Prolog

3 0 0
                                    

"ayo kejar aku, bang!!! Blebleblebleble"

Seorang anak kecil yang tampan berbalik dengan ekspresi meledek, menoleh ke belakang, dimana ia sedang memastikan abangnya itu sedang berlarian untuk menangkapnya.

"Aku mau udahan ah" sahut abangnya yang tengah kecapekan. Sambil menetralisir nafasnya yang memburu, dia berpegangan pada batang pohon oak, menahan tubuhnya agar tidak tumbang. Dalam diam, maniknya memperhatikan adik kembarnya sedang menunggu kedatangannya dari kejauhan.

"Maaf ya dek" gumamnya pelan, tersenyum kecil. Tanpa membuang waktu lama, dia segera merebahkan punggungnya yang pegal di atas rimbunan daun-daun yang berguguran seraya menikmati angin sore yang menggelitik.

Lantas adiknya itu pun memasang ekspresi cemberut dengan kedua tangan terlipat di depan dada, dia menghampiri abangnya yang sedang rebahan, "yah, abang gak seru ah. Masa gitu aja udah capek"

Walau umur mereka terpaut cuma beberapa menit, memang abangnya ini selalu mudah kelelahan, apalagi jika sudah menyangkut dengan berlarian. Lari 1 menit saja berasa lari puluhan kilometer jauhnya.

Tidak jelas dia sedang mengidap penyakit serius atau tidak, yang jelas orang tuanya tidak pernah memberitahukan apa pun. Hanya saja , dia merasakan perbedaan dengan fisiknya yang terlihat lebih lemah dibanding dengan adiknya.

"Yah kamu tau sendiri kan kalau abang orangnya mudah capek" ucap abangnya pasrah menghadapi kondisi fisiknya, "lagipula bukannya perannya jadi kebalik ya?! Abang kan yang jadi maling, seharusnya kamu yang kejar abang, bukan abang yang kejar kamu"

Berbeda dengan outfit abangnya yang terlihat simple, cuma mengenakan baju panjang dan celana serba hitam, ditambah topeng mata sebagai aksesoris pelengkap. Outfit adiknya jauh lebih bagus, mengenakan seragam polisi versi mini, dilengkapi topi dan pistol mainan.

Adiknya pun mendengus malas seraya merotasikan bola mata, mengalihkan pandangan dari netra abangnya yang tengah memerhatikannya dari bawah, "makanya itu, abang payah dalam hal berlari!! Baru dua detik aja, aku udah bisa tangkap abang"

Mendengar isyarat kekecewaan dari nada suara milik adik bungsunya, segera abangnya pun terduduk dari tidurnya, sambil menyuruh adiknya untuk mendekat melalui isyarat jarinya.

Menurut, adiknya pun duduk mendekat di samping abangnya, membiarkan kakak sulungnya itu mengelus pucuk kepalanya, "maaf ya, kalau abang gak seru, gak bisa temani kamu bermain dengan baik"

"Apa sekarang abang baru sadar?" Sela adiknya sarkas tanpa memikirkan perasaan abangnya yang menelan rasa kecewa dan kepedihan. Namun, dia segera menutupi semua perasaan itu, dengan seulas senyuman yang tak luntur dari bibirnya.

"Aku berharap waktu bisa berlalu dengan cepat. Aku mau bersekolah dan mempunyai banyak teman hingga aku gak perlu bermain dengan abang lagi" ceplos adiknya dengan kata-kata pedas. Untuk usia 4 tahun, dia sangat pandai berbicara tanpa memikirkan perasaan orang yang menjadi lawan bicaranya terutama pada abangnya sendiri. Kini, dia mulai menyadari kalau tangan abangnya berhenti bergerak di atas kepalanya. Kakak sulungnya itu hanya terdiam tanpa menampakkan ekspresi apapun. Sepertinya dia sudah kebal menghadapi sikap dingin adiknya.

"DEVAN!!! DAVIAN!! MAKANAN DATANG!!!"

Layaknya adegan di dalam buku komik, sinar matahari dari arah barat menyorot sempurna ke arah seorang wanita paruh baya dengan wajah cantiknya yang terlihat sangat awet muda. Dia berjalan anggun sambil menenteng dua paper bag serta satu tangannya lagi sedang kerepotan mengangkat daster bermotif bunga-bunga yang kepanjangan.

"ASYIK MAKANAN!!" adiknya beranjak dengan antusias begitu mendengar suara wanita yang barusan memanggilnya dari kejauhan. Dia segera berlari cepat menghampiri ibunya yang sedang membawa sesuatu yang sudah di tunggunya sejak lama. Dia bisa merasakan kehebohan kumpulan cacing tengah bersorak gembira di dalam perutnya

Dari kejauhan, abangnya masih berada dalam posisi yang sama. Dia diam termenung, masih memikirkan ucapan adiknya yang barusan.

"IBU!!! AKU MAU MAKANAN!!!"

Anak laki-laki itu pun cepat berlari tanpa menghiraukan abangnya yang tertinggal di belakang. Setelah sampai di tempat ibunya berada, dia langsung menyambutnya dengan memeluk kaki wanita tersebut.

Wanita itu pun terkekeh lalu mengusap surai anak bungsunya tersebut, "lapar ya?"

Anak itu lalu mendongak, menatap paras cantik ibunya yang tak pernah pudar, responnya mengangguk cepat, "iya bu!! Aku lapar banget!! Suer!!"

"Haha yaudah, kebetulan ibu baru membuat soto buat kalian" wanita itu kemudian baru menyadari kalau ada satu orang lagi yang belum menunjukkan batang hidungnya, "omong-omong abang kamu dimana?"

"Dia lagi istirahat kali" jawab enteng anak itu seolah dia tidak lagi mempedulikan dimana posisi kakaknya itu sekarang.

"Dimana?"

Terdengar helaan nafas berat dari mulut anak kecil itu. Walau bagaimana pun dia tetap menuntun wanita tersebut ke tempat kakaknya berada terakhir kali ia lihat.

Di sisi lain, seorang anak laki-laki yang lain tersenyum sumringah melihat ibu serta adiknya berjalan menghampirinya. Baru saja, dia berniat akan pergi menyusul mereka.

"Coba tebak ibu bawa apa?"

Wanita itu langsung melempar pertanyaan tebak-tebakan pada anak sulungnya begitu dia tiba.

"Soto" jawab anak itu tanpa ragu, menerka sesuatu yang ada di dalam paper bag itu sebelum dibuka.

"Benar" sahut wanita itu mengacungkan kedua jempolnya bangga, "ibu membuatkan makanan kesukaan kamu"

Kini, terlihat ekspresi tidak suka terpampang jelas dari wajah si adik. Dia merebut paper bag tersebut kemudian melemparnya di atas tumpukan daun-daun kering, "aku gak suka soto"

"DAVIAN!!" omel wanita paruh baya itu kaget, "apa-apaan sih kamu?!" Dia memungut kembali paper bag tersebut.

"AKU GAK SUKA SOTO!!" teriak si adik lantang kemudian berlari pergi meninggalkan ibu dan kakaknya yang memperhatikan sosok punggung kecil tersebut yang semakin menjauh hingga hilang dari pandangan.

"Ibu gak nyusul Davian?"

Si kakak memperhatikan ibunya yang nampak pasrah dengan kelakuan adiknya.

"Huh!! Adikmu kapan ya bakal berubah"

Wanita itu duduk cuek di atas dedaunan kering lalu mengeluarkan semua isi paper bag tersebut.

"Devan, ayo makan dulu, mumpung masih hangat" bujuknya setelah memulai suapan awal soto buatannya.

"Tapi Davian---

"Biarkan saja dia"

"Baik bu"

Kemudian si kakak duduk bersila, dia membuka satu kotak bekal warna biru dan tercium aroma sedap yang menyambut indera penciumannya serta kepulan udara hangat dari makanan yang akan ia santap.

"Omong-omong kamu gak suka dengan kado ulang tahun yang ibu kasih kemarin ya?"

"Suka kok bu. Bajunya bagus. Devan suka"

"Tapi kenapa bajunya dipakai adikmu?"

Seketika anak laki-laki itu terdiam, tak lama kemudian kekehan tawa lolos dari bibir mungilnya, "ceritanya kan lagi main permainan polisi maling bu. Karena aku dapat yg maling, jadi aku tukaran baju sama adek"

"Oh begitu"

Setelah wanita itu tidak mencurigainya lagi, anak laki-laki itu melanjutkan suapan sotonya yang tertunda. Dalam diam, dia merasa bersalah setelah barusan dia membohongi ibunya.

Fakta yang sebenarnya adalah Davian merampas baju miliknya bahkan name tag 'Devan' yang tersemat di bajunya pun telah dibuang oleh adiknya itu.

Sebagai kakak, dia tau kalau dirinya harus mengalah.

1050 Word. Di bab ini udah mendeskripsikan banget kan, sifat iri dengki Davian kepada kakaknya. By the way, cerita ini prequel dari series Epiphany ya. Buat kalian, yang belum baca Epiphany, sebaiknya baca story Epiphany dulu ya, biar kerasa aja plot twist nya hihi.

EPIPHANY: P.A.S.TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang