untuk mencapai
sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuankepal-
suan dalam kehidupan kini nampak
jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin
me-rasa betapa kotornya dirinya, betapa dia
telah melakukan segala macam kekotoran
dan kepalsuan. Karena kenyataan betapa
palsunya dirinya dan semua manusia di
sekelilingnya, betapa di balik setiap si-kap,
setiap senyum, kata-kata manis, bahkan
hampir setiap perbuatan selalu
bersembunyi sesuatu yang lain yang
men-jadi pamrih yang mendorong
perbuatan palsu itu, maka mungkin saja
inilah yang membuat Tek Hoat menjadi
tidak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti
orang yang merasa muak dengan dirinya
sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya
sedemikian untuk sekedar
“menghukumnya”!
Choirul, maret 2008 358
Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia
mendengar percakapan yang amat menarik
hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara
itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia
cepat mengerahkan pendengarannya untuk
menangkap semua percakapan itu setelah
kalimat pertama ini amat menarik hatinya.
“Kalau dia tidak mau seret saja su-dah!”
Kalimat Inilah yang membangkitkan
perhatian Tek Hoat karena membayang-kan
akan terjadinya tindakan sewenang-wenang
terhadap orang lemah.
“Ah, orang macam dia mana bisa
menggunakan kekerasan? Sebaiknya
di-bujuk saja.” terdengar suara orang ke
dua.
“Oleh karena itulah maka aku men-cari
kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan
kalian di sini. Thio-wangwe me-ngatakan
bahwa dia bersedia membayar lima belas
tail perak kepada pelukis itu kalau mau
melukisnya.”
“Lima belas tail?” seru suara per-tama.
“Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail?
Gila itu!”
“Bahkan dia masih menjanjikan untuk
memberi hadiah dua tail perak kepadaku
kalau aku dapat membujuknya.” kata orang
ke tiga.
“Wah, hebat! Dari mana dapat menca-ri
uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita
bujuk dia sampai dia mau!”
“Kalau tidak mau dibujuk, biar ku-ancam
dia.”
“Aih, harus hati-hati, agar dia mau. Kalau
dia sudah mau dan menerima uang itu....
heh-heh, mudah saja menggasak uang itu
darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu
mana bisa mempertahankan uang lima
belas tail?”
Tiga orang itu lalu meninggalkan jembatan,
tidak tahu bahwa tak jauh di belakang
mereka terdapat seorang penge-mis brewok
yang berjalan seenaknya sambil
membayangi mereka. Pengemis ini bukan
lain adalah Si Jari Maut!
Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat
lalu mendahului tiga orang itu ke-tika
mereka lewat di bawah sinar lampu jalan
dan dia melihat bahwa tiga orang itu
berwajah licik dan kejam seperti wajah
orang-orang yang biasa melakukan
kecurangan-kecurangan dengan jalan apa
pun untuk memperoleh uang. Seorang di
antara mereka bahkan membawa seba-tang
golok tergantung di pinggang dan selain
bertubuh besar juga nampak be-ngis.
Mereka bertiga itu menuju ke sebuah
losmen kecil di ujung kota yang letaknya
agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu
menerobos masuk dan ternyata pengurus
losmen itu agaknya sudah mengenal Si
Tinggi Besar yang membawa golok ka-rena
begitu melihat orang ini pengurus itu
kelihatan takut-takut dan menyambut
dengan sikap menjilat.
Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar
itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua
she Pouw itu?”
“Di.... di sana, paling belakang, akan tetapi
kami harap.... mohon agar jangan
mengggnggu tamu kami....”
Sementara itu, Tek Hoat sudah men-ahului
mereka dan mengintai dari atas genteng.
Mudah baginya menemukan kamar pelukis
tua itu, karena memang tidak terlalu sukar
menemukan seniman-seniman seperti
pelukis, penyair dan se-bagainya. Seorang
kakek kurus yang ber-ada di dalam kamar
sendiri, be-rnyanyi-nyanyi kecil membaca
sajak atau menggubah sajak karena
tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika
dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia
mendengar orang tua itu sedang
mendeklamasikan sajak yang agaknya
tengah digubahnya.
Choirul, maret 2008 359
“....batin kosong tanpa isi....
.... alam pun sunyi sepi....
....hening....diam....suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....
“Tok-tok!” Ketukan pintu kamarnya
mengejutkannya dan menariknya kembali
ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang
dan tanpa turun dari atas pambaringan di
mana dia duduk bersila, dia menoleh ke
pintu dan suaranya halus dan lirih, seolaholah
dia belum sepenuhnya kembali atau
keluar dari dalam khayalnya.
“Siapa di luar?”
“Pouw-lo-siucai.... harap buka pintu, saya
ada keperluan penting untuk dibica-rakan
dengan Lo-siucai!”
Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw
Toan. Seperti Pernah kita menge-nal
sastrawan pelukis ini ketika dia
mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau
Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang
sastrawan perantau yang pandai sekali
membuat sajak, menulis huruf indah dan
melukis. Selain ini, dia juga seorang
sas-trawan yang banyak merantau di dunia
kang-ouw dan banyak mengenal orangorang
gagah di seluruh dunia, bahkan dia
adalah seorang sahabat baik dari suami
isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan
isterinya yang amat terkenal, yaitu Pu-teri
Milana.
Kakek Pouw Toan tersenyum pahit
mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm,
siapakah menjadi siucai? Aku tidak per-nah
merebutkan titel, aku hanyalah rak-yat kecil
biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai
segala. Siapakah engkau yang berada di
luar dan mengganggu orang yang sedang
asyik sendiri?”
“Saya.... saya pelayan, ada perlu pen-ting
sekali!” kata suara di luar mende-sak.
“Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak
takut maling dan rampok maka pintu
ka-marku tak perlu dikunci. Kalau ingin
masuk dan bicara, dorong saja pintunya
terbuka.” kata Pouw Toan.
Daun pintu didorong dari luar dan diamdiam
Tek Hoat sudah siap dengan pecahan
genteng di tangan, siap melin-dungi kakek
itu kalau-kalau tiga orang itu hendak
menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa
dengan pecahan genteng itu saja dia akan
mampu melindungi kakek di dalam kamar
yang aneh itu. Dia me-rasa amat tertarik
kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar
sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin
sekali dia me-ngenal kakek itu lebih jauh,
tentu saja mengenalnya dengan diam-diam
karena selama bertahun-tahun ini dia tidak
mau mengenal orang secara berdepan.
Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga
orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw
Toan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalian
datang mau apakah? Ja-ngan katakan
bahwa kalian ini pelayan losmen.“
Seorang di antara mereka, yaitu orang yang
diutus oleh Hartawan Thio dan yang
membujuk dua orang kawannya untuk
membantunya, menjura kepada Pouw Toan
dan berkata, “Pouw-lo-siucai....”
“Sudah kukatakan aku bukan siucai segala!
Lekas katakan apa keperluan kalian.”
“Eh.... eh, begini, Pouw-sianseng....”
katanya gagap karena biarpun kakek itu
nampak kurus kerempeng, harus diakui
bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya
seperti seorang pendekar gagah perkasa.
“Kedatangan saya ini adalah atas
kehen-dak Thio-wangwe. Saya diutus
untuk....”
Choirul, maret 2008 360
“Sudahlah, katakan kepada Thio--wangwe
bahwa saya bukan tukang gambar orang....“
“Tapi Sianseng kemarin melukis se-orang
bocah penggembala kerbau di luar kota itu.
Dan karena tertarik melihat hasil lukisan
Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali
dirinya dilukis oleh Sian-seng.”
“Beberapa kali sudah dia minta kepa-daku
untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku
hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar
dia itu penggembala kerbau atau benda
berupa sampah sekalipun. Aku tidak mau
dipaksa melukis seorang raja sekalipun,
atau setangkai bunga indah sekalipun kalau
aku tidak menghendakinya.”
Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak
sabar lagi. “Hei, pelukis tua som-bong! Thiowangwe
hendak memberimu lima belas tail
perak, tahukah engkau? Lima belas tail
perak! Ingat, dalam wak-tu berbulan-bulan
engkau takkan bisa memperoleh uang
sebanyak itu!”
Pouw Toan mengangkat mukanya
memandang wajah Si Tinggi Besar yang
ber-sikap kasar itu, dan dia tersenyum
sam-bil menggeleng kepalanya. “Seorang
tua bodoh seperti aku ini sudah tidak
mem-butuhkan apa-apa, tidak butuh uang
ba-nyak, hanya butuh kebebasan untuk
melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja
yang mendatangkan kebahagiaan di
hati-ku. Apa artinya uang lima belas tail
perak bagiku?”
“Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi
kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan
marah dan tiba-tiba dia telah mencabut
goloknya dan menodong-kan ke arah dada
kakek pelukis itu. Tek Hoat hanya
memandang dengan urat saraf menegang,
akan tetapi dia belum turun tangan karena
maklum bahwa Tinggi Besar itu hanya
mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu
belum perlu dibela. Dia ingin melihat
bagaimanakah kakek lemah yang perkasa
itu dan bagaimana perkembangan
selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu,
mengenal dari sikap dan gerak-geriknya
dalam meng-hadapi ancaman itu.
Kakek Pouw Toan adalah orahg yang
sudah puluhan tahun bertualang di dunia,
sudah ribuan kali menghadapi ancaman
malapetaka, maka tentu saja penodongan
ini merupakan hal kecil saja baginya.
Sungguhpun dia seorang yang sama sekali
tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi
dia telah memiliki keberanian dan
kegagahan seorang pendekar tulen. Maka
dia hanya tersenyum saja memandang
kepada penodongnya, lalu menarik napas
panjang.
“Hemm, sungguh untung sekali kau!”
Katanya sambil tersenyum kepada
penodongnya. Tentu saja Si Tinggi Besar
itu menjadi melongo keheranan. Selama dia
menjadi tukang pukul yang suka
mempergunakan kekerasan dan ancaman
untuk memaksakan kehendaknya, baru
sekarang ini dia bertemu dengan seorang
kakek lemah yang ditodong tidak
memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan
tak takut sebaliknya malah tersenyum dan
mengatakan dia untung!
“Ah, sudah gilakah engkau? Apa
maksudmu?” bentaknya.
“Ha, untung bahwa dua orang murid-ku
sedang pergi, kalau dia berada di sini, aku
terpaksa akan menaruh kasihan
ke-padamu.” Memang aneh sekali ucapan
itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak
menggertak.
“Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thiowangwe
atau tidak! Kalau mau, mari ikut
dengan kami ke gedung Harta-wan Thio,
kalau tidak, golokku akan minum darahmu
di sini juga!” Si Tinggi Besar mengancam.
Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia
tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar
macam ini memang berbahaya, mungkin
saja membunuh hanya untuk soal dan uang
kecil saja. Maka dia menarik napas panjang
dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam
Choirul, maret 2008 361
golok, mau apa lagi? Baik, aku akan
melukisnya, akan tetapi jangan salahkan
aku kalau hasil lukisan-nya jelek.”
“Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting
kaulukis dan menerima upah lima belas tail
perak!” kata utusan Hartawan Thio itu
dengan girang melihat hasil ancaman
temannya itu berhasil. “Mari kita berangkat!”
Tiga orang itu berhasil menggiring Pouw
Toan keluar dari losmen itu dan pengurus
losmen menarik napas lega melihat bahwa
kedatangan tiga orang itu ternyata tidak
menimbulkan keributan seperti yang
dikhawatirkannya, Pouw Toan dengan sikap
tenang-tenang saja mengikuti mereka dan
sedikit pun tidak kelihatan takut seolah-olah
dia bukan pergi sebagai seorang yang
dipaksa dan diancam, melainkah sedang
pergi “jalan-jalan” bersama tiga orang
sahabatnya, bahkan di sepanjang
perjalanan dia ber-senandung! Tak jauh di
belakang mereka, seorang pengemis
berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu
saja adalah Si Jari Maut yang semakin
tertarik dan semakin kagum terhadap diri
pelukis tua itu.
Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw
Toan dengan girang sekali. Cepat dia
sendiri menyambut Pouw Toan dan
mempersilakan pelukis itu bersama tiga
orang “pengantarnya” masuk ke dalam
ruangan tamu di samping rumah dan
se-gera hartawan itu berdandan dan
mempersiapkan dirinya untuk dilukis,
sedang-kan pelayan-pelayannya
menyediakan alat lukis seperti yang diminta
oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya
membawa “senjatanya” saja, yaitu sebuah
mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua
ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah
mengintai di atas wuwungan rumah gedung
itu.
Untuk peristiwa luar biasa yang
menggembirakan hatinya ini, Thio-wang-we
membolehkan isteri dan para selirnya
menonton dia dilukis dan hal ini malah
mendatangkan kegembiraan, karena dia
pun ingin agar gambarnya memperlihat-kan
wajah gembira dan bahagia. Di anta-ra para
selirnya ada yang mengipasinya, ada yang
menyuguhkan hidangan dan minuman dan
hartawan ini duduk di atas kursi empuk,
tersenyum-senyum meman-dang kepada
Pouw Toan yang asyik me-lukisnya. Dan
pelukis itu pun nampak melukis dengan
sungguh-sungguh, men-corat-coret ke atas
kain yang dibentang-kan di depannya
sedangkan tiga orang pengantarnya tadi
duduk di sudut, meng-hadapi hidangan dan
minuman, meman-dang dengan wajah
berseri karena me-reka membayangkan
upah yang besar dan juga mereka
bermaksud untuk merampas uang yang
akan dihadiahkan kepada pe-lukis itu!
Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga.
Biarpun pelukis itu bersikap gagah dan
berani, namun ternyata dia pun ha-nya
orang yang tunduk terhadap keadaan yang
memaksanya sehingga kini, biarpun tidak
memperlihatkan rasa takut, tetap saja
pelukis itu memenuhi permintaan Si
Hartawan, bukan karena uang, melainkan
karena paksaan. Kegagahan macam apa
ini, pikirnya dengan kecewa. Akan tetapi dia
tetap menanti di atas wuwungan sambil
memperhatikan keadaan. Dari tempat dia
bersembunyi, dia tidak dapat melihat
dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari
kakek itu.
Kurang lebih setengah jam Pouw Toan
membuat corat-coret, kadang-kadang
me-mandang ke arah tuan rumah, kadangkadang
kepada lukisannya dan akhirnya dia
mengangkat lukisannya itu ke atas,
memandangnya dan berkata dengan wajah
berseri, “Sudah selesai!”
Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari
atas genteng Tek Hoat dapat meli-hat
lukisan tadi dan hampir saja dia ter-tawa
bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh
dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya
sama benar dengan pakaian hartawan itu,
akan tetapi wajahnya yang biarpun semodel
dengan wajah Thio-wangwe, namun
mempunyai ciri-ciri se-perti wajah seekor
Choirul, maret 2008 362
babi! Dan orang ber-muka babi itu sedang
makan dengan lahapnya, air liurnya
membasahi ujung bibir, tangan kiri
memegang paha ayam, tangan kanan
meraba dada montok se-orang wanita
setengah telanjang dan ada wanita-wanita
cantik lain menge-rumuninya. Persis seperti
gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi
menjelma manusia dalam cerita See-yu,
yang se-dang dirayu oleh sekumpulan
siluman wanita. Muka yang seperti babi itu
membayangkan nafsu-nafsu angkara
mur-ka, penuh dengan gairah berahi dan
kegembulan, muka seorang pelahap dan
juga seorang yang gila perempuan!
Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa
lukisannya sudah selesai, Thio-wangwe
cepat meloncat bangun berdiri, dengan
wajah berseri-seri dia lalu lari menghampiri
pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat!
Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia pun
menyambar lukisan itu dari tangan Pouw
Toan, dengan wajah yang gembira dia
memandang dan.... seketika matanya
terbelalak, mukanya berobah merah sekali.
“Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!”
teriaknya dan dia merobek lukis-an itu
menjadi dua dan melemparkannya ke atas
lantai.
Pouw Toan bangkit, menjura dan ber-kata,
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak
mempunyai keinginan melukismu,
Wan-gwe, oleh karena dipaksa, maka aku
hanya melukiskan nafsu-nafsu yang
bergeli-mangan memenuhi tempat ini. Maaf,
aku tidak bermaksud menghinamu,
Wangwe, akan tetapi aku melihat betapa
Wangwe terkurung dalam kurungan emas,
terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu
saat nampak sebagai menyenangkan dan
memuaskan, akan tetapi pada lain saat
akan berobah menjadi menyusahkan dan
mengecewakan, membosankan. Karena
itu....”
“Pergi!” Kau manusia tidak sopan, pergi dari
sini! Hayo bawa dia pergi!” bentak hartawan
itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw
Toan datang tadi. Utusan Thio-wangwe tadi
memberi isya-rat kepada dua orang
kawannya untuk mengantar Pouw Toan
keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk
minta upah-nya. Dengan uring-uringan
Thio-wangwe melemparkan upahnya
kepada orang itu yang cepat menyusul
teman-temannya keluar.
“Sialan!” katanya kepada teman-te-mannya.
“Upahku diberikan dengan ma-rah-marah,
akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau
berikan.”
“Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar.
“Kau tidak melihat lukisannya?” Yang
ditanya menggeleng.
“Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada
mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!”
kata utusan itu dan Si Tinggi Besar
bersama kawannya lalu me-lihat lukisan
yang telah robek menjadi dua itu di bawah
lampu luar gedung. Ketika mereka berdua
melihat lukisan itu, seorang di antara
mereka tertawa. “Heh, mirip memang!”
“Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua
Bangka ini sengaja mempermain-kan dan
kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang
macam ini harus dihajar!” bentaknya dan
dia menghampiri pelukis itu.
“Sabar, kawan.” kata temannya.
“Se-baiknya kita antar dia kembali ke
los-men. Tidak ada untungnya memukul
orang tua lemah seperti dia.”
Kembali Pouw Toan berjalan seenak-nya
dan dengan tenang saja diiringkan tiga
orang yang kelihatan kecewa dan marahmarah
itu. Tak jauh di belakang mereka,
Tek Hoat juga selalu memba-yangi dan
diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw
Toan. Kiranya Pouw Toan tidak
mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu
benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia
mau melukis, akan tetapi lukisannya
dilakukannya seenak sendiri saja sehingga
menjadi lukisan yang mengejek dan
Choirul, maret 2008 363
me-nelanjangi hartawan yang berenang
dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat
sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan
itu berterima kasih kepadanya karena telah
disadarkan!
Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu
mengantar Pouw Toan ke ka-marnya dan
dengan suara keras meme-rintahkan
pelukis itu untuk mengumpul-kan seluruh
barang bawaan dan miliknya yang berada di
kamar itu, kemudian me-maksanya keluar
lagi.
“Eh, kalian hendak membawaku ke mana
lagi?” tanya Pouw Toan.
“Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi
Besar.
“Melukis apa?”
“Melukis neraka!”
“Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis
neraka. Coba katakan, neraka itu macam
apa?”
“Tolol! Mana aku pernah melihat ne-raka?”
“Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan
tertawa senang.
“Mari ikut dengan kami, kau akan melihat
neraka dan akan dapat melukis-nya.” kata
Si Tinggi Besar yang men-dorong kakek itu.
Mereka pergi lagi akan tetapi kini mereka
membawa Pouw Toan ke luar kota dan di
tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar
merampas buntalan Pouw Toan dari
pundaknya.
“Eh, apa yang kaulakukan ini?”
“Aku ingin mengirim kau ke neraka agar
engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah,
buka pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar
menodongkan goloknya. Akan teta-pi pada
saat itu tampak bayangan ber-kelebat.
“Desss! Aughhhhh.... !” Si Tinggi Besar
terpelanting ketika pundaknya ditampar
-oleh Tek Hoat yang tak dapat menahan
kesabarannya lagi melihat betapa pelukis
itu hendak dibunuh setelah barangnya
dirampas, bahkan sebelum dibunuh
pakai-annya disuruh buka!
Dua orang teman Si Tinggi Besar ter-kejut
sekali melihat munculnya seorang
pengemis yang berani memukul teman-nya,
segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat
menanti sampai tangan yang
me-nyerangnya itu mendekat, kemudian dia
mengangkat kedua lengannya menangkis.
“Krek! Krek!” Lengan kedua orang itu patah
tulangnya ketika bertemu dengan lengan
Tek Hoat! Mereka mengaduh-aduh dan
memegangi lengan yang patah tulangnya.
“Jembel busuk kau bosan hidup!” ben-tak Si
Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini
dia menyerang dengan goloknya. Akan
tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan
tangannya, menangkap golok itu dan sekali
mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah
dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi
Besar dengan pecahan golok masih di
tangan.
“Creppp!” Kembali Si Tinggi Besar menjerit
dan sekali ini, tangan kanannya hancur
dengan pecahan goloknya sendiri
menancap sampai ke dalam daging dan
mengenai tulangnya yang hancur. Dia
merintih-rintih, kemudian bersama dua
orang temannya dia melarikan diri
tung-gang-langgang setelah meninggalkan
bun-talan milik Pouw Toan.
Sejenak suasana menjadi sunyi dan dua
orang itu berhadapan di tempat remangremang
karena kegelapan hanya dilawan
oleh sinar bulan sepotong. Ke-mudian
terdengar Pouw Toan tertawa bergelak,
“Ha-ha, sejak tadi engkau sela-lu
membayangi kami, Si Jari Maut!”
Choirul, maret 2008 364
Bukan main kagetnya Tek Hoat men-dengar
ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa
sejak tadi dia membayangi-nya, akan tetapi
bahkan telah mengenal-nya pula! Akan
tetapi dia, tidak peduli dan membalikkan
tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu
bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi
dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek
Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi
tem-pat bermalamnya itu. Dia melihat kakek
pelukis itu terus mengikutinya, akan te-tapi
dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu
turun ke bawah jembatan, lalu rebah
melingkar lagi di tempatnya semula
se-belum dia tertarik oleh percakapan orang
di atas jembatan tadi.
“Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih
menyenangkan daripada losmen itu!” kata
Pouw Toan. “Wan Tek Hoat Taihiap,
bolehkah aku ikut bermalam di sini?”
Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan
saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut,
bahkan mengetahui she-nya yang
sesungguhnya, padahal jarang ada yang
tahu akan she Wan itu, kebanyakan ha-nya
tahu bahwa she-nya adalah Ang!
“Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai.”
jawabnya singkat, kemudian
di-sambungnya, “dari mana kau tahu aku
she Wan?”
“Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak
berguna ini mengenal hampir semua to-koh
di dunia kang-ouw, maka begitu melihat
Taihiap aku pun segera menge-nalmu. Aku
banyak mendengar tentang dirimu dari
sahabatku yang teramat baik, yaitu
pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya,
Puteri Milana yang masih ter-hitung bibimu
sendiri, bukan?”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak
senang mendengar dirinya dikenal, apalagi
dihubungkan dengan orang-orang yang
berkedudukan tinggi seperti Milana, biarpun
harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri
Pendekar Super Sakti dan pendekar itu
adalah kakek tirinya!
“Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa
diriku, apalagi engkau, seorang lain!”
Setelah berkata demikian, Tek Hoat lalu
tidur dan sebentar saja dia sudah pulas.
Diam-diam Pouw Toan menghela napas
panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan
sekali kepada pendekar ini. Teringat dia
akan pertemuan-nya dengan Puteri Syanti
Dewi dan diam-diam dia merasa heran
sekali ba-gaimana seorang puteri cantik
seperti bidadari itu dapat begitu mendalam
jatuh cinta kepada pendekar yang kini
menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia
pun dapat menduga bahwa mungkin
keadaan pendekar ini sampai menjadi
begini jus-teru karena Si Puteri itulah! Dia
tidak tahu dan tidak pernah mendengar
akan rahasia yang terjadi di balik hubungan
antara pendekar ini dengan Puteri Syanti
Dewi, akan tetapi dia teringat akan pesan
Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan
dirinya kepada pendekar ini kalau dia dapat
menjumpainya dan kini secara kebetulan
sekali dia bertemu dengan pendekar ini!
Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam
buntalannya dan tadi hampir saja terampas
oleh orang jahat kalau tidak muncul Si Jari
Maut, yang menyelamatkannya. Bahkan
nyaris dia ter-bunuh oleh penjahat itu. Akan
tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia
sudah dapat melihat bahwa ada seorang
jembel terus mengikutinya dan dia dapat
menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si
Jari Maut, oleh karena itu dia bersikap
te-nang saja dan menurut saja dibawa
ke-luar kota oleh tiga orang itu. Andaikata
dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu
pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau
dibawa keluar kota seperti seekor domba
dituntun ke pejagalan begitu saja. Me-lihat
pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw
Toan juga lalu merebahkan diri dan tak
lama kemudian dia pun tertidur pulas dan
bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang
manusia bebas yang selalu me-rasa
bahagia, dimanapun juga dia ber-ada.
Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek
Hoat terbangun dan dia duduk ber-sila. Dari
bawah jembatan itu kini nam-pak bulan
Choirul, maret 2008 365
yang condong ke barat, sinar-nya gemilang
karena tidak terhalang awan. Agak jauh dari
bulan sepotong itu nampak berkelapkelipnya
bintang dan jauh di timur nampak
sebuah bintang terpencil sendirian, sunyi.
Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis
yang kini tertidur itu. Dia masih hafal
bunyinya karena amat tertarik.
“Batin kosong tanpa isi
alam pun sunyi sepi
hening diam suci
seniman tua asyik
sepi sendiri”
Dia menarik napas panjang. Membaca
sajak itu, dia seperti dapat meraba
ke-sunyian itu, keheningan yang maha luas,
sebagai pencerminan dari kesepian di
hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu
agaknya menikmati kesunyian yang
di-sebutnya keheningan yang diam dan
suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian
diri, karena kerinduannya yang tak kunjung
henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa
seperti bintang yang terpencil di timur itu,
bintang kecil tersendiri, miskin papa dan
hina, seperti dia, tidak cemer-lang, hidup
sia-sia.... dan dia pun menarik napas
panjang lagi. Kalau saja dia sudah yakin
bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di
dunia ini, tentu hal itu akan amat
meringankan penderitaan hatinya. Kalau
begitu halnya, hanya ada dua pi-lihan, hidup
dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia
yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup,
entah di mana! Dan andaikata dia dapat
menjumpainya, dia pun sangsi apakah
Syanti Dewi mau sekali lagi
mengampunkannya. Dosanya sudah
bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi
pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus
dan akhirnya seperti pelukis itu, yang
menamakan dirinya sendiri se-niman tua?
Dia hanya akan menjadi jem-bel tua kelak!
Hampir setiap orang pernah merasa-kan
kesepian yang amat menyiksa dan
menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang
mencekam, sungguhpun kita dikeli-lingi
keluarga, harta benda, dan segala milik kita
lahir batin. Rasa kesepian ini kadangkadang
muncul kalau kita melihat betapa
sesungguhnya kita ini tidak me-miliki apaapa,
betapa kita ini hidup ter-pisah dari
semuanya itu, betapa pada suatu saat kita
akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila
kematian datang menjemput kita. Rasa
kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong
tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk
mengikatkan diri kepada apapun juga yang
kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan
karena itu dapat mendatangkan hiburan
yang membuat kita terhibur dan senang.
Kita yang merasa betapa diri sendiri ini
ko-song tak berarti, lalu mengikatkan diri.
Kepada keluarga, kepada kelompok,
kepada suku atau agama, kepada
keperca-yaan, kepada negara, dan
sebagainya lagi. Namun pada hakekatnya,
akar dari-pada pengikatan itu bersumber
kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang
ingin lari daripada kesepian dan
kekosongan yang mengerikan itu, si Aku
yang ingin terhibur, yang ingin terjamin
keamanan dan keselamatannya, si Aku
yang selalu ingin dalam keadaan yang
menyenangkan. Karena itulah maka timbul
pengukuhan dan jerih payah, daya upaya
untuk mem-pertahankan kepada yang kita
pentingkan itu di mana kita mengikatkan
diri. Yang penting lalu keluargaku,
bangsaku, aga-maku, Tuhanku,
kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang
penting itu adalah “ku” nya. Peduli apa
dengan agama orang lain, karena semua itu
tidak ada hubungannya, tidak
menyenangkan aku! Yang penting adalah
segala-gala yang menjadi punyaku, yang
menjadi kepentinganku.
Kesepian berbeda dengan keheningan!
Kalau kita berada seorang diri, di lereng
gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di
mana saja tidak terdapat se-orang pun
kecuali kita sendiri, kalau kita berada di
tempat itu dengan batin ko-song, dengan
Choirul, maret 2008 366
pikiran yang tidak meng-oceh, dengan mata
dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan
dan penuh kesadar-an, maka akan
terasalah adanya kehe-ningan yang
menyelubungi seluruh alam termasuk kita
sendiri. Keheningan yang menembus
sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin
kita, yang tiada beda-nya dengan
keheningan yang berada di luar diri,
keheningan yang mencakup seluruhnya di
mana diri kita termasuk, keheningan yang
tidak memisah-misahkan antara kita dengan
pohon, dengan burung yang terbang,
dengan embun di ujung daun atau rumput,
dengan awan berarak di angkasa. Di dalam
keheningan seperti ini tidak terdapat rasa
khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa
sepi, tiada lagi pikiran yang membandingbandingkan
antara susah dan senang, puas
kecewa, hidup mati dan sebagainya.
Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku
ini masuk dan mengacau kehening-an
dalam diri yang segera memisahkan diri dari
keheningan yang menyelimuti seluruh alam,
si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan
keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki
dan menikmati ke-heningan itu tadi. Ingin
terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin
ini dan ingin itu dan justeru keinginan inilah
yang me-niadakan segala-galanya, kecuali
menda-tangkan kesenangan sekilas lalu
saja, dan akhirnya akan mendatangkan
kesepian karena semua kesenangan itu
hanya selewatan belaka. Maka, pikiran
yang membentuk si Aku itulah yang
menda-tangkan lingkaran setan yang tiada
akhir-nya! Keheningan sebelum si Aku
masuk adalah keheningan, yang
menyeluruh, keheningan di mana tidak
terdapat si Aku yang menikmati keheningan
itu. Segala macam suara tidak akan
mengganggu karena tercakup di dalam
keheningan itu. Hanya pikiran dengan si
Akunya sajalah yang mendorong kita keluar
dari kehe-ningan, membuat kita
memisahkan diri, mengasingkan diri dalam
kurungan nafsu kesenangan lahir batin.
Ada orang yang mengira bahwa
kehe-ningan menyeluruh itu dapat dicapai
dengan daya upaya dan pengejaran. Ada
yang mengejarnya melalui meditasi,
me-lalui pertapaan, melalui pengasingan diri
di tempat-tempat sunyi, di dalam guha-guha
atau di puncak-puncak gunung. Pa-dahal,
bukan tempatnya yang penting, bukan
caranya yang penting, melainkan
kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya
sendiri. Karena kebebasan itu baru ada
apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan
apa pun. Bebas berarti hening. Tak dapat
didayaupayakan, dicari dengan sengaja.
Dalam keadaan terikat, takkan mungkin
bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun,
maka tanpa dicari kebebasan pun ada.
Selama masih terikat, oleh sesuatu, berarti
masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan
dalam keadaan begini, mencari kebebasan
tiada artinya karena yang mencari itu
adalah nafsu ingin se-nang, maka dicari-cari
dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa
didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan
tetapi yang didapat-kan itu bukanlah yang
sejati. Yang sejati tak dapat dikejar,
melainkan akan me-masuki batin yang
bebas dan terbuka, karena hanya batin
yang terbebas sajalah yang terbuka dan
bersih, yang dapat ditembus sinar cinta
kasih.
Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan
terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih
duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini,
karena tadinya dia khawatir kalau-kalau
orang aneh itu telah pergi sebelum dia
terbangun. Dan memang Tek Hoat
menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu
yang menarik hati Tek Hoat dalam sajak itu,
dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si
pembuat sajak.
“Selamat pagi, Wan-taihiap.” kata Pouw
Toan.
“Hemm....“ Tek Hoat hanya bergumam saja
karena selama bertahun-tahun ini baru
sekarang dia mendengar ada orang
menyalam selamat pagi padanya.
“Bukan main indah sejuknya pagi ini!” Pouw
Toan bangkit berdiri, mengembang-kan
Choirul, maret 2008 367
dadanya dengan membuka kedua
lengannya dan menghirup hawa udara pagi
yang masih sunyi itu sebanyaknya.
Mendengar suara yang terdengar amat
gembira ini Tek Hoat menoleh dan
me-mandang penuh perhatian. Orang itu
memang kelihatan gembira sekali. Dia
merasa heran karena dia tidak melihat
sesuatu yang patut untuk membuat orang
itu gembira! Sungguh seorang manusia
yang amat aneh!
“Siapakah namamu, Paman?” Akhirnya dia
bertanya. Dia tidak tahu betapa girangnya
hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya
ini. Kiranya dia sudah mampu
menggetarkan hati yang beku dari pendekar
itu!
“Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan.”
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan
mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa
akan nama-nama orang akan tetapi dia
masih samar-samat ingat bahwa nama ini
banyak disebut orang dengan nada ka-gum.
Melihat pendekar ini termenung mendengar
namanya, Pouw Toan lalu berkata,
“Agaknya ada sesuatu yang ingin
kautanyakan kepadaku? Silakan,”
Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek
Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu
tentang arti sajakmu semalam, ke-tika kau
membaca sajak di dalam kamar losmen.”
Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat
mengulang bunyi sajak empat baris itu.
Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri
sudah lupa akan bunyi sajak yang
digubahnya secara iseng-iseng dalam
kamar itu. Dan kini sajak itu telah di-hafal
oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa
demikian. Sajak itu agaknya mengena
benar di hati pendekar ini yang tentu saja
sedang dilanda kesepian yang amat hebat
sehingga membuatnya seperti orang gila
itu, kesepian yang tercipta karena
kerinduan.
“Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi
sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada
di atas genteng ketika tiga orang kasar itu
datang kepadaku? Sung-guh hebat! Sajak
itu sudah begitu jelas, tentang keheningan
dan kesepian. Bagian manakah yang kau
tidak mengerti?”
“Keadaan yang sunyi sepi amat
meng-gelisahkan dan menyiksa hatiku
selama bertahun-tahun ini, akan tetapi
mengapa engkau yang agaknya merasakan
pula kesunyian itu malah nampak gembira
dan menghadapi segala sesuatu selalu
tenang dan tenteram seolah-olah tiada
sesuatu di dunia ini yang dapat
menyusahkan hatimu?”
“Ahhh....!” Pouw Toan memandang dengan
penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku
tidak membutuhkan apa-apa, tidak ada apaapa
yang mengikat diriku lahir batin,
mengapa aku harus susah? Tidak, aku tidak
pernah susah dan selalu gembira karena
memang hati yang ko-song dari segala
keinginan berarti telah memiliki segalagalanya
dan karenanya yang ada hanyalah
kegembiraan saja. Akan tetapi engkau,
Taihiap, kulihat engkau amat sengsara
hatimu. Agaknya engkau merindukan
sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa
akan sesuatu yang mem-buat engkau
merasa iba diri, kesepian dan sengsara.
Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini?
Engkau masih muda, gagah perkasa, apa
pun yang kauinginkan tentu dapat
terlaksana. Andaikata engkau mencinta
seorang wanita dan amat me-rindukannya,
ingin memperisterinya, mengapa tidak kau
lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri,
menyepi dan men-jauhkan diri?”
Semua ucapan itu mengenai benar hati Tek
Hoat. Selama ini dia tidak per-nah
menceritakan semua penderitaannya
kepada siapapun juga. Akan tetapi pribadi
pelukis ini amat menarik hatinya dan
menimbulkan kagum, maka kini
men-dengar ucapan yang amat mengena
itu dia pun menarik napas panjang dan
untuk pertama kalinya selama bertahunChoirul,
maret 2008 368
tahun, dia memandang dengan sinar mata
orang waras.
“Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia
tidak berharga ini mana mung-kin dapat
mengharapkan balasan cinta seorang
wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia
mau mengampuni semua dosaku yang
bertumpuk-tumpuk?” Perta-nyaan ini seperti
diajukannya kepada diri sendirl, tanpa
memandang kepada pelukis itu maka Pouw
Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung
menjawab, melainkan diam saja sehingga
keadaan menjadi su-nyi di tempat itu. Akan
tetapi, kadang-kadang ada gerobak atau
orang lewat di atas jembatan, memecahkan
kesunyian.
“Andaikata dia masih hidup, belum tentu dia
mau mengampuniku, dan andai-kata mau
mengampuniku, belum tentu dia masih
mencintaiku. Andaikata dia sudah mati, lalu
apa artinya hidup ini bagiku? Ah, hidupku
sudah hampa....!”
“Aih, Taihiap. Adakalanya awan men-dung
menutup langit sehingga sinar ma-tahari
tidak nampak sama sekali. Akan tetapi itu
pun akan lenyap dan akan berobah,
matahari akan bersinar kembali! Memang
kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan
tetapi kesusahan pun tidak ke-kal adanya.
Siapa yang masih berada dalam
cengkeraman suka-duka, tidak perlu
berkecil hati selagi gelap dan tidak perlu
berbesar kepala selagi terang. Te-rang dan
gelap datang silih berganti dalam hidup.
Hanya orang yang telah mengatasi sukaduka
sajalah yang bebas.
Kalau engkau belum bebas, mengapa harus
menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu
kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu
pun kini sedang menanti-nanti kedatangan
Taihiap penuh kerindu-an?”
Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu
bangkit meninggalkan kolong jembatan itu
sambil berkata. “Tidak mungkin.... tidak
mungkin....“
“Heiii! Ke mana Taihiap hendak per-gi?”
Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis
muda itu sudah mendaki ke atas jalan, tidak
menjawab dan tidak menoleh pula.
“Sungguh keras kepala....” Pouw Toan
mengomel dan dia pun bergegas mendaki
dari kolong jembatan dan naik ke jalan yang
masih sunyi.
“Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku
mem-punyai sesuatu untuk kuberikan
kepa-damu!”
Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh
berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari
siapa pun!”
“Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah
kautolong malam tadi....”
“Lupakan saja!”
“Wan Tek Hoat setidaknya kaulihatlah
lukisanku ini teriak Pouw Toan sambil
membuka gulungan sebuah lukisannya dan
dia berdiri menghadang di depan pen-dekar
yang seperti jembel itu. Dengan tidak sabar
Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi
ketika dia melirik ke atas lukisan yang
dibentang itu dan kebetulan matahari pagi
menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget
sekali, matanya terbela-lak, mukanya pucat,
tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia
telah merampas lukisan itu dan
memandang lukisan de-ngan mata bersinar
menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi!
Tidak salah lagi! Mata itu, hidung itu, bibir
itu....! Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi
seperti seekor singa menggereng dan tahutahu
dia telah menyambar ke depan dan
telah mencengkeram leher baju Pouw Toan
dan diangkatnya orang itu tinggi ke atas
seperti orang menangkap seekor kelinci
dengan memegang pada telinganya saja.
“Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia!
Cepat jawab!” Dia membentak-ben-tak
dengan muka pucat sekali seperti kertas.
Choirul, maret 2008 369
Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut,
malah mencela keras, “Pantas saja dia
menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat.
Wanita mana yang dapat bertahan untuk
berdekatan dengan orang yang wataknya
begini kasar, keras dan tidak patut?”
Sejenak dua pasang mata itu bertemu
pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam
dan sedikit pun tidak gentar, sinarnya
seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat,
membuat pemuda itu sadar akan
per-buatannya dan tiba-tiba Tek Hoat
me-ngeluarkan suara seperti orang dicekik,
pegangannya pada baju itu terlepas dan dia
menggunakan kedua tangan menutupi
mukanya, tangan kanannya masih
meme-gang gulungan lukisan dan dia pun
teri-sak, lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Pouw Toan!
“Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan
jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana
adanya dia....”
Pouw Toan terkejut sekali akan tetapi juga
girang. Orang ini sesungguhnya belum
kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat
pendekarnya, hanya karena kedukaan dan
kekecewaan saja yang membuatnya
menjadi seperti itu. Maka dia pun cepat
membangunkan Tek Hoat, mengajaknya
duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia
pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.
“Puteri Syanti Dewi masih hidup da-lam
keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah
menjadi seorang seperti bidadari, disanjung
dan dipuja oleh seluruh manu-sia, terutama
kaum prianya sehingga ka-barnya
Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi
sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang
puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dengan
singkat Pouw Toan memberitahu letaknya
pulau itu. Akan tetapi belum sampai dia
bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit
menjura dan dengan mata bersinar-sinar
dia memberi hormat berkali-kali.
“Terima kasih, Paman Pouw, terima
kasih....”
“Nanti dulu, belum kuceritakan bahwa aku
bertemu dengan dia, dan dialah yang
memberikan lukisanku itu kepadaku
de-ngan pesan untuk diberikan
kepadamu....”
“Dia.... dia masih ingat padaku?”
“Ingat? Ah, dia menitikkan air mata ketika
mendengar akan keadaanmu se-perti yang
sudah kudengar dari banyak tokoh kangouw.”
“Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“
Dan Tek Hoat lalu menangis dan dia
meloncat pergi dari situ untuk segera
mencari kekasihnya.
“Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!”
Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin
sekali menasihati pemuda itu sebelum pergi
mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan
seperti itu. Pemuda itu sedang dilanda
kebingungan dan tekanan batin yang hebat,
maka kalau tidak men-dapat nasihat yang
benar dan menghadap Syanti Dewi dalam
keadaan seperti itu, tentu keadaan
hubungan antara dua orang itu akan
menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi
Tek Hoat tidak mau berhen-ti dan mana
mungkin seorang tua lemah seperti Pouw
Toan dapat menyusulnya?
Pada saat itu, nampak berkelebat dua
bayangan orang dan tahu-tahu dua orang
pemuda telah berdiri menghadang Tek Hoat
dan seorang di antara mereka membentak,
“Paman Pouw telah minta kau berhenti!”
Kedua orang itu dengan gerakan yang
cekatan sekali telah meng-hadang dan
mendorongkan kedua tangan mereka ke
arah Tek Hoat yang sedang lari.
Bukan main kagetnya hati Tek Hoat karena
dari dorongan tangan mereka itu
menyambar hawa yang amat kuat, yang
menahan dia dan hendak memaksa dia
untuk berhenti. Dia memandang penuh
perhatian dan melihat bahwa mereka
adalah dua orang pemuda berusia kurang
Choirul, maret 2008 370
lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali,
akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian
mereka, bahkan gerak-gerik me-reka,
pandang mata mereka, semuanya sama
sehingga mudah menduga bahwa mereka
tentulah dua orang saudara kem-bar!
“Kalian minggirlah!” kata Tek Hoat dan
kedua tangannya sudah dipentang untuk
mendorong mereka ke kanan kiri, akan
tetapi kembali dua orang muda itu dengan
langkah kaki yang ringan dan sigap sekali
telah dapat mengelak, bah-kan lalu
menangkap pergelangan tangan-nya dari
kanan kiri!
“Paman Pouw menyuruh kau berhen-ti!”
kata seorang di antara mereka, en-tah yang
bicara tadi atau bukan sukar bagi Tek Hoat
untuk mengenalnya karena wajah mereka
yang sama benar. Cara mereka mengelak
kemudian menangkap pergelangan kedua
tangannya membukti-kan bahwa mereka
memang benar-benar memiliki ilmu silat
yang lihai sekali, maka timbul keinginan
dalam hati Tek Hoat untuk mencoba
mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda
kembar yang lihai ini tentu masih keluarga
pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun
tidak mempunyai niat buruk melainkan
hanya ingin menguji mereka.
mempunyai niat buruk melainkan hanya
ingin menguji mereka.
“Kalian hendak menggunakan kekeras-an?
Baiklah!” katanya dan dia pun lalu
menggunakan kepandaiannya, sekali
ber-gerak kedua lengannya terlepas dan dia
pun lalu mengirim serangan ke arah mereka
dengan kedua tangannya secara bertubitubi,
yaitu menampar dari samping dengan
tangan terbuka.
Dua orang pemuda kembar itu bukan lain
adalah Gak Jit Kong dan adik kem-barnya,
yaitu Gak Goat Kong. Tentu saja keduanya,
biar baru berusia tujuh belas tahun, telah
memiliki ilmu kepandaian yang hebat
karena sejak kecil mereka digembleng oleh
ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti
Gak Bun Beng dan Puteri Milana! Mulamula
mereka terke-jut ketika melihat betapa
pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw
Toan itu dapat melepaskan pegangan
dengan mudah, dan lebih kaget lagi mereka
melihat tampar-an-tamparan tangan yang
jelas mengan-dung tenaga sin-kang yang
amat tangguh itu. Cepat mereka pun
bergerak menge-lak dan balas menyerang,
karena mengira bahwa pengemis ini tentu
orang jahat yang entah melakukan apa
terhadap Pouw Toan. Terjadilah
perkelahian satu lawan dua yang amat
hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi
semakin kagum. Tak disangkanya dia akan
bertemu dengan dua orang pemuda remaja
kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu
silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu
silat go-longan bersih yang luar biasa sekali
dan anehnya, gerakan-gerakan mereka
baginya tidak begitu asing, bahkan seolaholah
ada dasar-dasar yang sama antara
ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang
pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lomo. Di
lain pihak, dua orang saudara kembar itu
pun terkejut sekali mendapat kenya-taan
bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai,
memiliki ilmu silat tinggi sehingga
pengeroyokan mereka tidak membuat
pengemis itu terdesak.
Sejak tadi Pouw Toan hanya menon-ton
saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum
akan watak dua orang pemuda kembar itu
yang tidak akan menjatuhkan tangan kejam
kepada siapapun juga, apalagi kepada
orang yang tidak mereka ketahui
kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia
pun maklum bahwa Tek Hoat adalah
seorang pendekar, biarpun sedang bingung,
yang tidak akan mencela-kakan orang
tanpa sebab. Biarkanlah mereka saling
bertanding dan saling ber-kenalan melalui
ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang
banyak bergaul de-ngan orang-orang dari
dunia persilatan ini maklum akan “penyakit”
para pendekar yang suka sekali akan
pertandingan ilmu silat, menonton atau
ditonton! Setelah membiarkan mereka
bertanding sampai beberapa lamanya Pouw
Toan yang tidak mengenal ilmu silat itu
Choirul, maret 2008 371
merasa khawatir juga. dan dia pun cepat
maju, dan ber-seru keras, “Jangan
berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara
sendiri, masih keluarga sendiri!”
Tentu saja mendengar seruan ini me-reka
berhenti dan dua orang pemuda kembar itu
memandang kepada Tek Hoat dengan
terheran-heran. Keluarga sendiri? Mereka
sungguh tak dapat menduga siapa adanya
jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh
pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang
tadinya tidak mau pedulikan segala hal, kini
menjadi tertarik juga dan dia menoleh
kepada Pouw Toan dengan sinar mata
bertanya.
“Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari
Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi
keponakan tiri dari Ibu kandung kalian.”
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut
sekali. Tentu saja mereka sudah pernah
mendengar nama ini dari penutur-an ibu
mereka, akan tetapi ibunya
meng-gambarkan orang yang bernama
Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu
tidak seperti seorang jembel seperti ini.
Beta-papun juga, mereka tidak meragukan
ke-terangan Pouw Toan dan mereka lalu
menjura kepada Tek Hoat.
“Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak
mengenalmu.” kata Jit Kong.
“Wan-taihiap, mereka adalah adik--adik
misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong, putera kembar Bibi tirimu Puteri
Milana dan suaminya. Me-reka ini
diserahkan kepadaku untuk bela-jar sastra,
ha-ha-ha!”
Giranglah hati Tek Hoat dan dia ka-gum
sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu,
telah mempunyai putera kembar setampan
dan selihai ini.
“Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai.
Maafkan, aku tidak dapat mene-mani kalian
lebih lama lagi. Paman Pouw, terima kasih
atas segala-galanya dan selamat tinggal!”
“Taihiap....!” Akan tetapi seruan ini percuma
karena sekali ini Tek Hoat te-lah berkelebat
dan lenyap dengan cepat sekali dari situ.
Pouw Toan menghela napas dan
menggeleng-gelengkan kepala-nya.
“Aneh....dia manusia aneh.... kasihan
sekali....“
“Tapi.... Si Jari Maut yang digambar-kan Ibu
tidak seperti itu, melainkan se-orang pria
yang kata Ibu tampan dan gagah, bukan
seorang pengemis yang begitu terlantar....“
Goat Kong berkata.
Pouw Toan menghela napas. “Begitu-lah
kehidupan manusia. Manusia boleh saja
mempelajari segala macam ilmu, menjadi
orang pandai, menjadi orang per-kasa,
namun selama dia tidak mampu
membebaskan diri dari segala nafsu yang
mencengkeramnya, dia akan menjadi
per-mainan suka duka. Kedukaan kadangkadang
membuat manusia kehilangan
kesadaran dan menyeretnya ke lembah
kesengsaraan yang hebat seperti dia itu.”
Bagaimanakah dua orang pemuda kembar
itu dapat muncul pada saat itu? Seperti
telah kita ketahui, lima tahun yang lalu dua
orang pemuda ini pernah ikut pula dengan
arus orang-orang kang-ouw, berkeliaran di
Pegunungan Himala-ya! Pada waktu itu,
usia mereka baru kurang lebih dua belas
tahun! Dan seper-ti kita ketahui, mereka itu
disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita
iblis yang terkenal sebagai murid-murid
utama Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa
kembali ke kota raja. Mereka berdua itu
sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang
dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coaong,
akan tetapi melihat keganasan ularular
yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua
orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian
sebagai siluman ular lalu pergi
me-ninggalkan para penolongnya untuk
me-ngejar Su-bi Mo-li. Kiranya mereka itu
memang sengaja membiarkan diri ditawan
oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa menghadap
Sam-thaihouw yang mengutus empat orang
wanita iblis itu!
Choirul, maret 2008 372
Dua orang anak kembar ini adalah putera
pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang
yang amat terkenal pula, maka tentu saja
mereka memiliki watak aneh dan
keberanian luar biasa sekali. Biarpun usia
mereka baru dua belas tahun, namun di
dalam darah mereka terdapat jiwa
pe-tualang besar. Maka ketika mereka
men-dengar tentang lenyapnya pedang
pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari
gudang pusaka keraton, jantung mereka
berdegup penuh ketegangan dan dua orang
saudara kembar itu diam-diam lalu
berunding dan akhirnya mereka
memutuskan untuk per-gi melakukan
pengejaran dan pencarian terhadap pencuri
pedang itu! Memang lucu sekali kalau
diingat betapa mereka itu, biarpun sejak
kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu saja
tidak mungkin dapat menandingi kehebatan
seorang pen-curi yang dapat mengambil
sebatang pedang pusaka dari dalam
gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada
yang mengetahui! Pencuri seperti ini
tentulah seorang pencuri yang sakti.
Mereka pergi diam-diam dan hanya
meninggalkan pesan kepada seorang kakek
tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki
Gunung Beng-san agar kakek itu suka
memberi kabar kepada ayah mereka bahwa
mereka ber-dua hendak pergi “merantau”
untuk me-luaskan pengetahuan!
Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana
terkejut bukan main mendengar berita dari
kakek tetangga itu. Mereka sudah mencoba
untuk mencari-cari, namun ti-dak ada
hasilnya. Dua orang anak mere-ka seolaholah
lenyap ditelan bumi tanpa
meninggalkan bekas! Mereka sudah
men-cari keterangan, akan tetapi tidak ada
yang pernah melihat dua orang anak lakilaki
kembar lewat di tempat mereka! Hal ini
adalah karena kecerdikan kakak beradik itu
yang meninggalkan tempat mereka sambil
menyamar, berpakaian lain dan juga Jit
Kong merobah cara dia menggelung rambut
dan mencoreng-mo-reng mukanya
sehingga tidak sama de-ngan muka adik
kembarnya! Baru setelah mereka berdua
pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan
mereka berpakaian biasa kembali seperti
anak kembar.
Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya
kembali ke rumah mereka di puncak Bengsan.
“Tenanglah, tidak mungkin anak-anak
kita itu akan mengalami ben-cana. Mereka
sudah cukup besar dan mereka pun bukan
anak-anak yang biasa ceroboh. Juga,
kurasa kepandaian mereka sudah cukup
untuk mereka pergunakan melindungi diri
sendiri.”
“Tapi mereka itu baru berusia dua belas
tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini
terdapat amat banyak orang jahat!” kata
Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.
“Betapapun juga, mereka pergi berdua dan
mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar
mereka mencari pengalaman dan
merasakan betapa pahitnya dan
bahaya-nya hidup di dunia ramai. Ingat,
isteriku, kita pun dahulu merupakan
petualang-petualang besar dan kita tetap
selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu
mengkhawatirkan mereka?”
Puteri Milana adalah seorang wanita gagah
perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah
memegang kedudukan panglima yang
memimpin pasukan pemerintah un-tuk
menghadapi pemberontak-pemberon-tak,
maka sudah tentu saja dia bukan seorang
wanita cengeng. Maka biarpun
kekhawatiran masih kadang-kadang
men-cekam hatinya, dia dapat
menenteramkan diri dan menanam
keyakinan bahwa apa yang diucapkan
suaminya itu memang benar. Betapapun
juga, suaminya harus berjanji kepadanya
bahwa kalau sampai satu tahun anak
kembar mereka itu be-lum pulang, mereka
berdua akan turun gunung mencarinya
sendiri!
Demikianlah asal mulanya Gak Jit Kong dan
Gak Goat Kong dapat berada di
Pegunungan Himalaya, terbawa arus orangorang
kang-ouw yang mereka de-ngar
Choirul, maret 2008 373
berlumba mencari pedang pusaka yang
jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan
itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran
mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan
kemudian murid-murid me-reka, yaitu empat
orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis
Betina Cantik) me-lakukan pengejaran dan
menawan dua orang anak kembar itu.
Karena maklum bahwa empat orang wanita
itu lihai sekali, apalagi mereka adalah
murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang
juga nama besar mereka telah didengar
oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka dua
orang anak kembar ini tidak melakukan
perlawanan dan menurut saja dibawa
kembali ke timur, untuk menjaga agar
mereka tidak lari, mereka diborgol! Sam-pai
mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian
yang menolong mereka.
Kalau Jit Kong dan Goat Kong
meng-hendaki, tentu saja dengan mudah
me-reka dapat melepaskan diri. Empat
orang iblis betina itu terlalu memandang
ren-dah tawanan mereka. Kalau kedua
orang anak kembar itu menghendaki, sekali
berontak mereka akan dapat mematahkan
borgol mereka dan dapat melarikan diri.
Akan tetapi mereka tidak mau melaku-kan
ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak
berdaya dan menyerahkan diri saja karena
mereka itu diam-diam me-rasa gembira dan
ingin tahu apa yang akan terjadi kalau
mereka sudah dihadap-kan dengan majikan
dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah
Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di
istana kerajaan. Tentu saja mereka tidak
merasa takut karena bukankah mereka
berdarah ke-luarga kaisar? Nenek mereka
adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi
isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es.
Nenek mereka itu adalah seorang puteri
istana aseli, masih terhitung bibi dari kaisar
sekarang, sungguhpun neneknya itu puteri
selir saja. Kalau dihitung-hitung, ibu
kandung mereka masih terhitung saudara
misan dari kaisar yang sekarang, malah
mereka sendiri pun sebetulnya masih
merupakan dua orang pangeran! Ingin
mereka tahu apa yang akan terjadi de-ngan
mereka, apalagi kalau diketahui bahwa
mereka adalah putera dari Pang-lima
Milana, cucu dari Puteri Nirahai yang amat
terkenal itu!
Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan
dengan ular-ularnya itu, telah “menolong”
mereka dan merusak per-mainan sandiwara
mereka. Betapapun juga, semua
pengalaman mereka itu membuka mata
mereka bahwa merantau di tempat itu
sungguh amat berbahaya dan ternyata di
situ banyak berkeliaran orang-orang pandai
dan orang-orang ja-hat. Maka, mereka pun
mengambil keputusan untuk pulang ke
Beng-san, apa-lagi mereka kini teringat
bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi
khawatir sekali dengan kepergian mereka.
Dan memang dugaan mereka itu be-nar.
Ketika mereka tiba di rumah orang tua
mereka, yaitu di Puncak Telaga Warna di
Pegunungan Beng-san, mereka disambut
oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka,
akan tetapi kemudian me-reka pun
menerima teguran keras dari ayah bunda
mereka atas kelancangan mereka pergi
merantau.
“Bukan kalian tidak boleh pergi me-rantau,
akan tetapi harus mendapat restu orang
tua, lebih dulu diperbincangkan dengan
kami sehingga tidak menyusahkan hati
orang tua. Pula, kalian masih ter-lalu muda
untuk pergi mencari penga-laman di luar.”
demikian antara lain ayah mereka menegur.
“Kemana saja engkau pergi selama
setengah tahun ini?” Milana bertanya,
matanya masih basah akan tetapi
wajah-nya berseri kembali setelah selama
ber-bulan-bulan ini nampak muram dan
ge-lisah.
“Kami mendengar tentang pusaka Koailiong-
kiam yang hilang dari istana dan
kabarnya dilarikan maling ke Pegu-nungan
Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana
dengan harapan kalau-kalau kami akan
dapat menemukan kembali pedang pusaka
istana itu.” kata Jit Kong.
Choirul, maret 2008 374
Milana terbelalak. “Kalian ke Pegu-nungan
Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa
geli. “Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar
barat, dan andaikata ka-lian tidak pergi,
tentu Ayahmu juga per-gi ke sana.”
Gak Bun Beng tertawa dan mengge-lenggeleng
kepala. “Aih, sungguh tidak
kunyana, aku yang ingin sekali pergi, malah
kalian yang mendahului. Akan tetapi biarlah,
hitung-hitung kalian mewakili aku. Asal saja
kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang
memalukan. Apa yang telah kalian alami di
sana? Banyak-kah orang kang-ouw pergi ke
sana?”
“Banyak sekali, Ayah. Terdapat ba-nyak
sekali orang-orang aneh dan orang-orang
pandai.” kata Goat Kong.
“Dan bagaimana kabarnya dengan pe-dang
pusaka itu? Apakah sudah ditemu-kan
pencurinya dan pedang itu dapat dirampas
kembali?” tanya Milana.
Jit Kong menggeleng kepala. “Mereka itu
agaknya bukan mencari pedang untuk
dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan
saling memperebutkan untuk diri sendiri
masing-masing.”
“Ahh....!” Milana berseru kecewa.
“Tidak aneh, apa engkau lupa akan watak
orang-orang kang-ouw yang tamak akan
benda-benda pusaka, isteriku? Lalu
kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka
itu?” kata Bun Beng.
“Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja
tiba di sana kami sudah ditangkap orang.”
kata Jit Kong.
Tentu saja keterangan ini mengejut-kan hati
suami isteri pendekar itu. Mi-lana bangkit
dari tempat duduknya, mukanya yang masih
cantik dalam usia-nya yang sudah
mendekati lima puluh tahun itu menjadi
kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang
menangkap kalian dan mengapa kalian
ditangkap?”
“Kami ditangkap oleh empat orang wanita
berjuluk Su-bi Mo-li....”
“Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?”
Milana membentak, marah.
“Aku pun tidak mengenal nama itu.” kata
Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini
selama ini tidak pernah keluar ke dunia
kang-ouw sehingga mereka sama sekali
tidak mengenal nama-nama baru.
“Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada
dua orang puteranya.
“Menurut yang kami dengar, mereka itu
adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....”
“Ah, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan
Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana
terkejut sekali mendengar nama Im-kan
Ngo-ok yang dia tahu amat ter-kenal
sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat
lihai itu. “Kenapa kalian di-tangkap mereka?
Apakah kalian tidak melawan?”
“Mereka menghadang kami dan
me-ngatakan bahwa kami harus ikut
bersama ke kota raja untuk menghadap
Sam-thai-houw. Kami tidak melawan dan
membiar-kan diri ditangkap karena kami
ingin sekali melihat apa yang akan terjadi
dengan kami di istana. Kami tidak takut
untuk dibawa ke istana!”
“Sam-thaihouw....?” Milana terbelalak dan
dia lalu mengangguk-angguk, “Pantas....,
kiranya empat iblis betina itu adalah kaki
tangan Sam-thaihouw....!”
Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa
Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu me-naruh
dendam kepada isterinya karena banyak
hal, dan terutama karena kega-galan
pemberontakan dua orang Pangeran Liong.
Maka kini dia pun mengerti mengapa dua
orang puteranya itu ditang-kap atas perintah
Sam-thaihouw dan dia mengerutkan
alisnya, akan tetapi ke-mudian merasa lega
bahwa dua orang puteranya itu telah
selamat.
Choirul, maret 2008 375
“Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana
kalian ditawan dan bagaimana pula kalian
dapat meloloskan diri dan pulang ke sini.”
katanya kemudian.
Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat
Kong lalu menceritakan semua
pe-ngalaman mereka semenjak mereka
pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan
betapa mereka ditangkap, kemudian
be-tapa mereka ditolong oleh seorang gadis
cantik bersama kakek Nepal yang
mendatangkan ular-ular dan yang
mengalah-kan Su-bi Mo-li.
“Gadis itu mengacaukan rencana ka-mi,
Ayah!” kata Jit Kong.
“Dia itu seperti siluman ular saja.
Mengerikan!” kata pula Goat Kong.
“Eh, eh! Bagaimana kalian dapat ber-kata
demikian? Bukankah mereka telah
bersusah payah melawan Su-bi Mo-li untuk
menolong kalian?” tanya Milana.
Dua orang anak kembar itu ber-sungutsungut.
“Akan tetapi, kami me-mang
sengaja menyerahkan diri untuk ditangkap
karena kami ingin melihat apa yang terjadi
di istana dengan kami. Kami hanya purapura
menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu
merusak sandiwara kami dan mencampuri.
Karena sudah ter-lanjur bebas, maka kami
lalu pulang karena daerah itu amat
berbahaya dan terdapat banyak orang jahat
yang amat lihai.”
“Siapakah gadis yang bermain-main dengan
ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana
yang merasa tertarik.
“Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan
namanya. Untuk apa menanya-kan nama
gadis siluman ular itu?” kata Goat Kong.
“Ah, jangan berkata demikian!” Milana
membentak. “Apa kaukira asal orang
bermain atau mampu mendatangkan ularular
lalu kauanggap dia jahat dan si-luman?
Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari
Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli
tentang ular beracun?”
Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang
anak kembar itu diam saja dan di dalam hati
mereka mengaku bahwa me-reka memang
bersikap salah terhadap gadis yang
menolong mereka itu. Sesung-guhnya
bukan semata-mata ular-ular itu yang
membuat mereka tidak suka kepada gadis
itu, melainkan melihat keganasan ular-ular
itu dan juga karena gadis itu telah
menggagalkan rencana dan sandi-wara
mereka.
Pada malam harinya, setelah dua orang
anak mereka itu tidur di kamar mereka
sendiri, suami isteri pendekar ini lalu
mengadakan perundingan. Mereka maklum
bahwa dalam keadaan seperti dua orang
anak mereka itu, yang sedang remaja dan
menjelang dewasa, maka jiwa petualangan
mereka itu sedang mencapai puncaknya,
maka kalau tidak diberi sa-luran, mungkin
saja pada suatu hari me-reka itu minggat
lagi. Mereka lalu berunding untuk
menyerahkan mereka kepada sastrawan
Pouw Toan yang ting-gal di lereng sebelah
utara, seorang sas-trawan yang menjadi
sahabat baik me-reka yang mereka hormati
karena sas-trawan itu merupakan seorang
terpelajar yang amat mulia dan bijaksana.
Biarlah anak mereka itu belajar ilmu tentang
hidup dan memperdalam ilmu
kesusastra-an dari kakek itu. Dan mereka
mengenal betul siapa Pouw Toan, seorang
ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang
se-niman sejati yang biarpun tidak pernah
belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh
sehat kuat karena suka merantau dan yang
mengenal hampir semua pendekar sakti di
dunia ini.
Demikianlah, beberapa pekan kemudi-an
suami isteri ini pergi mengunjungi rumah
pondok Pouw Toan di lereng utara dan
kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw
Toan baru saja kembali dari
pe-rantauannya. Pouw Toan menyambut
kunjungan suami isteri sahabatnya itu
Choirul, maret 2008 376
dengan ramah dan gembira. Dia amat
mengagumi pendekar dan isterinya itu,
apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu
adalah seorang puteri kandung dari
Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai,
masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi
memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela
meninggalkan kemuliaan dan ke-mewahan
memilih hidup sederhana namun tenteram.
Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw
Toan, mereka duduk bercakap-ca-kap dan
suami isteri ini menceritakan tentang
petualangan dua orang putera kembar
mereka sampai ke Pegunungan Himalaya!
Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan
amat tertarik. Setelah selesai dia menarik
napas panjang. “Ahhh, sungguh hebat
puteramu itu, Tai-hiap. Akan tetapi aku tidak
dapat menyalahkan mereka. Mereka itu
adalah putera-putera suami isteri pendekar
se-perti Ji-wi, tentu saja mempunyai
kebe-ranian dan jiwa petualang, dan tentu
tertarik mendengar akan lenyapnya pe-dang
pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka
lemah ini pun amat tertarik dan aku sudah
banyak mendengar dan menyelidiki tentang
pedang itu, sungguh-pun aku tidak
berkesempatan untuk ikut beramai-ramai
pergi ke Himalaya!”
Setelah bercakap-cakap tentang
ber-macam hal sampai beberapa lamanya,
akhirnya suami isteri itu menyatakan
keperluan mereka datang berkunjung
kepada sastrawan itu, yaitu untuk
meni-tipkan dua orang putera mereka agar
belajar ilmu sastra dan filsafat kepada
kakek itu.
“Setelah mereka pergi dengan diam-diam,
kami berdua merasa khawatir ka-lau-kalau
mereka pergi lagi. Mereka masih hijau,
apalagi dalam soal-soal hi-dup, oleh karena
itu kami mohon Pouw Twako suka
menerima mereka menjadi murid.”
“Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar bahwa
Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat
kukagumi malah menyerah-kan putera Ji-wi
kepadaku untuk menjadi murid! Betapapun
juga, hati siapa takkan merasa bangga
menjadi guru dari cucu Pendekar Super
Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati
menerimanya, akan tetapi, untuk
mematangkan mereka, bu-kan hanya harus
belajar dari buku-buku melainkan mengajak
mereka merantau dan melihat kehidupan di
tempat-tempat ramai.”
“Terserah kepada Pouw-twako kalau
hendak mengajak mereka merantau.
Biar-lah mereka itu belajar selama dua tiga
tahun sebelum mereka mempelajari Ilmuilmu
silat yang lebih berat dan menda-lam.
Selain itu, juga kami berdua ingin pergi ke
kota raja untuk menyelidiki apa maksudnya
menculik anak-anak kami.”
Setelah mereka bersepakat, Jit Kong dan
Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini
menerima dengan girang perin-tah ayah
mereka, apalagi ketika men-dengar bahwa
mereka selain diajar Ilmu kesusastraan juga
akan diajak pergi me-rantau oleh Paman
Pouw yang sudah mereka kenal dan yang
mereka kagumi karena kakek itu pandai
melukis dan pandai sajak.
Demiklanlah, sejak itu, Jit Kong dan Goat
Kong ikut dengan Pouw Toan, bah-kan lalu
diajak pergi merantau oleh kakek yang tidak
betah tinggal terlalu lama di suatu tempat
itu. Dan pada hari itu, seperti telah
diceritakan di bagian depan, kakek itu
bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia
berjumpa dengan Tek Hoat dan ketika dia
dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa
melukis hartawan Thio, dua orang muridnya
itu sedang pergi untuk memberi peringatan
atau hajaran kepada seorang penguasa
dusun tak jauh dari kota itu yang ter-kenal
sebagai penindas dan pemeras para
penduduknya. Memang Pouw Toan tidak
melarang, bahkan menganjurkan dua orang
muridnya itu untuk mempergunakan ilmu
silat yang mereka pelajari dari orang tua
mereka untuk melawan kela-liman di
manapun mereka berada.
Dan malam itu juga Jit Kong dan Goat Kong
pergi membereskan pe-nasaran yang terjadi
Choirul, maret 2008 377
di dusun itu, mendatangi kepala dusun,
menundukkannya, kemudian pada
keesokan harinya mereka memaksa kepala
dusun untuk mengem-balikan sawah ladang
yang dirampasnya dari para penduduk tani,
dan menyaksikan kepala dusun
mengucap-kan janji untuk menjadi kepala
dusun yang baik di depan para penduduk.
Se-telah selesai, barulah dua orang remaja
kembar yang luar biasa ini meninggalkan
dusun dan kembali ke kota di mana
me-reka melihat gurunya mengejar-ngejar
seorang laki-laki jembel.
Setelah pertemuan dengan Wan Tek Hoat
itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan
bersama dua orang murid kembarnya
menuju ke utara, karena dia ingin mengajak
dua orang muridnya me-rantau ke kota raja.
Sementara itu, bagaikan orang ke-setanan,
Wan Tek Hoat melakukan per-jalanan cepat
sekali, hampir tak pernah berhenti kecuali
kalau kedua kakinya sudah seperti hendak
patah-patah, napas-nya seperti hendak
putus dan tenaganya sudah habis saking
lelah, haus dan lapar-nya, menuju ke timur.
Dia melakukan perjalanan sambil berlari
cepat siang malam, hanya kalau terpaksa
saja dia berhenti untuk minum, makan dan
tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kimcoa-
to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti
Dewi!
Pendekar yang sudah hampir rusak
hidupnya dan kini seperti orang dalam
kegelapan melihat titik cahaya terang itu,
sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu
di Pulau Kim-coa-to sedang di-persiapkan
oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coato,
yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui, yang
disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua
orang yang mengenal-nya, dan selain
dihormati, juga amat disegani bahkan
ditakuti karena semua orang tahu belaka
betapa nyonya yang berwajah amat cantik
jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini
berdarah di-ngin pula dan mudah
membunuh orang dengan kepandaiannya
yang luar biasa lihainya! Pesta apakah
gerangan yang di-adakan oleh Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan
suka menyen-diri, tidak suka akan segala
keramaian itu? Pesta ini diadakan demi
rasa sa-yangnya kepada Syanti Dewi yang
diang-gap sebagai muridnya, adiknya,
bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta
pera-yaan ulang tahun Syanti Dewi genap
tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi
me-nolak diadakannya pesta itu.
“Enci Hui....” bantahnya, dan memang dua
orang wanita yang sama cantiknya ini saling
menyebut enci dan adik, “Perlu apa
diadakan pesta perayaan ulang ta-hun?
Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa
sih enaknya dirayakan ulang tahun kita,
kalau kita sudah berusia tiga puluh tahun.
Kiraku, tidak ada wanita yang suka
memamerkan ketuaan umur-nya!”
Ouw Yan Hui tersenyum. “Adikku yang
manis, jangan kau berkata demi-kian. Pesta
ini memang kusengaja, dengan bermacam
maksud yang tersembunyi di baliknya.
Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu,
Adikku, bahwa keramahanmu yang
menerima semua persahabatan dari sekian
banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya.
Oleh karena itu, biarlah kuada-kan pesta ini
untuk melihat siapakah sesungguhnya di
antara mereka yang patut menjadi
suamimu. Maka, dalam pesta ini akan
kujadikan suatu kesempat-an bagimu untuk
memilih jodoh.”
“Enci....!”
“Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti!
Engkau takkan hidup seratus ta-hun dan
biarpun engkau memiliki kecan-tikan seperti
bidadari, dua puluh tahun lagi engkau
sudah berusia setengah abad!”
“Lihatlah diriku! Aku memang tetap can-tik,
akan tetapi apa gunanya semua ke-cantikan
ini? Jangan kausia-siakan hi-dupmu,
Adikku. Maka biarkanlah aku yang
mengatur semua itu. Aku akan memilihkan
seorang di antara mereka yang paling
tampan, paling gagah, paling kaya dan
pendeknya yang tiada tanding-nya di antara
Choirul, maret 2008 378
semua pria yang pernah kaukenal. Atau
setidaknya, biarlah pange-ran mahkota
sendiri yang akan mempersuntingmu!”
“Enci....!”
“Adikku, mengapa engkau selalu ber-keras
hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah
seorang wanita yang dingin seperti aku. Aku
tahu bahwa engkau adalah seorang wanita
berdarah panas yang selalu mendambakan
cinta kasih seorang pria. Dan cintamu
terhadap ke-kasihmu yang pertama itu tak
pernah padam! Itu menunjukkan betapa
panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang
yang kaucinta sudah tidak peduli lagi akan
dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan
menantinya sampai akhir jaman? Tidak,
Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku
yang amat sayang kepada-mu akan
menentang ini!”
Menghadapi wanita yang biasanya pendiam
dan dingin akan tetapi sekarang begitu
banyak bicara karena penasaran itu, Syanti
Dewi tidak dapat banyak membantah.
Betapapun juga, dia pun sayang kepada
wanita ini dan dia sudah berhutang budi
sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita
ini. Memang, tadinya ter-dapat rasa sayang
yang tidak wajar da-lam hati Ouw Yan Hui,
rasa sayang ber-campur berahi yang aneh,
yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih
suka bercum-bu dan bermain cinta dengan
sesama wanita karena dia pembenci pria.
Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin
benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi
melayani hasrat berahinya yang tidak wajar
itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan
berahinya lenyap bersatu dalam cinta
kasihnya sebagai seorang sahabat atau
saudara atau bahkan seorang ibu! Syanti
Dewi merasakan benar kasih sayang
wa-nita ini terhadap dirinya dan biarpun
kasih sayang itu, sifatnya tidak ingin
menguasai dirinya, namun sedikitnya dia
harus tahu diri dan tidak boleh selalu
membantah mengukuhi kehendak sendiri.
Selain itu, diam-diam dia pun melihat
kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw
Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek
Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu dapat
diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh
menyiksa diri dalam ke-dukaan dan selalu
menolak cinta kasih pria yang demikian
banyaknya? Dia ting-gal memilih! Tepat
seperti yang dikata-kan oleh Ouw Yan Hui.
Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!
“Tiga puluh tahun! Ah, perlukah dira-yakan
Enci Hui? Bukankah itu sama de-ngan
membuka rahasia bahwa aku sudah tua
sekali?”
“Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua
sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka
terbuka bahwa engkau sudah berusia tiga
puluh tahun, sudah cukup matang dan
bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi juga
agar mereka semua melihat betapa dalam
usia tiga puluh tahun eng-kau tidak kalah
segar dan cantiknya dibanding dengan
seorang dara berusia tujuh belas tahun!”
“Aihh, Enci bisa saja menjawab.”
“Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan
mengecewakan hati Encimu, bu-kan?”
Syanti Dewi menunduk, merasa seper-ti
seorang dara disuruh kawin dan mukanya
menjadi merah sekali. “Terserah kepadamu
sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi
barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini
dan engkau hendak men-cari pembeli yang
berani menawar paling tinggi!”
Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui lalu
merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia
dirangkul oleh wanita lain, atau ka-lau saja
dia tidak sudah tahu akan ke-sukaan Ouw
Yan Hui bermain cinta de-ngan sesama
wanita, tentu dia akan me-rasa terharu dan
senang dirangkul. Akan tetapi kini,
rangkulan Ouw Yan Hui te-rasa lebih
menyeramkan daripada rang-kulan seorang
pria yang tidak dikenalnya, dan Ouw Yan
Hui juga merasakan betapa tubuh puteri itu
menegang, maka dia pun cepat
melepaskan rangkulan sambil me-narik
napas panjang. Padahal dia tadi merangkul
Choirul, maret 2008 379
dara itu dengan perasaan seorang ibu
merangkul anaknya.
“Syanti Dewi, mengapa engkau seke-jam itu
berkata demikian kepadaku? Engkau tahu
bahwa seujung rambutku tidak ada pikiran
mengganggumu sebagai barang dagangan.
Engkau boleh memilih sendiri pria yang
cocok, dan bukan ka-rena melihat uangnya,
melainkan semuanya. Ya hartanya, ya
kedudukannya, ya ketampanannya, ya
kegagahannya. Pen-deknya, seorang pria
pilihan!”
“Terserah kepadamu, Enci!” kata pula
Syanti Dewi sambil menutupi mukanya
dengan kedua tangan.
Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk--nepuk
pundak puteri itu, kemudian
me-ninggalkannya. Dan mulailah persiapan
dilakukan, undangan-undangan dibagi dan
pengumuman-pengumuman disebar sampai
jauh ke daratan besar, bahkan undangan
khusus disampaikan kepada Pangeran
Mahkota Kian Liong! Juga disampaikan
undangan kepada para pemuda yang
dianggap pantas untuk menjadi tamu
undangan, pemuda putera para ketua
per-kumpulan yang berpengaruh, hartawanhartawan
dan para pemuda yang tampan,
ahli sastra atau ahli silat. Pendeknya, Ouw
Yan Hui akan mengumpulkan semua
pemuda pilihan yang bisa didapatkan di
seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk
Sang Pangeran Mahkota sendiri yang
memang sudah menjadi sahabat baik dari
Syanti Dewi! Undangan-undangan yang
dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu
tentu saja hanya berisi undangan untuk
menghadiri perayaan hari ulang tahun
Syanti Dewi, akan tetapi di sam-ping itu,
sebagai berita desas-desus yang santer
dan menarik, dikabarkan bahwa Sang
Puteri cantik itu hendak mempergunakan
kesempatan itu untuk menen-tukan pilihan
jodohnya! Berita desas-de-sus inilah yang
menggemparkan hati se-mua pemuda yang
sudah lama tergila-gila kepada puteri yang
amat cantik jelita seperti bidadari itu.
Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning,
beberapa mil jauhnya dari muara Sungai
Huai. Dari tepi pantai hanya nampak
sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut
sedang tenang, dan kalau orang naik
perahu layar, maka dalam waktu empat lima
jam akan sampai di pulau itu. Kota Tungking
berada tak jauh dari muara itu, dan
pada hari itu kota Tung-king yang berada di
lembah Sungai Huai nampak lebih ramai
dari-pada biasanya. Kota itu memang
dira-maikan oleh tamu-tamu yang hendak
berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!
Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah
Tung-king juga ikut menjadi sibuk karena
hari itu Pangeran Kian Liong datang
berkunjung bersama pasukan
pe-ngawalnya yang berjumlah dua losin
orang! Sang Pangeran yang biasanya suka
melakukan perjalanan secara menyamar
itu, sekali ini karena menerima undangan
resmi, berkunjung sebagai pangeran dan
tentu saja dikawal dan mengendarai kereta
yang indah. Karena hari telah men-jadi
senja ketika tiba pangeran itu me-mutuskan
untuk bermalam di kota Tung-king dan tentu
saja kepala pengawal langsung membawa
kereta menuju ke gedung kepala daerah
yang menjadi sibuk bukan main! Pangeran
Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu
saja dia menjadi sibuk. Akan tetapi
alangkah bingung dan herannya ketika
pangeran itu dengan suara tegas melarang
dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup
kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan
makan malam biasa pula, menolak untuk
diberi hidangan apalagi ditemani wanita.
Baru sekarang ini selama hidupnya Lu-taijin
kepala daerah kota Tung-king itu
men-dengar bahkan menghadapi sendiri
se-orang pangeran, bahkan pangeran
mah-kota pula, yang mau tidur di kamar
bia-sa, makan biasa pula dan menolak
hibur-an dan wanita! Di samping
kebingungan dan keheranannya, dia pun
merasa kagum sekali dan diam-diam dia
memperoleh kenyataan akan berita bahwa
Sang Pa-ngeran Mahkota ini adalah
seorang pe-muda yang sederhana,
terpelajar, pandai dan tidak suka akan
Choirul, maret 2008 380
kemewahan yang berlebihan, tidak suka
berfoya-foya se-bagaimana lajimnya para
pangeran dan pembesar lainnya.
Tentu saja para pengawal memper-siapkan
diri, menjaga keamanan pangeran mahkota
itu, dan karena pasukan peng-awal ini
adalah pengawal dalam istana, maka
pakaian mereka yang berwarna biru dan
bersulamkan benang emas itu amat indah
dan megah, selain itu, mereka adalah
pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh
tegap-tegap dan wajah tampan-tampan,
mengagumkan semua orang, juga
mendatangkan kesenangan.
Sementara itu, di sebuah rumah makan
kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga
orang laki-laki yang makan minum sambil
bercakap-cakap dengan suara berbisikbisik.
Biarpun tiga orang itu berpakaian
biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan
mereka tentu menimbulkan kecurigaan
mereka yang berpe-mandangan tajam.
Seorang di antara mereka adalah seorang
kakek yang usia-nya tentu sudah ada enam
puluhan tahun, pakaiannya seperti
penduduk biasa saja, akan tetapi matanya
tinggal yang sebelah kanan saja karena
yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya
tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir
rambutnya yang masih panjang hitam itu
besar me-lingkari lehernya. Biarpun orang
ini ke-lihatan mengenakan pakaian biasa
saja, namun sesungguhnya dia bukanlah
orang biasa, melainkan seorang tokoh
kang-ouw yang cukup terkenal, terutama
se-kali di daerah Propinsi Ho-pai karena dia
dahulu adalah seorang jagoan yang
diper-caya oleh Gubernur Ho-pei. Dia
berusia enam puluh satu tahun bernama
Liong Bouw dan julukannya adalah Tok-gan
Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal).
Se-karang Liong Bouw telah pensiun dan
hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih
selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai
seorang yang disegani dan di samping
kegagahannya sebagai pendekar, juga ia
masih amat setia kepada keraja-an.
Orang ke dua dan ke tiga adalah tokohtokoh
Siauw-lim-pai, dua orang kakak
beradik berusia kurang lebih lima puluh
tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai
yang tinggi. Dua orang tokoh Siauw-lim-pai
untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung
Ceng karena ter-dengar desas-desus
bahwa setelah men-jadi kaisar, maka Yung
Ceng yang per-nah menjadi murid Siauwlim-
pai itu banyak melakukan
penyelewengan-penye-lewengan. Dan
biarpun Yung Ceng kini telah menjadi
kaisar, Siauw-lim-pai ber-hak untuk
menyelidiki kelakuannya dan kalau murid
Siauw-lim-pai itu melanggar laranganlarangan,
Siauw-lim-pai berhak untuk
mengeluarkan dari perguruan se-bagai
seorang murid yang melakukan
pelanggaran. Oleh karena itu, para
pim-pinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong
Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak
beradik itu, untuk melakukan penyelidikan di
kota raja, mereka memperoleh kenyataan
bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai
yang telah menjadi kaisar itu mela-kukan
banyak pelanggaran, di antaranya yang
paling parah adalah menguasai iste-ri orang
dengan jalan kekerasan! Memang ada
beberapa kali Yung Ceng merampas isteri
orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang
kecantikannya membuatnya tergila-gila.
Maka mereka lalu melaporkan kepa-da para
pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu
upacara antara pimpinan, Yung Ceng
dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak
diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi.
Selain kenyataan ini, juga dua orang
saudara Ciong melapor-kan tentang
kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian
Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas
untuk bersama de-ngan para pendekar
lainnya yang diam-diam melakukan
perlindungan kepada Pangeran Mahkota
yang banyak melaku-kan perjalanan secara
menyamar itu.
Memang Pangeran Kian Liong banyak
melakukan perjalanan menyamar sebagai
rakyat biasa dan dengan cara ini dia dapat
bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan
percakapan mereka, pendapat mereka
Choirul, maret 2008 381
tentang pemerintah dan dia pun mendengar
celaan-celaan yang ditujukan kepada
kaisar. Dan karena tanpa setahu-nya
banyak pendekar sakti yang diam-diam
melindunginya, maka setiap kali terjadi
malapetaka yang hendak menimpanya,
selalu dapat dihalau sehingga orang-orang
mulai menanam kepercayaan yang bersifat
tahyul, yaitu bahwa pange-ran mahkota itu
telah dijaga oleh malai-kat, dan ini menjadi
tanda bahwa dia benar-benar seorang calon
kaisar yang hebat!
Tiga orang yang kini bercakap-cakap di
rumah makan itu adalah tiga orang perkasa
yang diam-diam melakukan per-lindungan
kepada Pangeran Kian Liong. Mereka
berbisik-bisik dan bicara dengan serius,
dengan nada suara penuh khawa-tir.
“Benarkah penyelidikan kalian itu?” Si Mata
Satu bertanya sambil menoleh ke kanan
kiri, memperhatikan dengan sapuan
pandang matanya yang tinggal satu ke
seluruh sudut, takut kalau-kalau
perca-kapan mereka didengar orang lain.
“Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah
menyelidiki dengan seksama. Semua itu
digerakkan oleh Sam-thaihouw....“
“Ssttt.... hati-hati kalau bicara....”
Liong Bouw bangkit dan kembali
meme-riksa ke seluruh ruangan. Tidak.
Tidak ada yang mencurigakan dan dia pun
duduk kembali. “Apa kaubilang? Sam--
thaihouw....“
Nama Sam-thaihouw memang amat
menakutkan banyak orang, seolah-olah
nama itu dapat mendatangkan bencana,
biarpun hanya disebut saja. Memang
pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini
besar sekali, dan dia amat bengis sehing-ga
banyak sudah orang-orang yang
dianggapnya bersalah terhadapnya harus
menerima hukuman yang mengerikan.
Bahkan kaisar sendiri pun agaknya tidak
mampu mencegah segala perbuatan Samthaihouw
yang mempunyai banyak jagoan
yang tangguh. Seorang menteri, yaitu
Menteri Kim sebagai Menteri Kebudaya-an,
beberapa bulan yang lalu pernah berani
mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke
Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang
terjadi kemudian? Beberapa malam
sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam
kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang
puteranya dan tidak ada seorang pun tahu
siapa pembunuhnya! Akan tetapi kaisar
tidak memerintahkan penyelidikan tentang
pembunuhan ini dan dengan lantang Samthaihouw
berkata kepada siapa saja yang
kebetulan dijumpainya bahwa itulah
hukuman menteri yang lancang mulut itu!
Masih banyak orang-orang yang harus
tewas dalam ke-adaan mengerikan karena
berani menen-tang Sam-thaihouw sehingga
namanya merupakan sesuatu yang
menyeramkan dan menakutkan.
Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut
nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi
terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa
bahayanya kalau nama ini disebut-sebut.
Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati
tertarik, “Apakah yang sesungguhnya
terjadi?”
“Agaknya Sam-thaihouw telah mampu
mempengaruhi Kaisar sehingga percaya
kepada Nenek itu bahwa Pangeran Kian
Liong dianggap sebagai pengundang
da-tangnya bahaya bagi pribadi Kaisar
sen-diri. Karena itu, persekutuan antara
mereka itu memutuskan untuk
meng-enyahkan Pangeran itu atau
setidaknya membatalkan dia sebagai calon
pengganti Kaisar.”
“Ah, mana mungkin! Pangeran itu adalah
putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.
“Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai
yang murtad itu ternyata telah berobah
menjadi seorang pria yang le-mah, yang
tunduk di bawah kekuasaan mulut manis
seorang wanita cantik yang telah
membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke
tiga, yang juga mempunyai seorang putera
itulah yang menjadi senjata ampuh SamChoirul,
maret 2008 382
thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar.
Dan agaknya kaisar telah setuju untuk
menggantikan pangeran mahkota dengan
pangeran yang usianya baru lima tahun itu,
putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini
adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang
telah menge-rahkan banyak tokoh kaum
sesat untuk membantunya. Kabarnya malah
Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya.”
“Aih, berbahaya sekali kalau begitu.
Darimana kalian dapat memperoleh semua
rahasia kerajaan ini?”
“Seorang murid keponakan kami, murid
Siauw-lim-pai, kebetulan menjabat pangkat
komandan muda dalam pasukan pengawal
dalam istana. Dialah yang me-lakukan
semua penyelidikan itu untuk kami, karena
sebagai murid Siauw-lim-pai dan
menganggap hal itu sebagai tu-gas sucinya
untuk menyelidiki kelakuan murid Siauwlim-
pai yang telah menjadi kaisar itu.”
Hening sejenak dan tiga orang itu
tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Mereka tahu akan adanya bahaya besar
berhadapan dengan kekuasaan di tangan
nenek iblis yang berkuasa di istana itu.
Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw
bertanya, “Menurut kalian, apa yang akan
terjadi dan bahaya apakah yang
mengan-cam diri Pangeran?” Lalu
disambungnya dengan nada suara gentar,
“Apakah ka-lian kira Im-kan Ngo-ok sendiri
akan turun tangan?”
Dua orang kakak beradik itu saling pandang
lalu menggeleng kepala. “Kami rasa hal itu
tidak akan mungkin terjadi.” kata Ciong Lun.
“Ini bukan urusan kecil, dan mereka itu
sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau
mereka berani turun tangan sendiri
mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang
gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya
dan mereka tentu tidak berani menghadapi
resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu
hanya akan mengirim orang yang tidak
terkenal, sungguhpuh sudah dapat
dipastikan suruh-an mereka itu tentu amat
lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga
dan berhati-hati.”
“Menurut penyelidikan kalian, apa yang
akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”
“Entah, hal itu kami belum dapat
mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu
adalah bahwa sebelum Pangeran
berangkat, Sam-thaihouw mengadakan
pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang
diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid
keponakan kami hanya dapat menangkap
bahwa mereka itu membicarakan tentang
kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini.
Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan
terjadinya hal-hal yang penting. Kabarnya
pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu
di-lakukan dengan sayembara ilmu silat
pula. Nah, agaknya itulah kesempatan
untuk mencelakai Pangeran.”
“Betapapun juga, kita tidak boleh lengah.
Baiknya Sang Pangeran juga di-kawal oleh
sepasukan pengawal yang baik. Pasukan
Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan
setia. Kita harus menya-mar sebagai tamutamu
di Kim-coa-to dan selalu membayangi
Pangeran.” kata Liong Bouw dan setelah
selesai berunding dan makan, mereka
membayar makanan, kemudian
meninggalkan rumah makan itu dengan
berpencar. Memang mereka be-kerja
melindungi Pangeran Kian Liong secara
berpencar agar mereka lebih le-luasa
bergerak dan tidak mudah diketahui lawan.
Apakah yang sesungguhnya terjadi di
dalam istana kaisar? Rakyat banyak tidak
mengetahui karena segala sesuatu yang
terjadi dalam keluarga kaisar amat
dirahasiakan dan dari luar nampaknya
bahwa kehidupan keluarga kaisar itu
tenang-tenang saja, bergelimang
kemulia-an, kekayaan dan kemewahan,
selalu riang gembira dan tenggelam dalam
hi-buran-hiburan. Akan tetapi,
sesungguhnya kehidupan seorang kaisar,
tiada bedanya dengan kehidupan seorang
petani biasa, bahkan kalau dipandang
bukan dengan ukuran kesenangan duniawi,
Choirul, maret 2008 383
kehidupan keluarga petani jauh lebih
tenteram dibandingkan dengan kehidupan
keluarga kaisar! Kehidupan keluarga kaisar
penuh dengan konflik yang selalu
disembunyikan di balik senyum dan tata
cara sopan santun yang berkelebihan.
Orang yang berlutut di depan kaisar dengan
dahi dibentur-benturkan lantai dengan
penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya
mengucapkan “ban-ban swe” (hidup
selak-sa tahun)! sebagai pengucapan
hormat dan pujian bagi kaisar, yang dari
ujung rambut sampai ujung sepatu
membayang-kan kesetiaan, penghormatan
dan kebak-tian, mungkin saja di balik
semua itu menaruh dendam yang amat
mendalam! Dan antara keluarga kaisar, di
antara selir-selir dan putera-putera, yang
ke-semuanya hidup menurut adat-istiadat
dan tata cara istana, hampir semua
menggunakan sikap sebagai pakaian saja.
Di sebelah dalam terdapat hati yang
bermacam-macam, penuh ambisi, penuh
pamrih, penuh iri, penuh dendam dan
persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan
tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.
Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang
sudah nenek-nenek namun masih
mempunyai ambisi besar sekali. Kegagal-an
dua orang Pangeran Liong dalam
pemberontakan mereka (baca KISAH
SEPASANG RAJAWALI), bahkan yang
disusul oleh kematian mereka, diam-diam
menikam perasaan Sam-thaihouw yang
diwaktu mudanya amat sayang kepada dua
pange-ran yang menjadi adik iparnya itu,
adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati
ini dipendamnya dalam hati. Oleh karena
itu, dia menaruh dendam menda-lam
kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang
dianggap menjadi biang keladi kegagalan
gerakan dua orang pangeran itu. Juga, dia
ingin menanamkan kekuasaan-nya di dalam
istana, maka dia pun ber-hasil mendekati
Kaisar Yung Ceng. Kai-sar ini diwaktu
mudanya merupakan se-orang pangeran
yang gagah perkasa, bah-kan pernah
menjadi murid dalam Siauw-lim-si,
mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai
yang tangguh. Akan tetapi setelah dia
menjadi kaisar, setelah se-luruh kekuasaan
negara berada di tangan-nya, dia menjadi
mabok akan kekuasaan, mabok pula akan
penjilatan dan sanjung-an. Mulailah lenyap
sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia
menghambakan diri kepada kesenangankesenangan
yang menumpuk nafsu-nafsu
menjadi majikan dari batinnya.
Sanyak sudah para pemimpin atau
pembesar yang menasihatinya dengan
halus dan kadang-kadang nasihat itu ada
manfaatnya pula, mengingatkannya.
Na-mun, di samping mereka yang
menasi-hatinya, lebih banyak pula yang
menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk
berenang dalam kesenangan, karena hanya
dengan demikian itu sajalah para penjilat
dapat melihat kaisar menjadi lemah dan
mereka itu dapat merajalela! Di antara para
pe-nasihatnya, majulah Pangeran Yung
Hwa (baca cerita KISAH SEPASANG
RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI),
seorang pangeran yang tadinya amat dekat
dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih
pangeran. Namun, pengaruh nasihat
Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh
pengaruh bujukan-bujukan yang mulai
dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang
mendekati kaisar sebagai putera tirinya itu,
dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan
memasukkan racun bisikan bahwa
Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati
dengan kedudukan kakaknya. Dan
akibat-nya, Pangeran Yung Hwa lalu
diangkat menjadi gubernur di barat, di
daerah Se-cuan yang jauh! Namanya saja
diangkat dan diberi kedudukan, akan tetapi
sebe-tulnya itu merupakan suatu
pembuangan agar pangeran itu jauh dari
istana!
Demikianlah keadaan di istana. Ke-gilaan
para penjilat dan pembujuk yang dikepalai
oleh Sam-thaihouw itu semakin berani saja,
semakin gila sehingga me-reka tidak segansegan
untuk mulai mengutik-utik kedudukan
Pangeran Mah-kota Kian Liong! Untuk
melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai
pembantu yang amat baik, yaitu selir ke tiga
dari Kaisar Yung Ceng, selir yang cantik
Choirul, maret 2008 384
jelita dan yang dirampasnya dari tangan
se-orang pembesar istana pula! Selir ini
mempunyai seorang putera yang usianya
sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun
berambisi untuk melihat puteranya itu
menjadi putera mahkota yang kelak akan
menggantikan kedudukan kaisar! Dan
melihat kesempatan ini, Sam-thai-houw
yang merasa tidak senang kepada
Pangeran Kian Liong yang tidak dapat
didekatinya, bahkan yang berani
menen-tangnya secara terang-terangan,
mulailah nenek ini untuk menghasut dan
menjauh-kan hubungan antara ayah
kandung dan putera mahkota ini, antara
Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!
Demikianlah keadaan di dalam istana, di
mana terjadi persaingan dan perten-tangan
hebat tanpa diketahui oleh rakyat jelata.
Bahkan hanya beberapa orang ter-tentu
saja di istana yang mengetahui akan hal ini,
dan yang mengetahui tidak berani
membuka mulut untuk bercerita kepada
siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun
tidak berani, karena kalau sampai ketahuan
oleh pihak yang ber-sangkutan, tentu
mereka tidak akan mampu menyelamatkan
nyawanya, bahkan mungkin nyawa
keluarganya pula.
Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak
tahu akan segala konflik yang ter-jadi di
dalam keluarga ayahnya. Itulah sebabnya
dia merasa tidak betah dan muak berada di
istana yang dianggapnya sebagai sumber
segala kepalsuan, penji-latan, kepurapuraan
dan iri hati, di mana setiap saat
terjadi persaingan un-tuk mencari muka
kepada kaisar dan terdapat perebutan
kekuasaan yang amat memuakkan hatinya.
Dia lebih senang merantau, dengan
menyamar sebagai orang biasa, bergaul
dengan rakyat jela-ta, tanpa pengawal,
tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah
pangeran mahkota! Dengan cara demikian
pangeran ini per-nah bekerja membantu
nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu
saja seringkali dia terancam bahaya, akan
tetapi selalu saja ada bintang penolong
yang meno-longnya dengan sembunyi.
Ketika pangeran ini mendengar ten-tang
Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun
datang berkunjung ke Kim-coa-to, bukan
menyamar, sebagai pangeran akan tetapi
secara sederhana. Dan dalam pertemuan
itu, kedua pihak merasa ka-gum. Pangeran
Kian Liong kagum sekali melihat seorang
wanita yang demikian cantik jelita, berdarah
bangsawan bahkan puteri Raja Bhutan,
dengan kecantikan seperti bidadari, juga
memiliki pengertian yang amat
mengagumkan tentang sastra, pandai
menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan
pandai ilmu silat pula! Dan pandanganpandangannya
tentang hidup sede-mikian
matangnya sehingga pangeran ini tertarik
untuk bersahabat. Pangeran Kian Liong
bukanlah seorang pemuda mata keranjang,
dia lebih mengagumi kecantik-an batiniah
daripada kecantikan lahiriah, dan kalau dia
tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena
pribadi wanita itulah, bu-kan kecantikannya
semata-mata. Dan tertariknya pun bukan
tertarik dengan gairah nafsu birahi,
melainkan tertarik untuk bersahabat,
bercakap-cakap, bercengkerama dan
bergurau, kadang-kadang melihat dara itu
menari atau mendengar-kan bernyanyi, dan
membuat sajak bersa-ma-sama atau bicara
tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu
silat. Biarpun dia sendiri hanya mempelajari
ilmu silat dasar saja untuk olahraga
menjaga kesehatan, namun Pangeran Kian
Liong se-nang sekali mendengar
pembicaraan ten-tang ilmu silat dan dia
mengagumi ke-hidupan para pendekar.
Dalam diri Syanti Dewi dia mendapatkan
seorang sahabat yang amat menyenangkan
dan cocok.
Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka
kepada pangeran yang biarpun usianya
lebih muda namun telah memilliki
pandangan tentang filsafat dan hidup,
dengan amat luasnya. Juga pangeran ini
berbeda de-ngan semua pria yang
mendekatinya. Semua pria, tua atau muda,
yang men-dekatinya, selalu memandang
kepadanya dengan mata terpesona dan
penuh kagum akan kecantikannya, dan di
Choirul, maret 2008 385
balik pandang mata itu terdapat nafsu
berahi yang ber-nyala-nyala, akan tetapi
kekaguman yang terpancar keluar dari
pandang mata pa-ngeran ini bersih,
kekaguman yang wajar seperti orang
mengagumi setangkai bunga mawar atau
mengagumi langit di waktu matahari
terbenam. Oleh karena itu, biarpun usia
mereka berselisih se-puluh tahun, keduanya
dapat bersahabat dengan baiknya dan
saling merasa akrab, sama sekali tidak
canggung.
Ketika menerima undangan pesta ulang
tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong
gembira sekali dan dia sudah mengambil
keputusan untuk berangkat dan seperti
biasa dia bermaksud untuk melakukan
perjalanan sendirian saja de-ngan
menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya
yang setia, yaitu komandan Pengawal
Pasukan Garuda, mendengar akan niat
pangeran yang amat dibelanya itu, dia
cepat datang menghadap. Ko-mandan yang
sudah lima puluh tahun lebih ini bernama
Souw Kee An, seorang komandan tua
pasukan pengawal yang terkenal itu, dan
dahulu dia pernah men-jadi pengawal yang
setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum
pangeran itu dinaik-kan pangkat atau
dilempar sebagai gu-bernur di barat. Karena
tahu akan kese-tiaan Souw Kee An, maka
Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan
untuk men-jadi pengawal dari pangeran
mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.
“Harap sekali ini Paduka sudi
men-dengarkan nasihat saya dan tidak
mela-kukan perjalanan tanpa dikawal. Saya
mendengar banyak desas-desus yang tidak
baik dan juga berbahaya bagi keselamat-an
Paduka, Pangeran.” demikian koman-dan
tua itu membujuk.
“Ah, Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun
ini aku seringkali pergi merantau sendirian
dan menyamar sebagai orang biasa
ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak baik
dan sampai sekarang aku ma-sih hidup dan
selamat.” kata Pangeran itu sambil
tersenyum.
Souw Kee An menarik napas panjang dan
menggeleng kepalanya. “Akan tetapi berapa
kali Paduka terancam bahaya maut dan
kalau tidak ada malaikat pe-lindung berupa
orang-orang sakti yang kebetulan melihat
Paduka terancam lalu melindungi, apakah
tidak berbahaya sekali? Dan pula, sekarang
Paduka mene-rima undangan acara resmi,
apa salahnya kalau Paduka juga datang
secara resmi sebagai seorang Pangeran
pula?”
Setelah dibujuk-buruk dan Souw Kee An
menceritakan betapa akan banyaknya hadir
tokoh-tokoh kang-ouw, baik dari golongan
bersih maupun dari kaum sesat di Kim-coato,
dan bahwa menurut de-sas-desus yang
didengarnya ulang tahun itu dipergunakan
pula untuk memilih suami dan akan
dipertandingkan ilmu silat sehingga tentu
akan terjadi keribut-an, akhirnya Pangeran
Kian Liong setuju juga untuk pergi dengan
dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama
dua puluh orang Pasukan Garuda. Souw
Kee An lalu memilih anggauta-anggauta
yang memiliki kepandaian cukup, dan
berangkatlah pangeran setelah mendapat
persetuju-an kaisar, pergi ke Kim-coa-to.
Demikianlah, karena hari telah mulai gelap,
rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa
berhenti di Tung-king.
Souw-ciangkun mengatur penjagaan yang
ketat karena dia maklum bahwa semakin
dekat mereka tiba di tempat tujuan, semakin
gawatlah keadaan dan dia percaya bahwa
pada waktu itu tentu banyak terdapat orangorang
kang-ouw di kota Tung-king itu. Dan
dugaannya itu memang tidak meleset kalau
kita ingat betapa tak jauh dari tempat
bermalam Pangeran, di rumah makan kecil
di sudut kota itu telah terjadi pertemuanperte-
muan antara tiga orang gagah yang
diam-diam melakukan perlindungan pula
terhadap keselamatan Pangeran Kian
Liong. Souw Kee An sendiri pun maklum
akan gerakan diam-diam yang dilakukan
oleh Sam-thaihouw, dan justru karena itulah
Choirul, maret 2008 386
dia membujuk Pangeran agar melakukan
per-jalanan dengan terkawal.
Dan pengawalan Pasukan Garuda yang
ketat itu memang ternyata ada hasilnya.
Buktinya, sampai tiba di Tung-king, belum
pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,
seolah-olah fihak yang mem-punyai niat
buruk terhadap Pangeran merasa jerih
dengan adanya pengawalan pasukan yang
terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata hal itu
hanya sementara saja dan fihak lawan itu
memang ada dan sedang menanti saat
baik! Untuk melihat siapa adanya fihak
lawan itu marilah kita mengikuti mereka
semenjak dari sebuah kamar rahasia di
gedung peristirahatan Sam-thaihouw! Di
dalam kamar rahasia itu, sebelum Sang
Pange-ran berangkat, Sam-thaihouw
mengadakan pertemuan untuk ke sekian
kalinya de-ngan Toa-ok, yaitu tokoh
pertama dari Im-kan Ngo-ok yang telah
menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di
situ hadir pula empat orang wanita cantik
yang bukan lain adalah Su-bi Mo-li yang
me-mang bekerja sebagai pengawal pribadi
Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Subi
Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Imkan
Ngo-ok dan empat orang wanita ini
pernah menculik Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong akan tetapi usaha mereka itu
gagal karena percampuran tangan Ci Sian.
“Maaf, Thaihouw, akan tetapi menga-pa
tidak mengambil jalan yang mudah saja dan
membunuh Pangeran itu?” Dengan
sikapnya yang halus, sopan dan ramah
Toa-ok berkata kepada nenek yang
berpakaian indah itu. Itulah Sam-thai-houw,
seorang nenek yang usianya sudah hampir
tujuh puluh tahun akan tetapi pakaiannya
masih mewah sekali dan mukanya juga
dibedaki tebal, alisnya sudah habis akan
tetapi sebagai gantinya dibuatlah coretan
alis hitam kecil dan panjang melengkung!
Im-kan Ngo-ok ada-lah orang-orang yang
terkenal sebagai datuk kaum sesat dan
tentu saja Sam-thaihouw tidak sudi
berhubungan langsung dengan orang-orang
seperti Ji-ok, Su-ok atau Ngo-ok, maka
yang dapat me-wakili mereka hanyalah
Toa-ok yang sopan dan halus sungguhpun
mukanya mengerikan seperti gorila.
Sebetulnya Sam-ok seoranglah yang
pandai bersikap menghadapi orang besar,
akan tetapi karena Sam-ok adalah seorang
bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh,
maka tidak leluasalah bagi Sam-ok untuk
ber-gerak di tempat terbuka, apalagi di kota
raja. Oleh karena itu, setiap kali Samthaihouw
hendak mengadakan perundingan
dengan para pembantunya yang istimewa
ini, yang telah banyak sekali menerima
emas dan permata darinya, selalu Toa-ok
yang mewakili, di samping empat orang Subi
Mo-li yang memang sudah biasa berada
di dalam gedung Ibu Suri ini.
“Aih, Lo-enghiong!” Ibu Suri itu selalu
menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah)
kepada Toa-ok, seolah-olah kakek itu
adalah seorang pendekar yang sedang
membantu “perjuangannya”. “Enak saja kau
bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa
Pangeran Kian Liong? Kalau engkau
melakukan hal itu, tentu engkau akan
dimusuhi oleh para pendekar sedu-nia,
kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar
tentu akan marah kepadaku. Ti-dak, bukan
pembunuhan yang kumaksud-kan!”
“Akan tetapi Paduka tadi mengusulkan agar
kami menghancurkan Pangeran....“
“Menghancurkan namanya, kedudukan-nya,
pengaruhnya, bukan orangnya! Sekali
namanya rusak, setelah rakyat melihat
bahwa dia adalah seorang pangeran yang
melakukan hal-hal buruk, nah, namanya
tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan
akan lebih mudah untuk memindahkan
kedudukan pangeran mahkota kepada yang
lain. Mengertikah engkau akan
mak-sudku?”
Bukan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok
namanya kalau rencana keji se-kecil itu saja
tidak dimengerti. Dia mengangguk-angguk.
“Harap Paduka te-nangkan hati. Pekerjaan
itu amat mudah dan sudah pasti kami dapat
melakukannya dengan baik. Paduka tunggu
Choirul, maret 2008 387
saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to,
Pangeran Kian Liong telah berubah dari
seorang pangeran yang disanjung dan
di-puji menjadi pangeran yang dikutuk dan
dicela, baik oleh rakyat maupun para
pejabat.”
“Bagus, hadiahmu akan besar sekali, Toaok!”
kata nenek itu, saking girangnya lupa
menyebut Lo-enghiong, akan tetapi hal ini
malah menggirangkan Toa-ok yang
sesungguhnya tidak suka disebut
enghiong--enghiongan segala.
“Harap Paduka tidak melupakan apa yang
mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu
Paduka dengan taruhan nyawa.” Dia
memperingatkan dengan suara halus.
“Ah-he-he-he, tentu saja kami tidak lupa,
Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan
Kaisar berada dalam kekuasaan kami,
sudah tentu kami akan mengajukan usul
agar kalian berlima diangkat men-jadi
orang-orang yang berkedudukan ting-gi di
kota raja!”
Toa-ok merasa puas dengan janji ini, maka
dia pun lalu mohon diri dan pergi
meninggalkan kamar rahasia itu bersama
dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi
Mo-li yang akan membantunya
melak-sanakan rencana yang akan diatur
oleh Im-kan Ngo-ok sendiri. Karena Samthai-
houw melarang mereka menggunakan
tangan maut membunuh pangeran, maka
harus diambil tindakan yang cerdik untuk
menghancurkan nama baik pangeran itu
dan dengan kerja sama Im-kan Ngo-ok
dengan empat orang murid mereka yang
lihai dan cerdik, dibantu pula oleh anak
buah mereka, Toa-ok merasa yakin bah-wa
rencana itu sudah pasti akan berhasil.
***
Pangeran Kian Liong sama sekali tidak
pernah mengira bahwa perjalanannya
menuju ke Kim-coa-to itu sebetulnya selalu
dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak
para pendekar yang diam-diam melindungi
maupun pihak lawan yang mencari
kesempatan untuk menye-retnya ke dalam
lumpur.
Oleh karena itu, dengan wajah berseri
gembira pada hari berikutnya, Pangeran
Kian Liong meninggalkan rumah gedung
pembesar Tung-king, diantar oleh
pembe-sar itu sampai keluar pintu gerbang,
me-nunggang kereta dan dikawal oleh
Souw Kee An dan dua puluh orang
pengawalnya. Karena Pangeran Kian Liong
paling tidak suka disanjung-sanjung dan
disam-but oleh rakyat di sepanjang
perjalanan sebagai seorang pangeran yang
harus dihormati, maka dia pun lalu menutup
pintu dan tirai kereta dan duduk sambil
bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau
dia melakukan perjalanan dengan
menyamar sebagai orang biasa, dia dapat
menikmati pemandangan alam dan
per-gaulan dengan rakyat tanpa ada yang
menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat
palsu. Begitu dia mengenakan pakaian
pangeran, maka pangeran muda ini segera
merasakan betepa kehidupan menja-di
berbeda sama sekali. Segala di
sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh
kepalsuan, membuatnya merasa muak.
Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan
tiada seorang pun tahu bahwa dia
pange-ran mahkota, maka semua orang
bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum
ya senyum setulusnya, kalau tidak senang
ya tidak disembunyi-sembunyikan. Be-gitu
dia menjadi pangeran, semua wajah
baginya seolah-olah menjadi semacam
kedok atau boneka. Setelah kereta itu
meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak
orang dan melalui lembah yang sunyi,
barulah pangeran itu membuka jendela dan
tirai kereta dan menikmati keindahan alam
di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir
memperlambat jalan-nya kereta agar dia
dapat menikmati pe-mandangan lebih baik
lagi.
Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan
dekat pantai, di lembah muara sungai Huai.
Sebuah hutan yang sunyi dan tenang. “Aih,
sejuk sekali di sini!” kata pangeran itu lalu
Choirul, maret 2008 388
membuka semua jendela kereta agar dia
dapat lebih banyak menikmati hawa yang
sejuk dengan bau daun-daun segar dan
rumput hijau setelah tadi mereka melalui
dataran terbuka yang panas. Matahari telah
naik tinggi dan matahari berada di atas
ke-pala, akan tetapi karena daun-daun
pohon di hutan itu rimbun sekali, seolaholah
menjadi payung-payung hijau raksasa
yang melindungi pangeran dari sengatan
terik matahari siang itu.
Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang
berada di depan kiri meringkik, meronta lalu
kuda itu roboh. Semua pengawal sibuk dan
terkejut melihat kuda itu roboh karena
dadanya tertancap anak pa-nah secara
dalam sekali, mungkin me-nembus
jantungnya.
“Kepung kereta!”
“Lindungi Pangeran!” teriak Souw Kee An
dan dia cepat mengatur pasukannya untuk
mengepung dan menjaga kereta.
Pangeran itu duduk tenang-tenang saja
tanpa menutupkan jendela-jendela
kereta-nya, menoleh ke kanan kiri untuk
me-lihat siapa orangnya yang telah
memanah mati seekor di antara empat ekor
kuda yang menarik keretanya.
Gerakan mereka itu seperti bayang-bayang
setan saja, tidak banyak menim-bulkan
suara, tanda bahwa mereka itu rata-rata
memiliki gin-kang yang cukup tinggi.
Mereka itu terdiri dari dua puluh-an orang,
semua memakai pakaian serba hitam dan
kedua mata serta sebagian atas hidung
mereka tertutup kedok hitam pula,
menyembunyikan bentuk wajah aseli
mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun da-pat
menduga bahwa beberapa orang di antara
mereka adalah wanita-wanita. Dan seorang
di antara mereka, dengan suara wanita
melengking tinggi, membentak, “Tinggalkan
kereta dan barang-barang kalau kalian ingin
selamat!”
Ini adalah bentakan biasa yang umumnya
dipergunakan oleh para peram-pokperampok.
Orang-orang berkedok ini
ternyata adalah perampok-perampok, atau
mungkin juga orang-orang yang menya-mar
pikir Souw Kee An yang cerdik dan sudah
berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati
sekali.
“Sobat, bukalah matamu baik-baik!”
teriaknya nyaring. “Kami adalah Pa-sukan
Pengawal Garuda yang sedang
mengiringkan Yang Mulia Pangeran
Mah-kota! Harap kalian menyingkir dan
jangan mengganggu kami yang sedang
bertugas!” Teriakan ini diucapkan Souwciangkun
bukan karena dia takut
menghadapi me-reka, hanya dia tidak ingin
terlibat da-lam pertempuran selagi
pengawal dan menjaga keselamatan
pangeran.
Akan tetapi wanita berkedok itu ber-seru
nyaring, Pangeran atau Raja atau siapa
saja harus membayar pajak jalan kalau
lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap
pangeran itu untuk minta uang tebusan!”
Melihat lagak para perampok yang dipimpin
oleh wanita itu dan mendengar betapa
mereka hendak menangkap se-orang
pangeran mahkota untuk minta uang
tebusan, tiba-tiba pangeran itu tidak dapat
menahan ketawanya. Keadaan itu
dianggapnya amat lucunya.
“Ha-ha-ha-ha! Kalian bukan saja me-nyaingi
pemerintah memungut pajak ja-lan, bahkan
akan menawan pangeran untuk dijadikan
sandera guna memeras uang tebusan. Haha-
ha, bukan main!”
Semua perampok berkedok itu sejenak
tertegun menyaksikan sikap pangeran itu.
Seorang pangeran muda yang berwajah
tampan dan memiliki sepasang mata yang
amat tajam penuh wibawa, dengan suara
ketawa wajar dan ramah, bukan dibuatbuat,
dengan sikap yang benar-benar
mencengangkan karena mereka menduga
bahwa tentu pangeran itu ke-takutan!
Choirul, maret 2008 389
Ternyata pangeran itu sama sekali tidak
takut bahkan tertawa geli.
“Serbu....!” Wanita berkedok itu ber-teriak
nyaring memecahkan keheranan para
anggauta perampok dan mereka pun
menerjang ke depan, disambut oleh
pa-sukan pengawal yang sudah turun dari
masing-masing kudanya dan menjaga di
sekeliling kereta itu. Para pengawal ini
merupakan pasukan pilihan, masingma-
sing memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi, maka dengan gagah mereka
menyam-but serbuan para perampok itu,
dengan keyakinan bahwa dalam waktu
singkat saja mereka akan mampu
membasmi para perampok itu. Akan tetapi
alangkah ka-get hati mereka ketika mereka
mendapat kenyataan bahwa para perampok
itu ter-nyata bukanlah perampok-perampok
biasa karena rata-rata mereka memiliki ilmu
silat yang tangguh dan mampu menan-dingi
mereka!
Souw Kee An juga terkejut bukan main
ketika dia menandingi wanita ber-kedok
yang memimpin gerombolan itu. Wanita itu
mempergunakan pedangnya se-cara hebat
sekali, sama sekali tidak pan-tas menjadi
perampok kasar biasa! Me-mang Souw Kee
An sudah curiga dan menduga bahwa
perampok-perampok yang tidak gentar
mendengar nama Pasukan Pengawal
Garuda dan berani merampok bahkan
hendak menculik pangeran mahko-ta
tentulah bukan perampok biasa, me-lainkan
orang-orang yang menyamar sebagai
perampok biasa! Maka dia pun memutar
pedangnya dan melawan wanita berkedok
itu. Akan tetapi hatinya mulai gelisah
melihat betapa di antara para perampok itu
terdapat wanita-wanita yang amat lihai dan
anak buahnya mulai terdesak hebat,
bahkan ada pula yang sudah terluka. Dia
tidak mengkhawatir-kan dirinya sendiri,
melainkan mengkha-watirkan keselamatan
pangeran mahkota, maka dia pun cepat
meninggalkan lawan untuk meloncat ke
dekat kereta, guna melindungi pangeran
sampai titik darah terakhir kalau perlu.
“Pangeran, harap sembunyi di dalam
kereta, tutup pintu dan jendelanya!” te-riak
Souw Kee An sambil memutar pe-dang
melindungi. Akan tetapi pangeran itu hanya
tersenyum dan menonton me-reka yang
sedang berkelahi, seolah-olah semua
pertempuran itu baginya hanya merupakan
perang-perangan saja! Hal ini bukan sekalikali
menjadi tanda bahwa pangeran itu tolol
atau ceroboh, sama sekali bukan,
melainkan karena dia tahu bahwa
bersembunyi di dalam kereta pun tiada
gunanya. Kalau memang semestinya dia
menghadapi bahaya, atau tewas se-kalipun,
biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu
dengan mata terbuka! Dan pangeran ini pun
tahu bahwa tidak ada orang yang akan
membunuhnya. Tidak ada alasannya untuk
hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin
menawannya, dan mungkin perampokperampok
gila itu benar-benar hendak
menggunakannya se-bagai sandera untuk
minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh,
juga menarik me-negangkan hatinya!
Akan tetapi kini dua di antara para wanita
tangguh itu telah berada dekat kereta dan
mendesak Souw Kee An dan dua orang
anak buahnya yang menjaga kereta.
Keadaan menjadl kritis dan ber-bahaya
sekali! Tiba-tiba, setelah menang-kis
pedang Souw Kee An dan membuat
komandan itu terhuyung, seorang di antara
wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas
kereta dan tangan kirinya bergerak
menyambar hendak menangkap Pangeran
Kian Liong.
“Wuuut, plakkk....!” Tiba-tiba di atas kereta
itu nampak seorang pria tinggi besar
bermata satu yang melayang turun dari
pohon dan menangkis tangan wanita itu.
Wanita itu terkejut, akan tetapi pria tinggi
besar itu sudah menyerangnya dengan
sebatang golok tipis. Terpaksa wanita itu
menangkis dan terjadilah pertandingan
yang amat seru di atas kereta. Pangeran
Kian Llong dengan mata terbe-lalak dan
wajah berseri menjulurkan ke-palanya dari
jendela untuk dapat menyaksikan
pertandingan baru di atas ke-retanya itu.
Choirul, maret 2008 390
Kereta itu bergerak-gerak. Sungguh luar
biasa sekali. pangeran ini. Nyalinya amat
besar dan dia sedikit pun tidak merasa
takut, bahkan dalam keada-an yang
demikian mengancam dia masih mampu
untuk tersenyum gembira seperti seorang
anak kecil melihat tontonan yang menarik!
Pertempuran di bawah kereta juga
mengalami perobahan dengan munculnya
dua orang laki-laki yang bukan lain ada-lah
tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak
beradik Ciong Tek dan Ciong Lun yang
mengamuk, membantu pasukan pe-ngawal
tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun.
Mereka berdua menggunakan senjata toya
(tongkat) dan memainkan ilmu toya dari
Siauw-lim-pai yang me-mang terkenal
tangguh itu. Keadaan pertempuran menjadi
berubah dan para anak buah pasukan
pengawal memperoleh semangat mereka
kembali, mereka me-ngamuk dan kini
mendesak para peram-pok. Sedangkan
pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang
Liong Bouw dan wanita berkedok di atas
kereta pun berlangsung dengan amat
serunya. Ternyata wanita itu memang
tangguh sekali sehingga dia dapat
mengimbangi permainan golok dari kakek
mata satu itu. Hanya dorongan-dorongan
tangan kiri kakek itulah yang membuat
wanita berkedok itu kewalahan, karena
memang dari dorongan itu me-nyambar
hawa pukulan yang amat kuat dan itulah
sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi
julukan Tangan Sakti. Kini ada beberapa
orang perampok yang roboh terluka dan
semangat para pengawal menjadi semakin
besar dengan adanya bantuan tiga orang
gagah yang tidak mereka kenal itu.
Selagi keadaan amat tidak mengun-tungkan
untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul
seorang anggauta perampok lain yang juga
berpakaian hitam dan memakai topeng.
Perampok ini bertubuh tinggi besar seperti
raksasa. Begitu pe-rampok ini muncul,
sekali meloncat dia sudah tiba di tengahtengah
pertempuran itu dan begitu kaki
tangannya bergerak, ada tiga orang
pengawal yang tepelan-ting. Hebat bukan
main kepandaian kakek raksasa ini! Semua
pengawal mencoba untuk mengeroyoknya,
akan tetapi siapa yang berani datang dekat
tentu akan terlempar lagi, hanya oleh
tamparan tangan atau tendangan kaki
sembarangan saja! Melihat betapa
hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong
Lun lalu meloncat dan menyerang kakek itu
dari kanan kiri, menggunakan toya mereka
yang dimain-kan dengan dahsyatnya.
Namun, melihat gerakan toya ini, kakek
raksasa itu mengeluarkan suara
mendengus dari hidungnya, seolah-olah
memandang rendah, lalu kedua tangannya
berusaha menang-kap toya. Ketika dua
saudara itu mena-rik toya agar tidak
terampas, kakek itu menampar ke kanan
kiri, gerakannya biasa saja akan tetapi dari
tamparannya ini datang angin keras yang
hebat. Dua orang saudara Ciong terkejut
dan me-nangkis dengan hantaman toya
sekuatnya. Dua batang toya bertemu
dengan dua buah lengan.
“Dukk! Dukk!” Akibatnya, kedua orang
saudara Ciong itu terpelanting dan roboh
bergulingan seperti daun kering tertiup
angin!
Kini kakek itu melayang ke atas ke-reta dan
dengan sebuah tendangan saja, Tok-goan
Sin-ciang Liong Bouw yang se-dang
bertanding dengan serunya melawan
perampok wanita, telah terlempar dari atas
kereta karena ketika dia menangkis dengan
lengan kiri, tendangan itu memiliki tenaga
yang membuat dia terlempar! Wanita itu
sudah mengejar dan meloncat sambil
membacokkan pedangnya.
“Cringgg!” Untung bagi Liong Bouw bahwa
ketika dia terjatuh tadi, dia ber-jungkir balik
dan tidak terbanting jatuh telentang
menggunakan pinggulnya menyentuh tanah
terus bergulingan sehingga ketika wanita itu
menyerangnya, dia mampu menggerakkan
golok menangkis lalu melompat berdiri dan
kembali dia menghadapi serangan wanita
itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak
musuh muncul orang tinggi besar itu tidak
turun lagi dari atas kereta. Mengapa?
Choirul, maret 2008 391
Karena tiba-tiba terdengar suara ketawa
dan dari belakang kereta itu nampak
seorang jembel mendaki sambil tertawatawa
me-mandang kepada Si Tinggi Besar
yang menjadi terkejut karena suara ketawa
itu mengandung tenaga khi-kang yang
meng-getarkan jantungnya! Tahulah dia
bahwa jembel yang mukanya brewokan dan
ram-butnya awut-awutan ini memiliki
kepan-daian hebat dan tentu hendak
membela pangeran maka dia pun tidak
membuang banyak waktu lagi, cepat dia
mengirim hantaman dengan tangan kanan
disusul tangan kiri. Terdengar suara angin
ber-cuitan saking hebatnya pukulan kedua
tangan itu.
“Heh-heh-heh, hebat juga engkau!” kata Si
Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia
tertawa saja dan kedua tangannya lalu
menangkis sambil menge-rahkan tenaga.
Agaknya Si Jembel ini memang hendak
mengukur tenaga orang.
“Dess! Desss!”
Akibat dari adu tangan melalui kedua
lengan mereka itu membuat keduanya
terkejut karena Si Jembel itu terhuyung dan
nyaris terlempar dari atas kereta,
sedangkan Si Perampok tinggi besar itu pun
terjengkang dan hampir jatuh! Ke-reta itu
berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk
menenangkan tiga ekor kuda yang sudah
menjadi panik sejak tadi itu. Akhirnya, kusir
itu meloncat turun, dan cepat melepaskan
tali yang menghubungkan tiga ekor kuda itu
dengan kere-ta, dan tiga ekor kuda itu
meringkik-ringkik, menyepak-nyepak karena
mereka dibebani seekor kuda yang sudah
mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas
sekarang dan berdiri bergoyang-goyang
karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si
Tinggi besar sudah bertanding lagi dengan
hebatnya!
Si Jembel itu tentu saja bukan lain adalah Si
Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi
besar itu tentu saja amat lihai karena dia itu
adalah Sam-ok alias Ban Hwa Sengjin,
bekas koksu dari Ne-pal, orang ke tiga dari
Im-kan Ngo-ok yang amat lihai! Seperti kita
ketahui, setelah memperoleh keterangan
tentang Syanti Dewi dari pelukis Pouw
Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan
perjalanan siang malam menuju ke Kimcoa-
to dan pada hari itu kebetulan sekali dia
tiba di tempat itu, melihat betapa pangeran
mahkota terancam perampok-perampok.
Tadi, selama para pengawal masih
me-nang angin, apalagi ketika dibantu oleh
tiga orang kang-ouw yang perkasa itu, dia
pun hanya nonton saja dari jauh. Akan
tetapi ketika muncul perampok tinggi besar
yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun
tidak tinggal diam dan cepat dia melindungi
pangeran dan naik ke atas kereta untuk
menghadapi peram-pok tinggi besar yang
dia tahu tidak dapat ditandingi oleh mereka
yang me-lindungi pangeran.
Pertandingan antara Si Jari Maut melawan
Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus
diakui bahwa kakek itu me-mang masih
lebih lihai dibandingkan de-ngan Si Jari
Maut. Ban Hwa Sengjin adalah seorang
datuk kaum sesat yang memiliki ilmu
kepandaian amat hebatnya. Pendeta yang
nama aselinya, yaitu nama Nepal adalah
Pendeta Lakshapadma ini, selain memiliki
banyak ragam ilmu silat yang pernah
dipelajarinya, juga memiliki sin-kang yang
sukar ditandingi saking kuatnya dan dia pun
memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i
(Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini
dimainkan dengan berpusing, yaitu
tubuhnya berputaran seperti gasing amat
cepatnya sehingga sukarlah bagi lawan
untuk mengarahkan serangan mencari
sasaran, sedangkan dari tubuh yang
berpusing itu kadang-kadang mencuat
keluar serangan yang tak terduga-duga dari
orang tinggi besar seperti raksasa itu.
Karena Sam-ok memakai kedok dan
bercampur dengan para perampok, juga
karena tidak berani mengeluarkan ilmunya
Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia
kang-ouw karena dia takut kalau ketahuan
rahasianya sebagai pimpinan yang
menyerang pangeran mahkota, maka Tek
Hoat tidak mengenalnya. Sebaliknya, SamChoirul,
maret 2008 392
ok tadinya juga tidak mengenal jembel itu,
akan tetapi setelah bertanding belasan jurus
dan mengadu tenaga, mulailah dia
mengenal Si Jari Maut. Dia merasa
mendongkol sekali terhadap orang muda
ini. Namanya disejajarkan dengan tokohtokoh
kaum sesat, bahkan dijuluki Si Jari
Maut yang terkenal kejam dan ganas, akan
tetapi sudah beberapa kali sepak terjangnya
malah membantu pemerintah, membantu
para pendekar dan me-nentang kaum yang
dinamakan golongan hltam. Kini, tanpa
disangka-sangka, orang ini muncul kembali
dan tanpa alasan apa pun juga
menentangnya! Tak mungkin kalau Si Jari
Maut ini sekarang menjadi pelindung
pangeran, apalagi kalau dilihat betapa
hidupnya sudah rusak, menjadi jembel yang
sama sekali tidak mengurus diri dan jelas
nampak sengsara dan ter-lantar itu!
Maka Sam-ok mendongkol bukan main dan
menyerang dengan hebat. Akan teta-pi
semua serangannya dapat ditangkis dan
ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok
tidak berani mengeluarkan Thian-te Hong-i,
dia pun tidak mampu mende-sak Si Jari
Maut ini.
Kembali kedua tengan mereka bertemu,
saling dorong dan keduanya menggu-nakan
kekuatan pada kedua kaki mereka.
“Krekekkk....!” Tiba-tiba atap kereta yang
mereka injak itu retak-retak dan pecah,
akan tetapi keduanya, dengan ce-pat sudah
meloncat turun sehingga tidak sampai
kejeblos, karena kalau hal ini terjadi, tentu
amat berbahaya bagi me-reka selagi
menghadapi, lawan yang se-lihai itu.
Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka
ketika atap kereta pecah itu. Akan tetapi
untungnya komandan pengawal Souw Kee
An sudah cepat menyambar tubuhnya turun
dari kereta. Kiranya, ketika terjadi
pertempuran an-tara Sam-ok melawan Si
Jari Maut, per-tempuran di bawah kereta
banyak yang terhenti dan mereka yang tadi
bertempur kini menonton pertandingan yang
amat dahsyat itu.
Sam-ok bukan orang bodoh. Kalau
dilanjutkan pertempuran itu dan menjadi
pusat perhatian, akhirnya orang akan
mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari
Maut itu tanpa mempergunakan Thian-te
Hong-i, sungguh bukan hal ringan,
sedangkan para pembantunya sudah
kewalahan menghadapi pasukan pengawal
yang dibantu oleh tiga orang pendekar itu.
Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi
teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi
anak buahnya dan mereka semuanya lalu
melarikan diri sambil membawa temanteman
yang terluka atau tewas dalam
pertempuran itu. Para pengawal melakukan
pengejaran, akan tetapi Souw Kee An yang
tidak berani meninggalkan pangeran segera
mengeluarkan aba-aba memanggil mereka
kembali. Setelah se-mua orang berkumpul,
dan dicari-cari ternyata tiga orang pendekar
yang tadi membantu mereka kiranya tidak
nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga
orang pendekar itu tentu melakukan
pengejaran, akan tetapi sesungguhnya
mereka sudah cepat menyingkirkan diri
karena memang mereka tidak ingin
memperkenalkan diri dan hanya melindungi
pangeran secara sembunyi saja. Hanya
jembel yang tadi bertanding dengan
hebatnya melawan perampok tinggi besar
yang lihai itu, masih berada di situ, diam
saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An
me-ngumpulkan orang-orangnya dan
ternyata ada dua orang yang terluka berat
se-dangkan selebihnya hanya terluka ringan
saja.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong sudah
menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran
ini memandang penuh perhatian dan dia
melihat bahwa jembel ini sebetulnya
memiliki wajah yang gagah dan tampan,
hanya muka itu tertutup cambang brewok
yang tak terpelihara, juga rambutnya yang
panjang awut-awutan itu menutupi sebagian
mukanya. Tubuh jem-bel itu juga nampak
tegap dan memba-yangkan tenaga hebat
yang tersembunyi. Tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang pendekar
yang hidup mengasing-kan diri dan
bersembunyi sebagai seorang jembel yang
Choirul, maret 2008 393
sengsara. Akan tetapi diam-diam pangeran
ini merasa heran mengapa orang yang
begini gagah perkasa mem-biarkan dirinya
begitu menderita dan terlantar.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap.
Bolehkah kami mengenalmu dan
mengetahui namamu yang terhormat?”
Pangeran itu sudah menegur dengan sikap
ramah dan halus.
Tek Hoat mengangkat mukanya
me-mandang dan sejenak mereka saling
pan-dang, keduanya terkejut karena kalau
pangeran itu menatap sepasang mata yang
mencorong penuh kekuatan, sebalik-nya
Tek Hoat melihat sepasang mata yang
bersinar lembut namun mengandung
wibawa yang membuat setiap orang akan
tunduk hatinya. Maka dia pun cepat
menjura dengan hormat.
“Paduka adalah seorang pangeran yang
terhormat dan mengagumkan, sedangkan
saya hanyalah seorang jembel hina yang
tidak pantas dikenal oleh Paduka. Se-lamat
tinggal dan maafkan saya!” Setelah berkata
demikian, kembali dia mengang-kat kedua
tangan memberi hormat lalu berkelebatlah
dia dan lenyap dari tempat itu!
Souw Kee An yang menyaksikan se-mua
ini, cepat mendekati pangeran dan berkata
lirih, “Pangeran, sungguh Thian telah selalu
melindungi Paduka. Orang yang seperti
pengemis tadi tentulah se-orang di antara
pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya
hebat bukan main.”
Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu
menggumam, “Aku kasihan kepadanya....”
Souw Kee An merasa heran, akan tetapi dia
tidak berani banyak bertanya karena
pangeran itu seperti bicara pada diri sendiri,
maka dia melanjutkan keterangannya, Dan
perampok-perampok itu jelas bukan
perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng
itu amat lihai, apalagi perampok yang
bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu,
dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah
bahwa Thian masih selalu melindungi
Paduka.”
Akan tetapi pangeran itu tidak ke-lihatan
seperti orang yang baru saja ter-lepas dari
bahaya maut, tidak menjadi lega dan
bersyukur seperti komandan pasukan
pengawalnya. Dia hanya berkata dengan
nada suara gembira, “Ah penga-laman yang
mengasyikan sekali tadi itu!”
Kuda yang mati terpanah itu diganti kuda
lain dan biarpun atas kereta itu sudah
rusak, namun kereta itu masih dapat
berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat
tengahari mereka tiba di pantal laut.
Ternyata tempat itu, pantai laut dekat muara
Sungai Huai, sudah ramai dengan orangorang
yang hendak menyeberang ke Kimcoa-
to. Dan di situ telah tersedia sebuah
perahu besar yang indah, perahu milik
majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja
dikirim ke situ un-tuk menyambut pangeran!
Ouw Yan Hui, majikan Pulau Kim-coa-to,
adalah seorang wanita yang amat kayaraya.
Di pulau itu sendiri, terutama di dalam
gedung yang seperti istana dan amat besar
itu, tidak ada seorang pun laki-laki. Semua
pelayannya adalah wani-ta belaka, wanitawanita
muda yang cantik-cantik. Akan tetapi
hal ini bukan berarti bahwa dia tidak
mempunyai pem-bantu-pembantu pria.
Mereka itu ada banyak, akan tetapi mereka
adalah yang bekerja di bagian luar, yang
mengurus perahu, berjaga di tepi pulau dan
se-bagainya. Tanpa seijin Ouw Yan Hui,
tidak boleh mereka itu memasuki gedung,
kecuali para penjaga kalau memang ada
keperluan penting.
Perahu besar yang dikirim untuk
men-jemput pangeran itu lengkap dengan
anak buahnya, sebuah perahu yang indah
dan kokoh kuat. Para anak buahnya
berbaris dengan rapi dan pemimpin mereka
me-nyambut Sang Pangeran dengan
hormat dan mempersilakan Sang Pangeran
untuk segera menaiki perahu.
Choirul, maret 2008 394
Akan tetapi, tidak semua pengawal dapat
naik ke perahu itu, karena jumlah mereka
terlalu banyak. Maka, hanya pangeran
bersama Souw Kee An dan dua orang
pembantunya yang dapat naik ke perahu
itu, sedangkan delapan belas orang
pengawal lain termasuk yang terluka,
terpaksa mengikuti perahu itu de-ngan
perahu lain. Kehadiran Sang Pange-ran di
situ menjadi tontonan. Mereka yang hendak
pergi ke Kim-coa-to juga menonton dan
diam-diam di antara me-reka itu yang
mempunyai niat memper-sunting Sang
Puteri di Kim-coa-to men-jadi kecil hatinya
melihat kehadiran pangeran mahkota. Mana
mungkin mereka bersaing melawan
pangeran mahkota dari kerajaan?
Perbandingan yang tidak adil sama sekali!
Setelah perahu besar indah itu ber-gerak
dan mulai berlayar, maka perahu-perahu
lain juga mulai meninggalkan pantai dan
beberapa buah perahu di an-tara mereka
sengaja berlayar dekat-dekat dengan
perahu besar itu, agaknya untuk
“membonceng” kebesaran Sang Pangeran.
Ada pula beberapa buah perahu layar kecil,
yaitu perahu-perahu nelayan biasa yang
berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan
keramaian pesta yang diadakan di Pulau
Kim-coa-to. Setelah perahu ber-layar, hati
Komandan Souw Kee An me-rasa lega
sekali. Setidaknya, pangeran yang
dikawalnya sudah aman sekarang sampai
tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah
tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau
yang bertanggung jawab kalau terjadi
sesuatu dan mengingat akan kelihaian
pemilik pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu,
dan betapa ten-tu akan banyak berkumpul
orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada
yang be-rani mengganggu pangeran di
pulau itu. Kini Souw Kee An dapat duduk
dengan hati lega, melihat betapa pangeran
itu memandang ke arah air laut yang
berge-lombang dan berkilauan tertimpa
sinar matahari yang sudah agar miring ke
barat.
Dia melihat ada dua buah perahu nelayan
terlalu mendekati perahu besar akan tetapi
tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan.
Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di
dalam perahu dan perahu besar itu mulai
oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar
perahu yang tiba-tiba saja bocor!
“Ada orang melubangi dasar perahu!”
terdengar para anak buah perahu berteriakteriak
dan sibuklah mereka. Pe-rahu itu
terguncang dan oleng, dan pada saat itu,
dari perahu-perahu nelayan tadi
berloncatanlah orang-orang dengan
pakai-an ringkas, dengan muka bertopeng
lagi, ke atas perahu besar! Tentu saja Souw
Kee An cepat menyambut dan dengan
sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan
seorang di antara mereka kembali ke
bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi
anak buah perahu besar itu bukanlah lawan
orang-orang yang berloncatan ke atas
perahu.
“Hai, apa yang kaulakukan ini? Lepas-kan
aku!” terdengar Sang Pangeran
mem-bentak. Souw Kee Ang menoleh dan
ter-kejut melihat Sang Pangeran sudah
di-ringkus oleh seorang bertopeng. Dia
me-loncat untuk menolong, akan tetapi
pera-hunya miring tiba-tiba dan dia pun
terguling, untung ke dalam perahu, tidak
keluar! Dan pada saat itu, pangeran su-dah
dibawa loncat oleh penangkapnya ke atas
perahu nelayan kecil itu. Lalu ter-dengar
suitan-suitan dan semua orang bertopeng
berloncatan ke atas dua pe-rahu nelayan
kecil itu yang segera di dayung pergi dan
terbawa oleh layar mereka yang
berkembang.
“Kejar....!” Souw Kee An meloncat ke arah
perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya
yang tadi hanya menonton de-ngan
bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Loncatan yang dilakukan oleh Souw Kee An
tadi adalah loncatan yang jauh dan
berbahaya karena kurang semeter saja dia
tentu akan terjatuh ke air yang
bergelombang. Juga anak buah perahu
besar sudah cepat dapat menggunakan alat
Choirul, maret 2008 395
untuk membuang semua air yang masuk ke
dalam perahu dan menambal dasar perahu
yang bocor, dan ternyata- dibor dari bawah
perahu itu.
Akan tetapi pada saat itu, para pen-jahat
yang menculik pangeran itu mele-paskan
anak panah berapi ke arah perahu yang
ditumpangi para pengawal yang mengejar
dua perahu nelayan, juga layar dari perahu
besar menjadi sasaran. Da-lam beberapa
menit saja layar-layar itu terbakar dan
perahunya tentu saja tidak dapat maju
cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung
pada saat air berombak besar seperti itu.
Souw Kee An memban-ting-banting kakinya
melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu
dengan cepatnya berlayar kembali ke
daratan, membawa pangeran yang
dikawalnya.
“Celaka, hayo kembali ke darat!” bentaknya
berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu
mendayung. Peristiwa ini menggegerkan
keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain
menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan
perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang
ikut kembali ke darat!
Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat
berlayar amat cepatnya, sedangkan perahuperahu
lainnya hanya maju per-lahan-lahan.
Ada dua perahu layar lain yang mencoba
mengejar, akan tetapi me-reka inl pun
dilumpuhkan oleh anak pa-nah berapi yang
mambakar layar mereka.
Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang
wajahnya menjadi pucat itu hanya
menemukan dua perahu nelayan tadi
se-dangkan semua penjahat itu lenyap,
membawa pangeran bersama mereka.
Dapat dibayangkan betapa bingung hati
Souw Kee An. Dia cepat mengatur
pasu-kannya untuk mencari-cari Sang
Pange-ran, bahkan dia lalu mengutus
seorang anak buah untuk minta bantuan
pasukan dari kepala daerah di Tung-king
untuk membantu mencari pangeran yang
tercu-lik orang. Betapapun dia hendak
meraha-siakan lenyapnya pangeran yang
terculik ini, namun karena peristiwa itu
disaksi-kan oleh banyak orang luar,
sebentar saja berita itu tersiar ke manamana
dan tentu saja sekeliling daerah
Tung-ting menjadi gempar.
***
Biarpun dia tidak ditotok dan tidak
dibelenggu, dan dilarikan naik kuda,
Pa-ngeran Kian Liong tak pernah berteriak
minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak
pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan
dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia
kagum sekali melihat keringanan tubuh
orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun
amat kagum melihat betapa orang-orang
berkedok itu mem-bakar layar-layar dari
perahu yang me-ngejar.
“Kalian sungguh cerdik!” dia malah memuji
dan diam-diam dia mencatat ini sebagai
akal yang baik sekali dipergunakan dalam
perang lautan, sungguhpun anak panah
berapi itu tentu saja belum dapat disamakan
dengan meriam-meriam kapal-kapal asing
dari dunia barat. Dia tertarik sekali
menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak
pernah membantah ketika dia dibawa
mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan
dengan naik ku-da. Dia bahkan tidak mau
dibonceng.
“Biarkan aku menunggang kuda sen-diri!”
katanya dan para penculik itu pun tidak
membantahnya, memberinya seekor kuda
dan pangeran itu meloncat ke atas
punggung kuda dan segera ikut
memba-lapkan kuda dengan hati gembira.
Dia benar-benar mengalami peristiwa yang
menegangkan hatinya, karena belum
per-nah dia merasakan diculik orang! Dan
dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan
dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin
dibunuh. Penjahat-penjahat ini tidak akan
membunuhnya, karena kalau itu tujuan
mereka, tidak mungkin diculik dengan
segala susah payah itu. Alangkah akan
mudahnya membunuh dia di perahu tadi!
Kalau para penjahat itu dengan segala jerih
payah menculiknya, hal itu berarti bahwa
Choirul, maret 2008 396
mereka membutuhkan dia hidup-hidup!
Inilah yang membuat dia bersikap tenangtenang
saja, bahkan ikut membalapkan
kuda seolah-olah membantu atau
memperlancar usaha mereka
mem-bawanya lari.
Yang melarikan pangeran itu adalah lima
orang laki-lakl yang kini berani membuka
kedok mereka, bahkan mereka semua
berganti pakaian, tidak berpakaian hitam
lagi melainkan berpakaian sebagai orangorang
biasa. Mereka berwajah biasa saja,
dan Pangeran Kian Liong tidak me-ngenal
mereka. Akan tetapi orang yang bermata
juling, yang menjadi pimpinan dari
kelompok yang yang bertugas me-larikan
pangeran itu, berkata dengan suara hormat
akan tetapi mengandung ancaman yang
sungguh-sungguh, “Pange-ran, kami hanya
melakukan tugas saja untuk membawa
Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami
harus sampai ke sana besok pagi-pagi.
Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak
membantah, tentu kami pun tidak akan
berbuat keluar dari apa yang ditugaskan
kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di
tengah jalan ber-teriak dan mengaku
pangeran tentu kami tidak akan segansegan
membunuh Pa-duka guna
menyelamatkan diri kami sendiri.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan
mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu
dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak
minta tolong seperti wanita cengeng? Dia
diam-diam juga memuji cara mereka ini
melarikannya, karena. rombongan yang
tadinya berjumlah belasan orang itu di-bagibagi,
dan rombongannya yang
mem-bawanya ke utara sedangkan ada
kelom-pok-kelompok lain yang melarikan
diri berkuda dan ke segala jurusan dengan
meninggalkan bekas yang jelas di atas
tanah. Tentu untuk menyesatkan para
pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun
me-nurut saja ketika dia diberi pakaian
biasa seperti seorang penduduk biasa,
sedang-kan pakaiannya yang mewah itu
diminta oleh Si Mata Juling.
Malam itu mereka terus melakukan
perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang--
kadang kalau jalannya sukar dan gelap,
perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Dan
pada keesokan harinya, dalam keadaan
yang cukup lelah akan tetapi tidak
mele-nyapkan semangatnya yang masih
gem-bira mengikuti perkembangan
pengalam-annya ini, Pangeran Kian Liong
dan para penculiknya itu tiba di sebuah
dusun di kaki sebuah bukit. Dusun ini cukup
besar dan tidak ada seorang pun di antara
penghuni dusun yang dapat menduga
bahwa di antara keenam penunggang kuda
itu, yang termuda dan tampan, adalah
pangeran mahkota! Dan berpakai-an seperti
ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan
senang hatinya, sungguhpun saat ini dia
tidak sedang melakukan perjalanan
sendirian dengan bebas, melain-kan
sebagai seorang tawanan.
Rombongan itu memasuki pekarangan
sebuah rumah besar dan di tempat itu telah
menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara
Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok!
Sang Pangeran disambut oleh dua orang
wanita cantik yang ber-sikap manis. Mereka
memberi hormat dan menggandeng tangan
pangeran itu ke dalam sebuah kamar di
mana Sang Pa-ngeran dilayani, disediakan
air hangat untuk mencuci muka dan badan,
diberi pakaian pengganti dan disuguhi
makanan dan minuman. Pangeran Kian
Liong tidak menolak semua ini, dia mandi,
berganti pakaian, makan dan minum, lalu
beristi-rahat sampai tertidur. Akan tetapi
ketika dia terbangun, dia terkejut sekali
melihat dirinya dikelilingi tujuh orang gadisgadis
muda yang cantik-cantik, dengan
pakaian dalam yang tipis sehingga nampak
jelas tubuh mereka yang menggairahkan
mem-bayang di balik pakaian tipis itu.
Mereka itu bersikap manis dan mulai
merayunya, memijatinya dan mengeluarkan
kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang
me-mikat dan mencumbu.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong
mendorong wanita yang terdekat dan dia
bangkit duduk lalu berteriak, “Apa artinya
Choirul, maret 2008 397
semua ini? Aku tidak membutuhkan
perempuan-perempuan ini! Hayo kalian
per-gi dari sini!”
Tujuh orang wanita muda itu saling
pandang dan mereka agaknya terkejut
karena betapapun juga, selain mereka
sudah tahu dengan siapa mereka
berha-dapan, juga pandang mata dan suara
pangeran itu amat berwibawa. Mereka
masih mencoba untuk merayu, mencumbu
dan merangkul pangeran itu dengan tubuh
lemah gemulai dan berbau minyak harum.
Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah
dan membentak, “Kalau tidak lekas enyah
dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”
Akhirnya tujuh orang wanita muda yang
cantik-cantik itu mengundurkan diri,
meninggalkan bau harum semerbak di
dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si
Mata Juling yang memimpin pelarian
semalam, masuk dan menjura di depan
pangeran itu.
“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong
menegur, “Apa artinya menyuruh
perempuan-perempuan itu menggodaku?”
bentakan ini membuat Si Mata Juling
sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu
menjura dengan hormat.
“Harap Paduka maafkan. Maksud kami
hanya ingin menghibur Paduka, tidak
tahunya Paduka tidak mau menerima
kebaikan dari kami.”
“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita
itu kauanggap kebaikan? Begitu-kah
kiranya kebaikan yang biasa diberikan
kepada para pembesar? Hei, Mata Juling!
Katakan, apa maksud kalian de-ngan
susah-payah menculikku dan mem-bawaku
ke sini? Apakah benar seperti yang
dikatakan para perampok teman-temanmu
di hutan itu bahwa kalian hen-dak minta
uang tebusan?”
“Maaf.... kami.... kami hanya melaksa-nakan
tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja
menanti di kamar ini.... kami tidak akan
menggunakan kekerasan kalau tidak
terpaksa sekali, harap Paduka te-nang. Si
Mata Juling itu mundur dan tidak lama
kemudian kembali dihidangkan makanan
dan minuman.
Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia
memang ingin melihat apa yang hendak
mereka lakukan terhadap dirinya. Akan
tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam
kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh
wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa
penasaran sekali. Mengapa mereka itu
masih menyembu-nyikan kehendak mereka
yang sesungguh-nya? Dia tidak khawatir,
karena dia per-caya bahwa Souw Kee An
pasti dapat menemukan dia, tidak akan
tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat
betapa sudah seringkali dia diselamatkan
oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia
teringat kepada pengemis sakti itu dan
diam-diam mengharapkan pula agar
pengemis itu yang akan
menyelamatkannya, karena dia ingin
bertemu dan berkenalan dengan pe-ngemis
yang dia tahu adalah seorang manusia
yang sedang menderita tekanan batin amat
hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka
ketika datang makanan dan minuman, dia
lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa arak itu telah
dicampuri obat sehingga dia yang biasa
minum arak itu kini menjadi mabok dan
pusing, sehingga dia setengah tertidur di
atas meja ma-kan!
“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok
sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki
kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata
Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia
di rumah pelacuran, suruh pelacur-pelacur
itu melayaninya, mene-lanjanginya dan kita
bawa orang-orang ke tempat itu untuk
menyaksikan pangeran mereka mabokmabok
dan main-main dengan para pelacur!
Tentu hebat!” Su-ok tertawa-tawa dan
berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kaubawa
dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti
orang mabok dan kita sama-sama pergi ke
tempat pelacuran. Apakah di sana sudah
siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.
Choirul, maret 2008 398
“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah
disiapkan di sana.” jawab Si Mata Juling.
Su-ok tertawa. Tadinya dia kece-wa karena
setelah payah-payah membawa tujuh orang
pelacur kota yang termahal ke tempat itu,
pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda.
Maka setelah berun-ding dengan Ngo-ok
dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk
membuat pange-ran itu setengah tidak
sadar karena mabok, dan membiarkan para
pelacur itu menelanjanginya dan
melayaninya untuk kemudian membiarkan
orang-orang pen-ting melihat pangeran itu.
“menangkap basah” sebagai seorang
pemabok dan pemuda hidung belang yang
suka ber-main-main dengan para pelacur!
Sungguh merupakan siasat yang amat keji,
yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.
Demikianlah, dalam keadaan setengah
mabok dan setengah sadar itu Pangeran
Kian Liong digandeng, setengah diseret
oleh Si Mata Juling dan teman-temannya,
diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke
daerah pelacuran yang terkenal di dusun
itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi
tempat pelesir kaum hidung belang dari
kota-kota sekitarnya!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar, ben-takanbentakan
nyaring, “Manusia-manusia jahat,
lepaskan Pangeran!”
Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut
melihat munculnya tiga orang yang bukan
lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw
dan dua orang saudara Ciong yang pernah
menolong pangeran dari perampokan di
dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah
pangeran berhasil dise-lamatkan di waktu
dirampok di dalam hutan, tiga orang
pendekar ini lalu me-nyingkirkan diri dan
membayangi dari jauh. Mereka mengintai
ketika Pangeran naik perahu jemputan dari
Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega.
Ketika me-reka sedang, mencari-cari
perahu nela-yan untuk menyeberang pula
ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah
di-tawan orang dan dilarikan dengan kuda.
Mereka mencoba mengejar, akan tetapi
karena yang dikejar menunggang kuda
semalam suntuk, mereka tertinggal jauh
dan baru pada keesokan harinya mereka
menemukan jejak mereka memasuki du-sun
itu. Ketika mereka melihat Pangeran
digandeng oleh banyak orang di tengah
jalan raya di dusun itu, pakaiannya sudah
berganti pakaian biasa, mereka menjadi
marah dan segera menyerang tanpa
mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.
Si Mata Juling dan empat orang te-mannya
mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan
tetapi mereka berlima bukanlah tandingan
tiga orang pendekar itu. Me-lihat ini, Ngo-ok
menjadi marah dan dengan kakinya yang
panjang dia sudah maju hendak menandingi
mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat
orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera
ber-kata, “Ngo-ok dan Su-suhu, lebih baik
bawa dia pergi, biar kami berempat yang
menghajar tikus-tikus ini!”
“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencam-puri!”
kata Su-ok dan dia pun lalu meng-gandeng
tangan Pangeran dan menariknya pergi.
“Eh, eh.... hemmm, biarkan aku me-nonton
pertandingan ini....” Sang Pangeran yang
setengah mabok itu berkata dan berusaha
untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus
menariknya berjalan maju.
Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju,
Liong Bouw terkejut dan dia pun segera
mengenal gerakan pedang dari wanita ini
yang bukan lain adalah se-orang di antara
wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.
“Ah, kiranya kalian yang menjadi
pe-rampok!” bentaknya dan dia pun
memu-tar goloknya menyerang wanita baju
kuning yang tadi bicara, akan tetapi hati-nya
penuh penasaran gelisah melihat Pangeran
dibawa pergi, padahal kini dia dapat
menduga siapa adanya hwesio pendek dan
tosu jangkung itu. Biarpun dia belum pernah
bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, namun
nama besar datuk-datuk kaum sesat itu
pernah didengarnya dan melihat keadaan
tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini
Choirul, maret 2008 399
menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia
menduga bahwa itu tentulah dua orang di
antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar
demikian, sungguh berbaha-yalah
keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan
datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini
dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui
yang berbaju kuning dan A-kiauw yang
berbaju merah, telah mengeroyoknya dan
sebentar saja Si Ma-ta Satu ini sudah
terdesak dengan hebat. Sementara itu, dua
orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak
oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee
yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju
hijau. Empat orang wanita ini adalah muridmurid
ter-kasih dari Im-kan Ngo-ok, maka
tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah
tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai
per-tengahan itu tidak mampu
menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak
hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian,
kedua orang saudara Ciong itu roboh dan
dia sendiri pun terkena tusukan pada
pundak kanannya sehingga berdarah. Tahu
bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw
memutar goloknya dengan nekat, lalu
membentak keras dan serangannya itu
membuat dua orang wanita itu berhati-hati
dan melangkah mundur. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Liong Bouw untuk
meloncat dan lari mengejar ke arah
Pa-ngeran yang digandeng oleh dua orang
kakek itu. Bagaimanapun juga, dia harus
melindungi Pangeran, tidak peduli betapa
pandai pun orang yang menawan
Pange-ran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh
empat orang wanita itu.
Untung baginya, yang dikejar, yaitu
pangeran itu, hanya berjalan digandeng
oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan
terhu-yung-huyung seperti orang mabok
dan Su--ok sengaja tertawa-tawa untuk
memberi kesan bahwa pemuda yang
digandeng memang benar-benar mabok
keras! Mere-ka berdua seolah-olah tidak
peduli kepa-da Liong Bouw yang mengejar
dari bela-kang dengan golok di tangan dan
pundak kanan bercucuran darah.
“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” ben-tak Tokgan
Sin-ciang Liong Bouw dan dia
menubruk dari belakang. Akan tetapi Ngook
tanpa menoleh menendangkan kakinya
yang amat panjang itu ke bela-kang dan
memang Si Jangkung ini lihai sekali
kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi,
kakinya yang menyepak seperti kaki kuda
itu tepat mengenai dada Liong Bouw.
“Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan
tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak
peduli akan pundaknya yang berdarah dan
dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis
dua batang pedang dari dua orang wanita
yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar
lagi ke depan.
Pada saat itu, Liong Bouw melihat
segerombolan orang berjalan dari depan.
Melihat rombongan yang terdiri dari seorang
laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah
perkasa dan tampan ber-sama beberapa
orang wanita yang can-tik-cantik, dia dapat
menduga bahwa mereka itu pasti bukan
penghuni dusun, dan tentu datang dari kota.
Maka timbul harapannya, setidaknya agar
diketahui orang kota bahwa pemuda di
depan itu adalah pangeran, maka dia lalu
berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong
Pa-ngeran Mahkota yang ditangkap
penjahat itu!”
Pada saat itu, tusukan pedang dari
belakang menyambar. Liong Bouw
me-mutar tubuh dan mengelak sambil
me-nangkis, akan tetapi pedang ke dua
membacok dari samping dan biarpun dia
sudah mengelak, tetap saja pahanya kena
disambar dan dia pun roboh dengan paha
terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju
Kuning menggerakkan pedangnya untuk
memberi tusukan terakhir ke dada Liong
Bouw, akan tetapi tiba-tiba ber-kelebat
bayangan putih dan pedang itu telah
ditangkis oleh seuntai tasbeh.
“Cringgg....!” Dan pedang di tangan A-hui itu
terpental dan hampir terlepas dari
pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya
cepat memandang dan ternyata yang
Choirul, maret 2008 400
menangkis itu. adalah seorang wa-nita
cantik berusia tiga puluh lima ta-hun,
berpakaian seperti nikouw akan tetapi
kepalanya berambut hitam dige-lung, dan
tangannya memegang tasbeh yang terbuat
dari gading.
“Omitohud, di tengahari ada orang mau
bunuh orang lain begitu saja, betapa
kejinya!”
Su-bi Mo-li cepat memandang ke de-pan.
Rombongan itu terdiri dari seorang pria
setengah tua, tiga orang wanita cantik dan
seorang gadis yang manis. Kini dua orang
wanita yang lain dan gadis itu datang
menghampiri, sedangkan laki-laki setengah
tua itu hanya terse-nyum-senyum saja,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang
aneh.
A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana
berani datang mencampuri urusan orang?
Pergi kau dari sini atau mampus di ujung
pedangku!”
Nikouw itu tersenyum sehingga nam-pak
giginya yang rata dan putih. “Omito-hud,
kalau engkau dapat membunuhku, itu baik
sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana
mati di ujung pedang!”
A-hui berteriak nyaring dan menye-rang,
nikouw itu bergerak lincah meng-elak
sambil tersenyum dan terdengar pria
setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai
nikouw engkau tidak boleh mem-bunuh
orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan
nikouw itu pun hanya tersenyum
mendengarnya.
A-kiauw yang berbaju merah maju hendak
membantu saudaranya, akan teta-pi wanita
cantik ke dua yang kelihatan-nya seperti
berdarah asing karena ma-tanya lebar dan
kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah
menghadang dengan pedang terhunus.
“Main keroyokan adalah perbuatan
pengecut. Kalau berani, kaulawanlah aku,
Iblis betina!” wanita itu memaki
semba-rangan saja, akan tetapi hal ini amat
menusuk perasaan A-kiauw karena
me-mang mereka berempat dijuluki Su-bi
Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).
“Mampuslah!” dia membentak dan
menyerang, ditangkis dengan mudahnya
oleh wanita itu. Melihat betapa dua orang
wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee
dan A-ciu segera melompat ke depan, akan
tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah
menghadang sambil tersenyum mengejek,
sambil me-ngerling ke arah Su-ok dan Ngook
yang masih memegangi pangeran sambil
me-nonton perkelahian itu dengan alis
ber-kerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan
Ngo-ok yang main gila di sini!”
Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada
wanita cantik itu dan sampai beberapa
lamanya mereka tidak mengenal wanita itu.
“Hemm, lupakah kalian ketika ber-jumpa
denganku di Lembah Suling Emas?”
Wajah Su-ok dan Ngo-ok berobah ketika
mereka mengenal kembali wanita itu. Kini
mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li
Tang Cun Ciu, toa-so dari keluar-ga
Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi
mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak
mengenal laki-laki yang ber-diri sambil
tersenyum itu, agak lega karena tidak
nampak keluarga Cu yang sakti di situ.
Adapun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang
sambil menusukkan pe-dang mereka ke
arah wanita cantik yang berani menghina
guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok
hendak memperingat-kan dua orang murid
itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu
sudah mengge-rakkan kaki tangannya dan
nampak dua batang pedang terlempar
disusul terlem-parnya dua tubuh wanita
cantik itu yang terkena tamparan pada
pundak mereka. Baru saja A-bwee dan Aciu
merangkak bangun, terdengar suara
mengaduh dan tubuh A-hui bersama Akiauw
juga ter-pelanting dan pedang
mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh
dalam beberapa gebrakan saja melawan
dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak
mengherankan karena wanita yang seperti
Choirul, maret 2008 401
nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi,
sedangkan wanita yang berdarah asing itu,
adalah Nandini, bekas panglima perang
Nepal! Dan memang di antara mereka
bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu
Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai
maka wanita ini dengan mudah dapat
merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih
dahulu!
Si Mata Juling dan empat orang te-mannya
sudah di situ, disambut oleh gadis cantik
yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Akan
tetapi melihat betapa Su-bi Mo-li roboh
dengan demiKian mu-dahnya, Si Mata
Juling dan empat orang temannya sudah
membalikkan tubuh dan mengambil langkah
seribu!
Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang
memandang dengan mata terbelalak
melihat empat orang murid mereka itu
roboh semua. Karena di situ tidak nam-pak
adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua
orang datuk ini sama sekali tidak takut
menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi
sikap pria di depan mereka yang tersenyum
itu amat mencurigakan dan membuat
mereka memandang dengan hati kecut.
“Siapakah engkau? Ngo-ok bertanya tanpa
melepaskan pergelangan tangan kiri
pangeran, sedangkan Su-ok memegang
pergelangan tangan kanan pangeran itu.
Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Butaihiap,
dan biarpun dia pernah men-jadi
seorang pendekar yang namanya
menjulang tinggi di dunia barat, akan tetapi
karena belum pernah bertemu atau bentrok
dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang
kakek itu tidak mengenalnya.
“Siapa adanya aku tidak penting, yang
penting kalian cepat lepaskan pemuda yang
kalian pegang itu.” kata Bu-taihiap dengan
suara tenang.
Su-ok tertawa. Dia lebih tenang dari-pada
saudaranya. “Eh, Sobat, tahukah engkau
siapa dia ini?”
Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun
adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap,
oleh karena itu, harap kalian sudi
melepaskan dia.”
Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh
dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum
dan heran melihat betapa rom-bongan itu
ternyata merupakan rombong-an orang
yang memiliki kepandaian hebat sekali,
demikian hebatnya sehingga empat orang
wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh
dalam beberapa gebrakan saja oleh wanitawanita
itu! Dan dia kini memandang penuh
ketegangan melihat kepala rombongan,
seorang pria sederha-na, berhadapan
dengan dua orang yang ternyata benarbenar
adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti
yang dikatakan oleh se-orang di antara
wanita-wanita itu. Dan dia pun belum
pernah mendengar tentang Lembah Suling
Emas, maka kini dia tidak berani
sembarangan bicara, hanya
men-dengarkan dengan penuh harapan
bahwa pangeran akan dapat lolos dari
bencana itu. Dia tidak berani lancang
karena pangeran masih berada di tangan
dua orang kakek iblis itu!
Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di
situ tidak terdapat saudara-saudaranya
yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok
mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok
dan memang sebetulnya me-reka berdua
pun sudah cukup kalau hanya untuk
menawan Pangeran saja. Akan tetapi tidak
mereka kira bahwa di sini akan muncul Cuibeng
Sian-li dan rombongannya yang lihailihai
ini. Tiga orang wanita itu jelas lihai dan
pria di depan-nya ini belum dia ketahui
sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi
agaknya pun bukan merupakan lawan yang
boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada
Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia
sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia
tidak takut hanya dia harus bersikap cerdik
agar tidak sampai gagal. Dia te-lah
mempunyai pangeran di tangannya dan ini
merupakan modal yang baik sekali!
Choirul, maret 2008 402
“He, sobat, engkau tidak mau
mem-perkenalkan namamu pun tidak
mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau
mengenal siapa pemuda ini. Dia adalah
Pangeran Mahkota Kian Liong!”
Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main,
akan tetapi sedikit pun tidak nam-pak
perobahan pada wajahnya yang tam-pan
itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah
kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku
tetap minta agar kalian suka melepaskan
dia.”
“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?”
tanya Su-ok juga tersenyum.
Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak
membolehkan kalian lewat.”
“Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh
Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan
rombonganmu ini hendak menghalangi
kami, terpaksa kami akan membunuh
Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini
menggunakan gertakan.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong
memang dilolohi arak yang mengandung
obat pemabok dan dia hanya setengah
sadar, akan tetapi dia masih dapat
mengikuti percakapan itu dan kini dia
tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati,
hanya itu soalnya dan sungguh soal yang
biasa saja. Apa artinya hidup dan apa
bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya
akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan
tosu jangkung, apa kaukira hidup lebih enak
daripada mati? Kalau kalian membunuhku,
maka sudah beres dan habislah bagiku,
tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian
yang masih hi-dup akan dikejar-kejar orang
gagah se-dunia, belum lagi pasukan yang
takkan berhenti sebelum kalian ditangkap,
ke-mudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku
lebih enak dibandingkan dengan kalian!”
Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga
kagum. Mengapa putera mahkota yang
kelak akan menggantikan kaisar menjadi
pemabok seperti itu? Akan te-tapi sikap
yang berani dan kata-kata yang begitu
mengandung kebenaran yang pedas masih
dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di
waktu sadar tentu pa-ngeran ini memiliki
kebijaksanaan yang luar blasa.
“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri!
Nah, lepaskan dia, ataukah kita
menggunakan dia sebagai taruhan?” kata
Bu-taihiap.
“Taruhan?” Kini Ngo-ok yang berkata,
matanya yang sipit makin terkatup ke-tika
dari “atas” dia memandang Bu-tai-hiap. Butaihiap
harus berdongak untuk menatap
wajah Si Jangkung itu.
“Ya, mari kita bertanding dan karena yang
menangkap dia ini adalah kalian berdua dan
yang minta agar dilepaskan hanya aku
seorang, maka biarlah aku melawan kalian
berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian
boleh membawa dia. Akan tetapi kalau
kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan.
Bagaimana. Beranikah kalian?”
Ucapan itu, terutama kata terakhir,
memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok.
Orang itu agaknya miring otaknya, pikir
mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa
sih orang ini yang berani menantang
mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah
mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok
dan Ngo-ok?
“Hemm, kalau kami menang, bukan hanya
dia ini yang kami bawa, melain-kan juga
kepalamu!” kata Ngo-ok marah. “Ha-ha,
boleh, boleh! Kalau memang kalian
menang, aku pun tidak bisa
mem-pertahankan kepalaku lagi. Dan kalau
kalian yang kalah, aku hanya menghen-daki
dia dibebaskan dan aku tidak butuh
kepalamu yang buruk, hanya aku akan
mengambil daun telingamu saja,
Jang-kung!”
Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah
mendekat dan berdiri menonton dengan
sikap tenang, demikian pula gadis puteri
pendekar itu. Mereka berempat ini yakin
Choirul, maret 2008 403
akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka
memandang dengan penuh perha-tian.
Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa
mereka bukan tandingan rombong-an itu,
memandang dari jarak agak jauh, dengan
hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka
ketahuan sebagai penculik-penculik
pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha
mereka juga mengalami kegagalan setelah
bertemu dengan rombongan yang sama
sekali tidak pernah mereka sangka-sangka
akan muncul ini.
Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh.
Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah
menduga bahwa tentu orang itu memiliki
ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu
memberi tanda kepada Ngo-ok sambil
berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini
sendiri yang menantang. Mari kita layani
dia.” Mereka lalu men-dorong Sang
Pangeran ke pinggir karena mereka tahu
bahwa orang aneh di depan mereka itu
agaknya sama sekali tidak peduli apakah
mereka akan membunuh Sang Pangeran
atau tidak. Menghadapi orang yang sama
sekali tidak mempeduli-kan Sang Pangeran,
maka tidak ada gu-nanya untuk
mengancam dan menjadikan pangeran itu
sebagai sandera. Dan me-mang mereka
telah menerima peringatan keras dari Toaok
agar jangan sampai membunuh Sang
Pangeran. Apalagi, ucap-an Pangeran
tentang hidup dan mati amat berkesan di
hati mereka dan mere-ka tahu betul bahwa
sekali mereka membunuh Sang Pangeran,
hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan
saja bagi mereka yang takkan lagi dapat
aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya
akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka
dari itu mereka mendorong Sang Pangeran
ke pinggir dengan harapan akan menang
dalam pertandingan itu sehingga mereka
akan dapat melanjutkan siasat mereka
merusak nama baik pangeran.
Tentu saja Bu-taihiap pernah men-dengar
nama besar Im-kan Ngo-ok seba-gai datuk
besar kaum sesat yang memiliki ilmu
kepandaian hebat, maka biarpun pada
lahirnya dia nampak tenang dan tersenyumsenyum
saja, namun sesung-guhnya dia
sama sekali tidak memandang rendah dan
selalu dalam keadaan siap siaga. Kini
melihat dua orang itu telah melepaskan
pangeran, dia merasa lega dan cepat dia
melangkah maju mengham-piri dua orang
lawannya. “Nah, kalian mulailah!”
tantangnya sambil tersenyum. Melihat sikap
orang yang begini meman-dang ringan, Suok
dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya,
lawan yang menghadapi mereka tentu kalau
tidak gentar juga sangat berhati-hati, tidak
seperti orang ini yang begini memandang
rendah sambil tersenyum-senyum saja.
“Kami tidak pernah membunuh orang tanpa
nama,” tiba-tiba Su-ok berkata untuk
membalas pandangan ringan itu. “Kalau
engkau bukan seorang pengecut yang suka
menyembunyikan nama, kata-kan siapa
engkau agar kami tahu siapa yang akan
kami habisi nyawanya!”
Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang
tampan itu nampak berseri dan muda ketika
dia tertawa itu. “Ha-ha-ha, yang nama
julukannya Su-ok ini selain pendek kurang
ukuran juga ternyata tidaklah sejahat
namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang
jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah
benar kalian hendak mengetahui nama
orang yang akan menjatuhkan ka-lian? Aih,
sudah bertahun-tahun untuk tidak
mempergunakan namaku, sampai lupa.
Hanya sheku saja yang masih ku-ingat. Aku
she Bu.”
Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan
logat bicaranya jelas menunjukkan, dari
barat, maka siapa lagikah orang ini kalau
bukan pendekar yang pernah
menggegerkan dunia barat dan hanya
terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?
“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang
sudah puluhan tahun tidak pernah muncul
itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut
Bu-taihiap itu sudah mam-pus di Secuan
dicakar garuda!”
Choirul, maret 2008 404
Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya
permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang
yang membuatnya terluka itu telah ter-siar
di dunia kang-ouw, akan tetapi karena
sesungguhnya dia tidak kalah, hanya
dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja
maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak
merasa malu disindir demikian.
“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak
lekas-lekas menggelinding pergi?”
bentaknya dan sikapnya kini penuh
wi-bawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.
Dua orang lawannya itu tidak menjawab,
melainkan segera menyerang dengan
dah-syat.
Karena maklum bahwa yang namanya Butaihiap
itu adalah seorang lawan tangguh,
maka begitu menyerang, Su-ok sudah
menggunakan ilmunya yang di-andalkan,
yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan
dengan tubuh setengah berjongkok rendah,
dan kedua tangannya mendorong dari
bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat
menyambar diikuti sepasang lengan pendek
itu dan dari telapak tangannya menyambar
pukulan yang mengandung hawa beracun.
Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang
kurang kuat akan mati seketika kalau
terkena pukulan ini, baru terkena hawa
pukulan-nya saja sudah cukup membuat
orang yang terkena menjadi lumpuh,
apalagi kalau sampai terkena hantaman
telapak tangan itu!
Biarpun Bu-taihiap baru mendengar
namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan
belum mengenal keistimewaan mereka, dia
sudah dapat menduga bahwa pukulan yang
mendatangkan angin dahsyat ini
merupakan pukulan yang berbahaya, maka
dia pun bersikap waspada dan hanya
mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngook
juga telah berjungkir balik, langsung
mempergunakan ilmunya yang aneh dan
kini dari lain jurusan dia menyambut Butaihiap
yang mengelak itu dengan
tendangan kakinya dari atas!
Kembali Bu-taihiap mengelak dengan
sigapnya sambil tertawa. Melihat betapa
dua orang lawan ini memiliki ilmu yang
aneh-aneh, dia tak dapat menahan
keta-wanya. Memang pada dasarnya
pendekar ini memiliki watak gembira, dan
mungkin watak inilah yang membuat dia
mudah meruntuhkan hati kaum wanita.
“Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah
badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi
semakin pendek mau merobah diri menjadi
katak, yang jangkung berjungkir balik
seolah-olah masih kurang jangkung....
heeiiitt.... bahaya, tapi luput!” Dia mengelak
lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah
pusarnya dari bawah. Dia mengelak sambil
kini melayangkan tangannya, menampar ke
arah ubun-ubun kepala Su-ok yang
berjongkok itu. Tam-paran biasa saja, akan
tetapi didahului angin menyambar dahsyat.
Su-ok terke-jut. Kiranya pendekar ini benarbenar
amat lihai karena kalau pukulan tadi
mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya
sukar dia untuk menyelamatkan nyawanya.
Dia sudah menggelundung dan sambil
bergulingan begini dia mengejar lawan,
terus bangkit berjongkok dan
menghan-tamkan lagi pukulan Ilmu Katak
Buduk-nya yang lihai. Sementara itu, dari
atas, kedua batang kaki panjang dari Ngook
juga mengirim serangan bertubi-tubi,
di-bantu oleh kedua lengannya yang
pan-jang!
Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu
silat dari Go-bi-pai, akan tetapi sudah
berbeda dari aselinya, mirip pula ilmu silat
Kun-lun-pai, akan tetapi juga tidak sama.
Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya
sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh
ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lunpai
yang merupa-kan dua partai persilatan
terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam
ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar
dari gerakan ilmu silat India dan Nepal.
Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu
aneh dan juga tangguh sekali, karena
dengan gerakan-gerakan itu dia selalu
dapat menempatkan dirinya dalam posisi
yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang
Choirul, maret 2008 405
tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sin-kang
yang amat kuat namun bersifat halus
sehingga dia berani menangkis pu-kulan
Katak Buduk dengan telapak ta-ngannya
tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan
itu seperti batu dilempar ke dalam air saja,
tenggelam dan lenyap.
Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya
mengelak dan menangkis sampai dia tahu
benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang
lawannya. Setelah dia menge-nal betul, Butaihiap
tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali
tidak bergerak dan berkata sambil tertawa,
“Apakah kalian hendak terus melawak di
sini?”
Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Suok
dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga
girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan
memukul dengan ilmunya dari jarak dekat.
Dua buah lengannya yang pendek itu
bergerak mendorong ke arah dada lawan,
sambil mengerahkan tenaganya. Akan
tetapi, lawannya sama sekali tidak
mengelak atau menangkis, bahkan
menyambut pukulan dorongan kedua
tangan itu dengan sambaran lengan dari
kanan dan tahu-tahu dia sudah
men-cengkeram tengkuk Su-ok! Su-ok
merasa girang karena kedua pukulannya
tidak dielakkan dan dua tangannya yang
ter-buka itu dengan cepatnya meluncur ke
depan. Akan tetapi tiba-tiba dia
mengeluarkan suara “kekk!”” dan
tengkuknya sudah dicekik kuat. Karena
tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh
tulang punggung dan kini tengkuknya
dicekik, maka seketika tenaganya banyak
ber-kurang dan biarpun kedua tangannya
ma-sih mengenai dada lawan, namun
tenaga-nya tinggal seperempatnya dan
agaknya pendekar itu tidak merasakan apaapa
dan sebaliknya Su-ok merasa kedua
ta-ngannya seperti menghantam karet saja
dan tengkuknya terasa nyeri bukan main
seolah-olah tulang lehernya akan patah!
Pada saat itu Ngo-ok sudah mener-jang
dengan kedua kakinya, yang sebelah kiri
menotok ke arah jalan darah di pun-dak dan
yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun
kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini
meloncat ke belakang dan sekali
melontarkan tangannya, tubuh pen-dek
bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur
ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang
masih berjungkir balik.
“Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa
dapat menahan lajunya tubuhnya.
“Apa ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat
dia sudah menggunakan kepala untuk
menahan tubuh di atas tanah sedangkan
kedua lengannya yang panjang sudah
bergerak menyambut tubuh ka-wannya.
“Plakk!” Kedua tangannya, seperti kiper
menangkap bola, berhasil menang-kap
tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
sendiri melayang bersama-sama tubuh Suok
yang dipeluknya.
“Brukkk....!” Ngo-ok dan Su-ok ter-banting
kepada sebatang pohon dan ke-duanya
roboh tunggang langgang dan tumpang
tindih. Kiranya ketika Ngo-ok menerima
tubuh Su-ok tadi, dalam ke-adaan lengah,
kedua kakinya sudah di-tangkap oleh Butaihiap
yang mempergu-nakan ilmu gulat
Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh
yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh
Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia
“berdiri” di atas ke-pala saja. Akibatnya,
tubuh kedua orang itu terlempar dan
terbanting pada pohon dan jatuh tumpang
tinding seperti itu. Ketika mereka bangkit
dengan kepala pening dan tubuh babak
belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri
sambil bertolak pinggang dan tertawa.
“Wah, kalian masih belum patut ber-main di
sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh
tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk
menjadi pelawak su-dah lumayan karena
memang cukup lucu!”
“Bedebah!” bentak Su-ok.
“Keparat sombong!” Ngo-ok juga ber-seru
dan keduanya lalu menyerang lagi dengan
Choirul, maret 2008 406
lebih ganas daripada tadi. Bu-taihiap sudah
meloncat ke sana-sini dan melayani
mereka. Akan tetapi, serangan-serangan
kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat
dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Butaihiap
lalu duduk bersila di atas tanah!
Tentu saja kedua orang lawannya menjadi
bingung. Bagai-mana pula ini? Lawan
mereka duduk bersila. Mana ada orang
berkelahi duduk bersila seperti arca? Akan
tetapi mereka tidak peduli dan menganggap
bahwa per-buatan Bu-taihiap ini seperti
orang bunuh diri dan mereka memperoleh
kesempatan baik untuk membunuhnya. Dan
tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat
menggunakan ilmunya berjungkir balik,
bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk
menggunakan ilmu-nya Katak Buduk,
karena ilmu ini dipergunakan untuk
memukul dengan tubuh merendah,
dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat
tenaga mujijat dari bawah itu. Kalau lawan
duduk bersila, tentu saja tidak dapat
dipukulnya karena terlalu rendah. Demikian
pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan
kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya
berjungkir-balik, menghadapi orang bersila
tentu saja ke-dua kakinya itu mati kutu dan
tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu
berloncatan membalik dan berdiri di atas
kedua kaki seperti biasa. Tanpa berkata
apa-apa, keduanya menubruk ke depan,
Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri.
Mereka merasa yakin bahwa biarpun tidak
mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang
istimewa, sekali ini mereka akan mampu
membunuh lawan yang duduk bersila itu.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Butaihiap
memiliki banyak sekali ilmu silat
yang aneh, dan di anta-ranya adalah ilmu
yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha
Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng
berasal dari seorang pertapa yang selama
puluhan tahun bertapa sambil memuja
Buddha dengan duduk dalam bentuk
Teratai, yaitu bersila dengan kedua kaki
bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa
yang pu-luhan tahun bertapa dalam
keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya
sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti
sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh
tenaga yang dahsyat bukan main, dan
dengan duduk bersila seperti itu tanpa
pindah dari tempatnya, dengan kedua
lengannya dia mampu menolak lawan yang
bagaimana tangguh pun, bahkan kalau
diserang oleh binatang buas, dia dapat
menundukkan binatang buas itu dengan
kedua lengan-nya tanpa bergerak pindah
dari tempat-nya. Bu-taihiap juga
mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat
keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang
mendapatkan tenaga memukul dari bawah
ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai
menyerang dengan kedua kakinya dari atas
ke ba-wah, maka dia mendapatkan akal
untuk menghadapi mereka dengan ilmu
Ngo-lian-hud ini.
Ketika dua orang lawan itu menubruk dan
menyerang dengan dahsyat, mengirim
pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya,
tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan
kedua lengannya yang tadinya ditaruh di
atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga
dari pusar yang ketika duduk seperti itu
terkumpul menjadi kekuatan dahsyat, dari
perutnya keluar bunyi dan melalui
muulut-nya dia mengeluarkan suara
melengking, “Hiiaaaattt....!” Dan kedua
lengan itu berkembang ke atas, ke kanan
kiri me-nyambut dua orang lawannya.
“Dessss! Dessss!”
Akibatnya hebat bukan main. Ngo-ok dan
Su-ok mengeluarkan teriakan panjang.
Mereka merasa seperti disambar geledek
saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Butaihiap
dan biarpun mereka telah
meng-gerakkan tangan menangkis, tetap
saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka
dan membuat mereka terjengkang dan
terlempar sampai lima meter! Mereka
terbanting roboh dan ketika mereka bangkit,
dari ujung mulut mereka meng-alir darah!
Itu menandakan bahwa mere-ka telah
terluka di sebelah dalam tubuh mereka!
Kini tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa
mereka tidak akan menang. Maka, sete-lah
memandang kepada Bu-taihiap dengan
Choirul, maret 2008 407
sinar mata penuh kebencian, Su-ok
ber-kata, “Lain kali kita bertemu lagi, orang
she Bu!” Dan dia bersama Ngo-ok lalu
ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi.
Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah
melarikan diri dengan hati gentar dan
menganggap hari itu sebagai hari sialan
karena mereka bertemu dengan rombongan
Bu-taihiap yang demikian lihainya!
“Ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan
pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk
tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang
tanda bahwa dia masih mabok dan hanya
setengah sadar. Melihat ini, Bu-taihiap
cepat menghampiri dan setelah mengurut
tengkuk dan dada, memijit kepala bagian
belakang, lalu memberi dua butir pel merah
kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang
Pangeran memejamkan mata seperti orang
pening dan memegangi kepalanya,
terhuyung-huyung. Bu-taihiap
merangkul-nya dan membantunya duduk di
atas tanah. Setelah duduk sambil
memejamkan mata sampai kurang lebih
sepuluh menit lamanya, pangeran itu
mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap
membantunya dan setelah memuntahkan
sebagian besar minuman bercampur obat
yang diminum-nya tadi, Sang Pangeran
menjadi sembuh. Dia bangkit dan
memandang heran me-lihat seorang pria
setengah tua member-sihkan bibir dan
dagunya dengan sapu-tangan.
“Paduka sudah pulih kembali sekarang,
Pangeran.”
Pangeran Kian Liong memandang penuh
perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri,
melihat empat orang wanita itu dan
mengerutkan alisnya. “Ah, apa yang
ter-jadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini?
Mana mereka yang telah menculikku tadi?”
“Mereka telah kami usir pergi, Pa-ngeran.
Paduka telah selamat.”
Sang Pangeran teringat dan meng-anggukangguk.
“Benar, kulihat tadi eng-kau
mengalahkan dua orang tinggi dan pendek
itu. Aih, engkau hebat sekali, dan mereka
ini.... wanita-wanita yang perkasa. Siapakah
Paman yang perkasa ini?”
Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga
orang isterinya ikut pula menjura, termasuk
pula Siok Lan. “Kami sekeluar-ga
menghaturkan selamat bahwa Paduka telah
lolos dari bencana, Pangeran. Ham-ba
adalah Bu Seng Kin dan mereka ini adalah
keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa
sungkan sekali, akan tetapi me-lanjutkan
juga, “mereka ini adalah isteri-isteri hamba
dan ini adalah puteri ham-ba.” Dia lalu
memperkenalkan nama isteri-isterinya dan
juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga
orang wanita itu memberi hormat.
“Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah
ibu-ibu dan anak memiliki kepan-daian silat
yang tangguh....“ Sang Pange-ran memuji.
Pada saat itu, datanglah rombongan
pasukan yang dipimpin oleh Komandan
Souw Kee An sendiri. Melihat Sang
Pangeran berada dalam keadaan se-lamat,
komandan pengawal itu tentu saja merasa
girang sekali dan cepat dia men-jatuhkan
diri berlutut. “Hamba mohon maaf telah
gagal dan terlambat menye-lamatkan
Paduka, akan tetapi terima kasih kepada
Thian bahwa Paduka dalam keadaan
selamat.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan
dengan tangannya dia memberi isyarat
kepada komandan itu untuk bangun. “Souwciangkun,
kalau kita perlu meng-ucapkan
terima kasih, maka kita harus berterima
kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin
ini, karena mereka inilah yang telah
menyelamatkan aku dari ta-ngan para
penculik itu!”
Souw Kee An terkejut dan meman-dang
kepada pendekar itu dan keluarga-nya,
kemudian dia bangkit menjura kepada Bu
Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan
terima kasih kami atas budi pertolongan Butaihiap
yang telah me-nyelamatkan
Pangeran.”
Choirul, maret 2008 408
Souw Kee An mengucapkan pernyata-an
terima kasih itu dengan setulusnya, karena
pertolongan itu sama artinya dengan
menyelamatkan dirinya sendiri, karena
kalau pangeran mahkota yang sedang
dikawalnya itu sampai celaka, sama saja
dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai
komandan pengawal, maka dialah yang
bertanggung jawab atas kese-lamatan Sang
Pangeran. Akan tetapi Bu-taihiap hanya
tersenyum dan balas men-jura kepada
komandan itu, kemudian Bu-taihiap berkata
kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran,
hamba kira ucapan Souw-ciangkun ini
tepat, yaitu bahwa kita harus berterima
kasih kepada Thian saja. Betapapun juga,
tanpa adanya Tu-han dan kekuasaan-Nya,
tak mungkin hamba dapat menyelamatkan
Paduka.
Sang Pangeran tersenyum dan tidak
menjawab kata-kata ini, hanya
memper-silakan Bu-taihiap dan keluarganya
untuk ikut bersama dia ke tempat
pemberhentian di pantai, di mana Souwciangkun
telah menyediakan tempat bagi
Pangeran untuk beristirahat sebelum
melanjutkan pelayaran, setelah terjadi
peristiwa yang mengkhawatirkan itu. Kini,
tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak
berani membiarkan Sang Pangeran
berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tidak
dapat me-nolak dan bersama keluarganya
mereka pun ikut dengan rombongan itu,
kembali ke pantai laut tempat
penyeberangan ke Kim-coa-to.
Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw
Kee An itu seolah-olah menunjuk-kan
bahwa mereka adalah orang-orang yang
rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan,
maka dalam segala hal mereka berterima
kasih dan mengucap syukur atas
kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik
sekali karena hampir setiap ma-nusia di
dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan
dalam bahasa masing-masing, di-tujukan
kepada Sesuatu yang Maha Kua-sa.
Manusia agaknya merupakan satu-satunya
mahluk yang memiliki otak yang mampu
dipergunakan untuk memikirkan hal-hal
yang jauh lebih mendalam dari-pada apa
yang dapat ditangkap oleh pan-ca indera,
memiliki akal budi dan daya ingatan yang
luar biasa. Dengan kemampuan ini
agaknya, manusia menyadari bahwa ada
terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan
yang teramat tinggi dan luas, yang tidak
dapat terjangkau oleh alam pikirannya,
kekuasaan yang menggerakkan matahari
dan bulan, dunia dan bintang-bintang, yang
memberi kehidupan kepada segala benda,
baik yang bergerak maupun yang tidak.
Manusia dengan akal budi dan pikirannya
menya-dari bahwa memang sungguh ADA
SE-SUATU yang lebih berkuasa daripada
diri-nya, yang berkuasa atas mati
hidup-nya, atas segala benda. Inilah
agaknya yang mengawali pemujaan
terhadap se-suatu itu, dengan segala
macam sebutan menurut bahasa dan jalan
pikiran masing-masing, yang kemudian
menjadi keper-cayaan turun-temurun,
menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih
tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan,
disebut de-ngan berbagai nama, Tuhan,
Thian dan sebagainya menurut bahasa dan
adat -istiadat atau tradisi atau agama
masing-masing.
Sebutan Tuhan inilah yang membuat
manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan!
Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu?
Apakah kalau kita sudah memper-siapkan
di bibir selalu sebutan Tuhan itu, apakah
kalau kita sudah MENGAKU bah-wa kita
percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?
Nama dan sebutan itu hanyalah per-mainan
bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas
BUKAN yang dinamakan atau disebutkan
itu. Namun pada kenyataan-nya, kita lebih
mementingkan nama dan sebutan ini! Kita
lebih mementingkan gerak bibir yang
menyebut atau mena-makan itu!
Oleh karena itulah maka kita mengukur
seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya
dari pengakuan bibirnya. Kita
Choirul, maret 2008 409
mengagungkan sebutannya belaka
sehingga untuk mempertahankan itu, kalau
perlu kita saling serang, saling bunuh!
Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk
dan terlalu berharga, ka-rena sebutan itu
menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja
seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku,
dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang
penting, yang lainnya itu hanya sebutan
yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-
Aku, maka dipentingkan. Jangan
merendahkan Tu-han-Ku. Tuhan orang lain
sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-
Ku, keluarga orang lain masa bodoh.
Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa
orang lain sesukamulah! Dan demikian
selanjutnya.
Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh
sebutan? Apakah bukti iman itu terletak
pada bibir dan lidah? Sedemikian
mudahnya mulut kita menyebut-nyebut
Tuhan sehingga semudah itu pula kita
melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa
yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan
intinya. Akibatnya, kita hanya ingat ke-pada
sebutan itu saja, yakni sewaktu kita
membutuhkannya, dalam marabahaya,
dalam sengsara, dan sebagainya.
Sebalik-nya, dalam mengejar kesenangan
kita melakukan segala hal tanpa mengingat
sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi
akibat daripada mengejar kese-nangan itu
yang menyusahkan kita, kita menyesal dan
kembali teringat kepada sebutan itu.
Mengapa demikian? Mengapa begitu
mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-
Tuhan? Dengan dada penuh terisi
kebencian, permusuhan, iri hati,
kese-rakahan, pementingan diri sendiri,
mung-kinkah kita menjadi manusia ber-
Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam
batin setelah semua kekotoran itu lenyap,
mungkinkah kita menjadi manusia yang
sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti
kata yang seluas-luasnya? Tanpa adanya
cinta kasih yang bukan merupakan
per-luapan nafsu, bukan merupakan
pemen-tingan diri pribadi, mungkinkah kita
men-jadi seorang manusia dalam arti kata
sebenarnya, yaitu manusia yang
berperi-kemanusiaan?
Manusia ber-Tuhan, berperikemanusia-an,
tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang
manusia yang ber-Tuhan sudah pasti
berperikemanusiaan, dalam arti kata,
hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan
hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya
sudah tidak dikotori oleh keben-cian,
permusuhan, iri hati, keserakahan dan
sebagainya itu, yang semua timbul karena
dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin
senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku
yang ingin senang, tidak mungkiniah bagi
kita untuk ber-Tuhan dan
berperikemanusiaan, dalam arti kata yang
sesungguh-sungguhnya. Kalaupun mulut
mengaku ber-Tuhan dan
berperi-kemanusiaan, maka itu hanyalah
ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun
peng-akuan itu hanya untuk kepentingan,
ke-untungan atau kesenangan si-Aku itu
pula. Beranikah kita membuka melihat
semua kenyataan ini semua yang terjadi
dalam batin kita masing-masing?
Berani-kah kita membuka melihat dalam
cermin dan mengamati kekotoran dan
kepalsuan diri kita masing-masing? Hanya
dengan keberanian inilah maka kita akan
terhin-dar dari kemunafikan. Apa artinya
kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan
akan te-tapi berani melakukan perbuatanperbuatan
yang jahat tanpa mengenal takut
kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu
dan Maha Adil? Apa artinya kalau hanya
mulut mengaku berperikemanusiaan akan
tetapi di dalam batin mengandung
keben-cian terhadap manusia atau
manusia-manusia lain? Semua ini perlu
dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus
membong-karnya dengan berani!
“Harap Paduka suka hati-hati, karena dua
orang yang menculik Paduka itu sungguh
tidak boleh dipandang ringan sama sekali.
Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat
tinggi, dan berbahaya sekali. Oleh karena
itu, sebaliknya kalau Paduka memperoleh
pengawalan yang kuat.” Bu-taihiap memberi
nasihat.
Choirul, maret 2008 410
Pangeran itu tertawa. “Ah, betapa ti-dak
enaknya bepergian harus dikawal, apalagi
kalau pengawalan itu terlampau ketat.
Sudah biasa aku melakukan perja-lanan
sendirian saja, dengan menyamar dan tiada
seorang pun mengenalku seba-gai
pangeran mahkota. Sekarang, terpak-sa
aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau
Kim-coa-to.”
“Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa
kuat ini, biarlah hamba menawar-kan diri
untuk mengawal Paduka.”
“Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik
sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi,
aku merasa tidak leluasa kalau dikawal.
Bagaimana kalau engkau ikut sebagai
undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di
sana.”
“Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah
di sana, Pangeran?”
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pa-ngeran
terheran, lalu tersenyurn. “Pertanyaan itu
saja jelas menandakan bahwa agaknya
sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia
ramai, sehingga tidak men-dengar akan
nama Kim-coa-to dan peng-huninya, yaitu
Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti
bidadari itu!” Pangeran lalu dengan singkat
menceritakan tentang pulau itu dan tentang
puteri cantik. Ti-dak mengherankan apabila
Bu-taihiap mendengarkan dengan mata
bersinar-si-nar, wajah berseri dan nampak
tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang
tak pernah melewatkan wanita cantik begitu
saja, dan biarpun usianya sudah mende-kati
lima puluh tahun, namun semangat-nya
dalam soal wanita tak pernah pa-dam,
bahkan semakin berkobar-kobar! Memang
nafsu, apapun juga macamnya, bagaikan
api membakar, semakin diberi makanan
semakin kelaparan dan semakin berkobar
membesar, tak pernah menge-nal puas.
itulah nafsu! Karena itu, sekali menjadi
hamba nafsu, selamanya akan terus
diperbudak, semakin lama semakin dalam.
“Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba
berkunjung....” Tiba-tiba dia ber-henti dan
menoleh. Benar saja, dia me-lihat tiga
pasang mata yang melotot, pandang mata
berapi-api penuh kemarah-an dari tiga
orang isterinya! “Ehh.... ohh berkunjung ke
sana megawal Paduka....” sambungnya
cepat.
“Hemm mengawal ataukah melihat puteri
cantik?” Tang Cun Ciu menghardik dengan
suara mendongkol.
“Huh, tak ada puasnya!” sambung Gu Cui
Bi.
“Dasar mata keranjang!” Nandini juga
mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan meman-dang
kepada Sang Pangeran dengan muka
berobah kemerahan. Melihat adegan ini,
Sang Pangeran yang masih muda itu, akan
tetapi yang amat bijaksana dan mudah
menangkap segala hal yang ter-jadi,
tertawa lebar dan berkata, “Sudah-lah, Butaihiap.
Tidak perlu aku dikawal. Lihat,
pengawalku sudah banyak dan kurasa
mereka tidak berani lagi muncul
mengganggu setelah menerima hajaran
keluargamu tadi.”
Betapapun juga, Bu-taihiap dan
keluarganya tetap mengawal Sang
Pangeran sampai ke pantai tempat
penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini
Bu-taihiap mempergunakan kesempatan
baik itu untuk minta bantuan Sang
Pangeran mengenai niatnya menjodohkan
puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
“Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, dia adalah
seorang sahabatku!” Sang Pangeran itu
tanpa disangka-sangka berkata
kepa-danya, membuat pendekar itu dan tiga
orang isterinya memandang girang.
“Ja-ngan khawatir, kalau memang sudah
ada kontak hati antara dia dan puterimu,
aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia
itu sahabatku yang baik dan amat
kuka-gumi.”
Choirul, maret 2008 411
Tentu saja keluarga itu menjadi gi-rang
bukan main mendengar kata-kata pangeran
ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang
selama percakapan itu hanya menundukkan
mukanya yang menjadi kemerahan.
“Banyak terima kasih hamba haturkan atas
kebaikan budi Paduka, Pangeran.” kata Butaihiap.
“Biarlah hamba seke-luarga menanti
di kota raja sampai Pa-duka kembali ke
sana.”
Demikianlah, setelah mengawal pange-ran
sampai ke tepi pantai, di mana kini telah
dipersiapkan perahu-perahu besar milik
pemerintah daerah dengan penga-walan
ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap
sekeluarganya melanjutkan perja-lanan ke
kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong
melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to
dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan
yang dipimpin oleh Koman-dan Souw dan
ditambah pula oleh pasu-kan keamanan
dari daerah Tung-king.
Biarpun berita tentang diculiknya Pangeran
Kian Liong telah sampai pula ke Pulau Kimcoa-
to, dibawa oleh me-reka yang
menyaksikan peristiwa penyer-buan perahu
yang ditumpangi pangeran dan juga
menurut laporan anak buah perahu itu
sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja
ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw
Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir
akan keselamatan Sang Pangeran,
terutama sekali Syanti Dewi karena puteri
ini merasa amat suka dan sayang kepada
pangeran yang amat bijaksana, pandai dan
yang menjadi sa-habatnya yang paling baik,
bahkan antara mereka ada hubungan
seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia
pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau
perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi
karena pulau itu sedang bersiap hendak
meraya-kan ulang tahunnya, maka tentu
saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditam-pung
di pondok-pondok darurat yang di-bangun di
pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu
bersikap hormat dan tertib karena mereka
semua tahu betapa bahayanya kalau
sampai mereka tidak mentaati peraturan
dan sampai menimbulkan kemarahan
pemilik pulau yang kabarnya memiliki
kepandaian amat tinggi dan juga pulau itu
sendiri dikabarkan sebagai pulau yang
mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Ketika perahu yang merupakan iring-iringan
besar tiba dan semua orang me-lihat
munculnya Sang Pangeran, ter-cenganglah
mereka. Akan tetapi Syanti Dewi
menyambut dengan girang dan lega bukan
main, dan sebagai tamu kehormat-an, tentu
saja Sang Pangeran diberi tem-pat
menginap di dalam gedung induk, di mana
tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan
yang menyambut kedatangan pangeran itu
adalah dua orang wanita cantik ini.
Munculnya Sang Pangeran ini
mendatangkan berbagai perasaan di hati
para tamu yang sudah mulai berkumpul.
Ada yang merasa lega dan girang karena
betapapun juga, pangeran mahkota itu
mempunyai nama baik di kalangan rakyat
sebagai seorang pangeran yang bijaksana,
pandai dan menjunjung tinggi kegagahan.
Akan tetapi di samping perasaan ini, juga
timbul rasa khawatir karena me-nurut
mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu
saja banyak mengurangi ke-mungkinan
mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang
Dewi, sebagaimana didesas-desuskan
orang. Kalau Sang Dewi ber-kenan memilih
jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya
mampu bersaing da-lam segala hal dengan
pangeran mah-kota? Suatu persaingan
yang tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri me-rasa
girang bukan main. Dia memang
mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh
dengan pangeran mahkota, kalau mungkin
menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin
menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat
menjadi selir pertama, kedua atau sukursukur
kalau dapat menjadi permaisuri,
apabila Sang Pangeran sudah naik tahta
menjadi kaisar! Dan dia sendi-ri, sebagai
guru dan juga seperti kakak sendiri dari
Choirul, maret 2008 412
Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula
derajatnya. Maka, tidak mengherankan
apabila nyonya rumah ini menyambut Sang
Pangeran dengan segala kehormatan dan
kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil ke-putusan
untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti
Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu
belum berlayar menyeberang ke pulau, dia
sudah menyebar banyak sekali mata-mata
untuk menyelidiki ke-adaan mereka semua,
memilih-milih orang-orang yang kiranya
patut menjadi calon jodoh murid atau
sahabatnya yang baginya seperti anaknya
sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para
mata-mata-nya itu untuk menyelidiki para
tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan
dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala
macam segi kebaikan yang menon-jol lagi.
Semua tamu yang dipersilakan menempati
pondok-pondok yang dibangun khusus itu
diberitahu bahwa perayaan yang diadakan
besok pagi akan diramai-kan dengan pesta,
tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya.
Sementara itu, setiap tamu menyerahkan
sumbangan yang dite-rima oleh
serombongan panitia khusus yang mencatat
semua sumbangan itu dan menyusun
sumbangan di atas meja besar, bertumpuktumpuk,
dan berada di ruang-an pesta yang
baru akan diadakan pada keesokan
harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi
menjamu Pangeran Kian Liong di dalam
pondok kecil mungil yang terdapat di
tengah-tengah taman yang luas dan indah
di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini
telah dihias dengan meriah, digantungi
lampu-lampu dengan warna bermacammacam,
dan di tengah-tengah pondok
terdapat meja bundar di mana tiga orang itu
duduk menikmati hidangan, minuman
sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup
terdengar suara alunan musik yangkim dan
suling yang dimainkan oleh beberapa orang
wanita muda di sudut ruangan. Memang
mereka ini diperintah-kan untuk memainkan
alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan,
agar tidak meng-ganggu percakapan
mereka bertiga, na-mun cukup
mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak
dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui
lalu berkata dengan penuh hor-mat,
“Pangeran, mungkin Paduka telah
mendengar bahwa untuk merayakan ulang
tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami
telah bersepakat untuk mengadakan
pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”
“Ah, itu bukan persepakatan kami,
Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui
saja....” Syanti Dewi memotong sambil
tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum
araknya. “Kehendak siapapun juga, kurasa
hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang
wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi,
sudah sepatutnya kalau mempunyai
seorang pemuja, yaitu se-orang suami.”
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang
berobah merah.
“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh
Pangeran Yang Mulia! Engkau de-ngar
sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui
memandang lagi kepada Sang Pangeran
dan mengerutkan alisnya yang kecil
panjang dan melengkung hitam itu. “Akan
tetapi hamba merasa sangsi dan bingung,
Pangeran. Biarpun besok akan berkumpul
banyak pria sebagai tamu, sia-pakah
gerangan di antara mereka itu yang cukup
pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita
seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah
bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini
“memancing” pendapat Pa-ngeran tentang
hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan
menggelengkan kepala. “Memang sukar....
memang sukar mencari jodoh yang tepat
untuk seorang wanita seperti Enci Syanti
Dewi ini....”
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw
Yan Hui untuk cepat berkata, “Ti-dak ada
Choirul, maret 2008 413
yang tepat memang, kecuali Paduka
sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi
melimpahkan kehormatan itu....”
“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan
suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan
mengangkat kedua tangan, menggoyanggoyangkan
kedua tangannya itu. “Aihh,
Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti
Dewi bagiku seperti kakakku sen-diri,
setidaknya seperti seorang sahabat yang
amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama
sekali belum pernah memikirkan tentang
jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin,
Toanio.”
Syanti Dewi bertemu pandang dengan
pangeran itu dan wanita ini tersenyum.
Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui
mengerutkan alisnya dan dia merasa
kecewa bukan main. Perjamuan dilanjut-kan
dengan sunyi sampai selesai. Setelah
semua mangkok piring dibersihkan dari
meja dan diganti dengan makanan kering
dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata
kepada pangeran itu, suaranya penuh
permohonan.
“Betapapun kecewa rasanya hati ham-ba,
namun hamba dapat mengerti alasan yang
Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan
tetapi hamba mohon, sudilah kira-nya
Paduka menjadi pelindung dan pena-sihat
dari adik hamba ini dalam menen-tukan
pemilihan jodoh agar jangan sam-pai salah
pilih.”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ah, tentu
saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu
akan melindungi Enci Syanti, sung-guhpun
dalam hal perjodohan ini, orang semuda
aku yang tidak ada pengalaman ini mana
mampu memberi nasihat? Aku yakin bahwa
seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi
tidak akan dapat salah pilih.”
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui
mendengar jawaban ini. Akan tetapi
percakapan selanjutnya tidak lagi mena-rik
hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan
Sang Pangeran memang nampak ter-dapat
keakraban dan mereka itu bicara seperti
dua orang sahabat atau saudara. Maka dia
pun merasa sebagai penggang-gu atau
merasa menjadi orang luar, maka dengan
hormat dan alasan pening kepala dia pun
mengundurkan diri meningggalkan dua
orang itu melanjutkan percakapan di dalam
pondok mungil itu, sedangkan para
penabuh musik masih terus memainkan
musik dengan lirih se-bagai latar belakang
percakapan, tanpa mereka itu mampu
menangkap apa yang dibicarakan oleh
pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka
duduk, mereka dapat memandang keluar
jendela, ke atas langit yang bersih seperti
beludu hitam baru saja disikat, tanpa ada
debu atau awan sedikit pun yang menutupi
bintang-bintang yang berkilauan gembira.
Angin malam bersilir lembut, membawa
keharuman bunga dan daun yang tumbuh di
luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ
sebatang pohon besar yang berdiri seperti
menyen-diri dan silir angin lembut tidak
meng-ganggu pohon itu dari tidurnya.
Namun di antara celah-celah cabang dan
daun, dapat nampak bintang-bintang di
langit belakangnya, sehingga dipandang
sepintas lalu seolah-olah pohon itu berubah
benda-benda berkilauan.
Agaknya kedua orang bangsawan yang
duduk di dalam pondok dan kebetulan
keduanya memandang keluar jendela itu,
terpesona oleh keindahan malam gelap
tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam
lamunan masing-masing. Akan tetapi
keheningan yang meliputi seluruh tempat itu
seolah-olah membuat mereka segan untuk
mengganggu dengan kata-kata. Suara
yangkim dan suling yang lirih itu pun
termasuk ke dalam keheningan maha luas
itu, seperti juga suara jengkerik dan
belalang yang mulai berdendang dengan
suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit pung-gung
tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah
Choirul, maret 2008 414
menarik kembali kesadaran pangeran itu ke
dalam dunia lama. Dia menepuk punggung
tangan kiri dan menggaruknya, kemudian
terdengar dia menarik napas. Gerakan dan
suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar
pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia
duduk di situ menemani Sang Pangeran.
Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa
lagi.
“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali
agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti.
Betapa lucunya.”
“Ah, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia
tahu akan perasaan kita berdua yang
seperti dua orang kakak dan adik. Me-mang
begitulah dia, mungkin karena ke-patahan
hatinya, dia selalu menilai hu-bungan antara
pria dan wanita selalu hanya merupakan
hubungan yang mengan-dung kasih
asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk
membayangkan hubungan antara pria dan
wanita yang bukan ke-luarga sebagai dua
orang sahabat atau saudara dalam batin.
Maafkan dia.”
“Ah, tidak apa, Enci. Akan tetapi kalau
engkau memang tidak setuju dengan
diadakannya pemilihan calon jodoh,
mengapa engkau tidak menolak saja?”
“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya
telah berhutang banyak budi kepada Enci
Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya
sekarang telah menjadi apa, bahkan
apakah saya masih hidup. Ah saya hanya
menurut saja, untuk sekedar membalas
budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya
saya tidak setuju. Coba saja Paduka
bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga
puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya
sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”
“Ah, aku tidak percaya!” pangeran itu
berseru heran.
“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”
“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam
tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan
bahwa usiamu baru paling banyak dua
puluh tahun, aku percaya itu!”
Syanti Dewi tersenyum dan
mengge-lengkan kepalanya dengan muram.
“Ke-cantikan dan awet muda ini bahkan
makin lama menjadi semacam kutukan bagi
saya, Pangeran. Coba saya tidak
mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah
nam-pak tua dan tidak banyak orang datang
mengganggu saya....”
“Wah, jangan masukkan aku sebagai
seorang di antara mereka, Enci!”
Syanti Dewi lalu menjura dan berka-ta,
“Jangan khawatir Pangeran, Paduka
merupakan seorang istimewa, seorang
yang bukan datang karena kecantikan saya,
melainkan datang dengan hati bersih dan
bijaksana, karena itulah saya amat tunduk
kepada Paduka.”
“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi,
mana mungkin aku dapat per-caya kalau
engkau sudah berusia tiga puluh enam
tahun?”
“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima
puluh tahun!”
“Ah, masa....? Dia nampaknya tidak lebih
dari tiga puluh tahun!”
“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah
menerima ilmu membuat diri kami awet
muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi
Maya Dewi dari India.”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan
diam-diam dia merasa kagum bukan main.
Dia sendiri belum mempunyai niat untuk
mencari jodoh, akan tetapi andaikata pada
suatu waktu dia ingin mem-punyai seorang
kekasih, tantu dia akan membayangkan
Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh
enam tahun, mengapa engkau masih juga
enggan untuk memilih jodoh? Bukankah
sudah cukup waktunya bagi seorang wanita
Choirul, maret 2008 415
seusiamu itu untuk mem-punyai seorang
suami?”
Syanti Dewi memandang wajah pange-ran
itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi
mukanya dengan kedua tangannya dan
menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong
terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam
saja, membiarkan puteri itu menangis untuk
menguras tekanan batin yang dideritanya
pada saat itu. Akhirnya, setelah banyak air
mata terkuras, dan mengalir keluar melalui
celah-celah, jari tangannya, Syanti Dewi
menurunkan ke-dua tangannya dan
menggunakan sapu-tangan untuk
menyusuti air matanya dari pipi.
“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah
lupa diri membiarkan kedukaan menyeret
hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi
isarat dengan tangan untuk menyuruh para
pelayan yang berada di situ, juga yang
mainkan alat musik, un-tuk keluar
meninggalkan ruangan itu dan menanti di
luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu
lalu berkata dengan suara halus.
“Sebaiknya saya ceritakan semua ra-hasia
hati saya kepada Paduka, karena hanya
Paduka seoranglah yang saya per-caya dan
yang juga memaklumi keadaan hati saya.
Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi
mulai menceritakan semua pengalamannya
secara singkat dengan Wan Tek Hoat,
betapa sampai dia meninggalkan kota raja
Bhutan, lari dari istananya karena hendak
mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu
dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih mu-da itu
mendengarkan dengan penuh per-hatian
dan dia merasa terharu sekali mendengar
kisah seorang puteri raja yang karena kasih
asmara sampai meninggalkan istana
ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai
sekarang tetap tidak mau me-nikah.
“Tapi.... agaknya pria yang kaucinta itu
bukan seorang laki-laki yang baik, Enci!
Kalau benar dia seorang pria yang baik dan
mencintamu, mengapa sampai sekarang
dia belum juga datang mencari-mu?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya
tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia
dahulu adalah seorang pendekar yang
mulia.... setidaknya, bagiku....”
“Dan apakah sampai saat ini engkau masih
juga mencintanya, Enci?”
Sampai lama Syanti Dewi tidak mam-pu
menjawab, kemudian dia menarik napas
panjang dan lebih mendekati ke-luhan
daripada jawaban, “Entahlah....
ba-gaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai
kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah
kubikin putus pertalian batin itu.... akan
tetapi, betapapun juga, rasanya tidak
mungkin dapat menjadi isteri orang lain,
atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak
mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria,
Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak
tega untuk menolak perminta-an Enci Hui,
tidak tega untuk membuat-nya berduka,
maka saya terima saja per-mintaannya ini.
Hanya saya ragu-ragu.... apakah
penyerahan saya ini bukan meru-pakan
jembatan menuju kepada keseng-saraan
batin yang lebih besar lagi....”
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala.
Sudah banyak dia mendengar ten-tang
cinta antara pria dan wanita yang berakibat
pahit sekali. Kini, wanita yang amat
disayangnya seperti sahabat baik atau
seperti kakak sendiri ini malah menjadi
korban cinta pula!
“Kalau memang engkau sudah meng-ambil
keputusan, nah, besok kaulakukan-lah
pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemu-dian,
bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang
ke Bhutan. Aku akan memberimu surat
pengantar kepada Ayahmu dan se-pasukan
pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh
menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa
lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak
berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu
adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau
engkau lebih menghendaki tinggal di kota
Choirul, maret 2008 416
raja, biarlah aku akan membantumu, dan
suamimu dapat pula bekerja di kota raja,
sesuai dengan kepandaian dan
kemampuannya. Aku akan membantumu
sedapatku, Enci.”
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali
menangis dan dia segera menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki pangeran itu. “Ah,
Paduka adalah satu-satunya orang yang
kujunjung tinggi karena kemuliaan hati
Paduka. Biarpun Paduka masih muda,
namun Paduka penuh dengan
prikemanu-siaan dan kebijaksanaan.
Pangeran, beri-lah jalan kepada hamba,
bagaimana ham-ba harus berbuat?
Rasanya.... tidak mungkiniah hamba dapat
menyerahkan diri kepada pria lain....”
Pangeran Kian Liong memegang kedua
pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya
bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di
atas kursi, berhadapan dengan dia.
Kemudian dia mengepal tangan kanannya.
“Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria
itu. Dan dia.... dia membiarkanmu
menderita. Mau rasanya aku memukul
muka pria itu kalau aku berhadapan
de-ngan dia! Engkau wanita yang memiliki
cinta kasih yang begini murni, dan dia
membiarkanmu menderita. Keparat!”
“Pangeran, harap ampunkan dia....”
“Sudahlah, hati wanita memang sukar
dimengerti. Sekarang begini saja, Enci
Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula
sebagai calon! Jangan kaget, maksudku
aku muncul sebagai calon hanya untuk
membuat semua calon mundur, dan juga
untuk menyenangkan hati Ouw-toanio
sehingga engkau tidak akan merasa tidak
enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bu-kan
maksudku untuk memaksamu menjadi isteri
atau selirku, sama sekali tidak! Engkau
hanya akan kubebaskan dari sini tanpa
merasa mengecewakan hati Ouw-toanio,
dan setelah engkau ikut bersama-ku ke kota
raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke
Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja,
terserah. Bagaimana pen-dapatmu?”
Syanti Dewi terkejut dan juga merasa
terharu, sekali. Pangeran itu adalah
seorang sahabat yang amat baik, yang
ber-sikap manis kepadanya bukan karena
tertarik akan kecantikannya belaka,
melain-kan karena terdapat kecocokan di
antara mereka. Akan tetapi tidak
disangkanya bahwa pangeran ini mau
berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon
jodohnya, bukan karena ingin memperisteri
dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw
Yan Hui, melainkan semata-mata untuk
men-cegah agar dia tidak usah terpaksa
memilih seorang pria yang tidak dicintanya
untuk menjadi jodohnya, karena sungkan
menolak kehendak Ouw Yan Hui!
“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan
demikian.... umum sudah mengetahui
bah-wa Paduka memilih saya dan....”
“Ah, apa sih anehnya bagi seorang
pangeran untuk meengambil seorang
wa-nita seperti selir atau isterinya? Tidak
akan ada yang memperhatikan atau
mempedulikan, biar andaikata aku
meng-ambil sepuluh orang wanita
sekalipun.”
“Ah, kalau begitu saya hanya dapat
menghaturkan banyak terima kasih atas
budi pertolongan Paduka, Pangeran.”
“Sudahlah, di antara kita yang sudah
menjadi sahabat baik, perlukah bicara
tentang budi lagi?”
Pada saat itu nampak dua orang pe-layan
berjalan masuk perlahan-lahan sambil
membawa buah-buahan segar dan guci
minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi
cepat menyuruh mereka mendekat karena
dia ingin melayani Pangeran dengan buahbuahan
dan anggur yang merupakan
minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi
me-nuangkan anggur merah ke dalam
cawan emas, lalu menghaturkan minuman
itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda
Choirul, maret 2008 417
terima kasih saya, Pangeran.” kata Syan-ti
Dewi sambil menyerahkan cawan terisi
anggur merah itu. Pangeran Kian Liong
tersenyum dan menerima cawan itu.
Akan tetapi baru saja dia menempelkan
bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar
hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat
ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
“Tringgg....!” Cawan itu terpukul runtuh dan
terlepas dari tangan Sang Pangeran,
anggurnya tumpah dan memba-sahi sedikit
celana pangeran itu, cawan-nya terjatuh ke
atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring.
“Ihh! Siapa berani melakukan perbuat-an
ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan
Pangeran dan bersikap melindungi,
matanya memandang ke arah
melayang-nya sinar hitam kecil yang
ternyata ada-lah sebutir batu itu, yaitu ke
arah jen-dela. Dan pada saat itu
terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar
pondok, suara gedebak-gedebuk orangorang
berkelahi di dalam taman.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat!
Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke
dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya
melindungi Paduka.” Syanti Dewi lalu
mengambil sebatang pedang yang berada
dalam pondok itu, kemudian dengan
pedang terhunus dia menggandeng tangan
Sang Pangeran, diajaknya keluar dari
pondok melalui pintu belakang. Se-dangkan
dua orang pelayan wanita tadi sudah saling
rangkul dengan tubuh geme-tar, berlutut di
sudut ruangan itu.
Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu
sama sekali tidak merasa takut dan
si-kapnya tenang saja, namun dia tidak
menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi
dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu
belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak
nampak pengawal di situ. Syanti Dewi
menengok dan melihat di dalam
penerangan bintang-bintang yang surammuram,
ada sedikitnya enam orang sedang
mengeroyok pria yang bertangan kosong,
akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga
para pengeroyoknya mengepungnya
dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas
siapakah yang dike-royok dan siapa pula
yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih
dulu menyela-matkan Sang Pangeran dan
membawanya pergi dari tempat berbahaya
itu.
“Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik
tangan pangeran itu, mengajaknya pergi
sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong
melihat betapa wanita cantik itu sengaja
menempatkan diri di antara dia dan tempat
berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini
merasa kagum dan berterima kasih sekali.
Seorang wanita yang cantik sekali dan juga
gagah perka-sa, mempunyai kesetiaan
yang menga-gumkan, baik sebagai kekasih
maupun sebagai seorang sahabat! Dia
memandang ke arah orang-orang
bertempur itu dan melihat orang yang
dikeroyok itu, walau-pun yang nampak
hanya bayang-bayangan berkelebat, namun
dia dapat menduga bahwa bayangan itu
seperti pengemis gagah yang pernah
menyelamatkannya ketika dia diserbu
perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia
tidak dapat me-lihat jelas, apalagi Syanti
Dewi meng-ajaknya bercepat-cepat
meninggalkan taman.
“Ahhh....!” Syanti Dewi menahan
seru-annya ketika dia tiba di tempat di mana
tadinya para pengawal menjaga. Kiranya
para pengawal telah roboh malangmelin-
tang, entah pingsan entah tewas!
Pantas saja taman itu tidak nampak ada
penga-walnya. Syanti Dewi tidak mau
menyeli-diki karena dia harus cepat-cepat
menye-lamatkan Sang Pangeran. Dia kini
me-narik tangan Sang Pangeran dan
mengajaknya berlari menuju ke gedung.
Baru lega hatinya ketika dia telah berada di
dalam gedung dan setelah mengantar
Pangeran ke dalam kamar yang sudah
dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan
memesan kepada para penjaga yang
ber-ada di situ untuk menjaga keselamatan
Pangeran dengan baik, dia lalu menemui
Ouw Yan Hui. Ternyata peristiwa yang
Choirul, maret 2008 418
terjadi di taman itu tidak diketahui oleh
seorang pun di dalam gedung. Hal ini
membukti-kan betapa lihainya para
penyerbu itu, yang telah melumpuhkan
semua penjaga yang berada di taman tanpa
menimbulkan suara sedikit pun. Setelah
mendengar pe-nuturan Syanti Dewi, Ouw
Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan
bersama Syanti Dewi dia lari ke taman,
membawa se-batang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini
bersama sekelompok penjaga tiba di taman,
di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang
bertempur. Baik yang dikeroyok maupun
para pengeroyok tadi sudah tidak nampak
lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal
ternyata tidak tewas, ha-nya roboh tertotok
dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan
dua orang pelayan yang membawa
minuman dan buah-buah-an tadi pun masih
berlutut dan menggigil ketakutan di sudut
pondok. Sedangkan para pelayan lain juga
seperti para pe-ngawal keadaannya, yaitu
pingsan terto-tok! Ada pula yang pingsan
atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan
para penjaga untuk menyadarkan semua
orang itu. Souw Kee An yang juga telah
roboh tertotok segera bercerita di depan
dua orang wanita itu dan juga kepada Sang
Pangeran, dengan muka pu-cat dan
khawatir sekali.
“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu
kepandaian yang sangat tinggi.” komandan
ini bercerita dengan suara mengandung
kekhawatiran besar. “Hamba sedang
melakukan pemeriksaan di sekeliling taman
untuk menjaga keselamatan Pa-duka
Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba
diserang oleh seorang pria berkedok yang
melompat keluar dari balik semak-semak.
Hamba melawan dan sungguh luar biasa
sekali orang itu. Dengan beberapa kali
gerakan saja hamba telah roboh tanpa
dapat mengeluarkan seruan. untuk
mem-peringatkan teman-teman, dan harus
hamba akui bahwa selamanya hamba
belum pernah bertemu dengan lawan
selihai itu....” Komandan itu menggeleng
kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali,
yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi.
Hamba mengaku salah dan lemah, hanya
mohon pengampunan dari Paduka
Pangeran.”
Pangeran Kian Liong menggerakkan
tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri
seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu
bahwa engkau adalah seorang ko-mandan
pengawal yang baik, setia dan juga
berkepandaian tinggi. Akan tetapi,
menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk
kang-ouw yang memiliki kesaktian luar
biasa itu, tentu saja engkau tidak ber-daya.
Sudahlah, mulai sekarang engkau harus
mengerahkan pasukanmu dengan lebih
hati-hati lagi.”
Para pengawal dan pelayan bermacammacam
ceritanya, ada yang selagi berjaga
diserang dan sedikit pun mereka tidak
sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh
tak mampu bergerak dan ada yang
mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa
lagi. Dua orang yang membawa buahbuahan
dan minuman mengatakan bahwa
mereka membawa minuman dan buahbuahan
dari dapur dan tidak ada sesuatu
yang mencurigakan. Akan tetapi ketika
diperiksa, ternyata minuman ang-gur itu
mengandung obat perangsang dan obat
yang memabokkan! Jelaslah bahwa diamdiam
ada yang memasukkan obat itu ke
dalam guci minuman tanpa dike-tahui oleh
para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau
itu, tentu di antara para tamu, terdapat
orang-orang jahat dan pandai yang hendak
mencelakakan Pangeran, entah dengan
tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah
sekali dan dia mengerah-kan semua
pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan
Souw Kee An sendiri de-ngan berkeras
menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang
Pangeran!
Akan tetapi Pangeran itu sendiri ha-nya
tenang-tenang saja. “Aku tidak kha-watir.”
Choirul, maret 2008 419
katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti
Dewi. “Biarpun ada yang mengan-cam, ada
yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi
ada pula yang berniat baik dan selalu
melindungi. Buktinya, usaha mereka malam
ini pun gagal, bukan?” Dan sambil
tersenyum tenang dia me-masuki kamarnya
untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi
semakin kagum kepada pangeran itu.
Sudah jelas ada orang yang jahat hendak
mencelakainya, dan pangeran itu sendiri
hanyalah se-orang ahli sastra yang lemah,
namun ternyata memiliki nyali yang
demikian besarnya! Malam itu keadaan
menjadi tegang bagi para penghuni Pulau
Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak
tenang saja dan sampai jauh malam masih
terdengar mereka bersendau-gurau di
pondok-pondok penginapan mereka.
Memang tidak ada di antara mereka yang
tahu akan apa yang terjadi di taman tadi,
karena Ouw Yan Hui memberi peringatan
keras kepada semua penjaga agar tidak
mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak
akan menimbulkan panik di antara para
tamu yang banyak itu. Ketegangan itu
terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi,
Souw Kee An dan para penjaga dan
pengawal, dan mereka me-lakukan
penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan
Syanti Dewi sendiri yang meng-khawatirkan
keselamatan Pangeran, apa-lagi setelah dia
mendengar bahwa selama dalam
perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran
telah mengalami beberapa kali serangan,
bahkan telah pernah diculik, dia pun
menjadi tegang dan dia sendiri ikut
melakukan perondaan!
***
Pangeran Kian Liong memang seorang
pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak
kecil dia sudah mempunyai kepribadian
yang menonjol, maka tidaklah
menghe-rankan kalau kelak dia dikenal
dalam se-jarah sebagai seorang kaisar
yang cakap dan pandai serta bijaksana.
Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia
telah memiliki kepribadian luar biasa,
ketabahannya mengagumkan hati para
pendekar dan ketenangannya menghadapi
segala membuat dia selalu waspada dan
dapat meng-ambil keputusan yang tepat
karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang
yang justeru menjadi sasaran pe-nyerangan
gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia
membaca kitab yang dipinjam-nya dari
Syanti Dewi, yaitu kitab ten-tang
keagamaan Lama di Tibet. Tidak
sembarangan orang dapat membaca kitab
ini karena mempergunakan bahasa kuno,
campuran antara bahasa daerah dan
ba-hasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran
itu mampu membacanya! Satu-satunya
orang yang dapat membaca kitab itu di Kimcoa-
to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak
aneh karena sejak kecil di ista-na ayahnya,
Syanti Dewi mendapatkan pendidikan
membaca kitab-kitab kuno dan dia pun
paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah
malam, Sang Pangeran merasa lelah dan
mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas
meja dan dia pun merebahkan diri di atas
pembaringan yang berkasur lunak tebal dan
berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru
saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat
bayangan berkelebat. Sang Pa-ngeran
membuka kedua matanya dan ter-nyata di
dalam kamar itu telah berdiri seorang lakilaki!
Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia
tetap tenang dan tidak kehilangan
kewaspadaannya. Begitu mem-perhatikan,
hatinya lega kembali karena dia mengenal
pria itu yang bukan lain adalah jembel muda
yang pernah meno-longnya ketika dia
diserbu penjahat di dalam hutan! Makin
yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi
dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu
pula, dan dia pun dapat menduga bahwa
tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh
cawan araknya yang terisi minuman anggur
mengandung obat beracun! Dan tentu
jembel ini melawan enam atau lima orang
yang mengeroyok itu dalam usahanya
menyelamatkan dia pula! Maka dengan
Choirul, maret 2008 420
tenang dia pun bangkit duduk. Betapapun
juga, Sang Pangeran merasa kagum dan
juga terheran-heran bagai-mana orang ini
dapat memasuki kamar-nya begitu saja,
seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga
ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri
berjaga di depan pintu kamar! Orang ini
benar-benar memiliki ilmu kepandaian
seperti setan, pikirnya. Memang benar,
orang yang berpakaian tambal-tambalan
dan mukanya penuh kumis, jenggot dan
cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari
Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui,
pendekar yang rusak hatinya karena
asmara ini melakukan perjalanan siang
malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah
hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran
ter-ancam bahaya, dia cepat memberi
perto-longan. Akan tetapi dia enggan untuk
memperkenalkan diri, maka begitu dia
berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia
pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to
menggunakan sebuah perahu nelayan yang
ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa
hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau
inilah kekasihnya berada! Dengan cara
bersembunyi dia memasuki pulau itu dan
pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika
puteri ini menyambut Sang Pangeran dan
para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat
jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berobah
sama sekali! Masih seperti dulu saja,
bahkan makin cantik! Dia te-lah
bersembunyi sehari semalam di batu-batu
karang yang terpencil di ujung pulau dan
baru sekarang dia berani men-dekat, yaitu
setelah para tamu mulai berdatangan. Dia
melihat betapa Sang Pangeran disambut
dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia
melihat pula betapa pantas Syanti Dewi
berdamping dengan Pangeran itu. Kedua
matanya menjadi basah. Memang,
sepatutnyalah kalau Syanti Dewi
berdampingan dengan seorang pangeran
mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah
pantas sekali. Dia menunduk dan melihat
pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas.
Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri,
bahkan mera-sa heran mengapa seorang
wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta
seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah
yang cantik itu berseri dan tersenyumsenyum
ramah dengan sepasang mata
yang ber-sinar-sinar ketika menyambut
Sang Pa-ngeran, diam-diam Tek Hoat
merasa ikut bergembira dan bersyukur.
Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang
tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan
pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat
sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran,
dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau
melihat kenyataan dan dia mau
menerimanya kalau bekas tunangannya itu
menjadi calon isteri pangeran mah-kota
yang telah banyak didengarnya se-bagai
seorang pangeran yang amat bijak-sana itu.
Dan karena agaknya di situ akan terjadi
banyak saingan bagi Pangeran, dia akan
menjaga agar Sang Pange-ran dapat
menang. Kemudian dia men-dengar bahwa
setelah terlepas dari baha-ya dalam hutan
berkat pertolongannya, kembali pangeran
diserbu, bahkan diculik para penjahat. Hal
ini didengarnya dari percakapan di antara
para tamu yang dapat ditangkapnya di
tempat persembunyiannya. Kalau demikian,
keadaan Sang Pangeran itu belum tentu
aman. Di tem-pat ini pun perlu dijaga
keselamatannya. Apalagi kini Sang
Pangeran itu berobah keadaannya dalam
pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon
suami Syanti Dewi, dia harus selalu
melindungi Sang Pange-ran dari ancaman
bahaya! Inilah sebab-nya mengapa Tek
Hoat dapat mencegah ketika Pangeran
berada di dalam taman bersama Syanti
Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia
hanya merasa terkejut sekali ketika
mendapat kenyataan betapa orang-orang
yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia
maklum bahwa belum tentu dia akan dapat
lolos dari maut dalam pengeroyokan itu
kalau saja para pengeroyok itu tidak cepat
meninggalkan dia karena khawatir
penyerbuan pengawal setelah melihat
Pangeran dapat lolos dari pondok di taman.
Diam-diam dia lalu membayangi mereka
Choirul, maret 2008 421
dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke
dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah
bahwa para penyerang itu adalah orangorang
yang datang menyelinap di antara
para tamu, sehingga sukar untuk diketahui
siapa mereka, apalagi mereka semua
mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali.
Jelas bahwa ada orang ingin men-celakai
pangeran, entah dengan cara bagaimana.
Mungkin tidak ingin membu-nuh Pangeran,
karena kalau hal itu dike-hendaki mereka,
agaknya sukarlah me-nyelamatkan nyawa
Pangeran. Bukankah Pangeran itu pernah
diculik dan tidak di-bunuh? Entah apa
permainan mereka, akan tetapi yang jelas,
Pangeran teran-cam keselamatannya dan
dia harus me-lindungi Pangeran itu.
Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan
keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi
apa artinya para penjaga dan pe-ngawal itu
menghadapi orang-orang yang dia tahu
memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu?
Cara satu-satunya yang terbaik baginya,
adalah melindungi Pangeran itu secara
langsung! Maka dia pun bersem-bunyi di
wuwungan karena dia tahu bah-wa
penjahat-penjahat lihai itu kalau benar
malam ini datang menyerang, ten-tu
mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang
tengah malam, dia melihat berkelebatan
bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali
gerakan itu dan dalam sekejap mata saja
sudah lenyap lagi ditelan ke-gelapan
malam. Tek Hoat merasa tegang dan
khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk
melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia
mengambil keputusan, dengan gerakan
ringan dan cepat, dia membuka genteng
dan tanpa mengeluarkan suara, dia
me-masuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya
mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka
terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit
duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan
bibir dan dia pun menghampiri Pangeran
yang sudah me-nyingkap kelambu.
“Sssttt...., Pangeran, harap cepat
me-ninggalkan kamar ini, ada orang jahat
hendak datang.... biar hamba yang
menyamar menggantikan Pangeran....” bisik
Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan
cerdik itu segera dapat mengerti keadaan,
dan dia berbisik kembali sambil turun dari
atas pembaringan, “Baik, ce-pat
kaugantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat
menyusup ke bawah kolong pemba-ringan
itu!
“Ah, kenapa Paduka....?”
“Ssasttt...., aku mau nonton!” bisik
Pangeran itu yang sudah beraembunyi di
kolong pembaringan! Tek Hoat
membela-lakkan mata, lalu mengangkat
pundak dan menggeleng kepala. Pangeran
ini me-mang luar biasa, pikirnya.
Menghadapi ancaman maut bukannya
cepat menying-kirkan diri, malah ingin
menjadi penon-ton, dan bersembunyi di
kolong pemba-ringan! Bukan main! Akan
tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk
beebantah-an, maka cepat dia pun sudah
memasuki pembaringan di bawah kelambu,
dan me-nyusup di bawah selimut bulu yang
hangat itu. Dengan jantung berdebar dia
menanti. Juga Sang Pangeran yang
bersembunyi di kolong pembaringan itu
menanti dengan jantung berdebar penuh
ketegangan, juga kegembiraan karena
Pangeran itu biarpun bukan seorang ahli
silat tinggi namun satu di antara
kege-marannya adalah menyaksikan orangorang
kalangan atas mengadu ilmu silat dan
dia tahu bahwa tentu akan terjadi
pertarungan yang seru di dalam kamar itu
kalau ada penjahat berani masuk! Tiba-tiba
terdengar angin menyambar dan bagaikan
daun kering yang besar, dari atas melayang
turun tubuh seorang yang langsing kecil.
Orang ini pun me-makai kedok, bahkan
kedoknya menye-lubungi seluruh kepala,
hanya nampak dua lubang dari mana ada
sepasang mata mencorong dan
memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang
Choirul, maret 2008 422
itu yang kecil, sama sekali tidak
mengeluarkan suara ketika tubuhnya
melayang ke dalam kamar. Dari balik
kelambu, Tek Hoat yang memejam-kan
mata itu memandang dari balik bulu
matanya, dan dia terkejut karena menduga
bahwa tentu orang yang datang ini seorang
wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa
wanita ini memiliki ke-pandaian yang tinggi,
maka dia, sudah siap siaga. Sedangkan
Sang Pangeran yang berada di kolong
pembaringan, ha-nya melihat kaki sampai
ke paha yang tertutup celana hitam, kaki
yang kecil. Dari tempat dia sembunyi,
Pangeran itu dengan hati geli
membayangkan apa akan jadinya kalau dia
mengulur tangan me-nangkap kaki itu dan
menariknya! Tentu orang itu akan terkejut
sekali, dia mem-bayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu
meng-gerakkan tubuhnya, melesat ke arah
pembaringan dan tangan kanannya
ber-gerak menghantam ke arah kedua kaki
Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika
jari-jari tangan yang lentik kecil itu
menyambar. Tek Hoat terkejut bukan main.
Itulah pukulan yang amat berbaha-ya! Maka
dia pun cepat meloncat dan menarik
kakinya, kemudian menendangkan kaki
kirinya ke arah pusar lawan sedang-kan
tangannya dengan gerakan cepat sekali,
dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah
leher lawan. itulah pukulan, jari telanjang
yang membuat nama Si Jari Maut terkenal
di seluruh dunia kang-ouw.
“Wuuuttt.... cettt....!” Tek Hoat me-loncat ke
samping, tusukannya kena di-tangkis dan
ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita
Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun
robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah
pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu
pukulan yang amat dahsyat mengerikan
dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok!
Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan
kilat kalau dia menggunakan pukulan ini
dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang
luar biasa lihainya, yang berhawa dingin
dan dapat membunuh lawan seke-tika!
Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang
terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah
mati! Dia tadinya mengira bah-wa tugasnya
akan dapat dilaksanakan dengan mudah,
yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah
semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal,
maka kini Ji-ok yang menerima tugas
langsung dari Toa-ok yang memimpin
gerakan atas perintah Sam-thai-houw itu
untuk memasuki ka-mar Pangeran dan
merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok
mengira bahwa dengan sekali gerakan
Kiam-ci saja tentu dia akan mampu
membuat kedua kaki Pa-ngeran itu lumpuh
untuk selamanya. Apa artinya Pangeran
Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tak
mungkin bisa diang-kat menjadi kaisar!
Itulah rencana keji mereka. Maka ketika
tiba-tiba “Pange-ran” itu mampu mengelak,
meloncat bah-kan melakukan serangan
sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih
lagi me-lihat betapa serangan tusukan jari
tangan orang itu ternyata ampuh bukan
main, terbukti dari anginnya yang
menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa
dia terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia
melihat bahwa yang menyerangnya itu
sama se-kali bukan Pangeran Mahkota,
melainkan seorang pria berpakaian jembel!
“Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan
pena-sarannya menerjang Tek Hoat, dan
seba-liknya Tek Hoat yang juga marah
sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah
menyerangnya dengan menggunakan
pukulan-pukulan jari terbuka yang sama
ampuh-nya. Pertempuran sengit terjadi di
dalam kamar itu, ditonton oleh Sang
Pangeran yang menjadi gembira sekali
sampai ber-seri-seri wajahnya. Tek Hoat
menjadi semakin heran dan kaget karena
dia mem-peroleh kenyataan bahwa
lawannya benar-benar hebat! Betapa pun
dia berusaha menangkap atau
merobohkannya, namun usaha ini sama
sekali tak berhasil, bah-kan dia sendiri
terdesak oleh serangan-serangan telunjuk
tangan yang amat ber-bahaya itu. Akan
tetapi, keributan itu memancing perhatian
para penjaga. Pintu kamar digedor oleh
Souw Kee An sampai terbuka, akan tetapi
ketika komandan ini dan para pengawal
Choirul, maret 2008 423
menyerbu, dua orang yang sedang
bertanding itu melon-cat ke atas dan
lenyap!
Souw Kee An menjadi bingung karena tidak
melihat Pangeran di atas pemba-ringan.
“Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak
Souw Ke An dengan wajah pucat karena
dia mengira bahwa Pangeran te-lah terculik
lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah
tempat tidur dan Souw Kee An sampai
meloncat ke belakang saking ka-getnya,
akan tetapi dia pun membelalak-kan kedua
matanya dan berseru girang ketika
mengenal kepala itu.
“Paduka Pangeran....”
Pangeran Kian Liong merangkak ke-luar
dari kolong tempat tidur sambil ter-senyum.
“Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apaapa.”
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga
berkelebat masuk dan ternyata dua orang
wanita itu membawa sebatang pedang,
wajah mereka agak pucat dan memegang
tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat,
Pangeran? Aihh, terima kasih kepada Thian
bahwa Paduka selamat. Tadi saya melihat
dua bayangan berkelebat demi-kian
cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika
saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan
itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi
dalam kamar ini, Pange-ran?”
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An,
“Souw-ciangkun, suruh anak buahmu keluar
semua dan berjaga dengan tenang saja,
jangan membikin ribut.” Kemudian setelah
Souw Kee An memberi perintah dan
mengatur semua anak buah-nya dan
kembali ke dalam kamar itu, Sang
Pangeran bercerita kepada Souw Ke An,
Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.
“Kalau tidak ada penolong lama itu, entah
apa jadinya dengan diriku. Penge-mis sakti
itu muncul tiba-tiba dan me-ngatakan
bahwa ada penjahat hendak menyerang,
maka dia menggantikan aku di tempat tidur,
dan minta agar aku menyingkir dari kamar.
Akan tetapi aku lebih suka nonton, dan aku
bersembunyi di kolong tempat tidur.
Kemudian muncul seorang wanita
berkedok, lihai bukan main dia, menyerang
ke arah pembaring-an dan terjadilah
perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi
para pengawal datang dan mereka lalu
pergi.
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangan-nya.
Kurang ajar sekali, ada penjahat berani
menyerang pangeran di tempat ini, sedikit
pun tidak memandang kepada penghuni
Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat
menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu
akan hamba jadikan dia makanan ular-ular
Kim-coa!”
“Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan
saya malam ini menjaga di sini, agar
Paduka benar-benar terlindung.” kata Syanti
Dewi.
“Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci
Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian
menjaga dalam kamar ini.”
“Biarkan hamba saja yang menjaga dalam
kamar Pangeran.” kata Souw Kee An.
Akhirnya usul ini diterima dan dua orang
wanita itu kembali ke kamar ma-singmasing,
akan tetapi jelas bahwa malam itu
mereka tidak mampu tidur, selalu siap untuk
meloncat keluar apabila terdengar suara
mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas
kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar
saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apaapa
yang mengancam keselamatannya.
Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga
ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu,
bahkan di atas wuwungan atap kini penuh
dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar
seekor tikus pun agaknya tidak akan
Choirul, maret 2008 424
mampu masuk kamar itu tanpa diketahui
pengawal!
***
Menurut hasil penyelidikan para mata-mata
yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini
mendapat kepastian bahwa yang patut
dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya
ada lima orang saja di an-tara begitu
banyak tamu, yaitu yang menurut syaratsyarat
yang ditentukan-nya, di samping
keistimewaan masing-masing. Orang
pertama, menurut penyelidikan para matamata
itu, tentu saja adalah Pangeran Kian
Liong! Oran ke dua bernama Thio Seng Ki,
seorang muda hartawan besar dari Cin-an
di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga
ber-nama Yu Cian, seorang pemuda
sastra-wan terkenal dari Pao-teng yang
pernah menggondol juara pertama ketika
diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja,
juara yang diraihnya karena kepintaran-nya
dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak
mempergunakan harta untuk me-nyogok
para pembesar yang berwenang dalam
ujian negara itu. Orang ke empat bernama
Lie Siang Sun, usianya lebih tua daripada
para calon lainnya, karena dia sudah
berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal
sebagai seorang pendekar muda yang
gagah perkasa di selatan dan selain
terkenal alim dan belum menikah, juga di
kalangan kang-ouw dia dikenal dengan
julukan Pendekar Budiman, karena sepak
terjangnya yang berbudi. Kemudian calon
ke lima adalah seorang seniman
terke-muka pula, seorang ahli lukis dan ahli
musik yang pernah mengadakan
pertun-jukan di istana Kaisar. Kelima orang
calon yang terpilih ini rata-rata memiliki
wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat
perbandingan, yang empat orang itu lebih
tampan dan gagah daripada Pangeran Kian
Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu
memberitahukan kepada Syanti Dewi
tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti
Dewi untuk menentukan pilihannya.
“Adikku, kalau Sang Pangeran tidak
mungkin dimasukkan sebagai calon, maka
pilihan kita hanya ada empat orang yang
patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah
melihat sendiri mereka itu dan di antara
tamu, dan memang hasil penyelidikan
orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka
adalah pria-pria pilihan, Adikku.”
Syanti Dewi tersenyum pahit. “Tentu saja
Pangeran Kian Liong boleh juga di-sebut
calon, mengapa tidak?” Jawaban ini tentu
saja berani dikemukakan setelah dia
bercakap-cakap dengan Sang Pange-ran
malam tadi di taman, sebelum ter-jadi
penyerbuan. Biarpun dia belum melihat
empat orang yang dicalonkan itu, namun
hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak
mungkin dia dapat memilih seorang di
antara mereka, maka dia sudah mengambil
keputusan untuk “memilih” Pangeran Kian
Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau
ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui.
Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang
dengan wajah ber-seri.
“Yakin benarkah engkau bahwa beliau
boleh dimasukkan sebagai calon?”
“Mengapa tidak, Enci? Dia juga se-orang
pria dan dia suka kepadaku bu-kan?”
Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui
girang sekali. Memang itulah yang
diharapkan. Kalau saja Syanti Dewi dapat
menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi
calon permaisuri!
Pada keesokan harinya, setelah mata-hari
mulai menyinarkan cahayanya me-nembus
celah-celah daun di pohon-pohon, para
tamu dipersilakan datang ke ruang-an luas
di depan, di mana telah diper-siapkan
ruangan pesta dan diatur meja-meja yang
dikelilingi bangku-bangku untuk tempat
makan minum. Berbondong-bondong para
tamu mendatangi ruangan itu dan suasana
meriah sekali karena selain tempat itu
dihias dengan kertas-kertas berwarna dan
bunga-bunga, juga diramaikan dengan
musik yang dimainkan oleh wanita-wanita
muda.
Choirul, maret 2008 425
Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka
tidak kurang dari seratus lima puluh orang
dari bermacam golongan, segera
dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan
beberapa macam kuih kering. Kemudian,
seorang wanita muda cantik yang memiliki
suara bening dan terang juga lantang, yang
bertugas sebagai pengatur acara,
memberitahukan bahwa sebelum pesta
dilanjutkan dengan hidang-an, akan
dilakukan pembukaan barang-barang
hadiah di depan para tamu. Suasana
menjadi gembira ketika beberapa orang
wanita pembantu mulai membuka barangbarang
hadiah yang bertumpuk di atas meja
besar itu. Setiap bungkusan yang dibuka,
diteriakkan nama penyum-bangnya oleh
seorang wanita dan benda sumbangan itu
diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh
seorang wanita lain yang berdiri di tempat
tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua
tamu benda yang disebutkan nama
penyumbangnya itu. Para tamu kadangkadang
mengeluar-kan seruan kagum
apabila ada bungkusan yang terisi barang
sumbangan yang amat indah dan yang luar
biasa mahalnya, me-rupakan benda yang
sukar ditemukan. Agaknya para
penyumbang itu hendak berlumba untuk
memikat hati sang juita melalui barangbarang
sumbangan itu. Akan tetapi
bungkusan terakhir dari barang-barang
hadiah itu membuat semua tamu menahan
napas dan memang hal ini disengaja oleh
Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah
sumbangan dari pe-muda hartawan Thio
Seng Ki yang ter-nyata merupakan seuntai
kalung bermata berlian sebesar biji-biji
lengkeng, berlian yang berkeredepan
mengeluarkan cahaya berkilauan dan
ruangan itu seolah-olah memperoleh
tambahan sinar yang terang. Setelah
menahan napas, kini terdengar seruanseruan
kagum dan jelas bahwa seruanseruan
ini melebihi kekaguman mereka
terhadap benda-benda berharga yang telah
diperlihatkan tadi.
“Sumbangan ini datang dari Tuan Muda
Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian
terdengar suara wanita yang membuat
laporan. Terdengar tepuk ta-ngan dan suara
ini disusul oleh tepuk tangan para tamutamu
lain tanda bahwa mereka semua
mengenal barang indah dan mahal. Tanpa
dinyatakan sekalipun semua tamu dapat
merasakan bahwa dalam hal hebatnya
sumbangan, orang muda she Thio itu jelas
menduduki ting-kat paling atas dan hal ini
saja sudah menguntungkan dia dalam
penilaian Pu-teri Syanti Dewi. Semua mata
kini meli-rik ke arah puteri itu dan memang
sejak mereka semua berkumpul di tempat
itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang
memiliki daya tarik seperti besi sem-berani,
membuat para tamu sukar untuk tidak
melirik ke arahnya.
Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri
Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut
tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke
bawah, seolah-olah hanya di-belitkan saja
akan tetapi dengan cara yang demikian
luwes dan menarik. Di balik sutera hijau
yang tipis menerawang ini nampaklah
lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke
bawah berwarna merah muda dan dari
pinggang ke atas berwar-na kuning. Ikat
pinggangnya berwarna biru, sepatunya
berwarna coklat. Ram-butnya yang hitam itu
nampak memba-yang di balik kerudung
sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut
dari emas ber-taburan intan dan mutu
manikam. Betapa pun indahnya semua
pakaian dan perhias-an yang menempel di
tubuh puteri ini, semua itu nampaknya
menyuram apabila dibandingkan dengan
wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang
gemilang dan berseri, cantik jelita dan
mengandung kemanisan yang kadangkadang
menyejukan hati kadang-kadang
menggairahkan berahi itu, kiranya semua
pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada
artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes
dan pantas, mem-buat para pria yang
memang sejak lama tergila-gila kepadanya
kini menelan ludah dengan pandang mata
yang sukar dialih-kan.
Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bueng-
kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak
cantik dan anggun, sungguhpun kalah jauh
Choirul, maret 2008 426
kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi.
Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu
duduklah dengan amat tenangnya
Pangeran Kian Liong.
Pangeran ini adalah seorang yang
bijaksana dan pandai, maka biarpun dia
hanya memandang dari jauh, dia dapat
mengetahui dengan pasti bahwa benda
yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi,
berharga jauh lebih mahal daripada semua
barang sumbangan tadi dijadikan satu!
Seuntai kalung itu saja sudah dapat
dijadikan modal membuka sebuah toko
yang besar! Sungguh merupakan benda
yang amat langka dan amat mahal, maka
diam-diam dia kagum kepada pemberinya.
Hanya orang yang sungguh-sungguh serius
sajalah yang mau menyumbangkan benda
semahal itu. Kalau Syanti Dewi menjadi
isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan
menjadi isteri seorang yang kaya-raya.
Apalagi penyumbang itu sendiri, yang
bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun yang cukup ganteng,
seperti yang dapat dilihatnya dari tempat
duduknya ketika benda itu diumumkan dan
Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah
pemuda penyumbang itu! Itulah calon
pertama, pikir Sang Pangeran.
Kemudian hadiah-hadiah berupa lukis-an,
tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak
berpasangan, dan sajak-sajak serta
tulis-an-tulisan indah juga dipamerkan satu
demi satu, dan diumumkan nama para
penyumbangnya. Ketika nama pemuda Yu
Cian disebut dengan sumbangannya
beru-pa sajak, semua orang segera
menaruh perhatian, terutama sekali di
kalangan mereka yang memperhatikan
tentang sastra. Bahkan Sang Pangeran
sendiri ter-tarik, karena dia pun sudah
mendengar akan nama pemuda yang
menggondol juara pertama ini, yang
kabarnya amat menonjol keahliannya
membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan
itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak
mungkin da-pat terbaca oleh para tamu
yang duduk agak jauh, maka terdengarlah
Sang Pa-ngeran berkata, “Harap sajaksajak
dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!”
Mendengar anjuran Pangeran ini,
be-berapa orang berteriak mendukung dan
akhirnya sebagian besar dari para tamu
mendukungnya. Syanti Dewi mendengar
Sang Pangeran berkata kepadanya di
antara suara bising itu, “Enci, sudah
sepatutnya kalau engkau minta penulis
sajak untuk membacanya sendiri.”
Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang
Pangeran berkata demikian, akan tetapi
karena dia pun mengenal baik Yu Cian
yang merupakan seorang kenalan yang
selalu bersikap sopan terhadap dia, maka
dia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit
berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri,
semua suara pun sirep dan keadaan
men-jadi hening, maka terdengarlah dengan
jelas suara Syanti Dewi yang bening dan
halus, “Memenuhi permintaan para
sau-dara, maka kami mohon sukalah Yu
Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang
ditulisnya!”
Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai
yang riuh rendah dan dengan muka yang
berobah merah sekali terpaksa Yu Cian
bangkit berdiri dari tempat duduk-nya, dan
dengan langkah-langkah tenang dia menuju
ke tempat para pembantu wanita yang
membuka barang-barang hadiah
sumbangan itu. Setelah menerima gulungan
kain tulisannya, dia lalu menjura dengan
hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan
Ouw Yan Hui, dan semua tamu
memandang kepada pemuda ini dengan
kagum. Seorang pemuda yang tampan dan
memang patutlah kalau dia menjadi siucai
tauladan yang lulus seba-gai juara di kota
raja. Suasana menjadi hening sekali
sehingga kini, suara pemu-da itu
membacakan sajaknya terdengar satu-satu
dengan jelas.
“Cantik Indah bagai bunga anggrek harum
semerbak bagaikan bunga mawar merdu
merayu bagaikan sumber air, Gilang
gemilang seperti fajar menyingsing redup
Choirul, maret 2008 427
syahdu seperti sang senjakala duhai Bunga
Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan
kecuali seuntai sajak bisikan kalbu disertai
hati yang subur basah tempat Sang Bunga
mekar berseri.”
Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya
sungguh amat mengesankan. Suaranya
halus bening dan mengandung getaran
karena pembacaan itu dilakukan
sepenuhnya perasaannya sehingga seolaholah
dia sedang memuji-muji kecantikan
Syanti Dewi secara terbuka, demikian
terasa oleh semua orang sehingga
suasa-na menjadi mengharukan. Bahkan
setelah pemuda itu selesai membaca sajak,
sua-sana masih menjadi hening sekali. Baru
setelah pemuda itu menyerahkan kembali
gulungan sajak, kemudian memberi hormat
kepada Syanti Dewi dan Pangeran,
meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai
memuji. Pangeran Kian Liong sendiri
bertepuk tangan memuji dan memang dia
merasa kagum sekali kepada pemuda itu.
Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian
hati seorang pria yang sedang dilanda
asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga
anggrek, ratu segala bunga yang seolaholah
tidak pernah layu dibandingkan
de-ngan semua di dunia ini, kemudian
harum seperti bunga mawar bunga yang
keharumannya tidak pernah lenyap biarpun
bunganya sendiri telah lama layu! Dan
suara apakah yang melebihi kemerduan
suara gemericik air sumber yang tidak
pernah berhenti, mengandung dendang
asmara yang kekal? Kemudian dalam
pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan
gilang-gemilang seperti fajar menyingsing
dan redup syahdu seperti sang senjakala.
Memang tiada keindahan yang begitu
menggetarkan hati yang peka melebihi
keindahan fajar menyingsing di kala
matahari mulai timbul sebagai bola besar
kemerahan yang berseri-seri, dan
kere-dupan senjakala di waktu matahari
teng-gelam yang menciptakan warna-warna
dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa
indahnya di langit barat. Kemudian, yang
amat mengharukan, pemuda itu tidak
mampu mempersembahkan apa-apa
ke-cuali sajak yang disertai sebuah hati
yang akan selalu menghidupkan sang
Bunga dengan luapan cinta kasih yang
diumpamakan keadaan hati yang subur dan
basah selalu! Pemberian seperti inilah yang
dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu
kasih sayang pria dalam arti kata yang
sedalam-dalamnya, bukan segala macam
benda berharga kalau diberikan dengan hati
yang kering dan tandus!
Dengan muka kemerahan, pemuda
sastrawan itu kembali ke tempat duduk-nya
semula. Kini Sang Pangeran menjadi
bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang
tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang
tampan dan ahli sastra, meru-pakan dua
orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri
Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang
dalam lautan harta, se-baliknya menjadi
isteri Yu Cian, dara itu akan berenang
dalam lautan kemesraan!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang
betapa dia telah berhasil
“mem-perkenalkan” dua di antara caloncalon
itu secara tidak langsung kepada
semua orang. Kini hidangan mulai
dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu
bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk
meng-hibur para tamu. Mulailah pesta yang
meriah itu. Para tamu makan minum
hidangan-hidangan yang istimewa, musik
dibunyikan keras-keras dan nampaklah
penari-penari yang muda-muda dan cantikcantik
menari dengan lemah-gemulai di
panggung yang agak tinggi itu. Para tamu
makan minum sambil menikmati tontonan
yang amat menarik itu. Karena -ada
hidangan dan tontonan tarian, maka baru
sekaranglah para tamu agak “melu-pakan”
Syanti Dewi sehinga hanya bebe-rapa
orang saja yang dapat melihat ke-tika
wanita itu meninggalkan tempat duduknya
menuju ke dalam.
Setelah beberapa macam tarian disa-jikan,
tiba-tiba Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan
dengan suaranya yang nyaring dia
Choirul, maret 2008 428
mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi
yang mulia! Dengan penuh rasa te-rima
kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman,
maka sekarang adik kami, Syanti Dewi,
akan menghibur Cu-wi dengan sebuah
tarian istimewa dari Bhutan!”
Musik berbunyi lagi, dan kini ter-dengar lagu
yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari
dalam muncullah Syanti Dewi. Semua
orang menahan napas penuh ka-gum
melihat betapa puteri itu dengan pakaian
yang serba mewah meriah, memakai
selendang kuning muda yang pan-jang,
berlari-lari seperti terbang saja, seperti
bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam
dan menuju ke panggung. Meledaklah
suara tepuk sorak menyabut-nya. Demikian
gemuruh sorak-sorai ini sehingga
menenggelamkan suara musik. Baru
setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi
yang kini sudah berjongkok dengan sikap
manis sambil menyembah, mulai bangkit
dan diikuti irama tetabuhan yang merdu
mulailah dia menari!