Chapter VI

2 0 0
                                    

Kala disambut oleh keheningan ketika ia sampai di rumahnya.

Kedua orang tuanya sedang pergi menjenguk kakek dan neneknya yang tinggal di Bali sudah hampir tiga minggu—mereka memberitahunya ketika ia mengabarkan akan pulang setelah mendengar kabar kecelakaan Viggo. Tadinya mereka hanya berencana untuk menjenguk sekaligus berlibur di sana selama satu minggu tapi kemudian nenek jatuh sakit jadi mereka memperpanjang masa tinggalnya di sana hingga nenek sembuh. Entah mungkin karena cuacanya memang sedang tidak menentu, namun ketika nenek sembuh, kakek lah yang sekarang sakit—maka semakin di perpanjangan masa tinggal kedua orang tuanya di sana. Pesan terakhir yang ia dapatkan dari orang tuanya adalah bahwa mereka akan segera menelepon Kala jika sinyal membaik di sana—tapi sepertinya itu akan memakan waktu lama, karena di daerah rumah kakek dan neneknya, sinyal selalu hilang seperti dimakan angin.

Mereka tidak akan pulang sampai bisa memastikan kakek dan neneknya baik-baik saja.

Jadilah Kala, pulang ke dalam rumah yang kosong dan sunyi.

Gadis itu menghela napas sambil melemparkan dirinya ke atas sofa begitu ia masuk ke dalam ruang tamu.

Ia yakin tidak akan bisa tidur dengan nyenyak malam ini—tidak hanya karena jetlag sudah pasti menyerangnya—tapi juga banyaknya hal yang mengerumuni pikirannya.

Hari ini cukup berat bagi Kala.

Ia harus melihat Viggo, sahabat kecil sekaligus laki-laki yang dicintainya dalam keadaan koma—seperti orang sakit yang tertidur tak berdaya di atas tempat tidur Rumah Sakit yang dingin—dengan beberapa kabel medis mengitarinya.

Lalu tiba-tiba, tanpa sedikit pun peringatan, Kala harus berhadapan dengan Calief.

Gadis itu tidak pernah menyangka bahwa Calief adalah orang yang pertama kali ditemuinya hanya beberapa jam saja setelah ia sampai di Indonesia. Kala tahu cepat atau lambat, mau tak mau, ia pasti harus berhadapan lagi dengan Calief—tapi ia tidak menyangka akan secepat ini. Kala pikir mungkin baru akan terjadi 2 atau 3 hari setelah ia sampai di Indonesia, meski pun jika dipikir-pikir sekarang, pemikirannya cukup aneh juga.

Calief adalah sahabat Viggo—seperti dirinya dan Kamel.

Tentu saja laki-laki itu akan berada di sana.

Kala tahu Calief, laki-laki itu tidak banyak berbicara tapi semua tingkah lakunya cukup untuk menggambarkan betapa setianya dia pada orang-orang di sekelilingnya. Jika kau perlu sesuatu, maka sudah pasti Calief lah yang pertama dicari karena ia akan membantu tanpa berpikir panjang jika ia mampu—dan jika pun tidak, ia akan membantu mencari orang yang mampu. Ia tidak mudah marah, tidak juga memiliki ego yang tinggi sehingga ia lebih banyak menertawakan kekurangan-kekurangan yang orang lain katakan tentangnya dengan bercanda daripada tersinggung. Ia pendengar yang baik dan tidak ada satu pun rahasia yang keluar dari mulutnya—setidaknya sejauh ini, Kala bisa memastikan semua curhatannya dari yang bermutu sampai tidak, tak ada satu pun yang sampai tercium khalayak.

Termasuk rahasianya menyukai Viggo.

Kala tidak memberitahu siapa pun soal itu. Hanya Calief.

Ia memberitahu laki-laki itu karena Ia tahu Calief menyukainya dan tidak mau memberikannya harapan palsu, jadi ia putuskan untuk menceritakan hal itu.

Dan sampai detik ini, baik Kamel maupun Viggo sendiri, tidak ada yang tahu tentang ini.

Setidaknya Kala yakin begitu.

Sudah terlalu lama ia tidak berbicara dengan Calief. Ketika laki-laki itu akhirnya mundur dan mulai memberikan jarak kepada mereka berdua tanpa membuat Kamel dan Viggo khawatir—Kala akui ia tidak tahu harus bagaimana selain mengikuti permainan-nya.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang