Chapter XVI

3 0 0
                                    

Hari itu, Calief sakit dan tidak masuk sekolah sementara Kamel ijin tidak masuk karena harus ikut orang tuanya mengujungi sanak-saudara yang terlibat masalah dan tanpa sengaja mempengaruhi seluruh keluarga besarnya. Jadilah hanya ada ia dan Viggo tapi laki-laki itu sedang sibuk berlatih sebagai tim inti di klub futsal karena sekolah mereka akan mengikuti lomba nasional beberapa bulan lagi—maka bisa dibilang hari itu Kala harus bermain sendiri—benar-benar hari paling membosankan di masa SMA-nya.


Rasanya menyebalkan! Gadis itu merindukan Calief dan Kamel—mungkin Calief lebih banyak karena gadis itu lebih sering menghabiskan waktu dengannya, tapi tentu saja keduanya penting untuk Kala.

Kala memutuskan hari yang membosankan ini tidak harus berakhir membosankan juga jadi ia setengah memaksa Viggo untuk pulang bersamanya sepanjang jam pelajaran terakhir melalui SMS.

Viggo

Today

Tapi ada latihan tambahan dulu nih ampe jam set. 4 nanti

2:45 PM

Mau nunggu?

2:46 PM

Lama amat deh

2:47 PM

Yaudah deh nggak apa-apa

2:47 PM

Ntar aku tunggu ambil makan cilok

2:48 PM

Wih mau

2:50 PM

Beliin buat dibawa pulang ntar

2:50 PM

Yaudah, ke lapangan luar aja ntar ya

2:51 PM

Dih nyuruh ya

2:53 PM

Oke ntar dibeliin kayak biasa

2:53 PM

Noted, see you there

2:55 PM

Bel berdering lima menit kemudian, Kala buru-buru merapihkan buku-bukunya dan berjalan keluar dari kelas paling dulu dari yang lain.

Seperti janjinya, gadis itu berbelok ke kantin dulu untuk membeli cilok sebelum akhirnya duduk di sisi lapangan luar SMA mereka yang sudah dipenuhi oleh anak-anak klub futsal. Viggo melambaikan tangan padanya saat laki-laki itu menangkap sosoknya dari tengah lapangan—yang Kala balas dengan melambaikan ciloknya. Beberapa adik kelas yang memiliki 'kecengan' di klub futsal mulai duduk di beberapa spot lain mengitari lapangan.

Kala baru akan membuang sampah plastik bekas ciloknya ketika ia mendengar orang-orang berteriak tak karuan secara bersamaan lalu sesuatu yang keras menghantam kepalanya sampai ia jatuh.

"Kala!" ia mendengar Viggo berteriak.

Kala membuka matanya dan dunia serasa berputar untuk beberapa saat sebelum akhirnya berhenti dan kepalanya berdenyut menyakitkan. Saat gadis itu melihat ke pinggir, sebuah bola tergeletak di sana tanpa merasa berdosa.

"Kal! Wah sorry-sorry!" seru Viggo sambil berjongkok. "Aku nggak sengaja! Pusing nggak?"

Kala menggeleng pelan dan menyerngit saat kepalanya berdenyut lagi, "Nggak parah sih, cuma malu banget nih."

Gadis itu cemberut saat menyadari semua orang memandangnya—termasuk adik kelas yang lain.

Viggo tertawa mendengar responnya lalu meletakkan tangannya di dahi Kala yang terkena bola—mengusapnya lembut sambil meniup angin ke sana sebelum bergerak untuk mengambil bola di sisi Kala.

"Tuh udah sembuh lah! Sorry yak, nggak sengaja," Viggo menawarkan tangannya dan membantu Kala kembali duduk di tempat ia sedari tadi menunggu Viggo, "Aku main lagi ya!"

Kala hanya menatap laki-laki yang cengegesan itu dengan sinis sambil mengusap-usap dahinya. Sikap manis itu sama sekali tidak berpengaruh padanya—jadi gadis itu akan tetap mengingat kejadian memalukan ini dan membalaskan dendamnya nanti saat Viggo lengah.

Gadis itu pun berdiri dan mulai membersihkan seragamnya karena terjatuh di tanah lapangan yang sedikit lembab oleh air hujan di jam pelajaran terakhir tadi, ketika ia mendengar mereka—adik-adik kelasnya.

"Wih gila, Kak Viggo so sweet banget sama Kak Kala. Mereka pacaran?"

"Mana mungkin lah, Kak Kala biasa gitu. Kak Viggo kan ganteng—selereanya pasti yang cantik juga."

Jantung Kala rasanya berhenti untuk sesaat.

Ia sering mendengar itu—betapa bencinya ia mendengar itu.

Kala tidak bisa disebut jelek tapi tidak juga bisa disebut cantik. Sepanjang hidupnya, ia bagaikan bola yang dilempar ke sana kemari—kadang dibuat untung karena beberapa orang menganggapnya cukup cantik, kadang dianggap remeh karena tidak terlalu cantik. Ia tidak jelek tapi juga tidak cantik sampai-sampai ia bisa menjadi model, salah satu mimpi yang harus ia pendam karena ia selalu mengalami penolakan.

Tangannya terkepal, kesal, tapi gadis itu tidak melirik kearah adik-adik kelas yang sudah jelas sedang membicarakan dirinya, entah dengan sengaja atau tidak—tanpa mengontrol volume suara mereka.

"Tapi Kak Kala kan nggak jelek. Mereka deket banget lagi udah dari dulu, yah mungkin aja—"

"Nggak. Nggak mungkin. Kamu dengerin aku ya, realistis aja. Kak Kala udah pasti bukan seleranya Kak Viggo—kalau sampe mereka pacaran, wih, aku sujud deh!"

"Kok gitu sih? Kasar banget.."

"Karena hanya perempuan cantik yang dipilih—dimana pun itu."

***

Ia ingat sekarang.

Hari itu, egonya sangat terluka.

Kala ingin rasanya berteriak kepada kedua adik kelas itu, menanyakan apa yang salah dengan memiliki wajah seperti Kala. Apa dia yang minta? Bisa-bisanya mereka merendahkan Kala hanya karena wajahnya itu! Dan membuat ia bertekad untuk mendapatkan Viggo hanya untuk membuktikan kepada mereka bahwa perempuan sepertinya bisa mendapatkan orang seperti Viggo jika pun ia mau.

Egonya yang terluka lah yang memberikan Kala ilusi selama ini bahwa ia menyukai Viggo.

Baru disadari oleh gadis itu kenapa ia memiliki lebih banyak memori indah dengan Calief dan bagaimana sesuatu selalu membuat dadanya sesak setiap kali memikirkan Calief. Entah itu rasa bersalah atau denial yang merusak otaknya.

Karena ternyata yang disukainya selama ini lebih dari teman adalah Calief—bukan Viggo—tapi egonya lah yang membuat gadis itu lupa.

Terjawab sudah, kenapa semenjak kepulangannya ke Indonesia—yang bisa diingatnya hanya Calief.

Maka jelaslah sudah mengapa alasan ia lupa sejak kapan ia menyukai Viggo seperti itu.

Dan itu karena ia memang tidak pernah menyukainya seperti itu.

Yang Tak Tersentuh [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang