Chapter III

13 1 0
                                    

Calief masih sama seperti bagaimana terakhir kali Kala mengingatnya—masih memiliki senyum yang begitu ramah, kedua sorot mata yang terlihat begitu sendu dan lingkaran hitam dibawah mata karena kebiasaannya begadang—seolah-olah Calief yang ada di depannya masih sama dengan yang ia temui satu tahun yang lalu. Tidak menua sedikitpun walau barang sedikit.

Terpanggil, lelaki yang sudah pasti Calief itu berbalik.

"Kala," ucapnya sebagai sapaan. Matanya bergerak melirik koper kecil yang sedari tadi digandeng Kala, "Belum pulang?"

Ia terlihat lelah, Kala bergumam dalam hati.

Sambil menggelengkan kepalanya pelan, dengan kikuk, Kala menjawab, "Belum. Dari travel langsung ke sini. Udah lama di sini?"

Kala tidak tahu harus apa—apakah ini respon yang pantas? Apakah ini pembicaraan pembuka yang pantas bagi mereka berdua setelah ketegangan yang menggantung bertahun-tahun di antara keduanya? Ini kali pertama mereka kembali berbicara kepada satu sama lain.

Ia membayangkan bahwa mungkin mereka akan saling menghindari satu sama lain, tidak bisa berada di satu ruangan yang sama lagi tanpa terlihat begitu kikuk. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dikatakannya jika Calief adalah salah satu dari 40 miscall yang diterimanya kemarin dan ia kebetulan mengangkat teleponnya.

Tiba-tiba gadis itu teringat pada voicemail Calief yang belum sempat dibukanya.

"Aku udah terima voicemail kamu, by the way," tambah Kala cepat, "Cuma belum sempat aku buka."

Lelaki di depannya itu hanya mengangguk sambil tersenyum, "It's okay, kamu bisa buka nanti kalau udah nggak sibuk. Aku yakin kamu pasti khawatir berat sama Viggo saat ini,"

Kala menjilat bibirnya yang mendadak kering, merasa sedikit serba salah namun gadis itu mengangguk mengiyakan tanpa bersuara. Alih-alih menatap mata Calief, Kala memilih menunduk untuk memperhatikan sepatunya yang tiba-tiba terlihat begitu menarik.

Terdapat keheningan yang menggantung selama beberapa saat sebelum Kala mendengar suara Calief lagi.

"Yuk, masuk."

***

Pertemanan antara Kala, Calief dan Viggo dimulai ketika mereka duduk dibangku SMP. Ketiganya datang terlambat pada hari pertama MOS dan dihukum bersama-sama mengelilingi lapangan satu kali putaran sambil berjongkok.

Kala sebagai perempuan satu-satunya di antara dua orang anak laki-laki yang dihukum, merasa begitu malu dan kikuk. Gadis itu berjongkok paling belakang, memberikan sedikit jarak antara ia dengan kedua orang teman seangkatannya di depan selama hukuman berjalan—yang membuat kakak kelas memarahinya karena pergerakannya yang dianggap lambat.

Saat itu Kala hanya ingin pulang, membanting jam weker digitalnya yang tidak menyala seperti biasanya pagi tadi dan berpura-pura mati seperti kucing peliharaannya, Coconut yang senantiasa menghindar dari amukan orang tuanya setiap kali ia merusak tanaman dengan berpura-pura mati walau kedua matanya terbuka lebar.

Telinganya berdengung dengan celotehan kakak kelasnya yang terus-menerus memintanya untuk menyusul kedua anak di depan, Kala mencoba mengabaikannya dengan memfokuskan pandangannya pada kedua pahanya yang rasanya sudah seperti mau copot.

Lalu sudut matanya menangkap dua sepatu lain di kanan dan kirinya yang bergerak mundur dan menyamakan langkah mereka dengannya.

Kepala Kala terangkata dan ia membelak kaget mendapati kedua anak laki-laki itu sudah berada disampingnya dan dengan jelas mencoba untuk menyamai langkahnya.

Saat itu Kala belum tahu namanya, namun Calief-lah yang berbisik, "Yuk bisa yuk, pelan-pelan aja,"

Sementara Viggo melemparkan senyum santai dan kedipan mata jahil di sisi Kala yang lain.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang