"Ray rambut loe kayak rapi banget dah. Biasanya pak Agus nyukur langsung botak, ini kayaknya penuh dengan cinta." Desta tertawa terbahak-bahak menatap sahabatnya.
Rayen mendesis. "Bukan pak Agus!"
"Gue kira pak Agus homo." Masih tertawa tanpa sopan santun. "Terus siapa yang potong? Pak Bambang? Atau si Ridho? Astaga ternyata si Ridho yang homo ups." Desta menutup mulutnya dengan kedua tangan lalu tertawa lagi.
"Aza yang potong."
Mata Desta hampir saja loncat dari sangkarnya. "Wah kesambet apa loe dugong sampe halu?!"
Rayen berdecak. "Kalau punya mata dipake tadi!" Rayen memukul Desta dengan buku paket biologi.
Desta meringis menahan sakit yang tak seberapa. "Serius Ray?" Mendekatkan wajahnya didepan wajah Rayen. "Ray? Kalian nggak pacarankan supaya rambut loe tetap rapi?"
Rayen kembali mendesis. "Nggak!" Mendorong muka Desta agar menjauhi mukanya.
***
Halte depan sekolah adalah tempat biasanya Aza menanti angkutan umum, sekarang tepat pukul lima sore. Rapat paripurna osis yang sudah menggerus waktu gadis itu secara percuma.
Aza menghela nafasnya kasar. Menatap tak ada angkutan umum yang menyisakan satu tempat duduk kosong baginya - semuanya penuh sesak dengan para pegawai garmen yang pulang setelah bekerja. Berulang kali gadis itu melirik lengannya, angka demi angka begitu cepat berlalu.
"Jam segini emang susah dapet angkot." Seseorang datang menggunakan motornya.
Aza mendongak menatap siapa yang datang. "Eh?"
"Gue anter pulang kalau loe mau."
Aza menelan ludahnya sedikit lebih sulit, jantungnya kembali berdebar, desiran aneh kembali muncul, gadis itu menggigit kuat bibir bawahnya bagian dalam.
"Gue serius." Rayen memberikan helmnya kepada Aza yang masih mematung menatap dirinya.
"Ck, mau sampai besok loe disini!" Laki-laki itu berdecak kesal karena menunggu terlalu lama.
Gadis itu tersentak. "Eh, tunggu kok?"
"Udah, keburu malem!" Rayen menarik paksa lengan gadis itu agar segera naik keatas motor.
Perjalanan sore dengan matahari yang hampir tenggelam sempurna, burung-burung berterbangan kesana-kemari menghias langit. Senja yang cantik.
"Mau jajan dulu di alun-alun kota?" Tanya Rayen memecah keheningan diatas motor itu.
"Enggak, Aza mau pulang."
"Yakin?"
Aza mengangguk. "Yakin. Rayen mau jajan dulu?"
Rayen dengan cepat menggeleng. "Enggak. Tapi kalau loe jajan ya gue anter." Menatap Aza dari spion.
"Rayen kenapa baik sama Aza? Kan kita baru beberapa hari kenal." Gadis itu memberanikan bertanya.
Rayen tersenyum tipis. Itu adalah momen langka-tapi senyuman itu hanya ia ketahui sendiri. "Baik itu nggak harus sama orang yang udah kita kenal lamakan? Tapi kata bunda, baik itu harus kita terapkan untuk siapa saja. Walaupun loe nantinya akan mendapat konsekuensi yang jauh dari ekspetasi."
Aza mengerutkan keningnya.
"Dengan artian kalau loe beneran tulus untuk berbuat baik sama orang, loe harus siap dengan keadaan kedepannya. Terkadang saat kita berbuat baik - ada saja orang yang sengaja membuat kita tidak baik-baik saja. Orang baru belum tentu punya sifat buruk dan orang baru juga belum tentu punya sifat baik. Tapi dalam kebaikan kita tidak perlu memilih-mana yang akan membalas budi, tapi kita serahkan sama yang Maha Kuasa - yang akan membalasnya." Laki-laki itu sekali lagi menatap Aza dari kaca spion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Milik 'Ku [On Going]
Dla nastolatkówKita dibuat untuk menjalani takdir dan mencintai takdir. Terutama menghargai setiap momen dalam perjalanan hidup. Banyak typo! WARNING ⚠️ ▪️CERITA INI TIDAK DI TULIS ATAU BERADA PADA APLIKASI NOVEL ATAU BACAAN LAIN. INGAT! ▪️CERITA INI HANYA DI...