'Setiap detik yang berlalu, dia terpaku pada bayangan laki-laki itu,
Menciptakan skenario kisah cinta yang hanya terukir dalam pikirannya,
Mimpi-mimpi manis memenuhi malam yang sunyi,
Namun, hanya angin malam yang menyaksikan kegelisahannya yang terpendam.'———
SMA Liberty, sebuah sekolah menengah yang terletak di pinggiran kota. Terdapat seorang gadis bernama Mikayla Putri. Seorang gadis baik hati dan pemalu di antara semua teman-temannya. Dengan sifatnya yang seperti itu, Mikayla selalu menjadi bahan comblangan teman-temannya dengan Dewangga, sosok laki-laki yang tampan dan cerdas.
Hal itu membuat Mikayla yang awalnya biasa saja jadi kebawa perasaan karena terus-terusan di jodohkan teman-temannya. Dan membuat hati Mikayla meleleh setiap kali menatap laki-laki itu.
Seperti saat ini, di ruang kelas yang terang benderang, Mikayla duduk di bangku sebelah jendela, memandang keluar dengan tatapan lembut. Cahaya matahari pagi menyinari wajahnya yang mempesona, menciptakan bayangan halus di rambut panjang cokelatnya yang terurai panjang.
Di sebelah ruangan, Dewangga duduk di bangku depan, fokus pada buku catatan di tangannya. Wajahnya yang serius menunjukkan seberapa fokus dia belajar.
Suasana kelas di penuhi dengan bisikan pelajaran yang di pandang, kadang-kadang di selingi dengan suara pena dan lembaran kertas yang dibuka.
Di antara keramaian itu, Mikayla dan Dewangga adalah dua dunia yang berputar dalam orbitnya sendiri. Mikayla sering kali membiarkan pikirannya melayang jauh, memikirkan Dewangga secara diam-diam. Dia memperhatikan cara Dewangga berkonsentrasi, dengan alisnya yang kadang berkerut seperti sedang mencoba memahami konsep yang rumit.
Mikayla merenung tentang Dewangga yang selalu tampak begitu dalam ketika fokus pada sesuatu. Namun, tak satupun dari pikiran-pikiran itu pernah dia ucapkan secara langsung.
Sementara itu, Dewangga sibuk dengan dunianya sendiri, terpaku pada bukunya dengan tekun. Dia terbiasa dengan keheningan sekitar dan jarang memperhatikan siapa pun di sekitarnya, termasuk Mikayla. Meskipun begitu, ada sesekali pandangan singkat yang melempar mata ke arahnya, tapi tidak lebih dari itu.
Situasi seperti ini sering terjadi, tanpa adanya interaksi, dan terus berputar sepanjang hari.
"Kay, lo mikirin apa sih? Ngelamun terus?" tanya Eliza, teman Mikayla.
"Jangan-jangan lo mikirin aneh aneh tentang Dewangga ya?" tambahnya mengecilkan suara.
Mikayla melotot kaget, "Eh nggak sampe ke sana ya!"
"Enggak sampe kesana? Berarti beneran mikirin dia dong?" ujar Eliza tersenyum miring sembari bersedekap dada.
Mikayla menghela napas lelah. "Iya," jawabnya sembari sedikit bergeser memberi akses Eliza untuk duduk di bangkunya.
"Ceritain dong lo ngehalu udah sampe mana?" tanya Eliza tampak semangat mengedipkan matanya berkali-kali.
Karena sifatnya yang memang tidak enakan, Mikayla yang diam akhirnya berbicara. "Aku cuma ngebayangin saat kita naik ke kelas 12 nanti pasti banyak praktek kan? Aku gak sabar bisa ngelakuin banyak hal sama.... Dewangga," ungkapnya dengan pipi yang merona.
"Mana bisa ngelakuin banyak hal kalo kalian aja gak ada interaksi sama sekali," cetus Eliza tersirat nada kesal di dalamnya.
Pernyataan itu ada benarnya tapi membuat Mikayla sedih. "Iya, aku tau makanya nanti kalo udah naik kelas-"
"Ngapain nunggu saat naik kelas sih? Kenapa gak sekarang aja? Hati-hati loh kalo di ulur-ulur terus kayak gini malah sampe lulus juga tetep asing," potong Eliza terdengar serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE-SHOT
JugendliteraturBerisikan cerita-cerita 'one-shot' atau sekali tamat. One-shot adalah sebuah buku ataupun cerita yang diterbitkan edisi tunggal;berdiri sendiri; bukan bagian dari seri maupun miniseri.