Telepon

7 3 0
                                    

Andreas: Halo?

Bu Neni: Maaf, Pak, sarapannya sudah siap.

Andreas: Oh, iya Bu Neni, terima kasih. Tolong disimpan dulu.

Miriam: Telepon siapa lagi, sih, Pap? Urusin Ares dulu!

Andreas: Ya, Bunda, ini juga sedang Papi lakukan. Bunda yang tenang.

Miriam: Kalau dari dua hari lalu kita langsung kejar dia dari terakhir dia angkat telepon, pasti sekarang anak itu sudah ketemu.

Andreas: Halo? Halo?

Marshall: Pap, Bun, Mars boleh makan duluan?

Miriam: Kamu lagi! Bukannya bantu cari! Kamu, kan, bisa nyetir langsung ke Bandung! Bawa teman-teman kamu biar ada gunanya!

Marshall: Bun, kemarin Mars ada keperluan—

Miriam: Dua hari lalu, Mars, bukan kemarin! Pasti udah keburu ke Jawa dia sekarang. Bu Neni, bisa minta tolong?

Bu Neni: Ya, Nyonya?

Miriam: Tolong buatkan jamu yang biasa. Sama air putih hangat.

Bu Neni: Baik. Duduk dulu, Nyonya.

Andreas: Kalian sudah di mana?

Miriam: Kalau memang Ares sudah ketemu, nggak usah ba-bi-bu, langsung pulang! Nggak ada mampir-mampir atau istirahat! Anak itu selalu punya cara saat kita lengah.

Andreas: Memangnya dua hari lalu betul-betul tidak ada yang lihat dia pergi?

Miriam: Papi tanya siapa? Bunda? Papi tahu sendiri Bunda pulang lebih awal dari jadwal. Kalau bisa lebih cepat lagi, ya, Bunda pasti pergoki Ares.

Andreas: Sebentar—ya, Papi tahu. Bukan salah Bunda. Bu Neni sedang di ruang setrika. Pak Wahyu pergi cari baut untuk betulkan engsel pintu gudang. Berarti betul Ares menyelinap.

Miriam: Nggak mungkin, Pap. Bukannya Bunda nggak percaya sama Bu Neni dan Pak Wahyu, tapi pasti ada tanda-tandanya. Belum cukup dia menghindar? Belum puas juga sudah dibiarkan pilih kampus sendiri?

Bu Neni: Permisi, Pak, Nyonya, Nak Mars. Ini jamu dan air hangatnya. Bapak mau sekalian dibawakan sarapannya ke sini juga?

Andreas: Tidak usah, Bu Neni. Disimpan saja.

Miriam: Duh, pegal-pegal badanku ini. Mau treatment juga kepikiran anak.

Andreas: Halo? Maaf. Sudah bisa kabarkan keadaannya sekarang?

Marshall: Bun, Ares pasti nggak pergi jauh, kok. Paling udah balik. Paling di rumah Kakek.

Miriam: Nggak, dia nggak di sana—

Andreas: Dia nggak mungkin ke Pondok Indah. Mengerti?

Marshall: Mars cuma usul, Pap. Siapa tahu sekarang udah ada.

Miriam: Dia nggak di sana, Mars. Memangnya Bunda nggak ngecek Pondok Indah? Nggak ngehubungin Kakek? Memangnya karena Papi nggak ngomong lagi sama Kakek, Bunda juga nggak ngomong sama Kakek? Kamu ke mana aja, sih?

Andreas: Sudah, ini urusan keluarga kita. Jangan bawa-bawa orang lain. Bikin pusing saja.

Miriam: Mending kamu berbuat sesuatu, deh. Apa, kek, nyusul, kek. Kalau memang kata kamu Ares sudah di Bekasi, cari sampai ketemu!

Marshall: Ya, nggak bisa gitu, Bun. Bekasi, kan, luas. Lagian Ares udah dewasa, udah lewat delapan belas tahun—

Miriam: Terus kamu yang dua delapan apa kabar? Sudah dewasa juga? Kamu kira Bunda nggak tahu kerjaan kamu? Party-party, bikin keributan, ngabisin duit—memangnya Bunda cari Ares terus karena apa? Karena kamu nggak bisa diharapkan! Perlu Bunda ingatkan lagi berapa banyak publisis yang repot tutupin perkelahian kamu dua bulan lalu?

Menanti MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang