Chapter X

2 0 0
                                    

Kali ini, Kala lah yang duduk di sisi Calief.

Keduanya duduk di kursi taman Rumah Sakit yang menghadap air mancur dengan beberapa ikan kecil berenang di dalam kolamnya. Baik Kala maupun Calief duduk dalam diam sambil memandang kolam—mencuri sedikit waktu untuk menikmati bunyi airnya yang menenangkan. Seperti ditarik kembali ke hari kepulangan Kala ke Indonesia, gadis itu merasakan kecanggungan yang sama persis—hanya ditambahkan oleh bumbu malu dan rasa bersalah dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya saja.

Kala tidak tahu harus mulai dari mana, lagi pula Calief lah yang mengajaknya untuk mengobrol lebih dulu jadi gadis itu diam menunggu dengan patuh. Gadis itu menghitung dalam hati berapa lama waktu yang sudah berlalu di keheningan yang memeluk keduanya.

Pada saat hitungan Kala sampai di nomor 25, akhirnya ia kembali mendengar suara Calief.

"Maaf ya." ucapnya pelan.

Bukankah harusnya dirinya yang meminta maaf?

"Untuk apa?" tanya Kala, hampir berbisik.

Calief terdiam lagi, lalu menjawab, "Banyak hal, sebenarnya."

Laki-laki itu lantas menyerongkan posisi duduknya agar ia bisa menatap Kala—membuat gadis itu dengan refleks meniru gerakannya tanpa ia sadari.

"Yang pertama, aku minta maaf karena sudah bebani kamu dengan perasaanku," ujar Calief memulai. "Salahku mengira kamu nggak benar-benar tahu tentang perasaan kamu untuk Viggo—lalu nggak terima ketika ditolak dan akhirnya meninggalkan kamu dan juga persahabatan kita."

Jantung Kala berdegup kencang—ia merasa kembali menjadi 18 tahun Kala yang sedang berdiri di dalam ruang OSIS, mendengarkan Calief menyatakan cinta padanya. Bulu kuduknya berdiri, entah untuk alasan apa tapi Kala pikir mungkin karena saat ini ia sedang menghadapi salah satu hal yang paling dihindarinya dan belum pernah ia persiapkan. Sesuatu yang ia pikir tidak akan pernah bisa terjadi sampai untuk membayangkan Calief mengajaknya duduk dan berbicara lagi dengannya saja terasa bagai mimpi.

"Apa yang aku lakukan itu salah. Aku yang nekat menyatakan cinta sama kamu tapi aku malah memperlakukan kamu seolah-olah kamu yang memaksa aku untuk nekat begitu,"

Mata Calief menatap gadis di sampingnya itu dengan berani—sama sekali tidak berpaling ketika ia mengatakan hal-hal ini. Entah bagaimana, ini membuat Kala bagai terhipnotis, tak bisa memalingkan wajahnya juga dari laki-laki itu.

"Yang kedua, aku minta maaf karena apa yang aku lakukan—menghindar dari kamu, bikin aku melewatkan banyak momen yang seharusnya kita bisa rayakan bersama sebagai sahabat. Kita nggak tahu kabar masing-masing—apa sehat? Apa sakit? Apa lagi senang? Apa lagi sedih? Nggak seharusnya hanya karena kamu nolak aku, kita berhenti temenan. It's childish, isn't it? I'm sorry."

Kala terdiam.

Gadis itu mencoba dengan perlahan menelan semua kata yang dilontarkan Calief padanya—apakah ini yang ingin didengarnya selama ini? Apakah ini yang harusnya didengarnya selama ini? Apakah benar semua yang dikatakan Calief? Apa memang ini semua karena laki-laki itu?

Persahabatan yang hilang begitu saja seolah tidak pernah terjadi—apa itu memang hanya salah Calief seorang?

Kala merasa sebagian dari dirinya berkerut dahi tidak setuju pada hal itu—ia yakin dirinya ada andil tapi mulutnya terkunci, seolah-olah kaku dan kehabisan kata. Jadi gadis itu tetap diam, namun kali ini ia membuang wajahnya dan memilih untuk melihat kembali air mancur di depan mereka. Jari-jarinya bergerak seolah-olah gadis itu sedang menjahit sesuatu di pangkuannya.

Ia ingin berkata, 'Aku juga minta maaf, mungkin seharusnya aku kasih kamu kesempatan untuk menjelaskan diri kenapa kamu menyukaiku dan tetap menyatakan cinta padaku meski kamu tahu perasaanku untuk Viggo' tapi yang keluar dari mulutnya adalah:

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang