Confession

1.7K 269 12
                                    

Rasanya menyakitkan sekali diperlakukan begini oleh orang yang sudah seharian aku rindukan. Ia tak berkata apa-apa sepanjang perjalanan, tidak juga saat kami sudah sampai di rumah. Ia memilih untuk pergi ke kamar mandi, menghabiskan waktu untuk mandi lebih lama daripada biasanya.

Saat ia keluar dari kamar mandi, tampak segar dan bersih dengan celana selutut cokelat muda dan kaus putih, aku masih duduk di atas ranjang dengan ekspresi yang sama, datar. Pergelangan tanganku masih memerah karena genggamannya tadi. Rambutku berantakkan karena aku mengacak-acaknya sendiri sejak tadi saat menunggunya mandi.

"Mau kemana?" Aku menghadang langkahnya saat ia ingin keluar kamar. Aku berpendapat bahwa masalah seperti ini lebih baik diselesaikan secepat mungkin agar tak berlarut-larut dan semakin parah.

Ia menatapku dingin. Tak pernah sama sekali ia menatapku seperti itu sebelumnya. Tidak, walau kami sudah sangat sering bertengkar.

"Kita harus bicara," ucapku lagi, penuh penekanan

"Dengar."

"Tidak, kau yang dengar," potongku tajam. "Aku tak melakukan kesalahan apapun sampai harus membuatmu memperlakukanku seperti ini."

Ia tersenyum sinis, membuatku mundur satu langkah darinya. Tapi aku memantapkan hati, tak ingin terintimidasi oleh sikapnya yang langka ini.

"Memangnya aku melakukan apa?" Tanyanya.

"Kau mengabaikanku," gumamku pelan, namun masih dapat didengar olehnya.

Ia menatapku datar. "Nona Sakura, aku tak tahu kau begitu haus perhatian."

"Hanya darimu."

Ia mendengus.

"Kulihat tak begitu. Kau tampak bersenang-senang tadi. Aku tak pernah tahu kau begitu gampang dibuat senang."

Aku mengurut kening. Pembelaan diri seperti apa yang harus aku berikan padanya.

"Aku tidak gampang dibuat senang."

"Jadi si Hyuga ini spesial ya, menyenangkan istriku yang tak gampang dibuat senang," ujarnya sarkatis.

Aku menepi dari jalannya. Rasanya untuk saat ini percuma mengatakan apapun padanya, hanya menambah sakit hati dan menumpuk luka. Aku tak ingin lagi bertengkar dengannya, sungguh.

"Pergilah." Ia tercenung untuk beberapa saat. "Kau sedang tak ingin mendengarkanku," lanjutku.

Ia mendekat dan meremas kedua bahuku. "Kau menyukainya?"

Aku menggeleng sambil tersenyum miris. "Kau serius menanyakan itu padaku?"

"Jawab saja," katanya tak sabar.

Aku menggigit bibir. Akankah hal yang ingin aku katakan ini mengubah keadaan. Aku akan mencoba, walau mungkin tak berhasil nantinya. Setidaknya aku akan merasa lega karena telah melakukannya.

Aku mendongak menatapnya lurus. Tatapannya yang menuduh sempat membuatku gentar. Tapi aku bertahan pada posisi itu. "Aku mencintaimu Sasuke, hanya mencintaimu."

Jadi tolong jangan ragukan aku, tambahku di dalam hati.

"Jangan bersikap dingin padaku, jangan pergi kemana pun." Bibirku bergetar saat mengatakannya.

Kami terdiam untuk beberapa saat yang terasa begitu lama bagiku. Jantungku berdetak menyakitkan saat ia mendekat dan menarikku ke arah ranjang, membaringkan tubuhku di bawahnya. Aku sudah akan siap jika ia ingin aku menyerahkan diri seutuhnya padanya ketika aku menatap matanya. Ada keinginan penguasaan di sana, kemarahan dan tatapan yang masih menuduh. Tak ada kasih sayang dan kelembutan yang biasanya tampak, apalagi sebuah senyuman.

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang