Chapter VIII

2 0 0
                                    

Pikiran Arabella Kala berkecamuk sepanjang perjalannya pulang ke rumah. Ia bahkan tidak memainkan ponselnya di dalam taksi—sepanjang perjalanan yang cukup macet itu, gadis itu hanya melihat keluar jendela mobil tanpa benar-benar memandang apa pun.

Di kepalanya, apa yang baru saja dilihatnya tadi terulang-ulang seperti film lama yang sudah usang.

Di dadanya, ada rasa sesak yang begitu dahsyat sampai membuatnya pengap—sampai gadis itu tanpa sadar menepuk-nepuk dadanya pelan.

Kala begitu dikuasai oleh perasaannya sampai gadis itu tidak sadar bahwa ia belum memberi kabar tante Lia sama sekali tentang kepulangannya bahkan hingga taksi berhenti di depan rumahnya. Ia membayar taksinya, berterima kasih dan buru-buru masuk rumah—satu tangan sibuk mengetik beberapa kalimat untuk dikirim ke tante Lia dari ponselnya. Sejujurnya apa yang dilakukannya cukup aneh dan mencurigakan, jika tante Lia sedang tidak dalam keadaan begitu lelah dan khawatir tentang Viggo, mungkin ia akan sedikit memperhatikan—tapi beruntunglah Kala saat ini ibu dari sahabatnya itu sama sekali tidak merasa aneh ketika Kala bilang ia tiba-tiba di telepon oleh seseorang dan harus mengurus sesuatu jadi ia pulang duluan.

Wanita paruh baya itu hanya membalas dengan kata-kata: Oke Kala, hati-hati di jalan ya, terima kasih udah mampir jenguk Viggo.

Tanpa banyak bicara, Kala melemparkan ponselnya ke salah satu sofa empuk di ruang tamunya begitu ia berhasil membuka pintu, membuka sepatunya dengan susah payah dan akhirnya—lagi-lagi gadis itu menjatuhkan dirinya di atas salah satu sofa panjang di ruang tamunya dengan posisi tertelungkup.

Kala menggoyang-goyangkan kakinya yang resah sambil mencoba untuk menata kembali perasaannya yang sangat kacau.

Pertama, kenapa semenjak sampai di Indonesia setelah lebih dari satu setengah tahun pergi—yang lebih banyak diingatnya adalah kenangan bersama Calief?

Kedua, ia tahu perasaannya—Kala buru-buru mengenyahkan satu bisikan nakal yang berbakat, 'Kau yakin?'—dan yang ia selalu ingat adalah bagaimana ia sangat menyukai Viggo lebih dari teman.

Ketiga, Calief adalah sahabat yang paling dekat dengannya jika ia harus membandingkan intensitas pertemuan serta chemistry yang ada diantara mereka, dengan Kamel atau pun Viggo, tentu Calief lah pemenangnya. Kala tidak punya saudara kandung—ia tidak harus berbagi apapun semenjak ia kecil, apa itu alasan ketidaksukaannya melihat Calief memiliki teman baru yang ia tidak ketahui?

Tapi apa itu alasan yang cukup masuk akal kenapa ia begitu cemburu melihat kedekatannya dengan orang lain?

Ketika mereka berdua saling menghindari satu sama lain dan berhenti berbicara hanya berdua setelah gadis itu menolak cinta Calief pun—sebelum Kala terbang untuk melanjutkan studinya—Calief sering menghabiskan waktu dengan siapapun kecuali Kala, dan tak jarang diantara orang-orang tersebut ada beberapa teman perempuan yang mungkin Calief kenal dari sekolah lain atau apa karena Kala tidak pernah melihat mereka sebelumnya.

Kala tidak ingat, apakah dulu ia semarah ini juga?

Mungkin saat itu seluruh perhatiannya tersita untuk Viggo—untuk menghabiskan sisa waktu yang ada bersama laki-laki idamannya itu sebelum ia harus terbang ke London—karena Kala tidak ingat merasa seburuk ini setidaknya dua tahun belakangan ini.

Tiba-tiba Kala merasakan sesuatu bergetar dari dalam tasnya—tanda sebuah pesan baru masuk.

Berpikir bahwa akhirnya Kamel membalas pesannya—membuat harinya yang buruk menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya—dengan cepat Kala bangkit dari posisi telungkupnya dan merogoh ponselnya dari dalam tas.

Sayangnya, pesan itu bukan dari Kamel melainkan dari Mayme. Secepat harapan untuk merasa lebih baik hari ini muncul, secepat itu juga kandas dari dada Kala.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang