“Aku bukan pembuat masalah, aku hanya sedikit mengacaukannya.” –Tara.
-----
Suasana pagi itu benar-benar dingin, sama seperti dinginnya embun pagi yang masih basah di luar sana. Gadis itu tampak menggeliat di ranjang tidurnya yang berwarna abu-abu, dan tiga detik kemudian, ia mulai membuka kedua matanya. Ia sudah terjaga.
Matanya masih tampak sayu, namun sama sekali tak melemahkan keindahan warna matanya yang memang tak terpelikan lagi. Ia lalu mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya. Kedua kakinya mulai menjajaki lantai, dan ia seketika bisa merasakan hawa dingin yang masih menempel pada lantai keramiknya. Dingin itu begitu ganas menyapa kakinya, membuatnya sedikit mendesis.
Dingin…, batinnya. Seketika Ia tersenyum kecil, dan ia mulai menyadari bahwa suatu hal sudah terjadi di sekitarnya sekarang ini.
“SALJU!!!!!” pekiknya sesaat sesudah ia membuka jendela kamarnya. Gadis itu tersenyum lagi, kali ini makin lebar.
“SALJU YEYEYEYE! SALJUUUU!” ia lalu memekik lagi, tak peduli jika seluruh dunia tau bahwa ia memang benar-benar menyukai salju.
Salju memang sedang turun di luar rumahnya, atau lebih tepatnya di kota New Jersey. Hal ini sudah menjadi kebiasaan setiap tahun di penghujung bulan November dan di awal bulan Desember. Namun gadis ini selalu saja terkagum-kagum saat melihat butiran-butiran salju yang mulai turun dari langit. Ia seringkali menyebutnya sebagai keajaiban. Entah ada ide dan wangsit darimana saat ia mencetuskan salju sebagai sebuah keajaiban. Namun pada dasarnya memang beginilah faktanya. Ia unik, dan mungkin cenderung aneh.
“WOHOOOOO! WOHOOOO! SALJU! WOHOOOOO!” Ia memekik lagi, seperti tak ingin berhenti untuk berteriak.
Gadis itu lalu berlari menuju pintu kamarnya. Ia lalu berlari lagi menuju sebuah ruangan yang berada sepuluh meter dari kamarnya. Masih dengan piyama warna kuning menyala, gadis itu lalu menggedor-gedor sebuah pintu yang diyakini adalah sebuah pintu dari kamar milik kakaknya.
“KARAAAAA!! BANGUN!! KARAAAAA!!!” teriaknya, nyaring sekali.
Tidak ada jawaban dari dalam sana, dan ia lalu berteriak lagi. “SUN KARA! BANGUNNN!”
Tiga detik berlalu, dan Kara masih tidak menjawab pekikannya. Gadis ini harus mengambil tindakan. Dan tanpa pikir panjang lagi, ia langsung membuka pintu kamar milik Kara, yang kebetulan dalam keadaan tidak terkunci.
“KARA!!” pekiknya lagi, saat menemui Kara yang masih tertidur pulas di ranjang tidurnya.
Kara hanya menggerakkan kakinya tanpa membuka kedua matanya, dan hal itu membuat gadis ini benar-benar geram.
“KARA, BANGUN! ADA SALJU DI LUAR!!! HEI BANGUN!” pekiknya lagi sambil mengguncang-guncangkan tubuh Kara yang masih tergolek lemas diatas ranjang. Namun sekali lagi, Kara hanya bergeram, dan ia tidak membuka matanya sama sekali.
“Salju? Sudah biasa, bukan?” jawab Kara, suaranya serak.
“Sudah biasa? Kau lupa? Kita berdua kan menyukai salju? Kita berdua kan penggemar fanatic salju? Mengapa kau berkata bahwa salju sudah biasa?” balasnya, tidak terima.
Kara berdecak sekali, lalu ia mulai membuka matanya, “Itu dulu, Tara. Lima tahun yang lalu. Pergilah, aku mau tidur lagi.”