Older Brother

1.6K 241 18
                                    

(Sasuke)

Ya, kurasa aku adalah pendosa di kehidupanku sebelumnya. Kalau tak begitu, kenapa setelah empat hari berlalu dan tamu bulanan Sakura pergi kakak lelakiku satu-satunya memilih untuk pulang ke rumah? Ya, aku senang ia pulang, tentu saja. Setelah sekian lama.

Tapi ia memilih waktu yang buruk untuk melakukannya.

Sakura sendiri tampaknya hanya menahan tawa melihat reaksiku yang nyaris frustrasi ketika telepon pemberitahuan itu datang pagi ini. Kami telah merencanakan hal-hal besar untuk nanti malam dan rencana-rencana itu sudah pasti gagal total sekarang.

Acara keluarga seperti itu tak akan selesai dengan cepat.

Seandainya saja aku memiliki waktu luang seharian dan Sakura tak perlu menemui dosen pembimbing, tentu kami akan menghabiskan waktu yang lebih lama di tempat tidur dan melakukan kegiatan yang –terkutuklah- belum pernah kami lakukan sebelumnya. Jika kepercayaan kami yang tak meninggi setiap waktu, aku pasti akan mulai takut Sakura akan meminta pembatalan pernikahan.

Tapi Sakura mencintaiku dan aku mencintainya.

Itu saja cukup untuk membuatku yakin tak akan ada yang namanya pembatalan pernikahan di rumah tangga kami.

Pukul delapan tepat kami berkendara menuju kampus Sakura. Aku setidaknya sudah mencuri dua kali ciuman panas dan empat kecupan kilat setiap kali ada kesempatan. Sakura mengomel. Tapi bukan karena ciuman itu melainkan karena ia harus merapikan rambut dan pakaiannya berkali-kali karena ulah tangan kami sendiri.

"Kenapa kau tak pernah bertanya tentang Itachi-nii, kakakku?" Tanyaku ketika kami dalam perjalanan.

"Aku kira itu sesuatu yang tabu untuk disebut-sebut dalam keluarga kalian." Ia mengangkat bahu. "Aku tahu kau memiliki kakak laki-laki saja dari hasil pencarian di internet."

"Maaf," ujarku pelan. "Aku seharusnya menceritakan tentangnya padamu."

"Kau akan menceritakannya padaku?" Ia bertanya. "Kurasa ini masih belum terlambat."

Aku sengaja mengangkat satu alisku tinggi-tinggi. "Kau jadi sedikit lebih pengertian."

Ia mengibaskan tangannya. "Bukan hal besar," katanya dan tertawa.

Aku mengangguk. Tak bisa menahan senyumku ketika melihat dan mendengar tawanya.

"Dia kakak laki-lakiku satu-satunya. Seseorang yang menjadi panutan di masa-masa kecilku dulu." Aku memulai. Sakura menyandar miring di bangkunya. Tatapannya penuh pengertian.

"Kau harus tahu, Sakura. Setelah ayahku, dia adalah satu-satunya laki-laki yang benar-benar aku hormati," lanjutku. "Negara memiliki pahlawan yang tak bisa dilupakan. Tapi pahlawan pribadiku hanyalah kakakku seorang."

Ia terkekeh. "Seperti apa dia ini?" Tanyanya lagi. "Aku menemukan fotonya di internet ketika ia masih berumur delapan belas tahun." Sakura terlihat berpikir sejenak. "Beda usia kalian lima tahun kan? Itu artinya ia sudah berumur tiga puluh tahun sekarang ini. Wow!"

"Wow?"

Sakura terkekeh. "Ya, wow. Apa kau tak tahu, Sasuke? Pria dewasa itu –seksi. Semakin dewasa semakin seksi."

"Apa kita harus kembali ke rumah?" Ancamku.

Ia kembali tertawa. "Oh, yang benar saja," katanya sambil memutar mata. "Jadi, jawab pertanyaanku."

Aku mendengus dan membuang muka, mengabaikan ucapannya.

"Sasuke!"

"Baik, baik." Astaga. Sejak kapan aku jadi penurut seperti ini. "Dari segi penampilan dia mirip denganku." Sakura mengangguk. "Tapi kami memiliki sifat yang bertolak belakang." Aku melirik pada Sakura sebelum kembali menatap ke jalanan di depan kami. "Jika aku seperti ayahku, dia adalah versi laki-laki dari ibuku."

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang