Happy Reading !!!
***
Seperti yang sudah dokter katakan beberapa waktu lalu, Gilang kini sudah bisa mengganti kursi rodanya dengan tongkat tangan yang akan membantunya dalam berjalan.
Sesungguhnya itu lebih tak nyaman di bandingkan duduk di kursi roda, apalagi ketika di awal-awal yang mana rasanya Gilang lupa bagaimana caranya mengayun langkah. Tapi seiring berjalannya waktu Gilang sudah mulai terbiasa. Dan kini ia telah luwes menggunakannya. Bahkan sekarang Gilang sudah kembali ke tempat kerjanya, mengambil kembali posisinya yang selama satu tahun ini di isi sang ayah.
Namun Asra tidak sepenuhnya lepas tangan karena untuk urusan pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke luar Asra masih menghendlenya mengingat Gilang yang memang belum mampu untuk satu hal itu. Dan Gilang benar-benar berterima kasih kepada sang ayah untuk semua bantuan yang telah diberikannya itu.
Satu tahun berlalu sejak kecelakaan yang menimpa, membuat Gilang tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih pada semua orang yang telah rela merawatnya. Pada ibunya, pada ayahnya, pada adiknya, dan pada Ziva yang selalu setia berada di sisinya. Bahkan perempuan itu rela melepaskan pekerjaan yang dicintainya hanya karena tidak ingin meninggalkan Gilang yang saat itu masih koma. Sampai sekarang Ziva masih melakukan hal yang sama, berada di sisi Gilang tanpa sedikit pun ada keluhan.
Benar-benar luar biasa. Membuat Gilang semakin jatuh cinta, dan bersyukur memilikinya.
“Bang, mau makan siang dimana?” tanya Ziva melirik Gilang yang duduk di kuris kebesarannya, berkutat dengan berkas-berkas pekerjaan.
Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Ziva ingin lebih dulu memastikan, agar ia bisa menentukan harus memesan atau menunggu jam istirahat datang untuk pergi ke tempat yang Gilang inginkan.
Seperti biasa, Ziva masih menjadi asisten pribadi yang mengurusi semua kebutuhan Gilang, terlebih soal makan juga obat yang sampai saat ini masih Gilang minum untuk memaksimalkan kesembuhannya.
Tidak ada yang meminta Ziva melakukan semua itu, ini murni karena keinginannya mengingat di rumah pun ia hanya akan bermalas-malasan. Jadi, lebih baik ikut pergi ke kantor bersama Gilang. Siapa tahu ada yang bisa Ziva bantu.
Lagi pula keadaan Gilang memang belum sepenuhnya membuat Ziva tenang. Seberapa pun Gilang telah lihai berjalan dengan tongkatnya, Ziva masih belum mampu menghilangkan rasa khawatirnya. Takut Gilang terpelest atau semacamnya. Maka dari itu, lebih baik Ziva terus mendampingi pria itu.
“Abang pengen makan sushi deh kayaknya, Zi,” jawab Gilang menghentikan sejenak pekerjaannya demi menoleh pada sang kekasih yang duduk di sofa ruangannya.
“Order atau kita pergi ke sana?”
“Pergi aja. Abang juga bosen makan di ruangan terus. Sesekali kita butuh suasana baru.”
Dan apa yang Gilang bilang memang benar. Tidak baik juga terus-terusan berada di ruangan. Gilang butuh banyak menggunakan kakinya agar tidak kaku. Dan dokter memang menyarankan agar Gilang banyak belajar jalan untuk mempercepat kesembuhannya.
Selesai menyepakati rencana makan siang itu, Gilang kembali melanjutkan pekerjaannya, sementara Ziva memilih segera menghubungi pihak restoran untuk menyediakan satu meja untuk mereka berdua mengingat restoran jepang yang akan dikunjungi selalunya ramai.
Restoran jepan memang bukan satu-satunya di kota yang ditinggalinya ini, tapi tempat itulah yang menjadi favorit Ziva dan Gilang. Selain itu juga karena si pemilik merupakan teman Ziva semasa sekolah dulu. Jadi, siapa tahu Ziva bisa sekalian bertemu, karena sungguh dirinya rindu setelah sekian lama mereka tidak saling bersua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Cinta Calon Ipar
Fiction généraleJatuh cinta memang hal biasa. Semua orang berhak merasakannya. Termasuk Gilang. Namun, satu yang membuat rasa itu salah. Hadir di waktu yang tidak tepat. Dan Gilang merutuki itu. Sialannya kesalahan itu tidak lantas usai di sana, sebab sosok yang Gi...