Chapter XIV

3 0 0
                                    

Semua cerita yang baru didengarnya itu membuat Kala tak mampu berkata-kata. Gadis itu memeluk tubuhnya dengan kedua tangan, mundur dari Kamel dan Viggo lalu pergi keluar dari ruang rawat inap—meninggalkan Kamel yang kebingungan antara harus mengejarnya atau membiarkannya sendiri dulu.

"Aku dan Viggo selamat karena kita pakai seatbelt—Viggo koma karena ia banting setir ke kanan saat kita menabrak truk pasir besar yang terparkir itu. Tapi Calief? Dia duduk di belakang, tanpa seatbelt, dan terlempar keluar mobil."

Kala masih tidak percaya—tidak mau percaya lebih tepatnya. Semua terasa seperti mimpi, mimpi buruk—yang menyelinap ke tidurnya yang tenang tanpa permisi.

Rumah Sakit menjadi lebih ramai di kepala Kala dari biasanya—ia seperti mendengar begitu banyak suara berbisik di telinganya dan hampir sebagian terasa seperti suara Calief.

Tapi ia baru sadar bahwa suara yang paling berisik adalah suara isak tangisnya yang meledak.

Gadis itu mengabaikan tatapan orang-orang dan menepis satpam yang mencoba membantunya—meskipun ia mulai kehilangan tenaga untuk berjalan. Kala bahkan tidak tahu tujuannya, ia rasa dirinya hanya berputar-putar dari koridor ke koridor.

Kala hampir saja jatuh ke lantai dengan posisi kepala dulu jika saja seseorang tidak menahannya dan membuatnya hanya jatuh di lututnya.

Kala melirik tangan yang membantunya itu dan mendapati Natha sedang memandangnya dengan kesedihan.

Kali ini, di matanya yang biasanya selalu kosong—ada kesedihan dan rasa kasihan yang terpancar untuk Kala.

Rasanya seperti Natha bisa mengetahui apa yang terjadi padanya tanpa ia harus berbicara. Rasanya seperti Natha merasakan semua kesedihan Kala, dan menyaksikan apa yang baru saja dialaminya dengan Viggo juga Kamel di ruang rawat inap tertutup itu.

Tapi yang Kala pikirkan hanya Calief saat ini—dan melihat Natha membuat gadis itu ingat Natha juga selalu bersama Calief sejak awal ia melihatnya.

Gadis itu buru-buru meraih gaun Rumah Sakit yang dikenakan Natha dan dengan sedikit histeris, bertanya, "Kamu kenal Calief kan? Kamu lihat dia kan selama ini? Kamu ngobrol kan sama dia?"

Natha meraih tangan Kala dan meremasnya seolah-olah ingin memberi kekuatan, "Aku melihat Calief, itu benar tapi bukan karena dia ada, Kala."

"Tapi karena aku bisa melihat mereka yang nggak kasat mata—aku kira kamu tahu, karena rumor itu pasti sudah beredar tentang aku yang aneh," lanjut Natha. "Dan aku kira kamu sama denganku."

"Baguslah. Jangan deket-deket Kak, anaknya agak aneh. Jarang bicara, hanya sama beberapa orang aja. Kadang bicara sendiri, ketawa sendiri. Kalau saya tanya atau sapa nggak pernah jawab, saya cuma dilihatin saja sampai saya pergi sendiri karena canggung," Bapak petugas itu bercerita, tanpa ditanya. "Sakitnya parah, udah lama di rawat di sini tapi ya gitu nggak sembuh-sembuh. Banyak rumor kalau harusnya dia masuk ke Rumah Sakit Jiwa, tapi keluarganya nggak mau, jadi ya di sini aja."

Semuanya seperti potongan puzzle yang saling melengkapi di kepala Kala—satu-satu mulai menyatu dan membentuk satu gambar besar yang merupakan kenyataannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan Natha padanya di dekat air mancur kini tidak lagi terdengar seperti sesuatu yang kasar.

"Kamu sama Calief ngobrol?"

"Calief itu siapanya kamu?"

"Calief sepertinya sangat suka padamu—aku yakin kamu tahu itu," potong Natha dengan entengnya, "Mungkin udah saatnya kamu bilang sesuatu sama dia. Apa yang kamu lakuin sekarang ini itu jahat. Kasian Calief."

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang