Praka Pov.
"jadi kamu menaruhkan nyawamu demi ini?" tanyaku pada perempuan yang kini sedang duduk di sampingku sembari menatap dua barang yang ditunjukkannya padaku. dia hanya tersenyum padaku. bagaimana mungkin aku bisa marah jika dengan senyumnya saja mampu meluluhkan hatiku yang beku sekalipun.
"dan demi bertemu denganmu lebih tepatnya." Ucapnya sembari menatapku dalam. Aku balas menatapnya lalu mengusap puncak kepalanya lembut. Darimana dia belajar menjadi romantis seperti ini. sepertinya aku akan terkena diabetes jika dia terus menerus bersikap manis seperti ini.
"Terimakasih ya sayang." Ucapku padanya. akupun menariknya ke dalam pelukanku. Hah,, akhirnya aku bisa melepas rindu yang tertahan seminggu lebih gara-gara masalah ini. dan kali ini saatnya balas dendam. Aku akan menempel padanya untuk mengganti hari-hari tanpanya kemarin.
"jadi, apakah nantinya Mayya akan dipenjara Mas?" tanyanya padaku. akupun tidak yakin melakukan itu. kalau aku sangat ingin segera melaporkannya tapi pastinya harus atas persetujuan Ghaitsa. aku tak mau ia merasa keberatan akan hal ini.
"kalau menurutmu bagaimana?" tanyaku padanya. aku tak mungkin mengambil keputusan sepihak tanpa tahu apa kemauannya. Yah, walaupun mungkin pendapatnya akan berbalik jauh dengan keinginanku nantinya.
"aku ingin menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan mas. Selepas dengan segala yang telah dilakukan pada keluarga kita. Tapi, dia tetap adikku. aku tak tega melihatnya sendirian disana. lagipula aku yakin, dia seperti itu karena suatu hal. " jelasnya padaku. aku sudah menduga dia akan berpikiran seperti itu. bagaimanapun dia berjuang mendapatkan bukti-bukti ini, tapi dia pasti tak akan tega jika melakukan tindakan lebih lanjut. Padahal adiknya tak pernah memikirkan dirinya sedikitpun. bahkan ia rela mencelakainya.
"baiklah. Besok kita bicarakan lagi ya sama mama, papa dan Kak Tiara." Ucapku padanya. dia mengangguk paham mendengarnya.
"oh iya, sebenarnya ada yang ingin bertemu denganmu Sa." Ucapku padanya. aku lupa ingin memberitahukan padanya. padahal mama sudah memberitahuku beberapa hari yang lalu.
"siapa mas?" tanyanya padaku dengan raut wajah penasaran.
"kamu siap-siap dulu nanti aku akan ajak kamu kesana." Ujarku sengaja membuatnya bingung. Dia terlihat ingin bertanya tapi ditahan. Dia pun bergegas mengganti pakaiannya.
Setelah kami siap akupun melajukan mobil menuju tempat itu.aku tidak yakin dia akan senang datang kesana tapi aku hanya ingin menyelesaikan sebuah kesalahpahaman yang masih belum usai.
"Rumah sakit? Kamu sakit lagi mas? Dimana sakitnya?" tanyanya sembari menyentuh lenganku yang dulu terluka. Padahal jelas-jelas dokter sudah mengatakan bahwa tak ada luka serius padaku kemarin. Tapi dia masih saja mengkhawatirkanku.
"bukan. Aku tidak papa. Ikut aku saja." ujarku sembari menggandeng tangannya memasuki rumah sakit.
Kami sudah sampai di depan ruangannya. Kami berhenti sejenak disana. dia tampak diam terpaku menatap kosong ke bawah.
"Terlepas dari semua masalalumu dengannya, aku harap kamu masih mau memaafkannya. Dia sudah mengakui kesalahannya dan merasa bersalah padamu. Aku yakin di dalam lubuk hatimu kamu masih peduli padanya." ujarku padanya. aku mencoba memberikan semangat padanya. aku membuka pintu dan mempersilahkannya masuk terlebih dahulu.
Di dalam kami melihat bu Sarah sedang duduk di korsi rodanya sembari menatap kosong pada jendela. Mungkin dia sudah penat dan ingin menikmati udara segar di luar.
"Assalamualaikum bu."salamku padanya membuat beliau terkejut. Beliau berbalik lalu terkejut melihat kedatangan Ghaitsa juga disana.
"waalaikumsalam nak Praka." Jawab beliau sembari susah payah menggerakan kursi rodanya untuk berbalik.
"Ghaitsa? ini benar kamu nak?" tanya Bu Sarah dengan nada yang terharu dan sedih. beliau hendak meraih tangan Ghaitsa tapi perempuan itu masih enggan untuk melakukannya. Aku paham dengan keadaannya. Mungkin luka yang ia dapatkan begitu dalam sehingga sulit baginya untuk melakukan hal ini.
"Nak, ibu minta maaf padamuu. Seharusnya ibu tak memperlakukanmu seperti itu. mungkin apa yang ibu dapatkan sekarang adalah buah dari perbuatan ibu yang sering melukai hatimu dulu nak. Maafkan aku ya Ghaitsa." pinta Bu Sarah dengan air mata yang sudah mengucur deras. Beliau sudah semakin lancar berbicara walau kadang masih terbata.
Aku melihat Ghaitsa masih diam tak merespon apapun. Aku mendekatinya kemudian meraih tangannya. dia tersentak ketika aku melakukannya. Sepertinya di sedang memikirkan sesuatu sehingga terkejut seperti itu.
Aku menatapnya lalu tersenyum padanya. aku mencoba memberikan kekuatan padanya. aku yakin tanpa banyak kata hati kita sudah paham satu sama lain. dia mengangguk lalu membalas senyumku.
"saya sudah memaafkanmu, ibu." Ucapnya dengan lembut. Hal itupun membuat tangis bu Sarah semakin pecah. Ini pertama kalinya Ghaitsa memanggil ibu tirinya dengan sebutan yang semestinya.
"terimakasih nak, terimakasih." Ucap Bu Sarah sembari meraih tangan Ghaitsa. istriku mendekat dan memeluk ibu tirinya dengan erat.
Walau berat tapi aku yakin semua itu bisa mereka lalui. Luka lama yang dulu menganga perlahan menutup seiring berjalannya waktu. Semua masalah yang dulu terasa rumit kini berangsur membaik.
Kami pun menceritakan kepada beliau dan meminta pendapat mengenai masalah itu. disini kami semua tahu bahwa bu Sarah juga merupakan korban dari putrinya sendiri. walaupun ini pasti akan sulit baginya, tapi kami hanya perlu mendengar pendapatnya.
"saya kira ibu sudah paham tentang apa yang hendak kami lakukan. Dan melihat ibu juga sebagai korban disini, sehingga kami ingin menanyakan pendapat ibu mengenai semua ini." ujar Praka tanpa ada nada paksaan.
Aku bisa melihat wajah beliau langsung menunduk. Ini keputusan yang berat memang. Apapun yang dilakukan Amayya padanya tentu tak mengurangi sedikitpun rasa sayangnya pada Maya.
"sejujurnya aku masih tidak tega. Aku seorang ibu, yah walaupun aku bukan ibu yang sempurna. Dia memang bukan anak kandungku tetapi aku merawatnya sedari kecil. aku tetap menyayanginya sebagaimana anakku sendiri. tapi jikalau ini keputusan terbaik untuk kalian lakukanlah. Dia sudah dewasa dan sudah sepatutnya mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan. Aku pasrahkan semua pada kalian. aku yakin kalian memiliki keputusan yang terbaik atas semuanya." Ujar Bu Sarah pada kami. Aku bisa melihat raut wajah khawatir darinya.
Aku dan Ghaitsa saling bersitatap. Tentu saja kami paham bahwa ibu keberatan dan tidak ikhlas jika Mayya dilaporkan ke polisi. Bagaimanapun ia ingin Mayya hidup tenang dan aman. Tapi tindakannya juga tak bisa dibiarkan begitu saja.
"baiklah bu, kami akan bermusyawarah kembali tentang hal ini." ujarku pada beliau. Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku tak bisa berjanji jika Mayya akan selamat dari keadaan ini.
Setelah merasa cukup kami pun berpamitan untuk pulang. Tapi sesaat sebelum kami keluar dari kamar rawatnya, beliau menahan tangan Ghaitsa.
"Nak, aku ingin meminta maaf atas nama adikmu. Dia memang sudah keterlaluan pada kalian. tolong bukakan pintu maaf untuknya. Kesalahnya saat ini semata-mata bukan hanya karenanya, tapi juga salahku. Jangan membencinya terlalu dalam ya nak. Aku tau kamu mempunyai hati yang tulus. Biarlah hatimu yang menuntunmu." Ucapnya sebelum kami pergi. Ghaitsa hanya mengangguk dan berpamitan padanya.
Selama perjalanan pulang aku bisa melihat Ghaitsa terus melamun. Dia menatap kosong kearah depan. Dia pasti sedang memikirkan kata-kata ibunya tadi. aku menggenggam tangannya, mencoba memberikan ketenangan padanya.
"Mas." Panggil Ghaitsa padaku. aku menoleh kearahnya dan mencoba mencaritahu apa yang hendak ia katakan.
"aku ingin bertemu Mayya." Ucapnya padaku. dia begitu serius akan ucapannya. Dan aku hanya bisa mengangguk menyetujuinya.
***
Thanks for reading guys :))
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE ( END ✅️ )
RomantikGhaitsa Athalea, seorang gadis pecinta hujan yang harus bersahabat dengan rasa sakit sedari ia kecil. Setelah kepergian ibunya dia merasa sangat kesepian dan kesedihan selalu meliputi dirinya. Bagaimana tidak, Ayahnya menikah lagi dengan perempuan y...