Bagian 21

2.7K 135 20
                                    


Setelah beberapa purnama, aku muncul lagi. Semoga masih setia menunggu ceritaku, ya. Selamat membaca....




Setelah pertemuanku dengan Profesor Haris, semuanya tidak ada yang berubah. Aurel masih tinggal bersamaku dan meninggalkan Nadine dengan perasaan terluka di hati perempuan dewasa itu. Remaja itu masih enggan kembali. Ada syarat tidak tertulis yang ia ajukan untuk kembali bersama Nadine. Ia menginginkan Nadine menyudahi hubungannya dengan Profesor Haris. Sebuah permintaan yang mustahil disetujui mantan istriku.

Tidak ada sarapan dan makan malam bersama seperti dulu. Yang tersisa hanyalah kesendirian yang Aurel lakukan. Ia bahkan enggan datang ke rumah Nadine untuk sekadar sarapan atau makan malam. Sebagai gantinya, ia membuat sendiri sarapan dan makan malam untuk kami-aku, dirinya, dan Hanum.

Hubunganku dan Nadine juga semakin memburuk. Ia berpikiran sama dengan Profesor Haris. Nadine menuduhku menjadikan Aurel sebagai tameng untuk dapat kembali bersamanya. Alasan yang muncul hanya karena ia melihat tidak ada kesungguhan hatiku untuk membujuk Aurel agar kembali ke rumah bersama Nadine. Mantan istriku tidak pernah tahu itu. Hampir setiap malam, sebelum ia tidur, aku membujuknya. Jawaban Aurel masih tetap sama. Ia enggan kembali ke rumah tanpa kejelasan hubunganku dan mamanya. Rujuk adalah harga mati yang disyaratkan Aurel. Ia ingin kami kembali seperti keluarga normal.

"Tolong, Malik. Hanya kamu yang bisa membujuk Aurel. Dia sangat mencintaimu, melebihi cintanya sama aku. Hanya kamu yang akan didengar Aurel."

Ucapan itu seperti dongeng menjelang tidur untukku dari Nadine. Permohonan untuk terus membujuk Aurel. Dan, aku tidak pernah bisa menjanjikan apapun pada Nadine. Aurel sama keras kepalanya dengan Nadine.

Sampai pada akhirnya, aku mendapat sebuah pesan yang dikirimkan Aurel. Ketika aku sedang memeriksa laporan keuangan, pesan itu muncul di ponselku. Aku melirik jam tangan yang menunjukkan pukul empat sore. Bibirku menyunggingkan senyum ketika membacanya.

Papa, Aurel lagi di toko buku di Cilandak. Papa jemput jam 5 sore, ya.

Masih ada waktu sebelum aku beranjak menjemputnya. Aku kembali melihat laporan yang dikirimkan pegawaiku. Setelah memastikan semuanya beres dan lancar, aku bersiap menjemput Aurel. Mandi dan berganti pakaian agar terlihat lebih segar kulakukan.

Aku pamit pada pegawai-pegawai yang kutemui di lantai dasar. Menitipkan pesan untuk menutup Bright Sa tanpa perlu menungguku kembali. Karena bagiku, menjemput Aurel bukan sekadar datang dan membawanya kembali. Lebih dari itu, ia akan mengajakku minimal makan es krim.

Sambil membawa mobil, aku langsung menuju mal tempat Aurel berada. Diriku sudah tahu toko buku favoritnya di sini. Berjauhan tanpa pengawasan Nadine membuat Aurel semakin bebas. Ia tidak perlu takut lagi dimarahi mamanya karena menghabiskan uang untuk membeli komik. Biasanya, Nadine akan mengomel kalau tahu aku membelikan banyak komik pada putri sulungnya. Aurel memanfaatkan situasi ini.

Toko buku terletak di lantai lima mal ini. Dengan menggunakan lift, aku berjalan menuju sana. Aku celingukan di toko buku ini mencari keberadaan Aurel. Tidak ada tanda-tanda keberadaan dirinya. Saat aku menekan nomornya, ponselnya tidak aktif. Dadaku berdebar keras. Rasa panik mulai menjalar ke hatiku.

Papa, Aurel lagi di toko buku di Cilandak. Papa jemput jam 5 sore, ya.

Aku membaca sekali lagi pesan yang ia kirimkan satu jam lalu. Kemudian, pikiranku terhempas pada peristiwa malam lalu. Gadis remaja itu masih enggan kembali ke rumah mamanya dan menginap di rumahku. Ada sebuah kalimat yang masih terngiang di kepalaku.

After Divorce-Cerita MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang