"Instead of worrying I am being
tricked by a medicine you take once and then are magically healed by, I can consider that gardens require
maintenance. Fallible human beings
require maintenance. There is
weeding and watering to be done every day, and there's never a point where you are done working and your garden suddenly takes care of it self."-Chrissy Stockton
☬
Gerano duduk di lantai bersandar pada tempat tidurnya, menatap lurus jendela yang tak tertutup menikmati perjalanan malam dalam gelimangan cahaya lampu-lampu perkotaan. Sudah dua puluh lima menit berlalu tanpa reaksi apa-apa. Kebimbangan dalam dirinya seiring membengkak. Isi pikirannya saling bertolak belakang dengan isi hatinya. Berperang dalam kesunyian.
Sebelumnya, Gerano tidak pernah seperti ini. Sekacau ini. Apalagi menyangkut tentang perempuan. Ah, anggap saja Gerano ini tidak seperti yang dilihat. Dia bajingan, tapi tak seperti dibayangkan pada umumnya. Bagi Gerano, perempuan tidak cukup satu. Dia adalah pemuda yang mudah bosan terhadap satu objek saja. Namun perempuan ini mempunyai aura magis yang berbeda.
Ia teringat benda yang tak sengaja ia temui di halte tadi siang. Sebuah buku bewarna biru tua dengan tulisan dua kata di sampul buku yang ditulis rapi tegak bersambung. Ketika membalikkan halaman terdapat tulisan yang singkat terdiri dari sebelas kata juga ditulis dengan huruf rapi tegak bersambung
Aku sebenarnya bukanlah manusia yang menginginkan mati, tetapi aku ingin damai.
22 Januari xxxx
(Halaman 1)
Berulang-ulang, Gerano membaca kalimat tertera seolah ia membaca mantra yang menakutkan. Kening Gerano berkerut dalam, memahami maksud dari makna tersimpan dari kalimat itu.
"Maksudnya gimana, dah?" decak Gerano kesal.
Ia kembali membaca ulang sembari berpikir keras. Gerano mempunyai pendirian yang tidak mudah menyerah, baik mendapatkan maupun memahami sesuatu. Juga, Gerano hobi membaca. Teruntuk itu ia terbiasa membaca buku non fiksi atau fiksi bergaya tulisan berat. Akan tetapi, tulisan ini tidak dapat ia pahami. Menyebalkan!
Gerano membalikkan halaman berikutnya di sana tertulis kalimat lumayan panjang dari halaman sebelumnya dengan gaya yang sama-huruf rapi tegak bersambung.
Masa berikutnya, aku berdoa terlahir kembali sebagai sosok yang akan mendewasakan aku di masa sebelumnya. Memperbaiki kenangan-kenangan yang belum usai kurangkai dengan utuh, serta kesalahan-kesalahan yang belum kunjung kuperbaiki. Tetapi, teruntuk sekarang aku ingin damai.
31 Januari xxxx
(Halaman 2)
-
Tuhan, jika memang kematian adalah titik yang mati. Mengapa kehidupan penuh dengan koma yang rumit? Aku ingin damai.
8 Februari xxxx
(Halaman 3)
-
Tuhan, mengapa minuman kehidupan terlalu pahit kuteguk, makanan kehidupan terlalu kersang untuk ditelan? Kumohon, matikan saja aku kedalam pelukan damai.
15 Februari xxxx
(Halaman 4)
-Sudah empat halaman di akhiri kata 'damai' membuat Gerano penasaran tentang kehidupan perempuan ini. Ada apa dengan dia sebenarnya? Kenapa dia ingin damai? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan absurd yang tidak akan terjawab mengusik pikiran Gerano. Oleh karena itu, esok hari ia harus menemui perempuan itu di tempat yang sama dan waktu yang sama juga. Gerano akan mencerca pertanyaan yang terus terusik malam ini. Batinnya terguncang hebat mendalami kata demi kata yang tertoreh di setiap lembar. Entah kenapa, firasatnya tidak mengenakkan setelahnya. Ada sesuatu mengganjal pada diri perempuan itu.
Meskipun sekarang ia ingin menanyakan langsung lewat sambungan telepon, tetapi ia urungkan ketika jam digital di gawai menunjukkan pukul 23:00. Takutnya ia menganggu waktu tidur perempuan itu. Ia mengembuskan napas gusar. Ia meraih gelas berisi kopi yang sudah dingin, lalu meneguknya sedikit. Pandangannya kembali menerawang dalam gemilang lampu-lampu jalan perkotaan.
"Ada apa denganmu sebenarnya, Tasa?" gumamnya yang hanya dijawab sunyi.
Esok hari, mobil sedan Gerano terpakir di persimpangan ia menemui Tasa kemarin hari. Ia menghisap rokoknya yang sudah pendek, rokok yang kesebelas ia hisap. Dari jendela mobilnya yang terbuka, manik matanya tak lepas dari gang kecil yang ada pohon alpukat sudah tua di bibir gang. Di sana juga, kumpulan tukang ojek meliriknya datar, lalu berbisik satu sama lainnya. Gerano tak ambil pusing hal itu, yang terpenting ia harus menemui Tasa dan menanyakan apa maksud dari semua tulisan di buku diari miliknya. Apakah ada persamaan dengan kecemasan yang membungkus perasaanya dari semalam?
Gerano melirik arloji menunjukkan sudah setengah jam ia menunggu, akan tetapi belum tampak sama sekali batang hidung seseorang yang ia tunggu. Pemuda itu mengeluarkan gawai dari saku celananya, mencari ikon kontak dan mengetikkan sebuah nama di sana. Hampir saja ia menekan memanggil, namun ia urungkan. Apa ucapan ia katakan jika Tasa menjawab teleponnya? Menanyakan kabar? Lagi di mana? Ah, itu pertanyaan dungu dan kuno!
Harus Gerano akui Tasa adalah manusia yang bisa merubah pemuda itu menjadi orang yang tolol. Ia terkekeh masam menertawakan kebodohan yang dilakukan. Gerano merasa ini bukanlah dirinya sebenarnya. Gerano bukanlah pemuda yang luluh dengan perempuan dan sialnya, yang satu ini mampu menjungkir balikkan semua yang ada di Gerano.
"Berengsek kamu, Tasa. Kamu harus bertanggung jawab atas semua yang kamu perbuat kepadaku!" ucapnya frustrasi memukul setir kuat-kuat.
Ia mengetikkan nama lain dan menekan ikon memanggil. Tak lama, telepon tersambung dengan di seberang.
"Hari ini kamu free? Temani aku bersenang-senang malam ini," katanya langsung memutuskan panggilan. Kemudian ia menancap gas dan berlalu meninggalkan keresahan yang tidak usai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebentar Lagi Pulangmu Datang
Romansa"Kembali seperti awal bertemu, hanya sepasang keasingan yang tak mungkin menyatu." Februari 2022-