Sensasi dingin menyeruak di mulutku, kala aku meminum macchiato yang kupesan. Kulirik jam yang menggantung di dinding cafe, sudah satu jam dan ia belum juga datang. Mungkin ia kena macet, atau... masih menunggu izin dari istrinya. Ck, moodku langsung turun begitu memikirkan perkiraanku tersebut.
"Selamat datang," sapa para pelayan cafe, menandakan ada orang yang datang. Untuk kesekian kalinya aku menoleh ke arah pintu masuk. Namun kali ini firasatku benar, itu dia. Kali ini ia memakai kaus biru dengan jeans berwarna sama. Wajahnya sumringah kala ia melihatku. Otomatis aku tersenyum.
Ia duduk di depanku, setiap gerakannya begitu sempurna seakan ia dewa yang baru turun dari langit. Namun aku baru sadar ada gurat hitam di bawah matanya.
"Sudah lama?" Ia menatapku melalui mata birunya, yang seakan menarikku untuk tenggelam lebih jauh ke dalamnya. Tangannya meraih tanganku yang tadinya menggenggam gelas macchiato-ku. Jantungku serasa merosot, perutku mulas. Setiap gerakannya terhadap tanganku menimbulkan efek aneh pada tubuhku. Dan anehnya ini kali pertama aku merasakannya, walaupun bulan ini sudah tiga lelaki yang melirikku bahkan berani mengajakku kencan.
Namun ia beda.
Walapun ia sudah beristri.
"Ti-tidak. Baru saja," aku gelagapan dan tanpa sadar aku bohong.
"Hm..." ia bergumam, "Lalu mengapa macchiato-mu sudah tinggal separuh?"
"Itu karena aku haus."
"Kau bohong," ia mengusap bibirku. "Bibirmu kering."
Aku terkesiap.
Bukankah sudah kubilang sebelumnya bahwa setiap perlakuannya padaku membawa getaran aneh pada diriku?
"Kak..."
"Hm?"
"Apa... apa kau tak menghawatirkan... istrimu?" Suaraku sedikit bergetar.
Tak disangka ia melepas semua kontak fisik denganku. Jujur aku sedikit kecewa. Tangannya terangkat, oh... ternyata ia berniat memanggil pelayan. Di saat seperti ini pun setiap gerakannya pun tertangkap olehku.
"Jangan bicarakan dia. There's only you and me," ia berbisik.
Salah satu pelayan menghampiri meja kami. Senna memesan dua piring steak, satu americano, dan segelas macchiato lagi untukku. Pelayan tersebut melirikku sekilas, namun segera memalingkan pandangannya saat aku membalas tatapannya. Aku menghela nafas, ini sudah biasa terjadi. Dan aku lebih sering memilih untuk mengabaikan mereka. Mataku melirik lelaki di hadapanku, 'namun kau pengecualian,' ucapku dalam hati.
Pelayan tersebut meninggalkan kami setelah Senna menambahkan sepotong cheesecake dan muffin ke dalam pesanannya.
Hampir saja kami mati dalam keheningan, jika saja Senna tak membuka mulutnya.
"Asya, maukah kau... menungguku?"
Aku membatu. Apa maksudnya? Ia memintaku menunggu? Ia menginginkan jawaban apa dariku? Apa yang harus kuperbuat? Mungkin aku harus bertanya dulu.
Aku mulai membuka mulutku, "A--"
Perkataanku terputus oleh lagu Hero yang mengalun dari handphone Senna. Sedikit bersyukur bahwa aku mempunyai waktu sedikit, sedikit lagi untuk berpikir. Namun suara decakan kesal darinya membuatku tak bisa berpikir dengan jernih. Dapat kulihat wajahnya mengeras, lalu mematikan handphone-nya dengan sekali sentak.
Kupikir aku tahu siapa yang menghubunginya.
"Kak..."
Wajahnya melembut kala menatapku.
"Ya?" tanyanya perlahan.
Aku berpikir, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Sedapat mungkin aku berusaha membayangkan jika aku berada di posisi istrinya. Sebersit perasaan bersalah bersarang di hatiku. Ini tak seharusnya terjadi. I'm a stupid girl.
"Kembalilah... pulanglah. Ia menunggumu," bisikku pelan.
Meskipun berat, aku harus. Aku berdiri dan berjalan, perlahan. Meninggalkan semua kenangan manis di belakangku.
***
Cerpen ini berdasar lagu Girl At Home by Taylor Swift.