Chapter I

19 1 0
                                    

Arabella Kala merebahkan tubuhnya ke atas permukaan sofa segera setelah gadis berambut hitam legam yang dipotong pendek sedagu itu membuka pintu depan apartemen kecil yang dibaginya bersama dua penduduk lokal—Mayme Collins dan Mila King—selama kurang lebih satu tahun semenjak kedatangannya di London untuk kuliah.

Dilemparnya ransel berukuran besar berwarna hijau ke lantai begitu saja tanpa memikirkan barang-barang di dalamnya yang mungkin bisa rusak. Nampaknya, yang ada di kepalanya saat ini hanya dataran yang rata dimana ia bisa merenggangkan otot-otot punggungnya yang kaku setelah menuruni Scafell Pike dengan jalurnya yang sulit lalu menempuh perjalanan pulang berjam-jam di dalam mobil sampai ia akhirnya bisa melihat apartemennya lagi.

Jika dipikir-pikir lagi, rasanya Kala memang memiliki hubungan yang rumit dengan hobi hiking-nya ini. Di satu sisi, kepuasan ketika ia berada di puncak gunung adalah sesuatu yang tidak bisa tergantikan oleh apa pun—namun di sisi lain, ia tidak terlahir sebagai seseorang yang cukup atletis untuk hiking. Tubuh mungilnya terlalu mudah lelah dan sulit untuk mensejajarkan langkah dengan pendaki lainnya.

"Bagaimana pendakianmu? Menyenangkan?" celetuk sebuah suara lembut dari arah dapur. Sejurus kemudian, seorang wanita berambut pirang yang diikat secara asal di atas kepalanya itu—muncul sambil memegang dua gelas jus jeruk di tangannya.

Kala hanya melempar senyum tipis ke arah Mayme yang begitu peka memberikannya salah satu dari gelas berisi jus jeruk yang dibaca gadis itu dari dapur shared-apartment mereka.

Kala meneguk jus jeruk dingin itu dengan penuh rasa syukur sebelum menjawab, "It's awesome! Tapi capek, kakiku rasanya mau patah."

Mayme tergelak, "Selalu seperti itu. Aku tidak mengerti kenapa mendaki bisa menjadi hobimu jika kau memang tidak punya fisik yang kuat untuk itu."

Kala hanya bisa mengangkat bahunya sambil mendesah, "It's complicated. Like my relationship with my crush. Complicated."

Mayme hanya tersenyum tipis dan duduk di salah satu sofa kosong yang ada di ruang tamu sambil menyalakan TV sementara Kala mulai mengeluarkan seluruh benda yang dibawanya ke Scafell Pike dari dalam ransel besarnya.

Layar TV sedang menunjukkan sebuah acara demo masak ketika suara pintu depan terbuka dan Kala mendapati Mila berjalan memasuki ruang tamu dengan sebuah kotak berukuran besar berwarna coklat yang menutupi hampir setengah tubuhnya.

"Mila, apa lagi yang kau beli dari eBay sekarang? Ya ampun," desah Mayme keras-keras.

Dengan susah payah, Mila meletakkan kotak yang menghalangi wajahnya itu ke lantai di antara tumpukkan sepatu yang dibiarkan berserakan lalu menghembuskan napas lelah sambil berkata, "Ini bukan punyaku. Seorang kurir berdiri di depan pintu apartemen kita dan langsung memberikannya padaku ketika aku datang."

"Lalu, itu untuk siapa?"

Tanpa disangka, Mila menengadahkan dagunya ke arah Kala, "Untukmu."

"Untukku?" alis Kala terangkat, bingung, "Dari siapa?"

Mila mengangkat bahunya sambil berjalan mengitari kotak itu untuk duduk di sisi kosong sofa dekat Mayme dan bergumam, "Entahlah. Hanya ada alamat pengirimnya di situ."

Kala bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menghampiri paket berukuran besar itu. Gadis itu tidak pernah mendapatkan paket apapun selama ia tinggal di London—tidak dari keluarganya sekali pun.

"Oh ya. Orang tuamu meneleponku tadi pagi," celetuk Mayme tiba-tiba, "Katanya mereka sudah mencoba menghubungimu sejak kemarin malam tapi ponselmu tidak bisa dihubungi."

"Orang tuaku? Apa mereka mengatakan sesuatu?"

Mayme menggelengkan kepalanya, "Tidak. Mereka hanya memintaku untuk menyuruhmu menelepon balik sesegera mungkin."

Kala mendesah, baru ingat ponselnya yang mati sejak kemarin.

"Ponselku mati, baterainya habis sejak semalam," gumamnya.

Gadis itu merogoh saku parka yang dikenakannya sambil mengambil sebuah power bank berukuran kecil berbentuk Baymax dari dalam ransel besarnya lalu buru-buru menyambungkannya dengan ponselnya yang seketika itu juga langsung menyala.

Benar saja, gadis berkulit kuning langsat itu mendapati lebih dari 40 miscall di history call ponselnya dari berbagai macam orang—dari orang tuanya sampai sahabat perempuannya, Kamelia Lakeisha.

Namun, di antara 40 miscall itu, ada satu nomor yang membuat jantung Kala tiba-tiba berdegup kencang seolah-olah ia tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.

Nomor yang meneleponnya pertama kali adalah nomor Calief dan laki-laki itu meninggalkan voicemail—sesuatu yang tidak biasa—terutama setelah hampir satu tahun tidak menghubunginya sama sekali. Kala bahkan hampir tidak ingat kapan terakhir kali ia melihat kontak Calief muncul di layar ponselnya.

Kenapa baru sekarang laki-laki itu menghubunginya?

Apa ia sudah dimaafkan?

Meskipun Kala merasa penolakannya pada Calief jauh dari kata kasar, gadis itu tetap merasa bersalah. Mungkin karena ia sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Calief untuk mencoba memberikan pertimbangan pada pilihannya—atau mungkin karena Kala tidak menganggap keberanian Calief untuk menyatakan cinta padanya dulu terlepas dari kenyataan bahwa laki-laki itu tahu seberapa besar rasa suka Kala pada Raviggo sebagai sesuatu yang pantas untuk menjadi pertimbangan.

Entahlah, sejujurnya Kala tidak pernah benar-benar tahu.

Lamunan Kala terusik ketika ponselnya di tangannya itu tiba-tiba berdering dan kontak Kamelia Lakeisha muncul di layar ponselnya yang berkedip-kedip. Dengan segera, Kala menekan tombol hijau pada ponselnya dan mendekatkan benda mungil itu ke telinganya.

"Kamel, hi! Long time no see! Gimana ka—"

"Kala, ini urgent," potong Kamel cepat. Suara gadis berambut hitam yang selalu dibiarkan jatuh begitu saja di bahunya itu terdengar kaku dan terburu-buru, "Viggo kecelakaan. Dia koma udah dari kemaren malem."

Seketika, jantung Kala seperti berhenti sebelum kembali berdetak namun dengan intensitas yang terlalu cepat sampai-sampai dadanya terasa sakit dan sesak.

"Viggo—terus, gimana kata dokter? Apa—"

"Dokter nggak bisa mastiin dia bakal bangun, Kala," potong Kamel lagi, "Tapi mereka bakal kasih waktu satu bulan sebelum mulai mempertimbangkan untuk.."

Seolah-olah Kamel tidak berani melanjutkan kata-katanya—seolah-olah dengan melakukan itu, apa yang dikatakannya akan menjadi doa—gadis itu menghentikan perkataannya sendiri dan untuk beberapa saat, yang Kala bisa dengar hanya keheningan di ujung telepon dan suara napas Kamel yang tidak beraturan.

"Aku bakal ambil cuti minggu ini dan langsung pulang."

Kala benar-benar tidak mau memikirkan kemungkinan terburuk dari apa yang baru saja ia dengar. Empat hari yang lalu, sebelum ia berangkat bersama rombongan teman kampusnya menuju Scafell Pike, Viggo masih meneleponnya. Laki-laki yang selalu mengeluh kurang tidur itu masih menyuruhnya untuk berhati-hati dan berjanji untuk mengunjungi Kala di London bersama Kamel dan Calief—sesuatu hal yang Kala anggap tidak mungkin karena jika ketika masih di Indonesia saja Calief selalu menghindarinya sejak hari dimana ia menolak laki-laki itu, mana mungkin Calief mau diajak mengunjunginya di London? Tapi itu tidak perlu diperjelas karena baik Viggo maupun Kamel sepertinya tidak tahu tentang ketegangan yang menggantung di antara Calief dan Kala.

Mungkin Calief memang tidak memberi tahu mereka apa yang terjadi.

Dan mungkin memang lebih baik begitu.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang