50- Selamat tinggal Tania (Selesai)

1.3K 64 21
                                    

•••
Bagaimana bisa aku bahagia setelah kamu pergi meninggalkan luka yang tak ada obatnya.
•••

Dunia terlalu jahat, semesta tak pernah bisa berpihak. Itu spekulasi Tania untuk saat ini dan seterusnya.

Perempuan dengan keadaan yang berantakan karena dari dua hari lalu ia tak mau pulang, bahkan hanya sekadar meninggalkan rumah sakit Tania sangat enggan.

Rambut curly yang biasa rapi kini terlihat kusut, mata Tania sembab karena tak bisa berhenti menangis karena kondisi Shaka yang semakin buruk.

"Tuhan, saya mohon, jangan ciptakan luka baru lagi," guman Tania lirih.

Tania terisak terus menerus —bagaimana bisa Shaka yang terlihat selalu tertawa namun menyimpan penuh rasa sakit? Bagaimana bisa Shaka selalu terlihat baik-baik saja? Bagaimana bisa Shaka yang selama ini menciptakan suasana tawa justru mengidap penyakit pneumonia parah hingga paru-paru lelaki itu sudah rusak.

"Tuhan, ini terlalu menyakitkan."

Jujur, ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit ini.

Tania pikir, hidupnya sudah bisa bebas. Nyatanya, perasaan sakit terus saja bersarang di hatinya.

Setelah pintu ruangan ICU terbuka, Tania bertindak impulsif, ia melihat Ibu yang keluar dengan lesu membuat Tania langsung masuk tanpa izin. Sebab afeksi Tania masih begitu besar untuk Shaka.

Perempuan itu menggigit pipi kuat seraya membekap mulut, Tania tidak mau terisak kencang di depan Shaka. Mata Tania sungguh memanas melihat alat serta suara menderu dari alat-alat yang tertempel di dada Shaka serta bunyi monitor yang menakutkan telinga.

Pemandangan ini membuat Tania tidak tega dan berjalan limbung mendekati Shaka. Ia menatap nyalang sang kekasih dengan air mata yang menumpuk. Deru napas Shaka yang kian tipis berhasil membuat tangis Tania tumpah.

"Ka...,"

Cowok itu menoleh, membuat garis lengkung tipis menilik Tania.

"Tania, kamu butuh istirahat."

"Nggak, Ka. Kamu yang butuh itu, kamu harus sembuh," tangis Tania semakin deras, apakah Shaka bisa bertahan hidup dengan semua alat menakutkan ini?

"Taniaa, aku gak mau mati," suara Shaka bergetar takut.

Cepat-cepat Tania menggeleng. "Nggak, Ka. Aku gak bakal iklas kamu pergi."

"Tapi aku nggak kuat nahan sakit."

"Dada aku, sakit banget Tania."

Perempuan itu menggengam tangan Shaka begitu erat. "Ka, kalau bisa aku mau minta Tuhan supaya sakitnya ke aku aja. Aku udah biasa menerima rasa sakit dalam bentuk apapun. Tuhan tolong jangan Shaka."

Shaka mengusap rambut Tania, ia merengkuh tubuh Tania agar bisa ia peluk hangat. Membawa Tania ke dalam dekapannya seraya mengecup puncak kepala perempuan yang begitu Shaka sayangi.

"Tania sejauh aku kenal kamu, nggak ada rasa sesal sedikit pun. Terima kasih mau menemani di sepenjang perjalanan."

"Aku janji! Aku terus nemenin kamu sampai kapan pun. Aku sangat janji Shaka," Tania kembali terisak pilu.

Cowok itu meneteskan air mata, ia terlalu sulit jika harus melepas Tania. Namun bertahan pun Shaka tak mampu. Cowok itu mengusap bahu Tania seraya berujar pelan.

"Aku titip Ibu dan Si putih ya."

"Ka, plis. Jangan ngomong kayak gini," Tania memohon nelangsa.

"Jangan lupain aku ya sayang."

Stres In LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang