Chapter IX

2 0 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Kala sudah terbangun dari tidurnya yang tak kunjung tenang semalaman.

Setelah teleponnya dengan Kamel kemarin siang, gadis itu mengurung diri di dalam kamar mendengarkan lagu-lagu kesukaannya dari speaker bluetooth-nya yang ia simpan di meja riasnya—berharap perasaannya bisa sedikit membaik. Kala hanya turun untuk mengambil makanan yang ia pesan online dan mengunci pintu depan. Ia sempat melirik sebentar kearah kotak yang masih tergeletak begitu saja di tengah ruang tamu tapi suasana hatinya masih terlalu buruk untuk bisa memperdulikan hal itu. Rasa penasarannya juga tidak terpancing sama sekali, maka gadis itu kembali ke atas dan mengurung diri.

Kala duduk di atas tempat tidurnya dengan laptop di pangkuannya sambil beberapa kali mencomot dimsum yang dipesannya tadi dari dalam bungkusan yang diletakan di nakas tempat tidurnya.

Pintu balkonnya yang terbuat dari kaca dari atas sampai bawah itu dibiarkan terbuka dengan gorden yang tidak ikut disingkap—membiarkan angin yang masuk meniup-niup gorden tipis berwarna putih dan menciptakan suasana yang sejuk serta tentram untuk perasaannya yang sedang berantakan.

Sebuah drama Korea yang membahas peradilan anak sedang diputar di layar laptopnya. Kala menghabiskan total 10 episode drama tersebut malam itu juga—mencoba fokus pada hal lain selain apa yang sedang dihadapinya saat ini. Sebuah pengalihan sementara agar perasaannya membaik dan dia bisa berpikir dengan jernih lagi. Episode ke-10 berakhir tepat pukul setengah 12 malam.

Gadis itu segera menarik selimut dan mencoba tidur tapi tidurnya tidak pernah nyenyak. Setiap satu jam sekali ia terbangun—ditarik paksa dari tidurnya yang bahkan belum sempat terasa. Rasanya melelahkan juga membuat detak jantungnya berantakan. Setelah terbangun untuk yang ketiga kalinya di pukul setengah 4, Kala menghela napas dan memutuskan untuk bangkit dari posisi tidurnya dan duduk sambil memandang ke depan dengan kosong.

Kala memang memiliki masalah dengan emosi dan jadwal tidurnya sejak ia kecil—kedua hal itu saling terikat satu sama lain. Kapanpun ada yang mengganggu pikirannya dan mempengaruhi suasana hatinya, Kala tidak akan bisa tidur nyenyak—seolah-olah sebagian nyawanya berusaha tetap terjaga, tak tenang, sementara sebagiannya lagi kelelahan dan hanya ingin beristirahat. Gadis itu ingat terakhir kali ia tidur dengan resah seperti ini.

Ah, iya, mungkin di malam hari setelah ia menolak Calief.

Semalam suntuk ia tidak bisa tidur—terus merasa sesuatu hilang dari harinya tanpa tahu apa. Beberapa kali jarinya melayang-layang di atas kontak Calief di ponselnya, entah untuk apa karena Kala sama sekali tidak merasa ingin merubah keputusannya tapi di saat yang bersamaan ia merasa ada sesuatu yang bisa dilakukannya. Sesuatu yang harus dilakukannya atau ia akan menyesal.

Kala ingat ia mengirimkan sebuah pesan yang sekarang sudah tak ada lagi di ponselnya karena ia hapus setelah satu minggu penuh tidak menerima respon sama sekali dari Calief. Sebuah pesan singkat bertuliskan: Kamu masih mau kan temenan sama aku?

Tiba-tiba saja, Kala ingin menangis ketika mengingat malam itu.

Gadis itu tidak menangis dulu ketika pada akhirnya sosok Calief benar-benar keluar dari hidupnya. Hanya menjadi karakter yang berdiri di sisi, di luar lingkaran cerita hidupnya—tidak benar-benar memiliki arti. Ia tidak menangis bahkan ketika mendengar kecelakaan tentang Viggo meskipun jantungnya sangat berdebar saat itu. Ia lebih banyak diam karena memang tangisan bukan salah satu caranya mengekspresikan kesedihan.

Ia hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa—tapi entah kenapa kini ia ingin menangis. Semua terasa menyesakkan untuknya dan ia benci ia tidak bisa melakukan apapun untuk membuat dirinya sendiri merasa lebih baik. Ia benci bahwa jika pun ia mencoba berpikir positif mengenai Kamel, hal itu hampir tidak mungkin tanpa melempar logikanya keluar jendela.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang