Awal Baru

0 0 0
                                    

Apa yang akan kamu lakukan jika mempunyai seorang ayah yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah. Hari ini mungkin akan berada di pulau Kalimantan, bulan depan mungkin sudah berada di pulau Sumatera atau Papua.

Inilah aku, Naresa Radisty Sofyan. Aku tinggal hanya dengan Ayah yang seorang ilmuwan. Semenjak ibu meninggal tiga tahun yang lalu, hanya Ayah satu-satunya pelita hidupku, ke mana pun Ayah pergi, aku harus mengikutinya.

Ayahku mendedikasikan hidupnya untuk kelestarian hutan di Indonesia. Dia meneliti apa saja yang menjadi masalah perhutani. Ayah adalah tipe seorang pekerja keras. Terkadang dia sampai lupa ada aku yang harus diperhatikan di sisinya.

Dulu, sewaktu Ibu masih ada di dunia, aku hidup dengan Ibu di Jakarta. Ayah akan pulang satu bulan sekali atau dia tidak pulang satu purnama sama sekali jika pekerjaannya banyak. Aku rindu Ibu. Aku juga rindu Jakarta.

Hari ini, lagi-lagi aku harus mengikuti Ayah bertugas. Di tempat yang untuk membayangkan saja, kamu pasti nggak akan mau.

Aku berada di pulau paling ujung Sumatera. Tepatnya, di pulau Sabang. Ayah ada pekerjaan di sini. Kamu bisa bayangkan, hidup tanpa mal dan ini sangat jauh dari keramaian. Sekali lagi aku hidup di hutan!

"Nggak usah manyun gitu, cepat bereskan barang-barang kamu di kamar paling ujung itu."

Suara Ayah membuatku semakin kesal.

"Kita di sini sampai kapan, Yah?"

"Ayah nggak tau, pokoknya kamu cepat beres-beres, besok udah bisa masuk sekolah. Ayah udah daftarkan lewat teman yang ada di sini." Ayah berbicara sambil menata barang-barangnya.

"Ngapain Nares sekolah kalau tiap bulan pindah?" protesku pada Ayah.

"Kalau kamu nggak sekolah, nggak akan ada teman dan Ayah khawatir kalau kamu sendirian! Jelas!"

Aku terdiam. Selalu seperti itu. Dengan alasan takut ditinggal sendirian, Ayah selalu menyekolahkanku di manapun kami berada. Padahal sama saja, terkadang aku hanya bersekolah selama seminggu dan tidak ada satupun teman yang aku kenal.

Aku pernah mengusulkan untuk home schooling, Ayah setuju, tapi harus tetap sekolah umum. Sama juga bohong.

Setelah membereskan barang-barang, aku pergi ke luar rumah. Rumah papan yang letaknya berjauhan dengan tetangga, sedangkan rumah ini berada di tengah hutan. Kata Ayah, tidak jauh dari tempat ini ada pantai, tapi aku tidak boleh pergi sendiri.

Oleh karena bosan, aku masuk ke kamar kemudian tidur. Main ponsel pun percuma. Sinyal tidak ramah di tempat ini.

**

Esok pagi, aku berangkat ke sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Mungkin orang-orang sini menganggap tidak jauh karena terbiasa jalan kaki, tapi tidak denganku. Aku terbiasa hidup di kota, ada bus dan angkot, jadi aku bisa menggunakan kendaraan umum itu.

Hari pertama berangkat sekolah aku harus jalan kaki sejauh satu kilo, Ayah tidak dapat mengantarkanku karena harus berangkat kerja pagi-pagi sekali.

Setelah berjalan melewati ladang, hutan, dan rumah penduduk yang jaraknya berjauhan, sampai juga di depan sekolah. SMA negeri 1. Mungkin ini satu-satunya sekolah di kampung ini karena aku nggak lihat ada sekolah lain di tempat ini.

Aku mengamati sekitar. Bangunan beton berbentuk L, hanya ada beberapa ruangan. Sungguh di luar dugaan. Tidak seperti sekolah yang ada di kota.

Aku melangkah perlahan, mencari kantor sekolah, tapi sepertinya semua sama saja, tidak ada penanda atau papan nama untuk ruangan tertentu. Oleh karena bingung, aku duduk saja di bawah pohon rindang yang ada di depan bangunan itu.

Tiba-tiba, ada seseorang menyapa menggunakan bahasa daerah setempat. Aku menautkan alis karena tidak paham.

"Maaf, aku bukan orang sini. Aku mau cari kantor guru."

Perempuan di depanku itu melihat penampilanku. Aku memang tidak seperti yang lain. Di sekolah ini semua siswi diwajibkan berjilbab, sedangkan aku tidak memakainya.

Beberapa detik, aku terdiam. Tidak tau harus melakukan apa.

"O, dari Jakarta, ya?"

Ngerti juga dia bahasa Indonesia. Aku tersenyum membalas ucapannya.

"Mari sini! Ikut saya ke kantor."

Aku mengikuti langkah gadis itu. Dia membawaku ke sebuah ruangan. Ada beberapa guru di sana. Reaksi guru itu sama seperti gadis tadi waktu melihatku.

"Naresa, ya?"

Aku menoleh ke sumber suara, dia memperkenalkan diri sebagai kepala sekolah. Kemudian aku disuruh masuk ke ruangannya. Dia menjelaskan aturan yang terdapat di sekolah ini.

Setelah selesai dengan kepala sekolah, aku keluar kantor dan disambut oleh gadis tadi.

"Kenalin saya Mala. Kamu siapa? Kelas berapa? Pindah dari mana?"

Cerewet juga perempuan ini.

"Aku Naresa, kelas dua mana? Kata Ibu tadi cuma ada satu kelas."

"Kelas dua? Sama, saya juga kelas dua. Memang di tempat ini sekolah cuma ada satu kelas karena orangnya tidak banyak. Ayo ikut aku!"

Gadis itu menyeretku masuk ke dalam kelas yang ternyata sudah ramai. Ketika aku masuk ke dalam, semua siswa melihatku dengan heran. Mungkin karena penampilanku.

Ada yang berbisik, ada yang menahan tawa, ada juga yang melontarkan kata-kata ejekan. Aku menatap sosok itu, laki-laki yang frontal menghinaku.

"Wow, foto model masuk kampung."

Kemudian dia terbahak.

Aku bersiap melawan, tapi Mala menghalangi. Berhubung, aku mungkin hanya beberapa waktu saja di tempat ini, jadi aku membiarkan laki-laki itu sepuasnya menertawakanku.

Pulang sekolah, aku berjalan dengan Mala. Kebetulan kami satu arah, rumah Mala hanya terpaut ladang yang luas di samping rumahku.

Saat kami sedang bercanda, laki-laki tadi menghampiri.

"Hay, artis ibukota. Kenalan, dong!"

"Pergi kau Dani! Jangan ganggu Nares!" Mengusirnya.

"Bukan urusan kau, Mala. Ini urusan aku dengan artis cantik itu."

Ada sedikit rasa bangga anak itu mengatakan artis ibukota karena aku memang cantik seperti model, tapi tetap saja dia menyebalkan dan harus dilawan.

"Eh, aku nggak ada urusan sama kamu, jadi sebaiknya kamu pergilah!"

Cowok itu berlalu dengan motor bututnya meninggalkan kami sendiri, nggak lupa dia juga menertawakanku sebelum berlalu.

"Dia itu Ramdani. Memang gitu anaknya. Suka iseng."

Sesampainya di depan rumah, aku dikejutkan oleh sosok Ramdani. Dia duduk di depan beranda rumahku.

"Kamu ngapain di sini?"

"Tidak usah galak-galak, Nona. Aku cuma numpang duduk."

"Pergi! Ini rumahku, numpang duduk nggak gratis!"

Laki-laki itu menautkan alisnya, mungkin dia tidak percaya dengan ucapanku.

Dari dalam rumah terdengar suara Ayah memanggil Ramdani.

"Sudah siap kamu, Dani? Loh, kenapa belum ganti baju?"

"Sudah, Pak. Baju ganti ada di tas."

Aku bengong. Kenapa Ayah bisa kenal Dani?

 Sweet LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang