Prolog

24 1 0
                                    

"Aku nggak bisa, Cal."

Lapangan Sekolah Menengah Atas itu sudah mulai sepi. Hujan yang turun dengan deras beberapa jam yang lalu membuat seluruh permukaannya basah, termasuk beberapa bola voli yang dipakai untuk pelajaran olahraga pada jam terakhir yang tergeletak begitu saja di sudut lapangan dimana segerombol anggota ekskul futsal berkumpul meskipun hujan belum sepenuhnya reda. Beberapa anak berbagi payung sambil berjalan berjinjit—mencoba menghindari genangan air pada jalanan yang rusak—menuju gerbang sekolah yang terbuka lebar dan sesak oleh mereka yang ingin cepat-cepat pulang.

Arabella Kala berdiri menatap lapangan dari balik jendela ruang OSIS yang tinggi—tidak tahu harus melakukan apa setelah akhirnya mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan kepada salah satu sahabatnya itu.

Saat ini, hanya ada dia dan Calief Rashad di ruangan yang besarnya tidak sampai seluas ruang kelas yang berjejer di koridor sekolah ini. Rapat OSIS baru saja selesai dan masing-masing dari mereka kini sudah benar-benar bebas tugas setelah persiapan serah terima jabatan sudah selesai hampir sembilan puluh delapan persen. Beberapa anggota OSIS memutuskan untuk pergi ke kantin dan menikmati semangkuk mie sebelum pulang sementara yang lainnya sibuk mengerjakan tugas mereka di ruang kelas tempat mereka melakukan rapat—yang terletak tak jauh dari ruang OSIS.

"Karena Viggo?" bisik Calief.

Kala menggigit ujung bibirnya—tidak pernah menyangka kalau hari ini Calief memutuskan untuk menyatakan cintanya. Faktanya, Kala tidak menyangka Calief masih punya nyali untuk menyatakan cintanya setelah Kala dengan blak-blakan menyatakan rasa sukanya pada Raviggo Arangga di setiap kesempatan yang ada pada lelaki berperawakan tinggi itu.

Kala tahu betul perasaan Calief padanya. Lelaki itu memang sudah menyukainya bahkan sebelum Kala menyukai Viggo. Namun, selama itu pula, Kala tidak bisa menyukai Calief lebih dari sekedar sahabat. Itu kenapa, meski pun hampir semua orang yang mengenal mereka terus-terusan mendesak Kala untuk bertanya pada Calief tentang perasaan laki-laki itu padanya—Kala selalu menghindar. Ia sudah tahu jawabannya dan kalau boleh jujur, sebenarnya ia tidak pernah mau tahu. Hal itu hanya akan membuat persahabatannya dengan Calief menjadi canggung, belum lagi, Kala tidak tahu apa yang akan Viggo lakukan jika ia tahu Kala menolak Calief karena suka padanya padahal selama ini Viggo juga tahu betul bagaimana perasaan Calief untuk Kala—meskipun laki-laki itu tidak tahu perasaan Kala padanya.

"Aku udah pernah bilang kan, Cal? Yang aku suka itu cuma Viggo," kata Kala sambil berbalik dan menatap kedua bola mata sendu milik Calief. "Kenapa kamu masih tanya?"

Lelaki itu hanya tersenyum—senyuman penuh pengertian yang terlihat kelewat sedih dari biasanya, membuat rasa bersalah mulai menggantung di dada Kala—lalu mengangguk seolah-olah mengerti.

"Oke."

Sebelum Kala sempat memberikan respon apa pun, Calief berjalan melewatinya menuju pintu ruang OSIS dan bergabung dengan segerombolan anak-anak ekskul futsal yang sedang berkumpul di sudut lapangan.

Sejak saat itu, dari kelulusan sampai detik-detik pesawat yang ditumpangi Kala lepas landas menuju London—Calief tidak pernah mengajaknya bicara lagi.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang