Author Pov
Hari-hari berlalu, Ghaitsa selalu setia mendampingi Amayya disampingnya. Selama tak sadarkan diri, Ghaitsa lah yang merawat adiknya. Dia yang membersihkan badan Amayya. Menggantikan bajunya. Dia selalu setia menemani adiknya itu dan berharap dia segera sadarkan diri.
"Yang, kamu tuh kalo cape istirahat aja deh. Nanti biar dia diurus sama suster." Ujar Praka yang kasihan melihat istrinya kelelahan karena harus bolak balik ke rumah sakit ketika dirinya sedang hamil.
"Gapapa Mas. kasihan Amayya gak ada temannya disana. dia pasti kesepian." Ujar Ghaitsa dengan menunjukkan senyumnya pada sang suami untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
Ghaitsa kembali ke rumah sakit diantar oleh suaminya yang akan berangkat kerja. Dia menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk menunggui adiknya dan akan pulang ketika sore hari bersamaan dengan Praka pulang kerja.
"Adik kamu sudah sadar Ghaitsa. dia sudah dipindah ke ruang perawatan sekarang." Ujar suster yang sudah akrab dengan Ghaitsa. Sontak saja perempuan itu mengucap hamdallah karena rasa syukurnya itu.
"Makasih ya sus. Berkat suster dan dokter disini adik saya membaik dengan cepat." Ujar Ghaitsa dengan mata berkaca-kaca.
"Itu semua berkat kesabaranmu mengurus adikmu Ghaitsa. Sudah temui dia sana. dia pasti senang melihatmu." Ujar Suster Gina yang dijawab anggukan mengerti oleh Ghaitsa.
Dia pun langsung bergegas menemui adiknya yang sudah siuman setelah tidak sadarkan diri selama beberapa hari itu. senyum Ghaitsa tak bisa disembunyikan lagi. dia sangat senang mendengar kabar bahagia itu.
"Alhamdulillah May, kamu sudah sadar. Gimana, masih ada yang sakit?" Tanya Ghaitsa sembari menyentuh tangan Amayya. Namun dengan cepat adiknya menepis tangan Ghaitsa. perempuan itu terkejut dengan perlakuan adiknya.
"Ngapain kamu disini? Kamu mau menertawakanku sekarang? Kenapa kamu sok peduli padaku? Tak bisakah kamu membiarkanku sendiri disini saja? puas kamu melihatku hancur seperti ini?" Ujar Amayya dengan nada marahnya. Ghaitsa terkejut dengan sikap Amayya yang tiba-tiba seperti itu.
"Kamu nih ngomong apa sih May. Aku disini untuk merawatmu. Aku kakakmu jadi aku berhak disini untuk menjagamu." Ujar Ghaitsa tak kalah tegasnya. Amayya hanya berdecih ketika mendengar hal itu.
"Setelah semua hal buruk yang kulakukan padamu dan kamu masih memperdulikanku? Kenapa kamu tak membiarkanku mati saja? kenapa kamu harus terus menolongku? Taukah kamu, aku merasa menjadi manusia paling hina sekarang." Ujar Amayya lagi dengan nada tingginya.
"Apapun itu kamu tetap keluargaku May. Aku tahu kamu sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. tapi yakinlah aku selalu disini untukmu." Ujar Ghaitsa dengan tulusnya.
"Kamu sedang tidak merencanakan sesuatu untuk balas dendam kan? Aku akan menjadi sangat bodoh jika mempercayaimu begitu saja." Ujar Amayya diikuti dengan tawa sumbangnya.
"Astaghfirullahaladzim. Aku tidak pernah memiliki niatan seperti itu May. Bisakah kamu berprasangka baik sekali saja? Tak adakah pikiran yang baik di dalam pikiranmu itu? jangan terus hidup seperti itu May. Semua orang tak sama sepertimu, tak semua orang hanya mementingkan egonya sendiri. Aku masih cukup waras untuk tidak melakukan apa yang kamu katakan tadi." Ujar Ghaitsa mulai geram.
"Kamu memang munafik ya. Gak mungkin kamu tidak membalas perbuatanku yang sudah kelewatan ini. Siapa tahu kamu sudah menyiapkan sel tahanan untukku disana." Ujar Amayya lagi tak berhentinya berprasangka buruk. Ghaitsa menghela napasnya dalam, lalu dia menyunggingkan seulas senyum kepada adiknya itu.
"Hidupku sudah berjalan baik sejauh ini. aku tidak akan menghancurkannya dengan melakukan hal bodoh seperti itu." Ujar Ghaitsa lembut dan tanpa nada kesal sedikitpun. Ia memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.
"Aku tahu kamu orang yang baik May, hanya saja jalan yang kamu ambil sekarang bukanlah jalan yang baik untukmu. Kembalilah pada kami kapanpun kamu mau. Kami masih keluargamu May dan akan tetap menerimamu dengan baik. Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi." Ujar Ghaitsa membuat Amayya tercenung.
"Pikirkanlah baik-baik. Aku pulang dulu." Ujar Ghaitsa lalu berbalik untuk beranjak pulang. Dia ingin lebih lama disana namun dia tak ingin terus menerus berdebat dengan adiknya itu. lebih baik mereka berpisah dulu dan menenangkan diri masing-masing.
"Apakah ibu masih menerima maafku? Apakah semua orang termasuk dirimu juga bisa memaafkanku semudah itu?" Tanya Amayya membuat langkah Ghaitsa terhenti.
Perempuan itu berbalik menghadap kearah adiknya," Tentu saja, asalkan kamu tulus meminta maaf dan tak akan mengulangi perbuatan buruk itu lagi. Manusia tak ada yang sempurna May, mereka pasti pernah berbuat salah."
Setelah mendengar perkataan Ghaitsa itu tangis Amayya pun pecah. Dia menunduk dalam dan menyesali segala apa yang telah ia perbuat selama ini. melihat Amayya seperti itu membuat Ghaitsa mengurungkan niatnya untuk pulang. dia berjalan menghampiri adiknya dan menenangkannya.
"Maafkan aku...Maafkan aku Kak. Maaf karena aku terlalu menuruti egoku. Aku terlalu iri pada kehidupanmu yang sempurna makanya aku selalu ingin memiliki apa yang kamu punya. Seharusnya aku tak melakukan hal itu." Ujar Amayya disela isak tangisnya.
"It's okey May. Aku sudah memaafkanmu." Ujar Ghaitsa sembari mengusap lembut punggung adiknya.
"Kamu tahu May,Kehidupan yang kamu lihat sempurna tak pernah sesempurna yang kamu bayangkan. Kehilangan ibu, kehilangan perhatian dari sosok Ayah dan menjalani semua kehidupanku sendirian, itulah yang sebenarnya kurasakan. Tapi aku hanya berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Aku sengaja menyimpan kesedihan itu untuk diriku sendiri May. Jadi jangan hanya menilai sesuatu karena kamu hanya melihatnya baik-baik saja dari luar. Syukurilah apa yang kamu miliki sekarang. itu yang akan membuat hatimu lebih tenang." Ucap Ghaitsa menasihatinya.
"Iya kak, aku mengerti sekarang. Bimbing aku untuk berubah ya kak. Aku tidak ingin seperti itu lagi." Ujar Amayya dengan penuh kesungguhan. Ghaitsa mengangguk pelan sembari mengulas senyum untuk adik tirinya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PLUVIOPHILE ( END ✅️ )
RomanceGhaitsa Athalea, seorang gadis pecinta hujan yang harus bersahabat dengan rasa sakit sedari ia kecil. Setelah kepergian ibunya dia merasa sangat kesepian dan kesedihan selalu meliputi dirinya. Bagaimana tidak, Ayahnya menikah lagi dengan perempuan y...