📙4. Kepoin Ustad

225 10 0
                                    

"Kenapa diam? Kamu bukannya orang yang ngatain saya over manis itu, kan?"

Maira semakin tak karuan, jantungnya seakan mau copot sekarang. Mau jawab apa tuh Maira, mampus mati kutu, kan sekarang. Dirwa pun hanya diam, menyaksikan ketegangan di wajah Maira yang tadi belagu banget kepada si pengendara mobil putih kini berubah menjadi panik.

"Nama saya Ali Wafa, sudah tau nama saya kan sekarang. Jadi, panggil saya dengan nama saya, ya? Jangan dengan sebutan kotor atau apa lah itu," katanya dengan santai, masih di dalam mobil. Maira hanya manggut-manggut tidak jelas, masih dengan muka tegang.

"Oh, iya. Saya minta maaf kalau bikin pakaianmu kotor, saya enggak sengaja. Tadi buru-buru," terang Wafa dengan menatap jam tangan yang melingkar manis di tangan kanannya.

Wafa merasa aneh dengan gadis yang ada di hadapannya, yang benar saja Maira sekarang menatap Wafa tidak berkedip sekalipun. Apakah Maira baik-baik saja sekarang? Entahlah, ada apa lagi dengan gadis itu.

"Kak Mai, sadar. Woi, jangan malu-maluin Dirwa dong," bisik Dirwa namun Wafa masih bisa mendengarnya dengan jelas.

"Eh, maaf ya Ustad. Kakak saya sedikit ada gangguan mental. Eh, Assalamualaikum, hati-hati di jalan. Dirwa pamit dulu," kata Dirwa sambil menggandeng tangan Maira setelah itu pergi meninggalkan Wafa yang menatap kedua gadis tersebut dengan tatapan aneh.

🕊🕊🕊

"Urat malu Kakak itu kemana, sih? Hilang apa?" ucap Dirwa sambil mengelap keringatnya frustasi, Maira duduk di kursi teras dengan muka yang lempeng, biasa aja.

Dirwa masuk ke dalam rumah mengambil air putih untuknya dan Maira, mereka meneguknya bersamaan, setelah itu Maira menghela napas pelan.

"Kenapa Kakak sampai se-shock itu ketemu sama Ustad Wafa? Lucu ya gimana, pengen nabok," cetus Dirwa setelah itu ia membenarkan letak kerudungnya.

"U-ustad Wa-fa?" kata Maira melakukan penekanan pada setiap kata.

"Iya, ustad. Dia ngajar ekstrakulikuler tartil qur'an di SMP Dirwa. Pantaslah Dirwa panggil ustad, walaupun masih muda, ganteng lagi," kata Dirwa dengan yakin.

"Dia orangnya gimana, sih?" kata Maira menyelidik, membuat Dirwa mengerutkan keningnya.

"Cie, kepo nih ya." Kata-kata Dirwa membuat Maira memasang wajah sinis, Dirwa pun menelan salivanya, sungguh ia tak cukup mental untuk melihat wajah sinis Maira.

"Ustad Ali Wafa, umurnya 22 tahun, dia sekarang kuliah semester dua kalau enggak ya 3. Dia sosok yang ramah, sopan dan pastinya pintar tingkat akut. Dia juga paham agama, maklumlah cucunya kyai, putranya gus. Terus dia itu katanya temen-temen, dari dulu nyampe sekarang masih singel, pacaran aja bel-." Ucapan Dirwa terpotong, ketika Dahlia datang sambil berdehem kecil di samping Dirwa. Dirwa dan Maira tersenyum bersamaan, Dahlia pun sama.

"Dek Dirwa tidur dulu, gih. Udah jam setengah sepuluh. Besok, kan harus bangun subuh, sekolah apalagi besok ada jam ekstra," tutur Dahlia dengan lembut membuat Dirwa mengangguk pelan.

"Ya udah, good night, Bunda. Good night Kak Mairakuuu," kata Dirwa lalu masuk ke dalam rumah. Dirwa memang anak yang penurut kepada Bundanya.

Dahlia duduk di samping Maira dengan sedikit merenggangkan ototnya setelah berkutat dengan pasien-pasen tadi. Dahlia sama-sama memandang langit yang gelap, dihiasi miliaran bintang yang berkelip.

"Mai, bibi harap kamu bisa anggap bibi ibu kandung kamu, kamu jangan pernah merasa kalau kamu sendirian, ya. Ada bibi yang siap menjadi tempat keluh di setiap lelahmu, suka di setiap bahagiamu, duka di setiap tangisnya kamu. Anggap bibi sama paman orang tua kamu sendiri, jangan sungkan. Kamu udah bibi anggap kayak anak sendiri, yang betah di sini, ya. Ibu kamu udah bahagia kok di sana, percaya deh," kata Dahlia dengan lembut, diakhiri dengan meletakkan anak rambut Maira ke telinga Maira.

"Mai usahakan, Mai bisa betah di sini. Mai banyak terima kasih sama bibi, paman dan Dirwa yang mau nerima Mai di sini. Maafin Mai yang ngerepotin. Mai nemuin kebahagiaan lagi dengan adanya bibi, paman sama Dirwa. Mai udah anggap bibi sama paman kayak orang tua sendiri. Mai sayang sama bibi," kata Mai dengan mata yang berkaca-kaca, Dahlia segera memeluk Mai dengan erat, lalu sedetik kemudian Dahlia melepas dekapannya.

"Bibi juga sayang sama kamu, Mai," ucap Dahlia lalu mengecup singkat kepala Mai sambil menghapus air mata Mai yang keluar dengan deras itu.

"Udah, jangan nangis. Tidur, ya? Sudah malam ini, jangan lupa doa dan semoga mimpi indah," kata Dahlia sambil mengelus rambut Maira penuh kasih sayang, Maira merasakan sifat ibunya di dalam sifat bibinya dari cara Dahlia memperlakukan Maira sekarang.

🕊🕊🕊

M

aira membuka tutup matanya, jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ia masih tidak bisa tidur di kamarnya yang baru ini, padahal kamar barunya sangat bagus dan rapih. Entah apa yang dipikirkan oleh Maira sekarang.

Maira hanya mendengar suara jangkrik yang berdesis pelan, ditambah dengan suara jarum jam yang bergerak. Maira meraih handphonenya, menggeser-gesenya tak jelas. Akhirnya Maira punya ide untuk mengirim pesan kepada Zahira, ia kan belum berkomunikasi dengan teman barunya itu.

Zahira Az-Azrillah🌻

Hei, udah tidur lo?
23.12

Belum, masih enggak bisa tidur
Eh, iya. Ini Maira?
23.14

Iya, ini gue. Rumah lo di mana sih, kita kan sama-sama gak bisa tidur, bisa dong kita nongki ke warung bareng, siapa tau rumah kita deketan.
23.14

Jangan ajak adik saya, lebih baik kamu diam di rumah, tidak baik anak perempuan jam segini keluar rumah.
23.16

Apakah ini Ustad Wafa? Secara, kan Zahira adiknya Ustad Wafa, masih bisa di logika sih kalau yang balas chat si ustad banyak gaya itu," gumam Maira dengan menatap layar handphonenya dengan tatapan intens.

Maaf, ya. Gue ngajak adiknya bukan kakaknya, lain kali jangan sok ikut campur.
23.17

Urusan adik saya, urusan saya juga.
23.18

Dih, dasar tukang ngatur. Udah kayak emak-emak aja lo.
23.18

Maafin kakak aku, ya. Maaf juga, Mai aku enggak bisa keluar, Kak Wafa juga udah kunci kamar aku dari luar.
23.20

Egois banget dia, amit-amit gue punya kakak kayak gitu, udah depresi gue.
23.23

Maira mematikan daya handphonenya, merasa jengkel dengan Ustad Wafa yang sok pengatur itu. Maira bergidik ngeri mengingat dengan jelasnya di pesan tadi Maira menjelekkan Ustad Wafa sebegitunya. Dasar Maira, di chatingan saja lancar, ketika di real life cuman bisa diam, mati kutu.

To Be Continue

Hug Me When Halal (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang