eight

2.6K 281 8
                                    

eight

suspicious

***

Helia berlari melintasi koridor Istana Romeo dengan antusias. Tangannya yang lentik sedikit mengangkat gaun mengembang yang bisa saja menghalangi jalannya.

Lorong ditimpa oleh cahaya luna yang melewati kisi-kisi jendela. Bintang-gemintang di langit laksana pasukan yang siap menggempur siapa pun yang hendak membayahakan luna yang tunggal.

Suara sepatu Helia mendominasi Istana Romeo yang sepi.

"Kakak!"

Langkah Helia semakin mantap, dia melebarkan senyumannya pada seorang laki-laki yang duduk di atas sofa ruang istirahat Istana Romeo. Secangkir teh panas dihidangkan beserta kue-kue manis di atas meja.

Laki-laki yang duduk di atas sofa empuk menoleh. Garis tegas di wajah tampannya mengendur, digantikan dengan senyuman seindah surga. Kedua tangannya direntangkan, menerima pelukan erat dari adik satu-satunya.

"Helia. Aku merindukanmu," ujar Demian sambil meredam nada antusias di dalam suaranya.

Helia menggosok pipinya pada dada Demian dengan manja.

"Aku juga."

Setelah beberapa saat, mereka memisahkan diri lalu duduk bersisian.

Cangkir teh panas ditambahkan oleh pelayan, sehingga dua cangkir bersanding di atas meja. Masih mengepulkan asap sekaligus harum yang membuat seseorang bisa saja terlena.

"Ini pukul delapan malam," kata Helia, mengangkat cangkir tehnya dan merasakan kehangatan menjalar di tangannya.

Demian melayangkan tawa kecil. Dia mengenakan pakaian formal berwarna hitam, jubah beratnya masih tersampir di sebelah bahu, tubuhnya yang jangkung masih beraroma harum, dan rambutnya yang hitam masih tertata dengan rapi. Tidak lupa kanvas rupawan yang memiliki mata berwarna darah, tampilan hidung yang runcing, dan bibir merah muda.

Meski usia Demian sudah 26 tahun, Demian masih sama tampannya ketika dia remaja.

"Aku baru saja pulang dari urusan diplomasi," kata Demian, mengendurkan kancing atasannya yang terasa mengekang.

"Oh." Helia mengangguk. "Aku sudah terima semua surat Kakak. Kakak bilang punya urusan di tanah Duke Keehls?"

Lumier mengangguk, menarik cangkir tehnya dan menyesapnya sedikit. "Begitulah. Kamu tahu tambang permata di daerah Keehls? Kami membicarakannya dengan sengit. Aku sangat lelah."

Helia terkekeh. "Sayang sekali. Padahal aku sangat ingin menemui Kakak di pesta Perayaan Ulang Tahun Kerajaan tahun ini. Banyak gadis-gadis yang kecewa karena Kakak tidak datang."

"Kenapa juga mereka harus kecewa? Bukannya aku mau memacari semuanya sekaligus," balas Demian tenang.

Helia tertawa kecil, dia menutupi bibirnya dengan anggun. "Karena Kakak sangat tampan. Kakak tidak tahu fakta itu? Banyak gadis yang berharap untuk menjadi Duchess di masa depan, lho."

Demian mendengus. "Harapan mereka terlalu tinggi. Meski aku adalah penerus Duke Floral, itu juga masih membutuhkan waktu yang lama. Ayah masih dalam kondisi fisik yang sehat dan bugar. Ayah masih lebih cocok menjadi Duke daripada aku. Lagipula, aku tidak tertarik untuk menikah."

"Jangan gila. Floral harus menetapkan garis keturunannya, Kakak."

"Aku tahu itu. Hanya saja, seluruh gadis di dunia sama saja, bukan? Mereka hanya menyukaiku karena kekuasaan yang aku punya. Tidak akan ada yang menyukaiku dengan tulus. Kalau mereka tidak menyukaiku karena kekuasaan, paling tidak karena tampangku." Demian mengernyit kesal. "Kenapa topiknya jadi ke sini? Ayolah, aku sudah lama tidak bertemu denganmu dan apa yang kamu katakan adalah tentang keturunan Floral?"

END | Look at Me, Your Majesty! [E-book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang