"Kumpulkan PR IPA kalian di meja sekarang!" perintah Bu Marni--wali kelas sekaligus pengampu berbagai mata pelajaran--tak lama setelah bel masuk kelas berbunyi.
Satu per satu murid membawa bukunya ke meja guru di sudut ruang. Begitu pun aku, sebagai murid kelas empat sekolah dasar, aku sangat takut jika tidak patuh pada guru.
Bu Marni dikenal sebagai guru yang begitu disiplin. Dengan rok sepan selutut, sepatu pantofel, dan potongan rambut pendek, beliau nampak lebih cocok menjadi polwan. Seingatku, sewaktu perkenalan dulu beliau mengatakan jika tempat tinggalnya di asrama TNI, entah suami atau orang tuanya yang menjadi Tentara.
"Sekarang salin yang ada di papan tulis ke buku catatan IPS kalian!" ucapnya setelah meminta seorang siswi untuk mencatat materi pelajaran di papan tulis.
Deg! Tiba-tiba aku panik, hari ini aku hanya membawa satu buku tulis yang telah dikumpulkan dan satu buku kotak untuk pelajaran matematika. Ada satu 'buku' lagi, yang kubuat sendiri dengan mengumpulkan sisa-sisa kertas kosong dari buku tulis usang lalu kujilid menggunakan stapler.
Setelah menghela napas, kukeluarkan kumpulan lembaran kertas yang kusebut 'buku' itu. Tak apa jika pagi ini aku mencatat di buku jadi-jadian ini, nanti sepulang sekolah akan kucatat ulang di buku yang kini sedang berada di tangan Bu Marni untuk dikoreksi dan dinilai.
Hening. Seluruh siswa tekun menyalin materi pelajaran IPS dari papan tulis ke buku masing-masing. Tak ada yang berani membuat kegaduhan pagi ini, karena tak ada yang berminat berurusan dengan guru yang selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi tegang.
"Munaroh!" seru Bu Marni tiba-tiba membuat empat puluh pasang mata bersamaan menoleh padaku.
"Yang bernama Munaroh silahkan maju ke depan kelas!" tegas Bu Marni sekali lagi. Di tangannya sudah tergenggam buku tulis milikku.
Keringat dingin kini tak hanya membanjiri telapak tangan, tapi juga telapak kakiku.
Pelan kuseret langkah menuju meja guru di depan kelas."Apa maksudnya satu buku diisi dua mata pelajaran begini?" Aku terdiam, menunduk menatap sepatu usang yang mulai berlubang di bagian jempolnya. Menampakkan kaos kaki kusam yang juga nyaris berlubang. Jika diperhatikan dengan teliti, jempol kakiku rupanya sudah mengintip dengan malu-malu.
"Saya kan sudah bilang di awal semester kemarin, tiap mata pelajaran harus menyediakan dua buku tulis, satu untuk catatan dan satu untuk tugas. Ini malah tugas IPA dan IPS dijadikan satu buku, depan belakang lagi."
Kudengar Bu Marni mendengkus, tapi aku tak tahu harus menjawab apa.
"Memangnya kamu mau, nilai kamu saya campur di sembarang buku? Atau di kertas bekas gorengan?"
Aku menggeleng bersama isak tangis yang tak dapat kutahan lagi. Tidak ada yang bisa kubantah dari tiap omelan Bu Marni. Beliau benar dan aku salah karena telah melanggar peraturan.
Aku pun tak perlu bercerita bahwa kemarin sore aku sudah meminta buku tulis baru pada Emak. Namun bukan buku yang kudapat, melainkan tamparan di pipi, tepat saat kami berada di depan warung tetangga.
"Buku terus, buku terus. Uangnya mau buat beli beras!" kata Emak geram.
Aku berlari pulang sambil menangis, tak mengerti di mana kesalahanku. Aku hanya meminta buku, sesuatu yang harus dimiliki anak sekolah.
***
"Gimana, Mbak, jadi diambil bukunya?"
Suara penjaga toko buku itu membuyarkan lamunanku. Namun, aku segera tersenyum dan menyahut.
"Jadi, Mbak, tolong dibungkus semua ya."
Kutatap lagi tumpukan buku dengan kertas yang mulai menguning itu dengan rasa lega. Serial cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo, mulai "Bu Kek Sian Su" hingga "Sepasang Naga Lembah Iblis", berhasil kudapatkan lengkap sebagai hadiah untuk Emak.
Aku yakin Emak pasti bahagia mendapat hadiah buku dari penulis favoritnya. Sama, aku pun bahagia karena setelah dua puluh lima tahun akhirnya aku bisa membalas luka yang Emak torehkan dengan cara yang lebih elegan, menurutku.
Karena sekarang aku adalah seorang Ibu, yang perlahan bisa memahami posisi Emak sebagai tulang punggung keluarga bagi suami yang sakit-sakitan juga enam anak usia sekolah. Pasti tidak mudah!
Dan ini hanya bingkisan kecil untuk Emak di hari tuanya, sekaligus pengobat lukaku. Meski tak lekas sembuh, setidaknya kini aku bisa menerima alasan Emak saat itu. Kupikir ada benarnya juga, sedalam apa pun luka yang kita miliki, hanya kita yang mampu menyembuhkannya.
***
Sindoro-Sumbing, 28 Maret 2021