Duduk bersama Bayu, bukan sekali dua kali kulakukan. Aku sering melakukannya, seperti ketika aku membonceng di motornya. Tidak ada desiran aneh dalam dada seperti kali ini.
Seperti saat, aku duduk bersamanya diatas pelaminan. Hari ini, jam ini dan detik ini. Desiran itu rasanya menjalari punggung hingga seluruh tubuh. Desiran itu tak bisa membuatku berhenti tersenyum.
Dia menggandeng tanganku seolah aku bisa dibawa pergi pemuda lain. Rasanya seperti Bayu tak ingin melepasnya walau sepuluh menit.
Apa tangannya tidak kebas ?
"Rosa, kamu percaya nggak sih kita udah nikah ?" katanya. Aku masih menatap ke arah tamu undangan yang tengah menikmati jamuan pesta.
Aku terkekeh kecil lalu menyahuti, "Cepet banget ya ?"
Dia mengangguk. Helaan nafas lega kudengar darinya. Aku menoleh. Dia mengamit telapak tanganku, menciuminya berulang kali.
"Aku sayang kamu." sesingkat itu. Tapi efeknya membuat jantung ini kembali berpacu cepat.
Tanpa ia berkata, pun aku mengetahui hal itu. Dari caranya memperlakukanku selama ini. Dari awal kami berteman hingga detik ini aku dan ia resmi menjadi suami istri. Aku tentu bisa menilainya dengan baik.
"Aku juga."
"Juga apa ?" tanyanya. Wajah usilnya itu sungguh. Oh baik, dia mengerjaiku.
"Aku juga sayang kamu."
Dia mengangguk. Pucuk kepalaku diusapnya lembut, tanganku masih setia ia genggam. Manisnya.
"Makasih untuk rasa percaya yang kamu kasih. Makasih udah bersedia jadi istri aku. Dan terimakasih juga, karena kamu udah mengizinkan aku buat ngehabisin waktu seumur hidup bareng-bareng."
Aku mengusap punggung tangannya yang masih setia menggengam tanganku. Senyumnya yang tak henti terpatri itu menggambarkan betapa besar rasa syukurnya atas hari ini.
"Makasih juga ya, karena kamu milih aku sebagai pelabuhan terakhir kamu."
Dia maju untuk mencium keningku. Aku memejamkan mata, menikmati jalaran rasa hangat yang ada di relung batin. Bahagiaku membuncah sekarang ini.
.
.
.
.
Lelah mendera kami kala sang raja siang tak lagi tampak. Bahkan untuk sekedar mengisi perut pun aku tak sanggup. Selama acara resepsi, aku hanya makan kue-kue kecil yang diantar oleh adik iparku. Selain itu aku tolak semua.
Dan kini, usai mandi harusnya aku makan. Bayu sendiri yang meminta staff hotel mengantar makanannya ke kamar. Tapi sungguh, aku terlampau berat hanya untuk duduk.
"Sayang, kok nggak makan duluan ?" itu suara Bayu yang tampak tengah menggosok rambutnya dengan handuk.
Aku menggeleng lemah sembari bersuara pelan, "aku capek banget, mas."
Ya, akhirnya setelah dua hari berpikir tentang panggilan apa yang harus kugunakan pasca nikah dengan Bayu, akhirnya kuputuskan untuk memanggilnya dengan 'mas'.
"Hey, seharian belum makan apa-apa kan ? Nanti bisa parah kalau kamu nggak mau makan." ujarnya.
Aku berguling kesamping, menatapnya dengan mata memelas. Iya, aku tengah merayunya agar tidak memaksaku makan.
"...aku nggak mempan buat sekarang Rosalia. Kamu harus isi tenaga dulu."
"Mas, aku udah nggak kuat duduk." rengekku sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Bayu.
Short Story♠[S2] untuk lelaki yang selalu menyanggaku kala nyaris tumbang oleh kegilaan dunia, terimakasih. ©raihannisahayy 2022