Keegoisan Terbesar

1.6K 275 16
                                    

(Sakura)

"Jadi, kau akhirnya minta maaf?" Cetus Ino dan Karin secara bersamaan begitu aku selesai bercerita. Tunggu sampai aku menceritakan hal ini pada Sasuke.

"Begitulah yang barusan aku katakan." Aku menjawab datar. Dan sesuai tebakanku, tawa Ino dan Karin tak bisa dihentikan. Entah karena aku yang terlalu serius menanggapi semuanya, atau memang masalah ini sepele dan pantas ditertawakan. Yang pasti aku mendapati diriku mencibir dan menambah hiburan tersendiri untuk mereka berdua.

"Senang sekali bisa menghibur."

"Ya ya, Kami juga senang saat kau senang." Ino menanggapi seraya menyengir. Ia lebih cepat menguasai diri dan menghentikan tawa setelah beberapa kali berdehem. Karin masih berusaha dan terlihat kesulitan. Butuh beberapa menit untuk mengembalikan raut seriusnya yang dibuat-buat.

"Aku akan pindah hari ini." Perubahan topik pembicaraan yang tiba-tiba membuat mereka melongo untuk beberapa saat.

"Pindah?" Karin berpikir sejenak. "Ah, pindah rumah. Butuh bantuan?" Pertanyaannya diakhiri satu senyuman penuh arti. Dan tak perlu berpikir keras untuk mengetahui arti senyuman itu. Kami telah terlalu saling mengenal untuk dapat mengetahui bahkan hanya sedikit kedutan di pipi. Itulah buruknya –bagusnya memiliki teman dekat. Tak perlu banyak mengungkapkan hal-hal secara gamblang untuk dapat saling memahami. Tapi kau tak pernah bisa berbohong pada mereka, begitu pun mereka padamu.

"Hm, tidak juga sebenarnya. Rumah itu sudah rapi saat aku melihatnya seminggu sebelum pesta pernikahan. Kami hanya perlu menambah perabot yang kami butuhkan, atau yang kami sukai." Mereka saling berpandangan lalu kembali menyengir jahil

"Apa?" Tanyaku curiga.

"Jadi sekarang sudah ada subjek Kami?" Tanya Ino. "Sepertinya semuanya lebih baik dari yang kita kira 'kan?"

Aku memandangi suasana yang cukup lengang di tempat kami berada sekarang–tak seperti biasanya. Kami duduk di meja yang sama dengan yang kemarin, dengan posisi yang juga sama. Entahlah, tapi kantin sudah menjadi semacam tempat pertemuan yang nyaman dan tak membosankan. Tak perlu berbisik-bisik seperti di ruang perpustakaan. Dan lebih teduh dibandingkan taman kampus.

"Memangnya aku harus menggunakan subjek apalagi? Sasuke dan aku sama dengan dia dan aku, sama dengan kami. Jadi apa kalian punya pendapat lain atau subjek lain selain yang sudah kusebutkan?" Aku tahu perkataanku berbelit-belit. Tapi memang itulah tujuanku, membuat mereka bingung dan melupakan sedikit kesan akrab yang ditimbulkan oleh perkataanku sebelumnya. Aku tak ingin mengakui bahwa aku sudah mulai sedikit nyaman bersama Sasuke, bersama suamiku. Oh Tuhan! Aku sudah menikah, yang benar saja.

"Aku menyerah," ujar Karin sambil menghela napas. Ino melotot. "Berhenti memelototiku seperti itu Ino. Kau tahu kalau dia mulai berbicara berbelit-belit begitu sama sekali tak akan bagus bagi otak kita." Ino menanggapi perkataan Karin dengan satu dengusan.

"Jadi intinya kau tak butuh bantuan?" Ino bertanya. Aku mengerucutkan bibir dan mengangguk.

"Apapun, terima kasih atas niat baik kalian," kataku sembari tersenyum. "Tapi aku akan mengadakan pesta barbecue sabtu malam ini. Kalian harus datang."

"Tidakkah sebaiknya kau minta izin dulu pada suamimu yang tampan itu?" Tanya Ino. "Rumah itu bukan hanya milikmu tapi milik kalian. Sasuke dan kau, sama dengan suamimu dan kau, sama dengan dia dan kau, sama dengan kalian." Aku tak bisa menahan diri untuk tak memutar mata. Ino terlihat bersenang-senang.

"Ha Ha, lucu sekali Ino," tanggapku jengkel. "Jadi kalian datang atau tidak?" Tanyaku lagi lalu menyuapkan potongan kentang goreng ke dalam mulut.

"Bagaimana dengan jam malam?" Kali ini Karin yang bertanya.

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang