10

3K 19 0
                                    

Aku mendengar pertikaian sengit beberapa saat kemudian, tapi tak terdengar jelas apa yang mereka perdebatkan. Sepertinya, Alan sudah bangun. Dia sempat mengoceh. Ocehannya berhenti setelah kupastikan dengan telingaku yang kutempelkan di dinding bahwa beberapa pukulan yang mendarat itu pasti menghantam telak entah di bagian mana di tubuhnya. Suara pukulan itu lumayan keras dan beberapa kali membuatku meringis. Dari depan, pintu kayu yang sebelumnya kubuka untuk melarikan diri lari ke hutan ditutup dengan kencang sampai seluruh dinding kamarku bergetar.

Aku meringkuk di atas tempat tidur sesudahnya, meratapi nasibku. Tak lama, hidungku mengendus dan membaui aroma masakan yang digoreng. Dari baunya yang gurih, sepertnya Bruce menggoreng bacon atau sosis. Perutku tiba-tiba melilit. Aku belum makan apa-apa sejak keluar dari rumah kakek. Aroma masakan itu membuatku agak mengantuk, tapi aku belum benar-benar tidur ketika handle pintu kamarku diungkit beberapa kali, tapi daun pintunya sama sekali tak bisa membuka. Bruce menggedor.

Aku beranjak ke pintu dengan malas, memutar kuncinya dan membukanya sedikit lalu meninggalkannya begitu saja.

Bruce menarik kunci dari lubang dan menyimpan kuncinya ke saku celana. "Apa kau mengunci ruanganmu sebelum ini? Saat Alan berada di dalam? Atau Alan yang melakukannya?"

Aku mengingat-ingat. Jelas aku tidak menguncinya, aku tidur dan hanya terbangun gara-gara lidah si brengsek itu menjejali liangku. Setelah aku menendangnya sampai dia terjungkal pingsan, aku bisa keluar dengan mudah tanpa membuka kunci. Seingatku, malah tak ada kunci yang tergantung di pintu.

Sementara aku berpikir, Bruce mengoceh sendiri, "Seingatku, aku menguncinya dari luar. Alan membawa satu set kunci cadangan. Saat aku membukanya dari luar tanpa kunci, aku kesulitan. Lalu kau membukanya dari dalam dengan mudah. Aku tidak melihat Alan meninggalkan kunci di pintu, yang artinya dia mencabutnya setelah membuka pintu tanpa menguncinya kembali dari dalam. Pintu ruangan itu rusak."

"Oh," ucapku, tak peduli. Aku berada di kamar lain, tempat dia mencarikanku pakaian. Kurasa, di sini dia tidur. Aku bisa mencium aroma cologne pria di bantalnya.

"Berarti kau tidur di rubanah," putusnya.

"Aku tak mau tidur di rubanah!" sergahku cepat. "Aku tidak bisa tidur di ruangan sempit yang lembab dan tertutup! Aku akan sesak napas dan tak bisa tidur. Kau akan membunuhku dengan cepat, kecuali itu yang kauinginkan!"

"Sepertinya kau masih terus berpikir menggunakan logika gadis kayamu yang bisa memperoleh segalanya. Di sini, kau hanya tawanan. Mengerti? Kau akan mendapatkan apa yang kuberikan padamu, kau tak bisa memilih. Ayo cepat keluar! Kita makan, lalu aku akan menunjukkan rubanahnya. Kalau kau bertingkah, aku akan mengikatmu!"

Dengan bersungut-sungut, aku menuruti perintahnya dan berjalan keluar duluan. Dia menggiringku ke dapur di mana sebuah meja terletak di tengah ruangan. Beberapa hidangan sederhana tersaji di sana. Setumpuk kentang tumbuk, kacang polong, dan ham. Aku menelan ludah karena lapar. Walaupun itu makanan biasa, tapi saat ini, itulah yang kubutuhkan. Namun, aku tak ingin membuatnya senang. Aku mendekat dan duduk dengan ogah-ogahan.

"Ambil lah sebanyak yang kau mau," katanya, lalu mengambil untuk dirinya sendiri.

"Apa itu kentang dan kacang organik?" tanyaku, Bruce mulai makan. Sumpah, kentang itu kelihatan sangat lezat. Dia pasti memasaknya dengan kaldu daging sapi sehingga baunya sangat menusuk, tapi juga menggiurkan. Lalu kacang polong itu terlihat berkilauan dan segar. Belum lagi lembaran-lembaran ham yang digoreng garing seperti dendeng. Aku sering memohon agar diizinkan makan makanan seperti ini di rumah karena chef yang dipekerjakan ayah atau ibuku selalu diminta memasak makanan yang menyehatkan. Tanpa gravy, atau butter berlebihan. Seandainya posisiku tidak terjepit, aku akan menghabiskan sisa yang dimakan Bruce sekaligus.

The Lost Girl in The FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang