Jocelyn mengintip kondisi luar pondoknya. Para pemuda yang masih kuat membawa senjata mereka ke depan rumah-rumah. Bersama itu, sejumlah kecil pasukan Zachary yang tersisa juga ada. Mereka berencana kembali ke ibukota kalau fase Bulan Darah sudah lewat. Tidak ada tanda-tanda kedatangan werewolf itu, tidak ada bunyi benturan atau kayu yang patah diiringi teriakan yang mengiris hati. Situasinya terlalu tenang. Jocelyn tidak tahu, haruskah dia merasa khawatir atau tidak? Gadis itu menelan ludah dan menggigit kuku jempolnya.
“Jocelyn, apa kau sudah mengunci pintu belakang?” Ibunya bertanya dan dia sudah menanyakan hal yang sama itu sebanyak lima kali. “Apa kau sudah benar-benar memastikannya?”
Jocelyn merutuk dalam hati. Kunci-kunci yang dipasanginya tidak akan bertahan lama di depan tubuh besar sang serigala. Entah apa yang Jeremiah harapkan. Satu-satunya alasan serigala itu tidak lolos ke dalam pondok batu mereka adalah karena Adam melindungi tempat ini menggunakan nyawanya semalam.
“Sudah," balas Jocelyn singkat, tidak mengubah pandangannya dari jalanan salju yang dipenuhi sekelompok pria bersenjata.
Suara ketukan terdengar, mengejutkan kedua orang penghuni rumah. Jocelyn buru-buru membuka pintu, berharap akan menemukan wajah ayah dan adiknya. Alih-alih, justru Micha yang berdiri di ambang pintu sambil membawa keranjang piknik. Wajahnya panik sekali, dia buru-buru masuk ke dalam seperti pencuri mencari tempat sembunyi.
“Nenek, kau baik-baik saja?” Jocelyn bertanya, menarik kursi tunggal dari kayu dan mengambil keranjang bawaan neneknya.
Wanita tua itu duduk sambil membuang napas panjang, tangannya menarik syal yang melilit leher. “Aku tidak apa, Nak.” Namun, keringat yang membasahi kening dan leher Micha mengatakan hal sebaliknya. Hampir mustahil berkeringat di tengah-tengah musim dingin seperti ini.
Jocelyn tak repot-repot bertanya. Dia menarik serbet merah bermotif kotak-kotak yang menutupi keranjang anyaman Micha.
“Apa ini?” Jocelyn mengernyit. Dia memiringkan keranjang sampai bagian dalamnya bisa terlihat oleh Jeremiah dan Micha.
“Ah, bukan apa-apa. Itu hanya benda yang membawa keberuntungan.”
Jocelyn tidak suka takhayul yang diceritakan neneknya. Jeremiah juga sama. Dia menatap boneka kayu seukuran lengan orang dewasa yang dipahat menyerupai bentuk manusia. Seperti manekin kecil tanpa busana.
“Ibu, kau selalu mengatakan hal-hal seperti itu.” Jeremiah menggeleng. Sejenak wanita itu menatap ke bagian atas perapian yang dipenuhi barang-barang 'keberuntungan' buatan Micha. “Kita semua tahu, itu tidak ada artinya! Benda-benda ini tidak bisa digunakan untuk membawa keberuntungan dan menjauhkan manusia serigala itu dari kita.”
Jeremiah tidak biasanya meninggikan suara, jadi Jocelyn agak terkejut ketika kini ibunya tengah memelototi Micha.
“Ibu, tenanglah.” Jocelyn berdiri di depan ibunya, membatasi wanita itu dengan sang nenek.
Micha tampak tak terganggu. Sejak dulu dia selalu berpikiran kuno, tetapi juga teguh dan mantap. Pantang mundur walau banyak orang menghalanginya. Sifatnya agak mirip Jocelyn. “Kalau benda-benda yang kau anggap sampah ini tidak berguna, maka sejak awal manusia serigala itu sudah menghabisimu.” Nada suara Micha tajam, seperti pisau yang menyayat kulit. Jocelyn tidak bisa menjelaskan perasaan aneh yang tengah melandanya sekarang.
“Kau bicara seolah-olah tahu semuanya! Anakmu dan anakku belum pulang hingga kini! Kalau benda buatanmu itu memang berguna, maka datangkanlah keberuntungan dan buat mereka pulang!” Kali ini Jeremiah berteriak sambil menangis. Dia menangkupkan tangan depan wajah, lantas berbalik dan meninggalkan mereka sambil terisak-isak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Red Woods
FantasySeorang gadis ditemukan tewas, bekas cakaran dan gigitan taring serigala ada pada jasadnya yang membeku di atas kubangan darah bercampur salju. Para warga desa menjadi waspada, mereka pun hendak melakukan ekspedisi untuk menghabisi serigala tersebut...