ayang, ini part lima belas

169 72 200
                                    

15. Mantan numpang lewat

Sok-sokan mutusin duluan. Eh, giliran aku-nya udah move on-an, si mantan ngajak balikan!

•••

Besttai, bilang pada otakku ini, kalo aku... nggak mau memikirkan tentang si fakboi anjing liar alias Dirga Ramondra. Tolong, hasut pikiranku untuk melenyapkan kejadian mimpi, yang berlangsung barusan tadi. Aku nggak mau memikirkan ini terlalu dalam Besttai. Aku capek! Bisa nggak sih, untuk satuuuu kali ini aja, otakku sefrekuensi?

Disaat hatiku komat-kamit ngusir setan kayak Dirga... tapi kenapa, otakku malah membuatku semakin susah untuk melenyapkan Dirga barang sejenak saja? Aku butuh bernafas dengan lega Besttai, tolong... bilang pada otakku ini untuk stop! Stop mikirin mimpi yang benar-benar nggak jelas ini, aku nggak mau terus-terusan kayak gini. Itu hanyalah sebuah mimpi, dan... nggak akan terjadi!

Namun, nihil! Nggak bisa! Aku... pasrah. Mataku melamun dengan fokus satu titik arah; depan, nggak kemana-mana, pandanganku cuma ke arah depan. Mataku emang kebuka, tapi tatapannya... nyaris bisa dikatakan stres seperti orang gila, dengan pikiranku yang bego ini berjalan kemana-mana. Mana belum mandi lagi! Au ah! Aku jadi serba males begini.

“Ha... makan, dikiiit aja Bi.” Aku sama sekali nggak bergeming Besttai semenjak, Dimas membawakan makanan ke kamarku. Yang pastinya untukku. Dia mengeluarkan nafas berat saat aku masih... aja nggak memberikan respon untuk menjawab.

“Ini udah jam setengah satu lho Bi... lo belum makan, gue tau. Makannya, lo isi perut lo sekarang yah. Bentar lagi, ‘kan mau ngantor, entar masuk angin gimana, hayo? Dikiiit aja.” Dari gemeletuk sendok antara piring oleh tangan Dimas, aku tau arah prilaku dia itu kemana, “mana mulutnya? Ayooo dong Bi, dibuka... aaaak?”

Mati-matian Dimas nyuapin aku, responku cuma menggeleng pelan.

“Oh! Atau nggak, gue beliin ayam mercon yah? Uh, pasti enak tuh kalo makannya dengan nasi anget. Iya nggak Bi? Mau yah?” Untuk yang nggak tahu dikali, Dimas masih aja sabar menghadapi tingkahku yang kayak bocil ini.

Aku memejamkan mata; stop egois Bi, Dimas khawatir sama lo.

Iya, aku nggak boleh kayak gini. Dengan batinku yang menjerit egois, aku menarik nafas pelan dan membuka mataku secara perlahan. Lalu, langsung aku suguhkan memandang Dimas yang tersenyum menenangkan. Dia begitu, aku yang meneguk ludah susah-susah untuk menahan tangis Besttai. Sedih. Ayolah Bi, Dimas adalah salah satu orang yang bisa buat lo semangat. Jadi, apa salahnya walaupun pikiran aku kacau kemana-mana... setidaknya, kelebihan akting aku yang bagus, kenapa nggak digunain aja untuk berpura-pura? Please. Kasian Dimas.

Aku tersenyum. “Mas... ” panggilku.

“Iyah, kenapa, hm?” tangan Dimas terjulur mengelus rambutku dengan senyum simpul.

“Suapin.” kataku yang berusaha untuk melebur sesak yang bergemuruh ingin berteriak. Aku nggak boleh egois! “Mau makan hehehe, tapi... mau disuapin sama lo.”

Dimas terkekeh senang. Ya Tuhan, dengan apa aku harus membalas kegembiraan dia yang menjadi penghiburku sekarang? Aku bener-bener sayaaang bangeeet sama Dimas. Dia... bisa aja jadi kehidupanku untuk tetap bertahan sebagai alasan. Aku tersenyum teduh, saat Dimas mulai fokus menyuapiku.

“Wiw... perhatikan Febi Fionita, pesawat bocil ingin mendarat sekarang juga... aaaak?” katanya seperti memberi makan bayi. Dikira aku emang layaknya bayi apa? Sampe-sampe dikasih nada begituan buat makan? Semula tersenyum tersentuh, akhirnya, aku membukakan mulutku. Senyum Dimas semakin lebar semakin ke sini. “Auuum. Mantap?”

FriendgameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang