Chapter : 13

16 8 7
                                    

Happy Reading
***

Dia telah pergi dan ini sudah hari ketiga hidupku hampa tanpanya. Senyuman khasnya, ekspresi menggemaskannya ketika merasa sebal serta berbagai rayuan yang selalu meluncur secara mulus dari bibirnya. Semua itu pasti akan sangat kurindukan.

Mark, dia adalah sosok yang unik dan juga tak akan pernah tergantikan dalam hidupku.

Seharusnya aku tidak main-main dengan ancaman Daniel. Tidak menganggapnya sepele. Kini aku tahu bahwa bukan sekadar "kata-kata" berupa ancaman yang ia beritahukan, tapi ia pun bersungguh-sungguh dengan hal itu. Ia ingin menghancurkan kehidupanku. Bukan hanya aku, tapi tampaknya orang-orang yang kusayangi turut jatuh ke dalamnya.

Sungguh, aku tak bisa terus diam seperti ini, kapan saja ia bisa melakukan tindakan gilanya itu. Masalah ini berkaitan dengan hidup dan mati.

Setelah malam itu menceritakan apa yang sebelumnya terjadi padaku saat di kampus—tentang foto di loker—akhirnya Jeno pun menyetujui yang menjadi dugaanku mengenai kepergian Mark.

Kesimpulan yang kami dapatkan, ketika Mark membersihkan lokerku tempo hari, selain menemukan foto kedua orang tuaku, di dalam sana ia pun menemukan foto tentangnya yang saat itu sedang bersamaku. Dan dugaanku semakin kuat begitu melihat gelagat yang ditunjukkannya—seperti sudah tahu bahwa ia adalah incaran si psikopat.

Selama dua hari kemarin, aku tidak berkuliah. Bukan tidak ada kelas, tapi aku yang enggan untuk pergi. Karena walaupun pergi, aku yakin bahwa di kampus aku hanya akan melamun hingga materi yang disampaikan pun tak akan sampai di otakku.

Di apartemen yang sama sepinya seperti hatiku, aku berbaring saja sambil melihat kenangan yang pernah ku ukir bersamanya. Tidak tahu berapa lama aku menangis. Bahkan sampai lupa untuk mengisi perut dan sejujurnya pun aku tidak nafsu makan. Namun kakak sepupuku itu akan terus menggedor-gedor pintu kamar untuk membawakan makanan.

Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku yang sama murungnya seperti hari kemarin, membuat poni tipis ku menjadi berantakan. Biarlah, toh juga tak ada sosoknya lagi yang akan memujiku, walaupun aku berdandan begitu cantik bak putri di negeri dongeng.

Aku duduk diam di bangku taman kampus. Sendirian, sementara Jeno pergi menemui sang dosen untuk memberikan tugas akhirnya.

"Seo Yoon, annyeong!"

Kudengar nada suara yang sangat ceria, berasal dari sebelah kananku. Tanpa sadar ada sosok yang duduk di sampingku. Tidak tahu dari kapan, yang aku tahu sedari tadi aku hanya melamun.

"Seo Yoon jangan mengabaikanku, hei," ucapnya lagi. "Nana ada di sini."

Aku tidak punya tenaga barang menoleh sebentar saja. Tatapan sendu terus mengarah lurus ke depan. Tidak pasti apa yang kupandang di depan sana, kemudian Jaemin menyadarkanku saat tangannya yang bertengger di sandaran kursi panjang kayu, memegang bahu kananku.

Kali ini aku menoleh, meski hanya sedikit dan tidak menatap matanya.

Jaemin beberapa kali menepuk pelan bahuku. "Aku yakin dia sudah bahagia di sana," ucapnya tenang. Tidak tahu apa memang benar dia baik-baik saja atau hanya berpura-pura agar aku tidak terus larut dalam kesedihan.

"Aku..." Setelah diam cukup lama, aku bersuara pelan dan terdengar serak. "Aku merasa-"

"Kalau sedang berbicara, tatap lawan bicaramu, Seo Yoon," sela Jaemin. Penekanan dalam ucapannya menggambarkan bahwa ia memaksa.

Aku memilih untuk kembali diam, menunduk sedalam-dalamnya sambil menggeleng pelan. Untuk saat ini aku masih takut untuk menatap seseorang dalam waktu yang lama.

PSYCHO | Vol.1 [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang