Happy reading!
Cahaya jingga yang membakar cakrawala sudah surut bermenit-menit yang lalu, namun sepasang iris coklat Dana masih senantiasa menatap hamparan langit malam. Gadis itu tidak bergeming bahkan ketika suara sayup dari ponsel yang sengaja dia letakkan di atas meja rias masih tersambung pada panggilan.
"Dana!" kali ini suaranya lebih nyaring, kentara sekali jika orang di seberang sana tengah menahan kesal sebab didiamkan begitu lama.
Akhirnya Dana bergerak, kembali mengambil ponsel dan meletakkannya tepat di telinga. "Sean, kamu punya mimpi?" tanya gadis itu tiba-tiba. Mengabaikan kekesalan yang sudah dia ciptakan beberapa saat lalu.
Jelas saja pertanyaan itu membuat yang di seberang kebingungan. Sudah didiamkan, dapat pertanyaan random pula. Semua orang, kan, jelas punya mimpi.
"Punya." jawab Sean kemudian, dengan suara kalem khasnya yang selalu sukses membuat tubuh Dana menghangat.
"Saya juga punya," Dana terkekeh tanpa sebab, kontras dengan sepasang mata yang berkaca-kaca. "Mau tau nggak?"
"Apa?"
"Mimpi saya."
"Iya, apa?"
"Saya pengen megang awan," suara tawa renyah langsung Dana keluarkan begitu mendengar respon dari seberang.
"Ngaco!" Sean merespon dengan dengusan tak percaya. Ada-ada saja, pikirnya.
"Beneran, kok. Mau tumbuh tinggi lima senti juga." dengan mengulum bibir, Dana akhirnya memutuskan untuk beranjak menuju ranjang. Menjatuhkan dirinya dengan ringan sembari menunggu respon lawan bicaranya, lagi.
"Tinggal minum susu aja kalau gitu," rupanya Sean masih mampu melanjutkan topik aneh mengenai mimpi yang Dana bicarakan. "Lagian mimpi kok aneh-aneh, yang lebih bermanfaat, kan bisa."
Bibir Dana menipis seiring mendengar kata demi kata yang Sean ucapkan. Kini fokusnya menatap atap kamar yang sengaja dia tempeli dengan stiker bintang menyala minggu lalu. Hadiah dari Nala. Agar Dana bisa menyicipi bagaimana rasa di luar angkasa, katanya. Dana terkekeh sesaat begitu satu pertanyaan melintas di pikirannya.
Apa pantas?
"Memangnya, pantas?" lirih gadis itu akhirnya. Tanpa berniat memendam pertanyaan barusan untuk dia pikirkan seorang diri.
Tidak ada jawaban langsung yang Dana dapatkan, menandakan pemuda di seberang sana mungkin sedang berpikir kearah mana pertanyaan Dana ini dikeluarkan.
"Maksudnya?"
"Saya," Dana merasa salivanya saat ini sedang menggumpal di tenggorokkan, mengakibatkannya jadi susah utuk sekedar menelan. Gadis itu sempat menghela napas panjang sebelum melanjutkan pertanyaan yang sontak membuat Sean terdiam di tempatnya.
"Saya, apa masih pantas buat punya mimpi?"
Xoxo, Boo ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Zirdana
Teen FictionZirdana Anggumanita, namanya. Penulis muda dengan segudang luka yang dia jadikan sayembara rasa di atas tumpukan karyanya. Menjalani kehidupan selama hampir 20 tahun lamanya, membuat Dana tidak pernah berani membayangkan akhir kehidupan yang indah...