| DUA PULUH SATU |

2.8K 530 63
                                    

"Argh, hidungku!" Shion hanya bisa mengerang saat lengan Jino tak sengaja menonjok wajahnya. "Hei, kau gila?! Lepaskan aku!" Dia memberontak, cengkeraman Solon akhirnya terlepas dari jubahnya.

Seusai menarik cukup jauh dari ruangan, Solon menatap mereka dingin menggunakan kilatan tajam. "Kalian sungguh kekanakan."

"Kekanakan?!" Shion melotot, tapi pandangannya beralih ke Jino sambil mengusap hidungnya yang mengeluarkan darah. Sungguh, tonjokan Jino bukan sekadar bercandaan. "Kau sengaja menonjokku, kan?!"

"Aku tidak sengaja karena lenganku ditarik Solon, apakah sakit?"

"Kau pikir saja sendiri dasar anjing kotor! Aku tahu kau sengaja! Dan kau!" tunjuknya pada Solon. "Jangan berlagak suci! Argh, kalian semua benar-benar menyebalkan! Padahal si burung jelek itu sedang melakukan kesalahan!" Pemuda bermata rubah itu langsung pergi dengan wajah tertekuk sambil mengentakkan kaki ke lantai.

"Ada apa kau menatapku?" tanya Solon sinis pada Jino yang terus memandangnya.

Dijawab dengusan oleh pemuda tersebut. "Tidak ada, sepertinya kau yang lebih kekanakan."

Tatapan Solon semakin tajam. Terakhir, Jino tersenyum sinis lalu berjalan menabrak pundak Solon.

Sedangkan Jakah, sedaritadi memandang ke arah jendela.

"Hei kau pergilah!" titah Solon pada Noa yang memang hendak pergi tanpa mengatakan apa pun layaknya makhluk tak kasat mata.

"Apa peraturan ini sudah sesuai?" Jakah berbicara tiba-tiba.

Tersisa mereka berdua yang berdiri bersebelahan. "Sudah seharusnya."

"Aku benci mengalah dengan kalian."

"Kau pikir aku suka?"

"Tch." Jakah tertawa lalu menopang dagunya menggunakan telapak tangan di penyangga jendela. "Mengapa kalian ikut-ikutan? Aku yang menemukan Serein duluan, carilah Auriga kalian sendiri."

"Seandainya itu bisa, aku sudah menghabisimu dan saudaramu."

Jakah kembali tertawa. "Solon, Solon. Kau berpura-pura diam di depan Serein, ternyata kaulah yang sangat kejam dan licik."

"Aku tidak peduli, ngomong-ngomong aku memang tidak menyukai peraturannya." Pemuda bermanik biru laut itu menelisik pemandangan di balik jendela, tidak ada yang khusus dari tatapannya, hanya terlalu tajam ketika memandang sesuatu.

"Sudah kukatakan, ide kali ini benar-benar bodoh."

"Kaulah salah satu anggotanya."

Lagi dan lagi Jakah tertawa. "Solon, dengarkan baik-baik, aku malas berdebat denganmu, percuma kau mengatakan hal yang membuatku kesal." Tanpa mengatakan apa pun Jakah menghilang bak angin lalu menyisakan sehelai bulunya di atas jendela, meninggalkan Solon yang berdiri dengan tatapan tajamnya.

—oOo—

Perasaan resah dan juga gelisah yang tadinya tidak bisa jauh-jauh dari Serein, untungnya berubah seratus delapan puluh derajat. Matanya tak berhenti menatap kertas yang ada di atas meja. Sudah satu jam mereka membantu penjaga perpustakaan menata ulang buku-buku di setiap rak, sekarang Serein sedang duduk memandang Heli yang sedang mengerjakan sesuatu.

"Kau menulis apa?" Serein tersenyum kecil, dia tak sengaja mengintip kertas itu, berpura-pura tidak tahu adalah hal yang dia lakukan sekarang.

"Aku menggambar sesuatu untukmu." Pemuda itu menyelesaikan kegiatannya lalu memberikan pada Serein.

Serein tidak bisa menahan tawanya. "Gerimis senja hari malam kelabu, adakah terutus dari sang hutan? Sangsai menetes di dahan-dahan, sangsai mengantar beribu kelam, kepada Daphne yang Apollo abadi." Usai menyebut kalimat terakhir, dia menggarut dagu. "Apollo?" Di sisi lain gambar abstrak dari Heli mengerutkan dahinya. "Mengapa kau menggambar seekor kura-kura?"

Dark Creatures | ENHYPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang