Saat Alifa tertidur pulas, aku beranjak ke meja belajar. Kubuka handphone yang kuingat tadi terdengar ada notikasi pesan yang masuk. Entah siapa.
"Masih kenal aku, nggak?"
Mana aku tahu siapa dia? Wajahnya saja tidak terlihat. Foto profilnya kosong. Kuletakkan handphone, lalu kuraih buku catatan kuliahku. Saat sedang larut dalam catatan di buku kuliah, pesan masuk kembali mengusik.
"Ai."
Deg. Seseorang yang memanggil nama kecilku pasti terhubung dengan kehidupanku di masa lalu. Entah itu saudara atau teman-teman masa kecilku. Mereka sudah pasti mengenal keluarga dan mungkin juga tahu latar belakangku, latar belakang keluargaku.
"Kamu siapa?" tanyaku mengetik tanya.
"Ilham."
Hah? Aku membelalak. Ternganga. Tak percaya. Kubekap mulutku ketika ingin tertawa ngakak. Ilham? Senang dan surprise tiba-tiba bertemu anak itu meski di dunia maya. Teman sekolah, teman main, teman ngaji waktu kecil. Tapi dia pindah ke Batam sebelum lulus SD. Bapaknya yang tentara membuatnya harus selalu berpindah-pindah setiap kali.
"Kamu masih tinggal di rumahmu yang dulu?" tanyanya menutup lamunanku.
"Iyalah, mau pindah ke mana?"
"Oh."
"Kamu di mana sekarang? Waktu itu kamu pindah ke Batam, kan?"
"Ya. Tapi setelah itu keluargaku pindah-pindah lagi kayak kucing beranak."
Aku tertawa.
"Ai, gimana kabarmu?"
"Baik."
"Kamu?"
"Baik juga."
"Mana? Pasang foto kamu! Aku pengen lihat wajah kamu," suruhku penasaran.
"Nggak, ah!" sahutnya ngeledek.
"Dasar! Trus, kamu di mana sekarang?"
"Di hatimu."
"Am! Kalau deket aku jitak kamu!"
"He he he ..."
"Aku serius nanya!" aku mulai gondok.
"Jauh."
"Iya, jauhnya di mana?"
"Pokoknya jauuuhh."
"Jauh banget? Kamu kuliah, Am?"
"Iyalah. Kalau nggak kuliah, mana bisa melamarmu nanti?"
"Geblek!"
"Seneng bisa bikin kamu sewot."
"Kamu tahu nomorku dari siapa?"
"Ada, deh!"
"Ya, udah jangan kirim-kirim pesan lagi! Aku mau belajar!"
"Marah, nih, yee!" ejeknya.
"Males!"
Lalu kututup handphone dan aku silent. Selesai belajar dan saat mau tidur, aku iseng membuka handphone. Tak ada chating lanjutan dari Ilham. Dan foto profile juga masih kosong. Dasar anak tengil! Aku memaki dalam hati. Kumatikan benda itu sambil aku cargh, lalu merebah di sisi Alifa. Kubelai wajahnya yang halus menggemaskan itu. Hah, kok kayaknya anget? Kutempelkan lagi punggung tanganku ke dahi juga ke lehernya. Aku bangun mengambil plester kompres untuk menurunkan demam, kutempelkan di dahinya. Kucium dengan lembut pipinya sebelum aku ikut terlelap sambil memeluknya.
*
Usai kuliah aku ingin cepat pulang mengingat Alifa yang badannya anget sejak semalam. Aku juga ingat ibu yang menyuruhku beli susu Alifa di minimarket. Namun saat hendak bangkit dari kursi, Mita menahanku, seraya memperlihatkan sesuatu di layar handphone-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Hati Ai [ Selesai ]
RomansaSebenarnya cita-cita Tari sejak dulu begitu sederhana. Menjadi seorang ibu. Sebuah keinginan yang semua perempuan normal bisa menjalaninya. Dan sepertinya Allah menerima dan mengabulkan keinginan mulianya itu. Seorang bayi merah dan mungil tiba-tib...