Seorang Presiden yang kedengaran lebih seniman. Duta kebudayaan lebih tepatnya. Pernah mendapat rentetan pertanyaan yang bertubi-tubi dari tukang obat pinggir jalan. Konon katanya tukang obat itu ketika mencari barang belanjaan harus menyarter pesawat ulang-alik, karena ada barang yang laku keras tak terdapat di bumi. Melainkan pada tempat dimana syetan-syetan pernah dilempar dengan bintang ketika ingin mencuri berita langit. Ada yang percaya ada yang tidak. Dia hanya tukang obat, dari mana mendapat uang sebanyak itu.
Tukang obat tak menghiraukan omongan pedas dari para netizen. Mereka mungkin sering-sering mengkonsumsi es mambo rasa rujak dengan isian mangga muda asam. Sebaik-baik melawannya dengan membuat bukti yang nyata, katanya. Ia bilang; "senyata-nyataya. Kalau bisa buat mereka terdiam dengan kata-katanya sendiri. Mungkin mereka perlu belajar pada burung Nuri yang mengucapkan kata seperlunya saja, kadang tindakan mereka lebih pelit dari ucapan yang berbuih-buih itu, buih lautan itu rasanya lebih guruh," tuturnya pada satu waktu ketika seorang pengunjung tampak arogan.
Hari itu benar-benar hari yang cerah. Seorang presiden datang secara tak terduga menunggang seekor rajawali. Maaf, maksudnya pesawat pribadai bergambar rajawali, o bukan itu benar-benar pesawat berdesain seekor rajawali lengkap dengan suaranya yang melegenda. Pada paruhnya seekor pitonoba tengah terkulai lemas. Tukang manggut-manggut ketika merasa ular itu masih hidup selamat dari terbarkarnya hutan. Sebuah hutan yang kata-kata dari ketua adat telah diingkari sedemian rupa. Manusia kadang lebih buas dari hewan pengerat sekalipun.
"Bagaimana penjualanmu hari ini," tanya Presiden sambil menggulung lengan bajunya yang bersih, dan menarik hidunnya karena ia tengah dilanda flu yang berat. Ajudan dan orang yang menyertainya mencegahnya ketika ingin blusukan ke pelosok-pelosok desa. Mereka terbungkam ketika mendegar ujaran; "Aku tak makan gaji buta, karena aku bermimpi tadi malam leherku dijerat oleh trilunan uang yang terus berteriak dan mengancam," Tuturnya di satu pagi sebelum kepergiaannya blusukan mengunjungi rakyatnya. "Ini kedengaran wagu, tapi apa boleh, hari yang mendebarkan itu segara menyerbu, kalian paham maksudku," tambahnya sambil tersenyum. Mata yang agak sipit tampak berwibawa, hanya itu kewibawaannya. Selain itu tampak seperti kanak-kanak berlari-berlari mengejar layangan petel.
"Tikus-Tikus itu telah mencuri obat mujarab yang menjadi bahan dasar dari semua obat yang kujual." Jawab tukang obat.
"Mustahil, mereka sudah kenyang."
"Tidak, bahkan mereka sudah mengusai lumbung-lumbuh tidakkah bapak perhatikan. Tapi, aku heran sebagian dari mereka tetap tampil dengan bulu-bulunya, sebagian lain begitu subur dengan kuku-kuku yang terawat.
"OK, nanti aku akan sidak. Bapak jangan khawatir. Sekarang bagaimana kau akan berjualan,"
"Boleh aku pinjam pesawat bapak, aku ingin pergi ke tempat lain. Semoga barang yang ada dan lebih terjangkau harganya."
"Boleh saja, dengan apa kau akan membayar."
"Mungkin aku bisa membawa sekepal dua kepal batu-batu langit. Mungkin bapak bisa ke pengepul batu akik, harganya kutaksir bisa membeli tempat orang-orang dirampas."
"Kau banyak omong, bawakan saja yang dipesan oleh-oleh yang layak. Mungkin kau dapat piagam atau semacamnya. Atau bisa saja kau akan dikenal sebagai pahlawan. Mungkin dan ada kemungkinan lain."
"Aku tak tertarik jadi pahlawan Pak."
"Dasar penjilat, namamu siapa."
"Gaza."
Pesawat mendarat mengangkut sang Presiden. Lalu sunyi kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Name Is GAZA
RandomRoman bergaya senyum pepsodent, kalian akan banyak menemukan keajaiban-keajaiban