MEMOAR

31 5 8
                                    

Aku berharap dengan mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah aku datangi bersamamu, dengan begitu aku akan bisa mengulangi kenangan yang sama seperti saat kita masih bersama, tetapi sepertinya aku salah.

***

Pintu mobil terbuka, aku menyempatkan diri untuk berterima kasih kepada bapak-bapak pengemudi taksi online yang aku tumpangi. Sebuah obrolan singkat yang menyenangkan mengenai sejarah Kota Jogja. Selesai berterima kasih, aku keluar dari mobil. Kakiku menginjak tanah yang sama, dengan tanah yang kala itu aku pijaki dengannya.

Kencan pertama kami. Aku masih mengingat bagaimana canggungnya saat itu ketika menggandeng tangannya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum senang. Jika dipikir-pikir lagi, mungkin seandainya saat itu bisa, aku sudah berteriak karena salah tingkah.

Setelah membeli tiket, tangannya menuntunku memasuki area Taman Sari. Sebuah tempat bersejarah yang dikisahkan bahwa dulunya tempat itu adalah benteng raja yang disamarkan sebagai vila. Pemandangan kolam menyambut kami berdua. Pasiraman Umbul Binangun, dikatakan bahwa kolam-kolam itu dulunya digunakan untuk mandi raja, puteri, beserta istri dan selirnya yang cantik jelita.

Bersama dengan seorang pemandu, dia mengajakku menyusuri jejak sejarah. Sang pemandu perjalanan menjelaskan banyak hal yang begitu menarik perhatian kami berdua yang memang dasarnya sama-sama penyuka sejarah. Bukan hanya itu, dia pun banyak mengambil gambarku di sana. Ketika aku menawarinya untuk kubantu mengambil potret dirinya, begini dia menjawab kala itu, "Tidak usah, tidak apa-apa. Hari ini kamu akan menjadi modelku." Rasanya bukan hanya ada kupu-kupu beterbangan di dalam perut, tetapi seluruh tubuhku.

Namun, sekarang aku hanya datang ke sini sendirian. Tidak ada lagi yang akan membantuku mengambil gambar, atau menggenggam tanganku dan mengajakku bergandengan tangan sepanjang jalan. Aku menghela napas dan membiarkan angin yang bertiup kencang di Pulo Kenanga mengacaukan suraiku. Kemudian kuputuskan untuk turun agar bisa melanjutkan perjalanan dengan taksi online ke tempat selanjutnya.

Saat baru hendak menuruni tangga, aku berpapasan dengan seseorang yang cukup familier. Sang pemandu yang dulu memandu perjalananku di sini dengannya. Seorang bapak-bapak yang saat itu tidak sempat kutanyai namanya, tetapi aku mengetahui bahwa beliau cukup berpengalaman dalam bidang sejarah dan situs arkeologi.

"Siang, Pak," sapaku dengan sopan sembari tersenyum kepada beliau.

"Siang, Mbak. Lagi nyari pemandu, ya? Wah, maaf sekali. Saya sudah bawa orang ini." Si bapak buru-buru menjelaskan. Aku tertawa pelan.

Kugelengkan kepala. "Bukan, Pak. Saya sudah mau pulang, kok. Saya hanya ingin menyapa bapak, dulu saya pernah ke sini dan yang memandu bapak." Pria tersebut tersenyum ramah.

"Wah, ternyata begitu, toh." Beliau tampak menolahkan kepala seperti mencari-cari orang. "Mbaknya sendirian?"

Aku menganggukkan kepala sembari tersenyum. "Sedang healing, ya, Mbak? Menikmati waktu sendiri. Dulu ke sini juga sendirian?"

Aku diam sejenak sebelum kemudian menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Dulu saya ke sini dengan pacar saya?"

"Loh, kok tidak ke sini bareng lagi?"

Aku menunggu beberapa detik sebelum menjawab. Aku sungguh berharap dia berada di sini, masih di sampingku agar aku tidak perlu menjelaskan apa pun kepada siapa pun. "Dia, sudah memilih yang lain, Pak," jawabku sembari tersenyum tipis.

"Oalah, ternyata begitu. Ndak apa-apa, Mbak. Masih muda, nanti juga dapat gantinya yang lebih baik." Setelah obrolan singkat tersebut, si bapak pemandu pamit undur diri karena tamunya sudah hendak melanjutkan perjalanan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 29, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MEMOAR (2022)Where stories live. Discover now