"Viatrix akan keluar dari ruang cahaya dalam sepuluh detik."
Kapten mengambil posisi duduk, begitu juga awak anjungan yang sebelumnya berbaris satu saf di lantai bawah. Aku masih berdiri, di tengah ruang anjungan yang sunyi, di saat Vidi memberi peringatan.
"Duduklah. Kau sudah banyak menolong," ucap Kapten.
Aku menggeleng. "Tidak perlu. Kapten, mau kuambilkan air?"
Kapten ikut menggeleng. "Tidak usah repot," balasnya.
Aku kembali memandangi jendela pantau anjungan, menikmati kilatan-kilatan di ruang cahaya sembari menunggu Viatrix tiba di tujuan. Aku mendengar pintu lantai bawah terbuka-tutup sesekali. Para awak komando keluar anjungan secara bergantian hingga menyisakan aku dan Kapten seorang diri.
"Yakin tidak mau beristirahat sebentar?" tanya Kapten. "Aku bisa urus selanjutnya."
Aku menggeleng lagi. "Aku masih harus membantumu, Kapten."
"Lalu aku harus terus-menerus bergantung pada anak buahku?" tanya Kapten dengan nada keras. Membuat pandanganku seketika tertuju kepada perempuan muda itu.
Aku mendiamkannya sejenak, membiarkan gejolak emosinya yang tengah labil untuk menurun sendirinya.
"Keluar dari ruang cahaya, sekarang."
Vidi memberi peringatan bahwa Kapal Viatrix telah keluar dari ruang cahaya. Kapal ini pun tiba di ruang antarsistem, istilah untuk zona lingkar paling luar dari sebuah sistem bintang. Lebih luar dari lintasan planet dengan urutan orbit paling terakhir. Juga hanya terdapat objek-objek dingin nan beku di depan.
Ruang hampa, di mana yang kau temukan hanya bintik cahaya kecil dan bebatuan beku berwarna gelap yang membelakangi sumber cahaya utama sistem. Viatrix menghentikan laju mesin, perlahan menurunkan kecepatan. Kami pun bersembunyi di ujung sebuah sistem, di belakang awan-awan yang sangat dingin.
"Vidi, berikan aku informasi astrografi," ucap Kapten.
"Viatrix kini berada di ujung zona Sistem Crusai," balas si asisten kecerdasan buatan.
"Mau temani aku di sini?" tanya Kapten. Dirinya memalingkan pandangan ketika aku menoleh ke arahnya.
"Tentu saja, Milla."
Suasana anjungan menjadi hening seketika, tak ada satu pun kami berucap atau alat-alat kendali juga. Kapten berdiri, berjalan ke lantai bawah anjungan melalui tangga menurun di sisi lantai atas. Langkah kaki yang beradu dengan lantai memecah sunyi.
Aku mengikutinya dari belakang. Lantai bawah menjadi sangat gelap setelah beberapa konsol berada dalam mode tidur. Kapten berdiri di depan jendela pantau, denganku di samping.
Aku rasa ia tengah berdiam diri sembari menatap bintang-bintang kecil. Suasana hampa antariksa memang mampu membuat damai hati siapapun.
"Kau tahu?" tanyanya, membuatku menoleh ke arahnya. "Ini kesekian kalinya ... aku merasa diriku bukan orang yang tepat untuk memimpin." Kapten menundukkan kepala dan menghentikan ucapannya sejenak.
"Semua orang percaya kepadamu," ucapku.
Kapten menyentuh lapisan dinding transparan yang menampakkan langsung pemandangan gelap lautan hampa tak berujung.
"Tidak. Para perompak senior benar. Aku akhirnya sadar setelah kehilangan satu anak buah. Kalau aku memang pemimpin yang baik, sudah pasti tidak ada yang perlu mati."
Aku ikut terdiam saat Kapten menyelesaikan kalimatnya.
"Ayah dan Ibu tewas demi melindungi anak buahnya. Sedangkan aku? Membuat anak buahku meregang nyawa karena melindungiku. Orang lemah macam apa aku ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Viatrix Space Pirates
Science FictionDi Galaksi Seberang, di masa perompak antariksa mencari kebanggaan. Edeatu merupakan sindikat perompak antariksa terbesar di Galaksi. Di tengah gelapnya angkasa lepas, mereka beraksi. Milla Mazcira, perempuan muda kapten kapal Viatrix harus menghada...