Chapter XII

3 0 0
                                    

Hati Kala patah—berkeping-keping—tapi tidak ada air mata yang keluar. Mungkin seperti mati rasa, Kala begitu patah dan itu menyakitinya sampai ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Ketika Kala selesai mendengar voicemail Calief yang menjelaskan apa yang sedang terjadi di Indonesia ketika ia tidak ada, gadis itu mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Kamel yang berisi pernyataan bahwa ia sudah tahu sekarang.

Tak sampai 5 menit kemudian—Kamel membalas pesannya dengan singkat.

'Aku lagi di Rumah Sakit. Viggo baru aja siuman. Akan aku jelaskan semuanya di sini. Aku tunggu ya, Kala.'

Kala tidak tahu penjelasan apa lagi yang perlu ia dengar dari mereka berdua—dari Calief juga terutama, apa laki-laki itu menjenguk Viggo lagi hari ini? Tega-teganya ia memberitahu Kala tentang pertunangan Viggo dan Kamel melalui voicemail lalu tidak menegurnya ketika mereka bertemu tatap muka pertama kali padahal Kala dengan jelas mengatakan ia belum membuka voicemail darinya.

Bisa-bisanya ia bilang itu bukan hal yang penting?

Betapa teganya Calief padanya, sungguh, Kala tidak percaya ia akan menyakitinya seperti ini hanya karena gadis itu menolak cintanya.

Tak ada sama sekali matahari di wajah Kala saat gadis itu sampai di depan ruang rawat inap Viggo. Ia bahkan tidak melirik kearah Natha yang sedang bermain dengan setangkai bunga lavender di tangannya meskipun gadis itu menatapnya dari arah air mancur tanpa berkedip.

Saat ia masuk ke dalam ruang rawat inap, Viggo sudah duduk di tempat tidurnya dengan beberapa alat medis sudah terlepas dari tubuhnya. Tidak ada tante Lia di sana—syukurlah, karena Kala tidak tahu apa ia bisa menahan dirinya untuk tidak marah kepada mereka berdua—hanya ada Kamel dan Viggo yang sedang menatap satu sama lain sambil berpegangan tangan.

Mata keduanya basah oleh air mata—padahal harusnya Kala lah yang paling ingin menangis.

Kamel buru-buru melepas pegangannya dari tangan Viggo saat menyadari Kala masuk ke dalam ruang rawat inap—tapi itu malah membuat Kala menyadari ada sepasang cincin platinum yang mirip baik di jari Viggo maupun Kamel. Tangan Kala terkepal lagi.

"Jadi?" tanyanya—bahkan tidak berusaha untuk menghampiri tempat tidur Viggo sama sekali. "Apa ada yang akan memberitahu aku soal pertunangan kalian—atau kenyataan kalau kalian saling mencintai?"

Kamel menatap sahabatnya sedih dan berusaha mendekat tapi Kala mundur dengan cepat—jelas tidak mau didekati, jadi Kamel kembali mundur ke tempat asalnya.

"Kala, kita—"

"Ini salahku, Kala," potong Viggo cepat. Ia terlihat lemah, matanya berkaca-kaca. "Semuanya salah aku."

"Seharusnya aku bisa tegas sama kamu dari awal aku merasatahu bahwa kamu suka sama aku waktu kita masih SMA dulu. Ini bukan salah Kamel mau pun Calief—ini salahku. Aku yang menyepelekan perasaan kamu. Tolong, maafkan aku, Kala," ucap Viggo dengan bibir bergetar.

Kala terdiam, matanya berkaca-kaca tapi tangannya masih terkepal.

Jadi, dia tahu? Viggo tahu tentang perasaannya?

"Aku juga minta maaf, Kala—bisa-bisanya aku nggak peka tentang perasaan kamu ke Viggo selama ini!" ujar Kamel menambahkan, "Kamu nggak pernah cerita tentang Viggo—selama ini aku berasumsi Calief lah yang kamu suka."

Dengan sini, Kala menjawab, "Kamu benci asumsi, Kamel. Kenapa kamu nggak tanya? Kenapa harus Calief lah yang aku suka dan bukan Viggo?!"

"Kala—" Viggo mencoba membantah tapi Kamel memotongnya.

"Kamu bener, aku benci asumsi, aku minta maaf. Tapi aku tahu kamu, Kala—atau dulu aku kira aku tahu kamu seperti saudara sendiri."

"Maksud kamu apa sih?!" seru Kala mulai kesal, suaranya meninggi.

"Dari awal kita kenal sampai kamu akhirnya nggak lagi ngobrol sama Calief—semua cerita kamu sama aku itu tentang Calief. Semuanya hanya Calief. Kamu nggak pernah membahas Viggo—tanpa kamu perlu bilang apa-apa, semua teman kita tahu Calief adalah orang yang paling penting di hidupmu—your favorite, always."

Kala tersentak—kepalan tangannya melemah.

"Apa?" bisiknya pelan.

Jadi bukan Calief saja yang merasa kalau rasa suka Kala pada Viggo itu tiba-tiba?

"Salah kita berasumsi—salahku berasumsi. Aku minta maaf Kala tapi baik aku maupun Viggo, kita nggak bermaksud menyakiti kamu sama sekali!"

Di kepala Kala, berputar semua kenangan yang ia ingat tentang perasaannya pada Calief, membuatnya sadar betapa aneh bahkan baginya untuk tidak menyukai Calief—tapi selama satu tahun setengah ini yang ada di kepalanya adalah 'aku suka Viggo' secara berulang-ulang bagaikan mantra. Ia juga menyadari ia tidak tahu kenapa bisa begitu.

"Kamu, Viggo, dan Calief—kalian semua pembohong!"

"Kala, tolonglah—"

Gadis itu menunjuk jarinya ke arah Viggo, "Tega-teganya setelah tahu perasaan aku dan sadar kalau kamu nggak suka sama aku, kamu nggak bilang sama aku!"

Lalu jari itu bergerak kearah Kamel, "Apa ini alasan kamu menghindar dari aku? Aku berhak tahu!"

Baik Kamel dan Viggo hanya bisa terdiam—menerima apa yang dikatakan Kala pada mereka sambil menunduk.

"Lalu Calief! Mana dia?!" bentak Kala, "Tega-teganya dia mengirimkan aku voicemail tentang kalian yang nggak sempat aku buka sampai kemarin—lalu berpura-pura tidak ada apa-apa setiap kali kita bertemu! Bisa-bisanya kalian semua!"

"Kala, tunggu!" kali ini Kala tidak sempat mundur saat Kamel menghampirinya dan mengguncangkan tubuhnya, "Kala, kamu ngomong apa? Aku tahu kamu marah, tapi tolong jangan bawa-bawa Calief kayak gitu!"

"Memang kenapa?! Aku nggak boleh marah?!"

"Dia udah nggak ada! Apa kamu harus marah bahkan sama orang yang udah mati?!"

Bagai tersambar petir Kala mendapati dirinya membeku mendengar apa yang baru saja dikatakan Kamel.

Kata-kata itu bergema di kepala Kala, di telinganya dan membuat bulu kuduknya berdiri—bukan karena takut—melainkan karena kengerian yang dahsyat mulai menjalar ke seluruh tubuhnya dan membuat ia hampir lupa bernapas begitu kata-kata itu tercerna di kepalanya.

Tiba-tiba semua kemarahan dalam diri Kala lenyap.

"Apa?" bisiknya. "Maksud kamu apa? Siapa yang udah mati, Mel?"

Mata Kamel membelak—gadis itu melirik kearah Viggo yang menatap Kala sama khawatirnya—sebelum kembali fokus pada Kala.

"Calief, Kala," jawab Viggo pelan dari tempat tidurnya, "Calief udah nggak ada Kala."

"Jangan gila! Calief masih hidup! This is a sick joke!"

"This is not a joke, Kala!" Seru Kamel dengan ngeri.

"Nggak, itu nggak mungkin! Aku lihat Calief dari awal aku datang ke Rumah Sakit—aku bahkan ngobrol sama dia kemarin—itu nggak mungkin!"

Seolah-olah tubuh Kala membakarnya—Kamel melepaskan pegangannya pada Kala dan bergerak mundur dengan wajah ngeri.

"Apa aku lupa memberitahu kamu?" tanya Kamel dengan begitu tegang seolah menyadari sesuatu yang buruk. "Ya ampun aku benar-benar belum memberitahu kamu! Ya ampun, Kala, tolong maafkan aku!"

"Memberitahu apa?"

"Kala, Calief udah nggak ada. Di kecelakaan Viggo itu nggak hanya ada Viggo—ada aku dan Calief—dan dia nggak selamat di kecelakaan itu."

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang