Jocelyn mencabut belati yang menancap di perut sang serigala, darah segar memuncrat mengotori wajahnya dan sensasi saat pisau itu tercabut berbeda daripada ketika memotong daging untuk makan malam. Gadis itu berguling ke kanan, melewati celah di antara kaki-kaki besar sang monster ketika serigala besar itu meraung marah dan menancapkan cakarnya ke tempat Jocelyn tadi berbaring.
Jocelyn mengayunkan tangan kiri, belatinya nyaris mengenai moncong serigala yang berusaha meraih sang gadis. Tubuh Jocelyn berputar, serangannya meleset. Dia nyaris terjatuh, tetapi serigala yang baru ditusuknya juga ikut terhuyung sebab rahangnya tak berhasil menjangkau sang gadis. Keduanya bertatapan sebentar, Jocelyn lantas berbalik dan lari sekencang-kencangnya.
"JAYDON IDIOT! KUBILANG JANGAN BERHENTI LARI!"
Wajah menyeramkan Jocelyn yang diwarnai merah darah sukses membuat Jaydon bergidik. Laki-laki berambut hitam berantakan itu cepat-cepat memperoleh kesadarannya setelah dikejutkan atas aksi sang kakak perempuan. Tak sampai tiga menit, Jaydon sudah sampai ke gereja. Dia berdiri di balik gerbang rendahnya yang hanya setinggi pinggang, dinding batu rendah mengelilingi bangunan bercat hitam tersebut.
"Cepatlah, Jocelyn!" Jaydon berteriak. Para warga desa yang tadi mengintip dari balik pintu gereja, kini mulai memberanikan diri untuk berdiri di sebelah Jaydon yang menanti saudarinya untuk sampai ke tempat perlindungan.
Jocelyn menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Namun, dia benar-benar tak bisa mencegah kepalanya untuk tidak sedikit menoleh, memastikan bahwa dirinya tak masuk jangkauan makhluk buas yang tengah mengejarnya. Serigala berbulu kecoklatan itu melambat, kalau diibartakan manusia, mungkin dia tengah terengah-engah sekarang. Jocelyn tidak tahu seberapa parah efek samping dari perak untuknya. Pastinya, senjata itu benar-benar menghambat sang predator.
Serigala besar itu meranung keras, membuat seluruh bulu kuduk Jocelyn berdiri. Ketika dia menoleh, terlihat Zachary berhasil mendaratkan tancapan pedangnya ke leher besar serigala. Prajurit itu tak dapat menghindar saat rahang besar serigala menggigit perut, lantas melempar tubuhnya seolah dia hanya boneka mainan.
Napas Jocelyn terasa meninggalkan paru-paru ketika akhirnya gadis itu berhasil melewati pagar gereja. Dia terjatuh di atas lutut dan nyaris bersujud depan kaki Jaydon. Remaja laki-laki itu berjongkok, membiarkan Jocelyn bersandar pada dadanya. Kini di depan mereka, serigala setinggi nyaris lima meter itu sudah berdiri tegak layaknya batu karang. Bulu cokelatnya ternoda darah, kilat di mata dan ekspresi wajahnya kentara menggambarkan kekesalan. Puluhan warga yang tadi berada di sekitar mereka berebut kembali memasuki gereja.
Sepasang mata berwarna cokelat gelap, berbintik kelabu. Jocelyn merasa dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Di mana aku pernah melihatnya? Menatap mata makhluk besar itu meninggakan jejak tak asing menyebalkan, seperti memakan ampas kopi.
Serigala itu membungkuk rendah, mengendus pagar di depannya. Ketika dia melangkah-- mencoba memasuki bangunan suci tersebut--Jocelyn bersumpah melihat kakinya mengeluarkan warna jingga terang, seperti besi yang dipanaskan. Serigala itu buru-buru menarik kaki depannya dan menggeram marah ke arah mereka berdua.
Jaydon mengeratkan pegangannya pada kedua bahu sang kakak. Ketakutannya menyebar sampai ke ujung kaki saat mendengar ancaman yang diterjemahkan dari geraman makhluk besar tersebut.
Aku akan kembali untukmu.
Emosi Jaydon mendidih seperti air dalam teko yang dipanaskan. “Kenapa?” Dia berseru, mata melotot. Menyadari bahwa ucapannya terlalu tinggi, laki-laki itu terburu melanjutkan kalimatnya dengan nada lebih pelan. “Kenapa? Apa yang kau inginkan dariku?" Meskipun berbisik, sehingga hanya Jocelyn yang mampu mendengar suaranya. Jaydon yakin bahwa serigala ini punya kemampuan lebih untuk menangkap suara sekecil apa pun, terlebih saat tatapannya senantiasa lekat pada Jaydon yang merupakan target.
Kalau serigala bisa menyeringai, maka dia pasti tengah melakukan itu sekarang. Apa yang kuinginkan? Makhluk itu mengulang pertanyaan Jaydon. Aku ingin hidupmu. Menggantikanku. Hanya kau yang bisa dan aku akan kembali untuk melakukan hal yang seharusnya.
Tatapan serigala itu jatuh ke arah Jocelyn yang terbengong-bengong, tidak memahami bahasa yang digunakan makhluk besar ini pada adiknya. Termasuk menyingkirkan siapa pun yang berusaha menghalangi. Buatlah keputusan bijak, Jaydon. Kau tentu tidak mau ada korban lagi yang berjatuhan karenamu.
Setelah mengatakan itu, serigala tersebut pergi. Dia melompat ke atap rumah warga dan berlari secepat mungkin, darahnya mengotori salju dan tiap pijakan yang diambilnya.
Jaydon merosot ke atas salju. Punggungnya jatuh ke atas salju, pandangan ke arah langit hitam dengan awan kelabu yang kini menutupi rembulan merah. Jaydon menangis. Merasakan sesak di dadanya yang begitu perih, dia kesulitan bernapas dan tak lama sudah tersengal-sengal.
Jocelyn mendudukkan tubuh, dia menoleh ke arah Jaydon sebentar lantas membuang napas panjang. Gadis itu menatap tangannya, memerah akibat menggenggam belati terlalu lama dan keras. Ujung senjata tajam tersebut dilumuri darah.
Gadis itu tak yakin dia akan siap menghadapi apa yang mungkin terjadi berikutnya.
***
Para warga desa mulai meninggalkan gereja. Penduduk yang terluka dikumpulkan di teras balai desa untuk menerima pengobatan seadanya, termasuk prajurit-prajurit Zachary. Namun, sekumpulan orang-orang berpakaian besi itu terlihat tidak menyerahkan kapten mereka ke jajaran para korban serigala. Alih-alih, tubuh Zachary yang terluka parah disandarkan pada pilar bangunan rumah warga terdekat. Anak-anak buah Zachary membentuk setengah lingkaran, memperhatikan kapten mereka yang kesulitan mengambil napas.
Jocelyn menatap kumpulan itu penasaran. Tadinya dia berniat mencari ayah, Tucker, dan Seamus di antara sekumpulan korban. Namun, melihat perlakuan ganjil pasukan kerajaan tersebut membuat niatnya bergeser dan dia pun menghampiri mereka.
Salah seorang prajurit menarik pedangnya, Jocelyn belum sempai ke tempat mereka dan memilih untuk tetap di tempat ketika Zachary tampak mengangkat tangan. Seperti petarung yang mengaku kalah. Senyum yang biasanya terpatri angkuh, kini kelihatan memelas dan memohon ampun. Namun, hunusan pedang tetap berakhir di perutnya yang berdarah, menembus baju zirah yang telah penyok membentuk bekas gigitan.
Jocelyn menahan jeritan, dia mundur selangkah. Prajurit Zachary yang membunuh kaptennya sontak menoleh ke belakang. Dia pria berkulit gelap yang waktu itu membantu Zachary menjelaskan perihal Bulan Darah.
“Kenapa kau melakukan itu?” Jocelyn tidak percaya dirinya akan menanyakan hal tersebut. Bukan karena simpati atau apa pun, tetapi penasaran yang tak terbendung. “Dendam? Apa kalian menyimpan dendam padanya?”
Rivus—nama prajurit tadi—menggeleng. Tatapannya sedingin angin malam di tengah hutan beku. “Kami melakukan ini untuk kebaikannya?”
Jawaban itu hanya membuat Jocelyn makin mengernyit. “Kebaikan macam apa?” Dia menatap sekilas mayat tubuh Zachary dan menggeleng. “Kau tahu, kita mungkin masih bisa mengobati lukanya dan dia akan selamat.”
Ekspresi Rivus melunak, sekali lagi dia menggeleng. “Gigitan manusia serigala itu mengandung kutukan, serupa racun. Racunnya terkandung dalam air liur, itu yang kami ketahui. Ketika seseorang terkena gigitan manusia serigala, terutama di malam Bulan Darah. Maka kutukan itu akan secara otomatis berpindah tempat. Orang yang terkena gigitan akan otomatis menjadi serigala, di malam berikutnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Red Woods
FantasíaSeorang gadis ditemukan tewas, bekas cakaran dan gigitan taring serigala ada pada jasadnya yang membeku di atas kubangan darah bercampur salju. Para warga desa menjadi waspada, mereka pun hendak melakukan ekspedisi untuk menghabisi serigala tersebut...