Ada tiga tempat yang paling Nana sukai untuk menghabiskan waktu bersama Jeno.
Yang pertama adalah museum karena keduanya pecinta sejarah garis keras yang terdampar di kelas ipa.
Yang kedua adalah ruang kosong di antara tangga menuju rooftop, dimana mereka sering menghabiskan istirahat dengan berbagi bekal dan berdiskusi tentang banyak hal.
Yang ketiga adalah perpustakaan kota yang begitu luas, adem dan menyediakan ribuan buku untuk mereka bahas satu persatu.
Tapi, dari ketiga itu, perpustakaan kota adalah tempat yang membuat Nana terlalu sering menghela napas panjang.
"Jeeeeeen."
Dan Jeno udah paham arti rengekan itu.
"Mau yang mana?"
"Itu rak kedua dari atas."
Nana adalah gadis Indonesia pada umumnya dengan tinggi seratus lima puluh sentimeter dan itu nggak cukup untuk meraih buku yang berada di rak teratas perpustakaan.
Makanya dia selalu butuh Jeno di sekitarnya, cowok itu bisa menjangkau buku-buku favoritnya yang selalu diletakkan di urutan paling atas.
"Hari ini mau jatuh cinta ke siapa, Na?"
Kemarin, gadis itu tergila-gila pada Segara Alam setelah menamatkan novel Pulang, kemarin lalu dia tidak berhenti berceloteh tentang Soke Bahtera dari Hujan milik Tere Liye. Mungkin kali ini, Jeno harus merelakan telinganya dipenuhi cerita tentang Minke dari Bumi Manusia.
"Tau nggak ..."
Semua selalu berawal dari kalimat itu dan Nana baru akan berhenti merengek ketika Jeno meletakkan bukunya dan memberikan seluruh atensi padanya.
"Iya?"
"Aku semalem abis baca Gadis Kretek terus nggak tau mau nangis apa mau marah."
Ah novel itu karya Ratih Kumala, istri dari salah satu novelis favorit mereka, Eka Kurniawan.
"Why?"
"Karekter Jeng Yah tuh nggak tau ya Jen, interpretasinya di mata aku kuat banget."
Nana mulai membuka novel bersampul biru yang Jeno ambilkan tadi.
"Kok tumben ngomongin tokoh wanita?"
"Soalnya sentralnya di sana. Terus, aku mau coba baca Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam, soalnya itu bercerita tentang fenomena kawin tangkap di Sumba. Menarik banget, kan?"
Nana yang bercerita tentang banyak hal adalah sesuatu yang Jeno sukai, dia betah berlama-lama mendengarkan kalimat yang gadis itu keluarkan, senang ngeliat betapa ekspresifnya perempuan itu ketika berceloteh.
"Tapi ya Jen ..."
"Hmm?"
"Di antara Alam, Esok, Minke, Elang atau Ray, aku lebih pilih kamu sih," katanya, mengabsen seluruh tokoh fiksi favoritnya.
"Kenapa gitu?"
"Soalnya mereka udah punya pasangannya masing-masing. Toh, nggak mungkin juga Alam betah dengerin aku cerita macem-macem. Dah, emang paling cocok Alam sama Lintang, Jeno sama Nana."
Jeno tertawa, mencuri satu kecupan di kening gadisnya.
"Jadi, hari ini mau jatuh cinta ke?"
"Jeno! Dan seterusnya selalu Jeno!"
***