ATST #31

1.1K 218 55
                                    

Malam, Dears!

Hara update lagi.
Terima kasih yang sudah meramaikan bab 30 kemarin.
Bab ini ramein lagi, ya?

Vote, comment, and share cerita ini ke teman kalian.

Happy reading!





***







Sisil tak membalas satu komentar pun di postingan terakhir instagramnya. Termasuk komentar Naka. Sembari menahan tawa, jempolnya terus menggulir layar.

"Lagi ngetawain apa, sih? Seru banget kayaknya."

Sisil menoleh dan langsung bertatapan dengan Wira yang sudah duduk di sampingnya—tempatnya semula. Refleks, dia mematikan layar ponsel dan menelungkupkannya di pangkuan. Kelopak matanya mengedip-kedip, bertanya-tanya seberapa lama dirinya heboh sendiri sampai tidak menyadari keberadaan pria di sampingnya.

Wira tersenyum tipis. Tangan kanannya terulur memberikan minuman pesanan Sisil. "Saya enggak mengintip ponsel kamu, Priscillia. Saya baru di sini sekitar beberapa detik yang lalu."

"Eh?" Sisil menjadi canggung karena Wira berhasil menerka kemelut dalam pikirannya. "Bu—bukan begitu, Mas." Kemudian dia menunduk dengan pandangan redup. "Saya minta maaf," sambungnya menyesal.

Alih-alih menjawab, Wira meraih tangan kiri Sisil dan menyelipkan minuman di genggamannya. "Minum dulu. Kelihatannya kamu memang butuh minum."

Sisil mengangkat wajah. Dengan raut heran dia bertanya, "Mas Wira cuma beli buat saya?"

"Enggak, kok. Saya juga beli buat sas sendiri dan satu popcorn caramel ukuran medium. Tuh, saya taruh di situ." Wira menunjuk bangku kosong di sebelahnya. "Masih ada waktu lumayan lama kita nunggu buat masuk. Kalau saya pegang terus, takut habis duluan," kelakarnya diiringi kekeh renyah yang menular.

"Bukan Mas Wira saja. Kayaknya saya juga doyan. Apalagi yang caramel. Saya sama Mbak Aulia kalau lagi nonton kadang sampai beli 3 box saking doyannya." Sisil menanggapi seraya menyedot kuat minumannya hingga tersisa separuh.

"Oh, iya? Kalian ... sering nonton bareng?" tanya Wira penasaran.

"Siapa? Saya sama Mbak Aulia?"

Wira mengangguk. Atensinya tertuju penuh.

"Dalam sebulan, kami bisa pergi nonton minimal empat atau lima kali ada mungkin." Sisil mencoba mengingat-ingat dengan bergumam lirih. "Kami biasa ambil jadwal midnight. Selain lebih murah, lebih sepi juga."

Wira terdiam sejenak. Rasanya, cerita Sisil agak tidak sinkron dengan apa yang selama ini dia simpulkan mengenai Aulia.

"Bukannya, Aulia takut gelap, ya?"

Sisil sontak tersedak. Dia menepuk-nepuk dadanya sebentar sebelum berkata, "Mbak Aul takut gelap?" tanyanya tak percaya. Lantas tawanya menggemerencing di udara. Sebelah tangannya mengibas-kibas di depan wajah. "Mas Wira ini ada-ada saja."

Lagi, Sisil tertawa. "Mas Wira, meskipun kami enggak lagi sering nonton bareng setelah Mbak Aulia naik jabatan, tapi saya yakin seratus persen kalau Mbak Aulia enggak ada phobia apa pun. She is the bravest woman I have ever known. Bahkan gelap-gelapan di lokasi syuting dan ruang editing semalaman pun Mbak Aulia betah."

Wira menarik senyum canggung. "Oh, begitu."

Kembali menyesap minumannya hingga tandas, Sisip bertanya, "Lagi pula, Mas Wira kok bisa, sih, menyangka Mbak Aulia takut gelap?"

AT THE SAME TIME [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang