11. Pernikahan

4.8K 310 8
                                    

Menikah.
Pernikahan.
Sepasang suami istri.
Pasangan sehidup semati.

Membayangkan dirinya akan segera bergelar 'Suami Renggana' saja sudah membuat Edzsel meraung-raung bahagia. Hingga ia tak mempermasalahkan bagaimana darah mengalir deras dari tangannya.

Tapi Robert mempermasalahkan hal itu. Begitu juga dengan Vinka. Mereka menatap nanar tuan mudanya yang tengah meninju-ninju tembok menggunakan tangan kosong.

"Tuan. Saya rasa semuanya sudah cukup."

"Belum, Vinka. Tangan sialan ini berani melukai Renggana-ku. Jadi dia juga harus dihukum."

Edzsel tidak menoleh. Melirik pun enggan. Dia terlalu bahagia dengan menyiksa dirinya sendiri.

Wajah ketakutan Renggana kembali terlintas di dalam benaknya.

Edzsel tak masalah jika calon istrinya itu ketakutan akan segala ancaman yang ia berikan. Seperti ketika anak buahnya,- para pembunuh bayaran-, mengepung rumah nenek Renggana dan membuat gadis itu ketakutan.

Atau seperti ketika ia menjadikan si jalang itu dan kepala kokinya sebagai tawanan dan Renggana gemetar memohon ampunan untuk mereka. Edzsel tak mempermasalahkannya. Justru sebaliknya, dia teramat sangat menyukai hal tersebut.

Karena dengan begitu, kesayangannya itu akan lebih mudah diatur dan juga menjadi lebih penurut.

Tetapi Edzsel mempermasalahkan ketika Renggananya ketakutan sebab ulah bejatnya sendiri. Edzsel menyentuh Renggana tanpa seizin gadis itu,- mencium lehernya. Bahkan gadisnya itu sampai terisak sedih karena perbuatan di luar batasnya.

"Tuan ... esok adalah hari pernikahan tuan dan nona. Mengapa tidak dicukupkan sampai di sini saja?"

"Vinka- ponselku berbunyi. Cepat angkat." pemuda itu mengurungkan niatnya untuk membantah sebab ponsel miliknya yang berada di atas meja ruang interogasi berdering sangat keras.

Ini adalah ruangan yang sama dimana Robert melakukan penyiksaan terhadap Meggie.

"Panggilan dari pengacara Jimm, tuan."

"Oh. Berikan kepadaku."

Menuruti perintah atasannya, Vinka berjalan sopan untuk menyodorkan benda pipih berwarna hitam tersebut. Dengan masih berlumur darah, Edzsel menggenggam logam tersebut seolah tangannya baik-baik saja.

Bagi anak yang sudah dilatih untuk bertahan di gunung es sendirian sejak kecil, rasa sakit seperti itu memang bukanlah apa-apa.

"Bagaimana?"

" ... "

"Bagus. Kerjakan sisanya. Aku ingin semuanya sudah beres sebelum upacara pernikahanku besok."

Tanpa menunggu balasan dari si penelpon, siswa yang masih duduk di bangku SMA itu melemparkan ponselnya begitu saja. Dia kemudian merebahkan badannya di atas sofa tempat dia dan Renggana berbaring sebelumnya.

"Aku sudah membolos selama tiga hari. Sisa dua hari lagi maka jatah membolosku akan benar-benar habis bulan ini." tangannya yang kekar digunakan untuk menyugar rambut lepeknya ke belakang. Menampilkan sebuah pemandangan fotogenik untuk dinikmati.

"Rob. Setelah upacara pernikahan, aku akan bulan madu dengan istriku ke Vancouver. Kau siapkan segala sesuatunya di sana hari ini."

"Baik, tuan." layaknya boneka kayu, Robert selalu mengiyakan perintah dari Edzsel tanpa bantahan, sanggahan maupun pertanyaan.

"Kenapa Vancouver, tuan?"

Menatap Vinka sekilas, Edzsel kemudian menutup mata menggunakan lengan kirinya. Dia ingin tidur sejenak karena besok adalah hari paling besar untuknya.

Don't Escape: Look At Me, Your Devil AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang