O8. Sakit

978 205 19
                                    

Sejak kejadian beberapa jam lalu yang menimpanya Sena tampak lebih diam dari biasanya. Gadis berkulit putih pucat itu sedari tadi tidak mengeluarkan suara apapun. Baik Jihan, Lisha, Elana dan Bulan sama-sama sudah mengajak bicara serta sesekali melempar candaan agar Sena ikut bersuara, tetapi percuma saja Sena tetap diam dan tersenyum tipis sebagai balasan.

"Lo kenapa?" tanya Jihan pada akhirnya, jam pelajaran hari ini sedang kosong. Bu Yayuk guru Sejarah Indonesia sedang cuti dua hari, katanya ada keperluan keluarga.

Tangan Sena bergerak merongoh saku almamater yang dia kenakan untuk mengambil ponselnya. "Gue gak kenapa-napa Han." Sena tersenyum tipis, padahal terlihat jelas ekspresi wajahnya lesu dan sayu.

Mengenai permasalahannya dengan Bian, Sena belum menceritakan kepada siapapun. Ia tidak ingin masalah yang menimpanya akan membuat orang susah. Apalagi teman-temannya ini pasti akan melakukan suatu hal untuk membela Sena.

"Tapi muka lo pucet banget Sen, lo sakit?" Sena menggelengkan kepalanya pelan, "Enggak, gue baik-baik aja Sha." katanya menjawab Lisha.

Sementara itu Bulan yang sejak tadi diam menyimak kini dengan kedua tangannya gadis itu meraih tangan Sena. "Kalo ada apa-apa cerita ke kita ya Sen, jangan di pendem sendiri, gak baik."

Sena mengangguk, gadis itu menatap jemari dinginnya yang di genggam oleh tangan Bulan yang hangat.

"Tangan lo dingin banget, lo sakit Sen." Bulan menatap Sena dengan khawatir, telapak tangannya sangat jelas merasakan dinginnya jemari gadis berambut pirang itu.

"Bian ngapain aja sampe lo kayak gini? Lo ada masalah apa sih sama dia?" tanya Lisha yang kali ini tersirat nada kesal dan tidak terima.

Kedua mata Sena tertuju pada Lisha, guratan halus di kening nya tampak jelas terlihat. "Kalo gue jawab lo mau ngapain?"

"Mau gue habisin tu Abian tolol!" kata Lisha dengan napas memburu.

"Udah lah Sha, gue gak apa-apa. Gue cuman masih syok." Kilatan amarah dari mata Lisha masih memancar, gadis itu menggelengkan kepalanya tak setuju. "Tetep aja dia harus dikasih pelajaran. Apa-apaan nampar lo seeanak jidat!"

"Emang jidat enak ya Sha?" celetuk Elana dengan wajah cengo.

Lisha yang duduk di bangku belakang Elana sontak bangkit mendekat pada gadis itu, mencubit gemas pipi gembil Elana dengan kedua tangannya. "Iya El enak banget, apalagi jidat lo!" Lisha menyentil pelan dahi Elana.

Abisnya punya temen kok gini amat, ya kali jidat dimakan? Emangnya Lisha kanibal.

"Gue gak apa-apa, kalian juga gak perlu tau masalah gue sama dia." kata Sena yang sudah lelah menjawab pertanyaan ketiga sahabatnya yang selalu bertanya keadaan dirinya dan masalahnya dengan Bian.

***

Saat ini Aresa, Fazan, Ezra, Bembi dan Minggu sedang duduk bersama di rooftop gedung sekolah. Kelima pemuda itu kompak membolos jam pelajaran Fisika yang sekarang masih berlangsung. Bisa di bilang dari kelima pemuda itu hanya Ezra yang rajin belajar dan tidak banyak ulah. Ezra pintar, bersama Sena dia juga banyak menyumbangkan piala olimpiade untuk sekolah. Namun, ada kalanya siswa tampan dengan banyak kelebihan itu terhasut oleh bujuk rayu Bembi dan Minggu yang menyesatkan. Seperti sekarang ini, Ezra ikut membolos keempat sahabatnya.

"Tumben abang Ezra mau mabal, biasanya sangat menentang kaum kami." celetuk Bembi menatap jahil Ezra yang kini mengalihkan pandangannya pada pemuda yang baru saja menindik telinga kirinya.

"Orang pinter juga butuh refreshing Bem." sahut Ares dengan rokok yang sudah berada di tangannya. Pemuda itu mengeluarkan korek api dari saku seragam putih nya yang sudah tidak rapi dan berantakan.

𝐒𝐭𝐚𝐢𝐧𝐞𝐝 𝐆𝐥𝐚𝐬𝐬' 𝐑𝐨𝐬𝐞𝐤𝐨𝐨𝐤Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang